Tindakan Passing Off Dalam Penegakkan Hukum Merek Terkait Perlindungan Konsumen

(1)

TINDAKAN

PASSING OFF

DALAM PENEGAKKAN HUKUM

MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

MUHAMMAD FERDIAN

NIM: 070200386

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINDAKAN

PASSING OFF

DALAM PENEGAKKAN HUKUM

MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

MUHAMMAD FERDIAN

NIM: 070200386

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha, SH. M.Hum NIP: 197501122005012002

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. T. Keizerina Devi S.H.,C.N.,M.Hum Windha, SH M. Hum NIP: 197002012002122001 NIP: 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Alhamdulilliahi Robbil ‘alamiin, puji dan syukur sudah sepantasnya Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat dan rahmatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini Penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Shalawat beriring salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan dan kezaliman kealam menuju alam yang terang benderang dan berilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Skripsi ini berjudul “TINDAKAN

PASSING OFF DALAM PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN“.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Penulis sendiri. Walaupun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan, bimbingan serta masukan dari Bapak dan Ibu Dosen serta rekan-rekan Penulis. Maka sudah sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan..

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Wali Penulis selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara,

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi S.H.,C.N.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu, dan memberi petunjuk serta bimbingan sehingga skripsi ini selesai.

7. Ibu Windha S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang selalu membantu dan membimbing Penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

8. Ibu Windha S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Ramli Siregar, S.H, M.H, selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera.

10.Dosen-Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

11.Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas sebagai tenaga pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu dan pandangan hidup kepada Penulis selama Penulis menempuh ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

12.Tak lupa pula kepada seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Adzis Djafar dan Ibunda Rahmahyunis yang telah memberikan segalanya bagi penulis baik materil maupun moril yang tak bisa ternilai harganya sehingga Penulis dapat terus melangkah sampai sekarang ini mengejar apa yang telah dicita-citakan Penulis. Doa dan bimbingan beliau akan selalu diharapkan oleh Penulis agar terus dapat membahagiakan dan membanggakan bagi ayah dan mamak tercinta.

2. Buat kakak-kakakku yang tercinta, harapan orang tua hanya ada pada kita semua. Semoga kita semua dapat terus memberi arti yang bermakna dan terus membahagiakan kedua orang tua kita. Amin.

3. Buat nenek dan almarhum kakek, almarhum nenek dan almarhum atok (Amin, akhirnya cucu kalian sarjana juga) dan tak lupa keluarga besar Penulis baik dari pihak mamak maupun pihak ayah yang telah mendukung dan terus memberi semangat untuk menyelesaikan studi Penulis.

4. Buat sahabat-sahabat Penulis yang berada di PEMA Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Periode 2009/2010, terima kasih atas segala kebaikan, persahabatan, dan kehangatan yang telah kita jalani selama ini.


(6)

Semoga persahabatan ini dapat terus terpelihara untuk ke depannya. Salam Persahabatan dan Penghargaan Terdalam bagi ikatan kekeluargaan yang telah kita lalui.

5. Buat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum USU sebagai organisasi yang dijadikan Penulis sebagai wadah tempat bernaung yang telah memberikan banyak kesempatan bagi Penulis untuk menimba ilmu, menempah diri dan menjalin ikatan kekeluargaan yang hangat dalam menjalani kehidupan di kampus. Hasil bukanlah segalanya, tetapi suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan kerja keraslah yang mampu membuat sesuatu itu menjadi lebih bermakna. Semoga semua ilmu, kekeluargaan dan rasa ini dapat menjadi pengalaman, motivasi dan semangat yang akan selalu mendorong Penulis ke arah yang lebih maju dan lebih baik. Hal yang sangat berarti bagi Penulis terjerumus dan hidup di dalam gua HMI. yang dalam dan terang benderang yang terus mengalirkan air jernihnya.Akhirnya, Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai dan Usahakan Sampai Yakin. Jayalah HMI. Amin. 6. Buat kakanda-kakanda baik senioren maupun alumni di tubuh HMI yang turut serta membesarkan, memberi ilmu dan pandangan hidup untuk Penulis Almarhum Bang Hasnil, B’ Endah, B’ Iqbal, B’ Taufiq Umardhani, B’ Gultom, B’ Muluk, B’ Khomaidi, B’ Rinaldi, B’ Maratua Harahap, B’ Jamil, B’ Wahana, B’ Yoa, K’ Karina, K’ Tyas, B’ Bombom “ada-ada aja puuuuuunnnn...”, B’ Ucok “siapa dia...???”, B’ Kocik, B’ Iqbal, B’ Erwin dan kakanda–kakanda yang lainnya. Terima kasih atas ilmu, motivasi dan sarannya yang bermanfaat bagi Penulis.


(7)

7. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis akan selalu menghargai dan mengingat dukungan dan kebersamaanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah, Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

Medan, Maret 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI ………... v

ABSTRAKSI……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah………. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……… 8

D. Keaslian Penulisan……….. 9

E. Tinjauan Kepustakaan………. 10

F. Metode Penulisan……… 27

G. Sistematika Penulisan……….. 29

BAB II PENGATURAN PASSING OFF DALAM SISTEM HUKUM MEREK INDONESIA A. Pengertian Passing off……… 31

B. Passing Off dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merekl………..……… 36

C. Passing Off dan Persaingan Curang……… 47

BAB III PENEGAKAN HUKUM MEREK DALAM TINDAKAN PASSING OFF di INDONESIA A. Pelanggaran Merek di Indonesia……….….………. 55

B. Bentuk-Bentuk Tindakan Passing Off di Indonesia………. 59

C. Penegakan Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off di Indonesia……….……… 65


(9)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN DARI AKIBAT TINDAKAN PASSING OFF

A. Hak-Hak Konsumen dalam UU No 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen……… 72 B. Akibat dari Tindakan Passing Off bagi Konsumen.….. 76 C. Upaya-Upaya dalam Memberikan Perlindungan Hukum

