Strukturalis dan Kelestarian Kemiskinan di

LIBERALISASI EKONOMI
MELESTARIKAN KEMISKINAN
Oleh : A Satria Pratama
PENDAHULUAN
Penulis akan jelaskan kemudian pada bagian pembahasan, bahwa tidak salah kiranya
memulai melihat perbedaan antara kaya dan miskin dari anggapan umum bahwa kaya adalah
sebuah pencapaian, sementara miskin, yang kemudian karena kuantitasnya tak sedikit ia lebih
banyak diistilahkan sebagai ‘kemiskinan’, adalah sebuah permasalahan. Karena kemiskinan
adalah permasalahan, krusial pula, mengingat ini menyangkut bisa atau tidaknya seseorang
melanjutkan kehidupan layak di dunia ini, ia menawarkan sekian banyak segi untuk
dieksplorasi secara ilmiah apakah penyebabnya, yang kemudian diharapkan diskusi mengarah
pada bagaimana mengentaskannya.
Namun begitu, menurut penulis berbicara tentang kemiskinan secara multi topik
tidaklah ringan. Ada dua ranah, menurut penulis, yang mengelilingi kemiskinan, yaitu ranah
pra-kemiskinan dan ranah pasca sadar kemiskinan. Ranah pra-kemiskinan seperti misalnya
penyebab terjadi dan awet nya kemiskinan, sementara ranah pasca-sadar kemiskinan
contohnya adalah usaha – usaha untuk menuntaskannya. Sehingga sebenarnya berbicara
mengenai satu topik saja tentang kemiskinan, misalnya tentang penyebabnya saja, atau
tentang cara menanggulanginya saja, sudah merupakan beban akademik tersendiri, karena
pada masing – masing topik yang spesifik itu, telah terdapat sekian banyak cara membaca
yang bisa digunakan dan oleh karenanya analisisnya sudah bisa sangat mendalam.

Untuk itu, lebih pada argumentasi agar supaya pembahasannya fokus dan spesifik,
paper ini penulis disain hanya untuk menjelaskan penyebab kemiskinan dan tidak
berbarengan dengan bagaimana penanggulangannya. Cakupan nya penulis perketat, sehingga
harapannya adalah penulis bisa lebih analitif dan jauh dalam melihat munculnya kemiskinan.
Sedangkan kacamata yang akan penulis pakai adalah strukturalis, di mana penulis
adalah orang yang melihat bahwa kemiskinan itu adalah sebuah hasil cipta dari struktur, yang
entah sadar atau tidak, dikembangkan oleh status quo. Strukturalis adalah cara untuk
menemukan agenda – agenda yang tersembunyi, aturan – aturan permainan yang
menentukan aksi dan menyusun berbagai aktivitas manusia (Apter 1985, h. 371). Fokus pada
Indonesia sebagai objek utama, demikianlah, pemerintah Indonesia menggalakkan kebijakan
– kebijakan tertentu, utamanya pada ranah ekonomi, yang pada kenyataannya hal itu
menyusun struktur tak terlihat yang memisahkan orang miskin dan orang kaya sudah dari

awal. Pada bagian pembahasan penulis akan berusaha lebih dalam mengelaborasi, bagaimana
kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi
lestari bahkan tumbuh berkembangnya kemiskinan.
Sebagai penutup bagian pembuka, sebagai sebuah mindset, tentu akan ada sisi
kelebihan dan sisi kekurangan dari strukturalisme. Strukturalis melihat sebuah permasalahan
secara struktural, yang itu berarti ia mencari kenyataan tentang sesuatu hal secara detail dan
prosedural, namun hal ini sekaligus menunjukkan kekurangannya, yakni abai pada data – data

