PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT : Studi Kasus Pengembangan Model Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi pada Sekolah Dasar di Kota Malang.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Program pendidikan untuk semua (for all education) harus diimplementasikan bagi semua lapisan masyarakat dari usia dini sampai lanjut usia, termasuk program pendidikan kecakapan hidup (life skills) bagi narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Pengembangan pendidikan kecakapan hidup merupakan tugas dan wewenang pendidikan luar sekolah sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia yang didasarkan kepada keterampilan/kecakapan hidup, pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan pendidikan tersebut sangat penting bagi narapidana, karena jumlah narapidana kian hari semakin meningkat di lembaga-lembaga pemasyarakatan, khususnya di lembaga-lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung.

Meningkatnya jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan sesungguhnya berkaitan erat dengan kondisi negara dan bangsa yang masih mengalami berbagai krisis yang berkepanjangan, seperti krisis ekonomi, moral, akhlak, nilai-nilai agama Islam, dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut dirasakan telah menimbulkan berbagai persoalan yang cukup mendasar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kejahatan, kekerasan, dan perilaku-perilaku negatif lainnya.


(2)

Narapidana adalah orang yang telah melanggar norma kehidupan, mereka tidak tahan dan tidak kuat menghadapi situasi dan kondisi kehidupan yang serba sulit sehingga menimbulkan sifat frustrasi, apatisme, kehilangan pekerjaan, pengangguran, dan masalah-masalah lain seperti tidak terpenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) di satu pihak, dan di pihak lain tidak sedikit pula narapidana yang berasal dari lapisan masyarakat yang tergolong mampu dari segi ekonomi bahkan dari kalangan elit, seperti pengusaha, politikus dan birokrat. Mereka nekat melakukan tindakan kejahatan, seperti penipuan, pencurian, penjambretan, pembunuhan, pemerkosaan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), dan korupsi, serta tindak pidana lainnya seperti illegal loging

(pembalakan/penebangan kayu milik negara).

Mencermati kondisi seperti itu, lembaga pemasyarakatan dituntut berperan aktif untuk membina narapidana agar kembali ke jalan yang benar dan diterima oleh masyarakat, sehingga mereka tidak lagi mengulangi tindak kejahatan. Seorang narapidana untuk dapat diterima dan hidup di tengah-tengah masyarakat harus mampu menyesuaikan dan membuktikan bahwa dirinya benar-benar sadar, insyaf, dan menunjukkan sikap serta perilaku yang baik. Untuk mengatasi dan mengantarkan para narapidana ke jalan yang benar, maka pembekalan keterampilan dan pendidikan agama Islam merupakan dua unsur yang memegang peranan yang sangat penting dan sangat menentukan bagi terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. serta mampu mengembangkan kecakapan hidupnya sebagai modal dalam upaya mengawali hidup baru di tengah masyarakat.


(3)

Disadari bahwa pembinaan narapidana bukanlah suatu proses penanganan yang mudah, karena menyangkut berbagai faktor, seperti faktor dana, para instruktur, keamanan, sarana/prasarana, waktu, dan lain sebagainya. Atmasasmita (1984: 84) mengemukakakn bahwa:

“Disatu pihak lembaga pemasyarakatan dituntut untuk membina dan mengembalikan narapidana ke masyarakat dalam keadaan siap bermasyrakat, akan tetapi di lain pihak proses penyembuhan mental kejiwaanya yang sudah parah karena terbakar oleh proses penegakan hukum harus dilaksanakan dengan baik”.

Kutipan di atas menunjukan bahwa lembaga pemasyarakatan mengemban tugas dan tanggung jawab moral yang cukup berat, yakni tidak hanya sekedar memberi keterampilan/kecakapan hidup dalam rutinitas sehari-hari sebagai pengisi kekosongan waktu para narapidana, melainkan upaya pembinaan yang terprogram, dirancang secara sistematis dan terpadu dengan tujuan membina dan mengembalikan narapidana ke masyarakat dengan dibekali keterampilan hidup serta penyembuhan mental atau kejiwaannya yang sudah rusak.