Kepada Konsumen……… 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 87

B. Saran………..……….. 88


(10)

ABSTRAKSI

TINDAKAN PASSING OFF DALAM PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

Muhammad Ferdian1

Dr. T. Kezeirina Devi C.N.,S.H., M.Hum2 Windha S.H., M.Hum3

Merek memiliki nilai yang strategis dan penting baik bagi produsen maupun konsumen, terutama merek terkenal. Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum, salah satunya adalah pemboncengan reputasi (passing off). Passing off ini tidak hanya merugikan produsen sebagai pemilik merek terkenal suatu produk namun juga merugikan konsumen karena konsumen akan mendapat barang dengan kualitas yang lebih rendah dari aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan ataupun kesehatan konsumen tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam perlindungan konsumen sehingga perlu diteliti dalam penulisan ini yaitu tentang pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia, penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia dan upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off ini.

Metode penelitian yang di pakai dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penyusunan skripsi ini menggunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

Passing off dalam sistem hukum merek Indonesia tidak diatur secara khusus dan tegas namun bentuk perbuatan dari passing off merupakan pelanggaran hak merek terkenal baik yang terdaftar atau tidak terdaftar untuk barang/jasa sejenis maupun tidak sejenis. Berkenaan dengan penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia berdasarkan UU Merek 2001 sudah berjalan, baik penegakan hukum secara preventif maupun secara represif meskipun perlu lebih ditingkatkan agar lebih dapat memberikan kepastian hukum. Sedangkan terhadap konsumen, upaya memberikan perlindungan hukumnya juga diberikan dalam bentuk perlindungan preventif dan represif.

Kata kunci: Passing Off, Merek Terkenal, Perlindungan Konsumen.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU. 2 Dosen Pembimbing I.


(11)

ABSTRAKSI

TINDAKAN PASSING OFF DALAM PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

Muhammad Ferdian1

Dr. T. Kezeirina Devi C.N.,S.H., M.Hum2 Windha S.H., M.Hum3

Merek memiliki nilai yang strategis dan penting baik bagi produsen maupun konsumen, terutama merek terkenal. Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum, salah satunya adalah pemboncengan reputasi (passing off). Passing off ini tidak hanya merugikan produsen sebagai pemilik merek terkenal suatu produk namun juga merugikan konsumen karena konsumen akan mendapat barang dengan kualitas yang lebih rendah dari aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan ataupun kesehatan konsumen tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam perlindungan konsumen sehingga perlu diteliti dalam penulisan ini yaitu tentang pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia, penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia dan upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off ini.

Metode penelitian yang di pakai dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penyusunan skripsi ini menggunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

Passing off dalam sistem hukum merek Indonesia tidak diatur secara khusus dan tegas namun bentuk perbuatan dari passing off merupakan pelanggaran hak merek terkenal baik yang terdaftar atau tidak terdaftar untuk barang/jasa sejenis maupun tidak sejenis. Berkenaan dengan penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia berdasarkan UU Merek 2001 sudah berjalan, baik penegakan hukum secara preventif maupun secara represif meskipun perlu lebih ditingkatkan agar lebih dapat memberikan kepastian hukum. Sedangkan terhadap konsumen, upaya memberikan perlindungan hukumnya juga diberikan dalam bentuk perlindungan preventif dan represif.

Kata kunci: Passing Off, Merek Terkenal, Perlindungan Konsumen.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU. 2 Dosen Pembimbing I.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-negara di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh arus globalisasi yang menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih mudah sehingga produk barang atau jasa dari negara lain akan dengan cepat diperoleh. Kegiatan ekonomi dan perdagangan yang semakin meningkat ini juga sebagaian berasal dari produk-produk kekayaan intelektual seperti karya cipta, merek maupun penemuan-penemuan di bidang teknologi. Indonesia sebagai negara berkembang perlu mencermati dan memahaminya guna mengantisipasi permasalahan yang akan timbul sehubungan dengan hak kekayaan intelektual yaitu dengan memberikan perlindungan hukum.

Dalam perdagangan barang atau jasa, merek sebagai salah satu bentuk karya intelektual memiliki peranan yang penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Merek memiliki nilai yang strategis dan penting baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen, merek selain untuk membedakan produknya dengan produk perusahaan lain yang sejenis, juga dimaksudkan untuk membangun citra perusahaan khususnya dalam pemasaran.4

4 Muhamad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan

Intelektual, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 78.

Bagi konsumen, merek selain mempermudah pengidentifikasian juga menjadi simbol harga diri. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pilihan barang dari


(13)

merek tertentu, cenderung untuk menggunakan barang dengan merek tersebut seterusnya dengan berbagai alasan seperti karena sudah mengenal lama, terpercaya kualitas produknya, dan lain-lain sehingga fungsi merek sebagai jaminan kualitas semakin nyata, khususnya terkait dengan produk-produk bereputasi.5

Merek menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001) Pasal 2 meliputi merek dagang dan merek jasa. Merek itu sendiri menurut UU Merek 2001 Pasal 1 angka 1 adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa merek:6

1. tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna tersebut;

2. memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis; 3. digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis.

Menyimak rumusan pengertian merek yang disebutkan diatas, merek berfungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa yang dibuat seseorang atau badan hukum lain.7

5Ibid.

Dari pihak produsen, merek digunakan untuk

6 Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 321.


(14)

jaminan nilai hasil produksinya khususnya mengenai kualitas, kemudahan pemakaian atau hal-hal lain yang pada umumnya berkenaan dengan teknologinya sedangkan dari pihak konsumen merek diperlukan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.8

Mengingat merek mempunyai peran yang sangat penting dalam perdagangan barang atau jasa dan padanya melekat hak ekonomis, banyak terjadi pelanggaran merek terutama pada merek-merek terkenal. Dulu pelanggaran merek dilakukan dengan memasang merek dan logo persis dengan yang asli, pemalsuan, mereknya sama secara keseluruhan. Sekarang penggunaan merek yang mirip dengan merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan merek yang sama dan atau mirip dengan merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Modus pelanggaran merek telah bergerak ke tingkat yang lebih canggih. Pelanggaran merek ini disebut passing off (pemboncengan reputasi).