makro.
PEMBAHASAN
Miskin, yang kemudian dalam konteks kuantitasnya yang jamak beradaptasi istilah
menjadi kemiskinan, adalah hal negatif dan judgement ini sudah menjadi kesepakatan yang
sangat umum. Karena ia negatif, maka di mana – mana, kemiskinan adalah kenyataan sosial
yang begitu dihindari oleh siapapun, baik itu masyarakat biasa atau pemerintah. Masyarakat
biasa tak ingin miskin karena normalitas kehidupan mengatakan tak ingin hidup dalam
kesusahan padahal kemiskinan sangat dekat dengan kesusahan, sementara pemerintah tak
mau ada kemiskinan karena pencitraan dan bentuk pertanggung jawaban balik kepada voters
pasca kemenangan elektoral. Hal ini menegaskan bahwa kemiskinan adalah kenyataan sosial
yang dianggap negatif dan dijauhi. Apapun itu, intinya, tak ada yang mau miskin.
Miskin itu sendiri dalam press release Badan Pusat Statistik 27 Januari 2011
didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
memenuhi hak – hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Tetapi sayangnya, miskin pun merupakan aktor dari pasangan binernya : ‘kaya’.
Orang yang tak mau miskin, bukan kemudian tak punya impian, melainkan ia ingin kaya.
Paradigma nya bukan eliminatif, tetapi substitutif, di mana orang yang tidak mau miskin
berarti ingin kaya. Penulis termasuk yang tidak percaya ada kondisi di tengah keduanya,
sebutlah seperti terminologi ‘sederhana’. Bagi penulis, hal – hal seperti ini ranah
penjelasannya adalah kondisional, di mana sederhana bisa jadi adalah kaya, tetapi mungkin

juga ia adalah miskin. Jika rumah sederhana divisualisasikan sebagai rumah tanpa lantai
bertingkat tetapi sudah bertembok bata terletak di sebelah kompleks real estate, maka orang
akan secara alamiah mengatakan rumah sederhana itu sebagai rumah miskin. Tetapi jika
rumah tersebut ada di tengah kumpulan rumah di pinggir sungai kumuh, boleh jadi ia adalah
rumah orang kaya. Begitulah, akhirnya tak ada yang menengahi, yang ada hanya kenyataan

dikotomis : miskin dan kaya. Tak mau miskin, berarti ingin kaya, dan karena tak ada yang
mau miskin, semuanya ingin kaya.
Masalahnya, kemiskinan adalah sebuah realitas sosial. Satu kondisi di mana ia tidak
diinginkan kehadirannya, tetapi akan selalu ada eksistensinya. Atau lebih tepatnya, memang
harus adanya. Jika penulis harus kembali pada pernyataan bahwa miskin adalah pasangan
biner dari kaya, maka adanya kemiskinan adalah sebuah kewajaran yang melengkapi adanya
kaya sebagai paket variabel. Hanya saja, menurut penulis hubungan miskin dan kaya memang
tidak sejajar, melainkan terstruktur secara vertikal piramida, dengan kaya di atas dan miskin
di bawah (maka penulis menganalogikannya secara vertikal) dan kaya sedikit jumlahnya
tetapi miskin banyak sekali (maka penulis menganalogikannya sebagai piramida). Mengenai
bagaimana sebuah kondisi itu dinyatakan sebagai miskin atau kaya, tentu saja
pertimbangannya adalah ekonomi, khususnya melalui perhitungan pendapatan individu per
harinya. Data Bank Dunia yang ditegaskan oleh BPS misalnya menjelaskan bahwa apabila
seseorang berpenghasilan Rp 7.000,00 dalam satu hari, maka ia terkategori miskin. Hal ini

didapat melalui perhitungan purchasing power poverty, yaitu dibelanjakan secara lokal.
Artinya, jika ada orang dengan penghasilan demikian dibelanjakan di warteg, dia akan
kenyang,

tetapi

jika

dibawa

ke

Singapura,

dia

akan

kelaparan


(http://www.bisnis.com/articles/ketentuan-bank-dunia-tetap-jadi-patokan-gariskemiskinan).

Alhasil, kaya adalah nuansa kehidupan yang diinginkan oleh sebagian besar manusia,
bukan miskin. Itu sama halnya seperti mengatakan kekayaan adalah sebuah pencapaian,
sementara kemiskinan adalah sebuah permasalahan. Sedangkan berkaitan dengan aspek
indikatornya, kenapa ekonomi, jawabannya adalah karena aspek inilah satu – satunya yang
mungkin digunakan untuk menjelaskan ketidakbisaan orang yang tidak memiliki uang untuk
hidup seperti orang yang punya uang. Sementara uang adalah barang yang terlanjur
disepakati oleh dunia sebagai alat tukar sumber daya. Yang punya uang banyak bisa punya
sumber daya banyak sementara yang tidak punya uang tidak bisa punya sumber daya banyak.
Yang punya sumber daya banyak akan hidup bahagia dan disebut orang kaya, sementara yang
tidak punya sumber daya banyak diasumsikan akan hidup kesusahan dan disebut orang
miskin, dan perspektif ekonomi lah yang bisa menjelaskan hal ini. Itulah mengapa di
Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin di Indonesia per
2011 mencapai 31,02 juta jiwa melalui pendekatan makro, dan 60,4 juta jiwa melalui
pendekatan mikro.

