PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN.

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN
DI PERAIRAN INDONESIA
Fitriani Abdi
Fitrianiabdi@students.unnes.ac.id
Abstrak
Wilayah Indonesia terdiri dari 80% perairan yang mengandung banyak sumber
daya ikan yang potensial.Sumber daya ikan tersebut semestinya dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia.Kenyataan sumber daya ikan belum mampu meningkatkan taraf hidup
yang berkelanjutan dan berkeadilan.Berkembang isu adanya penangkapan ikan
yang berlebih, pencurian ikan dan tindakan illegal fishing dan penggunaan alat
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.Hal ini berarti pemanfaatan
sumber daya ikan melebihi regenerasi ikan itu sendiri. Keadaan tersebut akan
menimbulkan kerugian bagi negara dan kepentingan nelayan sendiri dan
masyarakat pada umumnya. Penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan hidup akan mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan
mengancam keberlanjutan sumber daya ikan. Tujuan penulisan artikel untuk
mengkaji penegakan hukum dalam kaitannya dengan keberlanjutan sumber daya
ikan dan keberlanjutan sumber daya ikan ditinjau dari perspektif keadilan.Sebagai
hasil kajian; penegakan hukum untuk melindungi sumber daya ikan pada
umumnya belum memperhatikan keberlanjutan sumber daya ikan sehingga

masih banyak nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan. Alat tangkap ikan yang tidak ramah terhadap lingkungan hidup akan
mengakibatkan terjadinyan tangkap lebih (over-fishing) dan menimbulkan
dampak kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut akan menyebabkan kerusakan
habitat ikan sehingga kuantitas ikan akan mengalami penurunan dan bahkan bisa
punah.Guna mengurangi dampak adanya kegiatan tangkap ikan lebih dan
kerusakan habitat ikan perlu adanya penegakan hukum yang berorientasi pada
keberlanjutan sumber daya ikan.Keberlanjutan sumber daya ikan yang tidak
dapat dipertahankan eksistensinya, merupakan pertanda terjadinya kerusakan
lingkungan hidup.Dalam hal ini hukum juga perlu melakukan pengintegrasian
keberlanjutan sumber daya ikan untuk diolah sehingga menghasilkan keluaran
penegakan hukum yang berorientasi pada keberlanjutan sumber daya ikan.
Sebagai kesimpulan; dalam penegakan hukum yang berorientasi pada
keberlanjutan sumber daya ikan, perlu diperhatikan dalam fikiran para pembuat
hukum dan pelaksana hukum harus tertanamkan bahwa hukum yang dibuatnya
harus mengandung ide atau konsep tentang keadilan,kepastian hukum,
kemanfaatan dalam sumber daya ikan dan dapat diimplementasikan. Dalam
pemanfaatan sumber daya ikan dan penegakan hukum perlu memperhatikan
prinsip keadilan; antar generasi (intergenerational equity); dalam satu generasi
(intragenerational equity); pencegahan dini (precautionary); perlindungan

keragaman hayati (consevation of biological diversity); perlindungan keragaman
hayati (consevation of biological diversity).

Kata kunci: penegakan hukum, tangkap lebih, keberlanjutan, sumber daya ikan. 
PENDAHALUAN
1. Latar Belakang
Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya laut yang sangat
besar sehingga menjadi salah satu negara yang diperhitungkan oleh negaranegara dunia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan Konstitusi, maka segenap kekayaan sumber
daya laut tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dan disaat yang sama pula
kelestariannya tetap terjaga.1
Laut merupakan wilayah potensial dalam menunjang kehidupan bangsa maupun
masyarakat dunia, maka tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai konflik
atau permasalahan dan pelanggaran atas wilayah tersebut. 2 Selain itu,
masyarakat secara umum yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena
tidak bisa menikmati hasil laut di negerinya sendiri. 3Disisi lain, kegiatan pencurian
ikan ini selain merugikan masyarakat umum juga merusak ekosistem laut dan

juga mendorong hilangnya rantai-rantai sumber daya perikanan 4. Pencurian ikan
seringkali dilakukan dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang dan
berakibat rusaknya ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan
dikarenakan maraknya tindakan penangkapan ikan dengan alat yang dilarang,
pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal, serta kasus-kasus lainnya yang
merugikan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan. Kegiatan yang termasuk
dalam sumber daya perikanan dimulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan
sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.5
Dari aspek regulasi, ada beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemberantasan tindak pidana perikanan yang digunakan untuk
menangani permasalahan tindak pidana perikanan. Perangkat aturan yang
1 Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan

Penduduk Di Kawasan Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1.
2 Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif

(ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2, no. 1
(2014).Hlm. 1.
Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.).

