Optimasi dan Validasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Penetapan Kadar Flukonazol dalam Sediaan Kapsul

(1)

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

PADA PENETAPAN KADAR FLUKONAZOL DALAM

SEDIAAN KAPSUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SAFRINA

NIM 081501033

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

PADA PENETAPAN KADAR FLUKONAZOL DALAM

SEDIAAN KAPSUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SAFRINA

NIM 081501033

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) PADA PENETAPAN

KADAR FLUKONAZOL DALAM SEDIAAN KAPSUL

OLEH: SAFRINA NIM: 081501033

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 15 Juni 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt.

NIP 195201041980031002 NIP 195008281976032002

Pembimbing II, Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. NIP 195201041980031002

Prof. Dr. rer. nat. E. De Lux Putra, S.U., Apt. Dra. Salbiah, M.Si., Apt. NIP 195306191983031001 NIP 194810031987012001

Drs. Syafruddin, M.Si., Apt. NIP 194811111976031003 Medan, Juni 2013

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Optimasi dan Validasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Penetapan Kadar Flukonazol dalam Sediaan Kapsul”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan . Bapak Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt., dan Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., selaku dosen pembibing yang telah banyak memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., Bapak Drs. Syafruddin, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Salbiah, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Serta kepada Bapak Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt., sebagai dosen penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga khusus kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Muhammad Ibr, SH. dan


(5)

Ibunda tercinta Hj. Iriany, S.Pd., untuk Saudara tersayang Maulana Saputra, SH. dan Ramadhan, atas do’a, dukungan, motivasi dan perhatian yang tiada hentinya kepada penulis, serta teman-teman mahasiswa Fakultas Farmasi USU yang memberikan saran, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun pada skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan,15 Juni 2013 Penulis,


(6)

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) PADA PENETAPAN KADAR FLUKONAZOL

DALAM SEDIAAN KAPSUL ABSTRAK

Kapsul flukonazol merupakan salah satu antifungi golongan triazol yang bekerja menghambat sintesis ergosterol sehingga menghambat pertumbuhan jamur. Obat ini berspektrum antifungal luas dan efektif pada pemberian per oral. Obat ini digunakan untuk mengobati candidiasis vagina akut dan kronis, candidiasis mulut, candidiasis sistemik dan infeksi kriptokokus. Penetapan kadar flukonazol dalam United States Pharmacopeia (USP) Edisi XXIX tahun 2006

ditentukan secara KCKT menggunakan fase gerak campuran air dan asetonitril (80:20). Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan optimasi dan validasi metode KCKT pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul. Selanjutnya metode yang tervalidasi ini diaplikasikan pada penetapan kadar kapsul flukonazol dengan nama generik dan dagang

Penetapan kadar flukonazol dalam kapsul dilakukan dengan metode kroma tografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom VP-ODS (250 x 4,6 mm) (Shimadzu) dengan perbandingan fase gerak asetonitrill:air (45:55), laju air 1,0 ml/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm.

Hasil identifikasi flukonazol diperoleh waktu retensi flukonazol dalam sediaan kapsul sama dengan waktu retensi flukonazol baku yaitu pada 3,3 menit. Hasil penelitian diperoleh kadar Flukonazol (PT Kimia Farma) = 100,70% ± 1,57%, kapsul Zemyc® (PT Pharos) = 101,77% ± 3,21%. kapsul Cancid® (PT Sunthi Sepuri) = 102,72% ± 1,00%, dan kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) = 103,98 ± 2,53%. Hasil yang diperoleh ini memenuhi persyaratan yang tercantum dalam USP Revision Bulletin 33th Edition tahun 2010, yaitu

mengandung flukonazol tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket. Uji validasi metode yang dilakukan terhadap kapsul Flukonazol (PT Kimia Farma) diperoleh persen perolehan kembali 100,34%, Relatif Standar Deviasi (RSD) = 0,75%. Ini berarti metode yang

digunakan memiliki ketepatan dan ketelitian yang baik. Batas Deteksi = 1,4846 µg/ml dan Batas Kuantitasi = 4,9489 µg/ml.


(7)

OPTIMATION AND VALIDATION HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) METHOD OF ANALYSIS FOR

FLUCONAZOLE IN CAPSULE ABSTRACT

Fluconazole capsule is a triazole antifungal drug which acts by inhibition of the ergosterol component of the fungal cell membrane which inhibits fungal growth. It is active against a broad spectrum fungal pathogens and is available for oral use. It is indicated in the treatment of accute and recurrent vaginal candidiasis, mucosal candidiasis, systemic candidiasis and criptococcal infections. Determination of fluconazole in United States Pharmacopheia (USP) 29th Edition 2006 confirmed by HPLC using mobile phase of water and acetonitrile (80:20). The purpose of this study is to optimate and validate HPLC method in determining fluconazole levels in generic and brand capsule dosage.

Determination of Fluconazole contents in capsules was perfomed on Reversed Phase High Peformance Liquid Chromatography system VP-ODS (250 x 4.6 mm) (Shimadzu) using a mobile phase of acetonitrile and water (45 : 55 v/v) with flow rate 1.0 ml/min at 260 nm detector wave length.

The identification results esthablished in similar retention time between Fluconazole capsule dosage form and Fluconazole reference standard at 3.3 minute. The results showed contents of generic capsule of Fluconazole (PT Kimia Farma) = 100.70% ± 1.57%, and the contents of brand capsule Zemyc® (PT

Pharos) = 101. 77% ± 3.21%, Cancid® (PT Sunthi Sepuri) = 100.72% ± 1.00%, Govazol® (PT Guardian Pharmatama) = 103.98 ± 2.53%. The results showed the contents of generic and brand capsules of Fluconazoles are accepted in requirement of fluconazole pharmacy dosage form levels specified in USP Revission Bulletin 33th Edition which contains not less than 90.0% and not more than 110.0% of the labeled amount. Validation test was held on the Fluconazole capsules (PT Kimia Farma) showed the percent recovery 100.34%, the Relative Standard Deviation (RSD) = 0.75%. It means the method was obtained has good accuracy and precision. The Limit of Detection (LOD) = 1.4846 µg/ml and the Limit of Quantitation (LOQ) = 4.9489 µg/ml.

Keywords : Fluconazole, HPLC, optimation, validation.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Flukonazol ... 4

2.1.1 Sifat Fisikokimia ... 4

2.1.2 Farmakologi ... 5

2.1.3 Bentuk Sediaan ... 5

2.2 Kromatografi ... 5

2.2.1 Sejarah Kromatografi ... 5


(9)

2.2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 6

2.2.3.1 Jenis-jenis KCKT ... 7

2.2.3.2 Kriteria Optimasi KCKT ... 8

2.2.4 Cara Kerja KCKT ... 9

2.2.5 Migrasi dan Retensi Solut ... 10

2.2.6 Instrumen KCKT ... 10

2.2.6.1 Wadah Fase Gerak ... 11

2.2.6.2 Pompa ... 11

2.2.6.3 Injektor ... 12

2.2.6.4 Kolom ... 12

2.2.6.5 Detektor ... 13

2.2.6.6 Perekam ... 13

2.2.7 Parameter Penting dalam KCKT ... 14

2.2.7.1 Tinggi dan Luas Puncak ... 14

2.2.7.2 Waktu Tambat ... 14

2.2.7.3 Faktor Kapasitas ... 15

2.2.7.4 Selektifitas ... 15

2.2.7.5 Efisiensi Kolom ... 16

2.2.7.6 Resolusi ... 16

2.2.7.7 Faktor Asimetri ... 17

2.3 Validasi Metode ... ... 17

2.3.1 Akurasi ... 18

2.3.2 Presisi ... 19

2.3.3 Spesifisitas ... 19

2.3.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 20


(10)

2.3.6 Rentang ... 21

2.3.7 Kekuatan ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.2 Alat-alat ... 22

3.3 Bahan- bahan ... 22

3.4 Pengambilan Sampel ... 22

3.5 Prosedur Penelitian ... 23

3.5.1 Pembuatan fase gerak ... 23

3.5.2 Pembuatan pelarut ... 23

3.5.3 Prosedur analisis ... 23

3.5.3.1 Penyiapan alat kromatografi cair kinerja tinggi ... 23

3.5.3.2 Penentuan perbandingan fase gerak yang optimum ... 23

3.5.4 Analisis kualitatif menggunakan KCKT ... 24

3.5.4.1 Uji identifikasi flukonazol menggunakan KCKT ... 24

3.5.5 Analisis kuantitatif ... 24

3.5.5.1 Pembuatan larutan induk baku flukonazol ... 24

3.5.5.2 Pembuatan kurva kalibrasi flukonazol ... 25

3.5.5.3 Penetapan kadar sampel ... 25

3.5.5.4 Analisis data penetapan kadar secara statistik ... 26


(11)

