Konflik dalam Sejarah Indonesia docx

Tugas Mata Kuliah
The Nature of Conflict

Erry Kurniawan
Resume Kuliah

KONFLIK DALAM SEJARAH INDONESIA: PRA KEMERDEKAAN
“PEACE & CONFLICT RESOLUTION”1
Tujuan MK
Materi ini bertujuan untuk memahami akar masalah munculnya konflik dlm
masyarakat Indonesia yg kerap kali berupa kekerasan (violence). Faktor sejarah apa yg dpt
diidentifikasi dihadapkan pada pandangan yang mengatakan masyarakat Indonesia sesungguh
memiliki karakter dan sumber lahirnya kekerasan (the reservoir of violence).
Ruang lingkup dalam materi ini dibatasi secara spasial dalam arti longgar wilayah
Indonesia dan temporal/periode tdk secara ketat dalam proses transformasi masyarakat
Tradisional, Kolonial, dan Nasional. Periode yang dipelajari mulai dari masa kerajaan
Nusantara dan kedatangan bangsa Eropa/VOC, Kolonial (Hindia Belanda), hingga awal abad
ke-20.

Kerangka Konsep
Sejarah dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab sajarotun yang berarti

pohon. Prinsip ilmu sejarah sesuai dengan makna harfiahnya adalah melacak akar. Dalam hal
ini, kejadian dianggap sebagai pohon yang memiliki akar di masa lalu yang harus dipelajari
sehingga bisa menjadi pelajaran untuk menghadapi masa depan.
Konflik telah ada sejak munculnya manusia dan tidak akan hilang sepanjang masa.
Dalam kitab suci Islam dan Kristen, sejarah konflik bisa dilacak hingga perseteruan antara
Habil & Qabil yang berkonflik hingga harus menumpahkan darah. Konflik muncul karena
adanya perbedaan kepentingan dan keyakinan. Salah satu bentuk konflik adalah kompetisi
dengan tujuan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Pada umumnya
kompetisi tidak menyakiti lawan.
Kekerasan dalam konflik muncul dengan tujuan untuk menetralisir,menyakiti maupun
menghabisi lawan-lawannya. Konflik dalam bentuk tertingginya adalah perang. Unesco
menyebutkan dalam konstitusinya bahwa, “wars begin in the minds of men.”

1 Tulisan ini merupakan resume dari materi mata kuliah The Nature of Conflict minggu ke-2 dengan judul
materi yang sama. Materi dipaparkan oleh Prof. Susanto Zuhdi

Masyarakat Tradisional
Indonesia pada dasarnya merupakan negara dengan keragaman etnis luar biasa.
Diperkirakan terdapat kurang-lebih 450 etnis yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara.
Secara geografis pun Indonesia memiliki sangat banyak pulau, sekitar 17.000 pulau baik yang

bernama maupun yang belum memiliki nama.
Asal-usul masyarakat Indonesia pun belum terungkap secara jelas. Profesor Sangkot,
seorang ahli DNA menyatakan bahwa terdapat 4 kelompok genetik manusia di Indonesia
yang berbeda. Kelompok tersebut kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara untuk
menjadi masyarakat kepulauan. Indonesia bisa dikatakan sebagai archipelagic state atau
secara harfiah berarti negara kepulauan sehingga batas terluar dari Indonesia adalah pulau
terluarnya.
Kelompok-kelompok manusia yang menyebar tersebut membentuk budayanya
masing-masing dan berkembang menjadi kerajaan. Pada masa itu, kerajaan-kerajaan yang ada
saling berperang untuk memenuhi kepentingannya masing-masing. Saat itu belum ada
kesatuan di antara kerajaan wilayah Nusantara. Tercatat baru dua kali wilayah Nusantara
disatukan oleh kerajaan besar, yaitu masa kerajaan Sriwijaya (abad IX) dan Majapahit (abad
XIV).

