BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Hewan - Elusidasi Struktur Senyawa Aktif Kuda Laut (Hippocampus trimaculatus Leach.) Terhadap Sel MCF-7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Hewan

  Uraian hewan meliputi habitat, sistematika hewan, morfologi hewan, kandungan kimia dan kegunaan (khasiat) hewan kuda laut.

  2.1.1 Habitat

  Ditemukan pada kedalaman >10 m dari permukaan air dan dilaporkan maksimum pada kedalaman 100 m, koral lunak, dasar yang berpasir disekitar terumbu dangkal, dasar yang berlumpur. Untuk jenis Hippocampus trimaculatus Leach., banyak ditemukan di Australia, Kamboja, Cina, Hongkong, Taiwan, Tahiti, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam (Lourie, et al., 2004).

  2.1.2 Sistematika hewan

  Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Bangsa : Syngnathiformes Suku : Syngnathidae Marga : Hippocampus Spesies : Hippocampus trimaculatus Leach.

  Sinonim : H. mannulus Cantor 1850; H. kampylotrachelos Bleeker 1854;

  H. planifrons Peters 1877; H. dahli Ogilby 1908; H. takakurae Tanaka 1916 (Lourie, et al., 2004).

  2.1.3 Morfologi hewan

Gambar 2.1 Morfologi hewan kuda laut (Hippocampus trimaculatus Leach.) (Lourie, et al., 2004).

  Kuda laut (Hippocampus trimaculatus Leach.) memiliki warna kecoklatan, panjang maksimum 17 cm, trunk rings 11, tail rings 40-41 (38-43), head

  length /snout length 2,2 (1,9-2,4 cm), coronet rendah dan menyerupai 5 titik, tidak

  terdapatnya duri hidung, duri pipi tunggal dan berbentuk seperti ‘hook’ (Lourie, et al., 2004).

  2.1.4 Kandungan kimia

  Kuda laut mengandung 77,59 ± 1,06% protein kasar, 1,14 ± 0,46% lemak kasar dan abu total 19,68 ± 2,46% dan memiliki kandungan asam amino antara lain: threonin 2,56 ±0,76%, valin 2,70 ± 0,31%, metionin 1,56 ± 0,21%, isoleusin 1,80 ± 0,06%, leusin 2,91 ± 0,02%, fenilalanin 2,49 ± 0,38%, lisin 2,97 ± 0,14%, histidin 1,19 ± 0,07%, arginin 5,52 ± 0,22%, asam aspartat 6,00 ± 0,12%, asam glutamat 7,63 ± 0,43%, alanin 5,86 ± 0,15%, tirosin 1,36 ± 0,12%, glisin 10,01 ± 1,33%, serin 2,32 ± 0,02%. Asam amino esensial 19,18 ± 1,16%, asam amino total 56,88 ± 2,56%, mengandung asam-asam lemak jenuh dan tak jenuh serta mineral (Lin, et al., 2008).

2.1.5 Kegunaan (khasiat) kuda laut

  Kuda laut banyak digunakan oleh masyarakat untuk penyembuhan distosia pada wanita hamil, memperkuat ginjal, meningkatkan imunitas dan menghilangkan tumor. Kuda laut juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah sperma (spermatogenesis), memperpanjang estrum pada tikus dan meningkatkan stamina (Lin, et al., 2008).

2.2 Kanker

  Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel yang tidak normal, yaitu suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normal, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali. Kanker dapat menyusup ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh. Kanker bukan merupakan penyakit menular (Diandana, 2009).

  Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel normal, antara lain sebagai berikut.

  a. Sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri Sinyal pertumbuhan eksternal (mitogenic growth factor) dibutuhkan oleh sel normal untuk berproliferasi. Pada kondisi normal terdapat mekanisme regulasi terhadap rangsangan sinyal pertumbuhan sehingga proses perkembangan sel dapat dikontrol. Namun, sel kanker dapat memproduksi growth factor sendiri sehingga tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan proliferasi. Mutasi yang terjadi pada sel kanker memungkinkan sel tersebut untuk memperpendek growth factor pathway. Dengan demikian, sel kanker dapat tumbuh menjadi tidak terkendali (Pecorino, 2005; Kumar, 2005; Adina, 2009).

  b. Sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif Sinyal antiproliferatif merupakan sinyal anti pertumbuhan yang dibutuhkan oleh sel untuk mengontrol dan menjaga keteraturan sel serta homeostasis jaringan. Pada kondisi normal, regulasi sinyal pertumbuhan ini menjadi faktor penentu bagi sel untuk berproliferasi atau istirahat. Sinyal ini akan mengatur perkembangan sel dengan memblok proliferasi melalui dua mekanisme, yaitu (1) sel dipaksa keluar dari fase proliferasi yang aktif menuju fase istirahat G0 atau (2) sel diinduksi untuk melepaskan potensi proliferasi secara permanen dengan diinduksi untuk memasuki fase post mitotic. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menghindar dari sinyal anti pertumbuhan yang berhubungan dengan daur sel. Hal ini disebabkan oleh adanya mutasi pada beberapa gen (proto- onkogen) (Pecorino, 2005; Kumar, et al., 2005; Adina, 2009).

  c. Sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis Apoptosis merupakan mekanisme fisiologis pengurangan sel untuk perbaikan jaringan dan pelepasan sel yang rusak yang dapat membahayakan tubuh

  (Ruddon, 2007). Resistensi kanker terhadap mekanisme apoptosis dapat terjadi dengan melibatkan protein regulator apoptosis antara lain: p53 dan Bcl-2. Protein ini memiliki kemampuan untuk mencegah replikasi DNA yang rusak dan mendorong penghancuran sel yang mengandung DNA abnormal. Mutasi gen pada protein regulator ini menyebabkan sel kehilangan kontrol proliferasi (Kumar, et al., 2005; Adina, 2009).

  d. Kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker Sel kanker memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan pembuluh darah baru yang dinamakan angiogenesis. Kemampuan tersebut diinisiasi oleh sinyal Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblas Growth

  

Factor (FGF). Terdapat beberapa regulator proses angiogenesis antara lain:

  angiopoietin-1, angiotropin, angiogenin, epidermal growth factor, granulocyte

  

colony-stimulating factor, interleukin (IL-1), IL-6, IL-8, TNF-α, kolagen, dan

  cathepsin. Faktor-faktor angiogenensis dapat mengaktifkan angiogenic switch, sehingga pertumbuhan pembuluh darah baru menjadi tidak terkendali (Kumar, et al., 2005; Adina, 2009).

  e. Sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak sebar (metastasis) Selama perkembangannya, kebanyakan kanker pada manusia akan membentuk massa tumor primer yang mampu membebaskan diri dari jaringan awalnya, memasuki aliran darah atau pembuluh limfa, dan membentuk tumor sekunder (metastasis) di bagian tubuh yang lain. Hal ini dapat terjadi akibat mutasi yang memungkinkan peningkatan aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam invasi sel kanker dan berkurangnya adhesi antar sel oleh molekul addisi sel (Pecorino, 2005; Adina, 2009).

  f. Sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi Adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sinyal pertumbuhan dan kemampuan menghindar dari mekanisme apoptosis, sel kanker memiliki kemampuan tak terbatas untuk bereplikasi. Kemampuan replikasi tak terbatas ini berkaitan dengan enzim telomerase yang menjaga integritas telomer pada kromosom, sehingga sel tetap memiliki kemampuan untuk membelah diri. Pada kondisi normal, telomer akan mengalami degradasi (pemotongan) pada saat sel mengalami replikasi. Ketidakmampuan sel untuk meregulasi degradasi telomer inilah yang menyebabkan sel kanker memiliki kemampuan tidak terbatas untuk bereplikasi (Kumar, et al., 2005; Adina, 2009)

