BAB II PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN UNDANG-UNDANG MEREK INDONESIA TERHADAP MEREK ASING DALAM HAL TERJADI PENDAFTARAN SECARA ITIKAD TIDAK BAIK DI INDONESIA A. Konsep Perlindungan Hukum Dalam Merek - Analisis Hukum Perlindungan Merek Asing Terhadap Tin

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN UNDANG-UNDANG MEREK INDONESIA TERHADAP MEREK ASING DALAM HAL TERJADI PENDAFTARAN SECARA ITIKAD TIDAK BAIK DI INDONESIA A. Konsep Perlindungan Hukum Dalam Merek Pada masa perkembangan globalisasi sekarang ini, Merek yang adalah salah

  satu bagian hak kekayaan intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum,

  41 yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum.

  Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada

  42 tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan.

  Jadi Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,

  41 42 Adrian Sutedi, Hak atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 91-92. http://politkum.blogspot.com/2013/05/pengertian-

  Pengertian Perlindungan hukum, perlindungan-hukum.html , diakses pada tanggal 25 September 2014

  26 yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,

  43 kemanfaatan dan kedamaian.

  44 Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat. Konsep rechtstaat

  atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep Rechtstaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule

  45 of Law ) yang dipelopori oleh A.V.Dicey.

  Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum,

  46

  yaitu :

  1. Perlindungan hukum yang preventif, adalah Perlindungan hukum bersifat pencegahan dan bertujuan untuk minimalisasi kemungkinan terjadi sengketa.

  2. Perlindungan hukum yang represif, adalah Perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

  Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang 43 Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html , diakses tanggal

  25 September 2014 44 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (PT. Bina Ilmu, Jakarta) , 1987, hlm. 72. 45 Konsep Negara Hukum, http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-5/pendidikan- kewarganegaraan/konsep-negara-hukum/ , diakses 25 September 2014 46 http://tesishukum.com/pengertian-

  Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses 25 September 2014 pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

  Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat.

  Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat

  47

  dan ”Rule of The Law”. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi 47

  a, http://www. docudesk.com, diakses pada tanggal 25 Gagasan Negara Hukum Indonesi

  September 2014 menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

  Didalam perlindungan hukum ini dikenal dua sarana perlindungan Hukum, yaitu sarana perlindungan Hukum bersifat Preventif dan saran perlindungan hukum

  48 yang bersifat Represif.

  Perlindungan Hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa. para pemilik merek diberikan wadah untuk mendapatkan perlindungan hukum. Wadah perlindungan hukum merek adalah dengan dibuatnya Undang- Undang No 15 Tahun 2001 yang mengatur tentang merek. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual meminta dan menganjurkan para pemilik merek yang sah untuk mendaftarkan merek sesuai dengan ketentuan yang ada didalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Hal ini bertujuan supaya para Pemilik merek yang sah mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang merek karena Undang-Undang merek No 15 Tahun 2001 ini menganut sistem Konstitutif. Sistem Konstitutif ini berarti bahwa jika seorang pemilik merek yang sah ingin mendapatkan perlindungan terhadap mereknya maka pendaftaran merek tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sesuatu yang diwajibkan.

  Setelah didaftarkan merek sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang- Undang No 15 Tahun 2001, maka pemilik merek mendapatkan hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek 48

  , http://fitrihidayat- Perlindungan Hukum Unsur Essensial dalam suatu Negara Hukum ub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html , diakses 25 September 2014 yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. terhadap merek terdaftar tersebut akan diberikan perlindungan.

  Permohonan Pendaftaran suatu merek tidak boleh dilandasi dengan unsur itikad tidak baik, tidak boleh memiliki persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhannya dengan merek terdaftar lainnya maupun merek terkenal. Merek yang diajukan permohonan pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual juga tidak boleh bertentang dengan poin-poin yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa suatu merek tidak boleh didaftar apabila merek tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban Umum, tidak memiliki daya pembeda, telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

  Mengenai Jangka waktu perlindungan terhadap merek diatur pada Pasal 28 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Jangka waktu yang diberikan oleh Pasal 28 ini jauh lebih lama dari jangka waktu perlindungan yang ditetapkan Pasal 18 TRIPs, yang hanya memberikan perlindungan hukum selama 7

  49 tahun dan setelah itu dapat diperbaharui lagi.

