Dimensi Keadilan Dalam Mekanisme Konsiny

2013
Henny Handayani
Sirait

DIMENSI KEADILAN DALAM
MEKANISME KONSINYASI PENGADAAN
TANAH
Tanah berperan aktif dalam menyokong proses pembangunan yang berkelanjutan sesuai
amanat konstitusi negar Indonesia. Disatu sisi tanah negara yang digunakan dalam
pembangunan semakin sedikit. Oleh karena itu negara melakukan pengadaan tanah dengan
dasar hak menguasai oleh negara tersebut.Pengadaan tanah tersebut akan berbenturan dengan
kepentingan masyarakat pemegang hak atas tanah. Baik itu dalam hal ganti kerugian,
musyawarah maupun penitipan uang kepengadilan sebagai akibat tidak adanya kata sepakat
dalam perumusan musyawrah yangdilakukan oleh panitia pengadaan tanah dan pemegang
hak atas tanah. Mekanisme konsinyasi ini dipandang bertentangan dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat dan bertentangan dengan hak asasi masyarakat pemegang hak atas
tanah.Oleh karena itu diperlukan mekanisme yang bernafaskan keadilan.
Keyword: Pengadaan tanah, konsinyasi, keadilan.

DIMENSI KEADILAN DALAM MEKANISME
KONSINYASI PENGADAAN TANAH

Oleh:
HENNY HANDAYANI SIRAIT
NIM. 100200174
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2012

A. Latar Belakang
Tanah dan pembangunan merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanah tanpa
adanya pembangunan akan kehilangan nilai gunanya,
sebaliknya pembangunan tanpa adanya tanah
merupakan hal yang mustahil. Disisi lain, tanah yang
digunakan oleh negara untuk menunjang proses
pembangunan semakin sedikit dan jarang dijumpai.
Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya stagnasi
dalam pembangunan, negara melalui hak menguasai
oleh negara memiliki kewenangan untuk melakukan
pengadaan tanah melalui mekanisme pencabutan hak
atas tanah baik milik perseorangan maupun hak
ulayat persekutuan hukum adat.

Pengadaan tanah demi kepentingan umum
telah mengalami perkembangan seiring dengan
unifikasi Undang-Undang Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960. Lembaga pertama yang ditawarkan UU
No. 20 tahun 1961 adalah lembaga pencabutan hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya,
tetapi dalam praktik ketentuan undang-undang ini
tidak berjalan efektif. Untuk mengatasi hal tersebut
pemerintah mengeluarkan ketentuan tentang
pembebasan hak atas tanah, dalam praktik ketentuan
ini juga tidak berjalan lancar. Selanjutnya pemerintah
memberlakukan Peraturan Presiden No 36 tahun
2005 jo Peraturan Presiden No 65 tahun 2006, tetapi
peraturan presiden ini tetap tidak efektif dalam

praktiknya. Sebagai penggantinya pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah.
Dalam penerapannya, lembaga pencabutan,
pembebasan, pelepasan maupun pengadaan hak atas

tanah menimbulkan ekses yang berdampak besar
terhadap stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan
yang memicu konflik timbul dalam masyarakat, hal
ini
pada
dasarnya
disebabkan
adanya
ketidaksepakatan antara pemilik hak atas tanah
terhadap mekanisme pengadaan tanah tersebut yang
meliputi kriteria kepentingan umum yang dimaksud
pemerintah, mekanisme musyawarah dan ganti
kerugian serta praktik konsinyasi yang ditempuh
pemerintah ketika kesepakatan tersebut tidak
tercapai.
Disamping itu hukum positif yang melandasi
pengadaan hak atas tanah tersebut belum berjalan
sesuai dengan pancasila sebagai dasar hukum dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Sehingga pada
satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan

kepentingan masyarakat pemegang hak atas tanah
tidak mendapat perlindungan hukum berupa
kepastian hukum yang berkeadilan. Secara faktual
pengadaan tanah demi kepentingan umum bernuansa
konflik, baik dari sudut peraturan dan paradigma
hukum yang berbeda antara masyarakat dan

pemerintah.1 Selain itu, penerapan hukum dalam
praktik konsinyasi oleh para hakim yang bernuansa
positivis adakalanya mengabaikan kaedah-kaedah
sosial lainnya dan hukum yang hidup (living law)
serta moral dalam masyarakat dan cenderung
bertentangan dengan nilai keadilan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan tersebut, maka penulis tertarik untuk
membahas latar belakang tersebut dengan judul:

A A
A A
A

YA
A AA A A ”.
1.Landasan Yuridis Pengadaan Tanah
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 2
tahun 2012 memberikan difinisi pengadaan tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Pada dasarnya pengadaan tanah
tidak ada diatur dengan tegas dalam Undang-Undnag
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tidak
satupun regulasi dalam konstitusi tersebut yang
memberikan landasan secara konstitusional untuk
melakukan pengadaan tanah. Namun, kalau kita
mengacu kepada Pasal 1 Aturan Peralihan UUD
tah 1E45 y

perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang.”
Berdasarkan aturan peralihan ini, maka sebagai
dasar hukum pengadaan tanah yang dilakukan

melalui pencabutan hak atas tanah berlakulah pasal
26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 yang
:“
(onteigennings) untuk kepentingan umum atas suatu
benda atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan
mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan

undang-undang.2 Dengan demikian kekosongan
hukum tentang pengadaan tanah secara yuridis
formal telah terpenuhi dengan aturan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah
keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai induk
dari semua peraturan tanah di Indonesia, telah
mengatur tentang pengadaan tanah melalui
pencabutan hak atas tanah sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 18 UUPA yang menegaskan,
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan

memberiri ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan undang-undang.”
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat
apabila pencabutan hak atas tanah dilakukan. Pasal
ini menegaskan bahwa pengadaan tanah dibenarkan
untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan
rakyat, sebagai bagian dari kepentingan umum dan
harus disertai dengan adanya ganti kerugian yang
layak serta didasarkan kepada suatu undang-undang.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan ini telah
dikeluarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang Ada di Atasnya. Dengan keluarnya
undang-undang ini Onteigenning Ordonantie
dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai penggantinya
lahirlah dasar hukum pencabutan hak milik atas tanah
untuk kepentingan umum yaitu Pasal 18 UUPA
Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1961. Dalam
perkembangannya pelaksanaan pencabutan hak atas
tanah dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 55
tahun 1993 jo Peraturan Presiden Nomor 36 tahun

2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006
serta UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.

