HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN POSTTRAUMATIC GROWTH PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) : Studi Korelasi pada ODHA yang Tergabung dalam Program Pendampingan Rumah Cemara Bandung.

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian ... 12

E. Manfaat Penelitian ... 13

F. Struktur Organisasi Skripsi ... 14

BAB II KONSEP HIV/AIDS, TIPE KEPRIBADIAN, TRAIT ANXIETY DAN POSTTRAUMATIC GROWTH A. HIV/AIDS ... 15

B. Tipe Kepribadian ... 24

C. Trait Anxiety ... 30

D. Posttraumatic Growth ... 35

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 41

F. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 49

B. Desain Penelitian ... 50

C. Metode Penelitian ... 50


(2)

E. Instrumen Penelitian ... 55

F. Proses Pengembangan Instrumen ... 60

G. Teknik Pengumpulan Data ... 66

H. Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 74

B. Pembahasan ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(3)

DAFTAR BAGAN

Bagan

2.1 Bagan Konseptual Trait-State Ansiety dan Perilaku ... 34 2.2 Kerangka Berpikir Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan

Posttraumatic Growth pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ... 48

3.1 Desain Penelitian Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel

2.1 Tahapan Reaksi Psikologis Pasien HIV ... 22

3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 55

3.2 Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 56

3.3 Jenis Item pada Kuesioner Trait Anxiety ... 58

3.4 Kisi-kisi Alat Ukur Posttraumatic Growth ... 59

3.5 Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach ... 62

3.6 Nilai Reliabilitas Eysenck Personality Inventory ... 63

3.7 Nilai Reliabilitas State Trait Anxiety Inventory Form Y-2 ... 63

3.8 Nilai Reliabilitas Instrumen Posttraumatic Growth ... 64

3.9 Hasil Pengembangan Eysenck Personality Inventory ... 64

3.10 Hasil Pengembangan State Trait Anxiety Inventory Form Y-2 ... 65

3.11 Hasil Pengembangan Instrumen Posttraumatic Growth ... 65

3.12 Hasil Uji Normalitas Data ... 67

3.13 Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Posttraumatic Growth ... 68

3.14 Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Trait Anxiety .. 68

3.15 Hasil Uji Linearitas antara Trait Anxiety dengan Posttraumatic Growth ... 69

4.1 Hasil Perhitungan Median Variabel Tipe Kepribadian ... 75

4.2 Gambaran Umum Tipe Kepribadian ODHA di Rumah Cemara Bandung ... 75

4.3 Gambaran Umum Sub Dimensi Tipe Kepribadian ODHA di Rumah Cemara Bandung ... 76


(5)

4.5 Gambaran Umum Trait Anxiety ODHA di Rumah Cemara Bandung ... 80 4.6 Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Trait Anxiety ODHA di

Rumah Cemara Bandung ... 81 4.7 Norma Kategorisasi Variabel Posttraumatic Growth ... 83 4.8 Gambaran Umum Posttraumatic Growth ODHA di Rumah

Cemara Bandung ... 83 4.9 Gambaran Umum Dimensi Posttraumatic Growth ODHA di

Rumah Cemara Bandung ... 84 4.10 Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Posttraumatic Growth

ODHA di Rumah Cemara Bandung ... 86 4.11 Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan

Posttraumatic Growth pada ODHA ... 88

4.12 Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Trait Anxiety pada ODHA ... 89 4.13 Hasil Uji Korelasi antara Trait Ansiety dengan Posttraumatic

Growth pada ODHA ... 90

4.14 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Trait Anxiey pada ODHA ... 91 4.15 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Posttraumatic

Growth pada ODHA ... 92

4.16 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian dan Trait Anxiety terhadap


(6)

DAFTAR GRAFIK

Grafik

4.1 Gambaran Umum Tipe Kepribadian ODHA di Rumah Cemara Bandung ... 76 4.2 Gambaran Umum Sub Dimensi Tipe Kepribadian ODHA di

Rumah Cemara Bandung ... 79 4.3 Gambaran Umum Trait Anxiety ODHA di Rumah Cemara

Bandung ... 81 4.4 Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Trait Anxiety ODHA di

Rumah Cemara Bandung ... 82 4.5 Gambaran Umum Posttraumatic Growth ODHA di Rumah

Cemara Bandung ... 84 4.6 Gambaran Umum Dimensi Posttraumatic Growth ODHA di

Rumah Cemara Bandung ... 85 4.7 Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Posttraumatic Growth


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1.1 Surat Keputusan Pengangkatan Pembimbing ... xvi 1.2 Kartu Bimbingan Skripsi ... xvii 3.1 Kuesioner Penelitian ... xviii 3.2 Data Penelitian Kuesioner Tipe Kepribadian Eysenck

Personality Inventory (29 Item) ... xix 3.3 Data Penelitian Kuesioner Trait Anxiety The State-Trait

Anxiety Inventory (STAI) Form Y-2 (20 Item)... xx

3.4 Data Penelitian Kuesioner Posttraumatic Growth ... xxi 3.5 Hasil Uji Reliabilitas Eysenck Personality Inventory ... xxii 3.6 Hasil Uji Reliabilitas State-Trait Anxiety Inventory Form Y-2 ... xxiii 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Skala Posttraumatic Growth ... xxiv 3.8 Hasil Uji Normalitas Data ... xxvi 3.9 Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan

Posttraumatic Growth ... xxvii

3.10 Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Trait

Anxiety ... xxvii

3.11 Hasil Uji Linearitas antara Trait Anxiety dengan

Posttraumatic Growth ... xxvii

3.12 Data Hasil Kuesioner Trait Anxiety The State-Trait Anxiety

Inventory (STAI) Form Y-2 (17 Item) ... xxviii

3.13 Data Hasil Kuesioner Posttraumatic Growth (31 Item)... xxix 4.1 Data Perolehan Skor Tipe Kepribadian, Trait Anxiety dan

Posttraumatic Growth pada ODHA ... xxx

4.2 Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan


(8)

4.3 Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Trait

Anxiety pada ODHA ... xxxi

4.4 Hasil Uji Korelasi antara Trait Ansiety dengan Posttraumatic

Growth pada ODHA... xxxi

4.5 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Trait Anxiey pada ODHA ... xxxii 4.6 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Posttraumatic

Growth pada ODHA... xxxii

4.7 Koefisien Regresi Tipe Kepribadian dan Trait Anxiety terhadap Posttraumatic Growth pada ODHA ... xxxii 4.8 Hasil Perhitungan Uji Signifikansi Mediasi ... xxxiii


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Salah satu kejadian paling berat yang dapat menimpa seorang individu terkait dengan kesehatannya adalah mengidap suatu penyakit yang mengancam keselamatan jiwa. Human Immunodeficiency Virus dan Acquired

Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah salah satu penyakit yang hingga

saat ini belum ditemukan cara penyembuhannya, sehingga HIV/AIDS sering dianggap sebagai suatu penyakit yang berbahaya dan cenderung memperpendek harapan hidup individu yang mengidapnya (Nursalam & Kurniawati, 2007).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia dan mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, sehingga kekebalan tubuh mengalami defisiensi. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal

sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah (Komisi Penanggulangan AIDS, 2011).


(10)

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) menggambarkan berbagai

gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah dinyatakan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS, 2011).

HIV menular terutama melalui perpindahan darah, cairan sperma dan cairan vagina dari seorang pengidap HIV/AIDS kepada orang lain. Pertukaran cairan tubuh ini dapat terjadi akibat beberapa perilaku beresiko seperti: hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS tanpa memakai kondom, transfusi dengan darah yang terpapar HIV, jarum suntik dan benda-benda tajam lainnya bekas dipakai oleh pengidap HIV tanpa disterilisasi dengan benar, atau ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat menularkan kepada janin di dalam kandungan melalui plasenta atau saat persalinan (Yayasan AIDS Indonesia, 2011).

Mudahnya penyebaran HIV/AIDS serta belum ditemukannya pengobatan yang efektif menyebabkan penyakit ini begitu cepat berkembang di berbagai belahan dunia. World Health Organization (WHO) mencatat lebih dari 60 juta orang terinfeksi virus HIV dan hampir 30 juta di antaranya telah meninggal dunia sejak virus ini teridentifikasi pertama kali pada tahun 1981. Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2010, diperkirakan terdapat 34 juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia (WHO, 2011).

Kasus HIV/AIDS di Indonesia sendiri semakin lama menunjukkan peningkatan. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI melaporkan terdapat 26.483 kasus AIDS dengan 5.056


(11)

kasus kematian dilaporkan secara kumulatif antara 1 Januari 1987 sampai dengan 30 Juni 2011. Pesatnya peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS dapat dilihat pada data yang menyatakan bahwa terdapat 2.001 kasus AIDS tambahan dilaporkan dalam triwulan April sampai dengan Juni 2011. Jawa Barat merupakan provinsi ketiga yang tercatat memiliki kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Papua. Sampai dengan Juni 2011 jumlah kasus HIV/AIDS yang tercatat di Jawa Barat mencapai 3.809. Jumlah ini meningkat dari 3.728 kasus pada Desember 2010 (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) menyatakan

bahwa trauma dapat dialami oleh individu yang menghadapi penyakit serius hingga mengancam keselamatan hidupnya (American Psychiatric Association, 2000). Tedstone & Tarrier (2003) menyatakan bahwa dalam dunia medis, angka trauma tertinggi ditemukan pada kasus pasien yang pernah dirawat di unit gawat darurat (UGD) dan pasien yang mengalami infeksi HIV/AIDS.