Pengaruh Kebudayaan Lain (pra-Eropa)
Indonesia mendapat banyak pengaruh dari berbagai budaya besar yang berkembang di
dunia. Pada awalnya Indonesia mendapat pengaruh besar dari India, yaitu masuknya ajaran
Hindu-Buddha dan berkembang menjadi kerajaan-kerajaan. Pada saat itu, Cina juga telah
masuk dan mempengaruhi Indonesia melalui jalur perdagangan. Kebudayaan Islam juga
mempengaruhi Indonesia dengan berbagai cara. Awalnya melalui jalur perdagangan hingga

mulai abad XV kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Pengaruh
kebudayaan yang masuk terakhir adalah kebudayaan Kristen yang dibawa bangsa Eropa.
Kebudayaan yang masuk membawa pengaruhnya masing-masing. Kebudayaan India
yang kental dengan sistem kasta membawa perubahan pada pembentukan kelas dalam
masyarakat Indonesia. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, masyarakat dibagi dalam 4 kasta
yang jejaknya dapat dilihat di Bali hingga saat ini. Bergeser ketika kerajaan Islam menguasai
Nusantara, kasta dihilangkan tetapi kelas bangsawan dengan rakyat jelata masih berbeda.
Setelah kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia dan membawa pendidikan ke masyarakat,
muncul masyarakat egalitarian yang menginginkan kedudukan yang setara di antara seluruh
warga. Hal ini terus berkembang hingga sekarang.

Kebudayaan luar pun membawa pengaruh dalam faktor politik dan ekonomi.
Kerajaan di Indonesia berkembang setelah datangnya kebudayaan dari luar hingga bisa
membangun monumen sebesar Candi Borobudur (Mataram Kuno) bahkan menyatukan
Nusantara termasuk sebagian negara Asia Tenggara saat ini di bawah satu kerajaan
(Majapahit). Secara ekonomi pun pengaruh dari luar membawa perkembangan besar. Sistem
barter berubah menjadi sistem mata uang, kemudian berkembang pajak dan sistem keuangan
feodal, hingga muncul kapitalisme dan masyarakat industrial.

Perubahan Corak Masyarakat

Corak masyarakat juga banyak berubah setelah mendapat pengaruh dari luar.
Kerajaan di Nusantara pada mulanya bercorak maritim karena menyadari bahwa Indonesia
merupakan gugusan pulau. Setelah datang kebudayaan bercocok tanam dan budi daya
tanaman, kerajaan pun berubah corak menjadi agraris. Setelah Eropa masuk pun Indonesia
dijadikan kawasan industri tanaman yang merupakan corak agraris.
Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada mulanya berkembang di sekitar pesisir. Bangsa
yang datang waktu itu hanya bisa melalui jalur laut dan membawa perubahan pada
masyarakat pesisir. Mulai muncul pelabuhan-pelabuhan besar dan kota-kota Bandar yang
menjadi pusat perdagangan. Bukan hanya antar daerah atau pulau di Nusantara tetapi
kerajaan seperti Sriwijaya bahkan berdagang hingga antar benua. Kerajaan dengan corak
maritim seperti ini umumnya memiliki orientasi keluar. Masyarakat bisa bebas bermigrasi
dan menyebar ke berbagai daerah lain serta bisa dengan mudah masuk menjadi bagian dari
kerajaan tersebut. Karena kemudahan tersebut maka masyarakat bisa mudah membaur dan
bersifat pluralistik.
Setelah masyarakat mulai mengenal budi daya tanaman dan bercocok tanam,
masyarakat mulai beralih menjadi bercorak agraris. Umumnya kerajaan agraris berada di
dekat gunung api karena memiliki tanah yang subur. Masyarakat mulai mengenal istilah
istana/keraton yang ditandai dengan kebudayaan tinggi, dan luar istana yang ditandai dengan
kebudayaan yang rendah. Penduduknya padat karena bisa mengelola tanah dengan baik
sehingga tidak berpindah-pindah. Orientasi dari masyarakat agraris adalah ke dalam.

Masyarakat dipisah-pisah menurut tatanan yang bisa berupa kasta maupun kelas, dan bersifat
hierarkis dengan raja di puncak hirarkinya.

