Perbedaan asertivitas antara remaja putri suku Belu dan suku Jawa - USD Repository

  

PERBEDAAN ASERTIVITAS ANTARA REMAJA PUTRI SUKU BELU

DAN SUKU JAWA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

  

Program Studi Psikologi

Oleh:

Desriyanti Susan Mauboy

  

069114104

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2011

  

SKRIPSI

PERBEDAAN ASERTIVITAS ANTARA REMAJA PUTRI SUKU BELU

DAN SUKU JAWA

  Disusun Oleh : Desriyanti Susan Mauboy

  069114104 Telah disetujui oleh

  Pembimbing (Yohanes Heri Widodo M.Psi) Tanggal,

  

SKRIPSI

PERBEDAAN ASERTIVITAS ANTARA REMAJA PUTRI SUKU BELU

DAN SUKU JAWA

  Dipersiapkan dan ditulis oleh : Desriyanti Susan Mauboy

  NIM : 069114104 Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada tanggal 12 Oktober 2011 dan dinyatakan memenuhi syarat.

  Susunan Panitia Penguji 1. Yohanes Heri Widodo M.Psi ..........................

  2. V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si ..........................

  3. Agnes Indar E,. S.Psi., M.Si., Psi. ..........................

  Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

  Dekan (Dr. Christina Siwi Handayani)

  

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut

baginya, maka pada masa tuanya ia pun tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. Karena kebodohan melekat pada orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya.

  Amsal 22:6,15 Segala perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku….

  Filipi 4:13 Skripsi ini ku persembahkan kepada:

   Tuhan Yesus KristusPapa Edu & Mama CoryAdikku Tersayang Nyongri De FeltenAlmamaterku tercinta “Sanata Dharma”Semua yang mendukungku melewati setiap proses

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Perbedaan Asertivitas Antara Remaja Putri Suku Belu dan Suku Jawa” tidak memuat bagian atau karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Penulis

  (Desriyanti Susan Mauboy)

  

PERBEDAAN ASERTIVITAS ANTARA REMAJA PUTRI SUKU BELU

DAN SUKU JAWA

Desriyanti Susan Mauboy

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji asertivitas antara remaja putri suku Belu dan suku

Jawa. Hipotesis dalam penelitian ini adalah asertivitas remaja putri suku Belu lebih tinggi

dibanding suku Jawa. Subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang, yang terdiri dari 50

remaja putri suku Belu dan 50 remaja putri suku Jawa. Seluruh subyek adalalah mahasiswi yang

sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta dengan kisaran usia antara 17 – 21 tahun. Penelitian

ini menggunakan skala sebagai metode pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang

digunakan adalah Skala Asertivitas. Data penelitian kemudian dianalisis dengan Independent

Sample t-test dan diperoleh hasil 0,0295 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan antara asertivitas remaja putri suku Belu dan suku Jawa. Akan tetapi, hipotesis dalam

penelitian tidak terbukti karena berdasarkan Mean Empirisnya tingkat asertivitas remaja putri suku

Belu lebih rendah dibandingkan suku Jawa.

  Kata kunci: asertivitas, suku Belu, suku Jawa, mahasiswi.

  

THE DIFFERENCES OF ASSERTIVENESS BETWEEN BELU AND

JAVANESE TEENAGER GIRLS

Desriyanti Susan Mauboy

  

ABSTRACT

This study aims to test the level of assertiveness Belu and Javanese teenager girls. The

hypothesis in this study is the level of assertiveness teenager girls Belu higher interest rates than

on Java. Subjects in the study in are as many as 100 people consisting of 50 Belu teenager girls

and 50 Javanese teenager girls. The whole subject is a student who was studying in Yogyakarta

with age range between 17-21 years. This study used the scale as a method of data collection. The

data collection tool used is the assertiveness scale. The research data were then analyzed with

Independent Sample t-test and obtained results of 0,0295 (p <0,05). These results indicate that

there is a difference between the level of assertiveness Belu and Javanese teenager girls. However,

the hypothesis is not proven in this study because it is based on its level of assertiveness Empirical

Mean Belu teenager girls rates lower than the Javanese.