Terdiagnosis HIV positif menjadi salah satu kejadian paling berat dalam hidup individu. Perasaan takut dan tidak berdaya umumnya muncul sebagai akibat dari diagnosis medis terkait penyakit tertentu (Baum & Mundy, 2004). Oleh karena itu peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai peristiwa traumatis. Individu merasa seolah-olah hidup mereka terancam. Bagi kebanyakan individu yang baru saja mendapatkan diagnosis HIV positif, HIV dianggap sama dengan kematian. Dinyatakan terinfeksi HIV, menjadi pengalaman yang kuat dan mendalam bagi para penderitanya. Mereka merasa bahwa hidup mereka sudah tidak sama lagi


(12)

(Brown, 2008). HIV seolah menghancurkan harapan dan ambisi hidup mereka (Catalan, 1999). Berbagai macam emosi dirasakan individu saat mendapatkan diagnosis HIV positif dari dokter. Keterlibatan emosi mungkin membangkitkan penolakan (denial) terhadap diagnosis, kemarahan (anger), penawaran

(bargaining), dan depresi (depression) (O’Neill et al., 2003). Individu yang

terinfeksi HIV/AIDS seringkali disebut sebagai Orang dengan HIV/AIDS atau ODHA.

Status HIV positif yang disandang oleh ODHA tidak hanya berdampak terhadap perubahan kondisi kesehatan fisik semata, namun juga mengandung konsekuensi timbulnya permasalahan psikososial. Seringkali ODHA menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya (Bakelaar et al., 2011). Beberapa bentuk permasalahan yang dihadapi ODHA terkait stigma dan diskriminasi yang berkembang di masyarakat antara lain: dikucilkan teman dan keluarga, diberhentikan dari pekerjaan, tidak mendapatkan layanan medis yang dibutuhkan, bahkan tidak mendapat ganti asuransi (Djauzi dkk, 1999).

Ollich et al. (Winarto, 2007) menyatakan bahwa lekatnya stigma negatif menyangkut HIV/AIDS serta pengobatan efektif yang belum juga ditemukan, sangat memungkinkan bagi ODHA yang sedang dirawat di pusat kesehatan mengalami kecemasan dan depresi. Ollich et al. menemukan dari 15 orang penderita HIV/AIDS yang dirawat inap, terdapat 2 orang (13,33%) yang tidak mengalami depresi, 6 orang (40,00%) yang mengalami depresi ringan, 5 orang (33,33%) yang mengalami depresi sedang, dan 2 orang (13,33%) yang mengalami depresi berat.


(13)

Namun terdapat beberapa penelitian lain yang mencatat adanya perubahan dan kekuatan yang sifatnya positif pada ODHA. Hasil penelitian Milam (2006) menunjukkan 59% sampai dengan 83% ODHA melaporkan bahwa mereka mengalami perubahan positif sejak mendapatkan diagnosis HIV/AIDS dari dokter. Perubahan-perubahan positif yang terjadi di kalangan ODHA setelah mendapatkan diagnosis HIV positif, antara lain: meninggalkan perilaku-perilaku beresiko, belajar merawat dan menjaga diri sendiri, mendapatkan teman-teman baru dari kelompok-kelompok dukungan, dan berusaha untuk lebih dekat dengan Tuhan (Collins et al., 2001).

Salah satu ODHA yang berasal dari Bandung bernama Derajat Ginanjar Koesmayad merupakan contoh ODHA yang berhasil menunjukkan perubahan positif setelah didiagnosis mengidap HIV. Ia berhasil meraih predikat sebagai pemain terbaik di ajang Homeless World Cup yang dihelat di Paris, Prancis, Agustus lalu. Homeless World Cup 2011 adalah ajang sepak bola jalanan yang diikuti komunitas tunawisma. Pesertanya anggota komunitas yang kurang beruntung, seperti pecandu narkoba, penderita HIV/AIDS, dan lain-lain (Komisi Penanggulangan AIDS, 2011).

Kisah positif semacam ini banyak terjadi di kalangan ODHA lainnya. Kebanyakan dari mereka bergabung ke dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang sosial dalam rangka pencegahan HIV/AIDS dengan menyebarluaskan informasi mengenai bahaya dan cara menjauhi penyakit HIV/AIDS. Salah satu aktivis yang berhasil berkarir di bidang ini adalah Suksma Ratri, ia adalah seorang wanita dengan HIV positif. Wanita ini kini aktif dalam


(14)

organisasi internasional yang menaungi AIDS, seperti: Coordination of Action

Research on AIDS and Mobility Asia (Malaysia) dan UNAIDS (Mommiesdaily,

2010).. Fakta ini menunjukkan bahwa ada beberapa ODHA yang mampu bangkit dari rasa frustasi akibat diagnosis HIV/AIDS yang diterimanya, dan mampu mengaktualisasikan diri mereka secara positif.

Perubahan-perubahan positif yang terjadi pasca trauma seperti yang dialami oleh ODHA di atas lebih lanjut dikenal sebagai posttraumatic growth. Model

posttraumatic growth meyakini filosofi yang mengatakan bahwa terdapat potensi

perubahan yang bersifat positif sebagai hasil dari kondisi trauma. Posttraumatic

growth lebih dari sekedar kondisi pulih, bertahan, atau adaptasi terhadap trauma,

namun menyiratkan bahwa individu berkembang melebihi tingkat keberfungsian mereka sebelumnya (Tedeschi & Calhoun, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa di balik pengalaman traumatis yang dialami ODHA, mereka masih memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang positif.

Penelitian di bidang psikologi telah lama tertarik untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi kemampuan individu untuk mengembangkan penyesuaian yang lebih baik pada kondisi pasca trauma seperti yang dicontohkan di atas. Linley & Joseph (2004) mengungkapkan bahwa faktor-faktor individual semacam cognitive appraisal, sosial-demografis, kepribadian, dan coping merupakan prediktor terhadap kemungkinan individu mengembangkan

posttraumatic growth. Lebih lanjut Tedeschi & Calhoun (2004) secara jelas

menyatakan bahwa terdapat karakteristik individu yang mungkin berpengaruh terhadap kemungkinan seorang individu untuk mengembangkan penyesuaian


(15)

positif pasca trauma di antaranya tipe kepribadian, kemampuan mengelola distress, serta keterbukaan.

Setiap individu memiliki tipe kepribadian tertentu yang akan berpengaruh terhadap kemungkinannya mengembangkan penyesuaian setelah mendapatkan diagnosis suatu penyakit (Affleck & Tennen, 1996). Dalam teorinya Eysenck berpendapat bahwa saat dihadapkan pada suatu tekanan atau rangsangan-rangsangan traumatik, individu yang tergolong ekstrovert cenderung menahan diri, tidak akan terlalu memikirkan tekanan atau trauma yang dialami. Sebaliknya, individu yang tergolong introvert tidak terlalu sigap melindungi diri saat menghadapi tekanan atau trauma, sehingga cenderung menunjukkan respon berdiam diri, membesar-besarkan persoalan, dan mempelajari detail-detail kejadian (Eysenck, 1998). Selain itu Affleck & Tennen (1996) juga menemukan bahwa individu yang memperoleh skor tinggi pada tipe kepribadian ekstrovert cenderung mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi.

Tumbuh dari suatu pengalaman trauma bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih lagi pada kasus ODHA dimana pengalaman tidak menyenangkan ini terus berlangsung sebagai dampak status HIV positif yang disandangnya. Menghadapi permasalahan-permasalahan psikososial terkait stigma negatif dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS menyebabkan kebanyakan ODHA mengalami kecemasan. Menurut Spielberger (1966) perbedaan tingkat kecemasan dalam diri individu saat menghadapi situasi yang mengancam disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu sehingga sifatnya relatif stabil (trait anxiety)


(16)

dan faktor yang berasal dari luar individu misalnya disebabkan karena situasi atau keadaan tertentu di lingkungan yang sifatnya relatif tidak stabil (state anxiety).

Faktor yang berasal dari dalam diri individu yang sifatnya relatif stabil (trait

anxiety) berkaitan erat dengan tipe kepribadian yang dimiliki oleh individu.

Eysenck (1998) adalah salah satu tokoh yang secara teoritis menghubungkan antara tipe kepribadian yang dimiliki individu dengan kualitas-kualitas tertentu yang menyebabkan masing-masing tipe kepribadian dapat mengalami tingkat kecemasan yang berbeda. Dalam kasus ODHA, tingkat kecemasan yang berbeda ini akan mempengaruhi reaksi yang muncul setelah menerima diagnosis HIV positif. Ada yang mengalami stres berkepanjangan seperti yang ditemukan dalam penelitian Ollich et al. (Winarto 2007), namun ada pula ODHA yang tumbuh dan berkembang (posttraumatic growth) seperti yang ditemukan dalam penelitian Milam (2006) dan Collins et al. (2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Loiselle et al. (2011) terhadap subjek yang memiliki kerabat dengan penyakit serius berhasil mengungkap bahwa trait anxiety mempunyai hubungan yang negatif dengan posttraumatic growth. Individu yang memiliki tingkat trait anxiety yang tinggi cenderung memiliki skema kognitif yang berorientasi terhadap ancaman, sehingga saat peristiwa trauma terjadi skema kognitif yang selama ini ia miliki seolah dikukuhkan dan memperkecil kemungkinannya untuk tumbuh dari pengalaman trauma yang dialami.