  Jangka waktu perlindungan merek ini dapat diperpanjang setiap kali untuk

  

50

  jangka waktu perlindungan yang sama. Dalam perpanjangan jangka waktu perlindungan merek ini tidak dilakukan lagi penelitian terhadap merek tersebut, juga tidak dimungkinkan adanya bantahan dari pihak lain. Perpanjangan waktu perlindungan merek ini harus dilakukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasa yang ditunjuk oleh pemilik merek yang sah.

  Permohonan perpanjangan jangka waktu ini harus telah diajukan dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan merek. Permohonan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar, diterima atau disetujui apabila:

  1. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek.

  2. Barang atau jasa sebagaimana dalam Sertifikat Merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan.

  Jadi selama jangka waktu perlindungan merek berlaku, maka Undang-Undang merek memberikan perlindungan merek terdaftar tersebut. Walaupun sebuah merek telah didaftarkan dan mendapat perlindungan tetap tidak menutup kemungkinan 49 Jangka Waktu Perlindungan Merek , http://merek-paten-

  nurdin.blogspot.com/2007/11/jangka-waktu-perlindungan-merek.html , di akses pada tanggal 14 Oktober 2014 50 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 238

  timbulnya perlanggaran terhadap merek terdaftar tersebut. Pencegahan akan pelanggaran terhadap merek sebenarnya telah dilakukan oleh pihak Dirjen HKI, mereka melakukan pengecekan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Merek 2001. Namun pengecekan ini hanya bersifat First To File, tanpa pengecekan lebih lanjut apakah merek yang didaftarkan tersebut adalah merek yang sudah didaftarkan

  51

  terlebih dahulu atau tidak. Oleh karena itu pelanggaran merek berupa pendaftaran merek secara itikad tidak baik kerap terjadi. Maka dari itu diperlukan juga sarana perlindungan hukum yang bersifat Represif.

  Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Negeri di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum ini bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

  Perlindungan hukum yang bersifat represif ini juga sangat diperlukan dalam hal perlindungan merek karena walaupun suatu merek telah terdaftar kerap menjadi sasaran dari pelanggaran merek, terutama merek terkenal yang sering menjadi sasaran

51 Metha Kurniawan, Perlindungan Hukum Merek Di Indonesia, (Jakarta: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal 16.

  pemboncengan merek. penyelesaian sengketa, Undang-Undang merek No 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa peradilan yang berwenang adalah pengadilan Niaga.

  Didalam Pasal 76 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhannya untuk barang atau jasa sejenis berupa gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Selain gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek, pada Pasal 80 yang mengatur tentang gugatan pembatalan merek.

  Mengenai sanksi Pidananya pada KUHP ada di atur pada Pasal 253-262 KUHP, tetapi dengan ada pembaharuan Undang-Undang merek dengan Undang- Undang No 15 Tahun 2001 yang didalam Pasal 91-94 ada pengaturan sanksi pada dan oleh karena juga Undang-Undang No 15 tahun 2001 ini adalah lex spesialis maka Pasal KUHP yang mengatur hal yang sama di kesampingkan.

  Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan, juga di kenal penyelesaian melalui arbitrase atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud dengan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya, arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk yaitu : a. Klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.

  b. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

  Selain penyelesaian sengketa melalui arbitrase, juga beberapa jenis lagi dari alternatif penyelesaian sengketa. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

  52 mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

  Mengenai Konsultasi di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian konsultasi. Pengertian konsultasi menurut Black Law

  Dictionary

  yang pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien

  53 tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

  Negosiasi Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya 52 Gunawan Widjaya Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

  2001), hlm 86 53 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm 55 harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan oleh pihak- pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa sudah barang tentu telah berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan/ kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.

  Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (imparsia) yang turut aktif memberikan

  54

  bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian. Namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Dalam kaitan dengan Mediasi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. 54 Ibid , hal 79.

  Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga, pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Konsiliator dalam proses konsiliasi ini memiliki peran yang cukup berarti, oleh karena konsilisator Konsiliator juga berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para

  55 pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antar mereka.

B. Perlindungan Hukum Merek Dari Berbagai Aspek

  1. Perlindungan Merek secara Pidana

  Perbuatan yang dilarang berhubungan dengan merek juga diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP mengenai perbuatan yang dilarang berhubungan dengan merek ini diatur pada pasal 253-262 KUHP.

  Dalam hal ini rumusan perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikelompokkan, antara lain :

  1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun, baik itu menaruhkan sesuatu yang palsu dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan barang-barang tersebut seolah-olah merek atau tanda 55 yang ditaruhkan itu asli dan tidak palsu.

  konsoliasi, http://nielasafiraaa.blogspot.com/2014/01/konsoliasi.html, diakses pada tanggal

  27 September 2014

  2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menaruhkan merek atau tanda pada barang yang dengan melawan hak memakai cap yang asli.

  3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menambah atau memindahkan Merek Negara yang asli atau tanda pembuat yang dikehendaki oleh, di dalam, pada atau atas barang-barang lain yang terbuat dari emas atau perak dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan barang itu, seolah-olah merek atau tanda itu dari mula-mulanya ditaruhkan pada barang itu.

  4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau memalsukan ke negara Indonesia materai, tanda, atau merek palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak, atau barang-barang yang ditaruh materai, tanda atau merek itu dengan melawan hak, seolah-olah materai, tanda atau merek asli tidak dipalsukan dan tidak dibuat dengan melawan hak atau tidak melawan hak ditaruhkan pada barang itu

  5. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini memalsukan ukuran dan takaran timbangan yang sudah dibubuhi tanda dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah asli dan tidak dipalsukan

  6. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menbuangkan tanda batal dari barang yang telah ditera dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan barang tersebut seolah-oleh tidak dibatalkan.

  7. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menyediakan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk

  56 melakukan kejahatan memalsukan merek.

  Sanksi terhadap suatu tindakan yang melanggar merek, selain diatur khusus dalam ketentuan sanksi peraturan Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek, juga terdapat ketentuan KUH Pidana yang mengatur sanksi terhadap perlanggaran merek. salah satunya adalah Pasal 393 KUH Pidana yang pada butir pertama menyatakan bahwa “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menamarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan. barang-barang yang 56 Muhammad Djumhana dan Djubaedilah, Op. Cit, Hal 272 diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untui menyatakan asalnya barang, nama sehuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

  Pasal 393 KUHPidana butir kedua menyatakan bahwa “Jika pada waktu melakukan kejahatan belurn lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”

  Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek juga memuat pengaturan tentang pidana. Ketentuan pidana pada Undang-undang No 15 Tahun 2001 ini bersifat khusus atau lex spesialis dorogat lex generalis atau hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Ketentuan asas Hukum ‘Lex Specialis” dapat mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam KUH Pidana terhadap aturan yang memiliki kesamaan. Dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tenang bentuk deliknya untuk masalah merek diatur dalam Pasal 95, yang mnyatakan bahwa deliknya bukan delik biasa namun delik aduan, adapun delik aduan delik dimana walaupun telah terjadi tindak pidana namun polisi tidak proaktif dalam penindakan sebelum ada pengaduan, kemudian untuk delik aduan ini dapat dicabut pengaduannya dan dapat tidak dilanjutkan.Adapun pasal-pasal yang mengatur tentang pidana merek dalam hal merek dagang dan jasa ini diatur dalam Pasal 90-94 Undang-Undang No 15 Tahun 2001.

  Dalam Pasal 90 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 mengatur sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

  1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) terhadap pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.

