BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Optimasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Untuk Penetapan Kadar Antioksidan Tersier Butil Hidrokuinon (TBHQ)Dalam MinyakGoreng Setelah Penggorengan Berulang

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng

  Minyak goreng merupakan minyak yang telah mengalami proses pemurnian yang meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi (Sugiati, 2007). Sedangkan menurut SNI (2013) minyak goreng adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida yang berasal dari bahan nabati dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng. Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan (Ketaren, 1986).

  Di Indonesia minyak pangan yang banyak digunakan adalah minyak nabati. Secara umum, di pasaran ditawarkan dua macam minyak goreng yaitu minyak goreng yang berasal dari tumbuhan (minyak nabati) dan minyak goreng yang berasal dari hewan yang terkenal tallow(minyak atau lemak berasal dari sapi) dan lard(minyak atau lemak berasal dari babi). Minyak goreng nabati contohnya minyak sawit, minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun dan lain-lain.

  Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrelein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).Standar mutu minyak goreng menurut Standar Nasional Indonesia 01-3741-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

  Kriteria uji Satuan Syarat

Normal - Keadaan bau, warna dan rasa

Air % b/b Maks 0.30

  Asam lemak bebas % b/b Maks 0,30 (dihitung sebagai asam laurat) Bahan Makanan Tambahan Sesuai SNI.022-M dan Permenkes No.722/Menkses/Per/IX/88 Cemaran Logam

  • Besi (Fe) mg/kg Maks 1,5
  • Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,1
  • Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,1
  • Timbal (Pb) mg/kg Maks 40,0
  • Timah (Sn) mg/kg Maks 0,005
  • Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0/250,0 )* Arsen (As) % b/b Maks 0,1 Angka peroksida % mg Maks 1 Catatan *dalam kemasan kaleng

  Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-3741-2002

2.1.1Sifat fisik minyak

  Minyak memiliki beberapa sifat fisik yang dapat membedakan minyak dengan lemak atau senyawa lainnya, diantaranya:

  • Warna, terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah, golongan ini secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten (berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan) dan antosianin (berwarna kemerahan).Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan
umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh.

  • Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan pelarut halogen.
  • Titik didih (boiling point) akan semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.

2.1.2 Sifat kimia minyak

  Dalam minyak, terdapat beberapa proses kimia yang dapat terjadi akibat adanya interaksi antara struktur kimia yang dimiliki oleh minyak dan lingkungannya yaitu:

  • Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.
  • Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak.Menurut Smith (1991) mekanisme oksidasi pada umumnya terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas lemak (R•), yaitu suatu senyawa yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (persamaan 1). Tahap ini berlangsung lambat dan terjadi karena adanya cahaya atau logam. Pada tahap propagasi, radikal lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida (ROO•). Radikal peroksida selanjutnya akan menyerang molekul lemak lain (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikal lemak baru (persamaan 2 dan 3). Tahap ini merupakan reaksi rantai yang berlangsung sangat cepat. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi menjadi senyawa-senyawa seperti aldehida, keton dan asam yang menyebabkan bau serta rasa tengik. Reaksi oksidasi akan berakhir pada tahap terminasi, yaitu melalui reaksi antar radikal bebas (persamaan 4).

  Inisiasi : RH (1)

  → R• + H•

  → ROO• : ROO• + RH

  (3) → ROOH + R•

  Terminasi : ROO• + ROO•

  2 (non radikal) (4)

  → ROOR + O R• + ROO•

  → ROOR (non radikal) R• + R•

  → RR (non radikal) Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya oksidasi antara lain panas, cahaya, logam, suasana basa, derajat ketidakjenuhan, pigmen dan oksigen

  • Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
  • Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak dapat ditukar dengan rantai panjang yangbersifat tidak menguap.

2.1.3Minyak goreng berulang kali

  Minyak goreng berulang kali adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya.Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tanggaumumnya,dapat di gunakan kembali untuk keperluaran kuliner. Akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya,minyak goreng berulangkali mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terbentuk selama proses penggorengan (Raharjo, 2009).

  Penggunaan yang lama dan berkali-kalidapat menyebabkan ikatan rangkap pada minyak teroksidasi sehingga membentuk gugusperoksida dan monomer siklik.Awal dari kerusakan minyak goreng adalahterbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkanrasagatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digorengmenggunakan minyak goreng berulang kali. mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis dan biladisimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbautengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh (Ketaren, 2005).Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan meningkatkan perubahan warna menjadi coklat sampai kehitam-hitaman pada minyak tersebut.

