Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Pemasaran Tenun Patra oleh Arsawan Design

LAMPIRAN

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA

Nama

: I Gusti Made Arsawan / Om Arsawan.

Tempat

: Bale Timbang - Penatih, Denpasar, Bali.

Hari/Tanggal : 22 Februari 2016
: 11.00 – 13.00 WITA

Pukul

-

Pada tanggal 22 Februari 2016, saya datang ke Bale Timbang untuk
mewawancarai Om Arsawan sebagai narasumber, dan saya sebagai peneliti.


P

: Selamat siang Om, ini saya Vega dari UKSW yang mau meneliti
Tenun Patra sebagai bahan skripsi saya.

A

: Selamat siang, ini dari fakultas dan jurusan apa ya?

P

: Saya dari fakultas ilmu komunikasi dengan jurusan periklanan, Om.

A

: Oh, baik. Langsung saja ya, apa yang mau ditanyakan?

P


: Apa benar dulunya adalah tenun endek yang sempat collapse dan
menghilang dari peredaran, kemudian muncul lagi dengan nama baru
yaitu Tenun Patra?

A

: Harus diketahui dulu, sebenarnya endek dan patra tidak ada
hubungannya. Bukan perusahaan endek lalu collapse, lalu muncul
patra. Endek itu nama kain yang umum di Bali, ibunya endek namanya
ikat. Yang disebut collapse itu perusahaannya tapi bukan endek. Dulu

Om memang punya perusahaan namanya Arsawan Design, sebelum
bom (sekitar tahun 2002) memang sebuah perusahaan tenun, begitu
bom, habis dan bangkrut. Jadi tidak ada hubungannya dengan endek,
hanya saja teknik pembuatannya mirip dengan endek tapi tidak sama
sekali ada hubungannya dengan endek yang collapse. Endek itu tidak
gegap gempita lagi seperti era 2000 kebawah. Setelah bom bali I dan
II, seiring dengan pariwisata seiring orang sudah jenuh dan tidak mau
pakai endek, lalu hilang. Lalu sekitar 2010 setelah 10tahun vacuum,
muncul lagi ketika Walikota Denpasar mengkampanyekan kain endek

Bali, kampanye ini yang merangsang munculnya endek. seiring
dengan kemunculan endek, muncullah patra.
P

: Berarti ini adalah 2 hal yang berbeda, Om?

A

: Beda, fenomena endek muncul lagi ini karna kampanye Walikota
Denpasar untuk menghidupkan endek lagi. Jadi pegawai di kota
Denpasar disarankan untuk pakai endek, dan kemudian diwajibkan
pada hari tertentu untuk memakai endek.

P

: Endek itu sendiri apa, Om?

A

: Endek ini adalah tenun yang dicassualkan. Bali punya kain songket,

gringsing, cepuk, kain-kain tradisional yang amat rumit dan penuh
filosofi tidak mungkin dipakai sehari-hari. Untuk bisa dipakai seharihari dan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, muncullah nama
Endek. Saya sendiri tidak meneliti asal muasal nama Endek, tidak
mengerti. Yang jelas, endek adalah tenun yang casual dengan material
katun atau rayon.

P

: Mengingat setelah terjadinya bom Bali, cara untuk membangkitkan
kembali tenun ini bagaimana?

A

: Puncak tenggelamnya adalah saat bom, lalu vacuum dan ada
kampanye dari walikota untuk mebangkitkan lagi endek, diadakan
diklat-diklat, lalu muncul lagi semangat endek. Tapi yang paling deras
produksinya, justru malah di Troso, Jawa Tengah. Karna vacuum itu
tadi, masyarakat di Bali sudah melupakan segi teknik, dan tidak mau
berkecimpung lagi, dan karna tidak mudah membangkitkan industri,
maka banyak yang menjadi pedagang. Motifnya memang motif Bali,

tapi mengerjakannya di Troso. Akhirnya endek naik lagi di
masyarakat, tetapi langsung dilihat dari produknya bukan naik karna
berproduksi lagi.
Pada

intinya,

fenomenanya

adalah

endek

ini

naik

karna

dikampanyekan, orang harus pakai dan mencintai endek. Saking

banyaknya permintaan, tidak ada produksi yang mencukupi, maka
produk itu dibuat di Jawa dan dikirim lagi ke Bali. Ini yang disebut
endek saat ini. Untuk mengcover kebutuhan masyarakat Bali, endek
ini didatangkanlah dari Jawa.
P

: Lalu pada saat apa Tenun Patra mulai muncul?

