KETENTUAN RAHASIA BANK DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG: SUATU ANALISIS YURIDIS.
KETENTUAN RAHASIA BANK DAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG:
SUATU ANALISIS YURIDIS
TESIS
Diajukan Kepada
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Magister Ilmu Hukum
Oleh :
HARYONO
NIM : R. 100030070
Program Studi: Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi HTN/HAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2005
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini makin
mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja skala nasional,
tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara. Gerakan ini
terpicu oleh kenyataan dimana kini semakin maraknya kejahatan money laundering
dari waktu kewaktu, sehingga berbagai organisasi internasional telah secara konkrit
mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu mengantisipasi masalah
kejahatan pencucian uang.
Jika pada mulanya kejahatan money laundering lebih erat kaitannya dengan
kejahatan-kejahatan perdagangan obat bius / narkotika dan kejahatan besar lainnya,
tetapi kini kejahatan pencucian uang sudah dihubungkan dengan proses atas uang
hasil perbuatan kriminal secara umum dalam jumlah besar. Sementara di-berbagai
negara termasuk Indonesia, uang yang diperoleh dari hasil korupsi termasuk
kategori kriminal, maka masalah money laundering dikaitkan pula dengan
perbuatan korupsi.
Mengapa money laundering merupakan salah satu aspek perbuatan
kriminal? Sifat kriminalitas money laundering adalah berkaitan dengan latar
belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram, atau kotor
kemudian sejumlah uang kotor yang diperolehnya tersebut dikelola dengan
aktivitas-aktivitas
tertentu
seperti
membentuk
usaha,
mentransfer
atau
mengkonversikan ke-bank atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan
latar belakang darimana uang tersebut diperoleh.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang terjadi sebagai
akibat kemajuan tehnologi dan pelayanan jasa perbankan, khususnya yang
dilakukan dengan menggunakan bantuan bank, merupakan masalah yang bersifat
komplek. Masalah pokok yang dihadapi dalam implementasi penyidikan tindak
pidana pencucian uang adalah sifat dan karakteristik dari tindak pidana pencucian
uang dan kinerja aparat penegak hukum.
Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran
strategis dalam kehidupan perekonomian baik nasional maupun internasional.
Eksistensi lembaga ini dimahsudkan sebagai perantara dibidang keuangan (financial
intermediary) bagi pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak
yang membutuhkan dana, bank beretindak sebagai fasilitator.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi : “Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak”.
Dalam perkembangannya, fungsi bank tidak hanya menghimpun dana dan /
atau memberikan kredit, melainkan telah berkembang menjadi satu media transaksi
lalulintas pengiriman uang dari dan ketujuan-tujuan tertentu, tidak hanya didalam
negeri (wilayah Indonesia), bahkan sampai keluar lintas batas wilayah Indonesia.
Hal ini tidak lepas oleh kemajuan perkembangan tehnologi dan komunikasi dalam
dunia perbankan pada saat ini yang semakin canggih, hanya dalam hitungan detik
uang sudah berpindah dari satu tangan, dari satu tempat melalui penyedia jasa
keuangan (transfer) sampai ketujuan tetentu. Dengan kemudahan-kemudahannya
serta kecanggihanya, maka ada upaya-upaya pihak-pihak tertentu untuk
memanfaatkan sistem tehnologi bank sebagai upaya untuk mencuci uang, dimana
uang yang diperoleh dari suatu kejahatan dimasukan kedalam sistem bank untuk
menghindari adanya tuduhan tindak pidana pencucian uang.
Laporan terakhir dari Financial Action Task Force (FATF), yakni satuan kerja
Internasional yang memantau praktek pencucian uang, memasukan Indonesia
sebagai salah satu dari 17 negara yang dianggap tidak sungguh-sungguh menangani
praktek-praktek pencucian uang. Dalam pertemuan bilateral antara Tim Review
FATF Asia Pasific dan Indonesia tanggal 2 Juni 2003, Indonesia dikategorikan
sama dengan Myanmar, yaitu tidak ada kemajuan berarti sejak Tahun 2002.
