Nasionalisme dalam Film Nawi Ismail: analisis mengenai ideologi dalam film Si Pitung, Mereka Kembali, Ratu Amplop, Samson Betawi, 3 Janggo, Benyamin Tukang Ngibul, dan Memble tapi Kece - USD Repository
NASIONALISME DALAM FILM NAWI ISMAIL ANALISIS MENGENAI IDEOLOGI DALAM FILM SI PITUNG, MEREKA
KEMBALI, RATU AMPLOP, SAMSON BETAWI, 3 JANGGO, BENYAMIN TUKANG NGIBUL
, DAN MEMBLE TAPI KECE Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh:
Umi lestari 136322017
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2018 i ii Halaman Judul
NASIONALISME DALAM FILM NAWI ISMAIL ANALISIS MENGENAI IDEOLOGI DALAM FILM SI PITUNG, MEREKA
KEMBALI, RATU AMPLOP, SAMSON BETAWI, 3 JANGGO, BENYAMIN TUKANG NGIBUL,
DAN MEMBLE TAPI KECE Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh:
Umi lestari 136322017
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2018
vii
Persembahan U n t u k T a m b o r a d a n M a h a r d ik a
Kata Pengantar
Mulanya adalah persinggungan saya dengan kota Jakarta yang menumbuhkankecintaan saya pada film-film Nawi Ismail. Film Nawi seperti mewakili perasaan dan
pengalaman saya ketika berhadapan dengan Jakarta untuk pertama kalinya. Dan selama
proses pengerjaan tesis yang sederhana ini, saya bisa mempertanyakan ulang identitas saya
selaku orang Jawa yang tinggal di Indonesia. Kehadiran banyak pihak yang membantu saya
membaca ulang mengenai hal-hal yang selama ini saya terima taken for granted menjadikan
proses pengerjaan ini begitu bermakna. Untuk itulah saya ingin menghanturkan ucapan
terima kasih baik pada pihak dari IRB maupun luar IRB.Pertama-tama, terima kasih kepada pembimbing tesis saya, Dr. St. Sunardi yang
selama proses ini begitu sabar menunggu dan memantau, bahkan bisa bersabar dengan
karakteristik mahasiswa seperti saya yang baru bisa on fire pada penghujung tenggat. Berkat
Pak Nardi, saya dipaksa untuk berhadapan dengan sesuatu yang sering saya hindari, termasuk
untuk mau membaca kembali tulisan Yannis Stavrakakis yang tiga tahunan ini saya hindari.
Terima kasih saya haturkan kepada seluruh staf pengajar Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya yang tidak hanya mengajarkan tetapi juga mengajak mahasiswanya untuk mau
menjadi “gelisah”. Karena tanpa kegelisahan, proses menjadi manusia tidak akan berjalan.
Kepada staf administrasi IRB, Mbak Desy dan Mbak Dita, terima kasih atas keramahan dan
cerita-cerita mengenai menjadi Ibu Baru. Saya juga menghanturkan terima kasih kepada
Romo Banar yang selalu bersabar dan memberikan semangat kepada mahasiswa untuk
melalui semua proses dengan hati terbuka.Kepada teman-temanku IRB angkatan 2013, Alfons, Andre, Anne, Antok, Cahyo,
Felo, Hans, Jolni, Koko, Noel, Padmo, Pomad, Riwi, Umar, dan Vina, terima kasih atas
proses penerimaan dan pembelajaran bersama selama lima tahun ini. Senang ditanggung
bersama, tapi susah saat tenggat itu sudah biasa. Terima kasih kepada kawan-kawan IRB
yang selalu bisa menerima curhatan ngalor-ngidul di bawah Pohon Beringin. Terima kasih
kepada Forum Lenteng Jakarta, terutama pada Ugeng T. Moetidjo atas diskusinya mengenai
Nawi Ismail, serta pada Hafiz dan Otty Rancajale yang dari mereka saya belajar mengenai
film dari perspektif lain.Terakhir untuk keluarga saya, Ibu, Bapak, dan Ismi (adik) yang selalu mendukung
untuk melakukan apa yang saya inginkan. Terkhusus untuk Mahardika Yudha dan Terra
Pandu Tambora, dua lelaki yang selalu bersabar saat kepala saya panas, yang selalu mengajak
saya ke Ragunan untuk melihat gajah dan monyet, yang selalu membawa saya ke Ya***
Panda atau jajan es krim saat saya deadlock, yang selalu menjadi pengingat atas kedirian
saya. Terima kasih untuk selalu bersama-sama menjalani proses ini dan proses selanjutnya.