Masuknya Bangsa Eropa
Vasco da Gama menandai masuknya Eropa ke dalam Zaman Penjelajahan. Bangsa
Eropa pertama yang datang ke Nusantara adalah Portugis yang pada tahun 1509 mendaratkan
kapalnya di Malaka. Pada awalnya kepentingan Portugis ke Nusantara untuk memenuhi
kebutuhan dagang, terutama rempah-rempah yang saat itu menjadi komoditas unggulan
bernilai mahal. Dalam perkembangannya, untuk memudahkan bisnisnya Portugis menyerang
dan menduduki kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara.
Belanda saat itu juga memiliki keinginan kuat untuk menguasai pasar rempah-rempah
internasional. Cornelis de Houtman yang memimpin ekspedisi dengan empat kapal berhasil
mendarat di Banten pada tahun 1596. Tetapi saat itu mereka berseteru dengan Portugis serta
penduduk lokal. Baru pada tahun 1602 Belanda membuat perusahaan dagang bernama VOC,
menyusul perusahaan dagang Inggris EIC yang telah didirikan dua tahun sebelumnya di
India, untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur, terutama di Nusantara.
Pasar kala itu telah berkembang sedemikian rupa dan perdagangan terjadi hingga lintas
benua. Perusahaan-perusahaan dagang dunia pun berkembang dan bersaing. Kerajaankerajaan Nusantara mengembangkan kota-kota pelabuhan untuk memasok bahan baku untuk
perusahaan multinasional tersebut.


Antara Interaksi & Konfrontasi
Abad XVI menjadi era persaingan dagang dan politik antara Portugis (diwakili Estado
da India), Belanda (VOC), dan Inggris (EIC). Untuk menjadi yang terkuat, negara-negara
tersebut memiliki kebijakan masing-masing, dan umumnya perusahaan dagang memiliki
angkatan bersenjata. Dalam perkembangannya sering terjadi pertempuran bersenjata antar
perusahaan dagang tersebut. Kadang untuk meredam pertikaian mereka saling bertukar
kekuasaan. Akhirnya VOC yang menjadi perwakilan Belanda menjadi perusahaan dagang
yang menguasai Nusantara hingga bangkrut pada 1798 setelah Belanda diinvasi oleh
Napoleon Bonaparte dari Inggris dan hak penguasaan diserahkan pada pemerintah Belanda.
Keberadaan bangsa Eropa di Nusantara membawa banyak perubahan pada kerajaankerajaan lokal. Karena kepentingan perusahaan serta negara tersebut, kekuatan kerajaankerajaan menjadi rumit karena bantuan asing. Pada perseteruan antara kerajaan Gowa dengan
Bone, VOC membantu Bone yang memberontak karena VOC berseteru dengan Gowa.
Kemudian gerakan Padri yang dimulai dari haji yang menentang praktik tradisional yang
berkembang di kerajaan Pagaruyung, awalnya Belanda melindungi Kaum Adat yang diserang
Kaum Padri, tetapi akhirnya kedua kaum tersebut bersatu melawan Belanda.

Bahkan dengan politik “devide et impera,” Belanda mampu memecah-belah kerajaan
kuat menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang saling berseteru, misalnya Mataram Islam menjadi
4 kerajaan kecil yang tidak mempunyai kekuatan politik. Kemampuan strategi dan politik
bangsa Eropa memang lebih maju sehingga bisa dikatakan politik nusantara dikuasai Belanda
dan akhirnya dijajah. Salah satu hal yang menjadi perhatian Belanda saat itu adalah adanya

konflik internal antarmasyarakat Nusantara saat itu yang bisa dimanfaatkan untuk memecah
belah kerajaan dan menguasainya.