Hasil kajian terhadap penelitian Affleck & Tennen (1996) dan Linley & Joseph (2006) mendorong peneliti untuk mencari hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert-introvert dengan posttraumatic growth. Tipe kepribadian


(17)

dijadikan prediktor kondisi posttraumatic growth pada ODHA dengan menyertakan trait anxiety sebagai variabel mediator untuk membantu menjelaskan hubungan di antara kedua variabel tersebut.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah yang telah disampaikan dalam latar belakang penelitian di atas, peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS.

2. Pertumbuhan HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. 3. HIV/AIDS tidak hanya berdampak terhadap secara fisik pada penderitanya,

tapi juga secara psikososial.

4. Mendapatkan diagnosis dan hidup dengan HIV/AIDS dipandang sebagai suatu pengalaman traumatis.

5. HIV/AIDS dianggap sebagai suatu kejadian yang dapat menghancurkan harapan dan ambisi hidup penderitanya.

6. ODHA menunjukkan reaksi yang beragam setelah menerima diagnosis HIV positif.

7. Di antara beragam reaksi terhadap diagnosis, terdapat beberapa kasus dimana ODHA menunjukkan suatu perubahan positif pasca trauma yang dialaminya. 8. Belum ada data yang menggambarkan dengan jelas mengenai perubahan


(18)

Beragam reaksi ditunjukkan ODHA setelah menerima diagnosis HIV positif. Ada yang mengalami stres berkepanjangan hingga depresi namun ada pula yang tumbuh dan berkembang (posttraumatic growth). Perbedaan kondisi ini diduga terjadi karena pada dasarnya penyesuaian kondisi pasca trauma dipengaruhi oleh beberapa faktor individual, di antaranya: tipe kepribadian dan trait anxiety pada tiap individu.

Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga, yaitu: tipe kepribadian sebagai variabel independen, dan posttraumatic growth sebagai variabel dependen dan trait anxiety sebagai variabel mediator. Tipe kepribadian dalam penelitian ini merujuk pada dimensi ekstrovert-introvert dari Eysenck. Tipe kepribadian ekstrovert-introvert mengacu pada perbedaan respon, kebiasaan, dan sifat yang ditampilkan individu saat melakukan relasi interpersonal.

Posttraumatic growth pada penelitian ini didefinisikan sebagai seberapa

positif perubahan yang dialami ODHA setelah mendapatkan diagnosis HIV positif. Posttraumatic growth terbagi ke dalam beberapa dimensi yaitu: terjadi peningkatan apresiasi terhadap hidup, menjalin hubungan yang lebih akrab dan lebih bermakna dengan orang lain, peningkatan kekuatan diri, identifikasi terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan perkembangan spiritual. Sementara itu trait anxiety didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk merasakan cemas atas situasi-situasi yang dipersepsikan mengancam dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah umum dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan


(19)

posttraumatic growth pada ODHA? Adapun beberapa pertanyaan spesifik untuk

menjawab rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tipe kepribadian ODHA?

2. Bagaimana gambaran trait anxiety pada ODHA?

3. Bagaimana gambaran posttraumatic growth pada ODHA?

4. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic

growth pada ODHA?

5. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan trait anxiety pada ODHA?

6. Apakah terdapat hubungan antara trait anxiety dengan posttraumatic growth pada ODHA?

7. Apakah terdapat pengaruh mediasi dari trait anxiety dalam hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic growth pada ODHA?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic growth pada ODHA. Selain itu, penelitian ini pun bertujuan untuk mendapatkan data-data empiris sebagai berikut.

1. Memperoleh gambaran tipe kepribadian ODHA. 2. Memperoleh gambaran trait anxiety pada ODHA.


(20)

4. Memperoleh gambaran hubungan antara tipe kepribadian dengan

posttraumatic growth pada ODHA.

5. Memperoleh gambaran hubungan antara tipe kepribadian dengan trait anxiety pada ODHA.

6. Memperoleh gambaran hubungan antara trait anxiety dengan posttraumatic

growth pada ODHA.

7. Memperoleh gambaran pengaruh mediasi dari trait anxiety dalam hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic growth pada ODHA.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif, yaitu jenis penelitian yang menekankan analisanya pada data-data numerikal (angka) dan diolah dengan metode statistika. Desain penelitian yang digunakan ialah desain korelasional. Desain korelasional berupaya untuk menguji hubungan antara 2 variabel atau lebih. Dalam penelitian ini, desain korelasional berupaya untuk menguji hubungan antara variabel tipe kepribadian dengan posttraumatic growth dimana trait anxiety berperan sebagai variabel mediator. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain: Eysenck Personality Inventory (EPI), State Trait

Anxiety Inventory (STAI), dan Skala Posttraumatic Growth. Teknik pengumpulan

data yang digunakan ialah penggunaan kuesioner. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi product moment dan uji deteksi pengaruh mediasi.


(21)

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menggali informasi dan pengetahuan yang memberi manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan empiris untuk menambah informasi di bidang psikologi, khususnya mengenai posttraumatic growth, serta hubungannya dengan tipe kepribadian dan trait anxiety.

2. Manfaat Praktis

Disamping manfaat teoretis, diharapkan hasil penelitian ini juga bermanfaat secara praktis, di antaranya:

a. Bagi ODHA. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada ODHA bahwa mereka dapat tumbuh secara positif meskipun dengan kondisi terinfeksi HIV/AIDS.

b. Bagi konselor, psikolog atau pendamping ODHA. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang intervensi yang tepat guna mengembangkan posttraumatic growth pada diri ODHA dengan mempertimbangkan karakteristik individual seperti tipe kepribadian dan trait anxiety.

c. Bagi masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai HIV/AIDS dan menghapuskan stigma negatif yang berkembang selama ini, bahwa ODHA hanyalah sampah masyarakat. Besar harapan bahwa penelitian ini membawa pemahaman baru kepada masyarakat bahwa


(22)

ODHA pun dapat berkembang secara positif dan ikut berkontribusi dalam kemajuan masyarakat.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Adapun rincian mengenai urutan penulisan dari setiap bab dalam skripsi ini dijabarkan sebagai berikut.

BAB I : Mencakup latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi.

BAB II: Mencakup teori-teori, hasil penelitian terdahulu yang relevan, kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.

BAB III : Mencakup lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data serta analisis data.

BAB IV: Mencakup pemaparan data dan pembahasan data.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Cemara Jalan Gegerkalong Girang No. 52 Bandung. Hal ini didasari oleh beberapa pertimbangan peneliti, terutama yang terkait dengan kemudahan akses untuk menjangkau subjek penelitian, waktu dan biaya. Data yang diperoleh dari pihak yayasan menyebutkan bahwa saat ini terdapat 40 ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara. Dari 40 ODHA yang tergabung dalam program tersebut, data akan diambil dari ODHA yang memenuhi kriteria tertentu.

Adapun kriteria sampel penelitian ini adalah ODHA telah mendapatkan diagnosis HIV positif minimal 6 bulan. Kriteria waktu diagnosis ini berasal dari hasil penelitian Linley & Joseph (2004) yang menunjukkan bahwa posttraumatic

growth terus berkembang seiring berjalannya waktu, sebagian besar terjadi antara

2 minggu hingga 2 bulan pasca kejadian trauma. Tingkat posttraumatic growth dilaporkan stabil setelah periode 6-, 12-, 36-bulan.

Penelitian ini dilakukan terhadap 38 ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive yaitu teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu (Sugiyono, 2011).


(24)

B. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel utama, yaitu tipe kepribadian sebagai variabel independen dan posttraumatic growth sebagai variabel dependen. Selain itu terdapat satu variabel mediator yakni trait anxiety. Di antara ketiga variabel ini akan dicari hubungannya masing-masing, selain itu variabel mediator akan diuji sejauh mana mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisa data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah statistik korelasional product moment dan uji model mediasi dengan metode causal steps pada data yang dikumpulkan melalui kuesioner pengukuran tipe kepribadian, trait anxiety dan posttraumatic growth.

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Posttraumatic Growth

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,

Tipe Kepribadian

(Ekstrovert-Introvert) Posttraumatic Growth


(25)

kuantitatif/statistik, dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2011).

Pendekatan kuantitatif dipilih atas dasar pertimbangan bahwa masalah yang menjadi titik tolak penelitian sudah cukup jelas, hal ini didukung oleh data dokumentasi maupun data hasil penelitian terdahulu. Selain itu sesuai dengan rumusan masalah yang telah diungkapkan di Bab I, peneliti ingin mendapatkan informasi terkait tipe kepribadian, trait anxiety serta posttraumatic growth dari suatu populasi yang belum pernah diteliti sebelumnya, yakni Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasional. Metode korelasional dilaksanakan dengan mengumpulkan data berupa dua variabel atau lebih dari subjek penelitian, untuk kemudian diuji apakah variabel-variabel tersebut memiliki hubungan (Ary et al., 2010). Metode korelasional digunakan untuk mencari hubungan diantara variabel tipe kepribadian, trait anxiety dan

posttraumatic growth.

D. Definisi Operasional

Dalam rangka memberikan arah serta kejelasan dalam penelitian, ada beberapa variabel yang perlu didefinisikan secara operasional terlebih dahulu.