viii Abstrak Selama ini nasionalisme dilihat sebagai sebuah konstruksi. Pembacaan seperti ini ternyata tidak mampu menjawab sejauh mana konstruksi tersebut akan bertahan dan apa yang membuat individu tetap melalukan proses identifikasi nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk mencari lebih tahu mengenai dinamika wacana nasionalisme dalam film-film Nawi Ismail yang diproduksi selama Orde Baru. Tidak hanya film yang menceritakan mengenai perjuangan seperti Si Pitung dan Mereka Kembali, penelitian ini juga hendak membaca film komedi Nawi Ismail seperti Ratu Amplop, Samson Betawi, 3 Janggo, Benyamin Tukang Ngibul, dan Memble tapi Kece yang mengambil latar waktu setelah kemerdekaan. Untuk membedah unsur intrinsik film digunakan konsep mengenai objet a dalam sinema dari Todd McGowan. Data kemudian dibaca lagi dengan konsep dari Yannis Stavrakakis yang menekankan jouissance sebagai pusat identifikasi nasional. Berdasarkan analisa data, Nawi Ismail memberikan gambaran mengenai limit fantasi konstruksi identitas versi negara sekaligus fantasi selebrasi kebudayaan Betawi dalam filmnya. Film-film Nawi Ismail tidak hanya menunjukkan produksi dari identitas nasional, tetapi juga menghadirkan reproduksi dari wacana nasionalisme. Kata kunci: Betawi, Nasionalisme, Nawi Ismail, Psikoanalisa Sinema Indonesia ix
Abstract To date, nationalism seen as an identity construction. However this reading seems could not explain the durability of this construction as well as what makes an individual sticks to the national identification process. Using psychoanalytic approach, this thesis examines the dynamics or nationalism discourse as seen in Nawi Ismail’s films produced during the New Order. There are two hero films such as si Pitung and Mereka Kembali, and also five comedy films such as Ratu Amplop, Samson Betawi, 3 Janggo, Benyamin Tukang Ngibul, and Memble tapi Kece. Firstly, the intrinsic elements were evaluated using concept from Todd McGowan on object a in cinema. Discussion on nationalism seen in Ismail’s films will be evaluated by using Yannis Stavrakakis’s concept, which emphasizes on jouissance as the locus of national identification. Based on the analysis, Ismail provides an overview of the limit of identity construction from the state, as well as the limit of the Betawi culture celebration in the films. Nawi Ismail's films not only show the production of national identity, but also present a reproduction of the discourse of nationalism.Keywords: Betawi, Nationalism, Nawi Ismail, Psychoanalytic, Indonesian Cinema,
x DAFTAR ISI Halaman Judul ii
PERSETUJUAN Iii
PENGESAHAN TESIS iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI Vi PERSEMBAHAN
Vii KATA PENGANTAR
Viii ABSTRAK
Ix ABSTRACT
X Daftar Isi Xi
Daftar Ilustrasi xiii
BAB I PENDAHULUAN
1 A. Latar Belakang
1 B. Tema Penelitian
5 C. Rumusan Masalah
6 D. Tujuan Penelitian
6 E. ManfaatPenelitian
7 F. Tinjauan Pustaka
8 G. Kerangka Teoritis
13
1. Pembentukan Subjek
14
2. Objet a dalam Sinema
18
3. Kritik Ideologi
25 H. Metode Penelitian
33 I. Sistematika Penulisan
35 BAB II FILM DAN POLITIK DI INDONESIA
36 A. Mencicipi Produksi Film di Hindia Belanda
36 B. Kedatangan Jepang: Film dan Propaganda
43 C. Film Sebagai Medium Perjuangan
47 D. Orde Lama, Seolah Hanya Mengenai Dua Kubu
50 E. Orde Baru: Institusi dan Aliran Modal
53 F. 1990-an – sekarang:Jejak Nawi Ismail dalam Budaya Populer
62 Indonesia
BAB III ANALISIS NARATOLOGI ATAS SI PITUNG, MEREKA KEMBALI, RATU AMPLOP, SAMSON BETAWI, BENYAMIN TUKANG NGIBUL, 3 JANGGO, MEMBLE TAPI KECE
69 A. Analisis Indeksikal dan Fungsional
70 B. Analisis Tindakan dan Narasional atas Film si Pitung, Mereka 119 Kembali, Ratu Amplop, Samson Betawi, Benyamin Tukang Ngibul, 3 Janggo, dan Memble tapi Kece xi BAB IV NASIONALISME DALAM FILM NAWI ISMAIL 155 A. Lahirnya Realitas Simbolik 160 B. Lahirnya Fantasi untuk Menopang Realitas Simbolik Nasional 168 C. Jouissance sebagai Batas Fantasi Nasionalisme 181 BAB V PENUTUP 192
DAFTAR KEPUSTAKAAN 198
Lampiran Sinopsis Film 200 xii xiii DAFTAR ILUSTRASI
Gambar 1. Patok sawah dan Rakyat (Si Pitung)
71 Gambar 2. Pitung dan Djiih menyamar (si Pitung)
74 Gambar 3. Pernikahan Demang Meester (si Pitung)
76 Gambar 4. Kekejaman Serdadu Belanda (Mereka Kembali)
79 Gambar 5. Identitas Prajurit (Mereka Kembali)
81 Gambar 6. Kesedihan keluarga prajurit (Mereka kembali)
84 Gambar 7. Perjuangan Ratmi (Ratu Amplop)
86 Gambar 8. Pertemuan Beni dan Cipluk (Ratu Amplop)
88 Gambar 9. Beni si Perusuh (Ratu Apmplop)
90 Gambar 10. Ramalan (Samson Betawi)
91 Gambar 11. Wok dan Hamid kagum kekuatan anaknya (Samson Betawi)
93 Gambar 12. Perjumpaan Samson dan Siti Duile (Samson Betawi)
94 Gambar 13. Samson pulang lalu bertandang ke rumah Duile (Samson Betawi)
94 Gambar 14. Samson kalah (Samson Betawi)
97 Gambar 15. Beni menjual obat (Benyamin Tukang Ngibul) 101 Gambar 16. Beni dan sepatu boot (Benyamin Tukang Ngibul) 103 Gambar 17. Poster pencarian don Lego (3 Janggo) 105 Gambar 18. Marshall mengecek surat G30S (3 Janggo) 107 Gambar 19. Don Lego dan komplotannya (3 Janggo) 108 Gambar 20. Perempuan-perempuan (3 Janggo) 109 Gambar 21. Tv dan Penyanyi Dangdut (Memble tapi Kece) 111 Gambar 22. Emak Mirja (Memble tapi Kece) 113 Gambar 23. Mirjatampak sukses (Memble tapi Kece) 115 Gambar 24. Perempuan dalam diri Mirja (Memble tapi Kece) 117 Gambar 25. Mirja dikeroyok bencong (Memble tapi Kece) 118 Gambar 26. Tabel objek a dan fantasi dalam tujuh film Nawi 119 Gambar 27. Pitung memberi keamanan pada rakyat 162 Gambar 28. Pergi ke kota (Benyamin Tukang Ngibul) 165 Gambar 29. Menjadi Setara dalam Gambar 171 Gambar 30. Pasangan sukses sebagai bentuk kesuksesan ideologi 175 Gambar 31. Sultan Menggadaikan KTP 184 Gambar 32. Klenik dan Tukang Loak dalam film 185
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama ini pembacaan mengenai pembentukan identitas kebangsaan dalam
film Indonesia selalu menyasar pada film-film dengan konten propaganda yang menekankan pada perjuangan melawan penjajahan. Hingga sekarang label film dengan nasionalisme akan mudah disematkan pada film-film yang menonjolkan tokoh perjuangan ataupun film dengan cerita kekinian yang menunjukkan ritual seperti pengibaran bendera merah putih dan selebrasi menjadi Indonesia. Pembacaan yang demikian justru menutup kemungkinan lain untuk membaca film-film hiburan yang mungkin secara eksplisit tidak membicarakan mengenai ke-Indonesia-an tapi ia memiliki potensi untuk membicarakan nasionalisme secara halus.