Paper ini menjadi tulisan kesekian dari banyak pendahulu yang sudah menulis ulasan
yang barangkali mendekati sama pada waktu sebelumnya, dalam usaha mengingatkan
khalayak bahwa kemiskinan merupakan sebuah permasalahan. Untuk keperluan spesifikasi,

dari berbagai segi yang terkait dengan kemiskinan, dalam hal ini penulis fokus hanya pada
mengapa dan bagaimana kemiskinan itu bisa terjadi. Apa yang menyebabkannya. Bahwa ia
adalah sebuah pasangan otomatis dari variabel kaya sehingga kemiskinan akan secara
alamiah eksis, memang demikian adanya. Tetapi tentu saja secara analitif akan ada hal – hal
yang bisa menjelaskan kemunculan dan ‘kelestarian’ kemiskinan.
Strukturalis adalah ‘kacamata’ yang penulis pilih kemudian, mengingat kemiskinan
menurut penulis adalah produk dari ketidakberdayaan segelintir masyarakat untuk mengakses
sumber daya yang mana sumber daya – sumber daya tersebut sebenarnya bisa mengantarkan
mereka ke dalam satu kondisi yang lebih baik secara ekonomis. Hal ini penulis perjelas
melalui eksplanasi berikutnya : ketidakseimbangan kuantitas antara peminat sumber daya dan
jumlah sumber daya itu sendiri pada akhirnya menyebabkan terjadinya kompetisi, yang
kemudian menghasilkan implikasi luar biasa : yang menang lantas mendapatkan sumber
daya, sementara yang kalah tidak mendapat bagian apapun. Hal itu merupakan fakta lebih
lanjut dari sekedar definisi ‘kelangkaan’ dalam terminologi ekonomi teoretik. Pada ranah
pemerintahan yang lebih kontekstual misalnya, hal ini diperparah dengan ketidakberpihakan
pemerintah pada masyarakat kecil dengan menggalakkan liberalisasi ekonomi sebagai
tuntutan dari pergeseran konsepsi tata kelola pemerintahan teraktual : government ke
governance.
Sedikit eksplanasi tentang pergeseran government ke governance, hal ini sebetulnya
merupakan implikasi pada ranah implementatif sebagai konsekuensi dari berubahnya model

pemerintahan otoritarian menjadi demokrasi yang terjadi secara bertahap dan dominan di
berbagai belahan dunia. Dalam model pemerintahan demokratis, amanahnya bisa dibilang
cukup indah : negara tidak seharusnya menjalankan pemerintahan sendirian. Ia harus
menjalankan konsepsi dispersion of power yang itu berarti secara riil negara dituntut untuk
melibatkan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi, dan secara lekas memposisikan diri
bukan lagi sebagai main actor, tetapi regulator dan fasilitator bagi dinamisasi interaksi antaraktor. Berbicara secara lebih khusus tentang masyarakat ekonomi, kehadirannya memaksa
pemerintah sebagai fasilitator untuk mampu menyediakan beberapa hal yang bisa dikerjakan
olehnya. Muncullah kemudian aktivitas – aktivitas pemerintahan yang dipadukan dengan
aktivitas - aktivitas ekonomi praktis. Hal ini kemudian diejawantahkan dalam bentuk
privatisasi / swastanisasi, di mana ekonomi pasar dianggap memiliki keragaman elastisitas

yang lebih besar daripada ekonomi yang dikontrol dan sekaligus bisa meningkatkan
pelayanan publik (Wahyuni, Tomo, & Nogi, h. 113)
Pada tataran teknis ada dua cara dalam melihat swastanisasi. Cara yang pertama
adalah ketika pemerintahan utamanya pada street level bureucracy menjalankan aktivitas
pelayanan publik tetapi dinuansakan pasar, misalnya seperti adanya penekanan pada aspek –
aspek keramahan dan good service dari birokrasi kepada masyarakat karena masyarakat
dianggap sebagai costumer dan begitulah pasar melakukannya. Sedangkan yang kedua adalah
ketika masyarakat ekonomi diizinkan secara lebih jauh dan utuh untuk mengerjakan beberapa
proyek pemerintah, dengan asumsi, pemikiran masyarakat ekonomi adalah do the best for