1. Tipe Kepribadian

Pada penelitian ini tipe kepribadian ekstrovert-introvert didefinisikan sebagai perbedaan respon-respon dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan ODHA dalam melakukan relasi interpersonal. Pembagian tipe kepribadian


(26)

ekstrovert-introvert dipandang sebagai dua kutub yang membentuk skala sikap kontinum. Definisi operasional pada variabel tipe kepribadian ekstrovert-introvert menurut Eysenck (1998) bertolak ukur pada tujuh sub dimensi, yaitu sebagai berikut.

a. Activity

Pada sub dimensi ini tipe kepribadian ODHA yang diukur ialah aktivitas secara fisik dan kecepatan dalam bergerak. Nilai tinggi menunjukkan kecenderungan ekstrovert dan nilai yang rendah menunjukkan kecenderungan introvert.

b. Sociability

Sub dimensi ini ditandai dengan adanya rasa membutuhkan kehadiran orang lain, menyukai pesta dan bersenang-senang, cepat akrab, merasa nyaman dalam situasi-situasi sosial. Nilai tinggi menunjukkan kecenderungan ekstrovert dan nilai rendah menunjukkan kecenderungan introvert.

c. Risk Taking

Risk taking ditandai dengan menunjukkan suka akan kehidupan yang

menegangkan, suka akan pekerjaan yang penuh dengan resiko. Nilai tinggi untuk risk taking menunjukkan kecenderungan ekstrovert dan nilai rendah menunjukkan kecenderungan introvert.

d. Impulsiveness

Sub dimensi ini ditandai dengan tindakan tergesa-gesa, kurang pertimbangan, dan kurang berhati-hati dalam membuat keputusan. ODHA


(27)

yang memiliki nilai rendah pada sub dimensi ini cenderung introvert, sedangkan yang memiliki nilai tinggi cenderung ekstrovert.

e. Expresiveness

Expresiveness ditandai dengan kecenderungan umum dari keadaan emosi

yang terbuka dan dinyatakan keluar. Skor tinggi pada expresiveness menunjukkan kecenderungan ekstrovert, sedangkan skor rendah menunjukkan kecenderungan introvert.

f. Reflectiveness

Reflectiveness ditandai dengan ketertarikan akan ide-ide, mawas diri dan

bijaksana. Skor yang tinggi pada reflectiveness menunjukkan

kecenderungan introvert, sedangkan skor rendah menunjukkan ekstrovert. g. Responsibility

Sub dimensi ini ditandai dengan ketelitian, dapat dipercaya, dapat diandalkan, dan serius. Responsibility yang tinggi menunjukkan kecenderungan introvert, sedangkan responsibility yang rendah

menunjukkan kecenderungan ekstrovert.

Kecenderungan tipe kepribadian ekstrovert-introvert dalam penelitian ini dilihat dari jumlah skor total ketujuh sub dimensi di atas. ODHA dengan tipe kepribadian ekstrovert memperoleh skor yang tinggi pada sub dimensi activity,

sociability, risk taking, impulsiveness, expresiveness dan memperoleh skor

yang rendah pada sub dimensi reflectiveness serta responsibility. Sementara itu ODHA dengan tipe kepribadian introvert akan memperoleh skor yang tinggi pada sub dimensi reflectiveness, responsibility dan memperoleh skor yang


(28)

rendah pada sub dimensi activity, sociability, risk taking, impulsiveness serta

expresiveness.

2. Trait Anxiety

Dalam penelitian ini trait anxiety didefinisikan sebagai tinggi rendahnya kecenderungan individu untuk merasakan cemas atas situasi-situasi yang dipersepsikan mengancam dirinya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah skor yang diperoleh responden pada item-item kuesioner trait anxiety. ODHA yang memiliki trait anxiety yang tinggi umumnya menunjukkan sifat mudah cemas dalam menghadapi berbagai permasalahan, khususnya permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan status HIV positif dirinya baik dari segi fisik maupun psikososial.

3. Posttraumatic Growth

Posttraumatic growth pada penelitian ini didefinisikan sebagai seberapa

besar perubahan positif yang dialami ODHA setelah mendapatkan diagnosis HIV positif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah skor yang diperoleh responden pada item-item kuesioner posttraumatic growth. Adapun dimensi perilaku individu yang mengalami posttraumatic growth antara lain terjadi peningkatan apresiasi terhadap hidup, menjalin hubungan yang lebih akrab dan lebih bermakna dengan orang lain, peningkatan kekuatan diri, identifikasi terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan perkembangan spiritual.


(29)

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa skala psikologi. Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tipe kepribadian, trait anxiety, dan posttraumatic growth pada ODHA.

1. Instrumen Tipe Kepribadian

Alat ukur tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Eysenck Personality Inventory (EPI) yang diadaptasi dari instrumen tipe

kepribadian oleh Nurishifa (2008). Hans Jungen Eysenck (1963) mengembangkan sebuah inventori untuk menentukan kecenderungan tipe kepribadian extraversion-introversion dan neuroticism-non neuroticism. EPI terdiri atas 70 item dan terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: 28 item untuk mengukur neuroticism-stabilitas emosi, 31 item untuk mengukur ekstrovert-introvert, dan 11 item sebagai lie scale. Item EPI yang digunakan dalam penelitian ini hanya difokuskan pada dimensi ekstrovert-introvert sesuai dengan area permasalahan yang akan diteliti.

Tabel 3.1.Kisi-kisi Alat Ukur Eysenck Personality Inventory (EPI)

Dimensi Sub Dimensi Indikator No Item

Pertanyaan

Jumlah Item Ekstrovert

-Introvert

Activity - Aktivitas fisik - Kecepatan dalam

bergerak

1, 12, 22, 33 4

Sociability - Kesukaan mencari teman dan bertemu dengan banyak orang

2, 13, 23, 34 4


(30)

mengambil resiko

Impulsiveness - Kecenderungan bertindak secara mendadak - Kurang

menggunakan pertimbangan

5, 11, 16, 26, 32, 37

6

Expressiveness - Pernyataan perasaan - Kemauan

memperlihatkan emosi secara terbuka

6, 17, 27, 38 4

Reflectiveness - Kedalaman berpikir

7, 18, 20, 29, 39

5

Responsibility - Rasa tanggung jawab terhadap tugasnya

9, 19, 30, 40 4

Jumlah Total Item 31

Peneliti membagikan kuesioner kepada subjek yang memenuhi kriteria sampel penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian subjek menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan membubuhkan tanda silang (X) di

bawah pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak”.

Pertanyaan diberikan untuk mengetahui pikiran, perasaan, dan perilaku subjek. Setiap pertanyaan dalam kuesioner tersebut mengandung indikasi sebagai berikut.


(31)

a. ae untuk pertanyaan affiliative extraversion b. ne untuk pertanyaan non affiliative extraversion

Tabel 3.2. Tabel Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI)

Poin Ya Tidak

ae 1 0

ne 0 1

Pengolahan data memperhatikan patokan-patokan yang telah ditentukan yakni: untuk pertanyaan ekstrovert-introvert, subjek dikatakan memiliki kecenderungan ekstrovert bila nilai yang dicapai lebih dari median. Sebaliknya, dikatakan memiliki kecenderungan introvert bila nilai yang dicapai kurang dari sama dengan nilai median.

2. Instrumen Trait Anxiety

Alat ukur trait anxiety yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

The State-Trait Anxiety Inventory (STAI) Form Y dari Spielberg. STAI Form Y

ini terdiri atas 2 bagian. Bagian pertama mengukur state anxiety, sementara bagian kedua mengukur trait anxiety. Masing-masing bagian memiliki 20 pernyataan. Dalam penelitian ini STAI Form Y yang digunakan hanya 20 item pernyataan yang mengukur trait anxiety. Hal ini sesuai dengan fokus permasalahan yang diteliti. Terdapat empat pilihan jawaban untuk setiap pernyataan, mulai dari angka 1 hingga 4. Angka 1 mewakili jawaban tidak pernah, angka 2 mewakili jawaban kadang-kadang, angka 3 mewakili jawaban sering dan angka 4 mewakili jawaban hampir selalu.


(32)

Dari 20 item pernyataan terdapat pernyataan yang mengindikasikan keberadaan kecemasan (presence of anxiety) dan pernyataan yang mengindikasikan ketiadaan kecemasan (absence of anxiety). Untuk item yang mengindikasikan keberadaan kecemasan, tergolong dalam favorable item.

Item-item favorable ini diberikan skor sesuai dengan urutan pilihan jawaban. Jadi skor 4 diberikan pada pilihan jawaban hampir selalu, skor 3 diberikan pada pilihan jawaban sering, skor 2 diberikan pada pilihan jawaban kadang-kadang, dan skor 1 diberikan pada pilihan jawaban tidak pernah. Sementara itu untuk item-item yang mengindikasikan ketiadaan kecemasan

(unfavorable), penilaian dilakukan secara kebalikannya (reversed). Skor 4

untuk pilihan jawaban tidak pernah, skor 3 untuk pilihan jawaban kadang-kadang, skor 2 untuk pilihan jawaban sering, dan skor 1 untuk pilihan hampir selalu.

