Selintas Sejarah Ekonomi Indonesia Abad

Selintas Sejarah Ekonomi Indonesia
Abad ke-19 hingga ke-20

Sebagai bangsa yang hidup diantara gugusan pulau-pulau yang
dikelilingi lautan luas, sudah hal yang biasa jika masyarakat yang hidup di
sepanjang wilayah Indonesia sekarang (dulu Nusantara) terbiasa mengarungi
samudera yang luas. Maka tidak asing apabila kita mengetahui adanya
kampung Jawa, Kampung Bugis di Singapura. Begitu juga seperti Orang
Bajau yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, bahkan sampai ke
Filipina. Membuat kampung – kampung yang disesuaikan dengan keadaan
mereka. Mereka memilih menetap disana disebabkan karena adanya banyak
faktor, seperti pemberontakan/huru – hara di tempat asalnya atau karena
ingin mencari lahan baru yang dapat dikembangkan secara ekonomis.
Mereka yang hidupnya disekitar pantai atau laut, terbiasa menggantungkan
hidupnya dari laut, seperti kerang, mutiara, ikan, teripang dan sebagainya.
Hasil yang didapat itu mereka jual ke tempat lain atau kampung lain dengan
kebutuhan – kebutuhan pokok yang lainnya.
Begitu juga masyarakat yang hidupnya di darat atau bercorak agraris,
Dari pedalaman mereka berproduksi barang – barang sesuai yang dihasilkan
wilayahnya, seperti beras, lada, kayu, sayur mayur, dan sebagainya. Lewat
hulu sungai pedagang membawa ke hilir dan mejualnya di tempat – tempat

yang ramai pedagang menjual barang dagangannya. Wilayah ini biasanya
merupakan daerah kerajaan (seperti Mataram) atau kota pelabuhan (seperti
Malaka) yang letaknya agak ke dalam dan daerah pesisirnya ini di kuasai
oleh Syah Bandar. Kian lama, tempat itu semakin berkembang karena
dikelola oleh Syah Bandar dengan baik dan menjadi terkenal di kalangan
pedagang seperti Malaka. Akan tetapi yang terpenting disini adalah tanpa
disadari atau tidak, mereka – mereka ini yang biasa datang dari wilayahnya
masing – masing dan bertemu di satu tempat/kota pelabuhan sebenarnya

telah merintis jalur pelayaran yang sangat lama dan mengaitkan satu sama
lain menjadi sebuah jalur yang rumit dan panjang.
Sudah sejak masa prasejarah, masyarakat di wilayah Nusantara terlibat
dalam jaringan perdagangan lokal, jauh sebelum mereka terkait dengan
simpul perdagangan Internasional. Penduduk melakukan pelayaran antar
kampung ataupun antar pulau dengan berbagai tujuan, seperti melarikan diri
karena terusir dari kelompok, mengenal kampung - kampung sekitar,
mengadakan perkawinan hingga melakukan perdagangan dengan cara
melakukan pertukaran barang. Tanpa disadari, mulai terbentuklah jalur
pelayaran dan jalur komunikasi pertama yang menyatukan wilayah perairan
bersangkutan.

Munculnya jaringan perdagangan mulai terdokumentasikan dengan
baik sekitar abad 7 hingga pertengahan abad 17. Apabila kita melihat jauh
ke belakang, pada abad 7 telah terjadi kontak perdagangan antara Sriwijaya
dengan Cina. Sriwijaya tumbuh menjadi sebuah pelabuhan singgah atau
transit terbesar di wilayah Selat Malaka selama 600 tahun. Para pedagang
Cina dan India singgah dan melakukan perdagangan di sini. Pada abad 14,
Naskah Negarakertagama menyebutkan hampir seratus toponim yang
menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Hal ini memperlihatkan hubungan
Majapahit dalam bidang komersil/perdagangan dengan negara - negara
vasal. Pada abad 15, muncullah Malaka sebagai entitas baru yang
berkembang menjadi sebuah pelabuhan singgah/transit terbesar sesudah
kerajaan – kerajaan pendahulunya. Para pedagang dari berbagai wilayah
(Gujarat, Benggala, Wilayah Nusantara, Semenanjung Malaya, Filipina,
Indocina hingga Asia Timur) berkumpul disini untuk melakukan transaksi
dagang. Mereka membawa barang dagangan yang khas dari wilayahnya
masing



masing,


seperti

beras,

lada,

garam,

rempah



rempah,

kamper/kapur barus, kayu cendana, mutiara, emas, dan lain – lain. Tetapi
dari

semuanya,


rempah-rempah

memiliki

daya

tarik

tersendiri

pedagang Cina dan India (jauh sebelum kedatangan orang Eropa).

bagi

Malaka begitu juga Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan - kota hanya
berbasis pelabuhan transit dan jasa, dapat dikatakan tidak menghasilkan
barang ekspor. Bahkan kedua negara itu tidak memiliki wilayah pedalaman
yang dijadikan tempat produksi langsung bagi perdagangan Internasional.
Hal ini mendorong wilayah – wilayah disekitarnya (begitu juga Nusantara)
menjadi pemasok barang – barang dagangan dari masing – masing