Upaya penyembuhan mental para narapidana sudah barang tentu tidak cukup dengan pembekalan keterampilan/kecakapan hidup saja, tetapi pembekalan nilai-nilai pendidikan agama Islam yang dirancang secara baik merupakan suatu icon yang dapat diandalkan bagi penyembuhan mental atau kejiwaan para narapidana. Nilai-nilai pendidikan agama Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an, dan Al-Qur’an sebagai obat penawar yang sangat mujarab atau ampuh bagi penyembuhan orang-orang yang sedang terganggu/mengalami kerusakan mental atau kejiwaannya. Oleh karena itu, kegiatan keterampilan dan pendidikan


(4)

keagamaan supaya berjalan dengan baik, efektif dan efisien perlu dipersiapkan program yang jelas, kurikulum dirancang sesuai dengan kebutuhan para narapidana sehingga materi pendidikannya mudah diserap, diterima, dan dipahami serta dapat diimplementasikan dalam kehidupan. Sampai saat ini kegiatan pendidikan termasuk kegiatan pendidikan keagamaan yang dikembangkan di berbagai lembaga pemasyarakatan, tidak terkecuali di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung belum memiliki kurikulum. Mulyasana (1993) pada salah satu kesimpulan dalam tesisnya menyatakan sebagai berikut:

“Semua kegiatan pendidikan di lembaga pemasyarakatan belum memiliki kurikulum, sehingga materi kependidikannya ditetapkan berdasarkan kebijakan pengajar. Sedangkan para peserta didiknya kebanyakan diambil dari mereka yang mendapatkan hukuman lama, sedangkan yang mendapatkan hukuman sebentar (hukuman kurungan) tidak resmi dilibatkan dalam kegiatan pendidikan luar sekolah.”

Sekaitan dengan hasil penelitian di atas, ternyata berdasarkan studi pendahuluan menunjukan bahwa di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung belum memiliki kurikulum yang permanen, artinya untuk menangani pembinaan para narapidana di lembaga pemasyarakatan dalam pemberian materi kependidikannya, termasuk pendidikan keagamaan masih diserahkan sepenuhnya pada kebijakan para pengajarnya. Oleh karena itu, pembina dan petugas lembaga pemasyarakatan perlu merancang dan menyiapkan program yang sistematis, terukur, dan berkesinambungan untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan keterampilan dan kependidikan, sebab pendidikan termasuk pendidikan keagamaan berkaitan langsung dengan segala aspek kehidupan manusia, dan sangat berperan serta menentukan bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia.


(5)

Sekaitan dengan hal tersebut, D. Sudjana S. (2004: 181) mengemukakan bahwa, penyelenggara dapat menggunakan tiga langkah kegiatan:

Pertama, melakukan identifikasi kebutuhan pendidikan dan atau kebutuhan belajar yang dirasakan dan dinyatakan oleh calon peserta didik... Kebutuhan yang diidentifikasi baik dari lembaga/organisasi maupun dari masyarakat berkaitan dengan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan belajar yang perlu dipenuhi oleh calon peserta didik.

Kedua, mengidentifikasi sumber-sumber, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia, dan kendala pada calon peserta didik, lembaga atau masyarakat. Sumber-sumber dan kendala ini perlu diperhitungkan sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Faktor pendukung dan penghambat kemungkinan berkaitan dengan pendidik (tutor, fasilitator, pelatih), pimpinan lembaga, tokoh masyarakat, bahan belajar, fasilitas, waktu, dana yang tersedia atau yang dapat disediakan, dan lain sebagainya.