Tabel 3.3. Tabel Jenis Item pada Kuesioner Trait Anxiety

No Jenis Item Nomor Item

1 Favorable 2, 4, 5, 8, 9, 11, 12, 15, 17, 18, 20

2 Unfavorable 1, 3, 6, 7, 10, 13, 14, 16, 19

Pengukuran trait anxiety pada tiap subjek merupakan skor total dari hasil 20 item pernyataan ini. Jumlah skor total dari seluruh pernyataan trait anxiety minimum 20 dan maksimum 80.


(33)

3. Instrumen Posttraumatic Growth

Alat ukur posttraumatic growth yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan teori posttraumatic growth dari Tedeschi & Calhoun (2004). Alat ukur disusun berdasarkan lima dimensi yang tercakup dalam posttraumatic growth yakni: apresiasi terhadap hidup (appreciation of

life), hubungan dengan orang lain (relating to others), peningkatan kekuatan

diri (personal strength), kemungkinan-kemungkinan baru (new possibilities), dan perkembangan spiritual (spiritual change).

Kuesioner ini terdiri atas 37 pernyataan. Pada kuesioner ini semua item tergolong favorable. Jawaban pada tiap item dipilih subjek dengan membandingkan tingkat perubahan pada pilihan jawaban dengan kondisi perubahan yang ia rasakan.

Tabel 3.4. Kisi-kisi Alat Ukur Posttraumatic Growth

No Dimensi Indikator No Item

Pertanyaan

Jumlah Item

1 Apresiasi terhadap Hidup

Peningkatan apresiasi terhadap hidup

1, 8, 15, 22, 29 5

Perubahan prioritas 2, 9, 16, 23 4 2 Hubungan

dengan Orang Lain

Menjalin hubungan yang lebih akrab dan lebih bermakna dengan orang lain

3, 6, 10, 13, 17, 20, 24, 27, 30, 32, 34, 37

12

3 Peningkatan Kekuatan Diri

Perasaan mampu untuk menghadapi masalah apapun

4, 11, 18, 25, 31, 35

6

4 Kemungkinan-kemungkinan

Identifikasi individu terhadap

kemungkinan-5, 12, 19, 26, 33, 36


(34)

Baru kemungkinan baru dalam hidupnya

5 Perkembangan Spiritual

Peningkatan dalam aspek spiritual

7, 14, 21, 28 4

Jumlah Total Item 37

Disediakan 6 pilihan jawaban untuk tiap pernyataan, dari 0 sampai 5. Angka 0 mewakili jawaban tidak mengalami perubahan pasca peristiwa trauma, angka 1 mewakili jawaban mengalami perubahan dalam tingkat yang sangat rendah pasca peristiwa trauma, angka 2 mewakili jawaban mengalami perubahan dalam tingkat yang rendah pasca peristiwa trauma, angka 3 mewakili jawaban mengalami perubahan dalam tingkat yang sedang pasca peristiwa trauma, angka 4 mewakili jawaban mengalami perubahan dalam tingkat yang besar pasca peristiwa trauma, dan angka 5 mewakili jawaban mengalami perubahan dalam tingkat yang sangat besar pasca peristiwa trauma. Pengukuran posttraumatic growth pada tiap subjek merupakan skor total dari hasil 37 item pernyataan ini. Jumlah skor total dari seluruh pernyataan

posttraumatic growth minimum 0 dan maksimum 185.

F. Proses Pengembangan Instrumen

Peneliti melakukan uji coba instrumen untuk mengukur sejauh mana instrumen penelitian dapat mengungkap dengan tepat gejala-gejala yang akan diukur dan sejauh mana instrumen itu dapat menunjukkan dengan sebenarnya gejala yang akan diukur, baik instrumen tipe kepribadian, instrumen trait anxiety maupun instrumen posttraumatic growth.


(35)

Peneliti melakukan uji coba instrumen kepada 38 ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. Data tersebut kemudian diolah untuk dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Adapun uji coba instrumen dalam penelitian ini bersifat uji coba terpakai. Hal ini berarti pengambilan data dilakukan satu kali, setelah data terkumpul dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Setelah itu data yang diperoleh pada uji coba akan kembali digunakan dalam tahap pengolahan data selanjutnya dengan menghilangkan item-item yang tidak valid ataupun reliabel. Hal ini dilakukan mengingat populasi penelitian dan waktu yang sangat terbatas.

1. Uji Validitas Instrumen

Pengujian validitas instrumen penting untuk dilakukan. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2011). Peneliti menggunakan pengujian validitas isi (content

validity). Validitas isi menggambarkan sejauhmana item-item alat ukur mewakili

komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana item-item tersebut mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar, 2010).

Uji validitas isi diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat expert atau professional judgement. Dalam hal ini setelah instrumen diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli psikologi. Expert judgement dibutuhkan untuk mengetahui apakah item-item alat ukur sudah merepresentasikan sejumlah dimensi yang ingin diukur. Peneliti meminta bantuan kepada dua orang ahli di


(36)

bidang Psikologi Klinis yaitu Sitti Chotidjah, M.Psi dan Kustimah, M.Psi serta seorang ahli di bidang Bahasa Inggris yaitu Welly Ardiansyah, M.Hum. Setelah tahapan di atas dilaksanakan, peneliti melakukan perbaikan terhadap instrumen penelitian dan mengujicobakannya kepada 38 orang sampel penelitian.

Dari ketiga instrumen yang telah dianalisis oleh expert judgement terdapat perbaikan beberapa item pada instrumen tipe kepribadian. Instrumen yang awalnya berjumlah 31 diperbaiki dan pada akhirnya berkurang jumlahnya menjadi 29 item. Sementara kedua instrumen lainnya yakni instrumen trait anxiety dan

posttraumatic growth tidak mengharuskan adanya perbaikan pada item-itemnya.

2. Uji Reliabilitas Item

Reliabilitas merujuk pada suatu pengertian bahwa instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah cukup baik. Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu. Reliabel artinya dapat dipercaya, sehingga dapat diandalkan (Arikunto, 2006). Instrumen yang reliabel cenderung menghasilkan data yang sama dalam waktu yang berbeda.

Pengukuran reliabilitas dihitung dengan koefisien alpha cronbach. Aiken (2002) mengatakan bahwa koefisien alpha cronbach sebesar 0.6 sampai 0.8 dikatakan cukup pada sebuah alat untuk menentukan perbedaan antar kelompok, selama alat itu tidak dipergunakan untuk membandingkan tiap individu dengan individu lainnya. Pembagian koefisien reliabilitas alpha cronbach pun dapat dibedakan sebagai berikut (Guilford 1956: 145).


(37)

Tabel 3.5. Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach

Kriteria Koefisien Reliabilitas α

Sangat Reliabel > 0,900

Reliabel 0,700 – 0,900

Cukup Reliabel 0,400 – 0,700

Kurang Reliabel 0,200 – 0,400

Tidak Reliabel < 0,200

Dengan mengacu pada kategorisasi koefisien reliabilitas alpha cronbach di atas, diperoleh kesimpulan bahwa ketiga instrumen yang diuji cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Adapun hasil pengujian reliabiltas ketiga instrumen penelitian ditampilkan dalam tabel-tabel berikut.

Tabel 3.6. Nilai Reliabilitas Eysenck Personality Inventory

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

,577 29

Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen tipe kepribadian Eysenck

Personality Inventory bernilai sebesar 0,577. Hal ini berarti alat ukur Eysenck

Personality Inventory cukup reliabel.

Tabel 3.7. Nilai Reliabilitas State Trait Anxiety Inventory Form Y-2

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


(38)

Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen State Trait Anxiety Inventory

Form Y-2 untuk menggali variabel trait anxiety bernilai sebesar 0,871. Hal ini

berarti State Trait Anxiety Inventory Form Y-2 reliabel.

Tabel 3.8. Nilai Reliabilitas Skala Posttraumatic Growth

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

,912 37

Koefisien reliabilitas alpha cronbach Skala Posttraumatic Growth bernilai sebesar 0,912. Hal ini berarti Skala Posttraumatic Growth sangat reliabel.

Selain itu tiap item akan dilihat nilai corrected item-total correlation-nya untuk menentukan item-item mana saja yang patut dipertahankan untuk kemudian diikutsertakan dalam pengolahan data berikutnya. Azwar (2010) menyatakan bahwa batas minimal corrected item-total correlation untuk menentukan item tersebut dipertahankan atau dibuang adalah sebesar 0.30; namun jika sebuah item tidak mencapai nilai corrected item total correlation sebesar 0.30 dan jika dihapus akan ada indikator yang terbuang maka kriterianya dapat diturunkan menjadi 0.20. Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, diketahui bahwa terdapat beberapa item yang tidak layak untuk digunakan. Item-item tersebut kemudian tidak diikutsertakan dalam proses pengolahan data berikutnya. Berikut ini tabel yang menunjukkan hasil pengembangan instrumen penelitian.