Di sisi lain, penelitian mengenai nasionalisme di Indonesia selama ini didominasi oleh pendekatan sejarah, biografis, dan antropologis. Kekuasaan negara dalam mengembangkan kebijakan mengenai sensor, regulasi ruang tonton, dan produksi film selalu ditekankan. Imbas dari penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, politik sebagai panglima semasa Orde Lama, dan pelembagaan sinema Indonesia selama Orde Baru menjadi hal yang terus-menerus didengungkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan mengenai film Indonesia yang dipahami sekarang ini merupakan hasil dari produksi pengetahuan yang dilakukan pada era sebelum Reformasi. Dengan demikian, proses negosiasi terhadap konsep film nasional yang ditawarkan oleh Orde Baru terus-menerus dilakukan hingga sekarang ini dengan beragam rupa seperti, melakukan tinjauan ulang mengenai konsep film nasional. Negosiasi ini tidak hanya berlangsung dalam ruang akademis semata, tetapi juga dikelola dan dijabarkan dalam program festival film yang saat ini menjamur di Indonesia.
Berupaya untuk melakukan penelusuran pada film yang diproduksi pada masa Orde Baru dengan mengambil objek penelitian berupa film propaganda dan film komedi, penelitian ini berusaha untuk mengisi celah pada produksi pengetahuan atas film Indonesia sekarang ini. Tema kemampuan film dalam menghadirkan fantasi nasionalisme menjadi pijakan untuk bisa mengeksplorasi dan mencari tahu lebih lanjut mengenai proses produksi film semacam apa yang dihadirkan oleh pekerja kreatif semasa pemerintahan Orde Baru yang memiliki sensor ketat. Oleh sebab itu, pilihan film propaganda dan film hiburan (komedi) menjadi upaya saya sebagai peneliti untuk dapat meraba adakah wacana nasionalisme yang ditawarkan oleh pekerja kreatif selaku warga. Upaya penyandingan ini berfungsi untuk melihat sejauh mana konsep nasionalisme versi negara dihadirkan lewat film propaganda dan juga mencari sejauh mana seorang pekerja kreatif mampu menghadirkan nasionalisme versinya sendiri melalui film-film non-nasionalis.
Film-film Nawi Ismail (1918 – 1990) bisa menjadi contoh bagaimana pembentukan identitas kebangsaan diwujudkan dalam film propaganda dan film komedi. Sepanjang hidupnya, Nawi telah memproduksi sekitar 40 judul film fiksi. Ia memulai karirnya sebagai pekerja kreatif pada tahun 1930-an di rumah produksi Tan’s Film selama pemerintahan kolonial Belanda. Selama masa pendudukan Jepang, Nawi bekerja sebagai pembuat film berita Nampo Hodo. Ketika Revolusi Nawi bergabung dalam Divisi III Siliwangi, kemudian mengundurkan diri pada tahun 1950 lalu bekerja sebagai pekerja kreatif di Perusahaan Film Negara (PFN). Nawi juga ikut menjadi pendiri Persereon Artis Indonesia (Persari) bersama Djamaluddin Malik, di mana Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Indonesia pernah memproduksi film di sana. Persinggungan Nawi Ismail dengan bibit-bibit pembuatan film di Indonesia, bahkan ia masuk sebagai pekerja kreatif di dalamnya, menjadi poin menarik untuk membicarakan visual khas Indonesia di dalam film sekarang ini. Di sisi lain, keaktifan Nawi sebagai anggota Divisi Siliwangi juga menjadi poin yang menarik untuk dibahas. Selain film fiksi, Nawi juga membuat film-film yang bersifat dokumentris selama bekerja di Nippon Eigasha dan Berita Film Indonesia.
Kemudian, selama Orde Baru, Nawi menjadi sutradara “pesanan” lewat film-filmnya seperti si Pitung dan Mereka Kembali. Namun di sisi lain, Nawi terkenal dengan film-film komedi yang melambungkan nama Benyamin Sueb serta Warkop DKI. Baik film-film Nawi yang dibiayai institusi negara maupun film komedi dengan Benyamin dan Warkop DKI sebagai pemerannya, mampu menjadi box office pada
1 masanya.