Ketiga, menyusun program pendidikan non formal yang meliputi komponen-komponen: masukan lingkungan, masukan sarana, masukan mentah, proses, dan keluaran.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut, pembina, petugas, fasilitator dan pimpinan lembaga, khususnya lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung, selain melakukan koordinasi yang baik juga perlu mengidentifikasi kebutuhan narapidana, seperti: belajar membaca, menulis, berhitung (calistung), keterampilan dasar, latar belakang pendidikan, kemudian dikelompokan sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok narapidana baik kegiatan untuk keterampilan (life skills), atau untuk kegiatan kependidikan, sebab pengembangan keterampilan, sikap, pengetahuan, wawasan dan keagamaan dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dalam arti memiliki kemampuan, mandiri, memiliki etos kerja yang baik, disiplin tinggi, jujur, bertanggung jawab, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT merupakan tanggung jawab bersama pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dengan demikian para pembina dan petugas lainnya yang terkait dalam upaya mengentas


(6)

dan menyelamatkan narapidana di lembaga pemasyarakatan agar kelak setelah selesai menjalani hukuman dan kembali di tengah-tengah masyarakat dimana ia berada mampu mengaktualisasikan dirinya dan menjadi manusia yang berkualitas, bernilai, dan bermartabat, maka sistem pembinaan atau pengelolaan program keterampilan dan pendidikan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan perlu mengembangkan siklus kegiatan yang terdiri atas enam tahapan, sebagaimana dikembangkan oleh D. Sudjana S. (2004: 182), sebagai berikut:

Pertama; Tahap perencanaan (planning) yang meliputi kajian dan deskripsi tentang masalah yang dihadapi, tujuan, hasil yang diharapkan, dan lingkup kegiatan dalam melaksanakan program pendidikan non formal.

Kedua; Tahap pengorganisasian (organizing), meliputi upaya penyusunan ketenagaan, organisasi, fasilitas, dan daya dukung lainnya untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program pendidikan.

Ketiga; Tahap penggerakan (motivating), terdiri atas upaya motivasi yang dilakukan baik oleh pimpinan organisasi terhadap stafnya agar efisien dan efektif kegiatan tercapai maupun yang dilakukan oleh pendidik (tutor atau fasilitator) terhadap peserta didik agar proses belajar dapat berjalan sebagaimana yang telah direncanakan.

Keempat; Tahap pembinaan yang mencakup pengawasan (controlling) dan supervisi (supervizing). Yang pertama dilakukan dalam kelembagaan, yaitu pengawasan oleh pimpinan terhadap staf lembaga penyelenggara program. Yang kedua supervisi dilakukan terhadap pelaksana pendidikan, seperti pamong belajar atau pendidik (tutor/fasilitator).

Kelima; Tahap evaluasi (evaluating), meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan, dan penyajian informasi mengenai perencanaan, pelaksanaan, hasil, dan pengaruh program untuk dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan. Keputusan itu dapat berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki atau untuk mengembangkan program. Dalam kegiatan pembinaan dan evaluasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemantauan (monitoring). Sebagai akibat adanya keputusan tentang pengembangan program pendidikan, maka dilakukan kegiatan tahap ke

Keenam; yaitu pengembangan (developing). Kegiatan pengembangan pada dasarnya merupakan upaya lanjutan yang dilakukan dengan menerapkan kelima tahapan sebelumnya secara berurutan. Adanya tahap pengembangan ini menunjukan bahwa program pendidikan nonformal itu berkelanjutan, bergerak seperti lingkaran spiral yang makin lama makin meluas dan meningkat.


(7)

B. Indetifikasi Masalah dan Fokus Penelitian 1. Identifikasi Masalah

Pendidikan luar sekolah (PLS) dalam konteks kehidupan sosial masyarakat sehari-hari telah terbukti dapat dirasakan peranannya oleh kalangan masyarakat luas, tidak terkecuali kelompok narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan luar sekolah yang dapat mengisi kebutuhan masyarakat, termasuk di lembaga pemasyarakatan.

