Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK
TERDAFTAR DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
KEPABEANAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
T
T
E
E
UK
U
KU
U
AD
A
DI
IT
T
Y
Y
A
A
E
E
NIM. 060200121FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 1 3
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK
TERDAFTAR DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
(2)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
T
T
E
E
UK
U
KU
U
AD
A
DI
IT
T
Y
Y
A
A
E
E
NIM. 060200121
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Windha, SH., M.Hum NIP. 197501122005012002 Pembimbing I
Ramli Siregar,SH.,M.Hum NIP. 195303121983031002
Pembimbing II
Windha, SH., M.Hum NIP. 197501122005012002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Windha, SH., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II.
3. Bapak Ramli Siregar SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
4. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.
(4)
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, April 2013 Penulis
Teuku Aditya E NIM : 060200121
(5)
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... vi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5
D. Keaslian Penulisan... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
1. Pengertian Tentang Merek ... 6
2. Jenis-Jenis Merek Yang Dapat Dilindungi ... 11
3. Kepabeanan ... 16
F. Metodologi Penelitian ... 19
G. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN A. Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek... 23
B. Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Atas Merek Dalam Undang-Undang Kepabeanan... 28
(6)
BAB III. PERAN KEPABENAN (CUSTOMS) DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP MEREK TERDAFTAR A. Potensi Kepabeanan Sebagai Border Agency Terhadap
Perlindungan Merek ... 42 B. Keterbatasan Dalam Pelaksanaan Peran Kepabeanan di
Bidang Merek ... 45 C. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Mengenai Keterlibatan
Kepabeanan Dalam Melaksanakan Perlindungan
Terhadap Merek... 46 BAB IV IMPLEMENTASI THE TRIPS AGREEMENT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
KEPABEANAN INDONESIA DALAM MEMBERIKAN KONTRIBUSI TERHADAP PERLINDUNGAN MEREK TERDAFTAR
A. Pengertian dan Sejarah TRIPs Agreement ... 58 B. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap
Perlindungan Merek (Dalam Undang-Undang Merek) ... 65 C. Implementasi The TRIPs Agreement dalam memberikan
Perlindungan Terhadap Merek Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Kepabeanan... 70 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA
(7)
ABSTRAK
T
TeeuukkuuAAddiittyyaa EE**
Ramli Siregar ** Windha ***
Dalam peraturan Kepabeanan di Indonesia, juga ada mekanisme hukum untuk melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, memuat tentang Larangan pembatasan impor atau ekspor serta pengendalian Impor dan ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk di dalamnya Hak Merek.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Kepabeanan, bagaimana peran Kepabeanan (Costums) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar dan bagaimana implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang Kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian juridis normatif, dimana bahan penelitian didasarkan ketentuan teoritis dan perundang-undangan terkait.
Hasil penelitian menjelaskan perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak merek. Dimana dengan adanya undang-undang kepabeanan maka melalui aparatur Kepabeanan akan didapat nilai positif yaitu berupa pencegahan keluar atau masuknya produk hasil pelanggaran hak merek dari Indonesia maupun keluar Indonesia. Peran Kepabeanan (Customs) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar adalah sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang hak merek dan hak kekayaan intelektual dan atas perintah pengadilan dapat menghentikan masuknya dan keluarnya barang pelanggaran hak merek. Implementasi the trips agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar khususnya dalam hal sebagai pintu terdepan dalam penanggulangan pelanggaran hak merek di Indonesia.
Kata Kunci: Perlindungan, Merek, Kepabeanan
*) Mahasiswa Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I
(8)
ABSTRAK
T
TeeuukkuuAAddiittyyaa EE**
Ramli Siregar ** Windha ***
Dalam peraturan Kepabeanan di Indonesia, juga ada mekanisme hukum untuk melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, memuat tentang Larangan pembatasan impor atau ekspor serta pengendalian Impor dan ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk di dalamnya Hak Merek.
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Kepabeanan, bagaimana peran Kepabeanan (Costums) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar dan bagaimana implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang Kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian juridis normatif, dimana bahan penelitian didasarkan ketentuan teoritis dan perundang-undangan terkait.
Hasil penelitian menjelaskan perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak merek. Dimana dengan adanya undang-undang kepabeanan maka melalui aparatur Kepabeanan akan didapat nilai positif yaitu berupa pencegahan keluar atau masuknya produk hasil pelanggaran hak merek dari Indonesia maupun keluar Indonesia. Peran Kepabeanan (Customs) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar adalah sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang hak merek dan hak kekayaan intelektual dan atas perintah pengadilan dapat menghentikan masuknya dan keluarnya barang pelanggaran hak merek. Implementasi the trips agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar khususnya dalam hal sebagai pintu terdepan dalam penanggulangan pelanggaran hak merek di Indonesia.
Kata Kunci: Perlindungan, Merek, Kepabeanan
*) Mahasiswa Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I
(9)
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Merek sebagai salah satu hak milik intelektual mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, terutama di bidang perdagangan barang. Untuk membedakan suatu produk yang lain yang sejenis dalam satu kelompok kegiatan perdagangan itu sendiri sangat erat hubungannya dengan kegiatan produksi. Oleh karena pembahasan tentang perlindungan atas suatu jenis produk melalui mereknya menjadi suatu telaah yang sangat menarik.
Pelaksanaan perlindungan hak merek sangat dibutuhkan disebabkan perkembangan jaman yang sedemikian cepat. Hal ini dibuktikan dengan perubahan hak merek yang sedemikian cepat, dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dan selanjutnya Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek digantikan dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perubahan yang sedemikian cepat menandakan bahwa dalam menyambut era globalisasi maka pengaturan dan perlindungan merek menjadi amat penting.
Undang-undang merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya di sebut UU Nomor 15 Tahun 2001 ) dapat melindungi setiap merek dagang, merek jasa serta merek kolektif. Dan tidak ada permohonan pendaftaran merek dagang dapat didaftar apabila permohonan pendaftaran merek dagang tersebut tidak mempunyai perbedaan, atau merek dagang tersebut adalah milik umum atau permohonan merek dagang tersebut adalah suatu indikasi atau informasi tentang barang atau jasa.
Sebuah merek adalah sebuah bidang yang abstrak, dikatakan demikian karena pemegang hak merek dagang atas suatu barang hanya memiliki sertifikat atas hak merek dagangnya tersebut. Pentingnya merek dalam dunia perdagangan adalah untuk memberikan tanda tentang produksi suatu barang tersebut pihak-pihak mana saja yang terlibat, sehingga ditemukan prakteknya di dalam masyarakat bahwa masyarakat terkadang hanya percaya pada satu jenis merek dari suatu jenis produksi perusahaan.