Hlm. 210.
4 Riza Damanik dan Dkk, Menjala ikan terakhir (sebuah fakta krisis di laut
diindonesia) (Jakarta: walhi, 2008). Hlm.67
5 Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2001). Hlm. 68
3

dipakai dalam pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana pencurian ikan
antara lain berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta aturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.13/MEN/2005
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Bidang Perikanan, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidayaan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia yang Bukan untuk Tujuan Komersil, dan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Penegak hukum dalam bidang perikanan yang tercakup dalam aturan perundangundangan yang ada di Indonesia meliputi aspek penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan. Bahkan dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan dimuat hukum acara sendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis)
dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pembentukan Pengadilan
Perikanan.beserta acaranya (hukum materiil dan formil) dimaksudkan agar
tercipta efisiensi dan efektivitas dari penegakan hukum di bidang perikanan.6
Permasalahan tindak pidana perikanan terjadi disebabkan karena tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur, sehingga berujung
pada berbenturannya kepentingan antara institusi negara yaitu penegak hukum
dalam menangani permasalahan ini. Adanya permasalahan tersebut menciptakan
celah hukum bagi para pihak untuk melakukan kejahatan ini. 7Hal itu dikarenakan
sektor perikanan yang memiliki potensi yang cukup kaya tersebut mengundang
banyak nelayan asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan pemanfaatan
sumber daya perikanan di laut Indonesia.8
Terkait penanganan permasalahan tindak pidana di bidang perikanan, dalam
Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi
Undang- Undang No. 45 Tahun 2009. 9
Dari penjelasan di atas, pada isu yang ketiga mensyaratkan adanya pembentukan
pengadilan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan pengadilan perikanan harus
dilaksanakan diseluruh wilayah pengadilan negeri. Dengan adanya pemeriksaan

tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh pengadilan perikanan dan
pengadilan negeri, maka ada dualisme dan ketidakpastian hukum dalam
Bakri Rudiansyah, “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan
Perikanan Yang Tidak Sah Di Perairan Raja Ampat,” Jurnal Kajian Politik dan
Masalah Pembangunan 11, no. 2 (2015). Hlm. 1719.
7 Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia,
2010). Hlm. 4.
8 Marlina and Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak
Pidana Perikanan (Jakarta: Sofmedia, 2013).Hlm. 2.
9 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Perikanan
6

penanganan tindak pidana perikanan. Dikarenakan terdapat perbedaan antara
penanganan perkara tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh pengadilan
perikanan, yang dimana aparat, sistem, dan proses penanganannya berbeda
dengan yang dilaksanakan melalui peradilan umum. 10 Sehingga penanganan
tindak pidana di bidang perikanan pada saat ini belum berjalan secara maksimal
dan mengalami berbagai hambatan dalam penyelesaiannya.
2. Kronologi Kasus

Penangkapan ikan berlebih adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan
terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang membahayakan.Hilangnya
sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa
yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut
telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu
ekosistem laut secara keseluruhan.
jumlah ikan di Laut Jawa tidak meningkat dengan tidak beroperasinya kapal-kapal
besar seperti yang sering diberitakan media massa. "Terjadi peningkatan di bulan
yang sama karena di Laut Jawa sudah terjadi overfishing (penangkapan yang
berlebihan) sehingga menurunkan produksi ikan.Jumlah tangkapan para nelayan
sudah tidak bisa tertampung lagi di tempat pelelangan yang ada.Jumlah kapal
nelayan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari data yang dihimpun Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan)
bersama Balitbang KKP, potensi perikanan yang berkelanjutan atau Maximum
Sustainable Yield (MSY) dari 11 WPP sebanyak 6,512 juta ton per tahun. Dari
potensi tersebut, jumlah ikan yang boleh ditangkap sebanyak 80 persen, atau
sekitar 4,8-5 juta ton.Namun, jika dibandingkan dengan produksi yang ditangkap,
berdasarkan statistik yang dikumpulkan dari 816 pelabuhan perikanan pusat dan
daerah, maka kondisi over-eksploitasi perikanan tangkap sudah terjadi sejak
2011. Dengan kata lain, lebih dari lima juta ton ikan dieksploitasi per tahunnya,

atau lebih dari 20 juta ton hingga 2014.
terjadi overfishing (penangkapan ikan berlebih) di Laut Jawa. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan untuk mengatasi overfishing diantaranya adalah dengan
melarang pemakaian alat tangkap cantrang.Menteri Susi telah mengeluarkan
kebijakan Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan menggunakan pukat
hela (Trawl) dan pukat tarik (Seine nets).Cantrang merupakan salah satu jenis alat
penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or
vessel seines) yang bersifat aktif dioperasikan dengan menggenakan ukuran
mesh size (mata jaring) kurang dari 2 inchi dan tali ris diatas 60 meter,
menggunakan kapal motor.
Cantrang berkembang pesat hanya di Jawa Tengah seperti Brebes, Tegal, Batang,
Kendal, Kota Tegal, Lamongan, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang. Jumlah
kapal yang menggunakan cantrang terus meningkat, dari 3.209 pada 2004
menjadi 5.100 pada tahun 2007, bahkan 2014 mencapai 10.000 unit. Imbasnya,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang
Pengadilan Perikanan (Jakarta, 2009). Hlm. 89
10