2
1

Kalo, Syarifuddin. 2004. Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum. Medan. USU Library.

Kalo, Syafruddin. 2004. Pengadaaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum. Medan: USU digited
Library.

Banyaknya norma hukum yang mengatur
tentang pengadaan tanah ini dapat menimbulkan
konflik dalam penerapannya, oleh karena itu untuk
mencegah tumpah tindih regulasi yang memuat
pengadaan tanah maka diselesaikan melalui
preferensi hukum berdasarkan asas Lex Superior

derogate legi inferior, dimana peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tingkatannya. Terkait subtansi
pengaturannya berlaku juga asas Lex Spesialis
Derogat Legi Generalis, dimana peraturan
perundang-undangan yang lebih khusus memiliki
kekuatan substansi untuk mengenyampingkan
peraturan perundang-undangan yang lebih umum,
yang dalam hal ini peraturan presiden dapat
mengenyampingkan UU pengadaan tanah. Dan untuk
menyelesaikan konflik norma berdasarkan waktu
diundangkannya, maka berlakulah asas Lex Posterior
Derogat Lex Priori, dimana peraturan perundangundangan yang terkini mengenyampingkan peraturan
perundang-undangan yang terdahulu.
Oleh karena itu, segala peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pengadaan tanah
tetap dapat dijadikan acuan dalam implementasi
hukum pertanahan di Indonesia dengan tetap
mengacu kepada asas-asas tersebut untuk
menghindari tumpang tindih pengaturan.


2.Hak Menguasai Oleh Negara
Hak menguasai oleh negara merupakan amanat
konstitusi negara Indonesia tepatnya pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang berisi perintah kepada negara agar
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya diletakkan dalam penguasaan negara untuk
digunakan mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia, yang dikejawantahkan melalui pasal 2
ayat (2) UUPA No. 5 tahun 1960 dimana negara
memiliki kewenangan untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.

Hubungan hukum tersebut dinamakan Hak
Menguasai Negara. Hak
ini tidak memberi
kewenangan untuk menguasai secara fisik dan
menggunakannya seperti hak atas tanah karena
sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA.3
Terkait hak menguasai oleh negara tersebut,
Muhammad Bakri menyimpulkan bahwa penguasaan
tanah oleh Negara dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:4
1. Penguasaan secara penuh yaitu, terhadap tanahtanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh
suatu subyek hukum. Tanah ini dinamakan

/


y
”.
memberikan tanah ini kepada suatu subyek
hukum dengan suatu hak.
2. Penguasaan secara terbatas/tidak penuh yaitu,
terhadap tanah-tanah yang sudah dipunyai
dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum.



y
”.
Kekuasaan Negara yang bersumber pada hak
menguasai tanah oleh Negara terhadap tanah
hak, dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya,
kekuasan Negara tersebut dibatasi kekuasaan
(wewenang) pemegang hak atas tanah yang
diberikan oleh Negara untuk menggunakan
haknya.
3

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan,
Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal 23.
4 Ibid, halaman 35.

3. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Didalam masyarakat hukum adat dikenal
adanya konsepsi komunalistis religious yang oleh
Prof. Boedi Harsono konsep tersebut memungkinkan
penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus
mengandung unsur kebersamaan.5 Dalam unsur
kebersamaan tersebut tidak dikenal adanya subjectief
recht, yang ada hanya fungsi sosial. Fungsi sosial
inilah yang dijadikan negara sebagai dasar
meletigimasi pengadaan tanah demi kepentingan
umum di Indonesia.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria
menyebutkan bahwa: “S
y
.” Hal tersebut menjelaskan
bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya
itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan rugi bagi masyarakat luas.
Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi
pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi
bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi
bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat.
Pada dasarnya fungsi sosial yang dikehendaki
oleh falsafah bangsa Indonesia adalah fungsi sosial
yang tidak menciderai kepentingan-kepentingan
minoritas. Dalam artian, fungsi sosial jangan
dijadikan sebagai alasan untuk melakukan
pelanggaran hak asasi setiap orang, tetapi fungsi
sosial tersebut mampu mengakomodir semua
kepentingan pihak dalam satu wadah yang
bernafaskan keadilan untuk mencapai cita-cita negara
Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi.

A. Unsur-Unsur Pengadaan Tanah
1. Kepentingan umum
Kepentingan umum yang dimaksud dalam
pengadaan tanah adalah kepentingan yang harus
didahulukan daripada kepentingan pribadi dalam hal
adanya keadaan yang bersifat memaksa yang
mengharuskan negara melakukan tindakan untuk
mengambil tanah tersebut, yaitu adanya tuntutan
tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya
melalui pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik
(welfare state), dengan demikian terdapat
kepentingan yang lebih tinggi dari semua lapisan
dimasyarakat yang harus dipenuhi dari sekedar
mempertahankan kepentingan pribadi dari warga
negara.
Dalam Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 Jo
Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 telah diperinci
hal-hal yang menjadi kepentingan umum. oleh karena
itu penting dibuat batasan kepentingan umum
tersebut agar dapat dibedakan dengan kepentingan
negara lainnya.
Ada tiga prinsip yang dapat dijadikan criteria
bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan
umum, yaitu :6
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh
pemerintah. Mengandung batasan bahwa
kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain,
swasta dan perorangan tidak dapat memiliki
jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang
membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak
maupun negara.