3.5.6 Validasi metode ... 27

3.5.6.1 Akurasi (kecermatan) ... 27

3.5.6.2 Presisi (keseksamaan) ... 27

3.5.6.3 Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Optimasi Komposisi Fase Gerak ... 30

4.2 Analisis Kualitatif ... 31

4.3 Analisis Kuantitatif ... 35

4.3.1 Penentuan kurva kalibrasi ... 35

4.3.2 Penetapan kadar analit dalam sampel yang dianalisis ... 36

4.4 Hasil Uji Validasi .... ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Optimasi Perbandingan Fase Gerak Asetonitril:Air... 30 Tabel 2. Data hasil penetapan kadar flukonazol

dalam sediaan kapsul ... 36 Tabel 3. Hasil pengujian validasi, dengan parameter akurasi, dan

presisi flukonazol pada kapsul Flukonazol ( PT Kimia


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Struktur Flukonazol . ... 4 Gambar 2. Diagram Blok KCKT . ... 10 Gambar 3. Kromatogram bahan baku flukonazol secara KCKT

menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril : air (45:55) dan Laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan

deteksi pada panjang gelombang 260 nm ... 31 Gambar 4. Kromatogram kapsul flukonazol secara KCKT menggunakan

kolom Shimadzu VP-ODS(250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril : air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi

pada panjang gelombang 260 nm ... 32 Gambar 5. Kromatogram kapsul flukonazol menggunakan kolom

Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril : air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada

panjang gelombang 260 nm ... 33 Gambar 6. Kromatogram hasil Spike secara KCKT menggunakan

kolom Shimadzu VP-ODS(250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril : air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi


(14)

Gambar 7. Kurva kalibrasi flukonazol baku menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril : air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit,

volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada

panjang gelombang 260 nm ... 35

Gambar 8. Alat KCKT Shimadzu ... 107

Gambar 9. Alat sonifikator Branson (1510) ... 108

Gambar 10. Pompa vakum dan alat penyaring fase gerak ... 108

Gambar 11. Sonifikator Kudos ... 109

Gambar 12. Neraca analitik ... 109

Gambar 13. Syringe KCKT ... 110


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kromatografi penyuntikan larutan kapsul flukonazol

untuk mencari komposisi fase gerak asetonitril : air

yang optimum pada analisis ... 42 Lampiran 2. Kromatogram larutan flukonazol baku pada pembuatan

kurva kalibrasi ... 45 Lampiran 3. Perhitungan persamaan regresi dari kurva kalibrasi

flukonazol bakuI yang diperoleh secara KCKT pada

panjang gelombang 260 nm ... 53 Lampiran 4. Perhitungan recovery dengan metode adisi standar ... 55

Lampiran 5. Kromatogram hasil reovery dari sampel Flukonazol

(PT Kimia Farma) ... 59 Lampiran 6. Hasil pengujian validasi dengan parameter akurasi, dan

presisi flukonazol pada kapsul Flukonazol

(PT Kimia Farma) ... 71 Lampiran 7. Contoh perhitungan % recovery dengan metode adisi

standar ... 72 Lampiran 8. Perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi

(LOQ) persamaan regresi : Y = ax + b ... 73 Lampiran 9. Kromatogram dari larutan kapsul Flukonazol

(PT Kimia Farma) ... 74 Lampiran 10. Analisis data statistik untuk mencari kadar


(16)

(PT Kimia Farma) ... 78

Lampiran 11. Kromatogram dari larutan kapsul Cancid® (PT Sunthi Sepuri) ... 80

Lampiran 12. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari penyuntikan larutan kapsul Cancid® (PT Sunthi Sepuri) ... 84

Lampiran 13. Kromatogram dari larutan kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) ... 86

Lampiran 14. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari penyuntikan larutan kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) ... 90

Lampiran 15. Lanjutan analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari larutan kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) ... 91

Lampiran 16. Kromatogram dari larutan kapsul Zemyc® (PT Pharos) ... 93

Lampiran 17. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari penyuntikan larutan kapsul Zemyc® (PT Pharos) ... 97

Lampiran 18. Perhitungan penimbangan sampel ... 99

Lampiran 19. Hasil analisa kadar flukonazol dalam sampel ... 100

Lampiran 20. Contoh perhitungan untuk mencari kadar flukonazol ... 102

Lampiran 21. Daftar spesifikasi sampel ... 103


(17)

Lampiran 23. Sertifikat flukonazol baku ... 106 Lampiran 24. Gambar alat KCKT (Simadzu) ... 107 Lampiran 25. Gambar sonifikator (Branson 1510) dan penyaring ... 108


(18)

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) PADA PENETAPAN KADAR FLUKONAZOL

DALAM SEDIAAN KAPSUL ABSTRAK

Kapsul flukonazol merupakan salah satu antifungi golongan triazol yang bekerja menghambat sintesis ergosterol sehingga menghambat pertumbuhan jamur. Obat ini berspektrum antifungal luas dan efektif pada pemberian per oral. Obat ini digunakan untuk mengobati candidiasis vagina akut dan kronis, candidiasis mulut, candidiasis sistemik dan infeksi kriptokokus. Penetapan kadar flukonazol dalam United States Pharmacopeia (USP) Edisi XXIX tahun 2006

ditentukan secara KCKT menggunakan fase gerak campuran air dan asetonitril (80:20). Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan optimasi dan validasi metode KCKT pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul. Selanjutnya metode yang tervalidasi ini diaplikasikan pada penetapan kadar kapsul flukonazol dengan nama generik dan dagang

Penetapan kadar flukonazol dalam kapsul dilakukan dengan metode kroma tografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom VP-ODS (250 x 4,6 mm) (Shimadzu) dengan perbandingan fase gerak asetonitrill:air (45:55), laju air 1,0 ml/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm.

Hasil identifikasi flukonazol diperoleh waktu retensi flukonazol dalam sediaan kapsul sama dengan waktu retensi flukonazol baku yaitu pada 3,3 menit. Hasil penelitian diperoleh kadar Flukonazol (PT Kimia Farma) = 100,70% ± 1,57%, kapsul Zemyc® (PT Pharos) = 101,77% ± 3,21%. kapsul Cancid® (PT Sunthi Sepuri) = 102,72% ± 1,00%, dan kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) = 103,98 ± 2,53%. Hasil yang diperoleh ini memenuhi persyaratan yang tercantum dalam USP Revision Bulletin 33th Edition tahun 2010, yaitu

mengandung flukonazol tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket. Uji validasi metode yang dilakukan terhadap kapsul Flukonazol (PT Kimia Farma) diperoleh persen perolehan kembali 100,34%, Relatif Standar Deviasi (RSD) = 0,75%. Ini berarti metode yang

digunakan memiliki ketepatan dan ketelitian yang baik. Batas Deteksi = 1,4846 µg/ml dan Batas Kuantitasi = 4,9489 µg/ml.


(19)

OPTIMATION AND VALIDATION HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) METHOD OF ANALYSIS FOR

FLUCONAZOLE IN CAPSULE ABSTRACT

Fluconazole capsule is a triazole antifungal drug which acts by inhibition of the ergosterol component of the fungal cell membrane which inhibits fungal growth. It is active against a broad spectrum fungal pathogens and is available for oral use. It is indicated in the treatment of accute and recurrent vaginal candidiasis, mucosal candidiasis, systemic candidiasis and criptococcal infections. Determination of fluconazole in United States Pharmacopheia (USP) 29th Edition 2006 confirmed by HPLC using mobile phase of water and acetonitrile (80:20). The purpose of this study is to optimate and validate HPLC method in determining fluconazole levels in generic and brand capsule dosage.

Determination of Fluconazole contents in capsules was perfomed on Reversed Phase High Peformance Liquid Chromatography system VP-ODS (250 x 4.6 mm) (Shimadzu) using a mobile phase of acetonitrile and water (45 : 55 v/v) with flow rate 1.0 ml/min at 260 nm detector wave length.

The identification results esthablished in similar retention time between Fluconazole capsule dosage form and Fluconazole reference standard at 3.3 minute. The results showed contents of generic capsule of Fluconazole (PT Kimia Farma) = 100.70% ± 1.57%, and the contents of brand capsule Zemyc® (PT

Pharos) = 101. 77% ± 3.21%, Cancid® (PT Sunthi Sepuri) = 100.72% ± 1.00%, Govazol® (PT Guardian Pharmatama) = 103.98 ± 2.53%. The results showed the contents of generic and brand capsules of Fluconazoles are accepted in requirement of fluconazole pharmacy dosage form levels specified in USP Revission Bulletin 33th Edition which contains not less than 90.0% and not more than 110.0% of the labeled amount. Validation test was held on the Fluconazole capsules (PT Kimia Farma) showed the percent recovery 100.34%, the Relative Standard Deviation (RSD) = 0.75%. It means the method was obtained has good accuracy and precision. The Limit of Detection (LOD) = 1.4846 µg/ml and the Limit of Quantitation (LOQ) = 4.9489 µg/ml.