A

: Ya saat itulah Tenun Patra muncul, untuk mengimbangi. Saya
sebagai pelaku, berpikir bahwa masa sih kita tidak bisa membuat
sesuatu yang punya ciri yang memang benar-benar unik? Karna endek
memiliki gimik yang begitu-begitu saja. Bentuk wajik yang memang
adalah basic teknik yang dihasilkan dari endek yang pasti begitu.

A

: Keluar dari pembahasan soal endek, sebelum tahun 2001 atau 2002
saya punya perusahaan namanya Arsawan Design, itu mengerjakan

kain tenun yang tekniknya mirip endek, tetapi tidak dipasarkan untuk
pasar lokal di Bali dan Indonesia. Pasarnya untuk pasar orang Jepang
yang datang berwisata ke Bali sebelum bom. Ini murni untuk giftorang

Jepang yang dilayani untuk souvenir. Basic tekniknya meminjam dari
endek, visualnya menyesuaikan dengan karakter market orang Jepang.
Misalkan dia suka kucing atau ikan, kemudian ditransfer ditenunan
dengan teknik handpainted atau melukis. Waktu itu, tekniknya sangat
dirahasiakan. Sampai saat inipun teknik itu masih cukup rumit dan
tidak pernah saya membuka teknik itu terlalu vulgar, karna itu rahasia
bisnisnya. Tetapi kuncinya itu adalah perpaduan teknik endek dengan
handpainted, dipadukan dengan solet, dipadukan dengan celup,
kemudian teknik itu diramu tetapi pakemnya adalah pakem tenun ikat.
Karna menggunakan ATBM efeknya mirip ikat, bedanya ini sudah
tidak lagi geometris, patternnya sudah bisa kemana-mana, karna
pakemnya sudah ditabrak. Sudah tidak lagi 100% mengikuti pakem
tenun ikat atau endek. karna pakemnya berbeda, maka namanya juga
berbeda. Apa dong namanya? Namanya Tenun Patra. Seperti sebuah
genre baru dalam dunia tenun menenun.
P


: Patra itu artinya apa?

A

: Patra adalah ornamen, yang saya anggap sebagai motif. Tenunan
yang bermotif bebas. Tidak hanya geometri pattern, tetapi apapun bisa
dipatrakan.

P

: Dengan munculnya Tenun Patra ini, respon masyarakatnya
bagaimana?

A

: Pasar kaget, karna harga endek berkisaran 100 sampai 200 ribu dan
patra minimal 1 sampai 2 juta. Dan harga ini tidak bisa dijangkau.
Pada waktu itu saya juga berpikir bahwa ini karya eksperimental yang
hanya mengikuti situasi endek naik, bagaimana kalau dimunculkan

patra. Juga karna walikota saat itu menyarankan agar Denpasar
mempunyai tenun yang cukup mewakili. Yang namanya mewaikili

kan harus unik, berkarakter, dan cukup berkelas. Akhirnya keterusan
eksperimen ini, laku tidak laku ya harapannya itu milik Denpasar,
dibeli oleh kalangan pemerintahan disini. Ternyata disini malah tidak
laku, mungkin karna kemahalan atau apa, yang jelas tidak ada yang
beli.
P

: Kemudian apa yang dilakukan Om Arsawan?

