Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Odapus Usia Dewasa Awal di Yayasan Lupus Indonesia Cabang Jawa Barat.

(1)

x

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat psychological well-being pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat. Psychological well-being fokus pada seberapa besar individu mampu melakukan self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth (Ryff and Singer, 2002). Metode yang digunakan adalah studi deskriptif dengan teknik survei menggunakan kuesioner, pada odapus dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat, sebanyak 93 orang.

Berdasarkan hasil penelitian, 80,6% odapus memiliki derajat psychological well-being rendah. Hal ini menunjukkan bahwa odapus mengalami kesulitan untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain dan juga dengan dirinya. Dengan hambatan ini, odapus akan menghadapi lebih banyak tekanan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya karena kurangnya dukungan sosial serta penolakan dari dalam diri terhadap kondisi yang dialaminya. Saran peneliti adalah mengembangkan dimensi-dimensi psychological well-being pada odapus dengan cara seminar dan training pengenalan diri, mengikuti kegiatan-kegiatan yang sesuai bakat dan minat untuk mengasah kemampuan mereka dan melibatkan diri pada kegiatan Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat.

Kata Kunci: psychological well-being, self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, personal growth, odapus usia dewasa awal.


(2)

xi

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The aim of this study was conducted to describe the degree of psychological well-being in early adulthood of Yayasan Lupus Indonesia Cabang Jawa Barat members. Psychological well-being is defined as to how much an individual is able to perform self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth (Ryff and Singer, 2002). The method used was a descriptive study using a 59 items questionnaire survey technique administered toward 93 members of Yayasan Lupus Indonesia Cabang Jawa Barat who were within the range of early adulthood age.

The study’s result shows 80.6% respondents have a low degree of psychological well-being. Those respondents with a low degree of psychological well-being have difficulties to establish good relationships with others and with himself. With these drawbacks, respondents will face even more pressure in living their daily lives due to a lack of social support and rejection of their own condition. Researcher recommend the respondents to develop dimensions of psychological well-being by attending seminars and training for self-knowledge, following the activities which correspond to their talents and interests to extend their skills further and engage in social events along with any member of the Yayasan Lupus Indonesia Cabang Jawa Barat.

Keywords: psychological well-being, self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, personal growth, early adulthood odapus.


(3)

v

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

1.6 Asumsi ... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Psychological Well-Being ... 24


(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

2.1.1 Dimensi Psychological Well-Being ... 24

1. Self-Acceptance ... 25

2. Positive Relation with Others ... 25

3. Autonomy ... 26

4. Environmental Mastery ... 27

5. Purpose in Life ... 28

6. Personal Growth ... 29

2.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi PWB ... 30

1. Faktor Sosiodemografis ... 30

a. Usia ... 30

b. Status Sosial Ekonomi ... 30

c. Status Marital ... 32

2. Faktor Kepribadian ... 32

a. Extravertion ... 33

b. Agreeableness ... 34

c. Neuroticism ... 34

d. Openness to new experience ... 35

e. Conscientiousness ...36

2.2 Penyakit Lupus ... 37

2.2.1 Penyebab Penyakit Lupus ... 38

2.2.2 Gejala Penyakit Lupus ... 41

2.3 Teori Perkembangan ... 43


(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Prosedur Penelitian ... 46

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 46

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 46

3.3.1 Variabel Penelitian ... 46

3.3.2 Definisi Konseptual ... 46

3.3.3 Definisi Operasional ... 46

3.4 Alat Ukur ... 48

3.4.1 Alat Ukur Psychological Well-Being ... 48

3.4.2 Prosedur Pengisian dan Penilaian... 49

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 51

3.4.4 Validitas Alat Ukur ... 51

3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur ... 52

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 53

3.5.1 Teknik Penarikan Sampel ... 53

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 53

3.6 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 55

4.1.1 Responden Berdasarkan Usia ... 55

4.1.2 Responden Berdasarkan Lama Sakit ... 56


(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

4.1.4 Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 57

4.1.5 Responden Berdasarkan Pendidikan ... 57

4.2 Hasil Penelitian ... 58

4.2.1 Psychological Well-Being ... 58

4.2.2 Tabulasi Silang Psychological Well-Being Dengan Dimensi-Dimensinya ... 58

4.3 Pembahasan ... 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 64

5.2 Saran ... 65

5.2.1 Saran Teoretis ... 65

5.2.2 Saran Praktis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... x

DAFTAR RUJUKAN ... xii


(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi item tiap dimensi Psychological Well-being ... 48

Tabel 3.2 Skor Pilihan Jawaban ... 50

Tabel 3.3 Kategori Skor Psychological Well-Being... 51

Tabel 3.4 Kriteria Validitas ... 52

Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 52

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia ... 55

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Lama Sakit ... 56

Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Status Marital ... 56

Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 57

Tabel 4.5 Responden Berdasarkan Pendidikan ... 57

Tabel 4.6 Psychological Well-Being ... 58


(8)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 22 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ... 46 Bagan 4.1 Values pada Prof. Dr. Ign. Bambang Sugiharto ... 89


(9)

xi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

- LAMPIRAN 1 : ALAT UKUR

- LAMPIRAN 2 : VALIDITAS ALAT UKUR - LAMPIRAN 3 : RELIABILITAS ALAT UKUR


(10)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per April 2013. Disamping itu, paling tidak lebih dari lima juta orang di seluruh dunia terkena penyakit Lupus. Penyakit Lupus menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif (Mardiani, 2013). Para penderita penyakit lupus disebut sebagai orang dengan lupus atau disingkat odapus. Penyakit lupus terjadi akibat produksi antibodi berlebihan, sehingga tidak berfungsi menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh, melainkan justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh. Lupus, atau istilah kesehatannya disebut systemic lupus erythematosus, adalah sejenis penyakit auto-immune. Antibodi odapus justru hiperaktif dan berbalik menyerang organ tubuh yang sehat. Untuk mendiagnosis penyakit ini dengan pasti, diperlukan pemeriksaan darah atau biopsi kulit guna memeriksa antibodi-antibodi yang muncul ketika lupus sedang aktif.