Passing off secara kepustakaan hukum Indonesia belum begitu dikenal, dengan demikian maka istilahnya pun masih seluruhnya asing. Passing off memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan. Perbuatan passing off ini obyeknya adalah merek terkenal dan biasanya tidak menggunakan merek terkenal secara keseluruhan tetapi hanya

8 Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik


(15)

persamaan pada pokoknya saja sehingga menimbulkan salah persepsi atau menimbulkan kesan seolah-olah merek tersebut merupakan merek yang sudah terkenal yang menjadi obyek passing off-nya.

Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan kemashuran yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai dari merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous mark”. Merek produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya memacu produknya bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Melalui merek sebuah perusahaan telah membangun suatu karakter terhadap produk-produknya yang diharapkan akan dapat membentuk reputasi bisnis atas penggunaan merek tersebut. Padahal untuk membangun sebuah reputasi merek memerlukan biaya yang yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama serta hal lain yang juga tidak kalah penting bahwa reputasi yang baik akan menimbulkan kepercayaan dari konsumen. Karena itu, perusahaan-perusahaan cenderung berupaya untuk mencegah orang/perusahaan lain untuk menggunakan merek tersebut dalam produk-produknya.


(16)

Dalam passing off terkait erat dengan apa yang disebut goodwill, goodwill sering digunakan dalam arti yang bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan sebagai “itikad baik”. Goodwill juga dapat diartikan suatu kebaikan yang bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi dan keterkaitannya dalam usaha bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena meyakinkan pihak konsumen untuk membeli produknya.9

Ada contoh kasus passing off yang terkenal di Indonesia adalah kasus merek “AQUA”. Pemilik merek AQUA yaitu PT Aqua Golden Mississipi merasa pesaingnya melakukan tindakan mendopleng reputasinya dengan cara memirip-miripkan merek berupa pencantuman merek “CLUB AQUA” serta merek “AQUARIA” juga warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang bersangkutan, bentuk, ukuran atau format dan kesan selanjutnya dari merek-merek yang bersangkutan.10

Pemboncengan reputasi ini tidak hanya merugikan produsen sebagai pemilik merek terkenal suatu produk namun juga merugikan konsumen.

Dari kasus ini dapat dilihat pemilik merek “CLUB AQUA” dan merek “AQUARIA” tidak mempunyai itikad baik dalam memakai merek dagangnya, si pemilik ingin cepat mendapatkan keuntungan dan ketenaran dengan mendompleng atau membonceng reputasi dari merek “AQUA”.

9 Dwi Agustine Kurniasih, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan

Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember 2008, hal. 4.

10 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah , Teori dan


(17)

Konsumen biasanya dalam memilih produk mereka lebih dahulu melihat mereknya dan biasanya merek yang terkenal memiliki kualitas produk yang baik pula. Dengan adanya passing off ini konsumen akan mendapat barang dengan kualitas yang lebih rendah dari aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan ataupun kesehatan konsumen tersebut. Jadi dalam passing off ada dua pihak yang dirugikan yaitu produsen atau pelaku usaha yang memiliki merek terkenal dan konsumen sebagai pemakai produk terkenal disamping pada akhirnya akan merugikan iklim usaha di Indonesia sendiri.

Berdasarkan hal tersebut diatas merek terkenal perlu mendapat perlindungan dan berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan berkembang baik jika merek tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Perlindungan hukum di bidang merek di Indonesia sudah ada sejak 1961 melalui Undang-Undang Nomor 21 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Kemudian Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia yang melahirkan WTO (World Trade Organisation) dengan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) sebagai lampirannya, maka ketentuan mengenai merek diperbaharui terus hingga melahirkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang disahkan dan diundangkan pada 1 Agustus 2001.

Meskipun kita memiliki UU Merek 2001 namun mengenai perlindungan merek dari passing off belum diatur, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia namun aturan-aturan mengenai


(18)

perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus sehingga tidak ada kepastian hukum yang jelas dalam menindak lanjuti perbuatan passing off atau pemboncengan reputasi ini, sedangkan dalam kasus yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak.

Selain pemilik merek terkenal yang perlu mendapatkan perlindungan dalam passing off, konsumen pun perlu mendapat perlindungan. Hal tersebut disebabkan karena konsumen merupakan pengguna suatu produk dan suatu produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu dengan adanya passing off sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia konsumsi. Indonesia telah memiliki undang-undang yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen. Undang-undang itu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku satu tahun setelah diundangkan.

Masalah passing off adalah masalah yang terjadi pada merek terutama merek terkenal yang mana terjadi sebuah pemboncengan reputasi sehingga akan dapat merugikan pihak produsen yang sudah memiliki reputasi baik dan terhadap konsumen yang telah dirugikan, sehingga kita dapat kaitkan juga terhadap perlindungan konsumen yang mana konsumen telah dirugikan dalam perbuatan passing off atau pemboncengan reputasi ini.


(19)

Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk memilih judul “Tindakan Passing Off dalam Penegakan Hukum Merek Terkait Perlindungan Konsumen”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai hal-hal berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia?

2. Bagaimanakah penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia?

3. Bagaimanakah upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan skripsi ini akan lebih terarah dan dapat mencapai sasarannya. Adapun penulisan ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia.