(39)

Tabel 3.9. Hasil Pengembangan Eysenck Personality Inventory Dimensi Sub Dimensi No Item yang

Layak

No Item yang Tidak Layak

Ekstrovert-Introvert

Activity 1, 12, 22, 33

Sociability 2, 13, 23, 34

Risk Taking 3, 14, 25, 35

Impulsiveness 5, 11, 16, 26, 32, 37 32

Expressiveness 6, 17, 27, 38 17

Reflectiveness 7, 18, 20, 29, 39

Responsibility 9, 19, 30, 40

Tabel 3.10. Hasil Pengembangan State Trait Anxiety Inventory Form Y-2 Jenis Item No Item yang Layak No Item yang Tidak Layak Favorable 2, 4, 5, 8, 9, 11, 12, 15, 17,

18, 20

17

Unfavorable 1, 3, 6, 7, 10, 13, 14, 16, 19 7, 19

Tabel 3.11. Hasil Pengembangan Skala Posttraumatic Growth

Dimensi No Item yang Layak No Item yang Tidak Layak Apresiasi terhadap Hidup 1, 8, 15, 22, 29

2, 9, 16, 23

Hubungan dengan Orang Lain 3, 6, 10, 13, 17, 20, 24, 27, 30, 32, 34, 37

3, 17, 20

Peningkatan Kekuatan Diri 4, 11, 18, 25, 31, 35 4, 35 Kemungkinan-kemungkinan

Baru

5, 12, 19, 26, 33, 36


(40)

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2011). Adapun pertimbangan menggunakan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data didasari oleh beberapa alasan di antaranya: jumlah subjek penelitian yang cukup banyak sehingga dalam rangka mengefisienkan waktu, digunakanlah kuesioner agar data dapat terkumpul dengan lebih efektif. Kuesioner yang dibagikan disertai dengan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian juga pertanyaan yang berkaitan dengan data diri dan data-data demografis responden.

H. Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan hasil uji asumsi. Jika hasil asumsi menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan linier maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik parametrik. Namun jika hasil uji asumsi menunjukkan data tidak berdistribusi normal atau linear maka teknik statistik yang digunakan ialah teknik statistik nonparametrik.

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS

version 15.0 for Windows dengan metode uji One-Sample


(41)

memiliki nilai Assym. Sig (2-tailed) > 0,05. Berikut ini tabel hasil perhitungan uji normalitas.

Tabel 3.12. Hasil Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Tipe Kepribadian

Trait Anxiety

Posttraumatic Growth

N 38 38 38

Normal Parameters(a,b) Mean 11,8421 38,1053 111,6842

Std. Deviation 3,46821 7,01269 20,69091

Most Extreme Differences Absolute ,219 ,142 ,214

Positive ,219 ,142 ,130

Negative -,088 -,088 -,214

Kolmogorov-Smirnov Z 1,348 ,873 1,318

Asymp. Sig. (2-tailed) ,053 ,432 ,062

a Test distribution is Normal. b Calculated from data.

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig

2-tailed) dari variabel Tipe Kepribadian, Trait Anxiety¸dan Posttraumatic

Growth masing-masing sebesar 0.053, 0.432, dan 0,062. Ketiganya lebih

besar dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa data dari ketiga variabel berdistribusi normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk melihat adakah hubungan secara linier antara variabel tipe kepribadian dengan posttraumatic growth, tipe kepribadian dengan trait anxiety, dan trait anxiety dengan posttraumatic

growth.

Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada satu variabel akan cenderung diikuti oleh perubahan variabel lainnya dengan membentuk garis linear. Suatu hubungan dikatakan linear apabila adanya


(42)

kesamaan variabel, baik penurunan maupun kenaikan yang terjadi pada kedua variabel tersebut

Pada penelitian ini uji linearitas dilakukan dengan bantuan SPSS version

15.0 for Windows. Sepasang data dapat dikatakan memiliki hubungan yang

linear apabila memiliki nilai Sig. Linearity < 0,05. Hasil perhitungan uji linearitas variabel dalam penelitian ini ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 3.13. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Posttraumatic Growth

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. PTG * TIPE

KEPRIBADIAN

Between Groups

(Combined)

12099,711 9 1344,412 10,064 ,000

Linearity 2778,948 1 2778,948 20,802 ,000

Deviation from

Linearity 9320,763 8 1165,095 8,721 ,000

Within Groups 3740,500 28 133,589

Total 15840,211 37

Hasil perhitungan dalam tabel di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,000. Angka ini lebih kecil daripada 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic

growth linier.

Tabel 3.14. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Trait Anxiety

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. TRAIT ANXIETY * TIPE KEPRIBADIAN Between Groups (Combined)

1414,079 9 157,120 10,849 ,000

Linearity 569,325 1 569,325 39,312 ,000

Deviation from

Linearity 844,754 8 105,594 7,291 ,000

Within Groups 405,500 28 14,482


(43)

Hasil perhitungan dalam tabel di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,000. Angka ini lebih kecil daripada 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian dengan trait anxiety linier.

Tabel 3.15. Hasil Uji Linearitas antara Trait Anxiety dengan Posttraumatic Growth

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. PTG* TRAIT

ANXIETY

Between Groups

(Combined) 13105,877 13 1008,144 8,849 ,000

Linearity 1998,070 1 1998,070 17,538 ,000

Deviation

from Linearity

11107,808 12 925,651 8,125 ,000

Within Groups 2734,333 24 113,931

Total 15840,211 37

Hasil perhitungan dalam tabel di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,000. Angka ini lebih kecil daripada 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara trait anxiety dengan posttraumatic

growth linier.

2. Uji Korelasi

Setelah diuji normalitas serta linearitasnya, data menunjukkan distribusi yang normal dan linier, maka selanjutnya data dianalisis menggunakan statistika parametrik teknik korelasi product moment. Uji korelasi ini digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel independen, mediator dan dependen. Uji korelasi product moment akan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS


(44)

version 15.0 for Windows. Adapun rumus dari teknik korelasi product moment ini

adalah sebagai berikut.

rP = � −

� 2 − 2 � 2 − 2

Keterangan:

rp : Koefisien korelasi product moment

N : Jumlah sampel

X : Skor rata-rata dari X

Y : Skor rata-rata dari Y

Setelah diketahui koefision korelasinya, maka langkah selanjutnya ialah menginterpretasikan koefisien korelasi tersebut sebagai berikut.

0.00 – 0.199 : sangat rendah

0.20 – 0.399 : rendah

0.40 – 0.599 : sedang

0.60 – 0.799 : kuat

0.80 – 1.000 : sangat kuat


(45)

3. Uji Signifikansi

Uji signifikansi dilakukan untuk menguji apakah hubungan yang ditemukan berlaku untuk seluruh populasi atau tidak (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini uji signifikansi dilakukan dengan cara mengkonsultasikan angka Sig. Dengan tingkat

kesalahan α = 0,05. Apabila nilai Sig. hubungan kedua variabel tersebut < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan, artinya koefisien korelasi tersebut dapat berlaku pada populasi dimana sampel diambil (H1 diterima).

4. Uji Deteksi Pengaruh Mediasi

Suatu variabel disebut variabel mediator jika variabel tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan prosedur causal steps yang dikembangkan oleh Baron & Kenny (1986). Dalam pengujian causal steps, peneliti harus mengestimasi tiga persamaan regresi sebagai berikut.

a. Persamaan regresi sederhana variabel mediator (M) pada variabel independen (X).

b. Persamaan regresi sederhana variabel dependen (Y) pada variabel independen (X).

c. Persamaan regresi berganda variabel dependen (Y) pada kedua variabel independen (X) dan mediator (M).

Berdasarkan hasil estimasi ketiga model regresi tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk tercapainya mediasi. Pertama, variabel


(46)

independen harus signifikan mempengaruhi variabel mediator pada persamaan pertama. Kedua, variabel independen harus signifikan mempengaruhi variabel dependen pada persamaan kedua. Ketiga, variabel mediator harus signifikan mempengaruhi variabel dependen pada persamaan ketiga. Mediasi terjadi jika pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen lebih rendah pada persamaan ketiga dibandingkan pada persamaan kedua (Baron & Kenny, 1986).

Pengujian hipotesis mediasi dapat dilakukan dengan prosedur yang dikembangkan oleh Sobel yang dikenal dengan Uji Sobel (Sobel Test). Uji Sobel dilakukan dengan cara menguji kekuatan pengaruh tidak langsung variabel independen (X) kepada variabel dependen (Y) melalui variabel mediator (M). Pengaruh tidak langsung X ke Y melalui M dihitung dengan cara mengalikan jalur

X → M (a) dengan jalur M → Y (b) atau ab. Jadi koefisien ab = (c –c’), dimana c

adalah pengaruh X terhadap Y tanpa mengontrol M, sedangkan c’ adalah

koefisien pengaruh X terhadap Y setelah mengontrol M. Standar error koefisien dan ditulis dengan� dan � , sementara � menggambarkan besarnya standar error tidak langsung (indirect effect). � dihitung dengan rumus berikut.

� = 2� 2+ 2� 2

Keterangan:

: Standar error tidak langsung

: Koefisien regresi tidak terstandar yang menggambarkan pengaruh X terhadap M


(47)

: Koefisien regresi tidak terstandar yang menggambarkan pengaruh M terhadap Y

: Standar error dari koefisien

: Standar error dari koefisien

Untuk menguji signifikansi pengaruh tidak langsung, maka kita perlu menghitung nilai t dari koefisien ab dengan rumus sebagai berikut.

t = �

Nilai t hitung ini dibandingkan dengan t tabel dan jika t hitung lebih besar dari nilai t tabel (+1,96) atau lebih kecil dari t tabel (-1,96) maka disimpulkan bahwa terjadi pengaruh mediasi. Tes Sobel dapat dihitung dengan bantuan kalkulator online yang dapat diakses di http://quantpsy.org/sobel/sobel.htm dengan memasukkan angka-angka di atas.