Gejala awal yang terlihat pada penderita lupus bermacam-macam, tergantung sistem tubuh yang terkena (Wallace, 1995). Secara umum, gejalanya adalah demam, rasa lelah berkepanjangan, rambut rontok, dan pegal-pegal otot. Ciri-ciri yang mencolok adalah perubahan pada fisik penderita lupus. Ruam-ruam


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu, lemas, dan kerontokan rambut merupakan ciri yang paling sering terjadi pada penderita lupus. Penyakit lupus tidak bisa dikatakan penyakit keturunan. Hingga kini, tingkat prevalensi penderita lupus akibat faktor genetik hanya mencapai 10%. Faktor yang diduga sangat berperan adalah lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus.

Meski tidak semua odapus sensitif terhadap sinar matahari, namun dianjurkan menghindari paparan sinar matahari secara langsung untuk waktu lama karena kekambuhan penyakit sering terjadi setelah terpapar sinar ultraviolet (Wallace, 1995). Oleh karena itu, penderita lupus dianjurkan ke luar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Selain itu, saat bepergian, penderita memakai sunblock atau sunscreen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Bagi penderita lupus yang penyakitnya sedang aktif, tidak disarankan hamil karena akan mengalami keguguran. Odapus juga dianjurkan menghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen. Jika mengalami kehamilan, maka harus dikontrol dengan teratur.

Kesadaran masyarakat terhadap penyakit lupus semakin berkembang terlihat dari berdirinya Yayasan Lupus Indonesia (YLI) oleh Tiara Savitri pada tahun 1998 di Jakarta. YLI kini telah memiliki cabang di berbagai kota besar di Indonesia seperti Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. YLI berdiri sejak 17 April 1998 dengan dilandaskan visi membangun dan meningkatkan kualitas hidup para odapus dan menjadi media bagi masyarakat umumnya dengan memberikan informasi yang benar dan mengajak masyarakat untuk peduli serta meningkatkan


(12)

Universitas Kristen Maranatha

kesadaran akan pengenalan gejala dan konsekuensi kesehatan akan lupus (Savitri, 2011). YLI bertujuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan terutama mengenai penyakit lupus, meringankan beban penderita lupus, mengumpulkan dana bagi odapus yang memiliki keterbatasan finansial, memperjuangkan kepentingan penderita lupus, dan mendirikan layanan kesehatan.

Sejalan dengan visi YLI utama, YLI pada cabang Jawa Barat juga bertujuan menuangkan bentuk perhatian yang sama dengan YLI utama kepada odapus. Namun dalam kesehariannya, ketua representatif YLI cabang Jawa Barat merasa prihatin atas perilaku anggota-anggotanya. Menurutnya, anggota-anggota tersebut putus asa dengan keadaan dirinya, merasa tidak mampu menjalani kehidupan dengan normal karena penyakit diderita, dan merasa hidupnya selalu dibatasi sehingga tidak dapat sepenuhnya mengaktualisasikan diri. Kondisi tersebut semakin menyulitkan karena anggota tersebut merasa tidak teman untuk berbagi. Ketua representatif mengutarakan bahwa umumnya odapus merasa sebagian besar pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidupnya berpusat pada penyakit lupus yang diderita. Ada yang merasa diperlakukan berbeda oleh lingkungan dibandingkan dengan orang tanpa penyakit lupus.

Padahal komunitas YLI cabang Jawa Barat diharapkan dapat menjadi wadah untuk saling menyemangati. Melalui komunitas ini, para odapus juga diharapkan dapat mengembangkan sikap dan perilaku yang positif dalam menghadapi hambatan yang disebabkan penyakit yang diderita dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, diharapkan dapat merasakan


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

penghayatan yang berbeda mengenai kondisinya dengan menyadari bahwa dirinya tidak sendirian dalam menghadapi penyakit lupus.

Gambaran penyakit lupus, terutama mengenai gejala dan penyesuaian gaya hidup yang harus dilakukan penderitanya mengindikasikan upaya ekstra yang perlu dilakukan oleh odapus dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Kondisi tersebut secara langsung akan memengaruhi bagaimana odapus berinteraksi dengan orang lain, menempatkan diri dalam masyarakat, mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan dan membangun keluarga. Penyesuaian yang dilakukan oleh odapus dalam kehidupannya sehari-hari tergambarkan oleh dimensi-dimensi Psychological Well-Being. Misalnya sikap dan perilaku odapus dalam menerima kondisi kesehatan dan fisik yang berbeda dari orang pada umumnya atau bagaimana odapus berusaha untuk tetap dapat menjalin relasi sosial yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya tanpa merasa rendah diri dalam berelasi.

Setiap odapus akan mengevaluasi peristiwa hidup yang dialaminya. Hasil dari evaluasi tersebut menentukan Psychological Well-Being yang ada pada odapus. Menurut Ryff (1989), Psychological Well-Being merupakan hasil penilaian individu terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya bahwa dirinya mampu melakukan penerimaan diri (Self-Acceptance), mampu menjalin relasi positif dengan orang lain (Positive Relation with Others), mandiri (Autonomy), menguasai lingkungan (Environmental Mastery), memiliki tujuan hidup (Purpose in Life) dan juga pertumbuhan pribadi (Personal Growth).


(14)

Universitas Kristen Maranatha

Psychological Well-Being memberikan manfaat dalam hal kondisi fisik (Vazquez, Hervas, Rahona dan Gomez, 2009). Manfaat tersebut didapatkan individu bila memiliki Psychological Well-Being yang tinggi sehingga individu terbantu dalam mengatasi permasalahan fisik dan juga penyakit, bahkan dengan

Psychological Well-Being yang tinggi, life expectancy seseorang juga dapat meningkat. Pada kasus odapus, Psychological Well-Being yang tinggi akan membantu odapus untuk menangani kondisi fisiknya agar lebih stabil atau dengan kata lain mengurangi frekuensi kambuhnya penyakit lupus yang dideritanya.