Dalam Konvensi Paris dalam Pasal 9 memuat ketentuan yang memungkinkan barang-barang yang memakai merek dagang secara tidak sah yang dimiliki warga negara peserta Konvensi Paris, bisa disita pada waktu diimpor masuk negara lain peserta lain atau sekurang-kurangnya diadakan larangan
(10)
terhadap impor barang-barang termaksud. Apabila ada indikasi yang palsu tentang sumber-sumber barang bersangkuatan atau tentang identitas dari orang yang membuatnya atau pedagang barang itu dapat dilakukan tindakan serupa.
Peraturan Kepabeanan di Indonesia juga memuat mekanisme hukum untuk melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (selanjutnya disebut UU Kepabeanan), memuat tentang larangan pembatasan impor atau ekspor serta pengendalian impor dan ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk di dalamnya Hak Merek yang selanjutnya disebut dengan HKI. Direktorat Jenderal Bea dan Cukaimenjalankan tugas kepabeanan berupa segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean dan pemungutan bea masuk.
Pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual dapat meminta kepada Pengadilan Negeri setempat untuk mengeluarkan perintah tertulis yang
ditujukan kepada pejabat Bea dan Cukaiuntuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di indonesia.
Berdasarkan uraian di atas maka perihal perlindungan hak merek terdapat tidak saja dimonopoli oleh pihak Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum Indonesia, serta aparat penegak hukum lainya tetapi juga berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU Kepabeanan, juga melingkupi wilayah hukum kepabeanan dalam hal mengantisipasi masuknya barang yang diindikasikan berupakan hasil pelanggaran di bidang kekayaan intelektual khususnya hak merek.
Undang-Undang Kepabeanan menjelaskan bahwa identifikasi dari tindakan perlindungan hak merek melalui kepabeanan dimiliki oleh pemilik atau pemegang hak merek. Tanpa adanya permintaan pemilik atau pemegang hak merek maka identifikasi peranan kepabeanan tidak dapat dilakukan, karena aparatur kepabenan menurut Pasal 54 UU Kepabeanan mengambil tindakan setelah adanya permohonan dari pemilik dan pemegang hak merek.
(11)
Ketentuan ini merupakan kelemahan daripada UU Kepabeanan atas pelanggaran perlindungan hak merek. Dikatakan demikian karena perintah penangguhan masuknya barang yang diduga merupakan pelanggaran hak merek tersebut harus dilakukan secara tertulis dan ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga.
Kondisi ini amat sangat riskan apabila pemilik atau pemegang merek melakukan pengurusan surat perintah tersebut, tentunya akan memakan tempo serta waktu, dan di satu sisi barang atau produk yang merupakan hasil pelanggaran merek tersebut sudah terlebih dahulu lepas dari pengawasan kepabeanan. Undang-undang dapat lebih sederhana dalam kajian sehingga tidak membutuhkan identifikasi dari Ketua Pengadilan Niaga, cukup identifikasi dan barang bukti dari pemilik merek. Hal lainnya yang merupakan kelemahan dari UU Kepabeanan adalah merek yang dapat dilindungi oleh Kepabeanan adalah merek yang sudah terdaftar.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang
“Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Kepabeanan”.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan?
2. Bagaimana peran kepabeanan (costums) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar?
3. Bagaimana implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
(12)
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan.
2. Untuk mengetahui peran kepabeanan (Costums) dalam rangka perlindungan terhadap merek terdaftar.
3. Untuk mengetahui implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar.
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya pihak
kepabeanan dalam kontribusinya di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual seperti hak merek.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam meningkatkan peran dan fungsi dari kepabeanan di bidang perlindungan hak merek.
Keaslian Penulisan
Keaslian penulisan memuat perbedaan skripsi ini dengan karya ilmiah lain yang berada di Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara maupun
(13)
internet yang terkait dengan judul skripsi ini. Adapun penulisan skripsi yang
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan” ini merupakan hasil pemikiran sendiri, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian tentang merek
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek tidak mencantumkan definisi dan arti merek secara khusus. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang
(beberapa orang) apabila “ memiliki daya beda ” dan pertama kali memakai merek itu di Indonesia. Dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barang-barang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek dalam Pasal 1 Ayat
(1) yang dimaksud dengan merek adalah “ tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa”.
Selanjutnya dengan disahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2001 diterangkan bahwa “ merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan
(14)
perdagangan barang atau jasa”.
Dengan demikian terdapat persamaan arti dan kata antara pengertian merek dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2001.
Sedangkan terhadap merek-merek lainnya sebagaimana berurut dikatakan pada Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2001 yaitu :
a. Merek dagang.
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
b. Merek jasa.
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
c. Merek kolektif.
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karekteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
JCT Simorangkir mengatakan bahwa merek adalah “ cap, atau tanda”.1
Dalam sistem UU Nomor 15 Tahun 2001 tidak dapat didaftarkan kemasan suatu produk atau aroma suatu parfum sebagai merek. Hal ini berbeda dengan sistem perlindungan merek di negara-negara Uni Eropa, misalnya : Inggeris atau Jerman yang membolehkan kemasan diterima pendaftarannya sebagai merek apabila memiliki daya beda dengan merek lainnya.2
Richard Burton Simatupang mengatakan :
Merek merupakan suatu tanda yang membedakan satu barang dengan barang lain yang sejenis. Untuk memahami pengertian akan merek, minimal ada lima pembatasannya yaitu :
1. Merek dapat disebut sebagai tanda pembeda, atau mempunyai
1 JCT Simorangkir, dkk, Kamus Huk um, (Jakarta, Aksara Baru, 2001), hlm. 110
2 Insan Budi Maulana, Suk ses Bisnis Melalui Merek Paten & Hak Cipta, (Bandung, Citra
(15)
daya pembeda
2. Merek dapat diingat dan diulang-ulang apabila kita mau membeli barang yang sama.
3. Sebagai suatu simbol.
4. Menetapkan suatu standar atau kualitas atau mutu barang 5. Melindungi para konsumen.3
Hak khusus atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan
“daya beda“ merupakan lingkup yang sangat luas. Karena dengan demikian, setiap hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “ hak khusus atas merek ”,
misalnya: kemasan, aroma parfum. Pandangan itu sebenarnya sejalan dengan definisi merek menurut undang-undang Merek Inggris, Trademark Act 1994 yang menyatakan dalam Pasal 1 :
“Trademark means any sign capable of being represented graphically which is capable of distinguishing goods or services of one undertaking from those of other undertakings ”.4
Hak khusus atas merek tidak diberikan apabila merek itu tidak mempunyai
daya beda, umpamanya karena hanya terdiri atas “ angka-angka dan atau
huruf-huruf ”, atau yang hanya terdiri atas kata-kata yang mengandung keterangan tentang macam, waktu atau tempat pembuatan, jumlah, bentuk, tujuan, ukuran, harga atau berat barang. Selain itu, tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek tersebut menyerupai bendera-bendera negara, lambang - lambang negara, lambang-lambang, nama-nama, singkatan-singkatan lembaga internasional atau lambang-lambang dari yang berwenang. Juga tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek itu merupakan tanda pengesahan atau tanda jaminan resmi dari suatu badan pemerintah. Kekecualian atas penggunaan merek-merek di atas dapat dilakukan dan didaftarkan, apabila pemakai merek itu mendapat persetujuan dari yang berwenang.