6

Harsono, Boedi.2005. Hukum Agraria
Indonesia. Jakarta: Djambatan.

5

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan
Umum Dalam Pengadaan
Tanah
Untuk
Pembangunan, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008).

b. Kegaiatan pembangunan terkait dilakukan oleh
pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses
pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan
untuk kepentingan umum hanya dapat
diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan. Membatasi fungsi
suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan
kepentingan swasta yang bertujuan mencari
keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa
kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali
tidak boleh mencari keuntungan.
Prinsip-prinsip kriteria kepentingan umum
tersebut dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi
sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum,
dan ciri-ciri kepentingan umum. Demikian metode
penerapan tiga aspek tersebut sehingga kriteria
kepentingan umum dapat diformulasikan secara
pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat7
2. Mekanisme Musyawarah
Pada dasarnya musyawarah merupakan prinsip
saling mendengar untuk mencapai kesepakatan bulat
yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Musyawarah merupakan sarana yang digunakan
negara untuk membuktikan itikad baik negara dalam
menghormati hak milik masyarakat yang dijamin
2D y (4) “
perseorangan tidak dapat dirampas secara sewenangw
”.
y
kosntitusi itulah yang menjadi modal dalam
melakukan pengadaan tanah yang mencermikan nilai
luhur musyawarah untuk menghindari tindakan
pelanggaran hak asasi pemegang hak atas tanah.
Dalam mekanisme musyawarah perlu
didasarkan kepada prinsip-prinsip pengadaan tanah
yang mencerminkan nilai keadilan, berupa prinsip
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang
dimiliki oleh rakyat yang merupakan bagian dari
penghormatan hak asasi warga negara, sehingga

7

Ibid, hal.76

dalam pengadaan tanah dilakukan berdasarkan aspek
kepentingan umum tanpa mengindahkan aturan
hukum serta adanya prinsip kebersamaan dengan
melibatkan pemegang hak atas tanah untuk duduk
bersama dalam menentukan besaran ganti rugi
pengadaaan tanah.
Menurut Soetandyo, sesungguhnya ada dua
kemungkinan yang dapat ditempuh manakala
pembangunan nasional yang banyak memerlukan
tanah yang dapat dibebaskan, akan tetap dapat
diharapkan bersifat kemanusiaan dan berdimensi
kerakyatan yaitu:8
1. Menggunakan
pendekatan
sosiologik
antropologik yang prosesnya harus ditunggui
dengan penuh kesabaran. Mungkin pula dalam
wujud kebijaksanaan untuk membuka peluang
yang luas dan bebas kepada masyarakat awam
agar secara bubbling up para warga ini dapat
memutuskan sendiri secara bertanggung jawab
kegunaan
lahan-lahan
mereka
untuk
kepentingan orang banyak.
2. Menggunakan pendekatan hukum (kalau
memang ini yang dipilih), namun dengan
memprioritaskan prosedur dan proses yang
privaatrechtelijk yang pada hakekatnya adalah
juga suatu proses yang demokratik dari pada
mendahulukan yang publiekrechtelijk yang
dalam masa-masa transisi di kebanyakan
negeri-negeri yang tengah berkembang, umunya
terkesan masih amat berwarna kekuasaan
ekstralegal.

3. Mekanisme Ganti Kerugian
Masalah ganti rugi merupakan isu sentral yang
paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan
tanah oleh pemerintah dengan memanfaatkan tanahtanah hak.9 Dalam setiap pengadaan tanah untuk
8Soetandyo Wignjosoebroto, “Pembebasan Tanah ”,
Suara Pembaharuan, 7 November 1991,hal. 2.
9 Maria S.W. Soemarjono, Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2001).

kepentingan pembangunan hampir selalu muncul rasa
tidak puas, di samping tidak berdaya, dikalangan
masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek
tersebut.
Bentuk ganti Kerugian yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 berupa :
1) Uang;
2) Tanah pengganti;
3) Pemukiman kembali;
4) Kepemilikan Saham;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan
UU Pengadaan Tanah No. 2 tahun 2012, Pihak yang
berhak dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah
penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan negeri
memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang
keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib
memberikan putusan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi
diterima. Putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada
pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam pasal 6 Instruksi Presiden Nomor 9 tahun
1973 ditegaskan bahwa pembayaran ganti kerugian
tersebut kepada yang berhak harus dilakukan secara
tunai
dan
dibayarkan
langsung
oleh
Pemerintah/instansi yang berkepentingan kepada
pemilik tanah yang berhak. Dalam hal ini dapat
ditafsirkan pembayaran ganti kerugian tersebut
kepada pemilik tanah yang berhak tidak
diperkenankan dilakukan melalui perantara atau
kuasanya.

Pembayaran ganti rugi harus diberikan kepada
orang yang berhak atas tanahnya, harus dilakukan
secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang
berhak.

4. Tinjauan tentang Konsinyasi
Secara garis besar Konsinyasi adalah
penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penitipan di Pengadilan Negeri tempat di mana lokasi
tanah untuk pembangunan tersebut berada, dan
selanjutnya dilakukan Pencabutan Hak Atas Tanah.
Beberapa ketentuan mengenai praktik
konsinyasi tertuang dalam pasal 1404-1412 KUH
Perdata antara lain Pasal 1404 KUH Perdata
menyatakan :
“jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si
berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran
tunai apa yang diutangkan, dan jika si berpiutang
menolaknya, menitipkan uang atau barangnya
kepada penagdilan. Penawaran yang sedemikian,
diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang
dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal
penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut
undang-undang sedangkan apa yang dititipkan
.”
Menurut pasal 42 UU No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan tanah bahwa penitipan ganti kerugian ke
pengadilan negeri terjadi karena disebabkan oleh:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
tidak diketahui keberadaannya; atau
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian:
1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang;
atau
4. menjadi jaminan di bank.
Pasal 1405 KUH Perdata menyatakan syarat
sahnya konsinyasi antara lain:
a. Dilakukan seorang yang berpiutang kepada
seorang yang berkuasa menerima;