Psychological Well-Being juga diperlukan odapus dalam rangka memiliki keadaan psikis yang tenteram dan mampu untuk menerima keadaan dirinya, menjalin relasi dengan sesama, mampu mandiri dan juga mengembangkan diri untuk menjadi lebih baik lagi.

Berdasarkan peranan dan manfaat PWB sebelumnya, peneliti melaksanakan survei awal guna mendapatkan gambaran awal mengenai

Psychological Well-Being beberapa anggota YLI cabang Jawa Barat. Berdasarkan survei awal melalui penyebaran kuesioner yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended questions) yang mewakili 6 dimensi psychological well-being kepada 40 orang anggota di YLI cabang Jawa Barat, sebesar 75% (30 dari 40 orang) odapus dapat menerima kebaikan dan keburukan yang ada di dalam dirinya, tidak mengeluh ataupun merasa tidak puas dengan kehidupannya meskipun memiliki pengalaman kurang menyenangkan, mereka tidak meratapi hal tersebut tetapi tetap menjalani hidupnya dan mencoba untuk selalu bersyukur


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

cabang Jawa Barat merasa terkadang ada rasa marah dan tidak menerima pengalaman tertentu di dalam hidupnya, terkadang merasa sulit untuk mensyukuri hidup dan pemberian Allah ketika mereka merasa bahwa kondisi yang mereka alami adalah bentuk ketidakadilan dari-Nya.

Sebesar 80% (32 dari 40 orang) odapusini merasa mampu membangun rasa percaya dalam menjalin relasi dengan orang lain seperti berbagi dengan rekan-rekan di yayasan ataupun mengutarakan harapan serta cita-cita yang ingin mereka capai meskipun mereka memiliki keterbatasan dan harus bersaing dengan orang yang sehat (Positive Relation with Others). Odapus menilai dengan adanya komunitas odapus tersebut, memberikan dampak positif bagi mereka karena banyak yang merasa mendapat pengalaman dan pelajaran berharga berkat sharing

dari sesama penderita lupus. Anggota yang tadinya merasa sedih dan putus asa berkepanjangan kembali bersemangat berkat rekan-rekan di yayasan yang selalu memberikan masukan dan juga support. Inti keberadaan yayasan dimaknai positif sebagai sarana berbagi dan juga mengembangkan diri karena banyak informasi berguna yang dapat saling menguatkan antar anggota.

Sisanya sebesar 20% (8 dari 40 orang) merasa enggan membuka diri untuk menjalin relasi yang hangat dengan orang lain (Positive Relation with Others). Mereka hanya memiliki beberapa hubungan yang akrab dengan sedikit orang dikarenakan sebagian besar dari mereka merasa akan menjadi beban bagi orang lain ataupun karena merasa takut ditolak dan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari orang yang tidak dapat memahami kondisi mereka. Keikutsertaan di yayasansejauh ini dirasa kurang memiliki pengaruh positif yang


(16)

Universitas Kristen Maranatha

cukup signifikan karena komunikasi hanya sebatas via internet dan kurangnya kegiatan yang secara nyata dilakukan untuk pengembangan diri para anggota.

Sebesar 70% (28 dari 40 orang) odapus merasa dapat mengatur dirinya sendiri dan tidak bersikap konformis dengan lingkungannya, misalnya dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan pemikiran pribadinya meskipun hal itu berbeda dengan pemikiran atau saran dari orang-orang terdekat mereka seperti orang tua atau saudara atau teman (Autonomy). Sedangkan 30% (12 dari 40 orang) sisanya merasa belum cukup mampu untuk bersikap mandiri dalam pendirian maupun pengambilan keputusan dan sering dibantu oleh orang di sekitarnya seperti orang tua dan teman.

Odapus yang merasa dirinya mampu mengatur lingkungan kehidupannya dengan memiliki pekerjaan yang baik serta cukup dapat memenuhi kebutuhan finansialnya (Environmental Mastery) sebanyak 55% (22 dari 40 orang).Sedangkan 45% (18 dari 40 orang) lainnya mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan sehingga belum mampu mencapai target yang ada untuk memenuhi kebutuhan secara finansial sehingga beberapa dari mereka ada pula yang memutuskan untuk tetap tinggal dengan orang tuanya selama mereka masih belum dapat untuk mandiri sepenuhnya.

Sebesar 85% (34 dari 40 orang) odapus merasa dirinya memiliki kejelasan tujuan hidup yang cenderung terfokus pada keinginan untuk tetap mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan, membangun hubungan romantis dan pada akhirnya membangun keluarga yang harmonis. Sebesar 15% (6 dari 40 orang) lainnya memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai namun relatif tidak


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

spesifik.Gambaran tersebut menunjukkan Purpose in Life para odapus di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat. Purpose in Life membuat mereka memiliki sesuatu yang berarti bagi hidup mereka dan memperjuangkan tujuan tersebut bagi diri mereka dalam menjalani kehidupannya.

Odapus di YLI ini yang merasa dirinya terus ingin mengembangkan potensi diri misalnya dengan mengikuti kursus bahasa, banyak membaca dan terbuka pada pergaulan luas salah satunya dengan menjadi anggota komunitas yang dirasa banyak memberikan masukan dan pengetahuan baru untuk pengembangan diri maupun semua pihak (keluarga, teman, rekan kerja) yang berhubungan langsung dengan para odapus (Personal Growth) sebesar 80% (32dari 40 orang). Sedangkan 20% (8 dari 40 orang) sisanya merasa sudah cukup dengan keadaan dirinya saat ini, merasa kehidupannya sudah cukup disibukkan dengan berbagai kegiatan yang sulit untuk mereka pertahankan karena keterbatasan kondisi fisik mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, tergambarkan Psychological Well-Being

dari 40 odapus di YLI cabang Jawa Barat. Di sisi lain, masih banyak anggota YLI cabang Jawa Barat yang belum tergambarkan Psychological Well-Being pada dirinya. Guna mendapatkan gambaran Psychological Well-Being yang menyeluruh anggota YLI cabang Jawa Barat, peneliti memutuskan untuk melaksanakan penelitian mengenai gambaran Psychological Well-Being pada odapus usia dewasa awal di YLI cabang Jawa Barat.