Merujuk pada asumsi pengalaman Nawi Ismail sebagai pekerja kreatif pada masa Hindia Belanda hingga Orde Baru, saya mencoba untuk membaca kembali tujuh film Nawi yang diproduksi pada tahun 1970-an dan 1980-an. Si Pitung, yang berkisah tentang robinhood Betawi dalam melawan Belanda, dan Mereka Kembali 1
(Tragedi Siliwangi) mengenai divisi Siliwangi yang harus berhadapan dengan
“Pembalasan si Pitung’ Tantangan Bagi Nawi Ismail”. Suara Karya Minggu, 4 September 1977 Belanda dan Darul Islam dihadirkan dalam penelitian ini karena kontennya yang mirip dengan apa yang dalam buku sejarah Indonesia. Kedua film ini secara garis besar menceritakan mengenai penjajahan Belanda dan imbasnya pada Indonesia. Selanjutnya adalah film yang dibintangi Benyamin Sueb yakni Ratu Amplop, Samson
Betawi, Benyamin Tukang Ngibul, dan 3 Janggo. Keempat film ini dibuat pada tahun
1970-an dengan latar kondisi ketika Indonesia telah merdeka. Situasi seperti apa yang hendak diujarkan keempat film ini yang mungkin saja menunjukkan perubahan wacana nasionalisme di Indonesia pada masa Orde Baru. Terakhir adalah Memble
tapi Kece, diproduksi pada tahun 1986, film yang juga mengangkat kehidupan
masyarakat Betawi. Tidak seperti film dengan Benyamin Sueb dalam empat judul sebelumnya yang menonjolkan keahlian Benyamin dengan musik Gambang Modern, film ini justru didominasi oleh lagu dangdut, genre musik populer di Indonesia yang kemunculannya dalam layar bisa dilacak dari film-film Rhoma Irama. Menariknya, dalam film ini Nawi memperlihatkan kehadiran TV sebagai wajah negara yang menggerakkan alur cerita.
Lalu bagaimana film Nawi bisa memberikan kontribusi pada pembentukan wacana nasionalisme di Indonesia? Penelitian ini memulai dari pembacaan narasi film Nawi Ismail yang memungkinkan untuk melihat sejauh mana imajinasi pembentukan identitas nasional ditunjukkan. Pembacaaan ini akan meminjam beberapa konsep psikoanalisa seperti pembentukan realitas simbolik, kehadiran fantasi, dan jouissance. Secara sekilas, konsep ini merujuk pada pembentukan subjek.
Ketika subjek bertemu dengan realitas yang ia hadapi sehari-hari, bertemu dengan yang simbolik atau seperangkat hukum yang ada di masyarakat, maka ada hal-hal yang harus dikorbankan. Dalam psikoanalisa, subjek harus mengorbankan jouissance, sebuah kenikmatan yang pernah dimiliki oleh individu sebelum ia terjun ke masyarakat. Demi merasakan kembali kenikmatan tersebut, Liyan menawarkan fantasi supaya rasa perih karena berpisah dengan jouissance mampu terjembatani.
Karena sifat hasrat yang dimiliki oleh individu itu selalu mencari kenikmatan, maka akan berlangsung proses negosiasi hingga akhirnya subjek bisa menyadari bahwa fantasi yang ditawarkan oleh Liyan itu bersifat sementara.
Dalam penelitian ini, negara diandaikan sebagai realitas simbolik. Konstruksi identitas negara yang mengambil posisi sebagai “bukan-penjajah” diwujudkan dalam propaganda film nasionalis. Namun ternyata membicarakan nasionalisme bukan hanya mengenai konstruksi semata, tetapi juga diharapkan mampu menyasar pada pada aspek lain yang membuat negara menjadi lokus pembentukan identittas. Film- film Nawi bisa memberikan gambaran mengenai konstruksi nasionalisme sekaligus menunjukkan bahwa kontruksi itu memiliki batas. Lewat film-film dengan tokoh yang lekat dengan budaya Betawi di Jakarta, Nawi bisa menunjukkan negosiasi subjek terhadap seperangkat aturan main yang dibuat oleh negara.
B. Tema Penelitian
Tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Kemampuan Narasi Film dalam Menghadirkan Fantasi Nasionalisme” melalui kajian terhadap pembacaan konten film-film Nawi Ismail.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana nasionalisme dilahirkan sebagai realitas simbolik dalam film si Pitung,
Mereka Kembali, Ratu Amplop, Samson Betawi, Benyamin Tukang Ngibul, 3 Janggo, dan Memble tapi Kece?
2. Bagaimana fantasi dihadirkan untuk mendukung realitas simbolik dalam film-film Nawi Ismail?
3. Sejauh mana film-film Nawi Ismail bisa melahirkan jouissance dalam identitas nasional?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berusaha untuk mencari tahu hasrat politik yang hadir lewat penokohan maupun peristiwa yang ada dalam film. Analisis penokohan dan alur peristiwa ini nantinya akan menggunakan analisis struktur naratif. Kedua, penelitian ini memiliki dimensi untuk dapat mengartikulasikan kembali temuan-temuan dari unsur intrinsik dalam film lalu mengaitkannya dengan tema nasionalisme. Ketiga, pembacaaan nasionalisme ala Nawi Ismail yang menitikberatkan pada pengalaman hidup masyarakat Betawi dalam filmnya memberikan dimensi lain dari pemahaman mengenai wacana nasionalisme yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang dikonstruksi.
E. Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini akan memperluas cakrawala kajian nasionalisme dalam film Indonesia. Pengambilan sinema atau hal-hal yang melingkupi film seperti proses produksi dan komsumsi dan mengaitkannya dengan nasionalisme di Indonesia memang sudah banyak dilakukan. Namun penelitian yang mengerucut untuk membicarakan unsur intrinsik film dengan sudut pandang psikoanalisa sedikit dilakukan. Penelitian mengenai film dan nasionalisme di Indonesia sendiri didominasi oleh kajian antropologis, sosiologis, dan gender. Oleh sebab itu beberapa hal menjadi penting dalam penelitian ini. Pertama, tesis ini akan menambah aspek cara penelitian psikoanalisa untuk melihat ideologi nasionalisme dalam budaya populer, terutama film-film dari Nawi Ismail. Kedua, penelitian ini memberi cara pandang melihat nasionalisme dalam film yang dilihat dari sisi eksternal dan internal film.