Penolakan pendaftaran merek di atas, sesungguhnya, bersifat relatif karena dalam beberapa kasus terjadi pula pendaftarannya, misalnya merek rokok 555, minuman air mineral dengan merek Aqua. Kemudian, penolakan hak khusus atas merek secara absolut ditujukan terhadap merek yang terdiri atas lukisan -lukisan atau perkataan-perkataan yang telah menjadi milik umum, misalnya, rambu-rambu lalu lintas, atau yang bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum, misalnya lambang-lambang keagamaan yang dapat menimbulkan konflik terhadap sara, yaitu suku, agama dan ras di Indonesia misalnya, lukisan-lukisan palu arit. Dalam suatu masyarakat yang anti komunis dan berupaya
menghindari masalah-masalah yang terjadi karena kesukuan, agama dan ras maka pendaftaran hak merek yang mengandung unsur-unsur seperti di atas akan ditolak oleh kantor merek.
Alasan-alasan untuk menolak permintaan pendaftaran merek yang diatur dalam undang-undang merek di antaranya apabila merek yang diajukan itu sama atau serupa dengan merek yang telah didaftar lebih dulu atau dengan merek terkenal pihak lain, merupakan keterangan atas barang atau jasa, atau merek itu bertentangan dengan kesusilaan
3 Richard Burton Simatupang, Aspek Huk um Dalam Bisnis, (Jakarta, Rineka Cipta 1995),
hlm. 112.
4 Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terk enal di Indonesia Dari Masa Ke Masa,
(16)
atau ketertiban umum dan sebagainya. Alasan-alasan seperti di atas juga lazim ditemukan pada sistem merek di negara-negara lain, selain itu, merek yang telah didaftar dapat dibatalkan apabila ternyata merek itu dianggap sama atau serupa dengan merek lainnya, atau merek itu didaftar dengan itikad tidak baik. Dengan demikian, di negara manapun, tidak ada alasan hukum penolakan atas suatu merek karena merek itu menggunakan kata atau bahasa asing. Karena yang utama, pendaftaran suatu merek harus dilandasi dengan itikad baik dan jujur, tanpa maksud meniru atau memalsukan merek pihak lain, serta mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen.
2. Jenis-jenis merek yang dapat dilindungi
Secara umum telah banyak negara yang menerapkan perlindungan terhadap merek - merek jasa yang digunakan untuk produk-produk jasa, misalnya : perbankan, asuransi, rumah sakit, rumah makan, jasa keuangan dan sebagainya. Hanya segelintir negara yang belum menerapkannya misalnya Malaysia, karena peraturan pelaksanaannya belum ditetapkan.
Beberapa negara, penentuan uraian terhadap jenis-jenis atau jasa yang dikelompokkan pada kelas barang dan jasa berdasarkan pada Nice Agreement. Pada perjanjian ini terdapat 42 kelas barang dan jasa yang diuraikan lagi dalam jenis-jenis barang tertentu. Dan pengelompokkan jenis barang juga akan dipengaruhi oleh kemajuan suatu industri atau pengembangan produk-produk tertentu. Kondisi ini kadang-kadang menimbulkan persepsi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain walaupun negara-negara itu menjadi anggota atau meratifikasi Nice Agrrement.5
Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat merupakan negara-negara yang mempunyai pengelompokkan kelas barang dan jasa atau jenis barang atau jasa sendiri yang berbeda dengan kelas barang atau jasa uraian jenis barang yang terdapat pada Nice Agreement. Negara-negara tersebut menentukan jenis barang atau jasa tertentu secara khusus yang didasarkan pada kategori atau kriteria yang dilakukan oleh kantor paten di negara-negara tersebut.
Pada akhirnya Jepang sejak dua tiga tahun terakhir ini, mungkin karena menghadapi kendala dengan uraian jenis barang yang dianut oleh negara-negara lain, mengikut sistem yang diterapkan dalam Nice Agreement. Artinya, jumlah kelas barang dan jasa berjumlah empat puluh dua, akan tetapi terdapat sedikit penambahan atau pengecualian terhadap produk-produk tertentu, misalnya : barang misosiru yang mungkin tidak tercakup dalam Nice Agreement akan dikelompokkan pada kelas barang tertentu. Begitu juga di negara-negara lain yang mempunyai produk-produk yang berciri khas yang berasal dari negara tersebut dapat memasukkannya
5 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001,
(17)
dalam kelompok kelas barang atau jasa tertentu. Tentu saja, pengelompokkan itu didasarkan pada pertimbangan yang wajar.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat melindungi setiap merek dagang, merek jasa serta merek kolektif. Dan tidak ada permohonan pendaftaran merek dapat didaftar apabila permohonan pendaftaran merek dagang tersebut bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau merek dagang tersebut tidak mempunyai perbedaan, atau merek dagang tersebut adalah milik umum atau permohonan merek dagang tersebut adalah suatu indikasi atau informasi tentang barang atau jasa. Selain itu, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual juga akan menolak permohonan merek dagang: bila ada merek lain yang sama pada keseluruhannya atau serupa dengan merek dagang atau jasa terdaftar dalam kelas yang sama dan jenis barang yang sama; baik yang sama secara keseluruhan atau serupa dengan orang yang terkenal, foto merek dan atau badan hukum yang terkenal; yang identik dengan nama, imitasi, bendera, negara atau dewan nasional, dan atau organisasi internasional; yang sama pada keseluruhannya atau serupa dengan stempel resmi atau tanda negara atau pemerintah; dan yang sama seluruhnya atau serupa dengan lain-lain karya atau penemuan yang dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 perlindungan merek terkenal diatur pada Pasal 6 Ayat (2a) yang menyatakan bahwa permintaan pendaftaran merek juga ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, merek dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
(18)
Dan penjelasan Pasal 6 Ayat (2a) tentang kriteria merek terkenal menyatakan bahwa penentuan suatu merek atau nama terkenal, dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek atau nama tersebut dibidang usaha yang bersangkutan. Ketentuan di atas mengalami revisi pada UU Nomor 15 Tahun 2001. Pasal 6 Ayat (2a) berubah menjadi:
Permintaan pendaftaran merek juga ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila: (a) merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
Perbedaan antara Pasal 6 Ayat (2a) Undang-Undang Merek lama dan undang-undang merek baru adalah kata “merek” karena kata itu telah dihapus dan tidak tercantum lagi pada UU Nomor 15 Tahun 2001. Pada UU Nomor 15 Tahun 2001baru ini, perlindungan merek terkenal diatur pada dua Pasal yaitu Pasal 6 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (4), dan kedua ayat itu membedakan kriteria perlindungan atas merek yang sudah terkenal. Pada Pasal 6 Ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat menolak permintaan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik orang lain untuk barang dan atau jasa yang sejenis.