2.2.1 Karsinogenesis

  Karsinogenesis merupakan suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multitahap dengan adanya perubahan neoplastik pada jaringan normal yang disebabkan oleh akumulasi multimutasi genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas) (Tsao, et al., 2004). Perubahan ini diawali dari mutasi somatik satu sel tunggal yang mengakibatkan perubahan dari normal menjadi hiperplastik, displastik, dan pada akhirnya menjadi suatu keganasan atau malignansi (memiliki kemampuan metastasis atau menginvasi jaringan di sekelilingnya) (Gambar 2.2). Perubahan genetik ini termasuk perubahan seluler mendasar pada sel kanker yang dipengaruhi oleh beberapa gen seperti: tumor suppressor genes (pRb, p53,PTEN,

  E-cadherin ) dan proto-oncogenes (ras, c-myc, Bcl-2). Karsinogenesis dapat dibagi

  menjadi empat tahap utama, yaitu tahap inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis (Tsao, et al., 2004; Adina, 2009).

  Secara singkat, pembentukan dan pertumbuhan sel kanker dapat dijelaskan melalui tahapan-tahapan berikut (Diandana, 2009; Harianto, 2009).

  a.

  Fase inisiasi, yaitu ketika sel normal mulai mengalami mutasi oleh karsinogen. b.

  Fase induksi, yaitu ketika sel normal yang sedang bermutasi mulai berubah menjadi sel kanker. Fase inisiasi dan induksi tidak bisa diketahui dan sangat susah untuk dideteksi. Fase-fase ini dapat berlangsung hingga puluhan tahun.

  c.

  Fase in situ, yaitu ketika pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh. Fase ini lamanya sangat bervariasi. Mungkin saja penderita penyakit kanker berada dalam fase ini selamanya, tetapi umumnya berlangsung sampai 5 tahun.

  d.

  Fase metastasis, yaitu penyebaran kanker ke kelenjar getah bening atau organ lain yang letaknya jauh (misal kanker usus besar menyebar ke hati).

  Penyebaran ini dapat melalui aliran darah, aliran getah bening, atau langsung dari tumor.

  Pada tahap promosi, sel-sel akan memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004).

  Adanya mutasi pada satu sel tunggal normal sebagai akibat terpapar oleh karsinogen (inisiasi), akan menyebabkan progresi sel menjadi hiperplasi (promosi), diplasi (progresi) dan pada akhirnya memiliki kemampuan invasi ke jaringan sekitarnya (metastasis) (Tsao, et al., 2004; Adina, 2009).

  Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut dan munculnya keistimewaan-keistimewaan lain seperti peningkatan mobilitas dan angiogenesis (Kumar, et al., 2005). Pada tahap ini, sel-sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan terjadi karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari enzim topoisomerase (Pecorino, 2005; Adina, 2009).

Gambar 2.2 Multitahap karsinogenesis (Tsao, et al., 2004).

  Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan-jaringan lain di dalam tubuh melalui pembuluh darah, pembuluh limpa, atau rongga tubuh (Gambar 2.3) (Kumar, et al., 2005). Sel malignan yang bermetastasis ini masuk melalui basement membran menuju saluran limpoid. Sel tersebut akan berinteraksi dengan sel limpoid yang digunakan sebagai inangnya. Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan lainnya membentuk tumor sekunder dengan didukung kemampuan neoangiogenesis yang dimilikinya (Kumar, et al., 2005; Adina, 2009).

Gambar 2.3 Metastasis sel kanker melalui pembuluh limpoid (Kumar, et al., 2005).

  Tahap metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel yang disebabkan oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molocules) dan

  E-cadherin sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul-molekul

  tersebut diketahui sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel kanker, sehingga proses metastasis dapat terus terjadi. Selain itu, kemampuan angiogenesis yang telah dimiliki sel kanker mampu menjaga sel agar tetap hidup selama proses metastasis berlangsung (Kumar, et al., 2005; Adina, 2009).