penurunan produksi sebesar 45 persen dari 281.267 ton pada 2002 menjadi
153.698 ton pada 2007. Kondisi tersebut berdampak pada penurunan sumber

daya ikan demersal sebanyak 50 persen. Dampak lain, ikan semakin sulit untuk
ditangkap dan kondisi tersebut menyusahkan nelayan tradisional.
Oleh karena itu banyak sekali faktor yang menyebabkan adanya overfishing, dari
mulai pemakaian cantrang, illegal fishing dll. Oleh karenanya perlu adanya
penegakan hukum yang jelas dalam mengadili para tindak pidana di perairan
indonesia agar menimbulkan rasa jera bagi mereka yang berbuat overfishing.
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penegakan Hukum Lingkungan dan Keberlanjutan Sumber Daya
Ikan?
2.BagaimanaOptimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum
Tindak Pidana Perikanan?
PEMBAHASAN
A. Penegakkan Hukum Lingkungan dan Keberlanjutan Sumber Daya Ikan
Masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak
menerapkan hukum.

hukum,


yakni

pihak-pihak

yang

membentuk

maupun

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Keberlanjutan sumber daya ikan merupakan kapasitas untuk bertahan dan
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan seluruh kekayaan sumber daya laut
untuk kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainya. Keberlanjutan sumber
daya ikan harus diupayakan dalam rangka mewujudkan kualitas hidup yang baik

untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Keberlanjutan sumber
daya ikan merupakan suatu tuntutan baik untuk generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang. Manfaat keberlanjutan sumber daya ikan adalah
masyarakat dalam mengembangkan kehidupan ekonomi dan aspek kehidupan
lainnya, tetap melestarikan serta menjamin ekosistem di sekitarnya dalam
simbiosis yang saling mendukung.Dengan keberlanjutan sumber daya ikan
masyarakat diajak untuk mengembangkan pola-pola kegiatan dalam semua aspek
kehidupan yang berbasis ekologi dan sekaligus menjaga lingkungan hidup demi
memberikan penghidupan yang layak.Keberlanjutan sumber daya ikan tidak
hanya memberi tuntunan kepada masyarakat agar ikut menjaga keberlanjutan

sumber daya ikan, tetapi pemerintah juga diharapkan menjadikan keberlanjutan
sumber daya ikan sebagai kebijakan nasional dalam melindungi kehidupan di laut.
Keberlanjutan sumber daya ikan juga untuk mewujudkan keadilan generasi
sekarang dan generasi masa depan, dengan demikian berarati perlu solidaritas
antar generasi. Hal ini ditunjukkan perlunya pengakuan akan adanya
keterbatasan (limitations) atas sumber daya ikan yang harus diatur
pemanfaatannya agar tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan
datang.
Dalam rangka penegakan hukum yang berorientasi pada keberlanjutan sumber
daya ikan guna mewujudkan keberlanjutan sumber daya ikan, Menteri Susi
Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 8 Januari 2015
menerbitkan, PERMEN – KP.No.2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik.
Pelarangan penggunaan alat penagkap ikan diatur dalam Pasal 9 ayat (1 ) UU
No.45 Th 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Th 2004 Tentang Perikanan,
“Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan
alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya
ikan di kapal penangkap ikan di wilayah Negara Republik Indonesia”. Dalam Pasal
85 UU No.45 Th 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Th 2004 Tentang
Perikanan, ditegaskan lagi bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan diwilayah pengelolalaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
B. Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Perikanan
Dalam pembentukan peradilan perikanan, pada awalnya dasar hukum
lahirnya pengadilan perikanan didasari pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
pada Pasal 71 yang menyatakan bahwa “Dengan undang-undang ini dibentuk
pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
tindak pidana di bidang perikanan”. Namun dalam ketentuan ini, pengaturan
suatu kelembangaan pengadilan perikanan hanya diatur dalam 1 (satu) pasal
saja. Perubahan ketentuan dari yang sebelumnya menjadi Undang-Undang No. 45
Tahun 2009 menyatakan peraturan mengenai pengadilan perikanan ditambah 1
pasal yaitu Pasal 71A sehingga secara keluruhan dalam pengaturan tentang
pengadilan perikanan hanya diatur di dalam 2 pasal saja.
Mengacu kepada berbagai pengadilan khusus yang ada, pengaturan tentang
pengadilan khusus tersebut diatur dalam ketentuan yang secara khusus juga. Hal
itu dapat dilihat dari Pengadilan Anak diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 46 Tahun