A

: Ya artinya bukan itu pasarnya. Saya pikir yang akan beli adalah
orang Denpasar, Pak Walikota beserta jajarannya. Ternyata bukan itu,
pasarnya justru malah ketinggian. Yang beli adalah mereka yang
menganggap bahwa kain ini layak untuk konsumsi menteri dan
presiden. Yang pakai waktu itu SBY, Jokowi, JK, Habibie, jajaran
menteri semua yang pakai.


P

: Bagaimana bisa sejauh itu? Apakah para menteri itu yang datang
kesini untuk membeli kain tenun patra?

A

:

Bukan mereka yang datang, justru mungkin mereka tidak tau

produksinya disini. Tetapi ada orang-orang tertentu yang punya
apresiasi terhadap kain ini, dan langsung beli banyak lalu kasih ke
relasi dia. Nah mungkin relasi dia inilah yang ada dikelas tinggi.
P

: Lalu dimana letak perbedaan endek dan patra?

A


: Karena orang Bali sudah sering melihat kain tenun, ya bisa dibilang
mirip-mirip lah. Tapi setelah melihat patra, ya bisa membedakan.
Hanya saja pasar kaget dengan bahan yang hampir mirip, kenapa
harganya beda jauh. Ini adalah masalah pricing di marketing yang
sensitif. Begitu tidak cocok dengan market ya langsung tidak terserap.
Karna waktu itu saya bikin hanya beberapa lembar, ya tidak peduli

market manapun yang tidak menyerap. Saya bikin hanya 10 lembar, ya
siapa yang mau silahkan.
P

: Bagaimana dengan kemasannya?

A

: Dengan kemasan yang unik, tas dan font dirancang biar langsung
terlihat berkelas. Saya minta teman saya, Om Ayip bantu branding
untuk membuatkan karakter font dan packaging ini. Setelah beberapa
kali uji coba, sampai muncul tulisan emas diatas coklat. Ternyata
benar, begitu orang lihat kotaknya kaget, yang kotaknya saja bisa
mengalahkan harga endek yang di pasar. Kalau ngasih ke menteri kan
nggak enak kalau ecek-ecek. Ini begitu dibuka langsung, wow..

P

: Lalu apakah patra ini akan tetap seperti ini sampai berganti tahun
atau bahkan berganti jaman?

A

: itu baru sekitar 50%, saya mau bikin yang lebih lux lagi. Mungkin
harganya bisa 5 juta, tetapi dikemas lagi supaya kainnya bisa terlihat
lebih mahal. Tentunya dengan mengembangkan motif dan menjaga
kualitas.

P

: Untuk yang lux itu, gambaran seperti apa yang terlintas dipikiran
Om?

A

: Saya sedang memikirkan untuk membuat kelas yang 5 jutaan, dari
segi kemasan, kotaknya langsung dibedakan. Saya juga mau
menantang Om Ayip, bisa tidak bikin design yang begitu orang lihat
langsung kelihatan mahal. Disinilah tantangannya, karna tidak mudah.

P

: Uji coba kemasan ini berapa lama? Lalu bagaimana prosesnya?

A

: Untuk berapa kalinya saya tidak hitung, yang jelas melalui berbagai
langkah sampai akhirnya jadi yang sekarang ini. Ternyata juga dapat

masukan dari lapangan juga, bahan bakunya tidak ada, harus ganti
yang lain cocok atau tidak. Nah seiring dengan kemasan, seiring
dengan produk patra ini, karna itu termasuk kolaborasi antara
packaging, font, branding dan produk yang bagus dan pas, makanya
dia langsung melambung target marketnya. Buat saya, mau disini atau
tidak, yang penting ada yang beli.
P

: Target selanjutnya bagaimana?

A

: Awalnya target saya ya itu, yang penting ada yang beli. Entah disini
atau di luar. Tapi ternyata menguntungkan target yang langsung diatas
ini, yang dibawah langsung ngikut. Di Denpasar mulai pelan-pelan
orang membahas tenun Patra, padahal jauh lebih dulu launching disini.
Sejak tahu menteri-menteri Negara pakai, disini mulai malu-malu
kucing ikutan pakai. Dari situlah Patra mulai ramai dibicarakan
dimana-mana. Fenomena kemunculannya mendadak tapi langsung dia
babat saingan-saingannya.