2.1.4 Bahaya minyak goreng berulangkali bagi kesehatan

  Pemakaian minyak goreng berulang sampai dua kali masih dapat ditoleransi, namun jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi kehitam- hitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan (Ketaren, 2005). Penggunaan minyak goreng secara berulang dapatmembahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun,sehingga membahayakan tubuh (Pangkahila, 2011).

  Minyak goreng berulang, khususnya yang dihasilkan dari proses deep

  

frying merupakan radikal bebas dari luar tubuh (eksogen) yang dapat memicu

  terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan karbohidrat, protein, peroksidasi lipid, kerusakan membran sel hingga kerusakan DNA (Deoxyribo- Nucleic Acid) (Reynertson, 2007; Dorffman dkk, 2009; Arief, 2009). Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis dan kanker).

  Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) menemukan bahwa penggunaan minyak goreng berulang berdampak pada kesehatan. Pemanasan minyak goreng berkali - kali (lebih dari dua kali) pada suhu tinggi akan membentuk asam lemak trans. Asam lemak trans dapat meningkatkan kadar Low

  Lipoproteins (HDL) di dalam darah (Dhaka dkk, 2011; Wahab dkk, 2011).

  Beberapa studi pada tikus juga menunjukkan bahwa pemberian diet tinggilemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan, lemak abdominal, lemak subkutaneus, dan terutama akumulasi trigliserida pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam lemak bebas. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik, steatosis hepatik, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak) (Kavanagh dkk, 2007; Dorfman dkk, 2009).

  Percobaan yang dilakukan Machado dkk (2010) dengan menggunakan tikus percobaan yang diberi diet asam lemak trans, PUFA dan SFAditemukan bahwa asam lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom metabolik pada manusia. Asupan asam lemak trans menginduksi akumulasi lemak di hati yang kemudian memicu terjadinya NASH. Selain itu, Siagian dkk (2002) menyimpulkan bahwa pemberian per oral minyak kelapa bekas gorengan yang dipanaskan berulangkali terhadap mencit galur Swiss dapat menimbulkan kongesti hati, perlemakan dan nekrosis hati.

2.2 Antioksidan

  Antioksidan adalah senyawa yang ditambahkan dalam jumlah kecil ke dalam senyawa senyawa yang bersifat tidak jenuh, terutama lemak dan minyak untuk memperlambat proses oksidasi. Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat dapat membentuk radikal bebas dengan cepat (menyumbangkan atom hidrogen lebih cepat daripada molekul lemak) dan dapat terkonsentrasi pada permukaan atau lapisan lemak (bersifat lipofilik).Selain itu, untuk antioksidan dalam makanan harus tahan pada kondisi pengolahan makanan (Cahyadi, 2006).

  Senyawa antioksidan saat ini bermanfaat untuk berbagai bidang, seperti dalam bidang pangan, industri tekstil, minyak bumi, bahan pewarna dan lain-lain. Riset baik senyawa alam maupun senyawa sintetis. Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat dibagi menjadi antioksidan alami dan sintetik (Ketaren, 1986). Antioksidan alami antara lain: tokoferol, asam askorbat, flavonoid dan β-karoten.Sedangkan antioksidan sintetik yaitu BHA (Butil Hidroksi Anisol), BHT (Butil Hidroksi Toluen), PG (Propil Galat) dan TBHQ (Tersier Butil Hidrokuinon).Penggunaan kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap oksidasi jika dibandingkan dengan penggunaan satu jenis antioksidan saja (Cahyadi, 2006).

2.2.1. Manfaat antioksidan

  Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan di klasifikasikan dalam lima tipe antioksidan, yaitu:

  1. Primary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Senyawa antioksidan yang termasuk kelompok ini, misalnya BHA, BHT, PG, TBHQ dan tokoferol.

  2. Oxygen scavengers,yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Dalam hal ini, senyawa tersebut akan mengadakan reaksi dengan oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen akan berkurang. Contoh dari senyawa-senyawa kelompok ini adalah vitamin C (asam askorbat), askorbilpalminat, asam eritorbat dan sulfit.