Penelitian ini juga berfungsi sebagai kritik terhadap dunia film di Indonesia. Ketika sekarang ini sinema Indonesia dibanjiri oleh film-film remake, memaksa generasi kekinian untuk mengkonsumsi produk ulang dari film-film tahun 1970-an dan 1980-an tanpa memberikan konteks yang jelas mengenai kehadiran film tersebut, maka kehadiran penelitian ini akan memberikan pemahaman lebih mengenai produksi film semasa Orde Baru. Dengan adanya penelitian ini, saya berharap pekerja kreatif film Indonesia sekarang ini mampu memperhitungkan banyak aspek sebelum jatuh pada trend remake film sehingga penonton akan memiliki pengalaman yang jauh lebih baik dibandingkan hanya mengkonsumsi “produk imitasi” hasil dari pergumulan antara produser dan sutradara film demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Selain itu, dengan adanya penelitian ini, saya berharap pembaca nantinya bisa mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai film-film Nawi Ismail yang hingga sekarang efeknya masih bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Terakhir, penelitian ini menjadi kritik terhadap pengambil kebijakan di Indonesia. Produksi film tidak hanya meliputi persoalan modal materil semata, tetapi juga modal pengetahuan. Saya berharap, penelitian ini mampu memberikan sumbangan bagi pengetahuan film di Indonesia yang nantinya pengampu kebijakan bisa mengolah kembali untuk masuk ke dalam kurikulum sekolah film di Indonesia.
Saya percaya pekerja kreatif film Indonesia mampu menghasilkan film-film berkualitas, tetapi ada baiknya bila kemampuan tersebut juga diimbangi dengan produksi pengetahuan film di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Secara khusus belum ada yang membicarakan film-film Nawi Ismail dan mengaitkannya dengan wacana nasionalisme di Indonesia. Pembacaan mengenai pembentukan identitas bangsa dalam film di Indonesia selama ini hanya dilihat dari unsur eksternal semata yakni kaitan antara dinamika politik dan peran negara yang memberikan efek pada produksi dan konten film-film Indonesia. Salah satu buku yang memberikan paparan komprehensif mengenai pembentukan identitas dalam sinema Indonesia yang dilihat dari ekternal film adalah buku karya Khrisna Sen yang berjudul Indonesian Cinema: Framing the New Order. Meskipun Khrisna Sen mampu mengelompokkan jenis film berdasarkan isian konten, memisahkan film manakah yang menjadi pesanan pemerintah dan partai, namun secara garis besar buku ini seperti sebuah katalog untuk film-film Indonesia semasa Orde Baru. Sejarah sinema Indonesia yang dipaparkan dalam buku ini seperti terjebak pada wacana dominan yang selama ini beredar, misalnya pada pertarungan antara kubu LEKRA dan Lesbumi semasa Orde Lama sehingga mengeliminasi peran-peran sutradara lainnya yang turut andil membangun sinema Indonesia.
Selanjutnya ada buku dari Garin Nugroho dan Dyna Herlina yang berjudul
Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Ditulis secara tandem, buku ini lebih condong
memperlihatkan perspektif dan pengalaman Garin Nugroho sebagai penonton dalam dinamika perfilman di Indonesia. Meskipun buku ini condong untuk membicarakan unsur ekternal film, bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah mempengaruhi hidup-matinya film Indonesia, namun pembaca dapat melihat secara sekilas film-film apa saja yang menginspirasi Garin untuk berkarya. Akan tetapi, paparan mengenai film-film Indonesia hanya menyasar pada permukaan. Padahal akan lebih menarik bila Garin yang selama ini dikenal sebagai sutradara mampu menjabarkan film-film yang dituliskan dalam buku ini berdasarkan bentuk dan pilihan estetis pembuatnya.
Paparan mengenai nasionalisme dalam sinema Indonesia secara lebih khusus bisa didapat melalui tulisan Thomas Barker dan Charlotte Setijadi-Dunn dalam jurnal
Asian Cinema. Kedua penulis ini mengkritik nasionalisme Orde Baru yang justru
mengeliminasi peran sutradara-sutradara semasa Hindia Belanda seperti Tan, The Theng Chun, dan Wong Bersaudara. Dalam “Historical Inheritance and Film
Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema”, Barker melacak darimana konsep
film nasional hadir di Indonesia. Barker juga melihat adanya peran institusi, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun oleh elit perfileman di Indonesia, yang merumuskan konsep film nasional. Sedangkan artikel kedua “Imagining
“Indonesia”: Ethnic Chinesse Film Producers in Pre-Independence Cinema” ditulis
oleh Barker dan Dunn. Artikel ini seperti mengamini Misbach Yusa Biran yang menyebut Tan, Wong, dan Chun sebagai sutradara etnis Cina. Artikel ini menunjukkan bahwa dengan adanya Usmar Ismail sebagai bapak Perfileman Nasional disinyalir menghapus nama-nama produser keturunan Cina yang juga membantu beberapa film Usmar. Penelitian dari Barker dan Dunn ini lebih banyak berangkat dari teks di luar film, seperti kliping koran, textbook sejarah film Indonesia, dan poster film yang diteliti. Kelemahan penelitian ini, mereka memang menggugat wacana nasionalisme yang dibuat institusi film di Indonesia, tetapi mereka tidak menggugat Biran dengan mempertimbangkan bukti wawancara dengan The Teng Chun. Saat Biran menyudutkan the Teng Chun sebagai sutradara “berbeda” karena etnisitasnya, pada saat itulah The Teng Chun berkata bahwa dia adalah orang