Keywords : Fluconazole, HPLC, optimation, validation.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Flukonazol merupakan antifungal golongan triazol yang bekerja menghambat sintesis ergosterol, yaitu komponen utama pembentukan membran sel jamur dan efektif terhadap candidiasis mulut, kerongkongan, dan vagina. (Tan dan Rahardja, 2007).

Optimasi dalam sistem KCKT dilakukan untuk menemukan kondisi yang optimal guna menghasilkan pemisahan yang baik pada kondisi percobaan tersebut dilakukan. Keberhasilan suatu pemisahan analit sangat dipengaruhi oleh pemilihan sistem kromatografi dan komposisi fase gerak yang tepat. Pemilihan komposisi fase gerak merupakan aspek utama dalam optimasi. Pemilihan fase gerak juga berhubungan denngan parameter lain seperti laju alir dan suhu kolom yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan komposisi fase gerak yang digunakan (Berridge, 1985).

Menurut United States Pharmacopeia (USP) Edisi XXVIII Tahun 2006

penetapan kadar flukonazol secara KCKT menggunakan kolom ODS (4,6 mm x 15 cm) sedangkan kolom yang digunakan dalam penelitian adalah kolom VP-ODS (4,6 mm x 25 cm). Perbedaan panjang kolom yang digunakan pada sistem kromatografi merupakan parameter penting untuk dilakukan optimasi metode.

Menurut beberapa literatur, penetapan kadar flukonazol sebagai bahan baku dapat ditentukan secara KCKT menggunakan kolom C18, laju alir 1,0 ml/menit dengan fase gerak asetonitril:air (20:80) (USP Conventional Inc., 2006); asetonitril:air (40:60) pada pH 3,0 dengan penambahan asam asetat (5mM)


(21)

(Moffat, et al., 2005). Sedangkan penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul ditentukan secara KCKT menggunakan kolom C 18, dideteksi pada panjang gelombang 260 nm, laju alir 1,0 ml/menit dengan perbandingan fase gerak metanol:air (40:60) (Corrêa, et al., 2012); asetonitril:air (35:65) (Sadasivudu, et al., 2009). Penetapan kadar flukonazol dapat juga ditentukan secara spektrofotometri UV menggunakan pelarut HCl 0,1 N pada panjang gelombang maksimum 260 nm (Sadasivudu, et al., 2009).

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik melakukan optimasi dan validasi metode KCKT dengan kolom VP-ODS (4,6 mm x 25 cm) menggunakan fase gerak asetonitril:air dengan perbandingan tertentu, laju alir 1 ml/menit dideteksi pada λ= 260 nm pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul.

Metode yang tervalidasi ini diaplikasikan pada penetapan kadar kapsul flukonazol dengan nama dagang dan generik yang beredar di pasaran. Adapun parameter validasi metode yang dilakukan meliputi uji akurasi, presisi, batas deteksi (LOD), dan batas kuantitasi (LOQ).

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah metode KCKT menggunakan fase gerak asetonitril:air dengan perbandingan tertentu dapat digunakan pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dan memberikan uji validasi metode yang memenuhi syarat?

2. Apakah kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dengan nama dagang dan generik yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan kadar yang ditetapkan dalam USP Convention Inc. (2010) ?


(22)

1.3 Hipotesis

1. Metode KCKT menggunakan fase gerak asetonitril:air dapat digunakan pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dan memberikan uji validasi metode yang memenuhi syarat.

2. Kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dengan nama dagang dan generik yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan kadar yang ditetapkan dalam USP Convention Inc. (2010).

1.4 Tujuan Penelitian

1. Melakukan optimasi fase gerak dan validasi metode KCKT pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul.

2. Menerapkan metode KCKT dengan fase gerak dari hasil optimasi yang terbaik pada penetapan kadar kapsul flukonazol dengan nama dagang dan generik yang beredar di pasaran.

1.5 Manfaat Penelitian

Sebagai metode alternatif bagi industri farmasi pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul yang mengandung flukonazol dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flukonazol

2.1.1 Sifat fisikokimia

Menurut USP Convention Inc. (2006), sifat fisikokimia flukonazol adalah:

Gambar 1 Struktur Flukonazol

Nama Kimia : 2,4-Difluoro-1’,1’-bis(1H-1,2,4-triazol-1-ylmethyl)benzyl alcohol Rumus Molekul : C13H12F2N6O

Berat Molekul : 306,27

Pemerian : Serbuk hablur putih sampai hampir putih, melebur pada suhu 1380 sampai suhu 1420.

Kelarutan : Mudah larut dalam metanol; larut dalam etanol dan aseton; agak sukar larut dalam isopropanol dan kloroform; sukar larut dalam air; sangat sukar larut dalam toluen.

Menurut Moffat, et al., (2005) Spektrum UV dalam larutan asam 261, 266 nm; dalam larutan basa 261, 267 nm.


(24)

2.1.2 Farmakologi

Flukonazol termasuk golongan antifungi golongan triazol yang bekerja menghambat sintesis ergosterol pada membran sel jamur. Flukonazol diberikan peroral absorbsinya baik dan tidak bergantung pada keasaman lambung. Waktu paruh obat berkisar pada 30 jam dengan ikatan obat pada protein plasma rendah dan obat ini terdistribusi merata dalam cairan tubuh. Flukonazol diberikan pada penderita candidiasis mulut, kerongkongan dan vagina. Flukonazol berguna untuk mencegah relaps meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus pada pasien

AIDS (Setiabudi dan Bahry, 2007).

2.1.3 Bentuk Sediaan

Kapsul 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200 mg; tablet 50 mg, 150 mg, dan 200 mg (Anonim, 2010). Flukonazol tersedia untuk pemakaian sistemik (IV) dalam formula yang mengandung 2 mg/ml dan untuk pemakaian oral dalam kapsul yang mengandung 50, 100, 150, 200 mg. Di Indonesia, yang tersedia adalah sediaan 50 dan 150 mg (Setiabudi dan Bahry, 2007).

2.2 Teori Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 2.2.1 Sejarah Kromatografi

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam-macam teknik pemisahan, yaitu berdasarkan absorbsi sampel diantara suatu fase gerak dan fase diam. Penemu Kromatografi adalah Tswett yang pada tahun 1903 mencoba memisahkan pigmen-pigmen dari daun dengan menggunakan suatu kolom yang berisi kapur (CaSO4). Istilah kromatografi diciptakan oleh Tswett untuk melukiskan daerah-daerah yang berwarna yang bergerak ke bawah kolom.


(25)

Pada waktu yang hampir bersamaan, D.T. Day juga menggunakan kromatografi untuk memisahan fraksi-fraksi petroleum, namun Tswett adalah yang pertama diakui sebagai penemu dan yang menjelaskan tentang proses kromatografi (Johnson dan Stevenson, 1978).

2.2.2 Pembagian Kromatografi

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi : (a) kromatografi adsorbsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar ion (e) kromatografi eksklusi ukuran dan (f) kromatografi afinitas (Johnson dan Stevenson, 1978; Gandjar dan Rohman, 2007).

Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: (a) kromatografi kertas; (b) kromatografi lapis tipis, yang kedua sering disebut kromatografi planar; (c) kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan (d) kromatografi gas (KG) (Johnson dan Stevenson, 1978; Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi serta detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai analit secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal ataupun campuran (Ditjen POM, 1995).