  Pasal 91 mengatur tentang tindakan penggunaan tanpa hak merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain, sanski yang dikenakan adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah)

  Selain itu, sesuai dengan penambahan ketentuan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. maka terhadap pelanggaran kedua hal tersebut juga telah diatur sanksi pada Pasal 92 dan Pasal 93 Undang-Undang No 15 Tahun 2001.

  Dalam Pasal 92 diatur tentang penggunaan tanpa hak terhadap tanda yang memiliki persamaan dengan indikasi geografis milik pihak lain. Pada ayat (1) Pasal 92 diatur mengenai sanksi pidana terhadap pihak yang terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang terdaftar, sanksi yang diberikan berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah).

  Pada ayat (2) 92 Pasal diatur Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

  Pada ayat (3) Pasal 92 mengatur bahwa Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

  Mengenai perlindungan terhadap indikasi asal diatur pada Pasal 93, yang pada intinya mengatur pemberian sanksi berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) terhadap pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut.

  Perbuatan tindak pidana berkaitan dengan perlanggaran indikasi geografis dan indikasi asal, semuanya di klasifikasikan sebagai kejahatan meskipun dilakukan pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun kata-kata yang menunjukkan bahwa barang-barang tesebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar atau dilindungi berdasarkan indikasi geografis.

  Dalam Pasal 94 mengatur larangan terhadap perdagangan barang atau jasa yang diketahui atau patut diduga sebagai barang atau jasa yang dihasilkan dengan melanggar ketentuan Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93. Pada ayat 1 Pasal 94 mengatur sanksi yang berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah). Pada ayat 2 dikatakan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

  Ketentuan-ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas yang memuat sanksi pidana memberikan perlindungan kepada orang atau badan hukum berhak atas merek terdaftar dengan jalan melarang pemakaian merek secara tidak sah oleh pihak lain. Dengan adanya sanski pidana sebagaimana di atur pada pasal 90-95 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, tidak menutup kemungkinan pihak pemilik merek untuk menggugat secara perdata.

  Ketentuan mengenai penyidikan terhadap tindak pidana di bidang merek diatur dalam pasal 89 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal diberi kewenangan khusus sebagai penyidik. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberi kewenangan sebagai berikut :

  a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; b) melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a; c) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana dibidang Merek; d) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; e) melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek; dan f) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek.

  Penyidik Pegawai Negeri sipil harus tetap berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara, terutama dalam hal pemberitahuan dimulai proses penyidikan serta dalam hal menyampaikan laporan penyidikan kepada Penuntut Umum harus melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI.

  

57

2. Perlindungan Merek Secara Perdata

  Undang-Undang No 15 Tahun 2001 mengatur bahwa pemilik merek yang sudah terdaftar dalam Daftar Umum Merek akan mendapatkan hak atas merek dan mendapatkan perlindungan selama 10 tahun. pemilik merek oleh undang-undang diberikan hak untuk mempergunakan sendiri dan atau menguasakan kepada orang lain untuk mempergunakan merek yang telah didapatnya dari Negara dalam bentuk 57 CST Kansil, Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindutrian dan Hak Cipta), (Jakarta, Sinar

  Grafika, 2001), Hal 45 lisensi. Biasanya merek yang sudah memiliki reputasi yang bagus menghadapi ancaman dari tindakan perlanggaran merek pemakaian merek tanpa hak, pemalsuan ataupun pemboncengan merek oleh pihak lain, tujuan dari pihak lain supaya bisa mendapatkan keuntungan dari memalsukan atau membonceng ketenaran dari merek yang memiliki reputasi bagus tersebut.

  Dalam hal suatu merek digunakan oleh pihak lain tanpa izin tentu akan sangat merugikan pemilik merek terdaftar, kerugian itu tidak hanya kerugian materiil berupa uang atau barang tetapi juga menimbulkan kerugian inmateriil. Kerugian inmateriil ini bisa berupa turun nilai penjualan dari merek tersebut. Maka untuk itu Negara melalui aturan hukumnya berupa undang-undang untuk melindungi pemilik merek yang sudah terdaftar, Undang-undang memberikan kesempatan kepada pemilik merek untuk melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak-haknya untuk menggunakan atau memanfaatkan hak atas mereknya.