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Secara umum ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung memiliki kecenderungan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dalam jumlah yang hampir seimbang. ODHA dengan tipe kepribadian ekstrovert tampak lebih bersemangat, suka menjalin relasi, mudah bergaul, dan senang berbagi pengalaman dengan orang lain. Sementara itu ODHA yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian introvert lebih tertutup kepada orang lain dan hanya bersedia menceritakan kondisi mereka pada teman terdekat.

2. ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung secara umum memiliki kecenderungan trait anxiety yang rendah. ODHA dengan trait anxiety yang rendah menunjukkan kemampuan menilai situasi yang mengancam terkait status HIV positifnya secara objektif dan berespon sesuai dengan besarnya ancaman pada situasi tersebut.

3. Secara umum ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung merasakan adanya posttraumatic growth dalam tingkat sedang. ODHA ini merasakan adanya perubahan psikologis yang sifatnya positif sebagai hasil dari proses perjuangan menghadapi situasi-situasi hidup yang menantang pasca hasil diagnosa HIV positif, meskipun tidak terlampau


(49)

tinggi. Mereka merasakan adanya perubahan diantaranya peningkatan apresiasi terhadap hidup, hubungan yang lebih berkualitas dengan orang lain, peningkatan kekuatan diri, menemukan kemungkinan-kemungkinan yang baru, serta perkembangan pada aspek spiritual.

4. Terdapat hubungan yang positif dan tergolong sedang antara tipe kepribadian ekstrovert-introvert dengan posttraumatic growth pada ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. ODHA dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung mengalami postraumatic

growth yang lebih tinggi dibandingkan dengan ODHA yang memiliki tipe

kepribadian introvert.

5. Terdapat hubungan yang negatif dan tergolong sedang antara tipe kepribadian ekstrovert-introvert dengan trait anxiety pada ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. ODHA yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert cenderung memiliki trait anxiety yang rendah. Sementara ODHA dengan tipe kepribadian introvert cenderung memiliki trait

anxiety yang tinggi.

6. Terdapat hubungan yang negatif dan tergolong rendah antara trait anxiety dengan posttraumatic growth pada ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. ODHA yang memiliki trait anxiety rendah cenderung mengalami posttraumatic growth yang tinggi. Sementara itu ODHA yang memiliki trait anxiety tinggi cenderung mengalami


(50)

7. Tidak terdapat pengaruh trait anxiety sebagai variabel mediator dalam hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic growth pada ODHA yang tergabung dalam program pendampingan Rumah Cemara Bandung. Hal ini disebabkan karena hubungan antara tipe kepribadian dengan posttraumatic

growth bersifat langsung sehingga trait anxiety sebagai variabel mediator

tidak memperkuat ataupun memperlemah hubungan diantara keduanya.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa rekomendasi yang diberikan peneliti adalah sebagai berikut.

1. Bagi ODHA

ODHA diharapkan dapat mengembangkan sikap optimis dan tidak berputus asa atas status HIV positifnya. Penelitian ini membuktikan bahwa ODHA pun memiliki kesempatan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara positif.

Posttraumatic growth selain membawa dampak positif bagi diri sendiri juga

bagi orang-orang disekitar ODHA. ODHA dapat ikut berkontribusi bagi lingkungannya dengan mengembangkan bakat dan minatnya di bidang tertentu.

2. Bagi Konselor, Psikolog atau Staf Pendamping

Konselor, psikolog atau staf pendamping dapat membantu ODHA dengan mendampingi mereka saat menjalani masa-masa sulit mulai dari saat menerima berita bahwa mereka terinfeksi HIV/AIDS hingga memfasilitasi


(51)

mereka untuk dapat tumbuh secara positif sesuai dengan tipe kepribadian dan karakteristik individual yang melekat pada masing-masing ODHA.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peran trait anxiety sebagai variabel mediator dalam hubungan antara tipe kepribadian dan posttraumatic growth dapat ditinjau lebih mendalam jika jumlah subjek penelitian yang terlibat lebih besar. Faktor individual lain seperti proses kognitif dapat dipertimbangkan untuk mengkaji fanomena


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullatif, Q. (2006). “Effects of trait anxiety and cognitive appraisals on emotional reactions to psychological and physical stressors.” Graduate School Theses and Dissertations. Paper 2432.. Tampa: University of South

Florida.

Affleck, G & Tennen H. (1996). “Construing Benefits from Adversity: Adaptational Significance and Dispositional Underpinnings”. Journal of Personality [Online], 64, (4), 899-921. Tersedia: dionysus.psych.wisc.edu/lit/articles/AffleckG1996a.pdf [8 November 2011]. Aiken, L.R. (2002). Psychological Testing and Assessment. New York: Allyn &

Bacon

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of

mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.

Anggrainy, D. (2009). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Kompetensi

Sosial pada Orangtua yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Ary, D., Jacobs, L. C. & Sorensen, C. R. (2010). Introduction to Research in

Education. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Asgari, Yasmin. (2002). Relationship between Anxiety and Other Personality

Traits among Students in a Malaysian University. Tesis pada Universiti

Putra Malaysia. Tersedia:

http://psasir.upm.edu.my/9289/1/FPP_2002_14_A.pdf [7 Desember 2012].

Aspinwall, L. G. (1998). “Rethinking the role of positive affect in self

-regulation.” Motivation and Emotion [Online], 22, (1), 1-32. Tersedia:

http://www.springerlink.com/content/q7772570m50331m6/ [29 Desember 2011].

Astuti, A. & Budiyani, K. (2010). Hubungan antara Dukungan Sosial yang

Diterima dengan Kebermaknaan Hidup pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) [Online]. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas

Mercubuana Yogyakarta. Tersedia: http://psi.mercubuana-yogya.ac.id/.../Agustus_2010_K. [30 September 2012]


(53)

Bakelaar, S. Y et al. (2011). “HIV as an index stressor for PTSD: challenges and

pitfalls in applying DSM criteria”, African Journal of Psychiatry,14,

259-261.

Baron, R. M. & Kenny, D. A. (1986). “The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and

Statistical Considerations.” Journal of Personality and Social Psychology,

51, (6), 1173-1182.

Baum, A. & Mundy, E. (2004). “Medical disorder as a cause of psychological trauma and posttraumatic stress disorder”. Current Opinion in Psychology,

17, 123-127.

Brown, M. (2008). The Naked Truth: Young, Beautiful, and (HIV) Positive. New

York harper Collins e-books. Tersedia:

http://library.nu/docs/1T0YRK2H4I/The%20Naked%20Truth%3A%20You ng%2C%20Beautiful%2C%20and%20%28HIV%29%20Positive. [27 Desember 2011].

Calhoun, L. G. & Tedeschi, R. G (Eds.). (2006). Handbook of Posttraumatic

Growth. New York: Psychology Press.

Catalan, J. (Eds). (1999). Mental Health and HIV Infection: Psychological and

Psychiatric Aspects. London: UCL Press Tersedia: http://library.nu/docs/HPA0L62KSR/Mental%20Health%20and%20HIV%2 0Infection%20%28Social%20Aspect%20of%20Aids%20Series%29. [11 Desember 2011].

Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Collein, I. (2010). Makna Spiritualitas pada Pasien HIV/AIDS dalam Konteks

Asuhan Keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis

pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Depok: tidak diterbitkan.

Collins, R. L. et al. (2001). “Changes in correlates in a national probability

sample”. Health Psychology, 20, 351-360.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Pedoman Nasional

Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan bagi ODHA: Buku Pdoman untuk Petugas Kesehatan dan Petugas Lainnya. Jakarta: Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Situasi HIV/AIDS di

Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Departemen


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullatif, Q. (2006). “Effects of trait anxiety and cognitive appraisals on

emotional reactions to psychological and physical stressors.” Graduate

School Theses and Dissertations. Paper 2432.. Tampa: University of South

Florida.

Affleck, G & Tennen H. (1996). “Construing Benefits from Adversity:

Adaptational Significance and Dispositional Underpinnings”. Journal of

Personality [Online], 64, (4), 899-921. Tersedia: dionysus.psych.wisc.edu/lit/articles/AffleckG1996a.pdf [8 November 2011]. Aiken, L.R. (2002). Psychological Testing and Assessment. New York: Allyn &

Bacon

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of

mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.

Anggrainy, D. (2009). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Kompetensi

Sosial pada Orangtua yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Ary, D., Jacobs, L. C. & Sorensen, C. R. (2010). Introduction to Research in

Education. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Asgari, Yasmin. (2002). Relationship between Anxiety and Other Personality

Traits among Students in a Malaysian University. Tesis pada Universiti

Putra Malaysia. Tersedia:

http://psasir.upm.edu.my/9289/1/FPP_2002_14_A.pdf [7 Desember 2012].

Aspinwall, L. G. (1998). “Rethinking the role of positive affect in self

-regulation.” Motivation and Emotion [Online], 22, (1), 1-32. Tersedia:

http://www.springerlink.com/content/q7772570m50331m6/ [29 Desember 2011].

Astuti, A. & Budiyani, K. (2010). Hubungan antara Dukungan Sosial yang

Diterima dengan Kebermaknaan Hidup pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) [Online]. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas

Mercubuana Yogyakarta. Tersedia: http://psi.mercubuana-yogya.ac.id/.../Agustus_2010_K. [30 September 2012]


(2)

Bakelaar, S. Y et al. (2011). “HIV as an index stressor for PTSD: challenges and

pitfalls in applying DSM criteria”, African Journal of Psychiatry,14,

259-261.