Jatuhnya Malaka

(1511) & Tumbuhkembangnya Kota-

Kota Pelabuhan Nusantara
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sejak saat itu, Portugis menjadikan
Malaka sebagai pangkalan untuk armada laut serta pusat perdagangan untuk daerah Hindia
Timur. Kejadian tersebut menjadi simbol masuknya bangsa Eropa dalam kehidupan
masyarakat dan mengubah muka kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa Eropa yang pada
awalnya hanya berdagang dan memonopoli pasar rempah di Nusantara mengundang banyak
kerajaan membuka pelabuhan-pelabuhan baru untuk menyuplai kebutuhan Eropa tersebut.
Aktivitas di pelabuhan meningkat dan menjadi kota-kota pelabuhan baru di Sumatera, Jawa,
maupun Sulawesi.
Pelabuhan Makassar yang saat itu merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Gowa
merupakan pelabuhan yang paling berkembang di Hindia Timur karena menjadi pusat
perdagangan rempah. Belanda (VOC) yang bernafsu untuk memonopoli perdagangan Hindia
Timur menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara tetapi belum mampu menaklukkan

Gowa. Sultan Hasanuddin yang merasa terancam dengan keberadaan VOC menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. VOC pun menyerang

Kesultanan Gowa dan

mengalami kesulitan hingga harus terus meminta tambahan pasukan. Hingga pada tahun
1667, VOC dan Gowa mengadakan perjanjian Perdamaian Bungaya. Meskipun dikatakan
perjanjian perdamaian, sebenarnya isi dari perjanjian tersebut merupakan deklarasi kekalahan
Gowa dari VOC. Gowa merasa dirugikan sehingga mengadakan perlawanan lagi hingga
setelah pasukan Belanda mendapat bantuan dari Batavia, Gowa takluk tahun 1669.
Dampak dari kejatuhan Gowa atau Makassar ini diikuti dengan

ketidakpuasan

masyarakat penghuni Makassar karena pemerintahan Belanda yang otoriter. Sejumlah besar
orang Bugis melarikan diri dan menyebar ke penjuru Nusantara. Gowa yang merupakan
kesatuan kerajaan-kerajaan kecil menyebar mengikuti pemimpin-pemimpinnya. Kejadian ini
terekam dalam sejarah dan memiliki istilah sendiri: Diaspora Bugis-Makassar. Orang Bugis

di bawah Ompu Daeng Parani, Cellak, Cempaka, dan Menumbon memimipin pengikutnya ke

Melayu-Riau. Kemudian orang Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu
menyeberang ke Bima, dan Karaeng Galesong ke Jawa Timur. Orang Bugis-Makassar masih
menyimpan dendam terhadap Belanda sehingga setelah berpindah tempat, mereka terus
berupaya membantu kerajaan setempat melawan Belanda. Misalnya di Jawa Timur, Karaeng
Galesong bersekutu dengan Trunojoyo menyerang Mataram yang disokong Belanda.

Perang-Perang Voc & Aneksasi Wilayah dalam Abad Ke18
Selain pendudukan Makassar, Belanda juga memperluas hegemoni ke Jawa.
Menggunakan pengaruhnya yang besar, Belanda mendekati Jawa melalui kerajaan Mataram
dan menerapkan politik “devide et impera” dengan memecah belah Mataram menjadi
kerajaan kecil yang tidak memiliki kekuatan politik. Melalui Perjanjian Giyanti pada tahun
1755, Belanda memecah kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta. Berlanjut pada tahun 1757 dengan Perjanjian Salatiga yang dituntut
oleh Pangeran Sambernyawa untuk membentuk Praja Mangkunegaran. Kekuasaan politik
pun dibatasi dengan ketat, aturan-aturan kerajaan harus disetujui oleh kumpeni (VOC).
Abad XVIII merupakan abad perubahan era perdagangan-monopoli menjadi era
kolonialisme Belanda. Ditandai dengan bangkrutnya VOC dan Belanda yang dikuasai
Perancis, VOC menyerahkan daerah monopolinya di Hindia Belanda kepada kerajaan
Belanda. Daendels dikirim oleh pemerintah Belanda di bawah kekuasaan Perancis untuk
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memperluas daerah