  Pemilik merek terdaftar jika mereknya digunakan oleh pihak lain tanpa seizin pemilik merek terdaftar maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan melanggar hukum (pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sebagai pihak penggugat harus dapat membuktikan bahwa penggugat oleh karena perbuatan melanggar Hukum

  58

  yang dilakukan tergugat, telah mengalami kerugian. Gugatan ini bersifat keperdataan, tidak bisa menyebabkan pembatalan merek. dan gugatan ini diajukan melalui pengadilan Niaga. Jadi pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap orang ataupun badan hukum yang menggunakan mereknya, tanpa hak berupa

58 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 269

  permohonan ganti rugi dengan penghentian pemakain merek tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 76 Ayat (1) b Undang-Undang No 15 Tahun 2001.

  Gugatan atas ganti kerugian atau penghentian dapat juga dilakukan oleh mereka yang mendapatkan lisensi dari pemilik merek baik sendiri ataupun secara bersama-sama. Dalam rangka untuk mengurangi kerugian dari yang lebih besar atas penggunaan merek oleh pihak lain maka pemilik merek ataupun penerima lisensi dapat menyampaikan permohonan kepada hakim agar memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan atau perdagangan barang dan jasa.

  Hakim dalam pemeriksaan gugatan tersebut dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan perdagangan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut atas permohonan pihak penggugat. Permohonan ini diatur dalam Pasal 180, dikenal sebagai tuntutan provisi. Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan

  59

  sela yang berbeda dengan putusan akhir. Dalam hal ini tergugat juga dapat dituntut pula menyerahkan barang yang diproduksi dengan menggunakan merek secara tanpa hak tersebut, Hakim dapat menmerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Perlindungan Hukum Merek melalui Administrasi Negara

  Dalam hal terjadi perlanggaran merek, negara juga bisa melakukan upaya melindungi pemilik merek yang sah. Upaya tersebut bisa melalui pengawasan pabean dan pegawasan standar industri

59 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori

  dan Praktek , ( Bandung : Mandar Maju, 2005) Hal 107

  Pengawasan terhadap pabean, terhadap ekspor dan impor barang juga diatur dalam pasal Pasal 9 Konvensi Paris menyatakan bahwa setiap negara peserta Konvensi Paris harus melakukan tindakan penyitaan terhadap barang impor milik warga negaranya dalam hal barang tersebut memakai merek dagang yang tidak sah.

  Atau sekurang-kurangnya mengeluarkan larangan impor terhadap barang-barang tersebut. Dalam hal terindikasi bahwa barang-barang yang diimpor ada pemalsuan terhadap sumber barang-barang ataupun identitas pembuat maka dapat dilakukan tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut.

  Perundang-undangan Kepabeaan di Indonesia juga telah memuat ketentuan ataupun mekanisme perlindungan hukum terhadap merek. Pada Bab X Undang- Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengatur ketentuan Larangan Pembatasan Impor Atau Ekspor serta Pengendalian Impor atau Ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pengaturannya dimulai dari pasal 53-64

60 Undang-Undang no 10 tahun 1995.

  Walaupun fungsi pengawasan terhadap barang ekspor-impor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Untuk menjamin kelancaran dalam pengendalian terhadap ekspor-impor barang hasil pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, maka pemilik Hak kekayaan intelektual harus melakukan tindakan ataupun upaya aktif dalam hal mencegah terjadinya ekspor-impor barang dagangan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Dalam hal bilamana pemilik hak kekayaan intelektual mengetahui barang dagangan ekspor-impor merupakan barang dagangan hasil 60 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 277 pelanggaran atas merek sahnya maka pemilik hak kekayaan intelektual tersebut bisa meminta ke Pengadilan Negeri Setempat untuk mengeluarkan perintah tertulis yang ditujukan kepada Pejabat Bea Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang ekspor-impor dari kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta. Pasal 54 Undang-Undang no 10 tahun 1995 mengatur Pengajuan penangguhan sementara di Pengadilan Niaga setempat harus memenuhi kelengkapan sebagai berikut :