Ketua Tim Review FATF Noriaki Mizuno mengancam akan memberikan
tekanan yang keras dan tegas kepada Indonesia. Pada petemuan tahunan FATF
bulan Oktober Tahun 2203 di Stockholm Swedia, keputusan yang akan dijatuhkan
kepada Indoesia hanya ada tiga kemungkinan (Soewarsono dan Reda Manthovani,
2004:40-41), yakni sebagai berikut :
1. Langsung dikenakan sanksi, hal tersebut dilakukan apabila Indonesia
dianggap tindak menunjukan keinginan dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, dan kemungkinan hal tersebut dapat terjadi apabila DPR-RI
tidak segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Amandemen
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah disampaikan ke-Dewan
Perwakilan Rakyat pada bulan Mei tahun 2003;
2. Diberikan tanggal sanksi, hal ini dapat terjadi apabila Rancangan UndangUndang Amandemen terhadap Undang-Unsang Nomor 15 Tahun 2002 belum
disahkan dan diundangkan, sebagaimana FATF telah menjatuhkan sanksi tersebut
terhadap beberapa negara seperti Nigeria, Philipina, Ukraina, hingga Rancangan
Undang-Undang Amandemen Undang-Undan Nomor 15 Tahun 2002 telah
disahklan dan diundangkan;
3. Tetap dalam daftar hitam (non cooperatif countries and teritories) tanpa
sanksi, apabila Rancangan Undang-Undang Amandemen terhadap Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 telah disahkan dan diundangkan. Indonesia tetap dalam
status daftar hitam sampai dengan implementasi yang efektif dari Rancangan
Undang-Undang Amandemen tersebut.
Pada tanggal 16 September 2003, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Republik Indonesia telah menyepakati dan menyetujui bersama Rancangan
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi Undang-Undang ( UU.
Nomor 25 Tahun 2003) dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Indoneia
tersebut langsung disampaikan kepada delegasi Indonesia yang dipimpin oleh
Dr.I.Gede Made Sadguna, Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Dimana persetujuan tersebut akan sangat berarti bagi delegasi
Indonesia untuk ber-argumentasi bahwa Indonesia telah mengamandemen lima hal
penting dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang dianggap belum
memenuhi standar Internasional serta dikarenakan perkembangan modus operandi
tindak pidana pencucian uang yang cepat, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 perlu diubah, sehingga upaya pencegahahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dapat berjalan efektif.
Banyak kasus yang menyangkut money laundering terjadi, baik di negara lain
maupun di Indonesia. Di Indonesia dapat disebut kasus Soeharto, yang korup ini
cukup banyak diperbincangkan dalam buku-buku kepustakaan, yaitu dalam
bukunya Munir Fuady, 2001; George Adicondro 1999, Indra Ismawan, 2001.
Soeharto, mantan orang kuat Orde Baru selama 32 tahun, yang jatuh karena
kekuatan rakyat (peoples power), karena pemerintahannya yang serba korup, diduga
telah banyak memanfaatkan jabatannya untuk mengambil uang negara semasa
berkuasa dan disimpan di luar negeri. Berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya
oleh rakyat, terutama kalangan mahasiswa bahawa Soeharto telah memanipulasi
produk-produk hukum terutama Keppres untuk melancarkan upaya mengkorup
berbagai sumber-sumber ekonomi. Kasus Soeharto di sejajarkan dan mirip dengan
Kasus Marcos, mantan Presiden Filipina. Ferdinand Marcos juga digulingkan
melalui peoples power tahun 1986. Begitu banyak uang negara dan rakyat
dihisapnya, dimana uang tersebut disembunyikan di luar negeri, antara lain di Bank
Crediet Suisse, dan masih banyak kasus-kasus yang sama yang dilakukan oleh
Presiden negara-egara lain dengan tujuan untuk menyembunyikan uang hasil
korupsinya tersebut.(NHT.Siahaan,2005:29)
B. Perumusan Masalah
Bank sebagai suatu lembaga Penyedia Jasa Keuangan (PJK) mempunyai
peranan yang sangat besar sebagai satu sarana bagi nasabah untuk melakukan
kegiatan-kegiatan transaksi keuangan menuirut kebutuhan serta keinginannya, bank
merupakan media yang paling efektif bagi nasabah untuk mendepositkan uangnya
dalam berbagai bentuk simpanan, dalam berbagai rekening. Satu etika pelayanan
perbankan yang harus ditati oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah tingkat pelayanan,
bank harus senantiasa memberikan pelayanan sebaik-baiknya atas segala keinginan
dan kebutuhannya, karena demikian pentingnya bank terhadap penghimpunan dana,
karena itu pula kedudukan nasabah diatur sedemikian rupa di dalam satu undangundang untuk melindungi kepentingan nasabah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 40 Ayat (1) yang berbunyi
lengkapnya : “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimahsud dalam pasal 41, pasal
41A, pasal42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A”. Pasal tersebut memberikan makna
perlindungan terhadap nasabah.