2.2.2 Kanker payudara

  Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara sangat beragam (Torosian, 2002)., antara lain:

  a. Kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh radiasi yang berlebihan b. Kegagalan immune surveillance dalam pencegahan proses malignan pada fase awal c. Faktor pertumbuhan yang abnormal

  d. Malfungsi DNA repairs seperti : BRCA1, BRCA2 dan p53 Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan. Semua tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands).

  Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan dengan mammograms (Gambar 2.4) yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini (Elwood, 1993; Dolinsky, 2002; Adina, 2009).

  Faktor resiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada-tidaknya riwayat keluarga menderita kanker, pernah-tidaknya menderita kanker payudara, pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda

  (sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun), yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun, dan yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3 - 10% penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1 maupun gen BRCA2 (Dolinsky, 2002; Adina, 2009).

  Beberapa faktor yang menaikkan resiko menderita kanker payudara yang dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause), menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi minuman beralkohol 2 - 5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah menopause, dan tidak berolahraga (Dolinsky, 2002; Adina, 2009). Perlu diingat bahwa faktor-faktor resiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan. Seseorang tetap dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu pun faktor resiko tersebut. Menghindari faktor resiko tersebut dan deteksi awal adalah cara terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini.

  Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug

  

resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab

  lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah satunya adalah P-glycoprotein (Pgp) (Imai, et al., 2005). Aktivasi Pgp dan peningkatan ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi seperti taxol dan doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas Pgp dan ekspresinya mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al., 2006; Adina, 2009).

  Payudara normal Kanker payudara Payudara normal Kanker payudara a b

Gambar 2.4 Kanker payudara (Elwood, 1993; Dolinsky, 2002; Adina, 2009).

  Keterangan gambar: Proses pembentukan breast cancer yang diawali oleh pertumbuhan satu sel (a), Payudara normal (kiri) dan kanker payudara (kanan) melalui mammography

  image (b)

  Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000; Adina, 2009). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).

  Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001 dan Eccles, 2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti cyclin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinase 4), cyclin E, dan CDK2. Selain itu, aktivasi reseptor estrogen mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan utama dalam sinyal pertumbuhan, misalnya Ras, Myc, dan cycD1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK, dan MAP kinase (Hahn, et al., 2002). Di lain pihak, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1,

  BRCA2, dan p53. Namun, pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah

  lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan (transformed) akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann, et al., 2000, Clarke, 2001; Ingvarsson, et al., 2001; Adina, 2009).

2.2.3 Sel MCF-7

  Salah satu model sel kanker payudara yang sering digunakan dalam penelitian adalah sel MCF-7. Sel ini merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan reseptor estrogen (ER+) dan berasal dari pleural effusion breast

  adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan

  darah O (Crawford, 2002). Sel ini termasuk sel adherent (melekat) yang dapat ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM yang mengandung foetal bovine

  serum (FBS) 10% dan antibiotik penisilin-streptomicin 1% (ATCC, 2008). Sel ini

  mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), memiliki sifat resisten terhadap Doksorubisin (Zampieri, et al., 2002) dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Bouker, 2005). Pada sel MCF-7, Pgp diekspresikan tinggi, sehingga sensitivitas terhadap agen kemoterapi seperti doksorubisin rendah (Wong, et al., 2006).

  Penurunan konsentrasi ini dapat mengurangi efektivitas senyawa kemoterapi pada sel MCF-7. Salah satu cara untuk meningkatkan sensitivitas MCF-7 adalah dengan menghambat ekspresi dan aktivasi Pgp (Zhou, et al., 2006; Adina, 2009).