  1. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan

  2. Bukti pemilikan merek atau Hak cipta dari yang bersangkutan

  3. Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea Cukai

  4. Jaminan Kelengkapan untuk mengajukan permohonan penangguhan bersifat mutlak. Keberadaan jaminan yang cukup nilainya sebagai salah satu kelengkapan untuk mengajukan permohonan penangguhan ini dimaksudkan untuk :

  1. Melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu

  2. Mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak

  3. Melindungi Pejabat Bea Cukai dari kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi sebagai akibat dari dilaksanakannya Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga

  Selain pengawasan oleh pabean dalam hal ekspor dan impor barang untuk mencegah terjadinya perlanggaran terhadap hak atas merek terdaftar , pengawasan terhadap merek dilakukan oleh Lembaga Badan Standar Industri Indonesia juga penting. Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap merek secara tidak langsung Lembaga badan standar Industri di Indonesia biasa nya memiliki Penilaian yang sering disebut SNI atau kepanjangannya Standar Nasional Indonesia.

  61 Dalam

  Undang-Undang Tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuian Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat ke 7 menyatakan bahwa :

  “Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

  Adapun tujuan dibuatnya Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian diatur dalam

  Pasal 3 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuian bertujuan : 1) meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi;

  2) meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara,baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

  3) meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri.

  Biasanya barang-barang dagangan hasil dari pemalsuan merek dibuat dengan tidak memperhatikan kualitas pada merek aslinya. Hal ini dikarenakan para pelaku 61 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 278 pelanggaran merek ataupun pemalsuan merek memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Para pelaku pemalsuan merek akan memproduksi barang-barang dagangannya dengan biaya serendah-rendahnya, hal ini mengakibatkan bahan-bahan yang digunakan dalam memproduksi barang daganganya bukanlah bahan-bahan dengan kualitas bagus. Dengan demikian patut diduga bahwa kebanyakan barang dagangan yang merupakan hasil pemalsuan merek dapat dikatakan tidak memenuhi standar dari merek aslinya dan mungkin ada juga yang tidak memenuhi standar industri yang telah ditentukan. Hal ini lah yang menjadi salah satu objek pengawasan dari Badan Standar Industri. Jadi Badan pengawasan Standar Industri bertindak aktif dalam pengawasan terhadap merek dagang yang

  62

  beredar di dalam masyarakat

  

C. Pembatalan Pendaftaran Merek Terdaftar dan Penghapusan Merek

Terdaftar

  Pengaturan mengenai pembatalan merek terdaftar ini dapat ditemukan dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

  Pembatalan merek terdaftar hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan seperti jaksa, yayasan atau lembaga di bidang konsumen dan majelis lembaga keuangan atau juga oleh pemilik merek dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga, yang wilayah hukumnya meliputi alamat pemilik merek terdaftar yang akan dibatalkan. Kecuali apabila pemilik merek terdaftar sebagai tergugat

  63 berada di luar negeri, gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga di Jakarta.

  62 63 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 279 Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 54

  Pasal 68 (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa gugatan pembatalan pendaftaran merek diajukan berdasarkan alasan yang terdapat dalam Pasal 4, 5, dan 6. Pasal 4 menyatakan bahwa merek tidak didaftar oleh pemohon beriktikad tidak baik. Pasal 5 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar bila bertentangan dengan Undang-Undang, tidak memiliki daya pembeda, merek menjadi milik umum dan merupakan keterangan yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran. Dan Pasal 6 menyatakan bahwa permohonan merek ditolak bila mempunyai persamaan dengan merek milik pihak lain, serta dengan indikasi geografis yang sudah terkenal, bendera, lambang Negara, cap resmi Negara kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

  Tenggang waktu gugatan pembatalan merek terdaftar tercantum dalam Pasal

  69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah 5 ( lima ) tahun sejak tanggal

  64

  pendaftaran. Namun, khusus untuk gugatan pembatalan yang didasarkan atas alasan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum dapat diajukan kapan saja tanpa batas waktu.