(26)

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap

(nonvolatile). KCKT sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa

tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.3.1 Jenis-jenis KCKT

Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan KCKT karena banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan dengan mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada KCKT fase normal, kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak biasanya non polar, seperti dietil eter, benzen, hidrokarbon lurus seperti pentana, heksana, heptana maupun iso-oktana. Halida alifatis seperti diklorometana, dikloroetana, butilklorida dan kloroform juga digunakan. Umumnya gas terlarut tidak menimbulkan masalah pada fase normal (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada KCKT fase terbalik paling sering digunakan fase diam berupa oktadesilsilan (ODS atau C18) dan fase gerak campuran metanol atau asetonitril

dengan air atau dengan larutan buffer. Untuk solut yang bersifat asam lemah ,peranan pH sangat krusial karena bila pH fase gerak tidak diatur maka solut akan mengalami ionisasi atau protonisasi. Terbentuknya bagian yang terionisasi ini


(27)

menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lebih lemah dibanding jika solut dalam bentuk yang tidak terionisasi akan terelusi lebih cepat (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.3.2 Kriteria Optimasi KCKT

Menurut Berridge (1985), optimasi dalam sistem KCKT disyaratkan untuk menemukan kondisi yang optimal guna menghasilkan pemisahan yang baik pada kondisi percobaan tersebut dilakukan. Meskipun demikian, kondisi terbaik sistem KCKT sulit untuk ditemukan. Adapun tujuan dipersyaratkannya optimasi pada sistem KCKT antara lain :

- Menghemat biaya penelitian

- Mendapatkan hasil pemisahan yang baik dengan waktu yang singkat - Menciptakan pemisahan terbaik yang mungkin dihasilkan oleh sampel - Menyeleksi / memilih komposisi fase gerak dan kolom yang menunjukkan

pemisahan yang baik pada waktu yang singkat

- Memperoleh kombinasi optimum pada kecepatan elusi / laju alir, ukuran sampel, dan resolusi dari larutan sampel

- Melokasikan kriteria optimasi untuk tempat / daerah percobaan tersebut dilakukan.

Keberhasilan suatu pemisahan analit sangat dipengaruhi oleh pemilihan sistem kromatografi dan komposisi fase gerak yang tepat. Meskipun dari segi instrumennya sering diabaikan. Proses pemisahan dikatakan baik bergantung pada kondisi kolom, detektor, dan pompa instrumen KCKT. Ditinjau lebih luas lagi, pemilihan komposisi fase gerak merupakan aspek utama dalam optimasi. Pemilihan fase gerak ini tidak hanya mempertimbangkan proses ekstraksi / isolasi


(28)

sampel oleh pelarut karena adanya parameter seperti laju alir dan suhu kolom yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan komposisi fase gerak yang digunakan (Berridge, 1985).

2.2.4 Cara Kerja KCKT

Secara teori, pemisahan kromatografi yang paling baik akan diperoleh jika fase diam mempunyai luas permukaan sebesar-besarnya sehingga memastikan kesetimbangan yang baik antara fase dan bila fase gerak bergerak dengan cepat sehingga difusi sekecil-kecilnya (Gritter, dkk., 1985).

Kromatografi merupakan teknik pemisahan dimana analit atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi saat melewati suatu kolom kromatografi, pemisahan tersebut diatur oleh distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam (Rohman, 2009).

Komponen yang telah terpisah akan dibawa oleh fase gerak menuju detektor dan sinyal yang terekam oleh detektor disebut sebagai puncak, sedangkan keseluruhan puncak yang direkam oleh detektor selama analisis dinamakan kromatogram. Puncak yang diperoleh dalam analisis memiliki dua informasi penting yakni informasi kualitatif dan kuantitatif (Meyer, 2004).

Untuk mendapatkan hasil analisis yang baik, diperlukan penggabungan secara tepat dari kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom dan ukuran sampel (Rohman, 2009).

2.2.5 Migrasi dan Retensi Solut

Kecepatan migrasi solut melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan distribusinya (D) dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif solut pada kedua


(29)

fase (fase diam dan fase bergerak). Dalam konteks kromatografi, nilai D didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) dan dalam fase gerak (Cm) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jadi semakin besar nilai D maka migrasi solut semakin lambat dan semakin kecil nilai D migrasi solut semakin cepat. Solut akan terelusi menurut perbandingan distribusinya. Jika perbedaan perbandingan distribusi solut cukup besar maka campuran-campuran solut akan mudah dan cepat dipisahkan (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.6 Instrumen KCKT

Instrument KCKT tersusun atas 6 bagian dasar, yaitu wadah fase gerak

(reservoir), pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom(column),

detector (detector) dan perekam (recorder) (Rohman, 2009). Instrument dasar

KCKT dapat dilihat pada gambar

Gambar 2 . Diagram Blok KCKT (McMaster, 2007) m

S

C C D=


(30)

2.2.6.1 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah pelarut kosong ataupun labu dapat digunakan sebagai wadah fase gerak dan biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilangan gas) pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis (Rohman, 2009).

2.2.6.2 Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang dgunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit (Rohman, 2009).

Ada dua jenis utama pompa yang digunakan: tekanan-tetap. Pompa pendesakan tetap dapat dibagi lagi menjadi pompa torak dan pompa semprit. Pompa torak menghasilkan aliran yang berdenyut, jadi memerlukan peredam denyut atau peredam elektronik untuk menghasilkan garis alas detektor yang stabil jika detektor peka terhadap aliran. Kelebihan utamanya ialah tandonnya tidak terbatas. Pompa semprit menghasilkan aliran yang tak berdenyut, tetapi tandonnya terbatas (Johnson dan Stevenson, 1978).


(31)

2.2.6.3 Injektor

Ada 3 jenis injektor, yakni syringe injector, loop valve dan automatic injector (autosampler). Syringe injector merupakan bentuk injektor yang paling

sederhana (Dong, 2005).

Pada waktu sampel diinjeksikan ke dalam kolom, diharapkan agar aliran pelarut tidak mengganggu masuknya keseluruhan sampel ke dalam kolom. Sampel dapat langsung diinjeksikan ke dalam kolom (on column injection) atau digunakan katup injeksi (Dong, 2005).

Katup putaran (loop valve), tipe injektor ini umumnya digunakan untuk

menginjeksi volume lebih besar daripada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom (Dong, 2005).

Automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki prinsip yang

mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis (Meyer, 2004).

2.2.6.4 Kolom

Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasn pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dari panjang 25-100 cm.


(32)

Kolom hampir selalu terbuat dari baja nirkarat. Kolom biasanya dipakai pada suhu kamar, tetapi pada suhu yang lebih tinggi dapat juga dipakai (Johnson dan Stevenson, 1978).

2.2.6.5 Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respon linier yang

luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Johnson dan Stevenson, 1978).

Detektor yang paling banyak digunakan dalam kromatografi cair modern kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm. Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang UV-Vis sekarang menjadi populer karena mereka dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa dalam rentang yang luas. Detektor indeks refraksi juga secara luas digunakan, terutama dalam kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif dari pada detektor spektrofotometer UV. Detektor lainnya seperti detektor fluometer, detektor ionisasi nyala, dan detektor elektrokimia juga telah digunakan (Johnson dan Stevenson, 1978).

2.2.6.6 Perekam

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat


(33)

2.2.7 Parameter Penting dalam KCKT 2.2.7.1 Tinggi dan Luas Puncak

Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional dengan kadar atau jumlah analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam perhitungan kuantitatif karena lebih akurat/cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Dong, 2005). Hal ini dikarenakan luas puncak relatif tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi, kecuali laju alir. Sementara itu, tinggi puncak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya faktor tambat, suhu kolom serta cara injeksi sampel (Miller, 2005). Hal ini akan menyebabkan tinggi puncak relatif labil selama analisis. Namun demikian tinggi puncak masih dapat digunakan dalam perhitungan kuantitatif bila puncak analit simetris (Meyer, 2004).

2.2.7.2 Waktu Tambat

Periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor disebut sebagai waktu tambat. Waktu tambat dari suatu komponen yang tidak ditahan oleh fase diam disebut sebagai waktu hampa/void time (t0). Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang

kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu hampa dan waktu tambat akan semakin besar, dan sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu hampa dan waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).


(34)

2.2.7.3 Faktor Kapasitas

Waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir, ukuran kolom dan parameter yang lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran derajat tambatan dari analit yang lebih independen yakni faktor kapasitas (Meyer, 2004).

Dalam beberapa literatur lain, faktor kapasitas juga disebut sebagai faktor tambat (k’). Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen berbeda dengan ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase gerak yang sama, maka faktor tambat dari analit pada kedua sistem KCKT tersebut secara teoritis adalah sama (Meyer, 2004).

Faktor tambat yang disukai berada di antara nilai 1 hingga 10. Jika nilai k’ terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati kolom sehingga tidak terjadi interaksi dengan fase diam dan oleh karena itu tidak akan muncul dalam kromatogram. Sebaliknya, nilai k’ yang terlalu besar mengindikasikan waktu analisis akan panjang. Nilai k’ dari analit yang lebih besar dari 10 akan menjadi masalah dalam analisis KCKT karena waktu analisis yang terlalu panjang dan sensitifitas yang buruk sebagai akibat dari pelebaran puncak yang berlebihan (Meyer, 2004).

2.2.7.4 Selektifitas

Proses pemisahan antara dua komponen dalam KCKT hanya memungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda dalam melewati kolom. Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membeda-kan analit yang berbeda dikenal sebagai selektifitas (α). Selektifitas umumnya

tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan permukaan fase diam serta jenis fase gerak yang digunakan. Nilai selektifitas yang didapatkan dalam


(35)

sistem KCKT harus lebih besar dari 1. Selektifitas disebut juga sebagai faktor pemisahan atau tambatan relatif (Meyer, 2004).