  3. Secondary antioxidants,yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai kemampuan untuk berdekomposisi hidroperoksida menjadi prodak akhir yang stabil. Tipe antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstabilkan poliolefin resin. Contohnya asam tiodipropionat dan dilauriltiopropionat.

  4. Antioxidative EnzimeI,yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya radikal bebas. Contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase(SOD), glutation peroksidase dan kalalase. seperti besidan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak. Senyawa yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino, ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA) dan fosfolipid.

  2.2.2 Mekanisme kerja antioksidan

  Menurut Stuckey (1972) penghambatan oksidasi lipida oleh antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan sistem makanan. Salah satu mekanisme kerja antioksidan adalah dengan menyediakan hidrogen untuk bereaksi dengan radikal bebas dan memutuskan reaksi berantai oksidasi sebelum terbentuk produk akhir penyebab ketengikan, contohnya antioksidan golongan fenolat (AH

  2

  dan AH). Radikal bebas fenolat yang terbentuk stabil (berenergi rendah) karena adanya hibridisasi resonansi (Smith,1991).

  AH + R• (5)

  → RH + A• (stabil) atau AH + ROO•

  (6) → ROOH + A• (stabil) atau

  AH2 + ROO• (7)

  → ROOH + AH• (stabil) AH• + ROO•

  (8) → ROOH + A

  Antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipida terjadi dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam.

  2.2.3Tersier butil hidrokuinon

  Berdasarkan penelitian dari beberapa pakar, tersier butil hidrokuinon(TBHQ)dikenal sebagai antioksidan primer paling efektif dalam menghambat reaksi oksidasi pada direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada pemanggangan akan memberikan kegunaan yang lebih luas (Sherwin, 1990).

  OH C(CH ) 3 3 OH

Gambar 2.1Struktur TBHQ

  TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa. TBHQ memiliki rumus molekul (CH

  3 )

3 CC

  6 H 3 (OH) 2 dan memiliki nama lain seperti tert-butyl-1,4-

  benzenediol atau 2-tert-butylhydroquinone. Sedangkan sifat fisik yang dimilikinya

  o

  antara lain memiliki berat molekul = 166.22, titik didih (760 mmHg) = 300

  C, titik

  o leleh = 126.5-128.6 C dan intensitas baunya sangat rendah (Buck,1991).

2.3 Metode Analisis Antioksidan

  Berbagai metode analisis telah banyak dilaporkan untuk penentuan antioksidan dan pengawet dalam makanan, kosmetik maupun obat-obatan. Saat ini,kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)adalah metodeyang paling banyak digunakan untuk analisisantioksidan sintetik karena sifatnya yang fleksibel, presisi, sensitivitasyang memadai, mudah dilakukan dan lebih efisien(Karovicova danSimko, 2000; Razali dkk, 1997; Wang dkk, 2013).Meskipunmetode analisislain sepertikromatografi lapis tipis(KLT) (Ragazzi danVeronese, 1973), kromatografi gas(Gonzalez dkk,1999), spektrofotometer masa(GC-MS) (Guo dkk, 2007) juga telah dilaporkan.

  Xijin dan Zhicai (2011), mengungkapkan tingginya presisi dan sensitivitas yang dimiliki oleh KCKT(persen perolehan kembali diatas 90%) menyebabkan metode inimenjaditeknikutamauntuk analisisantioksidan sintetikpadadaging, sup, saus, makanan hewan, minyak kelapa sawit,keripik kentangdan jagung, keju,sereal, minumandanhati.Pernyataan ini juga didukung oleh Cabuk dan Kokturk (2013) bahwa KCKT merupakan metode yang sederhana dan efisien dalam penetapan kadar antioksidan sintetik dalam minuman. Pada kondisi optimum, persen perolehan kembali diperoleh sebesar 53-98%, linieritas yang baik dengan koefisien kolerasi sebesar 0,9975-0,9997, standar deviasi sebesar 1,0-5,2% dan limit deteksi sebesar 0,85- 2,73 μg/mL.

  Menurut Snyder dan Kirkland (1979) KCKT memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu:

  • mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
  • mudah melaksanakannya
  • kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi
  • dapat dihindari terjadinya dekomposisi/ kerusakan bahan yang dianalisis
  • resolusi yang baik
  • dapat digunakan bermacam-macam detektor
  • kolom dapat digunakan kembali
  • mudah melakukan perolehan kembali sampel (sample recovery)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

  Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960 dan 1970. KCKT merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi serta detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisis ataupun campuran.