(20)

3. Untuk mengetahui upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off.

Manfaat penulisan yang diharapkan melalui penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya untuk menambah wawasan bagi kalangan akademik tentang tindakan passing off dalam penegakan hukum hak merek terkait perlindungan konsumen. 2. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum serta kebijakan yang ditempuh bagi upaya perlindungan konsumen terkait dengan adanya tindakan passing off hukum merek.

D. Keaslian Penulisan

Judul yang penulis pilih adalah “TINDAKAN PASSING OFF DALAM PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN”, yang diajukan dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat di pertanggungjawabkan.


(21)

E. Tinjauan Kepustakaaan

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tindakan Passing Off

dalam Penegakan Hukum Merek Terkait Perlindungan Konsumen”, maka sebelumnya diuraikan lebih lanjut, terlebih dahulu penulis akan memberikan penjelasan tentang pengertian judul dengan maksud untuk menghindarkan kesalahpahaman dan memberikan pembatasan yang jelas.

Indonesia mengenal hak merek pertama kali pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Hak Milik Perindustrian yaitu Reglement Industrieele Eigendom Kolonien Stb 545 Tahun 1912 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 dan diganti pula dengan Undang-Undang No.19 Tahun 1992 tentang Merek yang diubah dengan Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek dan terakhir adalah undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001).

Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang tentang merek (merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)) sejak tahun 1961, namun dalam melakukan kerjasama internasional Indonesia baru resmi menjadi anggota Organisasi HKI Dunia/World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 1979 dengan meratifikasi Convention Establising the World Intellectual Property Organization melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 dan melalui Keputusan Presiden yang sama diratifikasi pula Paris Convention sedangkan Bern Convention diratifikasi sesuai Keputusan Presiden No. 18 Tahun


(22)

1997.11 Dengan demikian Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh WIPO seperti Paris Convention yang mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian meliputi paten, model dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial designs), merek dagang (trademarks), nama dagang (trade name) dan persaingan curang (unfair competition) dan Bern Convention yang menyangkut mengenai karya kesusasteraan dan kesenian (literary and artistic works) yang meliputi pula semua karya yang dihasilkan dalam bidang kesusasteraan, kesenian dan ilmu pengetahuan.12

Indonesia juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organisation (WTO) dengan menandatangani Agreement Estabilishing The World Organization dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Organization yang berarti pula berkewajiban mempedomani persetujuan tersebut ke dalam legislasi nasionalnya. Sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO.

Dalam Paris Convention di London tahun 1934, diberikan batasan apa yang dimaksud dengan merek yaitu trade mark means visible sign serving to distinguish the goods of one enterprise from tthose of the other enterprise, yang

11 Rahmadi Usman, Op.cit., hal. 5. 12Ibid., hal. 4.


(23)

terjemahan bebasnya merek adalah setiap tanda yang jelas dari perusahaan untuk membedakan barang dari suatu perusahaan dengan barang dari perusahaan lain.

Para sarjana juga banyak yang memberikan pengertian terhadap merek ini diantaranya, Soekardono yang menyatakan merek adalah sebuah tanda dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu dimana perlu juga untuk mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang yang sejenis yang dibuat atau diperniagakan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.13 H.M.N Purwo Sutjipto juga memberikan rumusan bahwa merek adalah suatu tanda dengan mana suatu benda tertentu di pribadikan, sehingga dapat di bedakan dengan benda lain yang sejenis.14 Menurut Prof.Molengraaf merek yaitu dengan mana dipribadikanlah suatu barang tertentu untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.15

Seperti yang telah ditelah disebutkan sebelumnya, UU Merek 2001, memberikan pengertian atas merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.16

13

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia I, Cet.IX, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), hal.149.

Dari pengertian tersebut, merek terdiri dari merek dagang dan

14H.M.N Purwo Sutjipto, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bandung: Fakultas

Hukum Alumni UNPAR, 1999), hal. 21.

15 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.154.

16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1


(24)

merek jasa.17 Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya, contohnya, Teh Botol Sosro, Kopi ABC, Kacang Garuda dan sejenisnya.18 Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya, contohnya, Toyota Rent-A-Car, Tabungan Siaga dan sejenisnya.19

Tetapi melihat pengertian yang diberikan oleh Paris Convention dan para sarjana, merek masih sebatas merek dagang. Hal ini disebabkan pengakuan terhadap merek jasa baru dilakukan dalam Paris Convention di Lisabon tahun 1958 sehingga sampai sekarang merek jasa termasuk dalam kategori merek.20

Suatu merek akan mendapat perlindungan hukum apabila didaftarkan namun tidak semua hal yang mengenai merek dapat didaftarkan dan tidak semua merek yang dapat didaftarkan terdaftar. Warna kemasan, tipe huruf dan tata letak cetakan pembungkus suatu produk memberikan andil untuk kesuksesan pemasaran suatu produk, tetapi hal-hal tersebut tidak dapat didaftarkan.21

Pada merek yang terdaftar, sebagai bentuk perlindungan hukum, diberikan suatu hak kepada pemilik merek yang disebut hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang

17

Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 2.

18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka

2.

19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka

3.

20 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Loc.cit. 21Ibid., hal. 236.


(25)

terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.22 Izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu dikenal dengan nama lisensi.23 Oleh karena suatu merek memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun dan hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik serta pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa.24

Perlindungan hukum diberikan dalam jangka waktu selama sepuluh tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang.25 Pemilik Merek terdaftar atau kuasanya setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama secara tertulis dalam jangka waktu dua belas bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HKI.26 Dan untuk perjanjian lisensi yang berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia jangka waktunya tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan merek terdaftar yang bersangkutan.27

22

Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3.

23 Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 63.

24 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.163.

25 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 28. 26 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 35. 27 Ahmadi Miru, Loc.cit.


