BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal - PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL (PPNS) DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISL

BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia a. Ketentuan Pidana di Bidang Kehutanan Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus

  1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Saat diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, pasal 113 bahwa “pada saat UU ini berlaku, semua peraturan Perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU No 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan hutan diutamakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.

  Semakin berkembang dan kompleknya kejahatan dibidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk dipertahankan. Melihat keadaan ini maka pemerintan (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.

  41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan selanjutnya merefisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan lahirnya UU No. 18 tahun 201 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

  Untuk menegakkan hukum pidana terhadap ketentuan maka ketentuan pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan Illegal Logging antara lain pasal 82-106 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 82-106 No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.

  Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam

  pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yaitu: 1) Pidana penjara. 2) Pidana denda. 3)

  Pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis ini dapat dijatuhkan secara komulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

  Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi “Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”

  Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak menguasai Negara ini dalam tingkatan tertinggi:

  2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas (bagian dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

  3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

  1 kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

  Berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai

  Illegal Logging, yang akan diuraikan satu persatu di

  bawah ini: 1)

  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

  Pada dasarnya undang-undang ini tidak mengatur secara tegas khusus tentang kehutanan, tetapi yang diatur adalah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu tercantum dalam pasal 46 UUPA, yang berbunyi:

  a) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara

  Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah.

  b) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

  Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang memenuhi syarat) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getan dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasi oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2)

  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

  Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UUPK Adalah: (1) pengertian hutan, hasil hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya, dan fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan hutan; (4) pengusahaan hutan; (5) perlindungan hutan dan; (6) ketentuan pidana dan penutup.

  UUPK Dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya, peratutan perundang- undangan yang dimaksud, seperti:

  a) PP Nomor 22 Tahun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan.

  b) PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak

  Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

  c) PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.

  d) PP Nomor 18 Tahun1975 tentang Perubahan

  Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.

  e) PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

  f) PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri.

  g) Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan.

  h) Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang

  Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan. i)

  Kepres Nomor 19 Tahun 1974 tentang tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI. j)

  Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. k)

  Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. l)

  Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang Perubahan Atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. m)

  Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda. n)

  Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang Perubahan Kepres Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen. o)

  Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi. p)

  Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. q)

  Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri.

  3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

  Kehutanan Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu: a)

  Ketentuan Umum

  b) Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9)

  c) Pengurusan Hutan (Pasal 10)

  d) Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20)

  e) Pengelolaan Hutan (Pasal 21 s/d Pasal 51)

  f) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan

  Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52 h) Masyarakat Hukum Adat (Pasal 67) i)

  Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69) j) Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73) k)

  Penyelesaian sengketa Kehutanan (Pasal 74 s/d

  Pasal 76) l) Penyidikan (Pasal 77) m)

  Ketentuan Pidana (Pasal 78 s/d Pasal 79) n) Ganti rugi dan sanksi administrasi (Pasal 80) o) Ketentuan Peralihan (Pasal 80) p) Ketentuan Penutup (Pasal 83 s/d Pasal 84)2

  UU No. 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. Hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan, yaitu gugatan yang diaukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat, penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana, gantu rugi dan sanksi administratif.

  UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peratuaran perundangan lainnya. Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti:

  a) Perpu No 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas

  UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

  b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota c)

  Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan d)

  Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 2 tentang Perencanaan Kehutanan

  KementrianKehutanan, Buku Kumpulan Peraturan Perundang-

undangan di bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya (Lampung : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan e) Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang

  Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia

  e) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

  Ketentuan Penutup (Pasal 111 s/d Pasal 114) 5)

  Ketentuan Pidana (Pasal 82 s/d Pasal 109) k) Ketentuan Peralihan (Pasal 110) l)

  Pelindungan Saksi, Pelapor dan Informan (Pasal 76 s/d Pasal 81) j)

  h) Pembiayaan (Pasal 74 s/d 75) i)

  73)

  g) Kerja Sama Internasional (Pasal 64 s/d Pasal

  f) Peran Serta Masyarakat (Pasal 58 s/d Pasal 63)

  Perusakan Hutan (Pasal 54 s/d Pasal 57)

  Pasal 53)

  f) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang

  d) Pemberantasan Perusakan Hutan (Pasal 8 s/d

  Pasal 7)

  c) Pencegahan Perusakan Hutan (Pasal 5 s/d

  Pasal 4)

  b) Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup (Pasal 2 s/d

  Ketentuan Umum

  Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini adalah: a)

  4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

  Pemberantasan Penebang Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting

  Ada lima pertimbangan dikeluarkannya a) Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan Nusantara.

  b) Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memaukan kesejahteraan umum seperti diamanatakan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembanguan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

  c) Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

  d) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungkan hidup.

  Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu: a)

  Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2) c) Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7) d)

  Wewnang pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 8 s/d Pasal 13)

  e) Pelestarian fungsi lingkungan hidup

  (Pasal 14 s/d Pasal 17)

  f) Persyaratan penataan lingkungan hidup

  (Pasal 18 s/d Pasal 29)

  g) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup

  (Pasal 30 s/d 39)

  h) Penyidikan (Pasal 40) i)

  Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48) j) Ketentuan peralihan (Pasal 49) k)

  Ketentuan penutup (Pasal 50 s/d Pasal 52)

  6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

  Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang Ada tiga pertimbangan Undang-Undang ini ditetapkan, yaitu: a)

  Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut b)

  Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang dikawasan hutan terutama bagi investr yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang- Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam c) Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta keprcayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

  1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

b. Ketentuan Pidana lain Terkait dengan Illegal

  Logging

  Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan Illegal Logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik

  3 kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.

  Pada dasarnya kejahatan Illegal Logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu: 1)

  Pengrusakan Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum.

  Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan Illegal Logging berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan, untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Ancaman hukuman Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP paling lama lma tahun yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah atau kapal. Hukuman itu ditambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama.

  2) Pencurian

  Pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur- unsur sebagai berikut: a)

  Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.

  b) Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.

  c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

  d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memilikidengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimilik). Ancaman hukuman paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun.

  3) Pemalsuan

  Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 236- 276, pemalsuan materi dan merk diatur dalam Pasal 253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.

  Dalam praktik-praktik Illegal Logging, salah satu modus Operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus Operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang- Undang Kehutanan.

  Ancaman hukuman terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materi danmerk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun. 4)

  Penggelapan Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal

  372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berda di dalam kekuasaanya untuk dimiliki dengan melawan hak.

  Modus penggelapan dalam kejahatan Illegal

  

Logging antara lain seperti Over Cutting yaitu

  penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kouta yang ada (Over Capasity). Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun.

  5) Penadahan

  Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480 diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan.

  Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu Illegal baik di dalam maupun di luar Negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil Illegal

  Logging yang nyata-nyata diketahui oleh para pelaku

  baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam

  Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Illegal Logging

  Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar biasa, banjir, longsor, kebakaran bahkan hingga kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging yang terjadi khususnya di kawasan hutan yang ada di Proponsi Lampung yang telah berlangsung cukup lama telah membawa hutan dalam kondisi rusak parah. Praktek

  

illegal logging yang terjadi telah mengantarkan hutan

  dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut ada namun tudak ada lagi sesuai fungsinya seperti apa yang digunakan dan diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

  Maraknya praktek illegal logging yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor: a.

  Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di

  4

  lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal

  logging) . Ketimpangan antara persediaan dan

  permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek

  illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

  b.

  Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-

  II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20

  5

  tahun. Dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan

  6

  produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.

  c. ekonomi. Krisis ekonomi yang Faktor berkepanjaangan yang melanda Indonesia sejak tahun

  1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan ekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 4 mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap

  “Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya” (On-line), tersedia di :

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm (19 April 2016) 5 Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan 6 dapat bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas tersebut adalah dengan beralih profesi antara lain menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul maupun menjadi tangan kanan pemodal dalam praktek Illegal Logging. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan keahlian profesional hanya dengan mengandalkan tenaga yang kuat maka uang dapat diperoleh dengan cepat. Praktek Illegal Logging yang terjadi terus bertahan bahkan semakin luas jaringannya manakala praktek ini didukung oleh aparat pemerintah dan aparat keamanan. Para pemodal memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan kerjasama yang menguntungkan antara mereka. Kerjasama yang menguntungkan tersebut mengakibatkan praktek Illegal Logging melenggang dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani

  7

  melarang. Selain itu keuntungan finansial atau uang yang dihasilkan cukup tinggi, harga kayu yang tinggi membuat sekelompok orang tergiur untuk melakukan eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa terkendali sehingga memicu kerusakan hutan semakin cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha kayu untuk meningkatkan bisnis dan memperoleh penigkatan laba sekalipun harus memnuhi jalan

  Illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi.

  d.