  Key words: Assertiveness, Belu etnic, Javanese, University student.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Desriyanti Susan Mauboy NIM : 069114104

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, karya ilmiah saya yang berjudul :

  

PERBEDAAN ASERTIVITAS ANTARA REMAJA PUTRI SUKU BELU

DAN SUKU JAWA

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta pada tanggal, Yang menyatakan, (Desriyanti Susan Mauboy)

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat penyertaan dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Asertivitas Antara Remaja Putri Suku Belu dan Suku Jawa” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, dukungan dan arahan yang sangat bermanfaat bagi penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak terkait diantaranya:

  1. Dr. Christina Siwi Handayani. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  2. Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Santa Dharma yaitu Ibu Titik Kristiyani, M.Psi.

  3. Bapak Yohanes Heri Widodo M.Psi selaku dosen pembimbing saya, yang dengan banyak sabar telah membimbing dan membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi. Terima kasih bapak,… Tuhan memberkati.

  4. Bapak Minta Istono S.Psi. M.Si selaku dosen pembimbing akademik, yang dengan sabar membimbing saya selama masa perkuliahan saya di kampus tercinta. Terima kasih bapak,…

  5. Segenap dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mengajariku banyak hal untuk kelak menjadi seorang sarjana muda yang dapat diandalkan. Kalian pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu ku banggakan.

  6. Seluruh karyawan di bagian sekertariat & ruang baca Psikologi, terima kasih untuk pelayanan yang diberikan kepada kami selama ini. Terima kasih untuk kesabaran dan senyum ramah yang kalian berikan selama ini. Yang penting senang.

  7. Papa Eduard Mauboy, yang dengan sangat sabar selalu mendampingiku, menjadi teman curhatku dan berusaha memberikan apa yang aku butuhkan.

  Walau terkadang papa sendiri harus mengorbankan apa yang papa miliki, termasuk kebahagiaan papa. Papa adalah terbaik yang ku miliki. Love u papa,.

  U’r my no. 1. Mama Cornelia Tampani yang selalu berusaha mengajarkanku

  bagaimana menjadi seorang anak perempuan yang baik, selalu mengkhawatirkan aku dalam segala hal. Doa mama membuatku kuat hingga saat ini. Thank you mom,. U’r the best 4 me. Kalian segalanya bagiku.

  8. Adikku tersayang Nyongri Defelten Mauboy yang selalu berusaha membuatku tersenyum dengan tingkah jahilnya saat masa-masa sulit menghampiriku, menasehati aku ketika ia mengkhawatirkan pergaulanku. Aku sangat menyayangi mu,…

  9. Keluarga ku: kici Wely, Nyadu Yan, kici Elsy, bang Opel, k’ Rensy, Ti’i Oza, Pablo, Dedy Keliting, dan semua yang tidak terucap… Apa yang ku peroleh sekarang, tidak lepas dari dukungan kalian selama ini. Tuhan sayang kalian semua.

  10. Dia yang bersedia ku marahi, sabar menghadapi ketidakdewasaanku, mencoba menyayangiku dengan keterbatasan yang dimilikinya, selalu menanyakan kapan skripsi ini selesai. “Secret Name’s”…. Terima kasih untuk perhatian dan pengertianmu untuk ku selama ini. Lophe U kuadkuad….

  11. Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu menemaniku dan siap menolongku saat kesulitan menghampiriku. Lusi, Vivia, Lingga, Rona, Nur, Marsel (“Mace”), Vina, Poyo, Je’, Ika kalian teman terbaikku. Love u all.

12. Anak-anak kos putri “Sari Ayu”: Inang (Sary), Mauryn, Usy Jamilah, K’Ade,

  Ote, Lingga, Lidya, Dwi, Ines, Leza, Sely, Opung (Devy), Marjan. Matur nuwun ngge….