2 Indonesia.
Selanjutnya Cultural Specifity in Indonesian Film: Diversity in Unity karya 2 David Hanan. Dalam buku ini, Hanan menganalisa teks film lebih mendalam dengan
Lihat pameran “Kultur Sinema: Sinema Peranakan” yang dikuratori oleh Mahardika Yudha
pada bulan Agustus 2016. Pada pameran ini, Yudha menampilkan teks wawancara antara
Misbach Yusa Biran dan The Teng Chun mengenai film-film dari Tan, Wong, dan The Teng
Chun. Berkali-kali Biran menyebut etnis Cina sebagai The Teng Chun, tetapi justru The Teng
Chung menolak dan mengatakan dia pribumi. Gugatan Barker dan Dunn yang hanya
menyasar pada nasionalisme Indonesia, justru melanggengkan pengelompokan etnis yang bila dilacak sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. mempertimbangkan bentuk (stilistika, pilihan ambilan gambar, dll) dan narasi film itu sendiri. Bab yang membicarakan mengenai film dan kaitannya dengan identitas kebangsaan berjudul “Regions and Regional Societies and Cultures in the Indonesian
Cinema”. Dalam bab ini Hanan menganalisa bagaimana film-film dengan paparan
konten yang condong untuk membicarakan regionalitas dan etnisitas menjadi tantangan tersendiri bagi hegemoni bangsa. Paparan Hanan cukup komprehensif dan kaya data, karena ketika menganalisa teks film interteksnya selalu disertakan. Termasuk ketika membicarakan Tiga Buronan karya Nja Abbas Akup, Hanan melacak pilihan estetis sutradara dengan penjabaran penggunaan musik gambang kromong dan aksi teatrikal lenong Betawi dalam film untuk menunjukkan sisi tradisi Betawi. Analisa teks film dari Hanan bisa menjadi contoh penelitian teks film yang lebih komprehensif.
Terakhir adalah artikel dari David Hanan dan Basoeki Koesasi “Betawi
Modern: Songs and Films of Benyamin S. from Jakarta in the 1970s – Further
Dimensions of Indonesian Popular Culture”. Hanan dan Koesasi melihat bahwa
karya-karya dari Benyamin bisa dieksplorasi dengan beragam pendekatan, termasuk mempertimbangkan potensi kreatif dari ke-Betawi-an Benyamin. Bagi Hanan dan Koesasi, film-film B (film low budget) Benyamin selalu bisa memberikan konteks Indonesia, bahkan pada superhero atau ikon-ikon populer yang ada di Barat terutama yang berasal dari Amerika Serikat. Ikon-ikon internasional itu diantaranya: Zorro, James Bond, dan koboi. Menurut Hanan dan Koesasi, selain mengijinkan penonton Indonesia untuk berbagi fantasi, milie, dan karisma atas figur tersebut, ada banyak
3
ironi mengenai betapa tidak realistisnya hal ini. Dalam Zorro Kemayoran misalnya, Hanan dan Koesasi mendapati bahwa Zorro memiliki etos religi Islam Indonesia.
Dalam adegan ketika Zorro yang diperankan Benyamin dan kekasihnya Ida Royani, ia berkata mengenai identitasnya, “Selain kita berdua, biarlah tak ada yang tahu siapa
4 Zorro Kemayoran itu sebenarnya, kecuali Tuhan”.
Salah satu film Nawi Ismail yang diangkat dalam penelitian Hanan dan Koesasi adalah Benyamin Koboi Ngungsi (1975). Film ini sendiri merupakan satu dari lima film Nawi di bawah rumah produksi PT Adhi Yasa. Empat film dari PT Adhi Yasa yakni Ratu Amplop, Benyamin Tukang Ngibul, 3 Janggo, dan Samson
Betawi yang diteliti dalam tesis ini. Dalam uraian Hanan dan Koesasi mengenai film
ini, mereka menemukan adanya relasi dengan genre film Western Spaghetti. Koboi
Ngungsi dianggap mampu bermain-main dengan kode-kode dan mengubahnya ke
dalam konteks Indonesia. Semisal, Hanan dan Koesasi memberikan contoh dari adegan “minum susu” yang dianggap memberikan makna lain. Minum susu dalam film American Western dianggap sebagai “tidak macho” sedangkan di Koboi Ngungsi
5 susu malah semakin dipromosikan dan dianggap sebagai minuman sehat.
Betawi yang dihadirkan lewat lagu-lagu Gambang Kromong dan Gambang Modern dari Benyamin yang juga dihadirkan dalam film-filmnya juga diangkat dalam 3 penelitian ini. Efek modernisasi, terutama imbasnya pada komunitas Betawi, selalu
Hanan, David dan Basoeki Koesasi. 2011. “Betawi Moderen: Songs and Films of Benyamin
S from Jakarta in the 1970s – Further Dimensions of Indonesian Popular Culture,” Indonesia
4 91 (April 2011), hlm. 66. 5 Ibid,. hlm. 66.
Ibid,. hlm. 68. Hanan dan Koesasi menyambungkan makna baru ini dengan kehadiran
pabrik joint-venture “Indomilk” di Indonesia pada tahun 1969 sehingga mereka mendapati momen minum susu mendapatkan makna baru dalam Koboi Ngungsi. ditampilkan dalam film Benyamin. Bagi Hanan dan Koesasi, egalitarianisme bagi Betawi tidak sesederhana meminta kesetaraan dalam kesejahteraan dan kesempatan
6 tapi pada pengakuan atas individu dalam komunitas.
Penelitian ini diharapkan memiliki dimensi yang sama dengan Hanan dan Koesasi lakukan: bisa mengartikulasikan temuan-temuan dari unsur intrinsik dalam film. Unsur ekstrinsik seperti kebijakan, sensorsip, dan ideologi Orde Baru hanya digunakan untuk melihat sejauh mana sinema Indonesia berkembang dari masa ke masa. Meskipun dalam beberapa sisi akan ada temuan serupa seperti kaitan antara film-film Nawi Ismail dibintangi Benyamin yang memiliki kaitan dengan etnis dan komunitas Betawi, namun penelitian ini akan bergerak ke arah yang lain. Pembacaan nasionalisme ala Nawi yang menekankan pada etnisitas Betawi dalam filmnya diharapkan memberikan dimensi berbeda dibandingkan dengan penelitian Hanan dan Koesasi.
G. Kerangka Teoritis
Untuk menjawab ketiga rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, beberapa konsep dari psikoanalisa akan digunakan dalam penelitian ini. Pertama adalah teori pembentukan subjek yang membantu mencermati pergerakan alur dalam film, sekaligus menjadi pondasi ketika menganalisa wacana nasionalisme dalam film.