b. Dilakukan seseorang yang berkuasa membayar;
c. Mengenai semua uang pokok dan bunga yang
ditagih;
d. Ketetapan waktu telah tiba;
e. Terpenuhi syarat dengan mana utang telah
dibuat;
f.
Penawaran dilakukan ditempat menurut
perjanjian;
g. Penawaran dilakukan notaris atau jurusita
diserati dua orang saksi.
Terkait dengan kompetensi pengadilan negeri
dalam memberikan ganti rugi berlaku sejak
dikeluarkannya UU Nomor 7 tahun 1970 tentang
Penghapusan Pengadilan Land Reform maka masalah
agraria diserahkan kepada pengadilan negeri.
Kewenangan pengadilan negeri didasarkan kepada
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 14 UU
No. 4 tahun 2004 yang memuat klausul bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada
yang atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa
dan mengadili.

Pembahasan
A. Aspek Keadilan dalam Kepentingan umum
Dalam pasal 18 UUPA bahwa yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan
negara, bangsa dan kepentingan bersama dari rakyat.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
interpretasi kegiatan yang termasuk kategori
kepentingan umum dibatasi dalam 5 unsur, yaitu:
a.
b.
c.
d.

Adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah.
Tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Masuk dlaam daftar kegiatan yang telah
ditentukan.
e. Perancanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan
RUTRW.

Sifat kepentingan umum yang melekat dalam
suatu jenis kegiatan inilah yang menimbulkan
ketidaksepahaman
dalam
masyarakat
dan
pemerintah. Tidak ada ukuran yang baku apakah sifat
kepentingan umum itu melekat secara kuat dan
dominan atau sekedar sebagai ukuran. Karena dalam
praktiknya, suatu kegiatan yang hanya sedikit
terlekati kepentingan umum, disimulasikan
pemerintah sebagai kepentingan umum. oleh karena
itu perlu penjelasan yang konkrit mengenai kriteria
kepentingan umum tersebut.
Didalam pengadaan tanah ada tiga prinsip yang dapat
dijadikan patokan bahwa suatu kegiatan benar-benar
untuk kepentingan umum, yaitu:
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh
pemerintah. Mengandung batasan bahwa
kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain,
swasta dan perorangan tidak dapat memiliki
jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang
membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak
maupun negara.
b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh
pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses
pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan
untuk kepentingan umum hanya dapat
diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan Membatasi fungsi
suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan
kepentingan swasta yang bertujuan mencari
keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa
kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali
tidak boleh mencari keuntungan.
Selain itu presiden dapat menentukan bentukbentuk kegiatan pembangunan lainnya yang tidak
termasuk sebagaimana yang tersebut di atas, jika
menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan
umum. Proyek tersebut harus sudah termasuk dalam
rencana pembangunan yang terlebih dahulu telah
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan.

Proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana
Induk Pembangunan Daerah dan telah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat setempat.
Dalam praktiknya rencana pembangunan tidak
diberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat,
tetapi masyarakat suka atau tidak suka harus
melepaskan hak atas tanahnya sesuai dengan ganti
rugi yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Dalam UU Pengadaan Tanah No. 2 tahun 2012
tidak ada penjelasan yang memuat kriteria
kepentingan umum yang murni (non komersil) dan
mana yang kepentingan umum yang ada unsur
komersil. Seharusnya untuk kategori kepentingan
umum yang memakai prosedur peraturan presiden no
36 tahun 2005 jo peraturan presiden no 65 tahun
2006 serta memakai bantuan panitia pengadaan tanah
hanya untuk kepentingan umum yang murni,
sedangkan untuk kepentingan umum yg tidak murni
seperti pembangunan jalan tol yang banyak dibangun
oleh pihak swasta dan dalam penggunaannya tidak
untuk semua lapisan masyarakat sebab hanya
kendaran tertentu yang bisa melintasinya dan harus
terlebih dahulu membayar, tidak dapat memakai
prosedur pengadan tanah dan menggunakn jsa panitia
pengadaan tanah.

B. Aspek Keadilan dalam Ganti Rugi
Bahwa demi kepentingan umum, maka hak-hak
atas tanah dapat dicabut. Pengadaan tanah tersebut
tidak serta merta dilakukan penguasa tanpa
kompensasi, sebab hak tersebut mendapat penetapan
dan pengakuan oleh negara melalui peraturan
perundang-undangan.
Untuk itu, apabila hak-hak perseorangan
maupun masyarakat hukum adat dicabut untuk
kepentingan umum, maka disyaratkan harus diberi
ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah,
sebab saat penetapan tersebut pemegang hak atas
tanah diwajibkan untuk menunjukkan bukti
perolehan tanahnya juga membayar biaya-biaya