(18)

Universitas Kristen Maranatha 1.2. Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran Psychological Well-Being pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Mengetahui PWB odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Mengetahui PWB odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya berdasarkan dimensi-dimensi PWB.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Memberikan sumbangan informasi bagi disiplin Psikologi dan Psikologi Sosial khususnya mengenai Psychological Well-Being.


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

2. Menjadi sumber referensi peneliti lain yang melaksanakan penelitian mengenai Psychological Well-Being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada odapus usia dewasa awal di YLI cabang Jawa Barat agar mereka dapat mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologisnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis.

2. Memberikan masukan kepada YLI cabang Jawa Barat mengenai dimensi-dimensi yang perlu mendapat perhatian khusus (agar dapat ditingkatkan).

1.5 Kerangka Pemikiran

Menurut Santrock (2002) tugas perkembangan dewasa awal(20-40 tahun) adalah mencapai kemandirian dari segi ekonomi maupun keputusan sehari-harinya. Kemandirian ekonomi umumnya mengarah pada bidang pekerjaan dan penentuan karir. Keputusan mandiri juga berkaitan dengan menjalin hubungan akrab dengan individu lainnya. Jika individu gagal memenuhi tugas perkembangan, ia akan merasa tidak puas dalam hidup, merasa ditolak oleh masyarakat luas, dan berpotensi untuk mendapatkan permasalahan.Pemenuhan tugas perkembangan menjadi salah satu indikator keberhasilan individu dalam menjalankan dan memenuhi ekspektasi masyarakat pada umumnya. Di sisi lain,


(20)

Universitas Kristen Maranatha

proses pemenuhan tugas perkembangan disertai pula dengan berbagai hambatan dan tantangan yang perlu ditanggulangi oleh individu. Hambatan dan tantangan yang ada akan semakin sulit untuk diatasi oleh mereka yang memang secara biologis memiliki keterbatasan atau penyakit tertentu, dalam hal ini orang dengan lupus atau disingkat odapus.

Odapus usia dewasa awal memiliki hambatan yang berbeda jika dibandingkan dengan individu dewasa awal pada umumnya dalam memenuhi tugas perkembangan sebagaimana yang telah dijabarkan. Dilihat dari segi fisik, odapus memiliki keterbatasan energi untuk dapat menjalani aktivitas sehari-hari seperti bekerja, sehingga dapat memersempit kesempatan kerja; bahkan membuat para odapus tidak dapat bekerja sama sekali dan mengaktualisasikan diri mereka melalui berbagai karya dan kegiatan yang sesuai dengan harapan dan aspirasi mereka. Hambatan lain yang dapat dialami oleh odapus adalah menjalin hubungan social, odapus dapat merasa kurang percaya diri untuk memulai relasi baru. Rasa kurang percaya diri ini dipengaruhi kebutuhan odapus akan seseorang yang dapat membantunya menjalani keseharian dengan keterbatasan fisik ketika penyakit kambuh. Lebih jauh lagi, odapus sulit memulai hubungan intim dengan orang lain dikarenakan rasa takut akan menjadi beban bagi mereka yang berhubungan dengannya.

Berbagai kondisi yang mungkin dialami oleh odapus dapat memengaruhi penilaian terhadap kehidupan yang dijalani. Hal ini disebut Psychological Well-Being, yaitu penilaian seseorang terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungannya, dan memiliki tujuan dalam hidup (Ryff, 1989).

Psychological Well-Being memiliki enam dimensi yaitu penerimaan diri (Self Acceptance), pembentukan hubungan sosial (Positive Relation with Others), kemandirian dalam berpikir dan bertindak (Autonomy), kemampuan untuk mengelola lingkungan yang kompleks sesuai dengan kebutuhan pribadi (Environmental Mastery), tujuan hidup (Purpose in Life)dan yang terakhir adalah pertumbuhan dan perkembangan sebagai pribadi (Personal Growth) (Ryff, 1989)).Psychological Well-Being pada odapus dapat dilihat dari keenam dimensi tersebut.

Self-Acceptance merupakan dimensi Psychological Well-Being pada individu berbentuk penilaian sejauh mana dirinya melakukan penerimaan diri yang baik, yaitu ditandai dengan individu yang menerima diri apa adanya, menerima kelebihan dan kekurangan dirinya serta memiliki perasaan positif mengenai masa lalu (Ryff, 1989). Odapus di Yayasan Lupus Indonesia yang memiliki kemampuan tersebut memungkinkannya untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Mereka menerima keadaan dirinya di saat penyakitnya kambuh sehingga aktivitas terhambat. Odapus juga mengakui bahwa dirinya tergantung pada obat dan untuk beberapa, hobi, cita-cita, atau kegiatan lainnya tidak mungkin dilakukan lagi. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan nilai yang tinggi pada dimensi Self-Acceptance. Sedangkan derajat


(22)

Universitas Kristen Maranatha

Self Acceptance yang rendah pada odapus akan berpotensi menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.