costumer sehingga pengerjaannya diharapkan punya hasil yang berkualitas. Pengelolaan
pemerintahan dengan model yang seperti ini secara konseptual juga banyak disebut sebagai
market based governance. Ada pula penekanan pada debirokratisasi dan aspek – aspek
efisiensi dan fleksibiltas pelayanan publik sebagai komposer new public management
(Muhammad 2008, h. 6)
Selain itu, nyatanya pada tataran makro, swastanisasi juga bisa dilihat sebagai sesuatu
yang lebih implikatif terhadap sistem ekonomi yang dianut oleh sebuah negara. Semangat
swastanisasi adalah semangat kompetisi, namun karena kompetisi nya adalah kompetisi
mencari laba nominal, hal ini terkadang bergerak kebablasan, tanpa pengawasan dan kontrol,
bahkan cenderung yang satu mematikan yang lain. Hal ini mengingat teori swastanisasi juga
dijelaskan sebagai pengalihan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik
oleh perusahaan negara kepada swasta (Wahyuni, Tomo, & Nogi h.13)
Kembali pada masalah kemiskinan dan penulis mulai menekankan studi kasus di
Indonesia, utamanya swastanisasi dalam bentuk yang kedua lah yang menurut penulis
berimplikasi besar pada terjadi dan lestarinya kemiskinan. Kompetisi nominal menjadi tak
sehat dan menjurus kepada monopoli yang dilakukan oleh pemodal besar dan kemudian
secara otomatis akan mematikan pemodal kecil. Demikian juga pada model swastanisasi yang
pertama, market based governance, di mana birokrat –dalam hal ini cara melihatnya adalah
bahwa birokrat punya penghasilan tetap- dituntut untuk cakap dan intelek untuk bisa
melayani masyarakat lebih dari sekedar rakyat melainkan pelanggan. Sementara cakap dan

intelek adalah sebuah produk dari mampunya seseorang menyelesaikan pendidikan tinggi,
dan pendidikan tinggi hanya dapat dimiliki oleh orang – orang yang berduit. Atau,
katakanlah, dominan berduit. Ini artinya, struktur kesempatan yang diciptakan oleh
pemerintah adalah struktur kesempatan yang tidak adil dan tidak imbang. Kompetisi
antara pemodal besar dan pemodal kecil tentu saja sudah demikian gamblang

menunjukkan kompetisi antara orang miskin dan orang kaya, sementara amunisi
keduanya jelas sangat berbeda. Pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan tidak berpihak
pada rakyat kecil, karena tidak ada perlindungan dan perbantuan lebih jauh yang
dilakukan untuk membantu pemodal kecil. Membiarkan kompetisi berjalan dengan
komposisi kekuatan aktor yang tidak berimbang adalah sama saja dengan berpihak pada
aktor kuat, dan tidak berpihak pada aktor lemah.
Ketidak seimbangan itu tentu saja membuat kemiskinan menjadi demikian awet. Ini
satu ketetapan yang wajar, karena jika demikian bentuk kompetisinya, yang kaya akan
semakin kaya, dan yang miskin akan tetap miskin. Struktur yang diciptakan kemudian
penulis anggap bertanggung jawab terhadap kelestarian kemiskinan ini. Karena sampai
kapanpun orang kecil bekerja keras, hasilnya tetap tak akan berubah : mereka akan tetap dan
selalu miskin. Mereka, bekerja keras di dalam struktur yang tidak mereka sadari tidak
memungkinkan mereka untuk menjadi kaya (Marsh & Stoker 2011, h. 330). Struktur
menghambat mereka untuk mendapat posisi kehidupan yang lebih baik.

PENUTUP
Sebagai kesimpulan, pada kenyataannya pemerintah Indonesia melakukan kontradiksi
dalam satu waktu, dalam usaha untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi juga sekaligus
melestarikannya. Penulis fokus pada apa yang sudah penulis janjikan di awal yaitu bahwa
paper ini hanya membahas perihal penyebab kemiskinan saja, maka benar adanya bahwa
kemiskinan itu adalah sesuatu yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Melalui kebijakan
privatisasi sebagai implementasi dari liberalisasi ekonomi, penulis melihat pemerintah
menciptakan struktur yang menghambat orang miskin mendapatkan kesempatan hidup lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Apter, DE 1985, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Marsh, D & Stoker, G 2011, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, Nusa Media, Bandung
Muhammad, F 2008, Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah, Kompas
Gramedia, Jakarta
Wahyuni, E, Tomo, HS & Nogi, SH, Kebijakan & Manajemen Privatisasi BUMN / BUMD,
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta
Penjelasan

Data


Kemiskinan,

dilihat

17

Januari


Ketentuan Bank Dunia Tetap Jadi Patokan Garis Kemiskinan, dilihat 17 Januari 2012,


2012,

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24