2.2.7.5 Efisiensi Kolom

Salah satu karakteristik sistem kromatografi yang paling penting adalah efisiensi atau jumlah lempeng teoritis. Bilangan lempeng (N) yang tinggi disyaratkan untuk pemisahan yang baik yang nilainya semakin kecilnya nilai H. Istilah H merupakan tinggi ekivalen lempeng teoritis atau HETP (high equivalent theoretical plate) yang mana merupakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk

menghasilkan satu lempeng teoritis. Kolom yang baik akan mempunyai bilangan lempeng yang tinggi dan nilai H yang rendah, untuk mencapai hal ini ada beberapa faktor yang mendukung yaitu kolom yang dikemas dengan baik, kolom yang lebih panjang, partikel fase diam yang lebih kecil, viskositas fase gerak yang lebih rendah dan suhu yang lebih tinggi, molekul-molekul sampel yang lebih kecil, dan pengaruh di luar kolom yang minimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.7.6 Resolusi

Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan, untuk hasil pemisahan yang baik puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya. Resolusi adalah perbedaan waktu retensi 2 puncak yang saling berdekatan, dibagi dengan rata-rata lebar puncak, dengan rumus sbb:

Keterangan:

t = waktu retensi puncak W = lebar puncak

) ( 2 2 1 W W t Rs R + ∆ = 1 2 R R

R t t

t = − ∆


(36)

Nilai Rs mendekati atau lebih dari 1,5 akan memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.7.7 Faktor Asimetri

Adanya puncak yang asimetris dapat disebabkan oleh hal–hal berikut:

• Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya terjadi pengekoran atau tailing.

• Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor. • Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3 Validasi Metode

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita,

2004). Berikut delapan karakterisitik utama yang digunakan dalam validasi

metode analitik menurut USP:

Karakteristik Pengertian

Akurasi Kedekatan antara nilai hasil uji yang diperoleh lewat metode analitik dengan nilai sebenarnya.

Presisi Ukuran keterulangan metode analitik, termasuk di antaranya kemampuan instrumen dalam memberikan hasil analitik yang reprodusibel.

Spesifisitas Kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradatif dan komponen matriks.

Batas deteksi Konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.


(37)

ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

Linieritas Rentang

Kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan.

Konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang cukup. Kekasaran Tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh dibawah berbagai

kondisi yang diekspresikan sebagai % RSD.

Ketahanan Kapasitas metode untuk tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter yang kecil.

(Rohman, 2009).

2.3.1 Akurasi

Akurasi/kecermatan dapat ditentukan dengan dua metode, yakni spiked placebo recovery dan standard addition method. Pada spiked placebo recovery

atau metode simulasi, analit murni ditambahkan (spiked) ke dalam campuran

bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang diharapkan (Harmita, 2004).

Jika plasebo tidak memungkinkan untuk disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi otentik. Metode ini dinamakan metode standard addition method

atau metode penambahan baku (Harmita, 2004).

Jumlah keseluruhan analit kemudian diukur dan dibandingkan dengan jumlah teoritis, yaitu jumlah analit yang murni berasal dari sediaan farmasi otentik tersebut, ditambah dengan jumlah analit yg di-spiked ke dalam sediaan. Akurasi

kemudian dinyatakan dalam persen perolehan kembali (%Recovery) (Harmita,

2004).

Persen perolehan kembali ditentukan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dari analisis dengan hasil sebenarnya yang dihitung secara teoritis. Hal


(38)

yang penting untuk diperhatikan adalah metode kuantitasi yang digunakan dalam penentuan akurasi harus sama dengan metode kuantitasi yang digunakan untuk menganalisis sampel dalam penelitian (Harmita, 2004).

2.3.2 Presisi

Presisi diekspresikan dengan standar deviasi atau standar deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Data untuk menguji presisi seringkali dikumpulkan sebagai bagian dari kajian-kajian lain yang berkaitan dengan presisi seperti linearitas atau akurasi. Biasnya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan KCKT, nilai RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit RSD berkisar antara 5-15% (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.3 Spesifitas

Penentuan spesifitas metode dapat diperoleh dengan dua jalan. Cara pertama adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju ≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifitas adalah dengan

menggunakan detektor selektif terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama sebagai contoh detektor elektrokimia hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa yang lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Gandjar dan Rohman, 2007).


(39)

2.3.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat ditentukan dengan 2 metode yakni metode non instrumental visual dan metode perhitungan. Metode non instrumental visual digunakan pada teknik kromatografi lapis tipis dan metode titrimetri. Metode perhitungan didasarkan pada simpangan baku respon (SB) dan derajat kemiringan/slope (b) dengan rumus perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi

sbb:

Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y pada garis regresi (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.5 Linearitas

Lineritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linearitas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Linearitas dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda-beda. Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope),

intersep, dan koefisien korelasinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Slope SB x LOD=3

Slope SB x LOQ=10


(40)

2.3.6 Rentang

Rentang atau kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linearitas yang mencukupi. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.7 Kekuatan

Kekuatan/ketahanan dievaluasi dengan melakukan variasi parameter-parameter metode seperti persentase pelarut organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya. Suatu praktek yang baik untuk mengevaluasi ketahanan suatu metode adalah dengan memvariasi parameter-parameter penting dalam suatu metode secara sistematis lalu mengukur pengaruhnya pada pemisahan (Gandjar dan Rohman, 2007).


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan Desember 2012 – Januari 2013.

3.2Alat-alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat instrumen KCKT lengkap (Shimadzu) dengan pompa, degasser, penyuntik mikroliter (50µl),

kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), detektor UV-Vis, wadah fase gerak, vial, Sonifikator (Branson 1510), pompa vakum (Gast DOA – P604 – BN), neraca analitik (Mettler Toledo), membrane filter PTFE 0,5 µm dan 0,2 µm, cellulose nitrate membran filter 0,45 µm.

3.3Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah asetonitril grade for HPLC (E.Merck®),

akuabides (PT. Ikapharmindo Putramas), flukonazol baku, kapsul Govazol® 150

mg (PT Guardian Pharmatama), kapsul Zemyc® 150 mg (PT Pharos), kapsul Cancid® 150 mg (PT Sunthi Sepuri), dan kapsul Flukonazol 150 mg (PT kimia Farma).

3.4Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif (Sudjana, 2005) yaitu tanpa

membandingkan satu tempat dengan tempat yang lain karena semua sampel dianggap homogen.


(42)

3.5Prosedur Penelitian 3.5.1Pembuatan Fase Gerak

Asetonitril 500 ml disaring dengan menggunakan cellulose nitrate membrane filter 0,45 µm dan diawaudarakan selama 30 menit. Akuabides 500 ml

disaring dengan menggunakan cellulose nitrate membrane filter 0,45 µm dan

diawaudarakan selama 30 menit.

3.5.2 Pembuatan pelarut

Pelarut dibuat dari asetonitril dan akuabides dengan perbandingan 45:55 dalam labu takar 500 ml. Pelarut lalu disaring dengan penyaring membran

Cellulose Nitrate 0,45 μm dan diawaudarakan selama ± 20 menit menggunakan

sonifikator.

3.5.3 Prosedur Analisis Menggunakan KCKT

3.5.3.1 Penyiapan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Masing-masing unit diatur, kolom yang digunakan Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), detektor UV-Vis dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm. Setelah alat KCKT dihidupkan, maka pompa dijalankan dan fase gerak dibiarkan mengalir selama 30 menit dengan laju alir 1 ml/menit sampai diperoleh garis alas yang datar, menandakan sistem tersebut telah stabil.

3.5.3.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak yang Optimum

Pada kondisi kromatografi komposisi fase gerak divariasikan untuk mendapatkan hasil analisis yang optimum. Perbandingan fase gerak asetonitril:air yang divariasikan adalah 50:50, 45:55, 40:60, 35:65, dan 30:70 dengan laju alir 1 ml/menit. Kondisi kromatografi yang memberikan tailing factor lebih kecil dari


(43)

2,0, theoretical plate lebih besar dari 2000 dan waktu retensi yang singkat yang

akan dipilih dan digunakan dalam penelitian ini.