Dimensi Positive Relation with Others, yaitu evaluasi individu mengenai penilaian terhadap kemampuannya untuk dapat percaya dan menjalin hubungan hangat dengan orang lain, selain itu juga menekankan adanya kemampuan untuk mencintai orang lain (Ryff, 1989). Odapus dengan derajat Positive Relation with Others yang tinggi akan mengevaluasi dirinya berhasil menjalin relasi yang baik dan hangat, merasa puas, percaya untuk berhubungan dengan orang lain, memikirkan kesejahteraan orang lain, mampu berempati, merasakan afeksi dan kedekatan emosional dalam suatu hubungan serta dapat saling mengerti, memberi dan menerima. Seluruh hal ini dapat dilakukan odapus meskipun kondisi fisiknya sedang tidak baik. Sedangkan odapus dengan derajat Positive Relation with Others yang rendah, mengevaluasi dirinya tidak nyaman bila berada dekat dengan orang lain, merasa terisolasi, frustrasi jika berhubungan dengan orang lain dan tidak dapat terikat dengan orang lain. Odapus juga cenderung menjadi lebih kurang peduli lagi terhadap orang lain bila penyakitnya kambuh.

Dalam Psychological Well-Being terdapat juga dimensi Autonomy, yaitu evaluasi individu terhadap kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku (Ryff, 1989). Odapus yang memiliki autonomy mengevaluasi dirinya mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara umum, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Odapus yang tinggi derajat autonomy dapat


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha

mandiri saat menjalani keseharian. Sebaliknya, odapus dengan derajat Autonomy

yang rendah akan mengevaluasi dirinya berdasarkan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. Mereka cenderung sangat bergantung kepada individu lain dalam kesehariannya,

Dimensi Environmental Mastery merujuk pada evaluasi terhadap penilaian individu terhadap kemampuannya untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, menekankan kemampuannya untuk maju di dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental (Ryff, 1989). Odapus dengan derajat Environmental Mastery yang tinggi akan mengevaluasi dirinya mampu mengatur lingkungan dan aktivitas luar, memanfaatkan kesempatan yang datang secara efektif, mampu memilih dan menciptakan konteks yang cocok dengan kebutuhan dan nilai pribadinya. Hal ini mengarah pada kemampuan odapus untuk dapat memilih kegiatan-kegiatan dan juga memiliki kelompok yang mendukung odapus dalam menjalani kegiatan terkait. Sedangkan odapus dengan derajat Environmental Mastery yang rendah, akan mengevaluasi dirinya mengalami kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan, mengabaikan kesempatan yang hadir dan tidak dapat mengontrol pengaruh dari luar. Odapus cenderung statis, tidak memilih kegiatan apapun maupun mencari bantuan dari luar.

Dimensi Purpose in Life, menjelaskan evaluasi individu terhadap kemampuan untuk merencanakan dan mencapai tujuan dalam hidup (Ryff, 1989). Odapus dikatakan memiliki Purpose in Life dengan derajat yang tinggi jika


(24)

Universitas Kristen Maranatha

mereka mengevaluasi dirinya mampu menetapkan tujuan hidup, menganggap masa kini dan masa lalu berarti serta memiliki keyakinan hidup. Hal ini berarti odapus masih memiliki cita-cita yang masih mungkin dicapai meskipun dirinya menderitu lupus. Sedangkan odapus dengan derajat Purpose in Life yang rendah mengevaluasi dirinya kurang memiliki keberartian hidup, kurang memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup. Odapus tidak dapat menentukan suatu cita-cita dan merasa bahwa penentuan cita-cita hanyalah hal yang tidak berarti.

Dimensi Personal Growth adalah evaluasi individu terhadap usahanya yang berkelanjutan untuk mengembangkan keterampilan dan bakatnya (Ryff, 1989). Odapus dengan derajat Personal Growth yang tinggi mengevaluasi dirinya selalu berkeinginan mengembangkan diri, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki serta selalu berusaha memperbaiki diri dan tingkah laku. Odapus berusaha untuk menambah atau meningkatkan kemampuan yang dimiliki seperti mengikuti kursus atau kegiatan sejenisnya. Hal ini tetap dilakukan tanpa merasa terhambat akibat penyakitnya. Sedangkan odapus dengan derajat Personal Growth yang rendah adalah yang mengevaluasi dirinya mengalami personal stagnation, yaitu keadaan ketika seseorang tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru. Odapus merasa bahwa dirinya terhambat oleh penyakit lupus sehingga tidak mencari kegiatan baru yang dapat menambah atau meningkatkan keterampilan dirinya.


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia, pekerjaan, pendidikan dan kepribadian odapus. Faktor usia memengaruhi dimensi Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth (Ryff 1989). Pertambahan usia yang dialami odapus, cenderung membuat seseorang merasa dirinya lebih matang, mandiri dan mampu dalam mengendalikan lingkungannya sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaian odapus tersebut mengenai kemampuannya dalam mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya (Environmental Mastery) maupun dalam kemandirian odapus (Autonomy). Seiring dengan pertambahan usia, terutama pada usia dewasa awal, kemampuan odapus untuk menetapkan tujuan di dalam hidup (Purpose in Life) dan keinginan untuk mengembangkan diri, keterbukaan terhadap pengalaman baru (Personal Growth) dapat menjadi semakin meningkat. Odapus dapat memiliki motivasi yang lebih kuat untuk terus mengembangkan diri dan menetapkan berbagai tujuan hidup untuk dapat meyakinkan diri bahwa kondisi kesehatannya tidak akan menghalanginya untuk terus mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terdapat pula kemungkinan bahwa odapus memiliki keinginan yang lemah untuk berkarya, merasa terbatasi dengan kondisi fisik dan kesehatan yang dimiliki dan tidak berusaha untuk mengubah kondisi tersebut.