kekuasaannya dengan menaklukkan daerah lain dan menjadikannya wilayah Hindia Belanda
(Gouvernement). Daendels juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan dan
membedakan daerah kekuasaannya dengan daerah kekuasaan kerajaan Nusantara sebagai
Vorstenlanden. Selain itu ada juga daerah yang diurus sendiri oleh kerajaan yang disebut
Zelfbesturende Landschappen.
Dalam usahanya membangun kekuasaan di Nusantara, Belanda menggunakan strategi
yang memanfaatkan keberagaman suku dan kepentingan lokal. Devide et impera merupakan
strategi unggulan untuk memperlemah kekuatan kerajaan. Belanda sering kali ikut campur
dalam pertempuran kerajaan serta pemberontakan dalam kerajaan besar. Selain itu, Belanda
juga memberi iming-iming-iming harta dan kekuasaan pada penguasa daerah kecil seperti
demang atau bupati dengan syarat mengikuti keinginan Belanda.

Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830) membawa
perubahan dalam pembentukan pasukan Belanda. Pertempuran yang bisa dikatakan terbesar
di Jawa ini menimbulkan banyak korban dari pihak Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan
tentara setelah perang tersebut, Belanda membentuk organisasi ketentaraan baru untuk Hindia
Belanda yang disebut KNIL pada tahun 1830. Sebenarnya benih KNIL telah ada sejak 1819
dan telah berperang melawan Diponegoro di Perang Jawa, tetapi nama KNIL baru digunakan
setelah 1830. Anggota KNIL mencakup tentara dari Belanda, orang Indo-Belanda, dan
pribumi Nusantara (Bugis, Manado, Madura, Jawa, dll). Belanda pun mendapat tambahan

pasukan dalam jumlah besar dan bisa melawan perjuangan pribumi dalam perang Padri di
Sumatera Barat, perang Aceh dan peperangan berikutnya.

Eksploitasi Kapitalis
Kebangkrutan VOC dan invasi Perancis menyebabkan kerugian luar biasa pada kas
negara Belanda. Untuk menutupi utang serta mengisi kembali kas negara, Belanda
mengeksploitasi daerah koloninya. Salah satu yang diterapkan di Jawa adalah Cultuurstelsel
atau tanam paksa pada tahun 1830. Sistem ini selain karena faktor kebutuhan Belanda, juga
untuk menutup kerugian akibat perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro. Gubernur
Jenderal van den Bosch mulai menerapkan sistem ini dengan memberikan kewajiban kepada
petani menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu,
dan tarum (nila).
Sistem ini rupanya menimbulkan berbagai polemik dalam kehidupan masyarakat
pribumi. Pada praktiknya justru pemerintah Hindia Belanda memaksa petani untuk menanam
tanaman komoditas ekspor dan hasilnya diserahkan pada Hindia Belanda serta tetap
memungut pajak pada petani. Cultuurprocenten atau bonus dari kelebihan kuota hasil
tanaman untuk tanaman wajib diselewengkan oleh pegawai pemerintah Belanda serta
penguasa tradisional (demang dan bupati) untuk memaksa masyarakat menanam dan
menyetor lebih banyak. Bahkan karena sawah banyak diganti dengan tanaman wajib, beras
semakin berkurang dan harganya melambung sehingga kelaparan melanda banyak tempat di
Jawa. Serta timbulnya kerja rodi yang memaksa masyarakat untuk bekerja membangun
infrastruktur tanpa upah yang layak makin menambah kesengsaraan masyarakat.
Pelaksanaan sistem ini memang sangat menguntungkan Kerajaan Belanda. Sekitar
70% pendapatan Belanda saat itu berasal dari Hindia Belanda. Kas Belanda pun mengalami
surplus dan Belanda membangun infrastruktur mewah di negaranya sendiri. Namun kondisi
yang kontras di Hindia Belanda menyebabkan muncul protes dari berbagai kalangan di