Sedangkan pengertian nasabah sebagaimana dimahsud dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992, Pasal 1 Ayat (16) bunyi lengakapnya adalah : “Nasabah adalah pihak yang
menggunakan jasa bank”, dan Pasal 16 Ayat (17) berbunyi : “ Nasabah penyimpan
adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.
Dengan diberlakukannya pasal mengenai ketentuan rahasia bank, maka bank
sebagai pihak Jasa Pelayanan Keuangan, terikat oleh ketentuan tersebut, bank
dilarang memberikan keterangan apapun, dan kepada siapapun mengenai keadaan
penyimpan dan simpanannya, kecuali hanya kepada pemilik rekening yang
bersangkutan. Apabila bank sebagai Jasa Pelayanan Keuangan melakukan
pelanggaran terhadap pasal tersebut, maka nasabah dapt mengajukan tuntutan
kepada pihak Penyedia Jasa Keuangan atas kelalaiannya tersebut.
Dari beberapa uraian tersebut diatas muncul permasalahan, yakni :
1. Bagaimanakah implementasi ketentuan rahasia bank berkaitan dengan
berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang?
2. Apa saja kendala-kendala dalam pelaksanaan ketentuan rahasia bank?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan sebuah penelitian adalah untuk memecahkan masalah dan kemudian
menemukan jawaban atas suatu permasalahan. Menurut Soerjono Soekanto, tujuan
penelitian dirumuskan secara deskriptif dan merupakan pernyataan-pernyataan yang
hendak dicapai dengan adanya penelitian.(Soerjono Soekanto,1986 : 119)
Tujuan penelitian merupakan target yang hendak dicapai sebagai solusi dari
masalah yang dirumuskan (tujuan obyektif) maupun untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif), selain itu tujuan penelitian akan mempunyai nilai,
jika mengandung tujuan positif dan bermanfaat.
Tujuan secara khusus adalah untuk mengetahui
rahasia bank dan kendala-kendala yang timbul
implementasi
ketentuan
dalam pelaksanaan ketentuan
rahasia bank.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari sebuah penelitian tidak hanya ditentukan oleh metodologinya
saja, melainkan juga ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
suatu penelitian. Penelitian ini akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkompeten, yakni Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan para aparat penegak
hukum di bidang pidana pencucian uang.
E. Metodologi Penelitian
E.1. Jenis Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif, yakni berusaha untuk membuat suatu
deskripsi fenomena yang
diselidiki. Hal ini dilakukan dengan cara
melukiskan fakta dan fenomena yang terjadi. Pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan deskriptif.
E.2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor
Cabang Ungaran.
E.3. Sumber Data
Data primer, yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara secara
terstruktur dengan pegawai Bank yang berkaitan dengan hal-hal yang
diteliti.
Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari dokumen-dokumen,
literatur-literatur, peraturan-peraturan perundang-undangan, peraturan
Bank Indonesia dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan
pokok-pokok penelitian.
F. Metodologi Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan-bahan yang diperguanakan dalam penelitian ini meliputi
studi kepustakaan, yakni:
- Peraturan Per-Undang-Undangan yang mengatur tentang tata cara
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang berkaitan
dengan ketentuan rahasia bank.
-
Peraturan Per-Undang-Undangan yang mengatur tentang rahasia bank.
-
Mengumpulkan data hasil wawancara dengan petugas bank.
G. Analisis Data
Data yang telah terkumpul, yakni data yang berasal dari dokumen, peraturan
perundang-undangan dan hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan penseleksian
data agar memperoleh hasil yang obyektif, komprehensif dan dapat dipertanggung
jawabkan. Penseleksian dimahsud adalah meliputi: memilih pasal-pasal yang berisi
kaidah hukum yang mengatur tentang ketentuan rahasia bank, dan pasal-pasal yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Kemudian dihubungkan dengan
fenomena terkait dengan mengadakan cross check antara peraturan-peraturan yang
tertulis dengan data empiris, yakni berupa pelaksanaanya. Kemudian dilakukan
suatu penelitian dengan relevansi terhadap data yang ada kemudian di
interpretasikan dengan kerangka teori yang menjadi landasan atau acuan dalam
penelitian.