2009, Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2000, Pengadilan Pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2002,
Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
Dengan demikian, perlunya suatu reformasi di pengadilan perikanan dalam
substansi hukum (produk hukum) harus dilaksanakan sebagaimana pengaturan
yang mengatur secara khusus seperti pengadilan-pengadilan khusus
lainnya.Sehingga dengan adanya pengaturan secara khusus terhadap pengadilan
perikanan diluar ketentuan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, memberikan
penegasan dan kedudukan yang konsisten bagi pengadilan perikanan dalam
menyelesaikan segala permasalahan tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, menyatakan diperlukan
perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kemudian diatur pula bahwa
pembentukan pengadilan perikanan dilakukan dan diterapkan secara
bertahapsesuai dengan kebutuhan melalui keputusan presiden. 11 Berkenaan
dengan ketentuan hukum yang mengatur, dapat ditafsirkan bahwa para
pembentuk undang-undang ini sebenarnya menghendaki agar dapat dibentuk di
setiap pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, pembaharuan kelembagaan dalam peradilan perikanan
merupakan suatu keharusan untuk menekan angka tindak pidana perikanan. Hal
itu dilaksanakan dengan cara membentuk pengadilan perikanan di setiap provinsi.
Namun kedudukan dari pengadilan perikanan berada di ibu kota provinsi sama
halnya dengan PTUN. Hal tersebut dikarenakan, jika dibentuk diseluruh wilayah
pengadilan negeri pada tingkat kabupaten/kota maka yang akan menjadi
problemnya yaitu perkara tindak pidana yang masuk tidak sebanding banyaknya
dengan jumlah pengadilan perikanan. Sehingga hakim-hakim dalam menangani
perkara tindak pidana perikanan dapat bekerja secara efektif dikarenakan
penanganan perkara terpusat pada satu pengadilan di ibu kota provinsi. Selain
itu, hal tersebut dikonstruksikan agar permasalahan tindak pidana perikanan di
setiap provinsi diselesaikan melalui pengadilan perikanan di provinsi masingmasing, tidak mengacu kepada wilayah pengadilan yang memiliki peradilan
perikanan maupun penanganan perkara di pengadilan negeri yang hukum
acaranya berbeda dengan hukum acara dalam pemeriksaan tindak pidana
perikanan di peradilan perikanan. Sehingga dalam proses penanganannya
diharapkan akan lebih memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan dalam memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana
perikanan.12
KESIMPULAN
Penegakan hukum yang berorientasi pada keberlanjutan sumber daya ikan:
Kewajiban dalam menegakkan hukum tidak hanya pada penegak hukum yang

11
12

51 Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009

Badan Pembinaan Hukum Nasional hlm. 88

menangani masalah hukum, tetapi juga para pembuatAlat tangkap ikan yang
tidak ramah terhadap lingkungan hidup akan mengakibatkan:
a) Terjadinya tangkap lebih (over-fishing) dan menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan hidup (sumber daya laut).
b) Menyebabkan kerusakan habitat ikan sehingga kuantitas ikan akan
mengalami penurunan dan bahkan bisa punah.
Berdasarkan permasalahan dalam penanganan tindak pidana perikanan, maka
diperlukan
pembaharuan
dalam
penegakan
hukum
tindak
pidana
perikanan.Reformasi tersebut terfokus kepada substansi hukum (produk hukum),
kelembagaan peradilan dan aparatur penegak hukum yang dalam hal ini
dilaksanakan oleh hakim. Pembaharuan pada substansi hukum dilaksanakan
dengan membentuk suatu peraturan khusus diluar Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 yang mengatur secara khusus tentang kelembagaan pengadilan dan hukum
acara dalam penanganan tindak pidana perikanan. Disamping itu, mengenai
kelembagaan peradilan, dengan dibentuknya peradilan perikanan yang berada di
setiap ibu kota provinsi menjadikan penanganannya oleh hakim dalam
memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana perikanan lebih efektif dan
efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan
Penduduk Di Kawasan Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011).
Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2,
no. 1 (2014).
Djoko. Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.).
Riza Damanik dan Dkk, Menjala ikan terakhir (sebuah fakta krisis di laut
diindonesia) (Jakarta: walhi, 2008).
Bakri Rudiansyah, “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan
Perikanan Yang Tidak Sah Di Perairan Raja Ampat,” Jurnal Kajian Politik dan
Masalah Pembangunan 11, no. 2 (2015).
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia,
2010).
Marlina and Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak
Pidana Perikanan (Jakarta: Sofmedia, 2013).
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Perikanan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang
Pengadilan Perikanan (Jakarta, 2009).

Eko Handoyo. Aspek hukum pengelolaan lingkungan hidup, pandecta, vol. 3 no.2
juli-desember 2009.

LAMPIRAN:
Semarang Metro, Selasa 7 April 2015