tertentu baik berupa biaya administrasi maupun
kewajiban perpajakan.
Bahkan dalam masyarakat hukum adat tertentu
harga dari tanah yang dimiliki tidak saja dinilai
secara material, namun juga secara immaterial karena
dianggap sakral yang tidak saja diukur dengan harga
jenis benda apapun karena terkandung aspek sosial
budaya sebagai nilai tambah yang melekat pada hakhak atas tanah dimaksud, yang apabila dicabut
otomatis akar budaya pemegang hak atas tanah
dengan tanahnya akan tercabut juga, sehingga terjadi
ketidakseimbangan dengan lingkungan masyarakat
adatnya, dan nilai dari ketidakseimbangan yang
ditimbulkan harus dipulihkan dengan kompensasi
tertentu yang bisa memulihkan ketidakseimbangan
tersebut.
Pengakuan terhadap hak pribadi warga negara
atas pemilikan tanah disamping adanya hak negara
diatasnya dalam hal mencabut hak tersebut dalam
keadaan tertentu, merupakan implementasi dari nilainilai pancasila, yakni adanya keseimbangan antara
lahir dan batin, antara kepentingan umum dan
kepentingan pribadi, antara aspk penguasaan dan
aspek penggunaan tanah.
Untuk mencapai keseimbangan tersebut, maka
setiap adanya pencabutan hak, harus diperhitungkan
faktor yang akan menyeimbangkan kembali
ketimpangan atau keguncangan pada seseorang yang
diakibatkan oleh tindakan pencabutan hak atas
tanahnya, dengan cara memberikan kompensasi atau
ganti rugi sesuai dengan nilai yang dikehendaki para
pihak.
Dalam pemberian kompensasi atau ganti rugi
tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan ganti rugi
yang layak. Tentang ganti rugi yang layak ini patut
diperdebatkan, karena bila diperhitungkan dengan
harga perolehan tanahnya, maka nilainya relatif dapat
diperoleh dengan angka tertentu berdasarkan
perbandingan harga pasar yang berlaku, namun jika
diperhitungkan nilai tambah lainnya dari hak atas

tanah tersebut, maka akan ada pihak pemilik tanah
yang tidak memberikan nilai dari hak atas tanahnyaa.
Untuk itu, perlu dirumuskan pengertian dari
“ y ”
,y
w

y
w ”
tengah dari harga pasar dengan harga dalam tagihan
pajak (nilai jual objek pajak (NOJP)). Namun
demikian ada pendapat yang patut dipedomani dari
pengertian layak ini, yakni sebagaimana yang
ditegaskan oleh AP. Parlindungan:10 “bahwa orang
yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan
lebih miskin ataupun akan menjadi miskin kelak
karena uang ganti pembayaran rugi itu telah habis
dikonsumsi, minimal dia harus dapat dalam situasi
ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti
sebelum dicabut haknya, syukur kalau bertambah
lebih baik, atau minimal harus dapatlah dia pengganti
yang wajar, misalnya dengan pemberian ganti rugi
tersebut yang bersangkutan dapat membeli tanah di
tempat lain yang memungkinkan dia membanun
rumah kembali dan melanjutkan kehidupannya di
tempat yang baru.
Dalam menentukan besarnya ganti rugi, harus
terdapat kata sepakat di antara anggota Panitia
dengan memperhatikan kehendak dari para
pemegang hak atas tanah. Apabila terjadi perbedaan
tafsiran mengenai ganti rugi di antara anggota panitia
pembebasan tanah, dipergunakan harga rata-rata dari
masing-masing anggota. Perbedaan penaksiran
bentuk dan besarnya ganti rugi diselesaikan menurut
harga rata-rata dari masing-masing anggota panitia,
adalah merupakan tindakan sepihak yang sangat
merugikan masyarakat. Seharusnya dalam
musyawarah ganti rugi masyarakat diikutsertakan
dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi
tersebut.

10

Parlindungan,AP. 1993. Pencabutan dan
Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan. Bandung: Mandar Maju.

C. Konsinyasi Dalam Persfektif Keadilan
Konsinyasi hanya bisa diterapkan untuk
pembayaran ganti rugi untuk pengadaan tanah
dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk
kepentingan umum, dengan catatan memang telah
ada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang
membutuhkan tanah dan pemegang hak atas tanah
dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau bendabenda yang ada di atas tanah.
Mekanisme konsinyasi sebagai alternatif
penyelesaian konflik pengadaan tanah, justru
menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah dalam hal pengambilan hak atas tanah
masyarakat. Kesewenangan ini terlihat dengan
mengkonsinyasikan uang ganti rugi kepengadilan
negeri dan menganggap kewajibannya dalam
pengadan tanah sudah selesai dan memiliki
kewenangan untuk melakukan pembangunan dilahat
tersebut.
Bila ditinjau keberadaan lembaga konsinyasi ini
dalam KUHPerdata bahwa telah terdapat
pengaturannya dalam KUHPerdata konsinyasi adalah
sutau cara yang dilakukan oleh debitur untuk
melunasi hutang perjanjiannya dengan cara
penawaran tunai yang diikuti oleh penitipan objek
hutang tersebut ke pengadilan negeri. Hal ini terjadi
karena kreditur lalai atau tidak untuk menerima
jumlah pembayaran dengan mengakibatkan hapusnya
perjanjian dnegan kreditur tersebut. Pengaturan ini
sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 1381
KUHPerdata dimana konsinyasi atau penitipan uang
ke pengadilan merupakan satu cara untuk
menghapuskan perikatan. Penawaran tunai yang
diikuti penitpan ini dmungkinkan juga terjadi untuk
perjanjian yang objeknya berupa uang dan bendabenda yang bergerak.
Pasal 1408 KUH Perdata menyatakan: “
apa yang dititipkan tidak diambil oleh si berpiutang,
si berhutang dapat mengambilnya kembali dalam
hal itu orang-orang yang turut berhutang dan para
penanggung
.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat
disimpulkan beberapa hal, antara lain sebagai
berikut:
a. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh
penyimpanan (Konsinyasi) terjadi apabila dalam
suatu perjanjian, kreditur tidak bersedia
menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur.
W
“mora
kreditoris”.
b. Penawaran sah bilamana telah memenuhi syarat
bahwa utang telah dibuat. Ini berarti bahwa
penawaran hanya dikenal bila sudah
adahubungan hutang-piutang. Jelaslah bahwa
lembaga konsinyasi bersifat limitatif.
Pengaturan mekanisme konsinyasi
dalam
KUHPedata
tersebutlah
yang
melatarbelakangi mekanisme pengaturan
konsinyasi dalam proses pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Dalam peraturan
perundang-undangan
negara
Indonesia
pengaturan mekanisme konsinyasi dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum
tertuang dalam beberapa regulasi.
a. Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993,
bahwa konsinyasi hanya dimungkinkan
manakala yang akan diganti rugi dimiliki
oleh beberapa orang sedangkan satu atau
beberapa orang dari mereka tidak dapat
ditemukan, bagiannya dikosinyasikan di
pengadilan negeri setempat.
b. Peraturan Presiden Nmor 36 tahun 2005,
apabila setelah diadakan musyawarah tidak
tercapai kata sepakat atau terjadi sengketa
kepemilikan setelah penetapan ganti rugi,
ganti rugi dapat dititipkan ke pengadilan.
c. Presiden nomor 65 tahun 2006,
memberlakukan konsinyasi sepanjang
musyawarah tidak tercapai kesepakatan
dan terjadi sengketa kepemilikan. Uang
ganti rugi di konsinyasikan 100% ke
pengadilan, setelah sengketa selesai baru
dapat diambil oleh yang berhak.

d. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012,
bahwa konsinyasi baru dapat dilakukan
apabila masyarakat pemegang hak atas
tanah menolak bentuk dan besrnya ganti
kerugian berdasarkan hasil musyawarah.
Dalam uu ini diberikan mekanisme
peninjauan kembali kepengadilan negeri
atau juga Mahkamah Agung.
Pengadaan tanah pada hakikatnya merupakan
hubungan hukum jual beli yang masuk dalam ruang
lingkup perdata. Dalam pengadaan tanah tersebut
dilakukan dengan musyawarah antar pemegang hak
atas tanah dengan panitia pengadaan tanah.
Mekanisme musyawarah ini juga murni perdata.
Didalam hubungan keperdataan pada asasnya
berintikan kesepakatan antar kedua belah pihak.
Kesepakatan inilah yang menjadi undang-undang
yang mengikat bagi pihak-pihak tersebut.
Dalam ketentuan undang-udang nomor 2 tahun
2012, bahwa musyawarah penetapan ganti kerugian
dilakukan oleh lembaga petanahan yang berhak
dalam jangka waktu paling lama 30 hati kerja sejak
hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada
lembaga pertanahan untuk menetapkan bentuk dan
atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil
penilaian ganti kerugian. Hasil kesepakatan dalam
musyawarah inilah yang dijadikan dasar pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang
dimuat dalamberta acara kesepakatan.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai
bentuk ganti kerugian atau besarnya ganti kerugian
maka pihak yang keberatan dapat mengajukan
keberatam kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
musyawarah penetapan ganti kerugian dilakukan.
Berdasarkan klausul yang diatur dalam undangundang tersebut tampak bahwa lembaga konsinyasi
yang diterapkan dalam KUHperdata yang dijadikan
acuan dalam penitipan uang kepengadilan dalam
pengadaan tanah tidak dapat diterapkan untuk
melakukan pengadaan tanah atas nama kepentingan
umum. Hal ini disebabkan tidak adanya unsur

kesepakatan sebagaimana yang dikehendaki oleh
KUHPerdata. Ketidaksepakatan dalam musyawarah
tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk
meniadakan hak atas tanah masyarakat. Tindakan ini
akan
menimbulkan
kesewenang-wenangan
peemerintah sebagai elemen penting dalam
pengadaan tanah.
Penitipan ganti kerugian kepengadilan ini pada
dasarnya bertentangan dengan asas umum pengadaan
tanah, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Boedi
Harsono bahwa dengan adanya konsinyasi ini sekanakan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada satu
pilihan yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut ke
pengadilan, atau akan kehilangan tanahnya tanpa
ganti rugi.11
Lebih
lanjut,
Prof.AP
Parlindungan
mengungkapkan bahwa tidak mungkin konsinyasi
bagi orang yang tidak bersedia menerima uang ganti
kerugian.12 Sikap pemerintah yang menganggap
dengan menitipkan uang ke pengadilan negeri berarti
telah melakukan kewajibannya memberikan yang
dinilai memadai. Tindakan pemerintah yang tidak
mempedulikan apakah masyarakat akan mengambil
ganti kerugian tersebut atau tidak mencerminkan
tindakan yang tidak didasarkan kepada itikad baik.
Pemerintah sebagai pemegang wewenang
penguasaan tanah sesuai amanat konstitusi Indonesia
pasal 33 ayat (3) seharusnya tidak melakukan
tindakan sepihak yang dapat melemahkan struktur
masyarakat. Karena hal ini akan memicu konflik
dalam masyrakat, baik antar masyarakat maupun
masyarakat dengan pemerintah. Hal ini secara
otomatis
melemahkan
kedaulatan
negara.
Penggunaan lembaga konsinyasi ini pada
dasarnya tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam putusannya menegaskan
melalui putusannya Reg. No. 3757 PK/Pdt/1991
tanggal 6 Agustus 1991 yang menyatakan bahwa
konsinyasi tidak dapat diterapkan dalam pengadaan

Ibid, hal.135
AP.Parlindungan, Pencabutan Hak Atas
Tanah, hal 47
11
12

tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi dalam
pelaksanaaannya putusan ini tidak dijadikan sebagai
yurisprudensi oleh pengadilan negeri dalam
menangani sengketa penitipan uang melalui
pengadilan negeri. Hal ini disebabkan adanya
kewenangan dari pengadilan negeri sesuai amanat
pasal 14 uu nomor 4 tahun 2004 tentang ketentuan
pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dimana
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan
dalih hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan
wajib memeriksa dan mengadili. Dalam klausul pasal
ini juga dibenarkan dibukanya kemungkinan untuk
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Tetapi tindakan penitipan uang melaui pengadilan
negeri ini pada dasarnya dapat ditolak oleh pengadian
negeri dengan didasarkan kepada mekanisme
pengadaan tanah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan negara Indonesia apabila
berdasarkan pertimnagan hakim telah menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat. Untuk itu,
pengadilan negeri menempatkan posisinya sebagai
mitra masyarakat untuk memperoleh kepastian
hukum bukan membiarkan masyarakat mendapat
perlakuak yang tidak adil dari pemerintah.
Dalam pasal 36 UU No 2 tahun 2012 Tentang
Pengadan Tanah bahwa pemberian ganti kerugian
dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah
pihak.
Ketika dilakukan ganti kerugian melalui
lembaga konsinyasi bahwa bentuk yang diberikan
hanya berupa klausul yang terdapat dalam pasal 36
ayat (a) yaitu hanya berupa uang. Sedangkan ganti
kerugian dalam bentuk lainnya tidak diatur lebih
lanjut ketika masyarakat melakukan penolakan
terhadap besaran maupun bentuk ganti kerugian yang
ditawarkan oleh pantia pengadaan tanah. Hal ini akan