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG:
SUATU ANALISIS YURIDIS
TESIS
Diajukan Kepada
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Magister Ilmu Hukum
Oleh :
HARYONO
NIM : R. 100030070
Program Studi: Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi HTN/HAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2005
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini makin
mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja skala nasional,
tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara. Gerakan ini
terpicu oleh kenyataan dimana kini semakin maraknya kejahatan money laundering
dari waktu kewaktu, sehingga berbagai organisasi internasional telah secara konkrit
mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu mengantisipasi masalah
kejahatan pencucian uang.
Jika pada mulanya kejahatan money laundering lebih erat kaitannya dengan
kejahatan-kejahatan perdagangan obat bius / narkotika dan kejahatan besar lainnya,
tetapi kini kejahatan pencucian uang sudah dihubungkan dengan proses atas uang
hasil perbuatan kriminal secara umum dalam jumlah besar. Sementara di-berbagai
negara termasuk Indonesia, uang yang diperoleh dari hasil korupsi termasuk
kategori kriminal, maka masalah money laundering dikaitkan pula dengan
perbuatan korupsi.
Mengapa money laundering merupakan salah satu aspek perbuatan
kriminal? Sifat kriminalitas money laundering adalah berkaitan dengan latar
belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram, atau kotor
kemudian sejumlah uang kotor yang diperolehnya tersebut dikelola dengan
aktivitas-aktivitas
tertentu
seperti
membentuk
usaha,
mentransfer
atau
mengkonversikan ke-bank atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan
latar belakang darimana uang tersebut diperoleh.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang terjadi sebagai
akibat kemajuan tehnologi dan pelayanan jasa perbankan, khususnya yang
dilakukan dengan menggunakan bantuan bank, merupakan masalah yang bersifat
komplek. Masalah pokok yang dihadapi dalam implementasi penyidikan tindak
pidana pencucian uang adalah sifat dan karakteristik dari tindak pidana pencucian
uang dan kinerja aparat penegak hukum.
Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran
strategis dalam kehidupan perekonomian baik nasional maupun internasional.
Eksistensi lembaga ini dimahsudkan sebagai perantara dibidang keuangan (financial
intermediary) bagi pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak
yang membutuhkan dana, bank beretindak sebagai fasilitator.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi : “Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak”.
Dalam perkembangannya, fungsi bank tidak hanya menghimpun dana dan /
atau memberikan kredit, melainkan telah berkembang menjadi satu media transaksi
lalulintas pengiriman uang dari dan ketujuan-tujuan tertentu, tidak hanya didalam
negeri (wilayah Indonesia), bahkan sampai keluar lintas batas wilayah Indonesia.
Hal ini tidak lepas oleh kemajuan perkembangan tehnologi dan komunikasi dalam
dunia perbankan pada saat ini yang semakin canggih, hanya dalam hitungan detik
uang sudah berpindah dari satu tangan, dari satu tempat melalui penyedia jasa
keuangan (transfer) sampai ketujuan tetentu. Dengan kemudahan-kemudahannya
serta kecanggihanya, maka ada upaya-upaya pihak-pihak tertentu untuk
memanfaatkan sistem tehnologi bank sebagai upaya untuk mencuci uang, dimana
uang yang diperoleh dari suatu kejahatan dimasukan kedalam sistem bank untuk
menghindari adanya tuduhan tindak pidana pencucian uang.
Laporan terakhir dari Financial Action Task Force (FATF), yakni satuan kerja
Internasional yang memantau praktek pencucian uang, memasukan Indonesia
sebagai salah satu dari 17 negara yang dianggap tidak sungguh-sungguh menangani
praktek-praktek pencucian uang. Dalam pertemuan bilateral antara Tim Review
FATF Asia Pasific dan Indonesia tanggal 2 Juni 2003, Indonesia dikategorikan
sama dengan Myanmar, yaitu tidak ada kemajuan berarti sejak Tahun 2002.