2.2.4 P-glycoprotein

  P-glycoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia yang termasuk dalam subfamili MDR/TAP (Allen, et al., 2002) Pgp dikenal dalam beberapa sebutan yakni ABCB1, ATP-binding cassette sub-family B member 1, MDR1, dan PGY1 (Choi, 2005). ABCD1 atau Pgp termasuk dalam ATP-

  

dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik antara lain: obat

  (colchicine dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adrimycin dan vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptide, bilirubin, cardiac glycoside (digoxin), glucocorticoids (dexamethasone) dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor

  

protease dan nonnucleoside reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006). Di dalam

  tubuh, Pgp ini dapat ditemukan pada sel usus, hati, tubula ginjal dan capillary endothelial (Deng, et al., 2001; Adina, 2009).

  P-glycoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki 10 - 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170-kDa dikode oleh gen

  MDR1 (Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota

  dari keluarga ATP-binding transport (Choi, 2005). Dalam sistem organ, Pgp berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi dan eliminasi obat (Matheny, et al., 2001). Kemampuan Pgp sebagai pompa efflux berguna dalam detoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari Pgp akan diikat dan dikeluarkan dari dalam sel (Gambar 2.5). Aktivitas Pgp sangat bergantung pada aktivasi Pgp oleh ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil, et al., 1998). Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp (Choi, et al., 2005). Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi sehingga menurunkan efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi ekspresi yang berlebihan, Pgp dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen kemoterapi pada kanker payudara seperti Doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat Doksorubisin sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel (Wong, et al., 2006). Pgp atau ABCD1 pertama kali diujikan sebagai multidrug resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi obat kemoterapi (Juliano, 1976; Adina, 2009).

  Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat melalui dua mekanisme yakni (1) penghambatan substrat Pgp secara langsung dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan (2) penghambatan hidrolisis ATP oleh ATase melalui ikatan substrat dengan ATP (Kitagawa, 2006). Penghambatan ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol melalui dua sisi ikatan pada ATP-binding sites dan steroid interacting region dimana ATPase berikatan dengan Pgp cytosolic domain (Kitagawa, 2006).

  Pgp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari Pgp ini dapat menyebabkan resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001).

Gambar 2.5 Mekanisme pemompaan oleh Pgp (Matheny, et al., 2001).

  Penekanan ekspresi Pgp dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme

  2

  antara lain aktivasi jalur sinyal transduksi c-Jun NH -terminal kinase (JNK) dan

  2

  inaktivasi NF-κB transcriptional factor, c-Jun NH -terminal kinase (JNK)

  2

  merupakan protein kinase yang berikatan dengan NH -terminal yang merupakan sisi aktif pada c-Jun transcriptional factor dan protein ini mampu memfosforilasi c-Jun. Fosforilasi c-Jun akan menstimulasi pembentukan ikatan dengan AP-1, suatu elemen pada gen MDR1. Pembentukan ikatan ini akan mencegah ekspresi mRNA MDR1 dan pada akhirnya akan menghambat ekspresi Pgp. Fosforilasi c- Jun tersebut dapat dilakukan oleh salvicine (quinine diterpenoid sintetik) (Zhou, et al., 2006; Adina, 2009).

  Penelitian yang dilakukan oleh Deng, et al., (2001), melaporkan bahwa aktivasi NF-κB sebagai akibat adanya stimulus dari lingkungan berupa stress, paparan agen sitotoksik, heat shock, iradiasi, genotoxic stress, inflamasi, paparan sitokin dan faktor pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi Pgp. NF-κB yang aktif mampu berikatan dengan promoter gen MDR1 sehingga proses ekspresi Pgp dapat berjalan. Inaktivasi NF-κB mampu menghambat ekspresi Pgp.

2.2.5 Siklus sel

  Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik normal maupun kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama, yakni fase S (sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya replikasi DNA kromosom dalam sel, sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2 set DNA kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000; Adina, 2009).