Sedangkan Pasal 6 Ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2001 itu menyatakan : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
(19)
Peraturan-peraturan penolakan di atas, jelas tidak mensyaratkan adanya kewajiban pendaftaran terlebih dahulu bagi merek terkenal. Penolakan diatas juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan, kecermatan subjektivitas pemeriksa merek, serta informasi yang dimiliki oleh kantor merek terhadap data-data, objek merek terkenal maupun merek yang sudah terkenal tetapi tidak atau belum didaftarkan oleh pemilik atau pemegang merek terkenal itu. Namun, adanya perbedaan diantara ayat-ayat diatas karena yang satu mencantumkan kata “harus
ditolak” sedangkan yang lain mencantumkan kata “dapat ditolak” oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menunjukkan sikap yang mendua, ambivalen dan tidak menyakinkan sehingga, upaya-upaya untuk melindungi merek terkenal akan mengalami perubahan yang negatif.
Terutama, upaya melindungi merek terkenal yang digunakan oleh pihak lain untuk barang atau jasa yang berbeda kelas dan atau jenis barangnya. Karena perlindungan terhadap barang atau jasa yang berbeda kelas dan jenis barangnya itu harus menunggu kriteria yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Seandainya ayat-ayat yang tercantum dalam Pasal itu dipahami secara cermat oleh para penegak hukum, misalnya :pengacara dan HKIm, polisi dan jaksa, maka cakupan perlindungan terhadap merek terkenal akan menjadi perdebatan panjang yang akibatnya mempersulit perlindungan terhadap merek terkenal. Padahal selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 , yang tidak membagi atas dua macam perlindungan merek terkenal, telah menunjukkan peningkatan perlindungan terhadap merek terkenal (asing), misalnya dalam kasus-kasus: merek
(20)
“CHRISTIAN DIOR”, “GUESS”, atau “CAXTON”, terhadap para pemilik merek terkenal yang dimiliki oleh pihak yang sebenarnya atau yang berhak. Walau, ternyata, juga ada kasus yang agak meyimpang dan tidak melindungi pemilik
merek (terkenal) yang sesungguhnya, misalnya: kasus merek “TVM”. Dan tidak
sedikit pembatalan merek terkenal lainnya yang terdaftar oleh pihak yang tidak dibatalkan oleh badan peradilan, baik ditingkat Peradilan Negeri maupun Mahkamah Agung.
Selain ayat-ayat dalam pasal diatas yang memberikan perlindungan terhadap merek terkenal, dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 juga mencantumkan kewenangan bagi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk menolak permintaan perpanjangan dan atau pengalihan hak atas merek yang serupa atau yang sama dengan merek terkenal yang diajukan oleh pihak yang tidak berhak. Pasal 85 A Ayat (1) menyatakan : Permintaan perpanjangan pendaftaran merek dan pengalihan hak atas merek yang telah terdaftar ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila keseluruhannya merek tersebut milik orang lain, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (3) dan Ayat (4).
Kemudian yang menjadi pertimbangan dicantumkannya Pasal itu, dalam penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan tersebut diperlukan terutama untuk memberi landasan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk menolak permintaan perpanjangan pendaftaran merek yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001.
(21)
3. Kepabeanan
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan pabean adalah “instansi (jawatan, kantor) yang mengawasi, memungut, dan mengurus bea masuk (impor)
dan bea keluar (ekspor), baik melalui darat, laut maupun melalui udara”.6 Pabean yang dalam bahasa inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi yang dapat kita temukan dan hapal baik dalam kamus bahasa Indonesia
ataupun undang-undang kepabeanan, namun definisi tersebut tidak berarti kita dapat memahami makna yang terkandung dalam kata pabean tersebut. memahami kata pabean mengharuskan (syarat utama) kita memahami kegiatan ekspor dan
impor.7
Tanpa hal itu adalah sulit memahami lebih jauh tentang pabean. sedikit yang dapat digambarkan mengenai kata pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, hal yang menjadi perhatian dikaitkan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (selanjutnya disebut DJBC) khususnya di Indonesia adalah mengapa hanya impor yang dikenakan bea masuk sedangkan untuk ekspor tidak ada bea keluar.8 Filosopi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang impor. sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah
6 Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN. Balai Pustaka,
2003), hlm. 811.
7 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, http://id.wik ipedia.org/wik i/Bea_cuk ai, Diakses
tanggal 26 Maret 2013.
(22)
tidak memungut bea demi mendukung industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian (restitusi pajak)
terhadap barang yang diekspor kecuali untuk produk mentah seperti beberapa jenis kayu, rotan dan sebagainya pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan ekspor dengan maksud agar para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi, filosopi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia.9
Bea dan Cukai adalah suatu lembaga pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang mengurusi pungutan Bea dan Cukai yang dikenakan terhadap barang-barang yang keluar ataupun masuk daerah pabean agar pelaksanaan, pengawasan, pelarangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi. Tugas dan tanggung jawab Bea dan Cukai adalah melaksanakan kegiatan operasional dalam hal pemungutan bea masuk maupun cukai terhadap barang ekspor atau impor.10 Sebagai daerah kegiatan ekonomi maka sektor Bea dan Cukai merupakan suatu instansi dari pemerintah yang sangat menunjang dalam kelancaran arus lalu lintas ekspor dan impor barang di daerah pabean. Adapun tujuan pemerintah dalam mengadakan pengawasan adalah untuk menambah pendapatan atau devisa negara, sebagai alat untuk melindungi produk-produk dalam negeri (proteksi), dan sebagai alat pengawasan agar tidak semua barang dapat keluar masuk dengan bebas di pasaran Indonesia atau daerah pabean (penyelundupan).
Untuk menghindari hal tersebut, maka untuk keluar masuknya barang
9Ibid.