(26)

Untuk dapat memperoleh hak atas merek tersebut suatu merek harus didaftarkan dan ada dua sistem untuk memperoleh hak atas merek yaitu:28

1. Sistem Deklaratif (passief stelsel)

Menurut sistem ini pemakai pertamalah yang menciptakan suatu hak atas merek Hak atas merek diberikan kepada pihak yang pertama kali memakai merek tersebut. Pendaftaran tidak menerbitkan hak melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan hukum atau presumption iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan. Sistem ini kurang memberikan kepastian hukum.

2. Sistem Konstitutif ( attributive stelsel)

Menurut sistem ini yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Pendaftaran menciptakan suatu hak atas merek tersebut, pihak yang mendaftarkan merupakan satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya si pendaftar sebagai hak mutlak (monopoli). Pendaftaranlah yang akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek. Meskipun demikian bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas pemakaiannya dalam perdagangan (well known trademark) juga diberikan perlindungan terutama dari tindakan persaingan yang tidak jujur. Sistem ini lebih memiliki kepastian hukum dan UU Merek 2001 memakai sistem konstitutif ini.

Merek yang memenuhi syarat-syarat dibawah inilah yang dapat didaftarkan sebagai merek:29


(27)

1. mempunyai daya pembeda;

2. merupakan tanda pada barang atau jasa yang dapat berupa gambar (lukisan), nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut;

3. tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agma, kesusilaan atau ketertiban umum; bukan tanda bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;

4. tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang terdaftar lebih dahulu, merek terkenal atau indikasi geografis yang sudah dikenal;

5. tidak merupakan, menyerupai atau tiruan tanda lainnya yang dimiliki oleh suatu lembaga atau negara tertentu.

Merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik dan pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen contohnya merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada


(28)

pokoknya atau keseluruhannya dengan merek dagang A tersebut dan disini sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknyapatut diketahui unsure kesengajaan dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut.30

Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek tersebut berarti dapat kita ketahui pemohon yang tidak baik itu adalah yang melakukan pemboncengan, peniruan, penjiplakan ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.

Sehubungan dengan adanya pemboncengan ketenaran merek pihak lain atau passing off yang menimbulkan salah satu kondisi yaitu mengecoh atau menyesatkan konsumen maka konsumen perlu dilindungi dari akibat tindakan passing off. Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.31

30 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 4 dan

penjelasannya.

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

31 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja


(29)

Ada pun pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam perlindungan konsumen, yaitu :

1. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”, sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau konsumen”.

Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No. II/MPR/119 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :32

1. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

32 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,


(30)

3. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setelah lahirnya UUPK, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen yang menjelaskan, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.33

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Lahirnya UUPK memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu :

Selanjutnya pengertian konsumen yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(31)

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


(32)

Pelaku usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.35

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :36

1. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

34 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar),

Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), hal. 57.

35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 angka 3.


(33)

3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Untuk menyeimbangkan hak-hak yang telah diberikan kepada konsumen, maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 UUPK yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 UUPK yaitu :


(34)

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain hak dan kewajibannya, pelaku usaha juga mempunyai tanggung jawab yang diatur dalam UUPK dari pasal 19 sampai dengan pasal 28. Tanggung jawab pelaku usaha menurut UUPK meliputi:

a. tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b. tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan c. tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen .


(35)

Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen jika37

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

:

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

3. Pemerintah

Para pelaku usaha seringkali melakukan berbagai macam cara untuk memasarkan dagangannya. Para pelaku usaha dengan orientasi untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sering kali mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator didalam memberikan perlindungan kepada konsumen.

4. Barang dan/atau Jasa

Istilah barang dan/atau jasa merupakan pengganti dari kata produk, sedangkan kata produk itu sendiri dari bahasa Inggris, yaitu “product”. Menurut Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang dapat

37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(36)

ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau sesuatu kebutuhan.38

Philip Khotler juga menyatakan bahwa produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk jasa). Philip Khotler memberikan pengertian tersendiri mengenai jasa, yaitu :39

“berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk fisik ataupun tidak.”

Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.40

Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga memberikan batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Selain hal-hal tersebut diatas, biasanya dalam hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak terlepas dari adanya sengketa/konflik yang terjadi diantara mereka. Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau ketidak sesuaian diantara para pihak. Apabila pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat dan menguntungkan kedua belah pihak maka perbedaan ini dapat berakibat buruk bagi

38 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan

Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control), diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II, (Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI, 1993), hal. 194.

39 Ibid., hal. 229.

40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(37)

kelangsungan keduanya Oleh karena itu setiap menghadapi perbedaan pendapat atau sengketa para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara penyelesaian yang dapat memuaskan mereka.

Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.41 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.42

Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan ynag bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa

41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 45 ayat 2.

42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(38)

Konsumen (BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.43

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat didalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisa hukum positif yang tertulis.

2. Sumber Data

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.44

43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 250. 44 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali


(39)

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Perlindungan Konsumen yang mengikat, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. e. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.

03-Hc.02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan buku-buku,


(40)

peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, artikel-artikel baik dari surat kabar, majalah, media elektronik dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Pengelolaan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep pasal yang ada d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif dan induktif kualitatif

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,


(41)

Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

BAB II PENGATURAN PASSING OFF DALAM SISTEM HUKUM MEREK INDONESIA

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Pengertian Passing Off, Passing Off dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Passing Off dan Persaingan Curang.

BAB III PENEGAKAN HUKUM MEREK DALAM TINDAKAN

PASSING OFF di INDONESIA

Pada bab ini dijelaskan tentang Pelanggaran Merek di Indonesia, Bentuk-bentuk Tindakan Passing Off di Indonesia, Penegakan Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off di Indonesia.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN DARI

AKIBAT TINDAKAN PASSING OFF

Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tentang Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Akibat dari Tindakan Passing Off Bagi Konsumen, Upaya-Upaya dalam Memberikan Perlindungan Hukum kepada Konsumen.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran menyangkut permasalahan yang ada dalam penulisan ini.