  13. Buat IKABE Yogyakarta (Ikatan Keluarga Belu), terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Menjadi satu keluarga besarku saat aku berada di Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

  Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

  Yogyakarta, 12 Oktober 2011 (Desriyanti Susan Mauboy)

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ………………………………………………..... i HALAMAN PERSETUJUAN …………………………….……. ii HALAMAN PENGESAHAN ..……………………….……….. iii HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .………… v ABSTRAK …………………………………………………………… vi ABSTRACT …………………………………………………………. vii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ….. viii KATA PENGANTAR .…………………………………………. ix DAFTAR ISI .………………………………………………….……… xii DAFTAR TABEL ..………………………………………………… xv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… xvi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xvii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….

  1 A. Latar Belakang ………………………………………….

  1 B. Rumusan Masalah ………………………………………

  8 C. Tujuan Penelitian ………………………………………..

  8 D. Manfaat Penelitian ………………………………………

  9 BAB II LANDASAN TEORI………………………………………..

  10 A. Remaja ……………...........................................................

  10 1. Pengertian Remaja ......................................................

  10

  2. Ciri-ciri Remaja Akhir ……………………………

  11 3. Tahap Perkembangan Remaja Akhir ………………..

  13 4. Tugas Perkembangan Remaja Akhir ...........................

  15 5. Asertivitas Pada Remaja Akhir ……………………..

  18 B. Asertivitas ………………………………………..….

  20 1. Pengertian Asertivitas ...........................................

  20 2. Aspek-Aspek Asertivitas ...........................................

  21 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas .......

  22 C. Kebudayaan .……………….............................……….

  29 1. Kebudayaan .............................................................

  29 2. Kebudayaan Suku Belu ...........................................

  30 3. Kebudayaan Suku Jawa ...........................................

  33 D. Dinamika Hubungan Asertivitas dan Kebudayaan .......

  36 E. Hipotesis ......................................................................

  41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..………………………….

  42 A. Jenis Penelitian .………………………………………

  42 B. Identifikasi Variabel Penelitian ….................................

  42 C. Definisi Operasional …………………………………...

  42

  1. Asertivitas .………………………………………

  42 2. Kebudayaan ……………………………………..

  43 D. Subyek Penelitian .…………………………………..

  44 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...............................

  44 F. Uji Skala ...................................................................

  45

  1. Validitas .……………………………………..……

  45 2. Reliabilitas .………………………………..……..

  46 3. Uji Daya Beda Item .................................................

  46 G. Uji Asumsi ...................................................................

  49 1. Uji Normalitas ....................................................

  49 2. Uji Homogenitas ....................................................

  50 H. Uji Hipotesis ..........................................................

  50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………

  51 A. Pelaksanaan Penelitian ……………………………….

  51 1. Proses Penelitian .…………………………………..

  51 2. Data Demografi .......................................................

  52 3. Hasil Uji Asumsi ....................................................

  53

  b. Uji Normalitas .………………………………

  53 c. Uji Homogenitas .…………………………….

  54

  4. Hasil Uji Hipotesis .………………………………

  55 5. Deskripsi Data Penelitian ..……………………….

  55 B. Pembahasan ………………………………………......

  57 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .……………………….….

  68 A. Kesimpulan ………………………………………..….

  68 B. Saran …………………………………..…………..…

  68 C. Kelemahan …………………………………………...

  69 DAFTAR PUSTAKA ..…………………………………………..….

  70 LAMPIRAN ……………………………………………………………

  74

  DAFTAR TABEL

  1. Tabel Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba ………….. 45

  2. Tabel Blue Print Skala Asertivitas Setelah Uji Coba ……………. 48

  3. Tabel Blue Print Skala Asertivitas ……………………………….. 49

  4. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Latar Belakang Suku……. 53

  5. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Usia ……………………. 53

  6. Tabel Hasil Uji Normalitas .………………………………........ 54

  7. Tabel Hasil Uji Homogenitas .…………………………………… 55

  8. Tabel Uji Tambahan ………………………………………….… 57

  DAFTAR GAMBAR

  Skema Dinamika Hubungan Asertivitas dan Kebudayaan ……………

  40

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 → Skala Uji Coba Asertivitas

  ………...……………… 75 LAMPIRAN 2

  → Analisis Data Skala Uji Coba Asertivitas ……....…. 87 LAMPIRAN 3

  → Skala Penelitian Asertivitas ………...……………... 93 LAMPIRAN 4

  → Analisis Data Uji Normalitas ………..……………. 103 LAMPIRAN 5

  → Analisis Data Uji Homogenitas ……..……………. 104 LAMPIRAN 6

  → Analisis Data Uji Hipotesis ..………..……………. 105

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak bisa hidup sendiri

  tanpa berhubungan langsung dengan orang lain. Hal inilah yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia. Menurut Gerungan (2004) individu memerlukan hubungan dengan lingkungan yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau yang memberikan sesuatu yang ia perlukan.