  Selain itu, terdapat fase yang membatasi kedua fase utama tersebut yang dinamakan Gap. G1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah fase S dinamakan G-2 (Gap-2). Pada fase G1, sel melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Fase ini merupakan fase awal cell cycle progression yang diatur oleh faktor ekstraselular seperti mitogen dan molekul adhesi. Penanda fase ini adalah adanya ekspresi dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G2, sel melakukan sintesis lebih lanjut yang memadai untuk proses pembelahan, sehingga sel siap melakukan pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).

  Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator positif dan negatif. Kelompok cyclin khususnya cyclin D, E, A dan B merupakan protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Cyclin bersama dengan kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi cyclin (D, E, A, dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel (G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus sel, yakni CDK inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor

  

suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator

negatif (Foster, et al., 2001; Adina, 2009).

  Aktivasi CDK memerlukan ekspresi cyclin (Cyc). Kompleks Cyclin-CDK dengan protein CKI dan adanya fosforilasi oleh Wee1 (tyrosin15)/ Myt1 (threonin14) dapat menyebabkan inaktivasi CDK. Aktivasi kompleks Cyc-CDK diawali dengan proteolisis CKI oleh ubiquitin, kemudian fosforilasi CDK oleh CDK-activating kinase (CAK) pada threonin161 dan penghilangan fosfat (defosforilasi) oleh Cdc25 fosfatase pada target fosforilasi Wee1 (tyrosin15)/Myt1 (threonin14) (Heuvel, 2005). CDK bekerja pada awal G1 untuk mengaktifkan

  

E2F-dependent transcription gen yang diperlukan untuk fase S (di akhir G1 untuk

  menginisiasi fase S) dan juga di akhir G2 untuk menginisiasi mitosis (M) (Nurse, 2000; Adina, 2009).

  Checkpoint pada G2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan

  mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM) kinase. Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc2-CycB baik dengan jalan memutuskan kompleks Cdc2-CycB maupun mengeluarkan kompleks Cdc-CycB dari nukleus atau aktivasi p21.

Gambar 2.6 Checkpoints siklus sel (Ruddon, 2007).

  Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai;

  (2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel memadai, dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan

  

checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel

pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).

  Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitotic,

  sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007).

  Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

2.2.6 Doksorubisin

  Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara (Thurston, et al., 1998). Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998; Rock, et al., 2003).

  Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003).

  Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005).

  Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker payudara menggunakan doksorubisin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab kegagalan terapi kanker payudara (Mechetner, et al., 1998). Resistensi ini diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain: mutasi pada target obat, kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada membran sel (Notobartolo, et al., 2005). Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).

  Doksorubisin termasuk obat golongan antrasiklin yang merupakan substrat Pgp (Mechetner, et al., 1998; Wong et al., 2006). Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp (Zhou, et al., 2006). Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006).

2.2.7 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT

  Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agen- agen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik, 2011).

  Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, 2011).

Gambar 2.7 Reduksi MTT menjadi formazan (Kupcsik, 2011).

  Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik, 2011).

  Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel (Kupcsik, 2011). Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

  % = 100%

2.2.8 Flow cytometry

  Flow cytometry merupakan suatu teknologi mutakhir yang dapat

  diaplikasikan dalam bidang biologi sel maupun medisinal klinis. Prinsip utama dalam metode flow cytometry adalah memisahkan sel atau partikel tunggal yang terdapat dalam suatu suspensi melewat suatu celah sempit dengan waktu singkat yang ditembus seberkas sinar. Sinyal optik yang terbentuk umumnya pada daerah

  

visible yang menunjukkan jenis senyawa kimia atau biologi tertentu. Pada

  umumnya sistem deteksi flow cytometry menggunakan molekul fluorescence yang menempel pada partikel yang akan diteliti. Jika partikel tersebut sel, maka bentuk penempelannya dapat di membran, sitoplasma atau inti sel. Biasanya menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal, sehingga dapat dimonitor lokasi dan jumlahnya melalui ikatannya dengan reseptor sel. Keuntungan metode ini adalah dapat mengukur partikel dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat, diperkirakan sekitar 100.000 partikel perdetik dengan 10 sampai dengan 20 parameter dapat dianalisis dan dengan teknologi komputer saat ini dapat dikerjakan analisis multiparametrik dengan mudah dan cepat (Robinson, 2004).

