Korelasi ekspresi heat shock protein 70 (HSP70) dan caspase-9 pada karsinoma nasofaring who tipe 3 COVER
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah bangunan rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Witte, 2008).
(2)
commit to user
B. Karsinoma Nasofaring 1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. KNF pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2005).
2. Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia dan pada umumnya terjadi di usia
antara 45 – 54 tahun, namun 2 dekade terakhir dilaporkan peningkatan kasus
kejadian pada usia yang lebih muda. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Brennan, 2005). Kasus kejadian KNF pada laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Brennan, 2005).
Disebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou, dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu. Secara mikroskopis
(3)
di Amerika Utara 63%, Cina Selatan 96% (Wei, 2006). KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh di Indonesia, dan menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT-KL). Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta angka prevalensi KNF selama tahun
2008-2009 Undifferentiatedcell carcinoma nasofaring sebesar 89,1% (Sari, 2010).
Tumor ini memiliki insidensi sebesar 95% pada keganasan nasofaring dewasa dan 20-35% pada pasien anak. Faktor yang diduga sebagai
presdisposisinya adalah genetic, dan EBV (Epstein Barr Virus) (Allen, 2005;
Hartati, 2005; Anderson, 2007). Secara makroskopis dapat dijumpai beberapa
penonjolan mukosa yang sifatnya invasif dan metastase (Maa et al., 2007).
3. Etiologi
Karsinogenesis nasofaring merupakan proses yang terjadi akibat dari multifaktorial, dan belum seluruhnya dapat diterangkan. Bukti saat ini penyebab KNF dihubungkan dengan lingkungan, makanan, genetika dan infeksi EBV multi tahap, antara lain : ( Wei dan Sam, 2006; Hariwiyanto, 2009; Sudiana, 2008).
1. Kerentanan Genetik.
KNF tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap KNF pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi
familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
(4)
commit to user
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. EBV dapat bereplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, EBV dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti. Ada dua jenis infeksi EBV yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. (Notopuro, Kentjono dan Harijono, 2005).
EBV adalah virus yang termasuk dalam famili herpes virus yang
menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis KNF merupakan neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. EBV jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain KNF, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan Mononukleosis infeksiosa (Thompson dan Kurzrok, 2004).
Hubungan antara EBV dengan KNF telah berhasil diteliti, pertama kali hubungan tersebut terungkap yaitu dengan adanya deteksi kadar antibodi anti-EBV yang tinggi dalam serum pasien dengan KNF. Perbedaan polimorfisme
(5)
Bentuk-commit to user
bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan KNF tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan KNF non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Brennan, 2005).
4. Gejala klinis
Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial (Brennan, 2005; Dol Cetti et al., 2002; Lin, 2003; Roezin dan Adham, 2007). Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003). Gejala tumor leher yang besar,dan lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe 3( Karsinoma tidak berdiferensiasi) dibandingkan dengan KNF WHO tipe 1(Karsinoma sel skuamosa keratinisasi). Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Gejala lanjut KNF dapat berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menurut Kentjono et al., (2000) antara lain :
1. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menyebabkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak dari yang paling sering terjadi, yaitu gangguan N.VI (keluhan diplopia) mengakibatkan kelumpuhan m rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus
(6)
commit to user
wajah), kemudian gangguan pada N. III berupa ptosis, gangguan gerakan bola mata (oftalmoplegia), dan gangguan N.IV mengakibatkan kelumpuhan musculus obliqus inferior bola mata.
2. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal,
fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor yang besar
dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan.
3. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke ruang parafaring dan fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugulare. Disini yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai dengan N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma retroparotidean. Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 65,73%
5. Histopatologi
Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:
Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin, atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan
intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma tipe I
(7)
Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/ berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih/ terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau defferensiasi dari kelenjar (Lin, 2003).
Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi
KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun populasi resiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Lin, 2003).
Kebanyakan kasus KNF pada anak dan remaja adalah KNF WHO tipe 3, hanya beberapa yang tipe 2, pada KNF WHO tipe 2 dan 3 ditemui titer EBV yang tinggi, tetapi tipe I tidak mempunyai hubungan dengan titer EBV (Brennan, 2005).
6. Diagnosis
Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, radiologi dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring sampai saat ini diakui sebagai standar baku emas (gold standard).
(8)
commit to user
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan di sekitarnya dengan menggunakan :
1) Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan
penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging
yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan, mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, serta lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase.
3) Foto thorak posterior/anterior (PA) untuk mengetahui adanya kecurigaan metastasis ke paru.
4) USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organ-organ intra abdomen.
Pemeriksaan Radiologi ini merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan
Computerized Tomographic Scanning (CT scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan tumor (Witte, 2008).
Pemeriksaan serologi pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor.
(9)
Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan material yang diperoleh dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis KNF. Virus Epstein Barr dapat dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan Non keratinizing squamous cell carcinoma.
Pemeriksaan patologi anatomi digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring
1) Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis 2) Biopsi Histopatologi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.
7. Terapi a. Radioterapi
Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan untuk KNF dan merupakan terapi utama untuk KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup pasien, karena KNF termasuk golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran, terutama bila masih dini (stadium I, II).