3.5.4 Analisis Kualitatif Menggunakan KCKT

3.5.4.1 Uji Identifikasi Flukonazol Menggunakan KCKT

Sampel dan bahan baku flukonazol masing-masing dengan konsentrasi 40 µg/ml diinjeksikan sebanyak 20 µl, dianalisis pada kondisi KCKT dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit serta panjang gelombang 260 nm. Sampel dinyatakan mengandung flukonazol dengan membandingkan waktu retensi sampel dan bahan baku flukonazol. Selanjutnya untuk identifikasi lanjutan, pada larutan sampel flukonazol ditambahkan sedikit larutan baku flukonazol (spiking) kemudian diinjeksikan dan dianalisa kembali

pada kondisi KCKT yang sama. Diamati luas area dan dibandingkan antara kromatogram hasil spike dengan kromatogram larutan sampel sebelum spike.

Sampel dinyatakan mengandung flukonazol, jika terjadi peningkatan tinggi puncak dan luas area pada kromatogram hasil spike.

3.5.5 Analisis Kuantitatif Menggunakan KCKT 3.5.5.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Flukonazol

Ditimbang seksama sejumlah 25,0 mg flukonazol baku, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan akuabides hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 µg/ml (LIB I).


(44)

Dipipet LIB I sebanyak 0,24 ml; 0,44 ml; 0,64 ml; 0,84 ml; dan 1,04 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, diencerkan dengan pelarut hingga garis tanda. Kocok sehingga diperoleh konsentrasi 12,0 µg/ml, 22,0 µg/ml, 32,0 µg/ml, 42,0 µg/ml, dan 52,0 µg/ml. Kemudian masing-masing larutan disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm, dan diinjeksikan ke sistem KCKT sebanyak 20 µl dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm. Dari luas area yang diperoleh pada kromatogram dibuat kurva kalibrasi kemudian dihitung persamaan regresi dan faktor korelasinya

3.5.4.3 Penetapan Kadar Sampel

Ditimbang isi 20 kapsul untuk masing-masing jenis kapsul, kemudian digerus homogen dan ditimbang seksama sejumlah serbuk setara dengan 25 mg flukonazol, lalu dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi 10 menit dan dicukupkan dengan akuabides hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 µg/ml, dikocok ± 5 menit, kemudian disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml filtrat, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, dan dicukupkan hingga garis tanda dengan pelarut sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 40 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 6 kali perlakuan untuk setiap sampel.

Kadar dapat dihitung dengan mensubstitusikan luas area sampel pada Y dari persamaan regresi: Y = ax + b.


(45)

Data perhitungan kadar dianalisis secara statistik menggunakan uji t. Menurut Harmita (2004), rumus yang digunakan untuk menghitung Standar Deviasi (SD) adalah:

1 ) ( 2 − − =

n X X SD

Kadar dapat dihitung dengan persamaan garis regresi dan untuk menentukan data diterima atau ditolak digunakan rumus:

t hitung n SD X X / − =

Dengan dasar penolakan apabila t hitung ≥ t tabel, pada taraf kepercayaan 99% dengan nilai α = 0,01, dk = n – 1.

Keterangan :

SD = Standar deviasi X = Kadar sampel

X = Kadar rata-rata dalam satu sampel

n = Banyaknya data

Menurut Wibisono (2005), untuk mencari kadar sebenarnya dapat digunakan rumus:

n SD x t

X (11/2α)dk

µ= ±

Keterangan:

μ = Kadar sebenarnya X = Kadar sampel n = Banyaknya data

t = Harga ttabel sesuai dengan derajat kepercayaan

dk= Derajat kebebasan

3.5.6 Validasi Metode

3.5.6.1 Akurasi (kecermatan)

Ditimbang 20 kapsul flukonazol yang mengandung kadar zat berkhasiat 25 mg/kapsul kemudian ditentukan pada rentang spesifik 80%, 100%, dan 120%.


(46)

Ditimbang serbuk yang mengandung 70% analit dari kadar zat berkhasiat lalu dilakukan prosedur yang sama seperti pada penetapan kadar sampel. Ditimbang lagi serbuk yang mengandung 70% analit dari kadar zat berkhasiat dan 30% bahan baku lalu dilakukan prosedur yang sama seperti pada penetapan kadar sampel. Dilakukan 3 kali replikasi untuk masing-masing rentang spesifik tersebut. Menurut Harmita (2004), hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali (%

recovery). Persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus:

% Perolehan kembali =

A A F C C C * −

x 100 %

Keterangan :

CF = konsentrasi sampel dengan penambaham baku yang diperoleh dari

pengukuran (µg/ml)

CA = konsentrasi sampel (µg/ml)

C*A = konsentrasi analit yang ditambahkan (µg/ml) 3.5.6.2 Presisi (Keseksamaan)

Untuk menguji data presisi (RSD), diambil rata-rata dari data % perolehan kembali (9 kali replikasi) kemudian dihitung standar deviasi. Setelah itu, dihitung % RSD dengan cara standar deviasi dibagi rata-rata dari % perolehan kembali kemudian dikali 100%

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), nilai RSD dirumuskan dengan:

% 100 x X SD RSD= Keterangan:

RSD = Standar Deviasi Relatif (%) SD = Standar deviasi


(47)

Sementara itu, nilai SD dihitung dengan : 1 ) ( 2 − − =

n X X SD Keterangan :

X = nilai dari masing-masing pengukuran

X = rata-rata (mean) dari pengukuran

n = banyaknya data n-1 = derajat kebebasan

3.5.6.3 Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)

Nilai batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi. Menurut Ephstein (2004), Batas Deteksi (Limit Of Detection/ LOD) dan Batas Kuantitasi (Limit Of Quantitation/ LOQ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

2 ) ( / 2 − − =

n Yi Y x Sy Slope x Sy x

LOD=3 /

Slope x Sy x

LOQ=10 /

Keterangan:

Sy/x = Standar Deviasi Slope = Derajat Kemiringan


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Optimasi komposisi fase gerak asetonitril:air

Pada awal penelitian ini dilakukan optimasi untuk mendapatkan kondisi kromatografi yang optimal. Adapun fase gerak yang dioptimasi yaitu perbandingan 50:50, 45:55, 40:60, 35:65, dan 30:70, pada laju alir 1 ml/menit, deteksi dilakukan pada panjang gelombang 260 nm menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm). Dari Tabel 1 di bawah dapat dilihat hasil optimasi dari perbandingan fase gerak asetonitril:air yang digunakan.

Tabel 1 Data Optimasi Perbandingan Fase Gerak Asetonitril:Air

Perbandingan fase gerak yang dipilih dari hasil optimasi yaitu pada perbandingan asetonitril:air (45:55). Pemilihan fase gerak ini didasarkan pada nilai tailing factor lebih kecil dari 2,0 dan nilai theoritical plate lebih besar dari

2000 dengan waktu retensi paling kecil, yaitu 3,364 menit.

Perbandingan Fase Gerak Asetonitril:Air

Waktu Retensi

(menit) Area

Theoretical plate

Tailing factor

50:50 3,130 104644 1681,228 1,581

45:55 3,364 105106 2397,032 1,392

40:60 3,691 107593 2717,531 1,263

35:65 4,178 108367 2084,386 0,884


(49)

4.2 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif flukonazol ditentukan dengan parameter waktu retensi, yaitu dengan cara membandingkan waktu retensi sampel dengan bahan baku. Hasil kromarogram dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 3 Kromatogram flukonazol baku secara KCKT menggunakan kolom

Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitiril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada panjang gelombang 260 nm.


(50)

Gambar 4 Kromatogram kapsul flukonazol secara KCKT menggunakan kolom

Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitiril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada panjang gelombang 260 nm.

Dari kromatogram di atas dapat dilihat bahwa waktu retensi flukonazol dalam sediaan kapsul sama dengan waktu retensi flukonazol baku, yaitu 3,3 menit. Hal ini berarti sampel yang ditentukan mengandung flukonazol.

Selanjutnya untuk dapat memastikan kebenaran analisa sampel mengandung flukonazol maka dilakukan spiking yaitu menambahkan bahan baku

flukonazol ke dalam sampel dan ditentukan secara KCKT. Hasil kromatogram dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6 di bawah ini.


(51)

Gambar 5 Kromatogram kapsul flukonazol sebelum penambahan baku secara

KCKT menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitiril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada panjang gelombang 260 nm.


(52)

Gambar 6 Kromatogram kapsul flukonazol hasil spike secara KCKT

menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada panjang gelombang 260 nm.

Dari kromatogram diatas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan luas area dan tinggi puncak pada kromatogram setelah penambahan baku dibandingkan dengan sebelum penambahan bahan baku maka dapat diambil kesimpulan sampel mengandung flukonazol (Johnson dan Stevenson, 1991).