  Pada KCKT, fase diam berupa kolom modern dengan partikel yang sangat kecil (ditempatkan dalam kolom tertutup), sedangkan fasa gerak berupa cairan yang dialirkan ke kolom menggunakan bantuan pompa dan terdapat detektor yang sensitif (McMaster, 2007).Berdasarkan mekanisme pemisahannya, kromatografi dapat diklasifikasikan berdasarkan adsorpsi, partisi, pertukaran ion dan berdasarkan eksklusi ukuran. Pada partisi dibedakan lagi menjadi kromatografi fasa normal dan fasa terbalik (Moffat, 2005).

  Saat ini, KCKT sudah sangat luas digunakan sebagai teknik pemisahan baik untuk analisis sampel dan pemurnian dalam variasi sampel baik dalam bidang farmasi, bioteknologi, lingkungan, polimer dan industri makanan (Settle, 1997). Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik maupun biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap. KCKT sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lainnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.1 Pemisahan dalam KCKT

  Pemisahan analit dalam kolom kromatografi terjadi didasarkan pada aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi analit dengan permukaan fase diam menyebabkan terjadinya perbedaan waktu perpindahan setiap komponen senyawa dalam campuran (Kazakevich dan LoBrutto,2007).

  Komponen senyawa yang terpisah dalam sistim KCKT akan dibawa oleh fase gerak menuju detektor dan sinyal yang terekam oleh detektor disebut sebagai puncak,sedangkan keseluruhan puncak yang direkam oleh detektor selama proses analisis disebut dengan kromatogram.Puncak dan kromatogram yang direkam informasi kuantitatif (Meyer, 2004).

  Sebagai contoh dapat digambarkan campuran dua senyawa yang berbeda dimasukkan kedalam sistim kromatografi (partikel • dan ▲) (Gambar 2.2a) dan pada saat fase gerak mengalir maka partikel

  ▲akan cenderung tinggal menetap difase diam dan partikel • akan terbawa didalam fase gerak (Gambar 2.2b). Masuknya fase gerak yang berkelanjutan dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fasa gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fasa diam berdasarkan koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fasa gerak (Gambar 2.2c ). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen • yang lebih suka dengan fasa gerak akan berpindah lebih cepat dari pada komponen

  ▲ yang cenderung menetap di fase diam, sehingga komponen • akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, yang kemudian diikuti oleh komponen ▲(Gambar 2.2d) (Mayer, 2004).

Gambar 2.2 Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi didalam kolom kromatografi

  cair kinerja tinggi (Mayer, 2004)

2.4.2.1 Waktu retensi (t R )

  Waktu retensi atau retention time (t R ) didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk membawa keluar suatu komponen dari dalam kolom kromatografi. Waktu retensi biasanya digunakan untuk menentukan kuat lemahnya interaksi analit di dalam kolom kromatografi. Waktu retensi suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama. Suatu puncak kromatografi dapat diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensinya terhadap baku (Meyer, 2004).

  Sebuah puncak memiliki tinggi puncak (h) dan lebar puncak (W b ). Lebar puncak yang diukur biasanya merupakan lebar pada 5% tinggi puncak (W ). Tinggi

  0,05

  dan luas puncak berkaitan secara proporsional atas kadar ataupun jumlah analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam proses analisis karena lebih akurat dan lebih cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Ornaf dan Dong, 2005). Kromatogram dari KCKT dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kromatogram puncak tunggal hasil analisis KCKT (Ornaf dan Dong, 2005).

  

Gambar 2.4Kromatogram dua puncak hasil analisis KCKT (Meyer, 2004)

  Pada Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa, w adalah lebar puncak dan t o disebut waktu hampa (void time/dead time), yaitu waktu tambat pelarut yang tidak tertahan atau waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom (Meyer, 2004). Waktu retensi dipengaruhi oleh laju alir (μ) dan panjang kolom (L). Jika laju alir lambat atau kolom panjang, maka t akan semakin besar dan sebaliknya. Waktu

  R

  retensi dipengaruhi oleh laju alir (μ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