10 Elfrida Gultom,“Bea Cukai Sebagai Akselator Pelabuhan Untuk Meningkatkan Devisa
(23)
melalui suatu pelabuhan harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah melalui kerjasama antara Bea dan Cukai dengan instansi lain pengelola pelabuhan untuk mengelola, memelihara, menjaga keamanan dan kelancaran arus lalu lintas barang yang masuk maupun keluar daerah pabean dengan maksud untuk mencegah tindakan penyelundupan yang merugikan negara.
Terhadap barang-barang ekspor dan impor dilakukan pemeriksaan pabean untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan, terhadap barang ekspor dan impor dilakukan pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara cermat dan terinci dalam arti pemeriksaan barang hanya dilakukan atas importasi yang beresiko tinggi, barang berbahaya bagi masyarakat dan negara serta impor yang dilakukan importir yang mempunyai reputasi atau catatan yang kurang baik.
Terhadap barang ekspor dilakukan penelitian dokumen dalam hal tertentu dapat dilakukan pemeriksaan fisik. Dalam rangka usaha meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir, dengan demikian pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik diusahakan seminimal mungkin, sehingga terdapat barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian dokumen.
Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan
(24)
digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan peranan kepabeanan dalam perlindungan hak merek.
2. Sumber data
Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder. Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:
Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.
Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.
3. Metode pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah juridis normatif dimana penelitian dilakukan berdasarkan bahan teoritis dan perundang-undangan.
4. Analisis data
Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti perundang-undangan. Analisis dilakukan terhadap hasil penelitian kemudian diberikan kesimpulan dan saran.
G. Sistematika Penulisan
(25)
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang ketentuan dan perlindungan terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, ketentuan dan prosedur perlindungan atas merek dalam Undang-Undang Kepabeanan serta sanksi terhadap pelanggaran merek terdaftar.
BAB III. PERAN KEPABEANAN (CUSTOMS) DALAM RANGKA
PERLINDUNGAN TERHADAP MEREK TERDAFTAR
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang potensi kepabenan sebagai border enforcement agency terhadap perlindungan merek, keterbatasan dalam pelaksanaan peran kepabeanan di bidang merek dan serta hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai keterlibatas kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan terhadap merek.
BAB IV IMPLEMENTASI THE TRIPS AGREEMENT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABENAN INDONESIA DALAM MEMBERIKAN KONTRIBUSI TERHADAP PERLINDUNGAN MEREK TERDAFTAR.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap pengertian dan sejarah The TRIPs Agreeent, The TRIPs Agreement dan pengaruhnya
(26)
terhadap perlindungan merek serta implementasi The TRIPs Agreement dalam memberikan perlindungan terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.
(27)
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN
Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Secara umum telah banyak negara yang menerapkan perlindungan terhadap merek-merek jasa yang digunakan untuk produk-produk jasa, misalnya : perbankan, asuransi, rumah sakit, rumah makan, jasa keuangan dan sebagainya. Hanya segelintir negara yang belum menerapkannya misalnya Malaysia, karena peraturan pelaksanaannya belum ditetapkan.
Perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seorang atau sekelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa.11
Pengertian merek dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan, warna dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari pengertian tersebut mempunyai fungsi sebagai suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus merupakan jaminan terhadap mutu produk barang atau jasa yang sejenis yang dibuat pihak lain.
Dari pengertian tersebut, merek mempunyai fungsi sebagai suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus
11 OK. Saidin, Aspek Huk um Kek ayaan Intelek tual (Intellectual Property Rights), (Jakarta:
Raja Grafindo, 2003), hlm. 345.
(28)
merupakan jaminan terhadap mutu produk barang atau jasa yang sejenis yang di buat pihak lain.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek tidak mencantumkan definisi dan arti merek secara khusus. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang (beberapa orang)
apabila “ memiliki daya beda ” dan pertama kali memakai merek itu di Indonesia.
Dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barang-barang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.
Sedangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek dalam Pasal 1 ayat (1) yang
dimaksud dengan merek adalah “ tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf -huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa ”.
Selanjutnya dengan disyahkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek maka UU No. 21 Tahun 1961 dan UU No. 14 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 diterangkan bahwa “ merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf -huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa ”.
Dengan demikian terdapat persamaan arti dan kata antara pengertian merek dalam UU No. 14 Tahun 1997 dan di dalam UU No. 15 Tahun 2001.
Sedangkan terhadap merek-merek lainnya sebagaimana berurut dikatakan pada Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001 yaitu :
(29)
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. (3) Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
(4) Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karekteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Oleh JCT Simorangkir dikatakan bahwa merek adalah “cap, atau tanda”.12
Dalam sistem Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 tidak dapat didaftarkan kemasan suatu produk atau aroma suatu parfum sebagai merek. Hal ini berbeda dengan sistem perlindungan merek di negara-negara Uni Eropa, misalnya: Inggeris atau Jerman yang membolehkan kemasan diterima pendaftarannya sebagai merek apabila memiliki daya beda dengan merek lainnya.
Oleh Richard Burton Simatupang dikatakan :
Merek merupakan suatu tanda yang membedakan satu barang dengan barang lain yang sejenis. Untuk memahami pengertian akan merek, minimal ada lima pembatasannya yaitu :
1. Merek dapat disebut sebagai tanda pembeda, atau mempunyai daya pembeda
2. Merek dapat diingat dan diulang-ulang apabila kita mau membeli barang yang sama.
3. Sebagai suatu simbol.
4. Menetapkan suatu standar atau kualitas atau mutu barang 5. Melindungi para konsumen.13
Merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksud dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda
12 JCT Simorangkir, dkk, Kamus Huk um, (Jakarta: Aksara Baru, 2001), hlm. 110.
13 Richard Burton Simatupang, Aspek Huk um Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta 1995),
(30)
yang membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.14
Hak khusus atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan
“ daya beda “ merupakan lingkup yang sangat luas. Karena dengan demikian, setiap hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “hak khusus atas merek”,
misalnya : kemasan, aroma parfum. Pandangan itu sebenarnya sejalan dengan definisi merek menurut undang-undang Merek Inggeris, Trademark Act 1994 yang menyatakan dalam Pasal 1 :
“ Trademark means any sign capable of being represented graphically which is capable of distinguishing goods or services of one undertaking from those of other undertakings ”.15
Hak khusus atas merek tidak diberikan apabila merek itu tidak mempunyai
daya beda, umpamanya karena hanya terdiri atas “ angka-angka dan atau huruf-huruf ”, atau yang hanya terdiri atas kata-kata yang mengandung keterangan tentang Macam, waktu atau tempat pembuatan, jumlah, bentuk, tujuan, ukuran, harga atau berat barang. Selain itu, tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek tersebut menyerupai bendera-bendera negara, lambang-lambang negara, lambang-lambang, nama-nama, singkatan-singkatan lembaga internasional atau lambang-lambang dari yang berwenang. Juga tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek itu merupakan tanda pengesahan atau tanda jaminan resmi dari suatu badan pemerintah. Kekecualian atas penggunaan merek-merek di atas dapat dilakukan dan didaftarkan, apabila pemakai merek itu mendapat persetujuan dari yang berwenang.