Faktor status sosial-ekonomi meliputi pekerjaan dan tingkat pendidikan memengaruhi individu dalam penerimaan diri, termasuk kekurangan dan kelebihannya (dimensi Self-Acceptance) (Ryff, 1994). Status sosial seperti tingkat pendidikan maupun ekonomi mengarah pada kelas sosial seseorang di


(26)

Universitas Kristen Maranatha

lingkungan/masyarakat. Status tersebut dapat membuat odapus yang memiliki tingkat pendidikan maupun ekonomi dari kalangan menengah ke atas merasa bahwa ia memiliki sesuatu yang lebih dan hal tersebut membuatnya bangga akan dirinya. Mereka memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial lebih rendah. Odapus yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula. Status sosial seorang odapus juga dapat memengaruhi bagaimana penilaian mereka dalam menerima kondisi diri apa adanya. Faktor ini memengaruhi keinginan odapus untuk terus mengembangkan diri dan terbuka terhadap pengalaman baru di dalam hidup (Personal Growth),

yaitu seseorang dengan status sosial yang relatif lebih tinggi biasanya cenderung memiliki kesempatan dan pemikiran yang lebih maju dalam usahanya mengembangkan diri karena memiliki kapasitas, fasilitas dan support system yang relatif lebih mendukung.

Kemampuan individu dalam menetapkan dan memiliki tujuan dalam hidup (Purpose in Life) dipengaruhi pula oleh faktor status sosio-ekonomi. Berdasarkan penelitian Bumpass dan Aquilino tahun 1995, ditemukan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula. Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial lebih rendah.Individu yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan cenderung lebih yakin terhadap tujuan hidupnya dan juga perkembangan pribadinya karena golongan kelas ekonomi bawah cenderung lebih sering terkena


(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

penyakit fisik maupun mental dan juga tekanan hidup yang lebih besar (Adler et al., 1994; McLeod & Kessler, 1990).

Schmute dan Ryff (1997) menemukan bahwa trait dari Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan

Openness to Experience) memiliki hubungan dengan Psychological Well-Being

pada individu. Faktor kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada diri odapus sehingga akan berpengaruh pada bagaimana odapus bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya. Odapus yang Neurotic memiliki peluang untuk mengevaluasi dirinya secara negatif dibandingkan dengan orang

Extraversion yang cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik dan dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Openness to Experience (sejalan dengan Extraversion) muncul sebagai prediktor yang kuat dalam dimensi Personal Growth, yaitu dengan keterbukaan pada pengalaman baru yang disertai nilai imajinasi, pemikiran luas dan apresiasi yang tinggi terhadap seni, odapus berkecenderungan untuk mengembangkan dirinya dengan lebih baik lagi. Sedangkan odapus yang Agreeableness tinggi biasanya akan ramah, pemaaf, penyayang, memiliki kepribadian selalu mengalah dan berkaitan dengan dimensi Positive Relations with Others. Autonomy,

diprediksi dipengaruhi oleh bermacam-macam trait, tetapi yang paling kuat adalah Neuroticism. Orang yang Neuroticbiasanya akan menunjukkan self-esteem

rendah, mudah cemas, mudah marah dan reaktif sehingga memengaruhinya untuk mandiri dalam membuat keputusan (Keyes dan Shmotkin, 2002).


(28)

Universitas Kristen Maranatha

Psychological Well-Being dikatakan tinggi apabila keseluruhan dimensi yang ada pada individu tergolong tinggi (Ryff dan Keyes, 1995). Begitu juga sebaliknya, bila keseluruhan dimensi Psychological Well-Being pada odapus rendah, Psychological Well-Being odapus terkait dapat digolongkan rendah. Setiap dimensi pada Psychological Well-Being saling memiliki korelasi positif sehingga bila satu dimensi tinggi, maka dimensi lainnya juga akan tinggi (Ryff dan Keyes, 1995).

Individu dengan psychological well-being tinggi digambarkan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, menerima diri baik aspek yang positif maupun negatif dan memandang positif masa lalu(Ryff dan Keyes, 1995).Demikian juga halnya pada odapus dengan psychological well-being yang tinggi akan bersikap hangat, merasa puas, percaya untuk menjalin hubungan dengan orang lain, memikirkan kesejahteraan orang lain, dapat berempati, menjalin hubungan dengan afeksi dan intimasi serta mengerti tentang konsep memberi dan menerima dalam suatu hubungan. Di sisi lain, odapus tersebut mampu bersikap mandiri termasuk dalam hal pengambilan keputusan, mampu menjadidirinya tanpa tertekan oleh pengaruh luar (tidak konformis) dan untuk berpikir dalam cara-cara tertentu, mampu mengatur diri dan mampu mengevaluasi diri sesuai dengan standar pribadi.

Di segi lingkungan, individu dengan psychological well-being tinggi mampu mengatur lingkungan, mampu mengatur aktivitas luar, mampu memanfaatkan kesempatan yang datang secara efektif, mampu memilih dan menciptakan konteks yang cocok dengan kebutuhan dan nilai personal(Ryff dan


(29)

20

Universitas Kristen Maranatha

Keyes, 1995). Odapus yang demikian akan memiliki arah dalam hidup, menganggap masa kini dan masa lalu memiliki makna, memegang keyakinan yang memberi hidup mereka tujuan serta memiliki alasan untuk hidup. Lebih jauh lagi, mereka memiliki keinginan untuk mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku.

Psychological Well-Being yang tinggi pada odapus dapat menunjang odapus dalam berelasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Relasi yang baik dengan orang lain akan membantu odapus dalam menjalani kesehariannya meskipun memiliki hambatan biologis yaitu penyakit lupus. Odapus akan lebih mudah menghadapi hari-hari selanjutnya karena relasi dengan orang lain dan dirinya sendiri tetap terjaga. Odapus dengan psychological well-being yang tinggi memandang keterbatasan kondisi fisik mereka sebagai tantangan yang dapat diatasi; tidak merasa aktualisasi diri terbatas oleh penyakit yang diderita; memiliki pandangan hidup yang positif dan memiliki keinginan untuk terus berkembang, misalnya dengan meraih gelar pendidikan yang tinggi; mendapatkan pekerjaan dengan prospek karir yang baik.