Belanda. Saat itu pemikiran telah berkembang sehingga bentuk penindasan serta penguasaan
yang semena-mena tidak bisa lagi diterima. Multatuli, nama pena Douwes Dekker ketika
menulis buku Max Havelaar, menjadi simbol keburukan Cultuurstelsel sehingga pada 1870
dengan berlakunya UU Agraria, sistem tersebut dihapus.
Meskipun tanam paksa telah dihapus, praktis aturan tersebut awalnya hanya berlaku
di Jawa. Tanah Sumatera yang lebih dimanfaatkan sebagai perkebunan besar dan
pertambangan membutuhkan banyak buruh untuk pengelolaannya. Masyarakat Jawa yang
sudah terlanjur jatuh miskin karena tanam paksa tidak lantas mendapatkan tanah kembali.
Masyarakat miskin ini, juga ditambah dengan program hukuman kerja untuk terpidana,
kemudian dikirim ke Sumatera untuk menjadi buruh di kebun dan tambang. Secara
berangsur-angsur UU Agraria diterapkan di Sumatera sehingga program tanam paksa
ditinggalkan. Namun, masyarakat yang dikirim tersebut telah mendapatkan penghidupan di
Sumatera sehingga memilih (atau dengan terpaksa harus) tinggal di Sumatera hingga
berketurunan di sana.

Etnik Cina/Tionghowa
Etnik Cina mendapatkan perhatian khusus dalam pandangan Belanda. Pemerintah
Belanda membagi struktur masyarakat kolonial menjadi tiga, yaitu Eropeanen (bangsa Eropa)
yang menduduki kelas tertinggi, Vreemde Oosterlingen (Timur Jauh/Tionghowa) menduduki
kasta kedua, dan Inlander (pribumi) menjadi kasta terbawah. Umumnya Tionghowa menjadi
pedagang perantara karena memiliki kemampuan berdagang dan berhitung yang bagus.
Hindia Belanda pun menjalin kerja sama dengan Tiongkok yang meningkatkan perekonomian
serta migrasi orang Tionghowa ke Batavia.
Namun, kehandalannya tersebut tidak selalu mendapat keistimewaan dari pemerintah
Kolonial. Orang Tionghowa diharuskan membawa surat identifikasi dan yang tidak
membawa akan dideportasi. Epidemi malaria di tahun 1730an menimbulkan kecurigaan
pemerintah Belanda karena di saat ribuan orang meninggal, orang Tionghowa justru
bertambah banyak dan kaya. Aturan deportasi diperketat sehingga yang terlihat mencurigakan
akan langsung dideportasi. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan antara Belanda, pribumi,
dan Tionghowa. Hingga pada tahun 1740 pecah Tragedi Angke/Geger Pacinan
(Chinezeenmord) yang menewaskan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghowa. Tragedi
ini dipicu protes masyarakat Tionghowa di Batavia yang merasa rugi akibat represi
pemerintah dan jatuhnya harga gula saat itu. Ratusan orang Tionghowa yang protes bentrok
dengan pemerintah Hindia Belanda dan menewaskan 50 pasukan Belanda. VOC yang

memiliki kekuasaan penuh mengambil kebijakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi
dengan kekerasan mematikan. Akibatnya terjadilah pembantaian etnis tersebut.
Untuk meredam konflik, pemerintah Hindia Belanda menerapkan aturan Wijkenstelsel
yang menetapkan bahwa etnis Tionghowa harus menempati pemukiman khusus agar lebih
mudah dikontrol. Kawasan khusus ini dikenal sebagai pecinan dan menjadi pusat kegiatan
ekonomi orang Tionghowa di perkotaan. Untuk memperkuat aturan tersebut dibuat juga
aturan Passenstelsel, yaitu aturan yang mengharuskan orang Tionghowa membawa kartu
jalan jika melakukan perjalanan keluar daerah. Kedua aturan tersebut diterapkan hingga
dekade kedua abad XX.