(10)
commit to user
1. Untuk KNF stadium dini (T1 dan T2) diberikan dosis 200 - 220 cGy per
fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu sampai mencapai dosis total 6000 - 7000 cGy.
2. KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis
total radiasi pada nasofaring yang lebih tinggi yaitu 7000 - 7500 cGy.
3. Bila tidak didapatkan metastasis di kelenjar getah bening (KGB) leher
(N0), diberikan radiasi profilaktik 4000-5000 cGy dalam empat minggu.
4. Bila terdapat pembesaran KGB di leher diberikan radiasi dengan dosis
6000 - 7500 cGy
b. Kemoterapi
Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring antara lain stadium lanjut, disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren. Beberapa sitostatika telah direkomendasi untuk digunakan pada keganasan di daerah kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring yaitu
cisplatin, carboplatin, methotrexate, 5-fluorouracil, bleomycin, hydroxyurea, doxorubicin, cyclophosphamide, docetaxel, mitomycin-C, vincristine dan paclitaxel (Kentjono, 2003).
(11)
Telah dibuktikan 70-80% pasien yang datang ke dokter berhubungan dengan stres, yaitu sakit yang dipicu oleh stresor, dan tercatat bahwa stres beperan 50% dari semua penyakit di Amerika Serikat (Young danWelsh, 2005). Ketidakteraturan di negara berkembang dapat merupakan stresor sehingga terjadi distres, seperti pada kejadian kanker ( Peters, 2002).
Semua organisme akan merespon stres dengan mensintesis sekelompok protein spesifik yang disebut protein heat shock (HSP), protein ini membantu dalam pelipatan, translokasi, dan perakitan protein lain. Diantara HSP, HSP 70 memediasi perlindungan sel-sel tumor dari kerusakan mematikan oleh stres dengan mengganggu jalur Apoptosis. Stres terdiri dari 3 tahap, yaitu activation, resistence, dan exhaustion (distres). Berdasarkan konsep sel memori dan konsep Selye pada imunologi maka jelas bahwa sel dapat melakukan proses stres
(Suhartono, 2005), dimana stresor ditangkap dan sel di locus cereleus
noradrenergic center di hipotalamus sehinggga mensekresi ACTH (aktivasi stres tahap 1), kemudian ACTH ditangkap oleh sel di korteks adrenal, mengeluarkan glukokortikoid dan sel di medula adrenal mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin. Limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid, epinefrin, dan norepinefrin (aktivasi stres tahap 1), berlanjut ketidakmampuan tubuh melawan stresor(resistence), dan menjadi fase pertama sakit(distres). Gangguan pada salah satu elemen dapat menjadi suatu protein yang salah melipat dan dipercaya sebagai pokok kejadian kesalahan pada manusia salah satunya tumor (Alder, Felten, dan Cohen, 2001).
(12)
commit to user
Mekanisme Tumor Escape merupakan salah satu proses yang kompleks
yang disebut dengan imune editing. Bagaimana tubuh mengatasi antigen yang
masuk atau sel yang bermutasi adalah dengan NER (Nuclear Excission Repair),
Apoptosis dan sistem imun (Sudiana, 2008). Fokus pada sistem imun dalam
mengatasi sel yang terinfeksi (virus) maupun yang mutasi dikenal dengan immune
surveillance yang terdiri 3 fase, yaitu fase eliminasi, equilibrium dan escape
(penghindaran terhadap sistem imun) (Swann dan Smyth, 2007; Kim et al.,
2006).
Tumor Escape adalah mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap
respon imun yang bisa diakibatkan oleh penurunan MHC1 sehingga kurang
dikenal oleh limfosit T sitotoksis (Abbas dan Litchmann, 2007). Disamping itu
sel-sel tumor dapat memproduksi TGFβ dan IL10 yang dapat menghambat makrofag dan limfosit. Fas-ligand yang diekspresikan tumor berikatan dengan
FAS pada limfosit menyebabkan Apoptosis (Kim et al., 2006).
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel secara terprogram.Apoptosis dapat digunakan untuk membuang sel-sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh. Apoptosis terjadi secara spontan dan merupakan inisiatif dari sel itu sendiri, jaringan yang mengelilinginya, atau dari sel yang berasal dari sel imun. Apabila sel sudah kehilangan kemampuan Apoptosis atau kemampuan Apoptosis dihambat oleh suatu virus, sel-sel dapat berkembang secara tidak terkendali dan akhirnya akan menjadi kanker.
(13)
commit to user
Gambar 2.2. Perubahan morfologi selama Apoptosis (Neuman, M.G, 2001 ).
Heat Shock Protein( HSP ) adalah protein yang ada di semua sel sepanjang hidup dan diinduksi oleh stres. Dalam keadaan normal HSP berperan sebagai chaperon ( memastikan sel dalam bentuk yang benar) sehingga mempunyai peran penting dalam maturasi protein (melipat dan menyesuaikan gugus asam aminonya), dan memindahkan protein yg rusak ataupun tua untuk Apoptosis. Respon tubuh berupa pembentukan HSP yang dipicu oleh adanya sel kanker ini merupakan respon pertama di tingkat seluler. Diantara HSP, HSP 70 mempunyai implikasi dalam perkembangan tumor, akan tetapi pada KNF masih belum
jelas.(Kabakov et al., 2002).