  Dalam suatu fenomena sosial, komunikasi adalah suatu proses yang penting. Relasi antara satu orang atau satu kelompok dengan orang lain atau kelompok lain pasti mengandaikan adanya komunikasi (Sumintardja dalam Probowo, 2000). Komunikasi dimaksudkan agar terjadi keserasian dan mencegah terjadinya konflik dalam lingkungan bermasyarakat. Tanpa komunikasi yang efektif diantara berbagai pihak yang terlibat didalamnya, pola hubungan dalam suatu masyarakat atau suatu organisasi tidak akan mampu melayani kebutuhan berbagai pihak dengan baik. Bentuk komunikasi yang baik dan efektif dalam membangun sebuah relasi adalah komunikasi secara asertif.

  Assertion theory secara tradisionil menyatakan bahwa perilaku

  yang muncul dalam menghadapi orang lain dibedakan menjadi 3 macam perilaku, yaitu non asertif, asertif dan agresif (Towned dalam Prabowo, 2000). Perilaku non asertif digambarkan sebagai kegagalan untuk mengekspresikan secara jujur perasaan, pikiran dan kepercayaan, dan konsekuensinya adalah mengijinkan pihak lain untuk mengganggu haknya. Towned juga menambahkan bahwa orang yang non asertif tidak tegas dalam menyatakan haknya dan membiarkan orang lain menguasainya (Towned dalam Probowo, 2000). Selanjutnya, perilaku agresif digambarkan sebagai orang yang mengekspresikan perasaan, pikiran dan kepercayaannya secara berlebihan sehingga mengganggu hak orang lain (Towned dalam Probowo, 2000). Berbeda dengan perilaku non asertif dan agresif, perilaku asertif lebih dinyatakan dengan pernyataan hak yang menghormati dan tidak mengganggu hak orang lain (Townend dalam Probowo, 2000). Orang yang mempunyai sikap dan perilaku asertif adalah orang yang mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup. Ia menghargai dirinya dan juga orang lain. Orangnya cenderung terbuka dan bertanggung jawab, suka mendengar perasaan dan pikiran orang lain dan mengharap feedback dari orang lain (Townend dalam Probowo 2000). Berdasarkan penjelasan mengenai ketiga cara berkomunikasi di atas, maka akan lebih baik ketika setiap individu dapat menumbuhkan kemampuan bersikap asertif dalam dirinya.

  Lazarus dalam Rakos (1991) adalah tokoh yang pertama sekali mendefinisikan perilaku asertif. Ia yang menyatakan bahwa perilaku asertif adalah cara individu dalam memberikan respon dalam situasi sosial, yang berarti sebagai kemampuan individu untuk mengatakan tidak, kemampuan untuk menanyakan dan meminta sesuatu, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, serta kemampuan untuk mengawali kemudian melanjutkan serta mengakhiri percakapan.

  Ketika berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain, sikap remaja akan sangat menentukan bagaimana ia memandang dirinya dan juga bagaimana orang lain memandang dirinya. Seorang remaja yang mengembangkan sikap asertif dalam menjalin hubungan dengan orang lain tentunya akan semakin mandiri dan bebas. Mereka dapat mengambil keputusan sesuai dengan keinginan mereka, tanpa harus merasa membatasi diri dari orang-orang dan lingkungan (Santosa, 1999).

  Sikap asertif seorang remaja dalam berinteraksi juga akan mempengaruhi sejauhmana remaja tersebut bersikap jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Sikap asertif juga dapat menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan.