Individu dengan psychological well-being yang rendah digambarkan merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini(Ryff dan Keyes, 1995). Odapus yang demikian memiliki sedikit sekali relasi yang terpercaya dengan orang lain, kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli pada orang lain. Selain itu, mereka juga merasa terisolasi dan frustasi dalam menjalin hubungan interpersonal


(30)

Universitas Kristen Maranatha

serta tidak bisa terikat dengan orang lain. Seringkali odapus menghayati dirinya tidak mampu bersikap mandiri termasuk dalam hal pengambilan keputusan akan terlalu memperhatikan harapan dan evaluasi dari luar, bersandar pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, berperilaku konform terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam cara tertentu.

Di segi lingkungan, individu tidak mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai bagi dirinya akan sulit mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan, mengabaikan kesempatan yang hadir dan tidak dapat mengontrol pengaruh dari luar(Ryff dan Keyes, 1995). Demikian juga dengan odapus yang memiliki

psychological well-being rendah di segi lingkungan mereka tidak mampu untuk menetapkan tujuan hidupnya sehingga menganggap hidupnya tidak bermakna atau kurang memiliki tujuan atau arah dalam hidup, tidak dapat melihat makna dari pengalaman-pengalaman masa lalu dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup. Odapus tersebut jugakurang mampu meningkatkan dan mengembangkan diri selama jangka waktu tertentu, jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru.

Bila Psychological Well-Being yang ada rendah, maka odapus akan kesulitan untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri. Dengan hambatan ini, odapus akan menghadapi lebih banyak lagi tekanan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya karena kurangnya dukungan sosial serta penolakan dari dalam diri terhadap kondisi yang dialaminya. Pada saat


(31)

22

Universitas Kristen Maranatha

kondisi odapus stabil, mereka akan menghadapi masa tanpa gangguan dari penyakit lupus namun terhambat pada hal relasi dengan orang lain.

Secara singkat, penjabaran sebelumnya dapat dirangkum dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Tinggi

Rendah - Usia

- Pendidikan -Pekerjaan -Status Marital - Kepribadian

Odapus usia dewasa awal YLI Jabar Perkembangan

dewasa awal

Psychological Well-Being Self-Acceptance Positive Relation

with Others Autonomy Environmental

Mastery

Personal Growth Purpose in Life


(32)

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Psychological Well-Being pada setiap odapus YLI cabang Jawa Barat masing-masing dapat berbeda derajatnya.

Psychological Well-Being odapus YLI cabang Jawa Barat terbentuk dari enam dimensi yaitu Self-Acceptance, Positive Relations with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth.

Psychological Well-Being odapus di YLI cabang Jawa Barat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, pekerjaan, pendidikan dan kepribadian odapus.


(33)

64

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan menyajikan simpulan dan saran sesuai dengan hasil penelitian.

Dimensi-DimensiPsychological Well-Being

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being (PWB) yang dilakukan pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar odapus menunjukkan PWB rendah.

2. Odapus yang menunjukkan derajat PWB rendah pada umumnya memiliki derajat rendah pula pada semua dimensi PWB.

3. Faktor kepribadian pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat tidak menunjukkan keterkaitan dengan derajat PWB mereka.

4. Usia, pendidikan, pekerjaan, lama sakit, status marital pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat tidak menunjukkan keterkaitan dengan derajat PWB mereka.


(34)

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian lanjutan mengenai penyakit yang belum bisa disembuhkan seperti lupus berikut ciri yang berbeda-beda pada setiap pengidapnya untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara penderita penyakit yang bersangkutan dengan PWB yang mereka miliki.

5.2.2 Saran Praktis

1. Odapus dengan derajat PWB yang rendah perlu melakukan usaha untuk meningkatkannya melalui pengembangan dimensi-dimensi PWB. Pengembangan tersebut dapat dengan mengikuti Seminar atau training

pengenalan diri (Self-Acceptance, Autonomy), mengikuti kegiatan-kegiatan yang sesuai bakat dan minat untuk mengasah kemampuan mereka (Personal Growth, Purpose in Life, Environmental Mastery) dan melibatkan diri pada kegiatan anggota YLI lainnya (Positive Relation with Others).

2. Pihak YLI dapat membuat kegiatan berupa talkshow, sharing pengalaman dari

odapus yang dinilai dapat menjadi inspirasi maupun motivasi odapus lainnya dalam rangka meningkatkan PWB mereka.


(35)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Costa, Paul danRobert McCrae. 1997.Personality trait structure as a human Universal.American Psychologist, Vol 52 no.5pp. 509-516.

Diener, Ed. 2000. Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index.American Psychologist Vol 55 no.1 pp 34-43.

Fakultas Psikologi UKM. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi. Bandung: UKM Graziano, A.M., & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods: A Process of

Inquiry 4th edition. Amerika: Allyn & Bacon.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. 2007. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II (1214). Jakarta: Interna Publishing.

Kaplan, Robert M. & Dennis P. Saccuzzo. 2004. Psychological Testing Principles, Application, and Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginner. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Lidriani, Dian. 2010. Perubahan Psychological Well-Being pada lansia yang mengikuti program “Pesantren masa keemasan” di Pesantren Daarut Tauhid Bandun. Skiripsi Universitas Pendidikan Indonesia.

Ryff, Carol. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being.Journal of Personality and Social PsychologyVol. 57No.6 pp 1069–1081.

Ryff, Carol dan Corey Lee M. Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology vol 69 no.4. Ryff, Carol dan Burton Singer. 2002. From Social Structure to Biology :

Integrative Science in Pursuit of Human Health and Well-Being. Dalam Snyder, Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press, Inc.

Ryff, Carol danBurton Singer, 2008. Know Thyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. Journal of Happiness Studies Vol. 9 pp 13-39.