HSP 70 paling instensif dipelajari diantara semua HSP, HSP 70
mengandung dua domain utama. HSP 70 dikenal sebagai chaperone tergantung
ATP, tidak jelas bagaimana HSP ini melawan proteotoksis pada kondisi tidak ada
Keterangan:
Ketika sel mengalami Apoptosis, dan mulai membentuk tonjolan kecil (yaitu, blebs). Selanjutnya, inti sel istirahat terpisah dan DNA istirahat menjadi potongan-potongan kecil. Potongan-potongan nucleus dan DNA, serta komponen sel lainnya (yaitu, organel) didistribusikan di antara blebs, yang bertambah besar. Setiap bleb akhirnya membungkus sebagian dari isi sel, dan sel pecah, membentuk beberapa disebut badan Apoptosis yang kemudian dapat dicerna dan dihancurkan oleh makrofag
(14)
commit to user
domain menghasilkan kondisi termoresisten dan mengurangi agregasi
intranuklear protein di heat shock sel. Ketidakmampuan mutant untuk mengikat
dan menghidrolisis ATP tidak kemudian menghilang efek proteksinya. Mutant
tetap berkemampuan membentuk kompleks dengan protein sel terdenaturasi
panas, jadi mengurangi protein agregasi selama shock heat/ panas. HSP 70 terikat
lebih kuat dengan ADP daripada ATP,rasio ATP/ADP secara nyata menurun di sel yang kekurangan energi. Jadi kemungkinan dalam kondisi kekurangan ATP
yang berat hampir semua molekul HSP 70 dalam kondisi ADP state. Pada kondisi
kecepatan pelan, kelebihan HSP 70 ADP state dalam sel toleran dengan kondisi
kekurangan ATP dapat membentuk kompleks yang stabil dengan protein yang
terpengaruh stres (Kabakov et al., 2002).
HSP 70 mempunyai afinitas yang tinggi terhadap peptida hidrofobik dan afinitas ini meningkat setelah hidrolisis ATP. Kompleks HSP 70 dan ATP terikat di domain hidrofobik protein, setelah hidrolisa ATP menjadi ADP, ikatan akan semakin kuat dan memperlama waktu interaksi HSP 70-polipeptida. Aktivitas
ATPase terhadap HSP 70 di stimulasi oleh HSP lainnya seperti HSP 40 (DnaJ).
Setelah perubahan ADP menjadi ATP yang didukung oleh molekul chaperone
GrpE, polipeptida dilepas dan siklus berulang kembali. Polipeptida yang di lepas
langsung ditujukan ke jalur protein folding sel yang mempunyai komposisi
dengan beberapa protein chaperone lain. Kenyataannya interaksi HSP 70 dengan
polipeptida adalah reversibel dan penting untuk protein folding dan translokasi.
Sebagai contoh hubungan HSP 70 dengan domain hidrofobik polipeptida baru
(15)
Patogen seperti virus dapat menginduksi HSP 70, Saat stres HSP 70 tampak berinteraksi dengan domain hidrofobik protein yang akan terekspose
akibat insult, misalnya temperature meningkat. Saat sel kembali ke kondisi
normal, polipeptida yang terdenaturasi kembali melipat (fold) atau menjadi target
proteolitik kompartemen subsellular (De Maio, 2011)
Tabel 2.1. Pemicu peningkatan HSP 70( De Maio, 1999 cit De Maio, 2011).
Jenis stresor Zat
Lingkungan Temperatur
Logam berat Ethanol Radikal bebas Oxygen peroxida Ozone NO
Metabolit Latihan
Hipoglikemi Tunicamycin Calcium ionophrone Amino acid analogues
Klinis Iskemia
Syok Sirkulasi Syok Hemorhagi Anoksia
Hipertensi akut Endotoksin
Patogen Virus
Bakteri Parasit
HSP 70 mempunyai implikasi dalam perkembangan tumor, akan tetapi pada KNF masih belum jelas. Dari 507 pasien KNF dengan pemeriksaan IHC disebutkan bahwa HSP 70 pada membran sel dan sitoplasma mempunyai harapan hidup lebih baik dibandingkan dengan yang di inti. Tingkat ekspresi HSP 70 pada membranal dan sitoplasma yang tinggi memprediksi tingkat kelangsungan hidup
(16)
commit to user
dengan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa
HSP 70 memungkinkan menjadi indikator prognostik.(Cai et al.,2012).
Pengaturan ekspresi HSP: 1. Efisiensi tinggi
Regulasi ekspresi heat shock berbeda diantara spesies. Di sel drosophila,
gen heat shock di transkrip selama stres dan translasi pesan non heat shock
terblok, sehingga HSP mRNA mengalami translasi yang ekslusif. Di sel
mamalia transkripsi gen heat shock terjadi dengan cepat selama stres dan
pesannya ditranslasikan dengan efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan
pesan non heat shock. Tidak ada bukti translasi pesan non heat shock terblok
di sel mamalia. (De Maio, 2011).