  Seperti yang telah diketahui, gugatan pembatalan merek terdaftar diajukan kepada Pengadilan Niaga, dan terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut hanya

  65

  dapat diajukan kasasi. Setelah putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual akan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan member catatan tentang alasan dan 64 Nurachmad, Much, Segala Tentang HAKI Indonesia, (Jogjakara : Penerbit Buku Biru,

  2012), hal 77 65 Siadin, O.K., Op.Cit, hal 393

  tanggal pembatalannya serta atau kuasanya. Dengan pembatalan merek terdaftar

  66 tersebut, berakhir pula perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.

  Selain mengatur tentang pembatalan merek, Undang-Undang merek juga mengatur tentang penghapusan pendaftaran merek. Pengaturan mengenai Penghapusan pendaftaran Merek yang berlaku sekarang diatur dalam Bab VIII mengenai Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek dari Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam Undang-Undang ini,

  Pasal 61 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum dapat dilakukan atas prakarsa dari Direktorat Jenderal HAKI ataupun berdasarkan prakarsa dari pemilik merek tersebut. Kemudian

  Pasal 62 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan: “Permohonan penghapusan pendaftaran Merek oleh pemilik merek atau Kuasanya, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa, diajukan kepada Direktorat Jenderal” Penghapusan pendaftaran merek juga dapat lakukan oleh pihak ketiga dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga, hal ini sebagaimana diatur dalam

  Pasal 63 yang menyatakan bahwa : “Penghapusan pendaftaran Merek berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat pula diajukan oleh pihak 66 ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga”

  Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia , (Bandung : PT.Alumni, 2003), Hal 347 Sehingga berdasarkan Pasal-pasal 61,62 dan 63 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diatas, dapat diketahui bahwa ada tiga cara penghapusan pendaftaran merek terdaftar, yaitu:

  1. Penghapusan pendaftaran merek terdaftar atas prakarsa Direktorat HAKI,

  2. Permohonan penghapusan pendaftaran merek terdaftar oleh pemilik merek sendiri dan 3. gugatan penghapusan pendaftaran merek terdaftar di pengadilan oleh pihak

  67 ketiga.

  Pasal 61 (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ditentukan secara limitatif alasan dari penghapusan pendaftaran merek yaitu: Merek tersebut tidak digunakan (non use) Merek yang bersangkutan tidak digunakan oleh pemilik mereka setelah didaftarkan dalam daftar umum merek dalam perdagangan barang dan jasa dan juga merek tersebut tidak pernah dipakai lagi selama 3 tahun berturut-turut, baik sejak tanggal pendaftaran ataupun dari pemakaian terakhir. Dalam praktik merek, alasan untuk menghapus suatu pendaftaran merek atas dasar non use pembuktiannya sulit, karena bukan merupakan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa suatu merek tidak dipakai, dan jika alasan ini yang dipakai untuk menghapus pendaftaran merek oleh Direktorat Merek, pemilik merek yang mereknya akan dihapus akan berusaha untuk mengedarkan lagi mereknya dengan barang-barang yang bersangkutan, atau memberi bukti bahwa sesungguhnya pemilik merek tersebut sudah

  68

  memakai merek itu. Misalnya, barang yang dijual dalam kualitas yang sedikit kepada konsumen, bisa juga dengan menunjukkan bukti-bukti lain berupa faktur- faktur telah menjual ke beberapa toko di dalam wilayah Indonesia.

  67 68 Rachmdi Usman, ibid., hlm. 360.

  Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 82 Undang-Undang memberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun untuk dipergunakannya suatu merek untuk mengantisipasi perkembangan teknologi yang berkembang dengan pesat. Sehingga merek-merek yang sifatnya hanya didaftar saja tanpa pernah dipergunakan dalam kegiatan produksi barang dan jasa, akan mengganggu investasi dan perekonomian bangsa. Hal inilah yang berusaha dicegah dengan memberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun.