P

: Kedepannya bagaimana, Om?

A

: Karena saya orang design, saya cuma berpikir bagaimana membuat
riset Patra yang terus menerus sehingga dia tetap unik dan
mempertahankan dikelasnya. Itu yang susah untuk mempertahankan
visual

dan

packagingnya. Tidak mungkin kan terus begitu

packagingnya. Memang akan menguasai posisi bahwa tenun yang
kelasnya 2juta adalah Patra. Tapi tidak bisa berhenti sampai disitu,
pekerja juga butuh naik kelas, butuh income yang lebih. Generasi yang
baru mengisi yang 2juta. Generasi lain mengisi yang 5juta, bahkan
sampai 10juta.
P

: Lalu bagaimana dengan tenun yang seharga 10juta?

A

: Harus bisa mencari mana beda visual dari tenun yang ratusan ribu,
2juta, 5juta, bahkan yang 10juta.

P

: Pembeda dari tiap tenun itu apa?

A

: Prinsipnya, patra ini adalah stilasi, natural yang digayakan. Ornamen
apa saja bisa, kalau tenun ikat itu basicnya geometri. Sekarang sudah
mulai geometri yang digayakan, bikin bunga atau apa lebih
diorganikkan. Sekarang sudah ada usaha para desainer atau penenun
tradisional untuk lebih fleksibel dalam mengikuti perkembangan
jaman. Warna dan motifnya dirubah, supaya anak muda juga mau
pakai. Prinsip Patra sebenarnya sama, karna keluar dari pakem dan
merasa bosan. Endek melakukan perubahan dengan gaya dan pasarnya
sendiri. Karna diwajibkan untuk pakai, berkembanglah motif endek
yang bagus-bagus untuk anak muda dengan harga yang tetap sama.

P

: Lalu untuk apa Patra dikeluarkan?

A

: Endek tetap dijual dengan harga 200ribu, mungkin karna tidak
dibranding atau orang memang tidak punya apresiasi terhadap endek.
Tapi untuk beli kain yang bermerk yang jutaan bahkan belasan juta,
mau bayar. Tapi kok tidak mau beli endek, padahal sama-sama karya
bangsa. Nah disinilah letak kepincangannya, makannya saya
mengeluarkan Patra ini salah satunya untuk menghilangkan kesan
bahwa endek itu murah, jadi harganya langsung mahal. Yang jelas
gengsi, saya tidak akan jual barang murah. Mau orang beli atau tidak,
pokoknya tempat saya paling mahal. Tetapi itu baru niat, tanggung
jawab didalamnya ya harus mementingkan kualitas, apakah motifnya
orang suka, atau packagingnya, atau kesannya, atau percaya terhadap
brandingnya. Atau kalau sudah dipakai memang nyaman, enak,
dingin, lalu begitu orang melihat langsung bilang bagus, kalau perlu

sampai pingsan lihatnya. Saya pikirnya disitu, karna yakin mampu
bisa menciptakannya makanya dijual mahal. Bila perlu semahalmahalnya.
P

: Apakah tenun Patra ini pernah meraih prestasi?

A

: Pernah pameran dan presentasi di Jakarta, presentasi juga di
Bandung,diikutkan lomba di Ganesha Championship Inovation,
pesertanya adalah seluruh jurusan yang tarung bebas untuk
mempresentasikan inovasi baru yang original dan unik. Tenun Patra
ini dipresentasikan dan diadu untuk ajang inovasi award di ITB
Bandung, bisa mendapat medali perak, karna mungkin dinilai punya
konsep dan bisa merevitalisasi tenun lama bangkit. Patra ini
menginspirasi banyak penenun untuk merevitalisasi apa yang dia
punya. Dari situ saya merasa bahwa, usaha dalam membuat packaging
dengan Om Ayip dan juga brandingnya berhasil. Setelah menang
lomba itu tadi, patra ini mulai ditulis di Kompas. Dan patra tidak
pernah promosi karna awalnya hanya eksperimen untuk membuktikan
bahwa Indonesia itu kaya akan ornamen, nah kekayaan ini kalau tidak
diangkat dalam bentuk sesuatu yang baru, dalam bentuk yang diminati
atau dikemas lagi, apa yang kita miliki yang klasik dan yang kuno
ituakan tenggelam. Kebetulan Patra ini sumber inspirasinya adalah
relief.