2. Didesain untuk respon yang cepat
Transkripsi HSP 70 pada sel tanpa stres, RNA polymerase II secara
transkripsional berlangsung tetapi mengalami istirahat saat memulai gen HSP
70. Jadi RNA polymerase II dapat kembali bekerja segera untuk transkripsi gen
HSP 70 saat terpicu stres. (De Maio, 2011).
3. Lingkungan sel berperan pada ekspresi HSP 70.
Level ekspresi HSP 70 berbeda pada jaringan tikus yang berbeda setelah
suhu tubuhnya mencapai 420C. Pola ekspresi HSP 70 secara berurutan adalah
hati mirip usus, spleen, otot rectus, otot gastrocnemius, ginjal, Paru, Jantung, otak. Penurunan eksprsi HSP 70 di jantung kemungkinan karena suhu yang
(17)
lebih rendah dari 410C, selama heat shock. Perbedaan satu derajat celcius, akan memuat perbedaan level ekspresi HSP 70 di tikus (De Maio, 2011).
4. Regulasi self limiting
Terdapat hipotesis bahwa HSP 70 terikat HSF akan menghentikan aktivasi
faktor transkripsi. Setelah heat shock ada protein yang mengalami denaturasi
mendekat ke HSP 70, affinitasnya lebih kuat terhadap protein denaturasi dari pada HSF. Mungkin saat di sel terjadi konsentrasi HSP 70 yang tinggi (kritis), melebihi jumlah protein yang terdenaturasi, HSP terikat di HSF lagi dan menghentikan ekspresi gen.
Saat heat shock, HSF teraktivasi, trimerizes ikat ke heat shock promoter,
dan menstimulasi transkripsi. HSP 70 mRNA ditranslasikan dengan cepat. HSP 70 baru berinteraksi dengan protein yang mengalami denaturasi akibat stres. Saat HSP 70 berlebih akibat konsentrasi polipeptid terdenaturasi atau saat sel mengalami pemulihan dari stres (semua polipeptid terdenaturasi mengalami pelipatan kembali), HSP 70 akan terikat ke HSF monomer. Ikatan HSP 70 tidak membuat HSF berhenti mengalami aktivasi dan translasi. Saat timbul stres ulang HSP 70 direkruit untuk berinteraksi dengan polipeptid yang mengalami denaturasi (De Maio, 2011).
1 HSP 70 dan Permeabilitas Epitel
Stres fisiologis sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Manusia hidup mendapat manfaat dari stres ringan karena dapat mendorong atau meningkatkan
(18)
commit to user
barrierterdiri dari satu lapis sel epitel, membuat nutrisi dan air terabsorpsi dan
mencegah absorpsi subtansi racun/noxious (Yang et al., 2009).
Protein heat shock juga disebut protein stres, merupakan kelompok protein
yang ada di semua sel di sepanjang hidup. Diinduksi saat sel mengalami berbagai tipe stres lingkungan seperti panas, dingin dan kekurangan oksigen. HSP juga ada
disel pada kondisi sel normal. HSP akan berperan sebagai chaperones, yang
memastikan bahwa protein sel dalam bentuk yang benar, ditempat yang benar, dan diwaktu yang benar. HSP menolong protein baru atau protein yang terganggu
melipat menjadi bentuk yang sesuai dengan fungsinya. HSP juga sebagai shuttle
protein dari satu kompartemen ke lainnya didalam sel , dan memindahkan protein tua ke keranjang sampah di dalam sel. HSP juga dipercaya berperan penting dalam presentasi bagian dari protein (atau peptida) pada permukaan sel untuk menolong sistem imun mengenal sel sakit.
Salah satu perubahan patologis diinduksi stres kronik adalah Apoptosis sel epitel intestinal. HSP 70 mempunyai kemampuan untuk menekan berbagai tipe sel
death, termasuk kematian nekrose, Apoptosis klasik, dan berbagai program
kematian sel yang tidak tergantung Caspase dan tidak terblok oleh Bcl-2.
Penelitian ini menjelaskan bahwa HSP 70 menghambat stres kronik yang
menginduksi disfungsi barrier intestinal, mungkin melalui pencegahan terhadap
pengaruh stres menginduksi Apoptosis sel epitel intestinal.Pretreatment dengan
HSP 70 secara bermakna memproteksi fungsi barrier epitel intestinal yang
(19)
denaturated protein, preventing unfolded demage protein dan melalui mekanisme
anti Apoptosis langsung (Yang et al., 2009).
2 HSP 70 dan Apoptosis
Selama menjalani kehidupan, sel-sel organisme mengalami berbagai kerusakan yang terus menerus dari faktor internal maupun faktor eksternal. Oleh karena itu sistem hidup harus mempunyai berbagai strategi untuk memperbaiki
ataupun eliminasi komponen yang rusak. Heat shock atau respon stres merupakan
respon adaptif selular, yang menolong menjaga homeostasis sel saat stres. HSP
70, berefek lebih kuat sebagai antiapoptotic, berinteraksi dengan jalur Apoptosis
intrinsik dan ekstrinsik, pada sejumlah tahapan dan menghambat kematian sel (Arya, 2007).