(36)

xi

Universitas Kristen Maranatha

Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Volume 5. Jakarta : Erlangga. Keyes, Corey, DovShmotkin; Carol Ryff. 2002. Optimizing well-being: The

empirical encounter of two traditions.Journal of Personality and Social Psychology, Vol 82 no.6 pp 1007-1022.

Valeria, Neysa. 2011. Studi Deskriptif Psychological Well-Being pada Single Mother di Komunitas “X” Kota Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha.

Vazquez, Carmelo, Gonzalo Hervas, Juan Jose Rahona, dan Diego Gomez. 2009.

Psychological Well-Being and Health. Contribution of Positive Psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology Vol. 5.

Wallace, Daniel J. 1995. The Lupus Book: A Guide for Patients and Their Families. 1st ed. New York: Oxford University Press.


(37)

xii

Universitas Kristen Maranatha Daftar Rujukan

Mardiani, Dewi. 2013. Penyakit Lupus di Indonesia Meningkat. (www.republika.co.id, diakses 22 Januari 2014).

Savitri, Tiara. 2011. Yayasan Lupus Indonesia.

(http://yayasanlupusindonesia.org/yayasan-lupus-indonesia-2/#more-11, diakses 12 November 2011)


(1)

23

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

Psychological Well-Being pada setiap odapus YLI cabang Jawa Barat masing-masing dapat berbeda derajatnya.

Psychological Well-Being odapus YLI cabang Jawa Barat terbentuk dari enam dimensi yaitu Self-Acceptance, Positive Relations with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth. • Psychological Well-Being odapus di YLI cabang Jawa Barat dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, pekerjaan, pendidikan dan kepribadian odapus.


(2)

64

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan menyajikan simpulan dan saran sesuai dengan hasil penelitian.

Dimensi-DimensiPsychological Well-Being

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being (PWB) yang dilakukan pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar odapus menunjukkan PWB rendah.

2. Odapus yang menunjukkan derajat PWB rendah pada umumnya memiliki derajat rendah pula pada semua dimensi PWB.

3. Faktor kepribadian pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat tidak menunjukkan keterkaitan dengan derajat PWB mereka.

4. Usia, pendidikan, pekerjaan, lama sakit, status marital pada odapus usia dewasa awal di Yayasan Lupus Indonesia cabang Jawa Barat tidak menunjukkan keterkaitan dengan derajat PWB mereka.


(3)

65

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian lanjutan mengenai penyakit yang belum bisa disembuhkan seperti lupus berikut ciri yang berbeda-beda pada setiap pengidapnya untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara penderita penyakit yang bersangkutan dengan PWB yang mereka miliki.

5.2.2 Saran Praktis

1. Odapus dengan derajat PWB yang rendah perlu melakukan usaha untuk meningkatkannya melalui pengembangan dimensi-dimensi PWB. Pengembangan tersebut dapat dengan mengikuti Seminar atau training

pengenalan diri (Self-Acceptance, Autonomy), mengikuti kegiatan-kegiatan yang sesuai bakat dan minat untuk mengasah kemampuan mereka (Personal Growth, Purpose in Life, Environmental Mastery) dan melibatkan diri pada kegiatan anggota YLI lainnya (Positive Relation with Others).

2. Pihak YLI dapat membuat kegiatan berupa talkshow, sharing pengalaman dari

odapus yang dinilai dapat menjadi inspirasi maupun motivasi odapus lainnya dalam rangka meningkatkan PWB mereka.


(4)

x

DAFTAR PUSTAKA

Costa, Paul danRobert McCrae. 1997.Personality trait structure as a human Universal.American Psychologist, Vol 52 no.5pp. 509-516.

Diener, Ed. 2000. Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index.American Psychologist Vol 55 no.1 pp 34-43.

Fakultas Psikologi UKM. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi. Bandung: UKM Graziano, A.M., & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods: A Process of

Inquiry 4th edition. Amerika: Allyn & Bacon.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. 2007. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II (1214). Jakarta: Interna Publishing.

Kaplan, Robert M. & Dennis P. Saccuzzo. 2004. Psychological Testing Principles, Application, and Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginner. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Lidriani, Dian. 2010. Perubahan Psychological Well-Being pada lansia yang mengikuti program “Pesantren masa keemasan” di Pesantren Daarut Tauhid Bandun. Skiripsi Universitas Pendidikan Indonesia.

Ryff, Carol. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being.Journal of Personality and Social PsychologyVol. 57No.6 pp 1069–1081.

Ryff, Carol dan Corey Lee M. Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology vol 69 no.4. Ryff, Carol dan Burton Singer. 2002. From Social Structure to Biology :

Integrative Science in Pursuit of Human Health and Well-Being. Dalam Snyder, Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press, Inc.

Ryff, Carol danBurton Singer, 2008. Know Thyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. Journal of Happiness Studies Vol. 9 pp 13-39.


(5)

xi

Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Volume 5. Jakarta : Erlangga. Keyes, Corey, DovShmotkin; Carol Ryff. 2002. Optimizing well-being: The

empirical encounter of two traditions.Journal of Personality and Social Psychology, Vol 82 no.6 pp 1007-1022.

Valeria, Neysa. 2011. Studi Deskriptif Psychological Well-Being pada Single Mother di Komunitas “X” Kota Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha.

Vazquez, Carmelo, Gonzalo Hervas, Juan Jose Rahona, dan Diego Gomez. 2009.

Psychological Well-Being and Health. Contribution of Positive Psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology Vol. 5.

Wallace, Daniel J. 1995. The Lupus Book: A Guide for Patients and Their Families. 1st ed. New York: Oxford University Press.


(6)

xii

Daftar Rujukan

Mardiani, Dewi. 2013. Penyakit Lupus di Indonesia Meningkat. (www.republika.co.id, diakses 22 Januari 2014).

Savitri, Tiara. 2011. Yayasan Lupus Indonesia.

(http://yayasanlupusindonesia.org/yayasan-lupus-indonesia-2/#more-11, diakses 12 November 2011)