Penolakan pendaftaran merek di atas, sesungguhnya, bersifat relatif karena dalam beberapa kasus terjadi pula pendaftarannya, misalnya merek rokok 555, minuman air mineral dengan merek Aqua.
Kemudian, penolakan hak khusus atas merek secara absolut ditujukan terhadap merek yang terdiri atas lukisan-lukisan atau perkataan-perkataan yang telah menjadi milik umum, misalnya, rambu - rambu lalu lintas, atau yang bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum, misalnya lambang-lambang keagamaan yang dapat menimbulkan konflik terhadap sara, yaitu suku, agama dan ras di Indonesia misalnya, lukisan-lukisan palu arit. Dalam suatu
14 Erma Wahyuni, et. all. Kebijak an dan Manajemen Huk um Merek, (Yogyakarta: Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, TT) hlm. 133.
15 Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terk enal di Indonesia Dari Masa Ke Masa,
(31)
masyarakat yang anti komunis dan berupaya menghindari masalah-masalah yang terjadi karena kesukuan, agama dan ras maka pendaftaran hak merek yang mengandung unsur-unsur seperti di atas akan ditolak oleh Kantor merek.
Alasan-alasan untuk menolak permintaan pendaftaran merek yang diatur dalam undang - undang merek di antaranya apabila merek yang diajukan itu sama atau serupa dengan merek yang telah didaftar lebih dulu atau dengan merek terkenal pihak lain, merupakan keterangan atas barang atau jasa, atau merek itu bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum dan sebagainya. Alasan-alasan seperti di atas juga lazim ditemukan pada sistem merek di negara-negara lain, selain itu, merek yang telah didaftar dapat dibatalkan apabila ternyata merek itu dianggap sama atau serupa dengan merek lainnya, atau merek itu didaftar dengan itikad tidak baik. Dengan demikian, di negara manapun, tidak ada alasan hukum penolakan atas suatu merek karena merek itu menggunakan kata atau bahasa asing. Karena yang utama, pendaftaran suatu merek harus dilandasi dengan itikad baik dan jujur, tanpa maksud meniru atau memalsukan merek pihak lain, serta mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Atas Merek dalam Undang-Undang Kepabeanan
Ketentuan dan prosedur perlindungan atas merek dalam UU Kepabeanan adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran. Artinya UU Kepabenan dapat memberikan kontribusinya dalam pelaksanaan perlindungan hak merek dalam kapasitas lingkup dan tugas kepabeanan semata yaitu di bidang ekspor dan impor semata. Konsep yang diberikan adalah kepabeanan bertanggungjawab atas barang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Dengan konsep yang demikian maka melalui kepabeanan akan didapat manfaat berupa pengendalian terhadap masuk atau keluarnya produk yang bertentangan dengan hak merek.
Adapun beberapa ketentuan dan prosedur perlindungan atas merek dalam UU Kepabeanan adalah meliputi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
(32)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan pada beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 54
Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat Bea dan Cukaiuntuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.
Pasal 54 di atas menjelaskan peranan dari Ketua Pengadilan Niaga dapat memberikan perintah kepada pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor atas perminataan pemilik atau pemegang hak merek. Permintaan tersebut harus didahului bukti yang cukup dari adanya pelanggaran hak merek atau hak lain yang dilindungi oleh undang-undang.
Perintah tertulis tersebut akan memberikan perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor sebagaimana diatur dalam Pasal 56 berikut ini:
Pasal 56
Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai:
a. Memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor;
b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga.
Pasal 56 di atas secara jelas menerangkan bahwa perintah ketua pengadilan tersebut sifatnya memberitahukan dan melaksanakan penangguhan penahanan terhadap barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran
merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia terhitung sejak tanggal diterimanya
perintah tertulis ketua pengadilan niaga.
Pasal 57:
(1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga.
(3) Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.
(33)
Penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 di atas dilakukan paling lama 10 hari kerja dan dapat diperpanjang 10 hari kerja lagi dan atas perintah ketua pengadilan.
Pasal 58:
(1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.
(2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.
Pasal 58 di atas menjelaskan pihak pemilik atau pemegang hak merek tersebut dapat memeriksa barang impor atau ekspor tersebut.
Pasal 59:
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (1), pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat Bea dan Cukaiwajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat Bea dan Cukaiyang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.
(3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) telah diberitahukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (2), pejabat Bea dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan
(34)
Undang-Undang ini.
Pasal 59 di atas menjelaskan tentang apabila pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan
Pasal 60:
Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.
Pasal 60 tersebut menjelaskan tentang dapat diajukannya pengakhiran penanggungan oleh importir,
eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor kepada ketua pengadilan niaga.
Pasal 61:
(1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.
(2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.
Sedangkan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan prosedur perlindungan atas merek dalam Undang-Undang Kepabenan adalah sebagaimana yang terdapat pada beberapa pasal sebagai berikut:
Pasal 55:
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan dengan disertai:
a. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan ;
b. Bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan; perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya, agar dengan cepat dapat
(35)
dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan jaminan.
Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat pula dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta.
Pasal 63:
Ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual tidak diberlakukan terhadap barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.
Tidak semua barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas
kekayaan intelektual dapat ditangguhkan masuknya ke Indonesia, terhadap barang
bawaan penumpang atau barang bukan tujuan komersial tidak dapat dikenakan penangguhan masuk ke Indonesia.
Pasal 64:
(1) Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerinta h.
Pasal 64 di atas adalah pasal yang menjelaskan perihal pengendalian Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sanksi Terhadap Pelanggaran Merek Terdaftar
Keberadaan UU Nomor 15 Tahun 2001 pada dasarnya ditujukan bagi mengantisipasi terhadap semakin meluasnya bentuk-bentuk pelanggaran hak merek
(36)
tersebut. Begitu juga halnya terhadap pemakaian merek oleh pihak yang tidak berhak, maka sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa UU Nomor 15 Tahun 2001 selain memuat ketentuan pidana terhadap pelanggaran hak merek ini juga pemilik merek yang sah dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang memakai mereknya tanpa sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001.