Pada jalur intrinsik HSP 70 menghambat pembentukan kompleks
apoptosome melalui interaksi langsung dengan Apaf-1.HSP 70 mencegah late Caspase dependent event, juga melindungi sel dari ekspresi kuat dari Caspase-3.HSP 70 (tak tergantung aktivitas cheperonnya) dapat menghambat JNK yang dapat memediasi kematian sel, dengan menekan fosforilasi JNK.Caspase-8
memediasi aktivasi Bid, yang kemudian menyebabkan Bax migrasi ke membran
mitokondria untuk memicu pelepasan berbagai faktor kematian. Jalur ini
merupakan link antara jalur intrinsik dan ekstrinsik, HSP 70 meregulasi aktivasi
Bid ini tanpa tergantung fungsi cheperonnya.HSP 70 berperan sebagai anti
(20)
commit to user
inducing stimuli. HSP 70 juga menghalangi lysosome mediated Caspase independent cell death pathway, dapat menjaga integritas membran lisosom,
sehingga dapat mencegah pelepasan cathepsin ke sitosol (Arya, 2007).
(21)
HSP 70 (Kotak merah) umumnya sebagai antiapoptotic karena menghambat (garis merah) pada berbagai tahap jalur intrinsik apoptotik
3 HSP 70 dan Inflamasi
Pengaruh HSP 70 terhadap inflamasi adalah menekan faktor transkripsi
Nf-kβ. Komponen HSR, yaitu Heat Shock Protein, terutama HSP 70, dan Heat
Shock Transcription Factor-1 (HSF-1) mempunyai peranan sebagai molekul pro dan antiinflamasi dalam memproduksi dan melepaskan modulator inflamasi.
Dalam kemampuannya sebagai antiinflamasi, HSR memodulasi cytokine signal
transduction dan gene expression dengan cara menghambat translokasi faktor
transkripsi nuclear factor-kappa B (NF-κB) ke nucleus dan mencegah ekspresi
mediator inflamasi. Sebagai mediator proinflamasi, pelepasan HSP melalui nekrosis dan non nekrosis ke lingkungan ekstraselular menghasilkan berbagai respon imun/inflamasi dengan mengaktifkan pelepasan berbagai sel efektor imun
dan sitokin (Calderwood et al., 2007; Amorim dan Moseley, 2010).
Beberapa keterangan yang potensial,menerangkan tentang pengaruh HSP
merepresi NF-κB. Penelitian dari kultur sel dan binatang hidup menguatkan bukti
bahwa interaksi fisik secara langsung antara HSP 70 dan protein inhibitor NF-κB,
IkB-α,mencegah disosiasi NF-κB. Sun et al.,(2005), menunjukkan bahwa paparan
LPS menginduksi aktivasi NF-κB kemudian akumulasi HSP 70 akan menekan
aktivasinya, diikuti dengan penurunan produksi TNF-α dan ekspresi mRNA. HSP
70 akan memblok degradasi IkB-α dan meningkatkan ekspresi IkB-α mRNA.
Menggunakan binatang hidup, Pritts et al., (2000) menunjukkan paparan panas
(22)
commit to user
respon stres invivo, menurunkan aktivitas NF-κB di mukosa jejunum pada tikus
yang mengalami endotoksemik. Mekanisme lain efek HSP 70 adalah mekanisme indirek, represi aktivasi MAPK memediasi inhibisi rangkaian peristiwa akibat
pengaruh dari NF-κB. Hubungan HSP 70 dan aktivasi Jun kinase (JNK) MAPK
menginduksi fosforilasi c-JUN (kombinasi dengan c-Fos) untuk aktifkan faktor transkripsi AP-1.AP-1 berperan pada peningkatan sitokin proinflamasi IL-18, yang diketahui bahwa, over produksinya berhubungan dengan gangguan inflamasi
berat.Wang et al., (2002) mengamati bahwa HSP dapat menekan ekspresi IL-18
pada respon terhadap LPS melalui inhibisi jalur sinyal JNK MAPK. Tang et al.
(2005) mengamati stimulasi LPS akan menginduksi mediator pro inflamasi dan memediasi Apoptosis/kematian.
HSP intrasel sebagai anti inflamasi karena mengatur produksi sitokin inflamasi oleh sel efektor imun, peningkatan toleransi sel dan jaringan terhadap sitokin yang memediasi sitotoksik, dan melemahkan perubahan permeabilitas barier epitel.Sebaliknya, HSP terutama HSP 70 mempunyai respon inflamasi saat bertemu dengan sel efektor imun di lingkungan lokal ekstrasel.Matzinger (2002) menyatakan bahwa HSP sebagai sinyal bahaya untuk sistim imun, HSP sebagai
molekul co-stimulator untuk pengenalan imun. Pelepasan HSP 70 ke lingkungan
ekstrasel dapat melalui proses sekresi aktif dan proses pasif dari cedera, nekrosis atau sel terinfeksi virus.Pada kenyataanya, beberapa sel tumor manusia mengekspresi HSP 70 di membrane plasmanya.