(42)

BAB II

PENGATURAN PASSING OFF DALAM SISTEM HUKUM MEREK INDONESIA

A. Pengertian Passing Off

Secara harfiah passing off berasal dari idiom pass off yang berarti menipu, menghilang sehingga passing off berarti penipuan, penghilangan. Berkaitan dengan merek, passing off sebagai pranata yang dikenal dalam Common Law sering diartikan sebagai tindakan pemboncengan reputasi suatu merek untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak yang melakukan tindakan tersebut.

Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:45

“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement”. (terjemahan bebasnya passing off adalah tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek.)

Passing off juga diartikan adalah tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.46 Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng secara meniru atau memirip-miripkan kepada kepunyaan pihak yang telah memiliki reputasi baik dan cara mendompleng reputasi (good will) ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun bidang hak cipta.47

45 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West

Publishing Co, 2004), hal. 1115.

46 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, hal. 235. 47Ibid.


(43)

Pengaturan passing off muncul ketika suatu usaha yang memiliki reputasi tidak memiliki merek dagang atau tidak dapat mendaftarkan merek dagangnya (misalnya karena mereknya terlalu deskriptif atau yang ditiru belum termasuk hal yang dilindungi oleh hukum merek) namun memerlukan perlindungan hukum dari upaya pihak lain yang hendak membonceng reputasi usaha tersebut dan hukum passing off ini bertujuan melindungi baik konsumen maupun pelaku usaha dari adanya praktek-praktek usaha yang dilakukan oleh pihak lain untuk meraih keuntungan dengan cara-cara yang merugikan atau membahayakan reputasi pelaku usaha yang asli.48

Passing off adalah common law right dan tidak ditentukan oleh undang-undang dari Parlemen namun telah dikembangkan melalui case law sejak 1618 dan dapat digunakan untuk menghentikan orang lain mendapatkan manfaat dari reputasi bisnis pengusaha lain dan digunakan dalam hubungannya dengan tindakan pelanggaran merek dagang atau untuk melindungi merek yang mempunyai reputasi tapi tidak mendapat perlindungan sebagai merek terdaftar.49

Suatu perbuatan pemboncengan reputasi dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum dikenal di negara-negara yang menganut (sistem Common Law) seperti Australia, Inggris, Malaysia, Amerika Serikat dan lain-lain.50

48

Choosing and Protecting Your Brand,

Di negara-negara tersebut, passing off berkembang sebagai bentuk praktek persaingan curang dalam usaha perdagangan atau perniagaan.

pada tanggal 27 Januari 2011

49Passing offdiakses pada tanggal 28

Januari 2011.

50Soedjono Dirdjosisworo, Antisipasi Terhadap Bisnis Curang (Pengalaman Negara

Maju dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Pengaturan E-Commerce serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia (Bandung: CV Utomo, 2005), hal.5.


(44)

Untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan passing off harus memenuhi tiga elemen yaitu:51

1. adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum.;

2. adanya misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih produk yang diinginkan;

3. terdapatnya kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh masyarakat (public misleading).

Dalam sistem Common Law pihak yang merasa dirugikan dapat mengadakan suatu aksi yang biasa dikenal dengan the action for passing off yang menurut Copinger sebagaimana dikutip Djumhana dan Djubaedillah,

“The action for passing off lies where the defendant has represented to the public that his goods or business are the goods or business of the plaintiff. A defendant may make himself liable to this action by publishing a work under the same title as the plaintiff's, or by publishing a work where 'get up' so resemble that of the plaintiff's work as to deceive the public into the belief that it is the plaintiff's work, or is associated or connected with the plaintiff”.52

51 Frans. H. Winata, Pemboncengan Reputasi Merek (Passing Off) sebagai Tindakan

Persaingan Curang, http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel/ diakses tanggal 23 Januari 2011.

52 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, hal. 237, dikutip dari Copinger,


(45)

(terjemahan bebasnya: Tindakan terhadap pemboncengan reputasi dilakukan ketika tergugat telah menampilkan kepada masyarakat bahwa barang atau bisnisnya adalah barang atau bisnis penggugat. Tergugat mungkin harus bertanggungjawab atas tindakannya memproduksi produk dengan nama yang sama dengan penggugat, atau memproduksi produk di mana kemasannya menyerupai produk penggugat sehingga menipu masyarakat sehingga percaya bahwa ini adalah produk penggugat, atau berkaitan atau berhubungan dengan penggugat).

Melalui gugatan atas adanya passing off, pihak yang dirugikan bisa menggugat pihak yang curang yaitu orang yang “membonceng” atas ketenaran dari nama, merek, orang lain yang telah diciptakan dan dibentuk dengan susah payah serta mengeluarkan banyak tenaga dan pembiayaan untuk promosi nama atau merek tersebut yang kualitasnya tinggi, sehingga dikenal luas di masyarakat.53

Action for passing off (tindakan passing off) ini memang dirasakan sulit karena pihak yang dirugikan harus bisa menunjukkan reputasinya dari semua yang dimilikinya tentang hal yang tidak bisa didaftarkan, yang telah didaftarkan atau yang belum didaftarkan dan action for passing off untuk melindungi nama baik/reputasi (goodwill), logikanya tidak ada action for passing off bila tidak ada goodwill karena goodwill menyatu tidak berdiri sendiri dari suatu bentuk usaha.

Pihak yang dirugikanlah yang harus membuktikan adanya passing off itu, beban pembuktian ada di penggugat.

54

Di negara Common Law, yang dapat diminta dalam tuntutan atas dasar pemboncengan reputasi adalah injuction (penetapan hakim) yang berisi :55

1. Penghentian perbuatan tergugat yang menyesatkan dan pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, berupa:

53Ibid.

54 Ibid., hal.238.


(46)

a. Penarikan dari peredaran barang atau jasa yang menyesatkan tergugat untuk diserahkan atau dihancurkan.

b. Permintaan ganti rugi materiil atas kerugian nyata yang diderita dan sejumlah keuntungan yangseharusnya diperoleh, termasuk biaya pengacaradan biaya perkara.