P

: Bagaimana bisa Om bilang inspirasi Patra adalah relief?

A

: Saya terinspirasi waktu jalan-jalan di Bali bagian utara, di sebuah
candi ada relief orang naik sepeda tapi rodanya bunga matahari.
Berarti kan apapun bisa, tidak ada pakem yang membatasi, kalau kita
kreatif jangan bicarakan soal pakem. Kalau pakem bisa membuat lebih
baik dan tidak mengunci kreatifitas, ya jalankan saja.

P

: Om Arsawan ingin membuat Patra ini paten milik Bali?

A

: Tidak, kalau dibilang punyanya Bali salah juga. Karna Patra ini milik
nusantara. Bali sendiri dipengaruhi oleh banyak ornamen dari China.
Patra itu sudah ada adopsi dari China. Semua motif nusantara itu bisa
jadi tenun Patra. Om tidak bicara bagaimana tekniknya, tapi ornamen
nusantara ini digayakan oleh perusahaan patra sehingga menjadi
sebuah tenunan, namanya Tenun Patra. Untuk Lombok misalnya, bisa
namanya Patra Sasak. Kalau Kalimantan, bisa saja Patra Borneo.
Motifnya juga langsung berubah, makanya harus ada tim riset and
development yang bisa menyusun motif-motif patra Borneo, Lombok,
dan lain-lain. Karna Tenun Patra ini adalah tenun seni nusantara,
kebetulan tenunnya di Bali ya seolah ini milik Bali.

P

: Berapa lama proses dealing untuk packagingnya?

A

: Saya tidak meghitung, karna bekerja sama dengan teman sendiri ya
jalan saja, berdiskusi lalu setuju. Memang sempat beberapa ganti
warna, tapi tidak sampai menghitung berapa lama. Yang lama adalah
risetnya dan ide munculnya, sampai 3tahun.

P

: Awal mula penenunnya ada berapa?

A

: Ada 3, sekarang tambah lagi 2. Tidak banyak karna saya takut kalau
langsung banyak, ya kalau tenun ini langsung bisa diterima oleh pasar.
Karna pasarnya kan kecil, tidak banyak yang mau dengan harga
sekian.

P

: Kalau ada kesalahan pada saat membuat tenun itu bagaimana, Om?

A

: Bagi mereka yang seharihari kerjaannya begitu ya sudah biasa, sudah
tau benang itu kemana larinya.

P

: Lalu

lembar kain itu proses pembuatannya berapa lama dan

bagaimana?
A

: Persiapannya saja 2minggu, dari benangnya digambar dulu,
kemudian dicelup, kalau sudah siap baru dianyam.

P

: Proses pembuatan benangnya bagaimana?

A

: Benangnya itu di jajarkan dulu, setelah itu dihitung sesuai dengan
hitungannya, baru kemudian digambar atau diberi motif pada benang
itu, bukan pada kain.

P

: Pekerjanya sendiri bagaimana? Apakah merasa ada kesulitan terus?

A

: Ya mau tidak mau harus mengerjakan yang begini. Karna orang juga
sudah pada sibuk, harus ada kerjaan. Nah yang mau itu karna dia
memang cinta, cinta dengan yang rumit-rumit.

P

: Lalu para pekerja itu mulai bisa menenun karna memang sudah dari
awal bisa, atau diajarkan dulu?