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 berbunyi :
(1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan untuk barang atau jasa yang sejenis serupa :
a. Gugatan ganti rugi, dan/atau
b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunakan merek tersebut.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Dari bunyi pasal di atas maka dapat dilihat bahwa jika harus diajukan gugatan terhadap pihak lain yang tanpa hak menggunakan merek yang pada pokoknya ada persamaan atau dalam keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis, bisa diajukan gugatan ganti rugi ditambah atau hanya dengan perintah penghentian dari semua perbuatan penggunaan merek bersangkutan itu. Jadi pemakaian yang tidak sah penyerobotan atau pemboncengan atas merek oleh pihak yang tidak berhak, tidak dapat diajukan gugatan terhadap itu. Dan diajukan kepada Pengadilan Niaga. Sesuai dengan apa yang disaksikan dalam sistem pembaharuan hak atas kekayaan intelektual sekarang ini.
Persoalan pada uraian di atas adalah apakah gugatan ganti rugi yang diajukan kepada pemakai merek tanpa sah tersebut dapat diajukan dengan dasar
(37)
perbuatan melawan hukum.
Tuntutan ganti rugi dilakukan dengan dasar adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada pihak lainnya. Terbitnya ganti rugi pada dasarnya timbul dari adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dikatakan demikian karena perbuatan melanggar hukum mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, atau dengan pendek dapat dinamakan suatu keganjilan.16
Seseorang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan apabila ia merugikan pihak lain disebabkan perbuatannya tersebut maka ia harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi. Jadi konsep tanggung jawab pada dasarnya menanggung akibat dari perbuatannya, dan di dalam hukum keperdataan hal tersebut dikenal dengan istilah perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku III title 3 Pasal 1365 – 1380 KUH Perdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang. R. Wirjono Prodjodikoro dalam
Rachmat Setiawan berpendapat bahwa “perkataan perbuatan melawan
hukum adalah istilah teknis yuridis yang arti sebenarnya secara tepat hanya mungkin didapatkan dari peninjauan Pasal 1365 KUH Perdata.17
Terlepas dari pemakaian istilah perbuatan melawan hukum itu sendiri maka akibat yang pasti dari adanya perbuatan hukum itu sendiri adalah melahirkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila dipenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum itu yaitu :
1. Harus ada perbuatan, yang di maksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya bersifat setiap tingkah laku tidak berbuat; 2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan
16 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Huk um Dipandang Dari Sudut Huk um Perdata, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hlm. 13.
17 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Huk um, (Bandung,
(38)
kerugian. 18
Bahwa kerugian dalam perbuatan melawan hukum adalah sesuatu yang hilang, yang tidak saja berupa kerugian material, akan tetapi juga dapat berupa kerugian immaterial. Dengan penguraian di muka, dapat ditarik pengertian ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum adalah pengembalian sesuatu yang hilang kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum atau pemberian penggantian terhadap sesuatu akibat dari suatu kerugian yang dialami sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum.
Dalam bagian ini perlu juga diuraikan hubungan sebab-akibat (causal) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, karena causal ini sangat penting untuk menentukan tanggung jawab sehubungan dengan kerugian yang timbul. Di dalam memecahkan hubungan sebab akibat (causal) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat 2 (dua) teori, yaitu:
1. Conditio sine quanon (Von Buri)
Menurut teori ini, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab, jika perbuatannya menimbulkan kerugian. Dalam
kehidupan sehari-hari demikian juga redaksi Pasal 1365 KUH Perdata bahwa yang dimaksud dengan dengan sebab adalah suatu faktor tertentu, akan tetapi kenyataannya bahwa sesuatu tidak pernah disebabkan oleh satu faktor saja, namun oleh fakta yang berurutan, dan fakta-fakta ini pada gilirannya
disebabkan oleh fakta-fakta lainnya, sehingga merupakan satu mata rantai dari fakta-fakta causal yang menimbulkan suatu akibat tertentu.
Atas dasar inilah Von Buri mensyaratkan: sesuatu perbuatan atau masalah adalah syarat daripada suatu akibat, apabila perbuatan masalah itu tidak dapat ditiadakan, hingga akibatnya tidak akan timbul.
2. Adequate veroorzaking (Von Kries)
Menurut teori ini, si pembuat bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai perbuatan melawan hukum.19 Ada kesalahannya:
Jika sudah jelas ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkam, maka muncullah masalah lain, yaitu apakah akibat itu dapat dipertanggungjawabka n kepada si pembuat? Malah dapat dikatakan, bahwa faktor kesalahan merupakan faktor dominan (menentukan) adanya perbuatan melawan hukum.
Jika kita tinjau isi dari Pasal 1365 KUH Perdata dengan teliti, memang tidak dibedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kurang
18Ibid., hlm. 9.
(39)
hati, melainkan yang penting harus terdapat kesalahan, dan kesalahan itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, sebagaimana dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, yakni:
Bahwa Pasal 1365 BW tidak memperbedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati, melainkan hanya mengatakan bahwa haruslah ada kesalahan (schuld) di pihak pembuat perbuatan melanggar hukum, agar si pembuat itu dapat diwajibkan membayar ganti kerugian. Maka dalam hukum perdata, menurut BW tidak perlu sangat dihiraukan, apa ada kesengajaan atau kurang berhati-hati.20
Dari uraian di atas apabila perbuatan melawan hukum tersebut dihubungkan dengan keberadaan Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001 khususnya dalam hal pengambilan tindakan terhadap pemakaian merek oleh pihak yang tidak berhak, maka pihak pemakai sah merek dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dengan dasar Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001 dan Pasal 1365 KUH Perdata.
Hanya saja perihal pembuktian telah terjadinya kerugian menjadi hal yang sangat berat bagi pemilik merek untuk memberikan data tentang jumlah kerugian yang dialaminya apabila dimintakan oleh pengadilan. Sehingga dalam hal ini pengadilan dan pemilik merek sah harus berhati-hati untuk memberikan data-data bukti kerugian yang dialaminya dengan beredarnya di pasaran merek yang tidak asli.
Sedangkan unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi dalam kaitannya dengan Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001, yaitu :
1. Harus ada perbuatan, yang di maksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya bersifat setiap tingkah laku tidak berbuat. Dalam hal ini perbuatan tersebut adalah pemakaian merek pihak lain tanpa hak atau tanpa persetujuan pemilik merek asli.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
Dalam hal ini secara jelas bahwa perbuatan memakai merek pihak lain tanpa sah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
3. Ada kerugian;
Dalam hal ini jelas sekali terlihat kerugian yang dialami pemilik merek asli baik itu kualitas, aset maupun keuntungan dan juga opini masyarakat.
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan
(40)
kerugian.
Bagian ini perlu dibuktikan dengan menghadirkan bukti-bukti mengakibatkan kerugian bagi pemilik sah merek.