Ketua Tim Review FATF Noriaki Mizuno mengancam akan memberikan
tekanan yang keras dan tegas kepada Indonesia. Pada petemuan tahunan FATF
bulan Oktober Tahun 2203 di Stockholm Swedia, keputusan yang akan dijatuhkan
kepada Indoesia hanya ada tiga kemungkinan (Soewarsono dan Reda Manthovani,
2004:40-41), yakni sebagai berikut :
1. Langsung dikenakan sanksi, hal tersebut dilakukan apabila Indonesia
dianggap tindak menunjukan keinginan dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, dan kemungkinan hal tersebut dapat terjadi apabila DPR-RI
tidak segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Amandemen
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah disampaikan ke-Dewan
Perwakilan Rakyat pada bulan Mei tahun 2003;
2. Diberikan tanggal sanksi, hal ini dapat terjadi apabila Rancangan UndangUndang Amandemen terhadap Undang-Unsang Nomor 15 Tahun 2002 belum
disahkan dan diundangkan, sebagaimana FATF telah menjatuhkan sanksi tersebut
terhadap beberapa negara seperti Nigeria, Philipina, Ukraina, hingga Rancangan
Undang-Undang Amandemen Undang-Undan Nomor 15 Tahun 2002 telah
disahklan dan diundangkan;
3. Tetap dalam daftar hitam (non cooperatif countries and teritories) tanpa
sanksi, apabila Rancangan Undang-Undang Amandemen terhadap Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 telah disahkan dan diundangkan. Indonesia tetap dalam
status daftar hitam sampai dengan implementasi yang efektif dari Rancangan
Undang-Undang Amandemen tersebut.
Pada tanggal 16 September 2003, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Republik Indonesia telah menyepakati dan menyetujui bersama Rancangan
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi Undang-Undang ( UU.
Nomor 25 Tahun 2003) dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Indoneia
tersebut langsung disampaikan kepada delegasi Indonesia yang dipimpin oleh
Dr.I.Gede Made Sadguna, Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Dimana persetujuan tersebut akan sangat berarti bagi delegasi
Indonesia untuk ber-argumentasi bahwa Indonesia telah mengamandemen lima hal
penting dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang dianggap belum
memenuhi standar Internasional serta dikarenakan perkembangan modus operandi
tindak pidana pencucian uang yang cepat, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 perlu diubah, sehingga upaya pencegahahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dapat berjalan efektif.
Banyak kasus yang menyangkut money laundering terjadi, baik di negara lain
maupun di Indonesia. Di Indonesia dapat disebut kasus Soeharto, yang korup ini
cukup banyak diperbincangkan dalam buku-buku kepustakaan, yaitu dalam
bukunya Munir Fuady, 2001; George Adicondro 1999, Indra Ismawan, 2001.
Soeharto, mantan orang kuat Orde Baru selama 32 tahun, yang jatuh karena
kekuatan rakyat (peoples power), karena pemerintahannya yang serba korup, diduga
telah banyak memanfaatkan jabatannya untuk mengambil uang negara semasa
berkuasa dan disimpan di luar negeri. Berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya
oleh rakyat, terutama kalangan mahasiswa bahawa Soeharto telah memanipulasi
produk-produk hukum terutama Keppres untuk melancarkan upaya mengkorup
berbagai sumber-sumber ekonomi. Kasus Soeharto di sejajarkan dan mirip dengan
Kasus Marcos, mantan Presiden Filipina. Ferdinand Marcos juga digulingkan
melalui peoples power tahun 1986. Begitu banyak uang negara dan rakyat
dihisapnya, dimana uang tersebut disembunyikan di luar negeri, antara lain di Bank
Crediet Suisse, dan masih banyak kasus-kasus yang sama yang dilakukan oleh
Presiden negara-egara lain dengan tujuan untuk menyembunyikan uang hasil
korupsinya tersebut.(NHT.Siahaan,2005:29)
B. Perumusan Masalah
Bank sebagai suatu lembaga Penyedia Jasa Keuangan (PJK) mempunyai
peranan yang sangat besar sebagai satu sarana bagi nasabah untuk melakukan
kegiatan-kegiatan transaksi keuangan menuirut kebutuhan serta keinginannya, bank
merupakan media yang paling efektif bagi nasabah untuk mendepositkan uangnya
dalam berbagai bentuk simpanan, dalam berbagai rekening. Satu etika pelayanan
perbankan yang harus ditati oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah tingkat pelayanan,
bank harus senantiasa memberikan pelayanan sebaik-baiknya atas segala keinginan
dan kebutuhannya, karena demikian pentingnya bank terhadap penghimpunan dana,
karena itu pula kedudukan nasabah diatur sedemikian rupa di dalam satu undangundang untuk melindungi kepentingan nasabah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 40 Ayat (1) yang berbunyi
lengkapnya : “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimahsud dalam pasal 41, pasal
41A, pasal42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A”. Pasal tersebut memberikan makna
perlindungan terhadap nasabah.