A

: Om itu suka melihat yang rumit-rumit, suka melihat benang dan
warna-warna. Lama - kelamaan kesenangan itu harus ditularkan, tidak
bisa saya sendiri menenun, akhirnya pertama saya tularkan pada istri
saya. Lalu istri saya menularkan pada teman, atau tetangga, dan juga
tukang masak. Karena dulunya ini adalah restoran, karena sudah bosan
saya ajak menenun. Rumitnya itu saya tularkan ke mereka. Saya
ajarkan ke mereka juga tetap saya gaji.

P

: Lalu bagaimana dengan masalah gaji mereka yang awalnya tukang
masak, jadi penenun?

A

: Gajinya gaji restoran, kemudian bisa menenun. Ada 2 keahlian yang
dimiliki. Yang mau menenun itulah yang jadi penerus. Karna sudah
biasa dan sudah cinta dengan yang rumit, benang-benang itu tidak lagi
rumit bagi mereka.

P

: Ada tidak kesulitan yang dirasakan Om Arsawan selama ini?

A

: Yang paling sulit itu, pertama bikin produksi yang rutin diminati,
setelah itu ada sertifikatnya, tapi karna motifnya ada banyak makanya
tidak berani mengeluarkan sertifikat yang mengklaim bahwa ini
motifnya limited, beda satu dengan yang lain. Cetakan ini sama
motifnnya, warnanya beda-beda. Ada sekitar 30-50 motif dengan
warna yang berbeda.

P

: Sejauh ini sudah ada berapa motif yang dibuat?

A

: Ada 12 waktu launching pertama, sekarang sudah ada banyak. Tapi
lebih banyak motif bunga.

P

: Baiklah Om, cukup untuk wawancaranya. Terimakasih sudah mau
meluangkan waktunya. Nanti kalau ada yang mau ditanyakan lebih
lanjut bisa langsung hubungi Om Arsawan.

A

: Iya, bisa nanti Tanya lewat email atau whatsapp saja ya..

P

: Ok Om, sekali lagi terimakasih.

-

Pada tanggal 23 Agustus 2016, saya melakukan wawancara lanjut melalui
telepon.

P

: Halo, selamat malam Om. Maaf mengganggu waktunya sebentar,
karna ada beberapa pertanyaan lagi yang harus ditanyakan untuk
melengkapi data.

A

: Iya selamat malam, tidak apa-apa langsung tanyakan saja apa yang
perlu saya jawab..

P

: Untuk pemilihan nama Arsawan Design ini awalnya bagaimana?

A

: Awalnya karna selepas kuliah bingung mencari nama, akhirnya pakai
nama sendiri dan ditambah ‘design’ dibelakangnya. Seharusnya ada
lagi huruf ‘s’, tetapi karna sudah terlanjur, ya sudahlah..

P

: Lalu, pertimbangan apa saja yang muncul pada saat Om membuat
perusahaan ini?

A

: Pertimbangannya ya ingin bebas, tidak mau diperintah orang, tidak
mau diperintah atasan, saya tidak mau hidupnya dibatasi. Dasarnya ya
karena ingin mandiri, sempat memiliki pengalaman kerja setelah lulus
namun ingin memiliki jiwa yang bebas, ingin jadi desainer yang mana
bisa melakukan apa saja dengan keahlian tanpa ada tekanan-tekanan
atau target. Yang paling diyakini adalah ini pasti jalan, tanpa diatur
oleh orang, sebenarnya diatur juga oleh langganan, oleh pasar, tetapi
tidak secara langsung. Karena menurut Om kebebasan itu relatif, Om
memilih kebebasan dalam bentuk sebagai pengusaha dalam kebebasan
berpikir, mendesain, dan lainnya.

P

: Mengingat kelas Patra yang akan ditingkatkan lagi, target
penjualannya ke siapa?