  Selain itu, dengan adanya sikap asertif terlebih dalam diri seorang remaja, maka akan dapat mengurangi stress maupun konfliknya sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif (Widjaja & Wulan, 1998). Contoh yang sering terjadi pada seorang remaja (mahasiswa) yaitu, ketika dalam suatu diskusi ada mahasiswa yang secara spontan memberikan ide-ide briliannya, dengan percaya diri mengungkapkan pendapatnya, dan yakin itu benar, serta ide-ide positifnya itu dapat diterima oleh yang lain. Orang- orang seperti ini disebut orang yang asertif (Bagus dalam Umiyati, 2009).

  Manfaat lain yang akan diperoleh ketika seseorang mampu bersikap asertif adalah: membuka banyak kemungkinan baru mendapatkan banyak teman, membina hubungan yang lebih akrab dan jujur dengan orang lain, dan dalam situasi sulit dan tidak menyenangkan, pribadi masih dihargai dan diterima (Stein dan Book dalam Suwarni, 2008).

  Selain manfaat di atas, adapun beberapa akibat lain dari kurang atau tidak adanya sikap asertif dalam diri seseorang yang dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian berikut ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Family and Consumer Science di Ohio, Amerika Serikat, menunjukkan fakta bahwa kebanyakan remaja memulai merokok karena dipengaruhi temannya, terutama sahabat yang sudah lebih dahulu merokok (Anonim, 2009).

  Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Meliana (2007) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif dengan tingkat stress pada remaja. Artinya bahwa semakin tinggi perilaku asertif akan semakin rendah tingkat stress yang dialami oleh seseorang. Sebaliknya jika tingkat asertifnya semakin rendah maka tingkat stress yang dialami akan semakin tinggi.

  Perilaku asertif seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola asuh orang tua, kebudayaan, usia, jenis kelamin, dan strategi copping (Santosa,1999). Ditambah lagi dengan pendidikan (Hadjam dalam Yusuf, 2008) dan kepribadian (Allport dalam Suryabrata, 1988).

  Taylor menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku asertif yaitu budaya ( Taylor dalam Umiyati, 2009). Hal ini juga diungkapkan Rakos dalam Santosa (1999) yang memandang bahwa kebudayaan mempunyai pengaruh yang besar dalam mendidik perilaku asertif. Biasanya ini berhubungan dengan norma-norma masyarakat atau lingkungan sekitarnya, yang merupakan salah satu faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara individu berperilaku.

  Berkaitan dengan kebudayaan, menurut G. Stanly Hall, lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan perkembangan pada masa remaja ketimbang di waktu sebelumnya. Jadi, dalam kaitannya dengan remaja, ia percaya bahwa hereditas berinteraksi dengan lingkungan untuk menentukan perkembangan individu (dalam Santrock, 2003).

  Santrock (2003) mengatakan bahwa budaya adalah pola tingkah laku, keyakinan dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kelompok suatu kebudayaan bisa besar dan bisa juga kecil. Apapun ukurannya, budaya kelompok akan mempengaruhi identitas, belajar, dan tingkah laku sosial anggotanya (Brislin, et. al dalam Santrock, 2003). Kebudayaan merupakan pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adatistiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat ( Taylor dalam Umiyati, 2009).

  Salah satu budaya yang ada di Indonesia adalah budaya yang berasal dari suku Belu. Belu merupakan sebuah kabupaten Belu terletak

  2

  pada sentral pulau Timor dengan luas wilayahnya 2.445,57 atau 5,16% dari luas wilayah Propinsi NTT. Jumlah penduduk sampai dengan tahun 2009 sebanyak 465.933 jiwa. Mata pencaharian yang utama di bidang pertanian khususnya lahan kering meliputi 79 % dari jumlah penduduk kabupaten Belu. Disamping pertanian lahan kering, masyarakat juga memlihara ternak dan unggas.

  Daerah kabupaten Belu pada umumnya terdiri atas daratan bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah Belu tergolong daerah yang curah hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola hidup dan watak keseharian masyarakat Belu.

  Tempat tinggal orang-orang Belu dahulunya banyak berada di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang yang tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud untuk menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas.