  Sel yang melewati berkas sinar akan menyebabkan sinar berpencar (scatterd) kedua arah yaitu forward scatterd (FS) yang parallel dengan arah sinar dan side scatterd (SS) yang arahnya tegak terhadap arah sinar. Besarnya FS sebanding dengan ukuran sel dan dapat membedakan antara pecahan sel dengan sel hidup, sedangkan SS menunjukkan morfologi sel dan emisi sinar fluorescence yang dipancarkan fluorokrom yang digunakan untuk mewarnai sel. FS dan SS masing-masing partikel memiliki keunikan sendiri, sehingga kombinasi keduanya dapat membedakan setiap partikel. Nilai FS dan SS dikonversikan dalam bentuk digital dan histogram sehingga dapat dianalisis (Rahman, 2006).

  Aplikasi utama dalam flow cytometry yang digunakan untuk memisahkan sel sesuai dengan sub tipe atau ekspresi epitop yang diinginkan adalah cell sorting atau analisis Fluororesence Activated Cell Sorter (FACS) (Rahman, 2006).

  Ketika sampel dimasukkan dan mengalami aliran hidrodinamik, masing- masing partikel akan tersinari. Ketika nilai dari sinyal scattered dan fluorescence sesuai dengan nilai yang sudah disiapkan, maka akan terjadi proses charging (pemberian muatan) pada saat keluar dari nozzle sistem fluidic. Partikel bermuatan tersebut dipisahkan sesuai dengan yang diinginkan (Rahman, 2006).

  Aplikasi penggunaan flow cytometry saat ini sangat luas, diantaranya adalah di bidang sains klinis. Aplikasi ini merupakan yang paling banyak digunakan, dengan dasar konjugat flourokrom-antibodi berikatan dengan reseptor sel. Hampir semua jenis sel manusia dapat dianalisa dengan menggunakan flow

  

cytometry , dimana masing-masing sel memiliki reseptor seluler spesifik yang disebut cluster of differentiation (CD) sehingga sistem kompleks antara antigen dengan reseptornya dapat diidentifikasi. Saat ini sudah diketahui ada 166 klasifikasi dari antigen CD (Robinson, 2004).

2.3 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Setelah diketahui senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah ditembus oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar sulit untuk ditembus oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Depkes, 2000).

  Metode ekstraksi menurut Depkes (2000), ada beberapa cara, yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi.

  1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

  (suhu kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

  Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel.

  Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi

  III (1979): Masukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Enap tuangkan atau saring.

  Secara umum maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama 3 - 5 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, sambil diaduk berulang-ulang, perendaman diulang sampai 3 kali dan maserat dipisahkan, lalu disaring dan filtrat diuapkan. Dengan pengulangan perendaman (remaserasi) sebanyak 3 kali, maka sebagian besar (>90%) kandungan kimia dari bahan akan terekstraksi. Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya:

  1. Digesti Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40 - 50ºC. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.

  2. Maserasi dengan mesin pengaduk Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus sehingga waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.

  3. Remaserasi Cairan penyari dibagi dua, seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua.

  4. Maserasi melingkar Metode ini membuat cairan penyari selalu bergerak dan menyebar. Cairan penyari dipompa dari bawah bejana penyari melalui pipa penghubung masuk ke bejana penyari, Cairan penyari oleh alat penyembur disemburkan ke permukaan serbuk simplisia. Dengan cara ini diharapkan cairan penyari akan membasahi seluruh butir serbuk yang disari. Cairan penyari akan turun ke bawah sambil melarutkan zat aktifnya. Saringan didasar bejana berfungsi untuk menghalangi serbuk simplisia turun ke bawah. Cairan penyari kemudian dipompa kembali ke bejana penyari. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang sehingga cairan penyari jenuh terhadap zat aktif.