A

: Targetnya adalah orang yang memang menghargai kualitas lebih
baik, bisa saja orangnya sama tetapi diberikan suguhan yang berbeda.
Karena mereka pasti mampu dengan kelas-kelas Patra yang baru, tidak
mungkin tidak mampu. Asalkan kualitas produknya bisa mengejar
seleranya.

P

: Lalu selama ini, bagaimana cara Om untuk menentukan harga Tenun
Patra?

A

: Saya cuma pakai feeling kalau itu, karna menurut saya feeling jauh
lebih kuat daripada analisa yang rumit. Karena saya sudah sering
membuktikan menggunakan teori ke dalam pasar, tetapi saya
babakbelur karna belum tentu valid. Untuk orang seni, dapat 50% saja
sudah termasuk bagus. Kalau mencari-cari data untuk melengkapi,
justru itu bahaya. Makanya pakai feeling dan latihan untuk berproses,
melatih diri sampai peka. Sehingga seandainya data tidak begitu
sempurna, bisa dibantu dengan feeling yang kuat.
Nah untuk menambah pertimbangan yang tadi ya, karena kain sekelas
Patra atau bisa ditingkatkan lagi sangat sayang kalau dijual dibawah
5juta kalau lihat isi sakunya mereka. Bagi mereka ini adalah suatu
karya seni warisan budaya, ada tekniknya, kearifan lokal dan konten
filosofinya kan sayang kalau dijual murah apalagi kalau sama dengan
kelas yang sebelumnya. Tentunya akan dibuat dengan bahan baku
yang lebih bagus lagi, dan orang atau pasar menunggu, dan tinggal
kita masuk saja. Kita sebagai desainer harus bisa atur, harga 1 sampai
2juta barangnya seperti ini, 10juta seperti ini, bahkan mau 25juta pun
berbeda lagi. Harga ditentukan dari kemampuan dan pengetahuan
teknik produksi, teknik bahan, dan teknik desain.

Mampu

atau

tidak

mengejar

positioning

yang

ditentukan.

Sepengetahuan Om, nanti kelas 2juta ini akan turun pasarnya, dalam
artian dipakai oleh Dirjen-dirjen, atau kelas-kelas manajer, atau kelas
senior pegawai entah supervisor atau apa. Nah yang 5juta akan tetap
dipakai oleh Menteri.
P

: Untuk menentukan harganya, apakah ada kategori tertentu Om?

A

: Biasanya Om pakaifeeling dalam menentukan harga. Itu dilihat dari
proses pembuatannya mulai pilih dulu benangnya, diukur panjangnya,
dihitung banyaknya untuk tiap lembar terus benang itu digambar,kalau
sudah yamasuk pada proses terakhir yaitu penenunan. Kesulitan dalam
proses pembuatan itu yang jadi perhitungan tersendiri bagi Omuntuk
menentukan harga.

P

: Lalu, kegiatan promosi apa saja yang pernah dilakukan oleh Om
untuk Tenun Patra?

A

: Bisa dibilang tidak pernah, kalau bikin website iya. Pameran juga iya,
di Jakarta waktu awal-awal berdiri. Itu juga karna ada teman
nmengajak ikut pameran, tetapi itu bukan karna keinginan Om. Itu
adalah pameran yang dibiayai.
Pemikiran Om, barang sekelas Patra tidak usah dipamerkan kalau kita
tidak benar-benar tahu barang lain yang ada disitu adalah kelasnya.
Lebih baik pilih-pilih caranya berpromosi. Karna selama ini produksi
Patra sedikit, hanya 50-75 lembar per bulan, dengan produksi yang
sedikit dan pasarnya yang luas kan pasti terserap. Untuk apa kalau ada
promosi lalu ada permintaan tinggi, kami tidak bisa layani? Makanya
lebih baik biarkan saja dipakai oleh orang tertentu yang eksklusif,
sehingga produksinya aman.

P

: Berarti kalau ada orang yang mau beli, tetap datangnya ke Om
Arsawan?