(53)

4.3 Analisis Kuantitatif

4.3.1 Penentuan Kurva Kalibrasi

Dari hasil penentuan kurva kalibrasi flukonazol baku yang ditentukan berdasarkan luas area pada konsentrasi 12,0 µg/ml, 22,0 µg/ml, 32,0 µg/ml, 42,0 µg/ml, dan 52,0 µg/ml diperoleh hubungan yang linier dengan koefisien korelasi, r = 0,9996 dan persamaan regresi Y = 2588,195X + 3521,8. Nilai r mendekati 1 menunjukkan adanya korelasi linier yang menyatakan adanya hubungan antara X dan Y (Sudjana, 2005). Hasil penentuan kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 5di bawah ini.

Gambar 7 Kurva kalibrasi flukonazol baku secara KCKT menggunakan kolom

Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dan laju alir 1 ml/menit, volume penyuntikan 20 µl dan deteksi pada panjang gelombang 260 nm.


(54)

4.3.2 Penetapan Kadar Analit dalam Sampel yang dianalisis

Analisis kuantitatif flukonazol dapat ditentukan berdasarkan luas area kromatogram atau tinggi puncak. Dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan luas area kromatogram karena luas area dianggap merupakan parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif (Ditjen POM, 1995). Hasil penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dengan nama dagang dan generik dapat dilihat pada Tabel 2di bawah ini.

Tabel 2 Hasil penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul dengan nama

dagang dan generik

Persyaratan kadar sediaan ditetapkan berdasarkan persyaratan tablet flukonazol menurut USP Revision Bulletin 33th Edition tahun 2010 yaitu

mengandung flukonazol tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya monografi kapsul flukonazol dalam USP maupun FI edisi IV. Dari tabel diatas diperoleh kesimpulan kadar kapsul flukonazol memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

4.4 Hasil Uji Validasi

Pada penelitian ini dilakukan uji validasi metode dengan metode standar adisi terhadap sampel kapsul Flukonazol (PT Kimia Farma) yang meliputi uji akurasi dengan parameter % recovery dan uji presisi dengan parameter RSD

No Nama Sediaan Kadar Flukonazol (%) 1 Kapsul Flukonazol (PT Kimia Farma) 100,70

2 Kapsul Cancid® (PT Sunthi Sepuri) 102,73 3 Kapsul Govazol® (PT Guardian Pharmatama) 103,40 4 kapsul Zemyc® (PT Pharos) 101,78


(55)

(Relative Standard Deviasi), LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation).

Uji akurasi dengan parameter % recovery dilakukan dengan membuat tiga

konsentrasi analit dengan rentang spesifik 80%, 100%, dan 120%, masing- masing dengan tiga replikasi dan setiap rentang spesifik mengandung 70% analit dan 30% baku pembanding (Harmita, 2004).

Data hasil ujivalidasi metode yang dilakukan dengan metode adisi standar dapat dilihat padaTabel 3.

Tabel 3 Hasil Pengujian Validasi, dengan parameter Akurasi, dan Presisi

Flukonazol pada Kapsul Flukonazol (PT Kimia Farma) dengan Menggunakan Metode Adisi Standar

Dari tabel di atas diperoleh hasil pengujian akurasi dengan kadar rata-rata

% recovery 100,34%. Hasil ini dapat diterima karena memenuhi syarat uji akurasi,

bahwa rentang rata-rata % recovery ialah 98-102%. Maka dapat disimpulkan

bahwa metode ini mempunyai akurasi yang baik (Epshtein, 2004).

No Ren tang Spesi fik (%) Baku yang ditam bah kan (µg/ml)

Luas Area Konsentrasi ( µg/ml ) Reco very ( % ) Sebelum

Penambahan

Sesudah

penambahan penambahanSebelum

Setelah Penambahan

1 80 9,504 61456 86300 22,384 31,983 100,99 2 80 9,504 60392 84580 21,973 31,461 99,83 3 80 9,504 60711 85495 22,096 31,672 100,75 4 100 11,880 75613 106208 27.854 39,675 99,50 5 100 11,880 75815 107083 27,932 40,013 101,69 6 100 11,880 75740 106563 27,903 39,812 100,24 7 120 14,252 89023 125907 33,035 47,286 99,.99 8 120 14,252 90444 127100 33,584 47,747 99,38 9 120 14,252 90164 127325 33,476 47,834 100,75

Kadar rata – rata (%) Recovery = 100,34

Standar Deviasi = 0,7575 Relatif Standar Deviasi (%) = 0,754


(56)

Hasil uji presisi dengan parameter RSD (Relative Standard Deviasi)

diperoleh 0,75%, persyaratan nilai RSD yang ditentukan adalah < 2%. Maka dapat

disimpulkan bahwa metode analisis mempunyai presisi yang baik (Harmita, 2004).

Batas deteksi dan batas kuantitasi dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dalam kurva kalibrasi. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai LOD


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil optimasi fase gerak pada penetapan kadar flukonazol dalam sediaan kapsul diperoleh perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/ menit, menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm) dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm. Metode ini memberikan hasil uji validasi yang memenuhi syarat.

Kadar flukonazol dalam kapsul yang dianalisis dari sediaan kapsul dengan nama dagang dan generik yang terdapat di pasaran dengan kondisi kromatografi yang terpilih diperoleh hasil yang memenuhi persyaratan kadar pada USP

Revision Bulletin 33th Edition yaitu mengandung flukonazol tidak kurang dari 90,0

% dan tidak lebih dari 110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket.

5.2 Saran

Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penetapan kadar flukonazol dalam sediaan farmasi lainnya secara KCKT dengan fase gerak yang berbeda.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Fluconazole. Tanggal akses 23 Desember 2012.

Berridge, J.C. (1985). Techniques for the Automated Optimization of HPLC Separations. Britain: John Wiley & Sons Ltd. Halaman 1-4.

Corrêa, J.C.R., Soarres, C.D.V., dan Salgado, H.R.N. (2012). Development and Validation of Dissolution Test for Fluconazole Capsules by HPLC and Derivative UV Spectrophotometry. Chromatography Research International Article. Kanada: Hindawi Publishing Corporation. Halaman

1-8.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI. Halaman 1002.

Dong, M.W. (2005). Modern HPLC for Practicing Scientists. Chichester: John wiley & Sons Ltd. Halaman 39-42, 84-86.

Épshtein, N.A. (2004). Validation of HPLC Techniques for Pharmaceutical Analysis. Pharmaceutical Chemistry Journal. 38(4): 212 – 228

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Halaman 323, 378-382, 393-397, 465-470.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Schwarting, A.E. (1985). Introduction of Chromatography. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Pengantar Kromatografi. Edisi Ketiga. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 186-239.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Review Artikel. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol 1(3):

117-135.

Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1978). Basic Liquid Chromatography.

Penerjemah Kosasih Padmawinata. Dasar Kromatografi Cair. Bandung:

Penerbit ITB. Halaman 16, 278-279.

McMaster, M.C. (2007). HPLC A Practical User’s Guide. Edisi Kedua. New

Jersey: John Wiley and Sons Inc. Halaman 7.

Meyer, V.R. (2004). Practical High Peformance Liquid Chromatography. Edisi

Kedua. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Halaman 17-56.

Miller, J.M. (2005). Chromatography-Concepts and Contrasts. Chichester: John


(59)

Moffat, A.C., Osselton, M.D., dan Widdop, B. (2005). Clarke‘s Analysis Of Drug And Poisons. Edisi Ketiga. London: Pharmaceutical Press. Electronic

version.

Rohman, A. (2009). Kromatografi untuk Analisis Obat. Cetakan Pertama.

Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 111-122 dan 222-240.

Sadasivudu, P., Shastri, N., dan Sadanandam, M. (2009). Development and Validation of RP-HPLC and UV Methods of Analysis for Fluconazole in Pharmaceutical Solid Dosage Forms. International Journal of ChemTech Research 4(1): 1131-1136.

Setiabudi, R., dan Bahry, B. (2007). Obat Jamur. Dalam: Farmakologi dan

Terapi. Edisi kelima. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Halaman 571-578.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Edisi VI. Bandung: Tarsito. Halaman 168.

Tan, T.H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo. Halaman 101-107.

USP Conventional Inc. (2006). The United States Pharmacopeia. Edisi Kedua

puluh sembilan. United States: Electronic Version. Halaman 911

USP Conventional Inc. (2010). The United States Pharmacopeia Revision Buletin.

Edisi Ketiga puluh tiga. United States: Electronic Version.

Wibisono, Y. (2005). Metode Statistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(60)

Lampiran 1 Kromatogram Penyuntikan Larutan Flukonazol untuk

Mencari Komposisi Fase Gerak Asetonitril:Air yang Optimum pada Analisis

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (50:50) dengan laju alir 1 ml/menit


(61)

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (40:60) dengan laju alir 1 ml/menit.


(62)

(63)

Lampiran 2 Kromatogram Larutan Flukonazol Baku pada Pembuatan Kurva

Kalibrasi

A

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 12,0 µg/ml.