  Dalam kesehariannya, masyarakat Belu termasuk didalamnya adalah remaja laki-laki dan perempuan akan lebih gampang untuk berterus terang mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Mereka cenderung untuk mengutamakan apa yang mereka rasakan, sehingga mereka tidak akan tertutup atau berbohong untuk menyatakan perasaan mereka. Mereka memegang prinsip bahwa menjadi Belu berarti menjadi seorang sahabat yang dengan budi dan hati bening mampu untuk bersikap terbuka bagi persahabatan dengan orang lain, lingkungan dan semua ciptaan Tuhan (Bria, 2004).

  Dalam penelitian ini, pengaruh budaya Belu dalam pembentukan perilaku akan dibandingkan dengan pengaruh dari budaya Jawa, mengingat Jawa adalah salah satu budaya besar yang dominan di Indonesia. Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk terpadat di dunia. Dengan populasi sebesar 136 juta jiwa, pulau Jawa adalah yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia, dengan kepadatan 1.029 jiwa/km². Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa.

  Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model.

  Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.

  Dalam budaya masyarakat Jawa, berkembang pula prinsip-prinsip hubungan sosial yang sebagian besar terdiri dari dua bagian yaitu: prinsip hormat dan prinsip kerukunan (Ali, 1986). Masyarakat Jawa terkadang melakukan sesuatu yang tidak ia sukai karena keseganannya mengungkapkan perasaan penolakannya secara tegas dan berani. Selain itu, bisa dikatakan, orang Jawa sukar bisa dertindak tegas karena pertimbangan manusianya yang lekas berbicara sehingga mengakibatkan dia bersedia untuk memberi dan menerima yang bisa membuahkan suatu kompromi guna mengakhiri pertentangan atau konflik yang ada (Hardjowirogo, 1983). Salah satu contohnya, Koencoro dan Suseno & Reksosusilo dalam Santosa (1999) menyatakan bahwa dalam budaya Jawa pada anak wanita yang dituntut untuk bersikap pasif, dan menerima apa adanya atau pasrah.

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memutuskan untuk melihat apakah ada perbedaan asertivitas antara remaja putri suku Belu dan suku Jawa.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Apakah asertivitas antara remaja putri suku Belu lebih tinggi dari pada suku Jawa?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Mengetahui apakah asertivitas remaja putri suku Belu lebih tinggi dari

D. MANFAAT PENELITIAN

  1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan memperkaya pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi sosial terutama mengenai perbedaan asertivitas di antara remaja.

  2. Maanfaat Praktis Bagi subyek penelitian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi yang dapat mendukung subyek dalam mengembangkan sikap asertif dalam diri.

BAB II LANDASAN TEORI A. REMAJA AKHIR

1. Pengertian Remaja

  Masa remaja (Adolesence) didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio- emosional (Santrock, 2007). Masa remaja juga merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga fisik. Bahkan, perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Sementara itu, perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu (Blos dalam Sarwono, 2007).

  Adapun Anna Freud menggambarkan masa remaja sebagai suatu proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan berhubungan dengan psikoseksual, perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka (Gunarsa, 2003).

  Di Indonesia batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14 – 24 tahun. Penggolongan remaja ini didasarkan pada pertimbangan usia tanpa membedakan remaja dari keadaan sosial-psikologiknya (Sarwono, 2007).

2. Ciri-ciri Remaja Akhir

  Hurlock dalam Mappiare (1982) menulis bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu maka masa remaja akhir di alami pada usia 17 – 21 tahun. Dalam rentang masa itu terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang telah dimulai pada masa-masa sebelumnya. Selanjutnya, Monks (2004) dalam bukunya juga mengatakan bahwa remaja akhir berada pada rentan usia 18-21 tahun.