2. Permintaan ganti rugi yang bersifat immaterial akibat kerusakan reputasinya.

Berdasarkan uraian diatas pengaturan passing off dalam Common Law sebenarnya digunakan untuk melindungi pemilik merek tidak terdaftar/belum terdaftar (yang memiliki reputasi dari perbuatan pihak-pihak lain yang ingin mengambil keuntungan ekonomis dengan melakukan pemboncengan reputasi (ditindaklanjuti berdasarkan perbuatan melawan hukum/peraingan curang). Passing off sering diandalkan ketika sesuatu yang tidak terdaftar sebagai merek misalnya slogan atau nama belum terdaftar sebagai merek dagang namun memiliki goodwill yang cukup melekat padanya.56 Pengaturan passing off mencegah pihak lain untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:57

1. menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang/jasa tersebut milik orang lain; 2. menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan

barang/jasa milik orang lain.

tanggal 20 Januari 2011.

57 Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, (Bandung: CV Nuasa


(47)

B. Passing Off dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Merek terkenal merupakan obyek dari passing off khususnya yang tidak terdaftar karena adanya reputasi atau nama baik atau goodwill didalam suatu merek terkenal dan reputasi memiliki nilai ekonomis. Merek terkenallah yang harus diberikan perlindungan hukum dari perbuatan produsen pemakai merek yang tidak jujur, curang dengan membonceng reputasi merek terkenal, menampilkan seakan-akan barangnya adalah barang merek terkenal yang diboncengnya.

Pengaturan mengenai passing off ini terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system (disebut juga sistem hukum Eropa Kontinental) yaitu hukum yang berlaku adalah berupa peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh pembuat undang-undang bukan berdasar pada pendapat hakim (hakim berperan aktif menemukan hukum atas suatu perkara di pengadilan).

Kasus passing off yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak. Namun karena tidak ada undang-undang yang khusus mengenai persasingan curang, maka Dirjen HKI hanya menangani kasus passing off yang juga terindikasi pelanggaran merek. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan


(48)

mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam UU Merek 2001 tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran merek.

Oleh karena belum adanya undang-undang mengenai persaingan curang yang diantaranya mengenai passing off , maka passing off dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran merek, khususnya merek terkenal dan kita akan melihat pada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang segala hal yang berhubungan dengan merek adalah UU Merek 2001. Namun undang-undang ini tidak mempunyai ketentuan yang memberikan batasan tentang merek terkenal secara tegas maupun ketentuan mengenai passing off, padahal sebagai anggota dari WIPO maupun WTO, Indonesia sudah seharusnya memasukkan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi-konvensi organisasi tersebut ke peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Pengertian ataupun batasan merek terkenal dalam UU Merek 2001 tidak ditemukan, hanya didalam penjelasan salah satu pasal yaitu Pasal 6 ayat 1 huruf a yang mengatur tentang penolakan terhadap pendaftaran suatu merek disebutkan bahwa:

” Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan


(49)

Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan”.

Dari penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek 2001 di atas dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan merek terkenal sebagai berikut :

1. Pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha

yang bersangkutan.

2. Reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan

besar- besaran.

3. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya.

4. Merek terkenal dapat dibuktikan dengan adanya bukti pendaftaran merek

tersebut di beberapa negara

Selain itu Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 03-Hc.02.01 Tahun 1991 Tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal Atau Merek Yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain Atau Milik Badan Lain Pasal 1 menyebutkan, merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri.

Seperti kita ketahui, Undang-Undang Merek 2001 menganut sistem konstitutif, artinya merek terdaftarlah yang akan mendapatkan perlindungan hukum dari negara berupa pemberian hak eksklusif kepada pemilik/pemegang merek terdaftar. Pendaftaran itu sendiri berfungsi:


(50)

2. Sebagai dasar penolakan terhadap terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenis.

3. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenis.

Pendaftaran merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan perlindungan, tetapi tidak semua permohonan pendaftaran merek dikabulkan oleh Dirjen HKI karena permohonan pendaftaran merek dapat menghadapi tiga kemungkinan yaitu:

1. tidak dapat didaftarkan; 2. harus ditolak pendaftarannya; 3. diterima/didaftarkan.

Ketiga kemungkinan tersebut dapat diketahui pada saat pemeriksaan substantif oleh pemeriksa pada Dirjen HKI terhadap suatu pemohon pendaftaran merek. Pemeriksaaan substantif ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 4, pasal 5 dan Pasal 6 dalam waktu paling lama sembilan bulan.58

Suatu merek tidak dapat didaftarkan apabila:59

1. Permohonan diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.

Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya

58 Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, Pasal 18 ayat 2 dan 3.


(51)

yang berakibatkan kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.

2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Termasuk dalam pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu. Sebagai contoh, merek suatu barang yang haram untuk agama tertentu justru diberi tanda yang berupa simbol-simbol yang dihargai dalam agama tersebut

3. Tidak memiliki daya pembeda.

Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Sebagai contoh, sebuah merek tersebut terdiri atas angka-angka yang tidak beraturan dalam suatu bidang tertentu yang didalamnya terdapat angka-angka satu sampai seratus. Merek tersebut tidak dapat dibedakan dengan merek lain yang juga menggunakan angka satu sampai seratus walaupun tidak memiliki persamaan penempatan angka tersebut.

4. Tanda yang telah menjadi milik umum.

Salah satu contoh merek seperti ini adalah tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek.


(52)

5. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, contohnya merek kopi atau gambar kopi untuk jenis barang kopi atau produk kopi.

Selain merek tidak dapat didaftarkan, dalam hal tertentu juga merek harus ditolak dan permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:60

1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.

Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

2. Merek mempunyai mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/ jasa sejenis dan tidak sejenis sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan

Untuk persamaan pada pokoknya terhadap merek terkenal ini, tidak ditentukan persyaratan bahwa merek terkenal tersebut sudah terdaftar (di Indonesia). Hal ini berarti, walaupun merek terkenal tersebut tidak terdaftar di


(53)

Indonesia, tetap saja dilindungi berdasarkan Undang-Undang Merek. Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulam mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan. Ketentuan ini dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (sampai saat ini belum ada PPnya).

3. Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.

Ini berarti bahwa merek juga tidak diakui keabsahannya jika memilki persamaan dengan indikasi-geografis. Hal ini tentu disebabkan kemungkinan timbulnya kekeliruan bagi masyarakat tentang kualitas barang tersebut.

4. Merek merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.


(54)

Dengan demikian, Megawati, SBY, Iwan Fals, dan nama orang lainnya yang terkenal tidak bisa dijadikan merek tanpa izin orang terkenal tersebut, walaupun nama yang dimaksudkan dalam merek tersebut adalah bukan nama mantan presiden RI atau artis tersebut melainkan nama lain yang kebetulan sama. Demikian pula foto-foto artis atau foto orang lain walapun tidak terkenal tidak dapat dijadikan merek, kecuali atas izin orang yang fotonya dijadikan merek tersebut.

Demikian halnya badan hukum, yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebgai merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Pembatasan yang hanya melarang menggunakan nama badan hukum tersebut telah terdaftar sebagai merek sesungguhnya merupakan pembatasan yang kurang tepat karena dengan menggunakan nama badan hukum orang lain sebgai merek, walaupun nama badan hukum tersebut tidak terdaftar sebgai merek, dapat menimbulkan kesan yang keliru dalam masyarakat bahwa barang yang memakai nama badan hukum orang lain sebgai merek tersebut adalah hasil produksi dari badan hukum yang bersangkutan, dengan demikian, penggunaan merek tersebut dapat merugikan badan hukum yang namanya dijadikan merek.61

5. Merek merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.


(1)

untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang/jasa yang menggunakan merek tersebut dan hakim dapat juga memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 78), tuntutan pidana (Pasal 90-91) .

3. Adapun upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai akibat tindakan passing off terdiri dari dua upaya yaitu pertama, perlindungan preventif berupa pembinaan dan pendidikan konsumen baik oleh pelaku usaha, asosiasi usaha maupun pemerintah melalui Dirjen HKI serta pelaksanaan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan. Kedua perlindungan represif berupa gugatan ganti rugi, gugatan terhadap tanggung jawab pelaku usaha, sanksi administrasi dan sanksi pidana.

B. Saran

1. Undang-Undang Merek 2001 hendaknya direvisi dengan memasukkan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas dan tegas tentang merek terkenal sehingga lebih memberikan perlindungan kepada merek terkenal baik terdaftar maupun tidak terdaftar.

2. Perlunya suatu undang-undang yang khusus mengatur menganai persaingan curang sehingga lebih memberikan kepastian hukum dalam melakukan perdagangan/kegiatan usaha.


(2)

dapat dimasukkan dalam UUPK sehingga hak-hak konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar terlindungi.

4. Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, harus disertai juga dengan peran serta yang aktif dari masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan suatu kondisi yang kondusif bagi perdagangan dan konsumen yang terlindungi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1990.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006

Darus, Mariam. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta, 1980.

Djumhana, Muhamad, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah , Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1997.

Dirdjosisworo, Soedjono, Antisipasi Terhadap Bisnis Curang (Pengalaman Negara Maju dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Pengaturan E-Commerce serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2005

Engel, James.F. dan Roger D.Blackwell, Perilaku Konsumen, Jilid 2, Jakarta: Binarpa Aksara, 1994.

Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, St. Paul,Minn: West Publishing Co, 2004.

Gautama, Sudargo, Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional: TRIPS, GATT, Putaran Uruguay (1994), Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1994.

Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control). diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1993


(4)

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Miru,Ahmadi, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Margono,Suyud, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Bandung: CV Nuasa Aulia, 2010.

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya: Universitas Airlangga, 1985.

Purwo Sutjipto, H.M.N, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bandung: Fakultas Hukum Alumni UNPAR, 1999.

Patrick, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994. Soekardono R., Hukum Dagang Indonesia I, Cet.IX, Jakarta: Dian Rakyat, 1983 Sidabolok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2006.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1992.

_______________, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1983

Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Bandung: Tarsito, 1981.

Silalahi, M.Udin, Perusahaan saling Mematikan dan Bersekongkol Bagaimana Cara Memenangkan?, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007.

Soerdarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986

Usman, Rahmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.


(5)

Artikel:

Best Practice KPPU

Fornell, Claes dan Robert A. Westbrook, “The Vicious Cycle of Consumer Complaints”, Journal of Marketing 48 (Summer1984).

Kurniasih, Dwi Agustine, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember 2008.

Manan, Bagir. Perspektif Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, Universitas 11 Maret Surakarta.

Suryomurcito, Gunawan, Hak Atas Merek dan Perlindungan Hukum Terhadap Persaingan Curang, Seminar Undang-undang Merek Nomor 19Tahun 1992 di Jakarta, April 1993.

Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU No.15 Tahun 2001. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M. 03-Hc.02.01

Tahun 1991 Tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal Atau Merek Yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain Atau Milik Badan Lain.


(6)

Internet:

tanggal 20 Januari 2011.

Frans. H. Winata, Pemboncengan Reputasi Merek (Passing Off) sebagai Tindakan Persaingan Curang, http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel/

diakses tanggal 23 Januari 2011.

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, diakses pada tanggal 25 Januari 2011.

Choosing and Protecting Your Brand,

diakses pada tanggal 27 Januari 2011.

Passing off, diakses pada

tanggal 28 Januari 2011.

diakses

tanggal 28 Januari 2011.