Imunohistokimia (IHC) merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein, karbohidrat,dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibody
(23)
yang berikatan terhadap antigen pada jaringan, Imunohistokimia ini juga sering digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karakteristik dari even seluler
seperti proses proliferasi sel, Apoptosis sel (Ramos –Varra 2005).
IHC dilakukan untuk memeriksa HSP 70 dan HLA -A ekspresi dalam jaringan karsinoma nasofaring, dengan menggunakan antibodi primer terhadap HSP 70 . Hasil IHC dievaluasi dan dinilai secara independen oleh ahli patologi sebagai 0 (negatif), 1 (positif lemah), 2 (cukup positif) atau 3 (sangat positif).
IHC merupakan proses untuk mendeteksi antigen(protein, karbohidrat, dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antigen antibody pada jaringan. IHC ini merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibody atau antigen dalam sediaan jaringan (Rantam, 2003).
Protein-protein HSP telah terbukti dapat memblokir Apoptosis dengan mengganggu aktivasi Caspase. Overekspresi dari HSP 70 dapat menginhibisi Apoptosis dan mencegah aktivasi Caspase dalam berbagai model seluler melalui berbagai stres seluler, termasuk akumulasi dari protein yang gagal melipat,
reactive oxygen species (ROS) atau kerusakan DNA (Mosser et al.,2000,
(24)
commit to user
Gambar 2.4. Pola ekspresi yang berbeda dari HSP 70 pada jaringan KNF. A: tingkat ekspresi HSP 70 membran dan sitoplasma, B: pada inti dalam pembesaran rendah dan tinggi. Bar skala, 100 pM.(dikutip dari Cai et al.,2012).
D. Cystein Aspartate Specific Proteases-9 ( Caspase-9 )
Pada dasarnya kanker terjadi setelah sel kanker memiliki kemampuan untuk 1) menghindari proses Apoptosis, 2) mampu menciptakan sinyal pertumbuhan sendiri 3) tidak sensitif terhadap sinyal anti-pertumbuhan, 4) kemampuan untuk tumbuh tanpa batas, 5) menciptakan angiogenesis, 6) invasif dan metastase.
Cystein Aspartate Specific Proteases (Caspase) mempunyai substrat alami
antara lain: Poly-ADP-ribose polymerase (PARP), gelsolin, sitokeratin dan DNA
fragmentation factor 45 kDa (DFF45). Caspase merupakan pemegang peran penting Apoptosis. Apoptosis dapat terjadi dengan mekanisme yang beragam, diantaranya adalah:
(1) Apoptosis yang dipicu oleh sinyal dari dalam sel, biasanya melalui aktivasi Caspase-9.
(25)
(2) Apoptosis yang dipicu oleh sinyal dari luar sel, biasanya melalui aktivasi Caspase-8
(3) Apoptosis yang dipicu oleh Apoptosis-Inducing Factor.
Caspases (sisteinil protease-aspartat spesifik) adalah komponen penting dari signal molekuler dengan berbagai tugas tergantung pada subtipe dan organ terlibat. Aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk kerusakan sel dalam penyakit seperti stroke dan infark miokard. Keterlibatan sebagai indikator sendiri
ini potensial untuk penelitian obat (Lavrik et al.,2005).
Bentuk aktif Caspase-9 merupakan penanda penting titik masuk sel ke jalur sinyal Apoptosis, dimana aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk kerusakan sel, keterlibatan sebagai indikator sendiri ini potensial untuk penelitian
obat (Lavrik et al.,2005).
Caspase-3 diaktifkan oleh Caspase-8 (ekstrinsik) dan Caspase-9 (intrinsik), sehingga sangat cocok sebagai read-out dalam Apoptosis. Deteksi aktif Caspase-3 dapat digunakan dalam sel yang berbeda garis atau sel primer, tidak
memerlukan penggunaan teknik transfeksi, dan dapat multiplexing dengan probe
lain untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang sinyal acara dengan resolusi sel-by-sel. Karena ada laporan bahwa sel semakin mengalami Apoptosis bila terkena staurosporine dari waktu ke waktu, ketergantungan waktu Apoptosis yang diukur dengan aktivasi Caspase-3.
Caspase - 3 diaktifkan dalam sel Apoptosis baik oleh jalur ekstrinsik (
(26)
commit to user
bulu . Caspase-3 zymogen memiliki hampir tidak ada aktivitas sampai dibelah
oleh Caspase inisiator setelah peristiwa sinyal Apoptosis telah terjadi . Salah satu acara sinyal tersebut adalah pengenalan granzim B , yang dapat mengaktifkan Caspases inisiator, ke dalam sel yang ditargetkan untuk Apoptosis oleh sel T. aktivasi ekstrinsik ini kemudian memicu karakteristik kaskade ciri Caspase dari jalur Apoptosis.
Proses transduksi sinyal menuju Apoptosis pada umumnya tergantung
pada aktivitas Caspase (Cysteine Aspartic Acid-specific Protease) atau
Caspase-dependent Apoptosis. Adapun Caspase (Cystein Aspartate Specific Proteases)
merupakan enzim yang bertanggungjawab terhadap perusakan (disasembly) sel
secara sengaja menjadi bentuk apoptotik. Peran Caspase dalam Apoptosis sebagai berikut: sebagai Initiator adalah Caspase8 dan Caspase9, dan sebagai eksekutor adalah Caspase3,Caspase 6 dan Caspase7.