Ketentuan sanksi pidana yang mengatur khusus tindakan pelanggaran merek diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yaitu Bab XIV, Pasal 90 sampai dengan 95. Ketentuan khusus ini sesuai dengan asas hukum lex specialis dapat mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam KUH Pidana terhadap aturan yang memiliki kesamaan.
Dalam ketentuan Pasal 90 disebutkan:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang
sama pada keseluruhannya denganMerek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Dalam ketentuan Pasal 91 ditentuakan bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merekterdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidanadengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapanratus juta rupiah)”
Sesuai dengan penambahan ketentuan indikasi geografis dan indikasi asal , maka terhadap pelanggaran kedua hak tersebut juga telah diatur sanksinya yaitu :
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar,dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(41)
hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasigeografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2).
Penyidikan terhadap tindak pidana dibidang merek diatur dalam Bab XIII Pasal 89 UU nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yaitu bahwa penyidikan atas tindak pidana merek selain oleh penyidik pejabat Polisi Negara juga dapat dilakukan penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ditunjuk sebagai penyidik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yan berlaku.
Kewenangan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah 1. Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak
pidana dibidang merek,
2. Melakukan pemeriksaaan terhdap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana bidang merek,
3. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidanan bidang merek,
4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan , catatan , dokumen lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana merek,
5. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukaan catatan dan dokumen lain,
6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana bidang merek.21
(42)
BAB III
PERAN KEPABENAN (C USTO MS) DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP MEREK TERDAFTAR
A. Pote nsi Ke pabe anan Se bagai Border Agency Te rhadap Pe rlindungan Me re k
Beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan perlindungan hak merek sebagai HKI yang memadai (adequate intellectual property right protection) dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan hak merek dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran Hak merek. Peningkatan perlindungan hak merek dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan perlindungan HKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HKI dalam perdagangan (terutama dalam perdagangan internasional) meningkat secara tajam; 2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan
suatu pasar global;
3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu;
4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan produk-produk baru;
5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam salah satu jenis perlindungan HKI. 22
Perlindungan terhadap hak merek sebagai HKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
22 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Peranan Bea dan CukaiDalam Perlindungan Hak
atas Kekayaan Intelektual,” Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights, Jakarta, 24-28 Mei 2004), hlm. 2-3.
(1)
Convention, The Paris Convention, The Rome Convention, dan The Washington IPIC Treaty (Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits). Hasilnya adalah (atau akan menjadi) sebuah sistem perlindungan internasional dengan berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan didukung oleh basis minimum perlindungan di 117 negara penandatangan.
Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPS melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation / WTO), Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hak milik intelektual yang terdapat dalam TRIPS. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Terdapat lima langkah strategis dalam rangka penyesuaian, yaitu:
1. Legislasi dan Konvensi Internasional: merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HMI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HMI seperti Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang, juga mempersiapkan penyertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional.
2. Administrasi: menyempurnakan sistem administrasi pengelolaan HMI dengan misi memberikan perlindungan hukum dan menggalakkan pengembangan karya-karya intelektual.
3. Kerjasama: meningkatkan kerjasama terutama dengan pihak luar negeri; 4. Kesadaran masyarakat: memasyarakatkan atau sosialisasi hak milik intelektual. 5. Penegakan Hukum: membantu penegakan hukum di bidang hak milik
(2)
intelektual.39
Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), maka Indonesia harus menyesuaikan semua ketentuan hak milik intelektual yang ada dengan ketentuan TRIPS, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPS tersebut tidak merugikan kepentingan Indonesia.
Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization). Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.
Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan terhadap permasalahan yang diajukan maka pada bagian akhir ini akan diberikan kesimpulan yaitu: 1. Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar dikaitkan dengan Undang-Undang Kepabeanan adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak merek, sehingga dengan adanya undang-undang kepabeanan maka melalui aparatur Kepabeanan akan didapat nilai positif yaitu berupa pencegahan keluar atau masuknya produk hasil pelanggaran hak merek dari Indonesia maupun keluar Indonesia. 2. Peran Kepabeanan (Customs) dalam rangka perlindungan terhadap merek
terdaftar adalah sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang hak merek dan hak kekayaan intelektual dan atas perintah pengadilan dapat menghentikan masuknya dan keluarnya barang pelanggaran hak merek.
3. Implementasi TRIPS Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar khususnya dalam hal sebagai pintu terdepan dalam penanggulangan pelanggaran hak merek di Indonesia.
B. Saran
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini meliputi: 73
(4)
1. Pihak pemegang merek asli hendaknya dapat mempergunakan sarana-sarana hukum secara maksimal dalam mengambil sikap terhadap pemalsuan merek serta dapat bekerjasama secara baik dengan instansi yang berwenang seperti Kepabeanan.
2. Pemegang hak merek hendaknya dapat melakukan pendaftaran hak mereknya sehingga dapat ditindak lanjuti perlindungan hukumnya.
3. Pemerintah hendaknya dapat meningkatkan sumber daya manusia aparatur Kepabeanan sehingga dapat mengantisipasi pelanggaran hak merek secara lebih baik lagi.
(5)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Adof. Huala. & A. Chandrawulan. Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Bea. Direktorat Jenderal dan Cukai. “Peranan Bea dan CukaiDalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual.” Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights. Jakarta, 24-28 Mei 2004.
Erawaty. AF Elly. Hukum Ekonomi Internasional. Bandung: FH Parahyangan, 1998.
Gautama. Sudargo dan Rizawanto Winata. Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Hasan. Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Juwana. Hikmahanto. Hukum Perdagangan Internasional. Alumni. Bandung, 2003.
Kartadjoemena. H.S. GATT dan WTO Sistem. Forum dan Lembaga Internasional. Jakarta: UI-Press, 1996.
Maulana. Insan Budi. Sukses Bisnis Melalui Merek Paten & Hak Cipta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
____________. Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Nasional. Dinas Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 2003.
Prodjodikoro. WirjoNomor Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2000.
Saidin, OK. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
Setiawan.Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Alumni, 1982.
(6)
Simatupang. Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Simorangkir. JCT dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru, 2001.
Wahyuni, Erma, et. all. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, Yogyakarta: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, TT.
Suherman. Ade Maman. “Penegakan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23 Nomor 1. 2004.
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Republik Indonesia, Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
C. Website
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. http://id.wik ipedia.org/wik i/Bea_cuk ai (diakses tanggal 26 Maret 2013).
Elfrida Gultom. “Bea Cukai Sebagai Akselator Pelabuhan Untuk Meningkatkan Devisa Negara”. www.legalitas.org (diakses tanggal 12 Juni 2013)
Tonny H. Soerojo, “TRIPS dan Pengaruhnya Bagi Peraturan Perundang-undangan
Indonesia”,