A

: Orang yang beli itu ada yang berupa pemakai langsung, dan ada yang
belinya sebagai pedagang. Kalau sebagai pedagang bisa saja semua
produksi Om dibeli lalu dijual dengan harga retail, Om kasih potongan
ke dia tergantung langganan kelasnya seberapa. Ini adalah orang yang
rutin mengambil sebagai partner. Mau dia jual hanya Tenun Patra atau
ada barang lain, itu terserah.

P

: Untuk Tenun Patra ini sudah memiliki showroom belum?

A

: Belum, kalau sudah semakin besar dan langganan ini tidak habis
mengambil tenun itu, bisa saja Om mulai berpromosi dan membuat
showroom. Langganan Om itu punya showroom dan jaringan dia
sudah besar, menteri-menteri itu. Dia jual tenun dari seluruh
Indonesia, tidak hanya Patra. Ini adalah batu lompatan yang tepat
untuk Patra.

P

: Langganan Om itu tahu Patra darimana?

A

: Dari pameran waktu awal-awal, dan berlanjut sampai sekarang
karena kan dia pedagang, jadi dia mencari sumber barang dagangnya.
Om tidak pernah ikut lagi pameran, karna nanti kalau berbeda kelas
justru dianggap murahan. Nah yang biasa ikut pameranadalah agenagen itu, dengan membawa Patra didalamnya. Dia adalah penampung
barang-barang yang punya kelas, selama dia punya kelas ya tidak jadi
masalah. Karena Om belum punya showroom dan belum punya
kekuatan untuk produksi yang cukup, maka Om mengandalkan agenagen itu. Kalau produksinya bisa sampai 100 lembar, bisa nanti punya

showroom¸karena sampai sekarang sudah 4tahun tidak pernah punya
stock sejak produksi.
P

: Berarti dari Om Arsawan tidak pernah melakukan publikasi sama
sekali ya?

A

: Tidak pernah, tapi kalau orangnya tadi yang melakukan ya Om tidak
tahu. Hanya saja dulu pernah Om mensponsori acara, baru setahun
berdiri. Waktu itu MNC meliput di acara Internasional Salsa di Bali.
Disitu Om diliput ke workshop dan diwawancara, dari situ hubungan
ke orang lain semakin berkembang. Bisa dikatakan ini sebagai media
promosi, karena sejak saat itulah Patra mulai dikenal. Namun seberapa
besar dampaknya, Om tidak terlalu mengerti karena ada orang
mengajak, ya ikut saja.Om bukan tipe orang yang jago berpromosi dan
berstrategi, Tenun Patra ini tumbuh bukan dengan kekuatan strategi
promosi, tetapi murni konsep produknya yang kuat.

P

: Lalu untuk website Tenun Patra apakah itu sudah mulai digunakan?

A

: Tidak, Om sendiri tidak tahu

bahkan tidak pernah membuka.

Sekarang saja Om baru mengerti efeknya apa, baru Om tanya-tanya
web itu bagaimana seperti apa. Om tidak tahu dampak dari web itu
bagaimana, yang jelas paling kuat dampaknya adalah dari mulut ke
mulut. Kayanya kalau dibarengi dengan website atau online bisa
berkembang dengan bagus dan cepat. Tapi Om belum menggunakan
jasa itu, masih belajar.
P

: Visi dari Arsawan Design ini apa Om?

A

: Jelas ada visinya ya, tetapi tidak tertulis. Cuma secara tidak langsung
ya pasti ingin jadi jagoan di ranah tenun. Misinya ya konten filosofi
dan motifnya atau rupanya harus dikejar bagi orang seni rupa. Karna

ini bukan perusahaan yang sangat serius, makanya Om tidak tulis visi
misinya. Tapi ya inginnya menjadi jagoan. Bisa jadi 10tahun lagi
berubah karena keinginan Om juga terus berubah.
P

: Ok, Om sekian dulu wawancaranya. Nanti kalau ada yang perlu
ditanyakan lagi, bisa hubungi Om Arsawan. Terimakasih Om.

A

: Iya bisa aja, langsung saja hubungi.