Menurut Grubisic (2005), mitokondria merupakan sentral kordinasi peristiwa apoptotik. Berbagai jalur Apoptosis dan sinyal transduksiakan
menginduksi permeabilitas membran. Ruptur outer membrane dan formasi
mega-channel, permeability transition pore (PTP) sebagai peristiwa awal.Adenine nucleotide translocator di membraninternal mitokondria dan voltage-dependent anion channel di membran luar merupakan komponen PTP utama. Protein bertanggungjawab untuk kerusakan membrane mitokondria, reaksi tersebut diatur oleh Bcl-2.Sebagai anti apoptotic Bcl-2 juga mencegah diproduksinya ROS,
(27)
commit to user
Bcl-2 beserta HSP 70 dapatmenghambat translokasi AIF (Apoptosis Inducing
Factor) sebuah mediator Caspase independent Apoptosis.
Gambar 2.5. Peran Caspase pada Apoptosis (dikutip dari Mads et al., 2005).
Dari gambar diatas tampak bahwa Caspase-8 mengawali proses perusakan
sebagai respon terhadap ligan ekstraseluler yang mengaktivasi death domains
pada reseptor sitoplasma. Caspase-9 mengawali perusakan sebagai respon terhadap zat yang memacu pelepasan sitokrom C dari mitokondria, sedangkan Caspase3 mengamplifikasi sinyal dari Caspase-8 atau Caspase-9 menuju
(28)
commit to user E. KERANGKA TEORI
KET:
: Efek memacu : Efek menghambat : Variabel penelitian
:Fokus penelitian
: Variabel penelitian
EBV
Bax
Mitokondria
Cytochrome-Apaf-1
Pro-Caspase-9
Apoptosome
Active Caspase-9
Pro-Caspase-3
Active Caspase-3
Death Substrates(ICAD) Apoptosis
HSP 70
HSP 70
DNA damage
KNF WHO TIPE 3
HSP 70
(29)
commit to user Keterangan kerangka teori:
HSP 70 menghambat pembentukan kompleks apoptosome dalam proses
Apoptosis, melalui interaksi langsung dengan Apaf-1. HSP 70 (tak tergantung aktivitas cheperonnya) dapat menghambat JNK yang dapat memediasi kematian
sel, dengan menekan fosforilasi JNK, HSP 70 meregulasi aktivasi Bid ini tanpa
tergantung fungsi cheperonnya.HSP 70 berperan sebagai anti Apoptosis di
independent Caspase pathway, melalui keterikatannya dengan Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang dilepas dari mitokondria setelah death-inducing stimuli. HSP
70 mencegah late Caspase dependent event, juga melindungi sel dari ekspresi
kuat dari Caspase-3.
F. KERANGKA KONSEP
KET:
: Efek memacu : Efek menghambat : Variabel penelitian
(30)
commit to user Keterangan kerangka konsep:
DNA rusak pada pasien KNF Undifferentiated/ WHO tipe 3 mengaktivasi ekspresi HSP 70, dan juga memacu pembentukan apoptosome dari sitokrom C yang mengaktivasi proCaspase-9 menjadi Caspase-9 dalam Apoptosis jalur intrinsik, akan tetapi terpacunya ekspresi HSP 70 juga menghambat pembentukan kompleks apoptosome (anti Apoptosis).
G. Hipotesis
Terdapat korelasi negatif antara ekspresi HSP 70 dengan ekspresi Caspase-9 pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3.
(1)
commit to user
(2) Apoptosis yang dipicu oleh sinyal dari luar sel, biasanya melalui aktivasi Caspase-8
(3) Apoptosis yang dipicu oleh Apoptosis-Inducing Factor.
Caspases (sisteinil protease-aspartat spesifik) adalah komponen penting dari signal molekuler dengan berbagai tugas tergantung pada subtipe dan organ terlibat. Aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk kerusakan sel dalam penyakit seperti stroke dan infark miokard. Keterlibatan sebagai indikator sendiri ini potensial untuk penelitian obat (Lavrik et al.,2005).
Bentuk aktif Caspase-9 merupakan penanda penting titik masuk sel ke jalur sinyal Apoptosis, dimana aktivasi Caspases ini merupakan penanda untuk kerusakan sel, keterlibatan sebagai indikator sendiri ini potensial untuk penelitian obat (Lavrik et al.,2005).
Caspase-3 diaktifkan oleh Caspase-8 (ekstrinsik) dan Caspase-9 (intrinsik), sehingga sangat cocok sebagai read-out dalam Apoptosis. Deteksi aktif Caspase-3 dapat digunakan dalam sel yang berbeda garis atau sel primer, tidak memerlukan penggunaan teknik transfeksi, dan dapat multiplexing dengan probe lain untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang sinyal acara dengan resolusi sel-by-sel. Karena ada laporan bahwa sel semakin mengalami Apoptosis bila terkena staurosporine dari waktu ke waktu, ketergantungan waktu Apoptosis yang diukur dengan aktivasi Caspase-3.