  (9) µ =

2.4.2.2 Faktor Kapasitas (k’)

  Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran derajat tambatan dari analit yang tidak dipengaruhi laju alir dan panjang kolom. Faktor kapasitas dihitung dengan membagi waktu tambat bersih (t R ) dengan waktu hampa (t ) seperti yang dapat dilihat pada rumus berikut ini:

  ′

  −

  ′

  = = (10) Faktor kapasitas juga disebut sebagai faktor tambat (k) dalam beberapa literatur lainnya. Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen berbeda sama, maka faktor kapasitas dari analit pada kedua sistem kromatografi cair kinerja tinggi tersebut secara teoritis adalah sama (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

  Faktor kapasitas yang disukai berada diantara nilai 1 hingga 10. Jika nilai faktor kapasitas terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati kolom sehingga tidak terjadi interaksi antara analit dengan fase diam dan oleh karena itu, tidak akan muncul didalam kromatogram. Sebaliknya jika faktor kapasitas terlalu besar maka akan mengindikasikan waktu analisis yang panjang (Meyer, 2004). Nilai faktor kapasitas dari analit yang lebih kecil dari 1 dan juga lebih besar dari 20 akan menjadi masalah dalam analisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (Ornaf dan Dong, 2005).

  2.4.

2.3 Selektivitas (α)

  Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun 2007, Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan sebagai rasio perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit yang berbeda:

  −

  

2

  2

  = (11) =

  −

  

1

  1 Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem kromatografi cair kinerja

  tinggi harus lebih besar dari 1. Seletivitas juga dikenal sebagai faktor pemisahan atau tambatan relatif (Ornaf dan Dong, 2005).

  Proses pemisahan antara dua komponen dalam kromatografi cair kinerja tinggi hanya dimungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan atau membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai selektivitas. Selektivitas umumnya bergantung kepada sifat analit tersebut dan interaksi antara analit dengan permukaan fase diam dan fase gerak. Jenis fase gerak

  (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

  

Gambar 2.5Kromatogram hasil analisis kromatografi cair kinerja tinggi dengan

  berbagai selektifitas dan efisiensi (Kazakevich dan LoBrutto, 2007)

2.4.2.4 Efisiensi Kolom (N)

  Ukuran kuantitatif dari efisiensi kolom disebut sebagai nilai lempeng (plate number) atau N (Ornaf dan Dong, 2005). Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun 2007, Efisiensi adalah ukuran tingkat penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritikal atau theoretical plates (N), yang dapat dihitung dengan rumus:

  2

  (12) = 16 × �

  � Menurut Snyder dan Kirkland tahun 1979, kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan pita sempit dan memisahkan dengan baik setiap analit dalam campuran (sampel). Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik.

  Hubungan yang proporsional antara nilai lempeng pengan panjang kolom disebut sebagai tinggi setara dengan lempeng teoritikal (Height Equivalent of a Theoritical

  Plate atau HETP atau H) dan dapat dihitung menggunakan rumus:

  (13) =

  Tujuan utama dari analisis kromatografi cair kinerja tinggi secara praktik adalah untuk mendapatkan nilai lempeng teoritis yang maksimum, tinggi setara setara dengan lempeng teoritikal yang minimum dan efisiensi kolom yang tertinggi (Snyder dan Kirkland, 1979).

2.4.2.5Resolusi (Rs)

  Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, resolusi (Rs) merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang berdekatan. Resolusi dapat didefinisikan sebagai perbedaan waktu tambat antara dua puncak dibagi dengan rata-rata lebar kedua puncak. Oleh karena itu resolusi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut ini:

  − − −

  2

  1

  2

  1

  2

  1

  = 2 × = 1,18 × (14) =

  −

  2

  1

  1

  1

  − −

  

2

  1

  � �

  2

  2

  2

  2

2 Pemisahan yang terpisah dengan sempurna telah dapat terlihat bila resolusi

  setara dengan 1. Akan tetapi, pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkanharus lebih besar dari 1,5. Sementara itu, bila kedua puncak yang berdekatan memiliki perbedaan ukuran yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar (Meyer, 2004).

2.4.2.6Faktor ikutan (T f ) dan faktor asimetri (A s )

  Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang sempurna (Ornaf dan Dong, 2005). Namun kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai (bentuk Gaussian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6). Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam tiga jenis bentuk puncak.

  Gambar 2.6Bentuk puncak kromatogram (Meyer, 2004).

  Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni: faktor ikutan atau tailing factor (T ) dan faktor asimetris. Faktor ikutan atau tailing

  f

factor (T f ) seperti yang diterangkan dalam Farmakope Amerika Serikat edisi ketiga

th

  puluh (United States Pharmacopoeia 30 Edition (USP XXX)) tahun 2007 dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5% (W ) rumusnya dituliskan

  0,05

  sebagai berikut:

  • (15)

  = 2 × Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5% seperti yang ditunjukkan di Gambar 2.7.

  Gambar 2.7Pengukuran derajat asimetris puncak (Dolan, 2003).

  Sedangkan faktor asimetri (A s ) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: = (16)

  Akan tetapi, nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar 2.7. Jika nilai a sama dengan b, maka faktor tailing dan asimetri bernilai 1. Kondisi ini menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003). Bila puncak berbentuk tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari 1 dan sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri akan bernilai lebih kecil dari 1 (Hinshaw, 2004).

2.4.3 Instrumen KCKT

  Pada dasarnya peralatan pokok yang harus ada di dalam suatu sistem KCKT adalah sebagai berikut, wadah fasa gerak, pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder (Kantasubrata, 2004).

  Gambar 2.8Instrumen dasar KCKT (McMaster, 2007).

  2.4.3.1 Wadah fase gerak

  Sesuai dengan namanya, fungsi dari wadah fasa gerak adalah untuk menampung fase gerak yang akan dialirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa. Wadah fasa gerak biasanya terbuat dari gelas dengan volume yang bervariasi bergantung dari jumlah/ volume fasa gerak yang dibutuhkan.

  2.4.3.2 Pompa

  Pompa di dalam sistem KCKT berfungsi untuk mendorong fase gerak masuk kedalam kolom. Tekanan pompa yang diperlukan harus cukup tinggi karena kolom KCKT berisi partikel-partikel yang sangat kecil. Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang dgunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit (Rohman, 2009).

  2.4.3.3Injektor

  Ada 3 jenis injektor, yaitu syringe injector, loop valve dan automatic injector (autosampler). syringe injectormerupakan bentuk injektor yang paling sederhana volume lebih besar da ripada 10 μl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom (Dong, 2005). Sedangkan automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki prinsip yang mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis (Meyer, 2004).

  2.4.3.4Kolom

  Kolom merupakan jantung atau bagian yang terpenting dari suatu instrumen KCKT karena didalam kolom terjadi pemisahaan komponen-komponen cuplikan. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya suatu analisis atau pemisahaan komponen- komponen sangat tergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan dapat terjadi karena fase diam yang terdapat di dalam kolom dapat mengadakan interaksi dengan berbagai kompoen dengan kekuatan yang berbeda satu sama lain, sehingga masing- masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi (t R ) yang juga berbeda.

  Kolom umumnya terbuat dari baja anti karat dengan tingkat 316 (316 grade

  

stainless steel ) dan dikemas dengan fase diam tertentu. Ukuran panjang kolom untuk

  tujuan analitik berkisar antara 10 cm hingga 25 cm dan diameter dalam berkisar 3 mm hingga 9 mm (Brown dan DeAntonis, 1997). Sedangkan untuk tujuan preparatif panjang berkisar antara 30 cm atau lebih dan diameter dalam berkisar 10 mm hingga 25,4 mm (Meyer, 2004).

  2.4.3.5 Detektor

  Karakteristik detektor yang baik adalah sensitif, batas deteksi rendah, respon yang linier, mampu mendeteksi solut secara universal, tidak destruktif, mudah dioperasikan, memiliki volume pendeteksian (dead volume) yang kecil dan tidak sensitif terhadap perubahan temperatur serta kecepatan fase gerak (Hamilton dan detektor spektrofotometri ultraviolet/visible, photodiode-array (PDA), fluoresensi, spektrometri massa, indeks bias dan elektrokimia (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.3.6 Perekam atau rekorder

  Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder dihubungkan ke detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari detektordan memplotkannya kedalam kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis (Brown dan DeAntonis, 1997).

2.5 Validasi Metode

  Validasi metode analisis ialah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk digunakannya. Tujuan utama validasi adalah untuk menjamin bahwa metode analisis yang digunakan mampu memberikan hasik yang cermat dan handal sehingga dapat dipercaya (Harnita, 2004).

  Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis diuraikan dan didefinisikan sesuai dengan cara penentuannya. Parameter yang digunakan ialah batas deteksi dan kuantitasi, presisi, akurasi, dan linearitas. Selain itu digunakan pula parameter keterulangan (repeatability) dan ketangguhan (rudgedness).

2.5.1 Linieritas

  Linieritas menggambarkan hubungan antara respon detektor dengan konsentrasi analit yang diketahui. Linieritas dapat diperoleh dengan mengukur beberapa konsentrasi standar yang berbeda antara 50-150% dari kadar analit dalam sampel kemudian data diproses menggunakan regresi linier sehingga diperoleh slope,

  

intersept dan koefisien kolerasi. Koefisien kolerasi diatas 0,999 sangat diharapkan

untuk metode analisis yang baik (Harnita, 2004).

  Akurasi merupakan ukuran yang menunjukkan kedekatan nilai hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harnita, 2004).Akurasi dapat ditentukan dengan 2 (dua) metode yaitu:

  1. Metode simulasi (Spike-placebo recovery) analit murni ditambahkan kedalam campuran/ sampel, kemudian campuran/ sampel ini dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang diharapkan

  2. Metode penambahan standar (Sandard Addition Method) adalah perlakuan pemasukan langsung analit yang telah diketahui konsentrasinya kedalam sediaan campuran/ sampel farmasi otentik ( Ermer, 2005; Harmita, 2004 )

  2.5.3 Presisi (keseksamaan)

  Presisi ialah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antarhasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Menurut CDER (1994), presisi dibagi menjadi tiga, yaitu keterulangan (repeatability), ketertiruan (reproducibility), dan presisi antara (intermediate

  

precision ). Keterulangan ialah presisi metode jika dilakukan berulang kali oleh analis

  yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan ialah presisi metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang berbeda pada kondisi berbeda. Presisi antara merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara laboratorium dan antaranalis.

  2.5.4 Batas deteksi dan batas kuantitasi (LOD dan LOQ)

  Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah yang terdapat dalam sampel yang masih mampu dideteksi. Sedangkan batas kuantitasi adalah konsentrasi analit terendah yang terdapat dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan deteksi dan batas kuantitasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu:

  1. Metode non instrumental visual, digunakan dalam analisis tanpa menggunakan perhitungan misalnya metode kromatografi lapisan tipis dan metode titrimetrik

  2. Metode Instrumental, digunakan dalam analisis dengan menggunakan perhitungan misalnya, metode KCKT. Batas deteksi dan batas kuantitasi dihitung berdasarkan simpangan baku atau standar deviasi (SD) dan kemiringan ditentukan dengan slope(Rohman dan Ganjar, 2007).

  2.5.5 Selektifitas (spesifisitas)

  Spesifisitas adalah kemampuan metode analisis untuk mengukur secara akurat dan spesifik suatu analit dengan adanya komponen-komponen lain yang terdapat dalam matriks sampel. Metode spesifik yang digunakan tidak memberi signal adanya komponen atau senyawa lain dalam sampel (USP, 2006).

  Selektifitas adalah kemampuan metode analisis memberikan signal analit dengan benar untuk campuran analit dalam sampel tanpa adanya interaksi antar analit (Joseph, 1997). Jadi metode selektif dapat dinyatakan sebagai suatu seri metode spesifik.

  2.5.6 Rentangan (kisaran)

  Rentang atau kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linearitas yang mencukupi. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Kekuatan merupakan pengujian kemampuan dari suatu metode untuk tidak terpengaruh oleh adanya sedikit perubahan parameter pada metode/ prosedur analitik. Kekuatan dievaluasi dengan melakukan sedikit perubahan parameter pada metode/ prosedur analitik tersebut misalnyapersentase kandungan pelarut organik dalam fase gerak,pH larutan,tempratur kolomKCKT,waktu pengektrasian analit,komposisi pengektraksi, perbandingan fase gerak,laju alir fase gerak dan tipe kolom serta pabrikan pembuat kolom (Epshtein,2004).

2.5.8 Kekasaran (Ketangguhan)

  Kekasaran/ketangguhan merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dengan kondisiyang bervariasi dandinyatakan sebagai simpangan baku relatif (RSD).Pada kondisi ini meliputi kapasitas laboratorium,analis,reagen dan waktu percobaan yang dilakukan berbeda (Rohman dan Ganjar, 2007).