wilayahnya ke pelabuhan Malaka. Tiap daerah menghasilkan hasil yang
berbeda dalam bidang pertanian. Hal ini mendorong interaksi perdagangan
antar daerah yang melibatkan seluruh wilayah Nusantara dan sebagian
semenanjung Malaya. Perdagangan antar pulau di wilayah Nusantara sedikit
demi sedikit mulai meluas hingga masuk ke jaringan perdagangan Asia.
Jaringan ini kemudian meluas lagi hingga perdagangan Eropa mulai terjalin
dengan Asia. Dengan sendirinya terkaitlah simpul perdagangan Internasional
di jantung Asia Tenggara.
Menjelang abad 16, banyak wilayah di Nusantara menunjukkan taraf
spesialisasi wilayah yang cukup jelas dan masuk pada taraf perdagangan
Internasional yang cukup tinggi. Kota-kota dagang di sepanjang pantai mulai
bermunculan. Pusat ekonomi dibangun pada muara-muara sungai sedang
pusat produksi terletak di hulu. Produksi dilakukan di wilayah pedalaman,
selanjutnya pedagang menengah menjadi perantara dalam perdagangan
dari pedalaman ke pesisir atau dari pedagang eceran ke pedagang besar
dengan menggunakan tongkang. Barulah pedagang besar yang ada di
pesisir menawarkan barangnya ke daerah lain lewat transportasi laut. Pada
awal abad 17, kota-kota di Asia Tenggara berkisar dari 100.000-800.000.
Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan jumlah kota-kota di Eropa. Hal ini
mencirikan tingginya komersialisasi dibarengi dengan urbanisasi yang cepat.

Namun demikian, kota-kota di Asia Timur dan Asia Barat mungkin lebih besar
daripada pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
Masuknya ekspansi orang-orang Eropa ke wilayah Asia memiliki
dampak yang besar bagi perdagangan di wilayah Asia. Ketika Portugis
menaklukkan Malaka pada tahun 1511, serentak jaringan perdagangan yang
sudah lama terjalin mengalami kemunduran. Ketika VOC berdiri, kontrol
produksi mulai diambil alih oleh mereka. Monopoli terhadap beberapa
komoditi di Nusantara mulai dilakukan, seperti pala (Kepulauan Banda),
cengkeh (Ambon). Lada (Banten), proteksi beras (Jawa). Sepanjang abad 18,

Belanda mulai mengambil keuntungan dari monopolinya tersebut, yakni
dengan cara melakukan ekspor rempah – rempah hingga Gula dan Kopi ke
Eropa. Tidak hanya menjadikan Jawa sebagai gudang barang - barang ekspor
saja. Belanda mulai merintis kembali perdagangan antar pulau di wilayah
Asia Tenggara dan membangun pelabuhan – pelabuhan baru di wilayah
jajahanny, seperti Sukadana (Kalimantan), Belawan (Medan), Tanjung Priok
(Batavia), Tanjung Emas (Semarang), Tanjung Perak (Surabaya), Ujung
pandang (Makasar). Rupanya Belanda mulai meniru apa yang dulu pernah
ada, yaitu bandar pelabuhan transit bagi pedagang – pedagang di wilayah
lain Akan tetapi sedikit berbeda, Belanda tidak hanya menjadi bandar

pelabuhan saja, tetapi juga sebagai agen jasa pelayaran dengan harapan
mendapatkan pendapatan maksimal, yaitu sebuah perusahaan Belanda di
bidang pelayaran yang bernama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM)
yang nantinya akan menjadi Konijkle Paketvaart Maatschappij (KPM) dan
melayani hampir semua wilayah pedalaman maupun dalam kapasitas luar
negeri (ekspor - impor) di Hindia Belanda. NHM mendapat hak istimewa,
yaitu sebuah monopoli dalam pengapalan barang ekspor seperti gula ke
Eropa. Oleh karena itu NHM atau KPM pada masa selanjutnya memiliki
armada yang sangat banyak seperti kapal uap maupun kapal kecil dan
melayani rute – rute di hampir semua pelabuhan di wilayah Hindia Belanda.
NHM selain melayani pengiriman barang ekspor, juga melayani pengiriman
calon haji ke Arab Saudi, surat yang dikirim maupun orang – orang yang
ingin bepergian ke tempat lain. KPM sendiri sampai tahun 1950-an masih
melayani rute pelayaran di Indonesia dan terkahir pada tahun 1957
digantikan oleh Pelni.
kita lihat bahwa dalam hal perdagangan lah pelayaran memiliki peran
penting dalam menyatukan ekonomi nasional di wilayah Asia Tenggara.
Meskipun pada masa itu belum terbentuk batas – batas nasional yang
tergambar dengan jelas dan belum terkotak – kotak secara politik, namun
terlihat bagaimana kegiatan maritim di Asia Tenggara yang berstandar

Internasional berlangsung dan lewat pelayaranlah yang menyatukan banyak
kerajaan di wilayah Asia Tenggara (begitu juga Nusantara) menyatu menjadi
sebuah

sistem

pedagangan

yang

sempurna.

Ekonomi

nasional

yang

sesungguhnya mulai muncul ketika ekspansi Eropa ke wilayah Asia Tenggara
menghancurkan tatanan perdagangan global. Bukannya muncul secara

evolusi yang alami, tetapi muncul karena penyimpangan pertumbuhan yang

terkesan dipaksakan oleh kekuatan Eropa. Peralihan dari ekonomi nasional
yang sifatnya bebas dan teratur menjadi perekonomian kolonial yang
ditandai dengan batas – batas politik di semua wilayah di Asia Tenggara.
Akan tetapi, Belanda dalam konteks Hindia Belanda sebenarnya pada masa
akhir zaman penjajahannya, mulai muncul spesialisasi wilayah, perdagangan
regional dan secara bersamaan membangun sebuah Emporium sekaligus
Imperium baru di wilayah ini, dengan perusahaan NHM-nya yang melayani
rute pelayaran lokal hingga Internasional. Meski sampai tahun 1940-an
semuanya masih dalam masa pertumbuhan.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1