Caspase - 3 diaktifkan dalam sel Apoptosis baik oleh jalur ekstrinsik ( ligan kematian) dan intrinsik (mitokondria). Fitur zymogen Caspase 3 diperlukan karena jika tidak diatur , aktivitas Caspase akan membunuh sel-sel tanpa pandang
(2)
commit to user
bulu . Caspase-3 zymogen memiliki hampir tidak ada aktivitas sampai dibelah oleh Caspase inisiator setelah peristiwa sinyal Apoptosis telah terjadi . Salah satu acara sinyal tersebut adalah pengenalan granzim B , yang dapat mengaktifkan Caspases inisiator, ke dalam sel yang ditargetkan untuk Apoptosis oleh sel T. aktivasi ekstrinsik ini kemudian memicu karakteristik kaskade ciri Caspase dari jalur Apoptosis.
Proses transduksi sinyal menuju Apoptosis pada umumnya tergantung pada aktivitas Caspase (Cysteine Aspartic Acid-specific Protease) atau Caspase-dependent Apoptosis. Adapun Caspase (Cystein Aspartate Specific Proteases) merupakan enzim yang bertanggungjawab terhadap perusakan (disasembly) sel secara sengaja menjadi bentuk apoptotik. Peran Caspase dalam Apoptosis sebagai berikut: sebagai Initiator adalah Caspase8 dan Caspase9, dan sebagai eksekutor adalah Caspase3,Caspase 6 dan Caspase7.
Menurut Grubisic (2005), mitokondria merupakan sentral kordinasi peristiwa apoptotik. Berbagai jalur Apoptosis dan sinyal transduksiakan menginduksi permeabilitas membran. Ruptur outer membrane dan formasi mega-channel, permeability transition pore (PTP) sebagai peristiwa awal.Adenine nucleotide translocator di membraninternal mitokondria dan voltage-dependent anion channel di membran luar merupakan komponen PTP utama. Protein bertanggungjawab untuk kerusakan membrane mitokondria, reaksi tersebut diatur oleh Bcl-2.Sebagai anti apoptotic Bcl-2 juga mencegah diproduksinya ROS, sehingga dapat terhindar dari Apoptosis karena up-regulation reseptor Fas death.
(3)
commit to user
Bcl-2 beserta HSP 70 dapatmenghambat translokasi AIF (Apoptosis Inducing Factor) sebuah mediator Caspase independent Apoptosis.
Gambar 2.5. Peran Caspase pada Apoptosis (dikutip dari Mads et al., 2005).
Dari gambar diatas tampak bahwa Caspase-8 mengawali proses perusakan sebagai respon terhadap ligan ekstraseluler yang mengaktivasi death domains
pada reseptor sitoplasma. Caspase-9 mengawali perusakan sebagai respon terhadap zat yang memacu pelepasan sitokrom C dari mitokondria, sedangkan Caspase3 mengamplifikasi sinyal dari Caspase-8 atau Caspase-9 menuju Apoptosis (Mads et al., 2005).
(4)
commit to user E. KERANGKA TEORI
KET:
: Efek memacu : Efek menghambat : Variabel penelitian
:Fokus penelitian : Variabel penelitian
EBV
Bax Mitokondria
Cytochrome-Apaf-1
Pro-Caspase-9
Apoptosome
Active Caspase-9
Pro-Caspase-3
Active Caspase-3
Death Substrates(ICAD) Apoptosis
HSP 70
HSP 70
DNA damage
KNF WHO TIPE 3
HSP 70
(5)
commit to user
Keterangan kerangka teori:
HSP 70 menghambat pembentukan kompleks apoptosome dalam proses Apoptosis, melalui interaksi langsung dengan Apaf-1. HSP 70 (tak tergantung aktivitas cheperonnya) dapat menghambat JNK yang dapat memediasi kematian sel, dengan menekan fosforilasi JNK, HSP 70 meregulasi aktivasi Bid ini tanpa tergantung fungsi cheperonnya.HSP 70 berperan sebagai anti Apoptosis di
independent Caspase pathway, melalui keterikatannya dengan Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang dilepas dari mitokondria setelah death-inducing stimuli. HSP 70 mencegah late Caspase dependent event, juga melindungi sel dari ekspresi kuat dari Caspase-3.
F. KERANGKA KONSEP
KET:
: Efek memacu : Efek menghambat : Variabel penelitian
: Variabel penelitian
(6)
commit to user
Keterangan kerangka konsep:
DNA rusak pada pasien KNF Undifferentiated/ WHO tipe 3 mengaktivasi ekspresi HSP 70, dan juga memacu pembentukan apoptosome dari sitokrom C yang mengaktivasi proCaspase-9 menjadi Caspase-9 dalam Apoptosis jalur intrinsik, akan tetapi terpacunya ekspresi HSP 70 juga menghambat pembentukan kompleks apoptosome (anti Apoptosis).
G. Hipotesis
Terdapat korelasi negatif antara ekspresi HSP 70 dengan ekspresi Caspase-9 pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3.