merugikan mayarakat karena masyarakat akan
kehilangan fungsi yang melekat dalam tanah tersebut,
baik itu fungsi sosialnya sebagai sarana pengikat
kesatuan masyarakat hukum adat, serta fungsi kapital
sebagai faktor modal dalam pembangunan ekonomi
masyarakat pemegang hak atas tanah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana tanah
tersebut langsung digunakan oleh pemerintah untuk
melakukan pembangunan infrastruktur atau hal lain
yang dikehendaki sesuai rencana awal pengadaan
tanah tersebut.
Kerugian yang dialami pemegang hak atas
tanah tersebut pada dasarnya bukan hanya bersifat
fisik yaitu berupa tanah, bangunan atau benda-benda
lain yang berada diatas tanah tersebut. Tetapi
mencakup juga kerugian berupa non fisik, yaitu
hilangnya kesempatan berusaha, pekerjaan, sumber
penghasilan maupun sumber pendapatan lainnya.
Serta yang terutama hilangnya ikatan batin dengan
tanah yang dikuasainya itu. Kerugian fisik ini pada
dasarnya dapat diganti dengan uang tunai yang dapat
diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut,
tetapi kerugian dalam bentuk non fisik yang akan
mengalami kesulitan apabila dilakukan penggantian.
Dampak musyawarah ganti kerugian yang tidak
mencapai titik kesepakatan dalam penetapan ganti
kerugian yang dilakukan oleh lembaga petanahan
yang berhak dalam jangka waktu paling lama 30 hari
ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang telah dijamin konstitusi berupa pengakuan
terhadap hak milik perseorangan tersebut. Bagaimana
mungkin hak yangtelah dihuni secara turun temurun
selama bearatus ratus tahun akan hapus hanya dalam
jangka waktu 30 hari.
Keberadaan lembaga konsinyasi ini juga
bertentangan dnegan konstitusi negara Indonesia
y
23 y (1)
1E45 “A
Pendapatan Belanja Negara sebagai wujud
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan pelaksanaannya
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab
untuk sebesary
y ”.

Dalam keputusan presiden nomor 42 tahun
2002 tentang pedoman pelaksanaan APBN, bahwa
keberadaan lemabaga konsinyasi ini tidak dibutuhkan
dan tidak dikenal dalam pengurusan pengeluaran
negara, karena pengeluaran negara dilakukan atas
dasar bukti yang sah dan benar serta jelas
peruntukannya. Bukti yang sah yang dimaksud dalam
kepres ini adalah bukti pengeluaran yang dilakuan
oleh menteri keuangan. Perlu kita garis bawahi
bahwa dalam mekanisme pembayaran atas belanja
APBN khususnya pembayaran ganti kerugian dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
pemabayaran langsung dilakukan oleh menteri
keuangan selaku bendahara umum negara kepada
pemegang hak atas tanah setelah tanah tersebut
dianggap cleareance, dalam artian tanah tersebut
tidak dalam sengketa, tanah tersebut tidak dijadikan
jaminan utang serta telah melengkapi syarat yang
diatur dalam Perpres no 65 tahun 2006.
Oleh karena itu penitipan uang kepengadilan
negeri tidak dibenarkan, sebab bukti penitipan uang
kepengadilan negeri bukanlah bukti pengeluaran
yang sah oleh karena itu bertentangan dengan
mekanisme pelaksanaan pembayaran atas beban
APBN.
Ketidaksempurnaan
dalam
peraturan
perundang-undangan pengadaan tanah yang telah ada
selama ini masih membuka celah dilakukannya
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai
keadilan dan penegakan hak asasi manusia. Oleh
karena itu dibutuhkan adanya keinginan yang kuat
untuk melakukan reformasi hukum pertanahan yang
bersendikan kepada nilai-nilai keadilan, yang
menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu
tugas yang diemban bersama untuk dapat
mewujudkan keadilan yang dikehendaki oleh semua
kalangan tanpa menyebabkan proses pembangunan
terhambat.
Upaya reformasi peraturan perundangundangan pertanahan tersebut dapat dilakukan
melalui berbagai cara.

a. Melakukan revisi UU No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah, revisi terhadap UU No. 20
tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah
karena sudah tidak relevan lagi dengan dinamika
sosial yang terjadi dimasyarakat serta tidak
mencerminkan nilai keadilan.
b. Melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden
no 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden No 65
tahun 2006. Peraturan presiden ini telah menajdi
arena pertarungan pemerintah dengan
masyarakat
yang
saling
bersikeras
mempertahankan haknya. Padahal sebaliknya
yang perlu disini adalah memperbaiki yang
salah, apabila peraturan presidennya yang salah
maka dapat dilakukan perbaikan, dan jika rakyat
salah dalam mempertahankan hak atas tanahnya
karena penerapan peraturan presiden tersebut,
maka pemerintah harus berani untuk digugat
kembali jika telah dibebaskan atas nama
keaddilan rakyat.
c. Stuktur kepanitiaan pengadaan tanah perlu
direformasi untukmenghasilkan musyawrah
yang berlandaskan pancasila, dalam hal ini
merupakan panitia pengadaan tanah jangan
hanya yang berasal dari instansi pemerintah saja
tetapi dari masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, dan juga pemerhati masalah
pertanahan serta cendikiawan pertanahan.
d. Pembatasan waktu musyawarah hanya 120 hari
telah menciderai nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Dimana masyarakat akan
kehilangan tanah yang telah dikuasainya secara
turun temurun hanya dalamjangka waktu 120
hari tersebut.
e. Perlu dilakukan pembedaan kepentingan umum
yang mengandung unsur komersil dengan
kepentingan umum yang mengandung unsur non
komersil, karena dalam kenyataannya pengadaan
tanah tersebut terkadang mengandung unsur
bisnis atau telah terjadi diskriminasi kepentingan
umum yang tidak berorientasi kepada hakikat