  Pada masa remaja akhir umumnya terdapat ciri-ciri khas yang nampak dalam diri remaja, diantaranya: a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat, yang berarti bahwa remaja relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian akibat adanya rayuan atau propaganda. Akibatnya remaja akan lebih dapat melakukan penyesuaian dalam banyak aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

  b. Citra-diri dan sikap-pandangan yang lebih realistis, dimana remaja sudah mulai menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya, orang-orang lain seperti keadaan sesungguhnya. Akibatnya, akan timbul rasa puas, menjauhkan mereka dari rasa kecewa. c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang. Remaja akhir menghadapi masalah dengan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalah-masalah yang dihadapi; baik dengan cara sendiri maupun dengan berdiskusi dengan teman-teman sebaya mereka.

  d. Perasaan menjadi lebih tenang. Remaja akhir umumnya lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalahnya. Hal ini juga ditunjang dengan adanya kemampuan piker dan dapat menguasai perasaan-perasaannya (Mappiare, 1982).

  Melengkapi ciri-ciri remaja akhir, Dadang Sulaeman dalam Rochmah (2005) memberi tanda tentang ciri-ciri umum remaja akhir adalah sebagai berikut: a. Pemilihan kehidupan mulai mendapat perhatian yang tegas,

  b. Telah ada spesialisasi berdasarkan bakat-bakat yang diselidikinya, c. Kecenderungan untuk menetapkan pekerjaan yang dipilih sebagai bekal mencari nafkah, d. Memilih teman hidup dan memikirkan masalah keluarga,

  e. Berhati-hati dalam memilih pakaian dan cara berdandan,

  f. Kalau pada remaja awal sikap dan tindakan-tindakannya serba kaku, maka kelakuan itu mulai hilang menjelang masa remaja akhir, h. Mereka mulai berpikir tentang tanggung jawab sosial, moral, ekonomi, dan keagamaan, i. Perspektif kehidupan semakin meluas, nilai-nilai kehidupan mulai muncul, pengertian-pengertian lebih diperluas dan dalam, j. Mereka benar-benar telah mengambil tanggung jawab sebagai manusia dewasa.

3. Tahap Perkembangan Remaja Akhir

  Petro Blos dalam Sarwono (2007) seorang penganut aliran psikoanalisa berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah.

  Dalam proses penyesuaian diri, ada tiga tahap perkembangan yang dilalui oleh remaja. Dari ketiga tahap perkembangan tersebut masa remaja akhir berada pada tahap ke tiga. Masa remaja akhir (Late

  Adolescence ) kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang

  kedua dalam kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol dibandingkan pada masa remaja awal.

  Tahap ini (remaja akhir) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal berikut ini: a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dalam pengalaman-pengalaman baru.

  c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

  d. Egosentrisme yang diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain.

  e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self ) dan masyarakat umum (the public).

  Menurut Erikson selama masa remaja, individu akan masuk dalam tahap perkembangan identitas versus kekacauan identitas (identity versus identity confusion ). Pada tahap ini, individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka akan menuju dalam hidupnya (Santrock,2003). Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah, bagaikan kapal yang kehilangan kompas.

  Dampaknya, mereka mungkin akan mengembangkan perilaku menyimpang (delinquent), melakukan kriminalitas, atau menutup diri dari masyarakat (Yusuf, 2008).

  Pada tahap perkembangan emosi, remaja laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi, bila pada akhir remaja tidak lagi meledakkan emosinya di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau seperti orang yang tidak matang (Rochmah, 2005).

  Tahap perkembangan lain yang juga dialami remaja adalah perkembangan sosial. Tahap perkembangan ini berhubungan dengan penyesuaian sosial yang dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realita sosial, situasi dan relasi.

  Dalam perkembangan sosial, kontak remaja dengan orang lain merupakan sesuatu yang sangat penting. Remaja harus membuat penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai- nilai baru dalam seleksi pemimpin. Pada tahap ini juga berkembang kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (Rochmah, 2005).

4. Tugas Perkembangan Remaja Akhir

  Menurut Robert Havighurts, tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apa bila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya; sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya (Havighurts dalam Yusuf, 2008).

  Pada fase remaja akhir, sudah mulai terpolakan aktivitas seksual melalui langkah pendidikan hingga terbentuk pola hubungan antar pribadi yang sungguh-sunggu matang sesuai dengan kesempatan yang ada. Fase ini merupakan inisiasi kearah hak, kewajiban, kepuasan dan tanggung jawab kehidupan sebagai warga masyarakat dan warga Negara.