Dalam tingkat nasional, dukungan terhadap eksistensi PLS lebih kuat sejak diundangkannya UUSPN No.2 tahun 1989 dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 27 tahun 1991 tentang latihan tenaga kerja, PP No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP No. 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, dan PP No. 39 tahun 1992 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional. Suatu hal yang menonjol dalam PLS adalah tidak mengenal adanya perjenjangan. Oleh karena itu, PLS merupakan pendidikan alternatif bagi orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan pada jalur sekolah, dan PLS juga bisa jadi pendidikan alternatif bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Untuk mengidentifikasi narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas I Sukamiskin Bandung berdasarkan penelitian pendahuluan dengan Entin selaku kepala bidang pembinaan jasmani dan rohani, dapat dikelompokkan atas dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, disebabkan latar belakang pendidikan yang rendah, pengetahuan dan pemahaman agama Islam


(8)

yang minim serta keadaan sosial ekonomi yang sangat memprihatinkan. Sedangkan faktor eksternal, adalah disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak kondusif, salah bergaul/bebas bergaul, lemahnya pengawasan dari keluarga (orang tua), media cetak atau elektronik yang mengeksploitasi gambar sensual dan kekerasan, serta maraknya peredaran narkoba dan sejenisnya.

Secara umum, narapidana berasal dari kalangan masyarakat/keluarga yang status sosial ekonominya rendah/miskin dan sebagian kecil dari kalangan menengah ke atas, hidup dan besar dihabiskan di jalanan, tidak memiliki keterampilan yang dapat diandalkan, dan pesimis dalam menghadapi masa depan, serta tidak memiliki persepsi yang jelas dalam hidupnya.

Melihat kondisi umum narapidana tersebut baik dari aspek internal maupun eksternal, maka perencanaan dan pelaksanaan PLS di lembaga pemasyarakatan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, agar proses kegiatan keterampilan dan pendidikan dapat diikuti dengan rasa penuh kesadaran dan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya serta mejadi bekal bagi kepentingan narapidana di lembaga pemasyarakatan setelah bebas dan kembali ke masyarakat.

Berdasarkan gambaran tersebut dapat diasumsikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Narapidana adalah orang yang telah melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal sebagai salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang melekat pada setiap masyarakat. Perilaku menyimpang merupakan ancaman terhadap norma-norma dan kehidupan sosial yang dapat


(9)

menimbulkan kekacauan dan ketakutan baik terhadap individu atau masyarakat dan merupakan ancaman yang potensial bagi berlangsungnya keamanan dan ketertiban sosial. M.A Elliot (1952: 13) menyatakan “kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara, mati, denda, dan lain-lain”. Sedangkan menurut Sutherland (1960: 59), menyatakan: “Kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminal memang tidak ada teori ilmiah”.

Tindak kejahatan yang dilakukan oleh narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang staf bimpas, Heri mengamukakan yaitu pencurian dengan kekerasan, perampokan, penipuan, curanmor (pencurian kendaraan bermotor), penganiayaan, perkosaan/pelecehan seksual, dan pembunuhan serta korupsi dari kelas rendah sampai korupsi kelas kakap, sementara penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba) tidak ditangani di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

2. Pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui berbagai kegiatan keterampilan (life skills) dan dipadu secara kolaboratif dengan pendidikan umum di satu sisi dan pendekatan keagamaan di sisi lain merupakan elaborasi yang sinergis, dan bentuk inilah sebagai pengembangan model pembelajaran yang akan diujicobakan di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, karena selain sebagai salah satu bidang kajian PLS


(10)

yang perlu mendapatkan perhatian dari semua unsur yang terkait, juga karena narapidana yang unik, dan memiliki karakterisitik serta latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya.

3. Pendekatan keagamaan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. yaitu manusia yang dapat melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Pendidikan keagamaan tidak hanya mengajarkan tatacara ibadah shalat, puasa, zakat, haji dan pelaksanaan ritual lainnya, akan tetapi mengajarkan berbagai aspek yang menyangkut hajat dan kehidupan manusia untuk mengaktualisasikan seluruh potensi manusia secara utuh dalam praktek kehidupan sehari-hari, baik dalam melakukan hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan hidup.

4. Pembinaan narapidana melalui pendekatan keagamaan perlu direncanakan dan dikembangkan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait agar dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi keberhasilan pembinaan narapidana.