  2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi, dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kualiitatif pada perkolat terakhir. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak.

  1. Reperkolasi Simplisia dibagi dalam beberapa perkolator, hasil pekolator pertama dipisahkan menjadi perkolat I dan sari selanjutnya disebut susulan II. Susulan II digunakan untuk menyari perkolator 2, hasil perkolator II dipisahkan menjadi perkolat II dan sari selanjutnya disebut susulan III. Pekerjaan tersebut diulang sampai mendapat perkolat yang diinginkan. Untuk cara reperkolasi dapat dilakukan pada herba Timi.

  2. Perkolasi Bertingkat Dalam proses perkolasi biasa, perkolat yang dihasilkan tidak dalam kadar yang maksimal. Untuk memperbaiki cara perkolasi tersebut dilakukan cara perkolasi bertingkat. Serbuk simplisia yang hampir tersari sempurna sebelum dibuang disari dengan cairan penyari yang baru. Penyarian akhir serbuk simplisia menggunakan cairan penyari yang baru diharapkan agar serbuk simplisia tersebut tersari sempurna. Sebaliknya serbuk simplisia yang baru disari dengan perkolat yang hampir jenuh. Dengan demikian akan diperoleh perkolat akhir yang jenuh. Perkolat dipisahkan dan dipekatkan.

  3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya dalam jangka waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi pada pendingin menetes jatuh kembali ke labu. Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar (Mayo, et al., 1955; Landgrebe, 1982).

  4. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet di mana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika tinggi cairan mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit, pemanasannya dapat diatur (Mayo, et al., 1955; Landgrebe, 1982).

  5. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (ruangan), yaitu umunya pada temperatur 40-50ºC.

  6. Infundasi Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

  Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ( ≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3.1 Ekstraksi cair-cair

  Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan, pada proses ini terjadi pemindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Bassett, dkk., 1994).

  Pemisahan yang dapat dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat, dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Bassett, dkk., 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar. Sementara itu senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).

  Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Rohman, 2007).

2.4 Kromatografi

  Kromatografi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan komponen cuplikan yang komponen-komponenya terdistribusi antara dua fase, salah satunya diam dan yang lainnya bergerak. Saat ini, kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif (analitik) maupun kuantitatif dan preparatif dalam bidang farmasi (Rohman, 2007).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

  Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau proses reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat (Gritter, et al., 1991)

  Fase diam pada KLT sering disebut penyerap, walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair. Ukuran partikel penyerap KLT biasanya lebih kecil dari 63 µm (Gritter, et al., 1991). Banyak penyerap yang telah digunakan, termasuk silika gel, selulosa, aluminium oksida, poliamid dan silika gel dengan ikatan kimia rangkap, dengan ketebalan sekitar 0,10 sampai 0,25 mm, didukung oleh plat kaca, alumunium atau plastik (Wall, 2005). Kromatografi lapis tipis-kinerja tinggi atau High Performance-Thin Layer

  

Chromatography (HPTLC) menghasilkan pemisahan dan hasil analisis yang lebih

  baik dibanding dengan KLT biasa. Kelebihan KLTKT dibanding dengan KLT terletak pada fase diamnya, yang mana pada KLTKT digunakan fase diam berukuran halus dan pori-porinya seragam serta mempunyai ketebalan lapisan 0,1 mm. Ukuran partikel fase diam yang lebih kecil ini akan menyebabkan semakin besarnya jumlah lempeng teoretis (N), karenanya pemisahan menjadi lebih efisien (Rohman, 2009).

  Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolve like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang bersifat non polar juga. Proses pengembangan akan lebih baik bila ruangan pengembangan tersebut telah jenuh dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997).