  Tugas perkembangan pada fase remaja akhir adalah

  economically, intellectually, emotionally self sufficient . Setelah

  individu melewati enam fase perkembangan kepribadian, ia mencapai taraf kedewasaan yaitu enjadi pribadi manusia yang matang dan setelah itu memasuki usia lanjut (Suryono, 2004).

  Selain itu, seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara berurutan (Kimmel dalam Noviahelni, 2009). Tahap remaja akhir merupakan tahap ketiga yang mana tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian seperti pada tahap remaja madya, namun juga berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga

  Selain itu adapun tugas perkembangan remaja pada umumnya menurut Robert Havighurts (dalam Sarwono, 2007) adalah sebagai berikut:

  1. Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

  2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.

  3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

  4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya.

  5. Mempersiapkan karier ekonomi.

  6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

  7. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab.

  8. Mencapai system nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.

  Selain itu, Gunarsa (2003) juga menyebutkan ada beberapa tugas perkembangan lainnya pada masa remaja adalah:

  1. Menerima keadaan fisiknya,

  2. Memperoleh kebebasan emosional,

  3. Mampu bergaul,

  4. Menemukan model untuk identifikasi,

  6. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma, 7. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan.

5. Asertivitas Pada Remaja Akhir

  Dalam beberapa tahapan perkembangannya remaja diperhadapkan dengan tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya untuk bisa berhasil pada tahap perkembangan selanjutnya. Pada masa remaja akhir, ada beberapa tugas perkembangan yang harus diselesaikan diantaranya, economically,

  intellectually, emotionally self sufficient . Selain itu remaja akhir juga

  diharapkan mampu mencapai kemandirian seperti pada tahap remaja madya, namun juga berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.

  Menjadi asertif berarti mampu untuk berkata “tidak”, mampu meminta pertolongan, mampu mengungkapkan perasaan yang positif maupun negatif secara wajar, mampu untuk mengawali kemudian melanjutkan serta mengakhiri suatu pembicaraan, yang semuanya itu dilakukan tanpa mengganggu hak orang lain. Ketika remaja dalam tahap perkembangannya mampu untuk menyelesaikan tugas perkembangan diatas dengan baik, maka diharapkan remaja tersebut akan menjadi remaja yang asertif dalam kehidupan sehari-harinya ketika berinteraksi dengan orang lain baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

  Pentingnya perilaku asertif ditanamkan sejak dini pada remaja karena asertivitas bukan merupakan sesuatu yang lahiriah, tetapi lebih merupakan pola sikap dan perilaku yang dipelajari sebagai reaksi terhadap berbagai situasi sosial yang ada di lingkungan.

  Bagi remaja sikap dan perilaku asertif sangatlah penting karena beberapa alasan sebagai berikut: pertama, sikap dan perilaku asertif akan memudahkan remaja tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan lingkungan seusianya maupun di luar lingkungannya secara efektif. Kedua, dengan kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan diinginkannya, terus terang maka mahasiswa bisa menghindari munculnya ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan sesuatu yang ingin diutarakannya.

  Ketiga, dengan memiliki sifat asertif maka para mahasiswa dapat dengan mudah mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya secara efektif, sehingga beban masalah itu tidak menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keempat, asertivitas akan membantu para siswa untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya, memperluas wawasan tentang lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada sesuatu yang tidak diketahuinya (memiliki rasa ingin tahu yang tinggi). Kelima, asertif terhadap orang lain yang bersikap atau berperilaku kurang tepat bisa membantu remaja yang bersangkutan untuk lebih memahami kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut (Erlinawati, 2009).

B. ASERTIVITAS

1. Pengertian Asertivitas

  Lazarus (Rakos, 1991) adalah tokoh yang pertama sekali mendefinisikan perilaku asertif, yang menyatakan bahwa perilaku asertif adalah cara individu dalam memberikan respon dalam situasi sosial, yang berarti sebagai kemampuan individu untuk mengatakan tidak, kemampuan untuk menanyakan dan meminta sesuatu, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, serta kemampuan untuk mengawali kemudian melanjutkan serta mengakhiri percakapan.