Baron, R. M. & Kenny, D. A. (1986). “The Moderator-Mediator Variable

Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and

Statistical Considerations.” Journal of Personality and Social Psychology,

51, (6), 1173-1182.

Baum, A. & Mundy, E. (2004). “Medical disorder as a cause of psychological

trauma and posttraumatic stress disorder”. Current Opinion in Psychology,

17, 123-127.

Brown, M. (2008). The Naked Truth: Young, Beautiful, and (HIV) Positive. New

York harper Collins e-books. Tersedia:

http://library.nu/docs/1T0YRK2H4I/The%20Naked%20Truth%3A%20You ng%2C%20Beautiful%2C%20and%20%28HIV%29%20Positive. [27 Desember 2011].

Calhoun, L. G. & Tedeschi, R. G (Eds.). (2006). Handbook of Posttraumatic

Growth. New York: Psychology Press.

Catalan, J. (Eds). (1999). Mental Health and HIV Infection: Psychological and

Psychiatric Aspects. London: UCL Press Tersedia: http://library.nu/docs/HPA0L62KSR/Mental%20Health%20and%20HIV%2 0Infection%20%28Social%20Aspect%20of%20Aids%20Series%29. [11 Desember 2011].

Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Collein, I. (2010). Makna Spiritualitas pada Pasien HIV/AIDS dalam Konteks

Asuhan Keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis

pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Depok: tidak diterbitkan.

Collins, R. L. et al. (2001). “Changes in correlates in a national probability

sample”. Health Psychology, 20, 351-360.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Pedoman Nasional

Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan bagi ODHA: Buku Pdoman untuk Petugas Kesehatan dan Petugas Lainnya. Jakarta: Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Situasi HIV/AIDS di

Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Departemen


(3)

Dibb, B. & Karmalesh, T. (2012). “Exploring positive adjustment in HIV positive

African women living in the UK.” AIDS Care [Online], 24, 143-148.

Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3259621/. [30 September 2012]

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. (2011).

Perkembangan HIV/AIDS sampai dengan Triwulan II tahun 2011 [Online}.

Tersedia:

http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=content&m=view&id=67. [5 Desember 2011].

Djauzi dkk. (1999). Aspek Psikososial AIDS [Online]. Tersedia: http://www.jacinetwork.org/index.php?option=com_content&view=article&

id=62:aspek-psikososial-aids&catid=42:immunodeficiency--hiv&Itemid=68. [24 Mei 2012].

Eysenck, H. J. (1998). Dimensions of Personality. New Jersey: Transaction Publishers.

Guilford., J. P. (1956). Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Inc.

Hall, B. (1990). “The struggle of the diagnosed terminally ill person to maintain

hope. Nursing Science Quaterly, 3, 177-184.

Hall, C. & Linzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. Canada: John Wiley and Sons, Inc.

Ironson, G. H. & Hayward, H. (2008). Do Positive Psychosocial Factors Predict Disease Progression in HIV-1? A Review of the Evidence.” Psychosoms Med [Online], 70, 5, 546-554. Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2614870/. [29 September 2012].

Irwanto. (2012). Haruskah ODHA Buka Status Mereka? [Online]. Tersedia: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/06/21/17182227/Haruskah.ODH A.Buka.Status.Mereka.. [21 November 2012].

Janoff-Bulman, R. (2006). “Schema-Change Perspectives on Posttraumatic

Growth.” Handbook of Posttraumatic Growth. New York: Psychology

Press.

Kholid. (2011). Stigma HIV-AIDS [Online]. Tersedia: http://masmamad.blogspot.com/2011/07/stigma-hiv-aids.html [24 Mei 2012].

Lazarus, R. S dan Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer Publishing Company.


(4)

Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). “Positif Change Following Trauma and

Adversity: A review.” Journal of Traumatic Stress [Online], 17, 11-21.

Tersedia: www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research.../V21N3.pdf [20 Desember 2011].

Loiselle et al. (2011). “Posttraumatic Growth Associated With a Relative’s

Serious Illness.” Fam Syst Health, 29, 64-72.

Loo. (1979). “Note on the relationship between trait anxiety and the Eysenck

Personality Questionnaire.” Journal Clinical Psychology [Online], 35, 110.

Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/422713. [30 September 2012].

Mackinnon, D. P. (2008). Introduction to Statistical Mediation Analysis. New York: Lawrence Erlbaum Associates Taylor & Francis Group.

Madsen, S. R., Miller, D., & John, C. R. (2005). Readiness for organizational change: Do organizational commitment and social relationship in the workplace make a difference? Human Resource Development Quarterly, vol 16 (2), 213-233.

Maslow, A. H. (1970) Motivation and Personality. New York: Harper.

Matthews, G., Deary, I. J. & Whiteman, M. C. (2003). Personality Traits. New York: Cambridge University Press.

Milam, J. (2006). “Positive Changes Attributed to The Challenge of HIV/AIDS”, Handbook of Posttraumatic Growth. New York: Psychology Press.

Mommiesdaily. (2010). Suksma Ratri : “HIV does not reduce my dignity” [Online]. Tersedia: http://mommiesdaily.com/2010/08/30/suksma-ratri-hiv-does-not-reduce-my-dignity/. [24 November 2011].

Nightingale, V. (2009). Process and Outcomes of Posttraumatic Growth in

Individuals with HIV. Desertasi pada Graduate College of Illinois Institute

of Technology. Chicago: tidak diterbitkan.

Nurishifa, A. (2008). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Coping

Strategy Orangtua yang Memiliki Anak Tuna Grahita. Skripsi pada Fakultas

Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Nursalam & Kurniawati, N. D. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien

Terinfeksi. Jakarta: Salemba Medika.

O’Neill et al. (2003). A clinical guide to supportive and palliative care for


(5)

Pozitude. (2012). Anxiety [Online]. Tersedia: http://www.pozitude.co.uk/living-with-hiv/anxiety. [29 September 2012].

Prasetyo. (2007). Family and Children Affected HIV and AIDS in Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan UI.

Rahmah, A. F. & Widuri, E. L. (2011). “Posttraumatic Growth pada Penderita

Kanker Payudara.” Humanitas. 8, (2), 114-128.

Roberts, W & Strayer, J. (1996). Empathy, Emotional Expresiveness, and Prosocial Behavior. Child Development. 67, 449-470

Rulianthina, P. (2008). Strategi Adaptasi Psikososial dan Ekonomi pada Keluarga

ODHA karena Penggunaan Narkoba denga Jarum Suntik (Studi Keluarga dan Anak-anak Rawan HIV dan AIDS Tahun 2007). Skripsi pada Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok: tidak diterbitkan. Schwartzberg, S. S. (1994). Struggling for meanng: How HIV-positive gay men

make sense of AIDS. Professional Psychology: Research and Practice, 24, (4), 483-490.

Shakespeare-Finch et al. (2005). “Personality, Coping and Posttraumatic Growth in Emergency Ambulance Personnel.” Traumatology, 11, (4), 325-334.

Shelarina, R. (2011). Hubungan antara Sumber-sumber Self Esteem pada Tipe

Kepribadian Ekstrovert dan Tipe Kepribadian Introvert dengan Perceived Social Support Pecandu Narkoba dalam Masa Pemulihan di Lingkungan Yayasan Insan Hamdani Rumah Cemara. Skripsi pada Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan Siswanto. 2011. Kisah Yosef Bangkit dari Frustasi Positif HIV [Online]. Tersedia:

http://singkatcerita.blogspot.com/2011/11/kisah-yosef-bangkit-dari frustrasi.html. [17 September 2012]

Spielberger, C. D. (1966). “Theory and Research on Anxiety”. Anxiety and

Behavior. New York: Academic Press, Inc.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suryabrata, S. (2008). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (1996). “The Posttraumatic Growth Inventory:


(6)

455-Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). “Posttraumatic Growth: Conceptual

Foundations and Empirical Evidence.” Journal of Psychological Inquiry,

15, (1), 1-18. Tersedia:

http://ptgi.uncc.edu/PTG%20Conceptual%20Foundtns.pdf [30 September 2011].

Tedstone, J.E & Tarrier, N. (2003) “Posttraumatic stress disorder following

medical illness and treatment.” Clin Psychol Rev. 23, (3), 409-448.

WHO. (2011). Global Health Observatory (GHO) HIV/AIDS [Online]. Tersedia: http://www.who.int/gho/hiv/en/index.html. [23 November 2011].

Wicaksana, I. (2005). Dukungan terhadap ODHA [Online]. Tersedia: http://ceria.bkkbn.go.id/ceria/referensi/media/detail/276. [30 September 2012] .

Winarto, E. (2007). Pentingnya Mekanisme Coping Adaptif untuk Pasien

HIV/AIDS [Online]. Tersedia:

http://nursepoint.blogspot.com/2007/11/pentingnya-mekanisme-koping-adaptif.html [23 November 2011].

Yayasan AIDS Indonesia. (2011). TERAS: Apa itu HIV & AIDS [Online]. Tersedia: http://www.yaids.com/apa_itu_hiv.html. [23 November 2011].

Yoga. (2009). Dampak Psikososial Pengidap HIV/AiDS [Online]. Tersedia: http://www.medicalera.com/arsip.php?thread=1000. [24 Mei 2012].