  Penghapusan suatu merek terdaftar juga bisa terjadi apabila merek terdaftar tersebut digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai; Merek tersebut digunakan untuk melindungi jenis barang atau jasa yang berbeda baik yang berada dalam satu kelas apalagi untuk jenis barang yang berbeda kelasnya. Bahkan, dalam penjelasan Pasal 61 (2) Undang-Undang, ketidaksesuaian dalam penggunaan tersebut meliputi, pertama bentuk penulisan kata atau huruf, dan kedua penggunaan warna yang berbeda. Hal ini kemungkinan terjadi dalam dunia perdagangan jika pemilik merek merasa mereknya mempunyai bentuk yang kurang menarik dan warnanya

  69 kurang cocok, sehingga pemilik merek tersebut menggunakan merek yang berbeda.

  Tujuan dari Undang-Undang memperluas pengertian ketidaksesuaian dalam penggunaan warna yang berbeda, untuk membina terciptanya penggunaan merek yang jujur atau fair use dan beriktikad baik (good faith). Hal ini menyiratkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek terdaftar, tidak boleh dipergunakan dengan curang dan harus beriktikad baik. 69 Ibid , hal 84

  Penghapusan pendaftaran merek biasa atas prakarsa Direktorat Merek. Direktorat Merek diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan represif, yang secara ex-officio dilakukan berdasarkan kuasa yang diberikan Undang-Undang dapat melakukan penghapusan pendaftaran merek. Pasal 61 (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 memperingatkan apabila Direktorat Merek hendak mengambil tindakan menghapus pendaftaran merek atas prakarsa sendiri, selain harus berdasarkan pada alasan yang sah menurut Undang-Undang, juga mesti didukung oleh bukti yang cukup bahwa: a. Merek tidak dipergunakan berturut-turut selama 3 ( tiga ) tahun atau lebih dalam perdagangan barang atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Ditjen HAKI.

  b. Merek yang digunakan untuk jenis barang atau jasa tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya,teremasuk pemakaian

  70 merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar.

  Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri disikapi oleh Direktorat Merek dengan mencari bukti-bukti atau mendasarkan pada masukan dari masyarakat guna dijadikan bahan pertimbangan. Pemilik merek diberikan kesempatan untuk melakukan upaya pembelaan untuk dikecualikan dari ketentuan tentang penghapusan ide dengan mengajukan alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan oleh kantor merek, misalnya produk makanan dan minuman yang izin peredarannya menjadi kewenangan instansi lain atau keputusan pengadilan yang bersifat sementara mengenai penghentian sementara pemakaian merek selama perkara berlangsung. Apabila terdapat bukti yang cukup untuk menghapus pendaftaran merek, 70 Nurachmad, Much, Op.Cit , hal 75 penghapusan pendaftaran merek yang dilakukan oleh Direktorat Merek akan dicoret dalam Daftar Umum Merek dan akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

  Pencoretan merek dari Daftar Umum Merek mengakibatkan berakhir perlindungan hukum atas merek tersebut.

  Jika dilihat dari Undang-Undang Merek, Direktorat Merek diharuskan untuk bekerja aktif dalam mengawasi pelaksanaan pemakaian merek terdaftar. Hal ini tentu saja merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena untuk mendapatkan bukti-bukti

  71

  penggunaan merek yang menyimpang, tentu saja tidak gampang. Apabila keputusan yang diambil Direktorat Merek keliru, Direktorat Merek dapat digugat oleh pemilik merek yang mereknya dihapus untuk membatalkan penghapusan pendaftaran mereknya ke Pengadilan Niaga.

  Selain penghapusan merek berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pada prinsipnya Direktorat Merek dapat melakukan penghapusan pendaftaran yang diajukan oleh pemilik merek terdaftar. Landasan prinsip ini dapat disimpulkan dari

  Pasal 62 (1) yang menegaskan: “Permohonan penghapusan pendaftaran Merek oleh pemilik Merek atau Kuasanya, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa, diajukan kepada Direktorat Jenderal”