B

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 12,0 µg/ml.


(64)

.

C

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45: 55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 12,0 µg/ml.

D

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 22,0 µg/ml.


(65)

E

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 22,0 µg/ml.

F

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 22,0 µg/ml.


(66)

G

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 32,0 µg/ml.

H

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 32,0 µg/ml.


(67)

I

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 32,0 µg/ml.

J

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit konsentrasi 42,0 µg/ml.


(68)

K

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 42,0 µg/ml.

L

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 42,0 µg/ml.


(69)

M

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 52,0 µg/ml.

N

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 52,0 µg/ml.


(70)

O

Perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55) dengan laju alir 1 ml/menit, konsentrasi 52,0 µg/ml.

A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N dan O merupakan kromatogram hasil penyuntikan larutan Flukonazol Baku dengan konsentrasi 12,0 µg/ml, 22,0 µg/ml, 32,0 µg/ml, 42,0 µg/ml, dan 52,0 µg/ml. Dengan menggunakan KCKT dengan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(71)

Lampiran 3 Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi Flukonazol

Baku yang Diperoleh secara KCKT pada Panjang Gelombang 260 nm

Data Hasil Penyuntikan Larutan Flukonazol Baku Berdasarkan Luas Area No Kosentrasi

(µg/ml) Luas Area 1 12 34674,6 2 22 61097,6 3 32 84602,0 4 42 113425,7 5 52 137920,3 Konsenterasi (X) VS Luas Area (Y) untuk Flukonazol

Y = ax + b

� =(∑XY)− (∑X)(∑Y)/n

(∑X2)− (∑X)2/n

=(16403241,4)− (160)(431720)/5 (120)− (160)2/5

= 2588,195

b = Y� −a��

= (86344,04) – (2588,195) (32) = 3521,8

Sehingga diperoleh persamaan regresi Y = 2588,195X +3521,8

Untuk mencari hubungan kadar (X) dengan luas area (Y) digunakan pengujian koefisien korelasi (r)

No.

Konsentrasi

(µg/ml) Luas Area XY X2 Y2

X Y

1 12 34674,6 416095,2 144 1202327885 2 22 61097,6 1344147,2 484 3732916726 3 32 84602,0 2707264,0 1024 7157498404 4 42 113425,7 4763879,4 1764 12865389420 5 52 137920,3 7171855,6 2704 19022009150

∑ 160 431720,2 16043241,4 6120 43980141590 Rata2 32 86344,04


(72)

r = (∑XY)− (∑X)(∑Y)/n

�[(∑X2−(∑X)2/n][(∑Y2)−(∑Y)2/n]

= (16403241,4)− (160)(431720,2)/5

�[(6120)−(160)2/5][(43980141590)−(431720,2)2/5]

= 29344216,4

√1120 x 77498518420

= 29344216,4 29356149,69

= 0,9996


(73)

Lampiran 4 Perhitungan Recovery dengan Metode Adisi Standar

Berat 1 kapsul Flukonazol mengandung 150 mg Flukonazol Berat 20 kapsul : 7097,1 mg

Rentang spesifik : 80%, 100% 120% dan setiap rentang mengandung 70% analit dan 30% baku pembanding.

Rentang 80% :

Flukonazol = 80

100x 25 mg = 20 mg

Analit 70% : = 70

100x 20 mg = 14 mg

Serbuk sampel yang ditimbang : = 20 x 14 mg

150 mg x 7097,1 mg = 33,1 mg = 0,0331 g

Berat baku 30% : = 30

100x 20 mg = 6 mg

Cara Pembuatan Larutan Sampel

Ditimbang serbuk sampel 33,1 mg setara dengan 14 mg flukonazol lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10 menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, kemudian disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml filtrat, dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml, dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 22,4 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan.

Cara Pembuatan Larutan Sampel ditambahkan dengan baku

Ditimbang 6,0 mg bahan baku dan 33,1 mg sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10


(74)

menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 32,0 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan.

Konsentrasi Bahan Baku = 6,0 mg

50mlx 1000 µg/ml = 120 µg/ml Dipipet 0,8 ml = 0,8 ml x 120 µg/ml

10ml = 9,60 µg/ml

Konsentrasi sampel + bahan baku = 22 µg/ml + 9,60 µg/ml = 32 µg/ml Rentang 100% :

Flukonazol = 100

100x 25 mg = 25 mg

Analit 70% : = 70

100x 25 mg = 17,5 mg

Serbuk sampel yang ditimbang : = 20 x 17,5 mg

150 mg x 7097,1 mg = 41, mg = 0,0413 g

Berat baku 30% : = 30

100x 25 mg = 7,5 mg

Cara Pembuatan Larutan Sampel

Ditimbang serbuk sampel 41,3 mg setara dengan 17,5 mg flukonazol lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10 menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, kemudian disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml filtrat, dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml, dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 28,0


(75)

µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan.

Cara Pembuatan Larutan Sampel ditambahkan dengan baku

Ditimbang 7,5 mg bahan baku dan 41,3 mg sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10 menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 40,0 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan. Konsentrasi Bahan Baku = 7,5 mg

50mlx 1000 µg/ml = 150 µg/ml Dipipet 0,8 ml = 0,8 ml x 150 µg/ml

10ml = 12,0 µg/ml

Konsentrasi sampel + bahan baku = 28 µg/ml + 12 µg/ml = 40 µg/ml

Rentang 120% :

Flukonazol = 120100x 25 mg = 30 mg

Analit 70% : = 70

100x 30 mg = 21 mg

Serbuk sampel yang ditimbang : = 21mg

20 x 150 mg x 7097,1 mg = 49,6 mg = 0,0496 g

Berat baku 30% : = 30


(76)

Cara Pembuatan Larutan Sampel

Ditimbang serbuk sampel 49,6 mg setara dengan 21 mg Flukonazol lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10 menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, kemudian disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml filtrat, dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml, dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 33,6 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan.

Cara Pembuatan Larutan Sampel ditambahkan dengan baku

Ditimbang 9,0 mg bahan baku dan 49,6 mg sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 30 ml akuabides, disonikasi ± 10 menit dan dicukupkan dengan akubides hingga garis tanda, disaring dengan kertas saring, ± 5 ml filtrat pertama dibuang. Dipipet 0,8 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 48,0 µg/ml. Dikocok ± 5 menit lalu disaring dengan membran filter PTFE 0,2 µm. Diinjeksikan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 260 nm dengan perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), laju alir 1 ml/menit. Dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan.

Konsentrasi Bahan Baku = 9,0 mg

50mlx 1000 µg/ml = 180 µg/ml Dipipet 0,8 ml = 0,8 ml x 180 µg/ml

10ml = 14,4 µg/ml


(77)

Lampiran 5 Kromatogram Hasil Recovery dari Sampel Flukonazol (PT Kimia

Farma)

A


(78)

C

A, B dan C merupakan kromatogram hasil Recovery tanpa penambahan bahan

baku pada rentang 80%, dari larutan sampel Flukonazol (PT Kimia Farma) yang dianalisa secara KCKT dengan menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(79)

A


(80)

C

A, B dan C merupakan kromatogram hasil Recovery dengan penambahan bahan

baku pada rentang 80%, dari larutan sampel Flukonazol (PT Kimia Farma), yang dianalisa secara KCKT dengan menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(81)

A


(82)

C

A,B dan C merupakan kromatogram hasil Recovery tanpa penambahan bahan

baku pada rentang 100%, dari larutan sampel Flukonazol (PT Kimia Farma), yang dianalisa secara KCKT dengan menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(83)

A


(84)

C

A,B dan C merupakan kromatogram hasil Recovery dengan penambahan bahan

baku pada rentang 100%, dari larutan sampel Flukonazol (PT Kimia Farma), yang dianalisa secara KCKT dengan menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(85)

A

B


(86)

C

A,B dan C merupakan kromatogram hasil Recovery tanpa penambahan bahan

baku pada rentang 120%, dari larutan sampel Flukonazol (PT Kimia Farma), yang dianalisa secara KCKT dengan menggunakan kolom Shimadzu VP-ODS (250 x 4,6 mm), perbandingan fase gerak asetonitril:air (45:55), volume penyuntikan 20 µl, laju alir 1 ml/menit, detektor UV pada panjang gelombang 260 nm.


(87)

A


(1)

(2)

(3)

Lampiran 24 Gambar Alat KCKT (Shimadzu)


(4)

Lampiran 25 Gambar Sonifikator (Branson 1510) dan Penyaring

Gambar 9 Sonifikator (Branson 1510)

Gambar Penyaring


(5)

(6)

Gambar 13 Syringe KCKT