5. Keefektifan pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ditentukan oleh perencanaan yang matang, terukur, dan tepat sesuai dengan kebutuhan narapidana sehingga mampu memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pembinaan, yaitu mengembalikan mereka ke jalan yang benar, memiliki kesadaran yang baik dan mampu berpartisipasi


(11)

dengan anggota masyarakat dalam pembangunan, khususnya membangun dirinya dan keluarganya.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada sejumlah narapidana muslim yang sedang menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung dengan lamanya masa hukuman lima tahun ke atas melalui kegiatan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Dengan memadukan dan menerapkan kedua aspek diharapkan dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan wawasan pemahaman keagamaan sehingga memiliki tingkat kesadaran yang baik, sadar akan dirinya sebagai manusia yang perlu hidup wajar, normal, dan bergaul dengan sesamanya secara baik, sadar bagi dirinya untuk dapat berusaha mencari nafkah dengan cara yang baik dan halal, serta sadar untuk dirinya sebagai makhluk Tuhan yang harus taat dan beribadah kepada sang penciptanya, yakni Allah SWT.

C. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan fokus penelitian, maka perlu penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Perlunya pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin, Bandung.


(12)

2. Pertanyaan Penelitian

1) Apakah tujuan mengadakan pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan?

2) Bagaimanakah cara pengembangan model pembelajaran life skills

berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana muslim di lembaga pemasyarakatan?

3) Jenis-jenis keterampilan apakah yang diberikan kepada narapidana selama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan ?

4) Bagaimanakah faktor-faktor kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan uji lapangan tentang pengembangan model pembelajaran life skills

yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan?

D. Hipotesis

Bahwa pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan berlaku untuk semua narapidana dari yang memperoleh masa hukuman yang terrendah sampai kepada yang tertinggi/terberat. Artinya tidak ada perbedaan antara narapidana yang memperoleh masa hukuman terrendah dengan narapidana yang memperoleh masa hukuman tertinggi / terberat.


(13)

E. Definisi Operasional

Peneliti memandang perlu untuk menguraikan beberapa definisi operasional secara konseptual sebagai berikut:

1. Pengembangan merupakan suatu upaya maksimal secara terencana dan sistematis untuk menghasilkan suatu model yang berkualitas sebagai hasil proses dari pembinaan. Pengembangan yang dimaksud adalah meningkatkan proses pembelajaran life skills bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang dipadu dengan pendekatan keagamaan sebagai upaya pembentukan sikap, perilaku, budi pekerti, dan kesadaran serta nilai-nilai agama Islam.

2. Model adalah kerangka atau pola yang dirancang secara baik, mempunyai efisiensi dan efektifitas sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah dan praktis. Model dapat diartikan juga sebagai suatu sistem dalam mendeskripsikan sesuatu secara praktis. Abdul Latif (2006: 52) mengemukakan lima kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:

1) Sederhana; bentuk sederhana dan memudahkan kita untuk mengerti, mengikuti dan menggunakan;

2) Lengkap; suatu model pengembangan yang lengkap harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengadakan identifikasi, pengembangan, dan evaluasi;

3) Diterapkan; selain sederhana bentuk dan kelengkapan komponennya, juga hendaknya diterima (acceptabel) dan dapat diterapkan (applicabel) sesuai dengan situasi;

4) Luas; jangkauan model hendaknya luas, tidak saja berlaku untuk proses belajar mengajar yang konvensional tetapi juga proses belajar yang lebih luas, baik yang menghendaki kehadiran guru secara fisik maupun tidak;

5) Teruji; terpakai secara luas dan teruji atau terbukti dapat meningkatkan hasil belajar.


(14)

Sekaitan dengan kriteria tersebut, maka model dalam konteks penelitian ini adalah suatu rancangan untuk membantu dan memberikan kontribusi dalam sistem pembelajaran keterampilan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pendekatan keagamaan.