kepentingan umum yang mensejahterakan
masyarakat Indonesia;
f. Ganti kerugian dalam penagdaan tanah harus
layak dan adil, dengan pengertian bahwa
penggantian itu tiak membuat kehidupannya
semakin rendah setelah diganti untuk digunakan
bagi kepentingan umum.
g. Lembaga konsinyasi yang dikenal selama ini
sudah seharusnya dihapuskan,
karena
menimbulkan pelanggaran terhadap rasa
keadialan dalm masyarakat yang telah dicabut
hak atas tanahnya. Dan apabila msyawrah tidak
juga dapat berjalan dengan baik, maka
pemerintah dapat mengganti kawasan lain atau
langsung melakukan pencabutan hak atas tanah.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pengadaan tanah demi kepentingan umum
yang dimuat dalam berbagai regulasi belum
mencerminkan nilai keadilan dan penghormatan
terhadap hak asasi masyarakat pemegang hak atas
tanah.
Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang mengatur
tentang criteria kepentingan umum yang masih
dimungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wennag
dalam menerapkan criteria kepentingan umum,
dimana presiden juga diberi ruang untuk menentukan
kriteria kepentingan umum tersebut yang memicu
munculnya detournament de pavoir.
Dalam hal pemberian ganti kerugian, bahwa syarat
layak yang dirumuskan dalam peraturan perundangundangan tersebut tidak teraplikasi secara adil dalam
kehidupan masyarakat, hal ini dapat kita lihat dalam
proses musyawarah yang tidak tercapai maka ganti
rugi yang diberikan hanya berupa uang, sedangkan
bentuk ganti kerugian yang lain yang telah ditetapkan
uu tidak diatur lebih lanjut. Dimana masyarakat

bukan hanya menderita kerugian dalam bentuk
materil tetapi juga immaterial.
Dalam hal musyawarah pengadaan tanah yang
terjadi selama ini tidak mampu mengakomodir
seluruh kepentingan masyarakat, panitia perumus
musyawrah yang ada selama ini hanya berasal dari
pihak pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak yang
netral kurang dimasukkan untuk mengambil
keputusan bersama.
Mekanisme konsinysi yang diterapkan selama ini
tidak memberikan solusi yang baik bagi pengadaan
tanah di Indonesia, tetapi sebaliknya yang terjadi
timbul ketegangan antara masyaraka dan pemerintah
yang berujung kepada konflik. Penitipan uang
melalui penagdilan ini pada dasarnya tidak
dibenarkan oleh konstitusi dalam hal pengeluaran
negara melalui lembaga konsinyasi. Konsinyasi ini
juga dipandang menciptakan tindakkan sewenangwenang pemerintah terhadap hak milik rakyat yang
dibebaskan, padahal hak milik tersebut dijamin oleh
konstitusi negara kita.

4.

5.

6.

B. Saran
Untuk mencapai tujuan bernegara sesuai amanat
konstitusi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia yang madani, perlu dilakukan
upaya reformasi peraturan perundang-undangan
pertanahan yang dapat dilakukan melalui berbagai
cara.
1. Melakukan revisi UU No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah, revisi terhadap UU No. 20
tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah
karena sudah tidak relevan lagi dengan dinamika
sosial yang terjadi dimasyarakat serta tidak
mencerminkan nilai keadilan.
2. Melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden
no 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden No 65
tahun 2006.
3. Stuktur kepanitiaan pengadaan tanah perlu
direformasi untukmenghasilkan musyawrah

7.

yang berlandaskan pancasila, dalam hal ini
merupakan panitia pengadaan tanah jangan
hanya yang berasal dari instansi pemerintah saja
tetapi dari masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, dan juga pemerhati masalah
pertanahan serta cendikiawan pertanahan.
Pembatasan waktu musyawarah hanya 120 hari
telah menciderai nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Dimana masyarakat akan
kehilangan tanah yang telah dikuasainya secara
turun temurun hanya dalamjangka waktu 120
hari tersebut.
Perlu dilakukan pembedaan kepentingan umum
yang mengandung unsur komersil dengan
kepentingan umum yang mengandung unsur non
komersil, karena dalam kenyataannya pengadaan
tanah tersebut terkadang mengandung unsur
bisnis atau telah terjadi diskriminasi kepentingan
umum yang tidak berorientasi kepada hakikat
kepentingan umum yang mensejahterakan
masyarakat Indonesia;
Ganti kerugian dalam penagdaan tanah harus
layak dan adil, dengan pengertian bahwa
penggantian itu tiak membuat kehidupannya
semakin rendah setelah diganti untuk digunakan
bagi kepentingan umum.
Lembaga konsinyasi yang dikenal selama ini
sudah seharusnya dihapuskan,
karena
menimbulkan pelanggaran terhadap rasa
keadialan dalm masyarakat yang telah dicabut
hak atas tanahnya. Dan apabila msyawrah tidak
juga dapat berjalan dengan baik, maka
pemerintah dapat mengganti kawasan lain atau
langsung melakukan pencabutan hak atas tanah.