Awal Abad Ke-20
Awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan era industrialisasi Nusantara.
Didorong oleh peradaban yang berkembang di Barat saat itu dan dibawa ke Nusantara dalam
bentuk efisiensi produksi menggunakan mesin-mesin. Pabrik gula saat itu menjadi industri
terbesar Hindia Belanda. Berlanjut dengan pembangunan sistem transportasi termekanisasi
menggunakan kereta api. Sistem pabrik tersebut membentuk kelas sosial baru, yaitu buruh,
mandor dan majikan. Buruh ketika itu dibayar dengan upah yang sangat murah karena masih
terkena pengaruh Cultursteelsel dan kerja rodi.
Tenaga kerja yang terampil menjadi sangat dibutuhkan untuk mengelola industri
tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan
sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga profesional yang murah. Karena sekolah ini
dibangun di Jawa, orang-orang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan tempat-tempat
lainnya pun berdatangan ke Jawa. Kebutuhan pun berkembang dengan dikirimnya pemudapemuda yang telah mengenyam bangku sekolah di Jawa ke Belanda untuk sekolah
keteknikan atau tata niaga yang makin dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda. Ketika di
Belanda, pemuda-pemuda ini pun mulai mengenal ideologi Marxis yang menentang
kolonialisme. Pengaruh ideologi ini sangat kuat ketika dibawa kembali ke Nusantara dan
mulai membangun rasa kebangsaan dalam melawan kolonialisme, dalam hal ini
pemerintahan Hindia Belanda. Politik pun mulai dikenal dan mulai muncul intelektual
pribumi yang menginginkan perubahan tatanan kehidupan. Muncul kelas baru lagi, yaitu
golongan elite.
Ideologi Marxis yang dibawa ke Nusantara waktu itu bukan tanpa masalah. Ideologi
ini memang menyatukan visi berbagai etnis untuk melawan penjajahan. Namun, di sisi lain
ideologi ini lekat dengan ateisme yang bertentangan dengan semangat spiritual masyarakat

Timur yang memeluk agama. Semangat kebangsaan yang pada akhir abad ke-19 saat itu
didukung rasa persatuan masyarakat Islam melawan penjajah kafir pun mendapat tantangan
baru. Komunisme yang digagas Lenin berkembang juga di Nusantara berupa gerakangerakan dan menjadi partai.
Seperempat abad pertama abad ke-20 menjadi tonggak munculnya gerakan politik di
Nusantara. Bukan lagi melalui kerajaan atau feodalisme tetapi menjadi gerakan modern.
Paling tidak mulai muncul nasionalisme, Islamisme dan komunisme yang masing-masing
berkembang hingga ke akar rumput. Perbedaan kepentingan antar penganut paham tersebut
menimbulkan konflik horizontal yang diwakili oleh partai-partai yang saling berseteru.
Selain konflik di kalangan elite, masyarakat pribumi di pedesaan pun mulai bergerak.
Kapitalisme yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menyengsarakan masyarakat
pedesaan menimbulkan reaksi negatif berupa gerakan protes. Sartono Kartodirdjo dalam
bukunya, Protest Movements in Rural Java A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and
early Twentieth Centuries, (Kualalumpur, 1972) mengklasifikasikan gerakan protes tersebut
menjadi empat macam, yaitu pemerasan (gerakan anti-pajak), gerakan mekanis, gerakan
sekte-sekte keagamaan, dan gerakan Sarekat Islam lokal. Dalam perkembangannya, gerakan
protes yang dijelaskan dalam buku tersebut bukan hanya mengenai masyarakat melawan
pemerintah kolonial, tetapi juga melawan Islam sebagai ideologi dan komuniti serta melawan
masyarakat lain.
Konflik hingga saat tersebut bisa muncul bukan hanya dari kalangan elite politik yang
ingin membangun negara merdeka, tetapi juga dari akar rumput yang dimulai dari pedesaan.
Masyarakat Indonesia yang begitu beragam memiliki potensi yang sangat besar untuk
berkonflik. Dibutuhkan visi bersama yang bisa menyatukan segenap etnis, agama, maupun
golongan dalam bentuk kemerdekaan melawan penjajahan kolonial Belanda.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147