Kedua adalah konsep objet a dalam sinema dari Todd McGowan. Konsep ini
digunakan untuk mencari tahu bagaimana film mampu menghadirkan gaze yang 6 berperan penting dalam pembentukan subjek. Terakhir adalah kritik ideologi,
Ibid,. hlm. 74 penggunaan konsep jouissance yang ditawarkan oleh Yannis Stavrakakis. Karena konsep yang ditawarkan oleh McGowan hanya menyasar pada kajian film semata, maka konsep jouissance dari Stavrakakis membantu meranahkan gaze dalam film ke arah yang lebih luas, yakni mencari tahu yang menjadi jouissance kolektif sebagai orang Indonesia.
1. Pembentukan Subjek
a. Subjek Lacanian
Subjek yang lack/ split/ teralienasi dipahami sebagai locus dari kemustahilan
7
sebuah identitas, tempat di mana proses identifikasi politik berjalan. Lacan menjelaskan bahwa perjalanan subjek dimulai dari fase cermin. Pengandaiannya, saat berumur 6 -18 bulan, berlangsung pengalaman terfragmentasi, proses identifikasi dari menyatukan kepingan-kepingan identitas yang dilihat dalam cermin. Pada fase ini ego adalah alter ego, situasi teralienasi yang terjadi pada fase imajiner karena
8
karakteristik cermin sendiri yang tidak mampu memberikan identitas penuh. Satu- satunya jalan untuk memahami siapa dirinya, anak-anak ini harus memasuki tatanan
9 simbolik, ranah representasi bahasa.
Tatanan simbolik mengijinkan subjek untuk bertemu dengan bahasa yang 7 mampu mendukung identitasnya. Dalam tatanan ini diperkenalkan Nama-sang-Ayah 8 Stavrakakis, Yannis. 1999. Lacan and the Political. London-NY: Routledge, hlm. 13 9 Ibid,. hlm. 18.
Ibid,, hlm. 18 – 19. Stavrakakis menekankan untuk tidak memisahkan imajiner dan simbolik
karena sebenarnya dua tatanan ini saling berhubungan, sebagaimana yang pernah Lacan
kemukakanb dalam seminar Anxiety (1962 – 3). Pengandaiannya, sebelum bayi lahir, nama
sudah dipersiapkan oleh orang tua. Justru tatanan imajiner bisa diterima bila kita tahu tatanan
yang melampaui imajiner, yakni dengan adanya guide dari yang simbolik.(Name-of-the-Father), ayah simbolik bukan ayah yang sebenarnya, yang bertugas
10
sebagai agen dari hukum (Law) tatanan simbolik. Lacan mengelaborasi gagasan Saussure pengenai penanda (signifier) dan tinanda (signified) untuk menjelaskan proses yang berlangsung di fase ini. Hubungan antara penanda dan tinanda ini dijelaskan dalam rumasan S/s. Bagi Lacan, penanda adalah ‘subject suppose to
11
know’; sedangkan tinanda adalah ‘subject supposed to be’. Stavrakakis menegaskan
lack karena penanda dan sifat alamiah dari tatanan simbolik; membuat subjek identik
dengan lack ini, (tambahan) melalui kutipan Soller akan Lacan (Lacan in Soller,
12 1995: 43): ‘terlahir dengan tinanda, subjek ditakdirkan terbelah (divided).
Uraian Stavrakakis mengenai subjek yang teralienasi dalam tatanan simbolik digunakan untuk menggarisbawahi bahwa sebenarnya bukan identitas (sebagai tujuannya) tetapi proses identifikasi, rangkaian kegagalan identifikasi yang bisa
13
menjadi a deeply political play. Realitas tersusun secara simbolik dan diartikulasikan melalui bahasa. Ketika subjek memasuki ranah bahasa (bisa masyarakat, budaya, ideologi), ia harus menerjemahkan need yang bersifat primal dan instingtif ke dalam demand (penanda yang tersedia di masyarakat). Transformasi ini menghasilkan hilangnya sisi primal (kenikmatan karena kebutuhan pada mulanya bisa terpenuhi, contohnya ketika bayi menangis dan menyusu pada ibunya, kini tidak bisa didapatkan kembali setelah diterjemahkan ke dalam bahasa). Sifat kemustahilan 10 untuk merasakan kembali pengalaman primodial tersebut membuat subjek terus 11 Ibid,. hlm. 20. 12 Ibid,. hlm. 27 13 Ibid,. hlm. 28.
Ibid,. hlm. 29. menerus mengidentifikasikan diri. Kata Stavrakakis, “kita tidak pernah mendapatkan
14
apa yang dinjanjikan dan itulah mengapa kita terus-menerus mendambakannya.” Membicarakan subjek Lacanian dalam penelitian ini harus digunakan secara berhati-hati. Apakah ia akan membicarakan penonton sebagai subjek atau subjek dalam film itu sendiri? Ataukah subjek Lacanian yang dimaksud adalah sutradara film itu sendiri. Dalam penelitian ini mula-mula yang ingin ditekankan pada Bab 3 adalah penonton sebagai subjek yang melihat film sebagai objek. Hal ini merujuk pada kemampuan sinema yang mampu menjadi Liyan, bertindak selaku cermin yang dapat menegaskan identitas subjek. Selanjutnya, pembentukan subjek digunakan pada
Bab 4 untuk membantu meranahkan kembali apa yang hendak diujarkan oleh Nawi Ismail selaku subjek dalam filmnya.
b. Objek Lacanian
Subjek Lacanian memang penting dalam teori sosial politik. Namun pengartikulasian mengenai subjek ini sebenarnya menjadi pembuka untuk membicarakan objek yang akan membawa kita pada konsep-konsep mengenai
15
kolektifitas, realitas, dan objektifitas masyarakat. Mengikuti skema perjalanan subjek dalam proses identifikasi, maka akan terlihat bahwa subjek dan objek dihubungkan oleh sifat mereka yang lack. Menurut Lacan, sebagaimana yang dikutip dari Stavrakakis, lack pada objek adalah lack of jouissance, lack yang terjadi
14 15 Ibid,. hlm. 34.