  Faktor sosial. Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat yang khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan disebagian daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan, dan tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, di kawasan hutan khususnya, hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan sosial masyarakat desa dimana setiap aktifitas masyarakat pedesaan banyak dilakukan di sekitar kawasan hutan seperti berburu dan juga masih dijumpai adanya hak ulayat hutan oleh masyarakat. Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan, mesyarakat desa pada umumnya menganggap bahwa hutan adalah milik mereka sehingga bebas untuk memanfaatkan hutan dalam melakukan aktifitas mereka. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa, sehingga keadaan tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat desa sehingga keadaan tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat di pedesaan tidak mengetahui keberadaan peraturan yang mengatur tentang hutan, dan hal ini disebabkan kurangnya informasi yang didapat masyarakat mengenai peraturan hutan dalam perundang- undangan. Dalam peraturan perundang-undangan tentang hutan masih mengakui adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara liar. Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagai penyanggah dan juga sebagai sumber mata air bersih, akan tetapi karena suatu hal yang mendesak di dalam memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapat penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan juga berburu hewan hutan yang dimanfaatkan untuk dijual. Kurangnya pengetahuan

  Logging adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah.

  Tingkat pendidikan yang rendah itu memberi dampak minimnya pengetahuan tentang fungsi hutan terhadap lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah Sumber Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan setiap saat. Persepsi masyarakat yang salah akan fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan begitu saja. Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh yang buruk bagi kondisi hutan kita karena dengan kawasan hutan dan mereka akan terus melakukan praktek Illegal Logging.

3. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging

  Untuk dimulainya suatu penyidikan Polisi harus mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana yang terjadi.

  Pasal 106 KUHAP merumuskan sebagai berikut: “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”

  Suatu penyidikan dimulai dengan konskuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan

  8

  tindak pidana . Dimulainya penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2) pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media Massa.

  Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaknya menurut hukum.

  Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

  Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana perbedaan tersebut sebagai berikut: a.

  Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa, sedangkan pengaduan dilakukan terhadap tindak pidana aduan.

  b.

  Untuk melakukan penentuan suatu delik biasa atau tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat, artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan penentuan.

  c.

  Laporan dapat dilakukan atau diajukan oelh siapa saja atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang yang dirugikan.

  d.

  Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu tertentu, sedangkan pengaduan hanya disampaikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1 KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan pengaduan yaitu enam bulan setelah yang berkepentingan mengetahui tindak pidana itu apabila pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang yang berkepentingan yang berdiam di luar Indonesia, jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana itu.

  e.

  Laporan yang usdah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik tidak dicabut kembali, sedangkan dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan pengaduan itu.

  f.

  Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebut, karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka perlu diperhatikan antara delik aduan absolut atau delik aduan relatif.

  Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang penetuannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika dikemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan.

  Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana di luat KUHAP tidak terdapat ketentuan yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau pengaduan dari seorang atau warga masyarakat tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana. Laporan atau pengaduan dapat dilakukan secara lisan mapun secara tulisan oleh setiap orang yang mengalami atau yang menjadi korban tindak pidana atau mengetahui/melihat/ menyaksikan terjadinya suatu dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibanya apabila terjadi ada penyidik yang bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia menerima laporan atau pengaduan dengan berbagai macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak pidana atau perkara itu sudah kadaluarsa atau nebis in idem.

  Penyidikan terhadap tindak pidana Illegal Logging, dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewnang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 30 Undang- Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

  Wewenang pejabat Pegawai Negri Sipil Kehutanan sebagai penyidik diatur dalam pasal 30 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 yaitu: a.

  Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana prusakan hutan hutan.

  b.

  Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana kerusakan hutan.

  c.

  Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan.

  d.

  Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.

  e.

  Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan.

  f.

  Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

  g.

  Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan.

  h.

  Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat barang bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan. i.

  Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. j.

  Membuat dan menandatangani berita acara dan surat- surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan. Dan, k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku tugas dan kewajiban penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan adalah memberikan “surat Tanda Penerima Laporan/Pengaduan” kepada yang menyampaikan laporan/pengaduan penyidik yang bersangkutan wajib secara menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah: “Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan bend yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”

  Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap basah, dan menurut HIR menyebutkan kedapatan tangan berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana kedapatan sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan susdah dilakukan, atau bila dengan segera kedapatan sesudah itu ada yang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang- barang, senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang melaksananakan atau membantu melakukannya.

  Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut ketentuan KUHAP kadang-kadang diawali dengan tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun dalam tahap pertama sebelum penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum penyempurnaan berita acara pada tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan pendahuluan.

  Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan ini dihentikan atau tidak dilanjutkan karena suatu alasan penghentian penyidikan yaitu: a.

  Tidak terdapat cukup bukti b.

  Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana c. Penyidikan dihentikan demi hukum

  Selanjutnya setelah penyidikan selesai dilakukan maka penyidik dalam hal ini wajib segera menyerahkan berkas-berkas kepada penuntut umum, dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS maka penyerahan berkas harus melalui Penyidik Polri. Dan penuntut umum juga berhak mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi. Hal inilah yang dikatakan penyidikan

  Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum maka menurut Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas tersebut, penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik atau sebelum 14 hari penuntut umum telah memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai, maka barulah penyidik telah selesai.

  Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan dianggapselesai atau tuntas apabila segala berkas perkara yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum oleh penyidik beserta dengan si tersangka dengan tidak mengandung kekurangan-kekurangan lagi untuk selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang pengadilan oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang-barang bukti kepada jaksa atau penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP).

4. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri

  Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabata Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusu oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

  Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lenih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dengan Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitu tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 pada

  Pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat Polisi yang dibebani wewenang penyidikan adalah sekurang- kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol II/b) atau yang disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Penyidik Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Hukum dan HAM atau Kementrian terkait yang mebawai pegawai tersebut.

  Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 menentukan bahwa Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisiaan Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Penanta Muda (Golongan III/a) atau yang disamakan dengan itu.

  Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu:

  a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat a huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

  b. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a. ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a. Kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a”.

  Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disertai dengan berita acara penyidikan yang dikirim kepada penuntut umum. Penyidik Pegawai negri Sipil diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu Pegawai Negri Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang- undang khusus, yang telah menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu Pasal.

  Jadi di samping penyidik Polri, dalam undang-undang khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat Pegawai negri sipil yang bersangkutan dalam melakukan penyidikan. Misalnya dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dalam Pasal 77 mengenai penyidikan dalam pasal 2, adapun wewenang dari Pejabat Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

  b.

  Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

  c.

  Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d.

  Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; f.

  Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara republik Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; g. Membuat dan menandatangani berita acara; h. Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat cukup alat bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat

  Pegawai Negri Sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan; a. penyidik Pegawai Negri Sipil kedudukannya berada di b.

  Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

  c.

  Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

  d.

  Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan Penuntut umum.

  9 B.

  

Tindak Pidana Illegal Logging dan Lembaga Penyidik

Dalam Perspektif Hukum Islam

1. Illegal Logging Dalam Hukum Islam

  Alam raya telah diciptakan Allah swt. Dalam keadaan yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk. Allah telah menjadikannya baik, bahkan memerintahkan hamba-hambanya untuk memperbaikinya. Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah, adalah dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat. Siapa yang tidak menyambut kedatangan rasul, atau menghambat misi mereka, maka dia telah melakukan salah satu bentuk pengrusakan di bumi. Adapun perbaikan Allah Ta‟ala terhadap keadaan manusia adalah berupa petunjuk agama dan diutusnya Nabi dan Rasul, yang hal itu disempurnakan dengan dibangkitkannnya Nabi dan Rasul terakhir, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan diutusnya itu, akidah umat islam telah diperbaiki, akhlak dan tata kesopanan mereka telah dibimbing. Sebab beliau telah menghimpun akhlak dan kesopanan itu bagi umat manusia. Segala kemaslahatan ruh dan jasad dan telah disyari‟atkan pula bagi mereka saling menolong dan saling mengasihi telah pelihara bagi mereka. Keadailan dan persamaan telah disyari‟atkan bagi mereka. Musyawarah yang terkait dengan suatu kaidah, menolak hal yang merusak, dan memelihara hal-hal yang maslahat. Dengan demikian, agama mereka melebihi agama-agama lainnya.10

  Kehidupan alam dalam pandangan islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat. Sekalipun di dalam ala mini tampak seperti unit unit yang berbeda. Semuanya berada dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Artinya, apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula. Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian, segenap tindakan manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip keteraturan dan keseimbangan tersebut.

  Dalam fiqh terdapat ketentuan dasar bahwa semua 10 makhluk mempunyai status hukum muhtaram, bukan dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya/ makhluk hidup, maka siapapun terlarang membunuhnya. Jika makhluk tak bernyawa, maka siapapun terlarang merusak binasakannya. Dengan kata lain, semua makhluk harus dilindungi hak kepriadaanya.11

  Al- Qur‟an yang merupakan salah satu pedoman utama

Dokumen yang terkait

Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Illegal Fishing

0 29 102

Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara)

4 80 100

Pelaksanaan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Ilmu Hukum Pidana Di Indonesia

1 1 8

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif

0 1 17

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

0 1 12

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

0 0 47

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 35

BAB II KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Sejarah dan Teori Mengenai Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana - Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah K

0 1 24

BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Keterkaitan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana - Penggunaan Instrumen Anti Pencucian Uang Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

0 0 30