Sedangkan pengertian nasabah sebagaimana dimahsud dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992, Pasal 1 Ayat (16) bunyi lengakapnya adalah : “Nasabah adalah pihak yang
menggunakan jasa bank”, dan Pasal 16 Ayat (17) berbunyi : “ Nasabah penyimpan
adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.
Dengan diberlakukannya pasal mengenai ketentuan rahasia bank, maka bank
sebagai pihak Jasa Pelayanan Keuangan, terikat oleh ketentuan tersebut, bank
dilarang memberikan keterangan apapun, dan kepada siapapun mengenai keadaan
penyimpan dan simpanannya, kecuali hanya kepada pemilik rekening yang
bersangkutan. Apabila bank sebagai Jasa Pelayanan Keuangan melakukan
pelanggaran terhadap pasal tersebut, maka nasabah dapt mengajukan tuntutan
kepada pihak Penyedia Jasa Keuangan atas kelalaiannya tersebut.
Dari beberapa uraian tersebut diatas muncul permasalahan, yakni :
1. Bagaimanakah implementasi ketentuan rahasia bank berkaitan dengan
berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang?
2. Apa saja kendala-kendala dalam pelaksanaan ketentuan rahasia bank?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan sebuah penelitian adalah untuk memecahkan masalah dan kemudian
menemukan jawaban atas suatu permasalahan. Menurut Soerjono Soekanto, tujuan
penelitian dirumuskan secara deskriptif dan merupakan pernyataan-pernyataan yang
hendak dicapai dengan adanya penelitian.(Soerjono Soekanto,1986 : 119)
Tujuan penelitian merupakan target yang hendak dicapai sebagai solusi dari
masalah yang dirumuskan (tujuan obyektif) maupun untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif), selain itu tujuan penelitian akan mempunyai nilai,
jika mengandung tujuan positif dan bermanfaat.
Tujuan secara khusus adalah untuk mengetahui
rahasia bank dan kendala-kendala yang timbul
implementasi
ketentuan
dalam pelaksanaan ketentuan
rahasia bank.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari sebuah penelitian tidak hanya ditentukan oleh metodologinya
saja, melainkan juga ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
suatu penelitian. Penelitian ini akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkompeten, yakni Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan para aparat penegak
hukum di bidang pidana pencucian uang.
E. Metodologi Penelitian
E.1. Jenis Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif, yakni berusaha untuk membuat suatu
deskripsi fenomena yang
diselidiki. Hal ini dilakukan dengan cara
melukiskan fakta dan fenomena yang terjadi. Pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan deskriptif.
E.2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor
Cabang Ungaran.
E.3. Sumber Data
Data primer, yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara secara
terstruktur dengan pegawai Bank yang berkaitan dengan hal-hal yang
diteliti.
Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari dokumen-dokumen,
literatur-literatur, peraturan-peraturan perundang-undangan, peraturan
Bank Indonesia dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan
pokok-pokok penelitian.
F. Metodologi Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan-bahan yang diperguanakan dalam penelitian ini meliputi
studi kepustakaan, yakni:
- Peraturan Per-Undang-Undangan yang mengatur tentang tata cara
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang berkaitan
dengan ketentuan rahasia bank.
-
Peraturan Per-Undang-Undangan yang mengatur tentang rahasia bank.
-
Mengumpulkan data hasil wawancara dengan petugas bank.
G. Analisis Data
Data yang telah terkumpul, yakni data yang berasal dari dokumen, peraturan
perundang-undangan dan hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan penseleksian
data agar memperoleh hasil yang obyektif, komprehensif dan dapat dipertanggung
jawabkan. Penseleksian dimahsud adalah meliputi: memilih pasal-pasal yang berisi
kaidah hukum yang mengatur tentang ketentuan rahasia bank, dan pasal-pasal yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Kemudian dihubungkan dengan
fenomena terkait dengan mengadakan cross check antara peraturan-peraturan yang
tertulis dengan data empiris, yakni berupa pelaksanaanya. Kemudian dilakukan
suatu penelitian dengan relevansi terhadap data yang ada kemudian di
interpretasikan dengan kerangka teori yang menjadi landasan atau acuan dalam
penelitian.