Ibid,. hlm. 41. sebelum-simbolik, penikmatan hakiki yang selalu hilang karena dikorbankan ketika
16 subjek berbahasa.
Lalu apa imbas dari lack of jouissance ini? Pada mulanya, Nama-Sang-Ayah, meminta pengorbanan jouissance ketika subjek memasuki tatanan simbolik. Pada saat pengorbanan inilah hasrat (desire) lahir. Hasrat ini dipahami sebagai upaya untuk
17
mendapatkan kembali jouissance. Tak ada objek yang mampu memberikan
jouissance yang telah hilang. Desire selalu hadir, mencoba mendapatkan kembali
jouissance yang sudah dimistiskan oleh objek yang selanjutnya nanti disebut Liyan.
Pada saat inilah Liyan memberikan janji kepenuhan pada subjek untuk menangkap kembali real yang hilang. Janji ini disebut fantasi.
Objek Lacanian menjadi penting dalam film ini karena ia menjadi lokus pembentukan identitas kebangsaan yang dijabarkan dalam Bab 4. Di sisi lain, Objek Lacanian ternyata juga bisa hadir dalam film itu sendiri. Ialah yang menggerakkan alur cerita. Jabaran mengenai objek Lacanian dalam film akan lebih jauh dibicarakan dalam Objet a dalam Sinema, konsep yang ditawarkan oleh Todd McGowan.
c. Fantasi dan Janji Menjadi Utuh
Bila tatanan simbolik merupakan montase, maka fantasi adalah skenario yang
18
mampu menutupi lack pada Liyan. Sebenarnya apa yang fantasi coba sembunyikan? Dalam perjalanan identifikasi subjek sendiri, ketika ia terkastrasi, ada residu, the 16
objet petit a, sesuatu yang tidak bisa disimbolisasikan karena ia berasal dari larangan.
17 Ibid,. hlm. 42 18 Ibid,. hlm. 42.Ibid,. hlm. 46
Objet a adalah metafora bahwa jouissance itu selalu absen. Dalam karya Lacan, objet
a terletak pada symbolic phallus. Stavrakakis menambahkan, objet a atau objek yang
19 menyebabkan hasrat (desire) ini berada dalam penanda hasrat itu sendiri.Lacan menegaskan dalam Television (1973), bahasa tidak dapat mengatakan seluruh kebenaran. Kata-kata untuk mengungkapkannya hilang; bahkan itu tidak
20
mungkin secara material, dan inilah sumber dari pengalaman teralienasi. Oleh sebab itu, desire berkembang dan ia turut membentuk identitas subjek – meskipun identitas itu tidak pernah penuh karena yang simbolik sendiri juga lack. Fantasi menciptakan ilusi fullness, namun di sisi yang lain ia tidak akan pernah menjawab apa yang desire inginkan. Fantasi justru membuat desire selalu ada. Stavrakakis mengatakan, justru
21 pengalaman individu itu berasal dari dialektika kemustahilan ini.
2. Objet a dalam Sinema Todd McGowan
Untuk menganalisis film Nawi Ismail, saya meminjam langkah-langkah dari Roland Barthes mengenai Analisis Struktural Naratif. Menurut Barthes ada beberapa langkah dalam menganalisis teks yaitu, mendeskripsikan fungsi dan indeks kemudian menjabarkan analisis tindakan dan narasional. Untuk menjabarkan analisis tindakan dan narasional yang digunakan dalam pengolahan data, maka penelitian ini mennggunakan konsep “Objet a dalam Sinema” yang ditawarkan oleh Todd McGowan. Seperti yang dikemukakan oleh Stavrakakis mengenai subjek yang 19 mengidentifikasikan diri pada objek, maka konsep dari McGowan ini mampu 20 Ibid,. hlm. 50. 21 Ibid,. hlm. 52 Ibid,. hlm. 53 memberikan gambaran objek seperti apa yang bisa muncul dalam ranah visual dan memantik subjek untuk melihat film.
Mula-mula adalah para pemikir Lacanian untuk film awal yang berangkat dari
Esai Fase Cermin untuk menjelaskan konten film dan imbasnya pada pengalaman
menonton. Salah satu teoritisi film yang mengkristalkan konsep-konsep psikoanalisa dalam mengkaji sinema adalah Chriztian Metz, dalam esainya “The Imaginary
Siginifier”. Metz mengatakan bahwa sinema itu menggunakan proses ketidaksadaran
22 lebih dari medium artistik lainnya, konstruksi penandanya lebih ke imajiner.
Imajiner yang dimaksud oleh Metz bisa dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama adalah pelekatan kata “fiksi” dan “fiktif” – film merupakan cerita imajiner yang direpresentasikan oleh kehadiran gambar yang absen dari objek dan juga orang-orang. Kedua adalah kealamian “imajiner” dari penanda sinematis karena film itu tergantung dari aktivitas perseptif (penglihatan, suara, dan persepsi akan gerakan yang tersusun melalui sekuen yang ada dalam film). Sedangkan cara ketiga memahami “imajiner”, Metz mereferensikan pada konsep “imajiner” dari Lacan yang terangkum dalam Esai
Fase Cermin. Dengan kata lain, sinema itu berperan dalam tatanan simbolik dan
operasi imajiner, dan analisis film yang berhasil haruslah menggunakan dinamika
23 yang terjadi di antara dua hal tersebut.
Menurut McGowan, para teoretisi film Lacanian awal ternyata hanya berkutat di fase imajiner saja. Mereka belum menyentuh the real. Bagi teoritisi film Lacanian 22 awal, sinema mampu menipu penonton dan membuatnya terbawa oleh ideologi film.