3. Pembelajaran merupakan proses yang membuat seseorang atau sejumlah orang (peserta didik) melakukan proses belajar sesuai dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan. Pembelajaran berpusat kepada tujuan yang hendak dicapai berdasakan perencanaan. Pembelajaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah pembelajaran bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan agar memperoleh sejumlah keterampilan dan pengetahuan sebagai modal untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

4. Life skills adalah “kecakapan seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi, sehingga mampu mengatasinya” (Tim BBE Depdiknas).

5. Berbasis pendekatan keagamaan, artinya sarat akan muatan pendekatan keagamaan dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan sebagai media pembentukan narapidana agar memiliki karakter, watak dan kepribadian dengan landasan iman, ketaqwaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari baik dalam menjalani masa tahanan maupun nanti setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan. Sedangkan pendekatan itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “usaha dalam rangka aktifitas


(15)

penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang lain yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian” (1997: 218). Adapun keagamaan berarti: “berhubungan dengan agama”. (1997: 10). Menurut Juhaya S. Praja (1997: 32) “hidup keagamaan berarti praktek-praktek menjalankan ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif, dengan demikian hidup keagamaan meliputi 1) perilaku individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. 2) perilaku masyarakat atau suatu komunitas baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya sebagai penganut suatu agama, dan 3) ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama”.

6. Narapidana adalah orang yang terpidana dan menjalani pidana atau hukuman di lembaga pemsayarakatan, akibat melakukan tindak kejahatan (kriminalitas). Narapidana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah narapidana muslim yang terpidana lima tahun ke atas yang berjumlah 132 orang pada saat penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data September 2008 (Kepala Registrasi Enceng Suherman).

7. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat bagi narapidana untuk menjalani hukuman. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai pelindung dan pengaman. Pelindung dan pengaman yang dimaksud dalam konteks ini adalah: Pertama; narapidana memperoleh perlindungan hak-haknya sebagai manusia yang perlu mendapat pembinaan dan keamanan baik fisik,


(16)

tentram sehingga dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari dapat terlaksana dengan baik. Lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan para narapidana di lembaga pemasyarakatan ke jalan yang benar sesuai dengan norma-norma, baik norma agama, hukum, dan adat istiadat maupun norma susila sehingga mampu berpartisipasi dengan anggota masyarakat lainnya dalam melakukan pembangunan.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang model pembelajaran life skills yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan sebagai upaya pembinaan terhadap narapidana dengan mensinergikan basis pendekatan keagamaan bagai narapidana muslim. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Mengetahui secara signifikan mengenai tujuan pengembangan model pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

b. Memperoleh gambaran secara empiris tentang cara mengembangkan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

c. Mengetahui jenis-jenis keterampilan yang dikembangkan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang berbasis pendekatan keagamaan. d. Mengetahui faktor-faktor kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan uji


(17)

pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua unsur kegunaan yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Kegunaan teoritis adalah untuk memperkaya wacana dan khasanah ilmu bagi masyarakat kampus (akademik) tentang pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan kegunaan praktis adalah : a. Sebagai bahan kajian bagi pihak-pihak yang berkompeten khususnya bagi

pihak pendidikan luar sekolah (PLS) untuk turut memberikan kontribusi dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan pengembangan penelitian dalam bentuk dan model yang lain.

b. Model yang dihasilkan dari penelitian ini tentu sangat berguna bagi pihak lembaga pemasyarakatan khususnya lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung untuk dijadikan bahan atau sumber referensi dalam upaya mengembangkan pembinaan narapidana di lingkungan masing-masing.

c. Dalam kerangka pembangunan pendidikan nasional, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemerintah daerah, khususnya Kanwil Kementerian Hukum dan HAM guna mengambil suatu kebijakan dengan mempertimbangkan hal-hal yang baik, efektif dan efisien bagi pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.


(18)

G. Kerangka Berfikir

Pembangunan nasional adalah mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dengan upaya sekuat tenaga melakukan perubahan ke arah perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai cara. Dua jalur utama yang paling signifikan dalam membangun bangsa yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Kaitannya dengan pendidikan luar sekolah (PLS), pembinaan sumber daya manusia dalam hal ini adalah narapidana yang berada di lembaga pemsyarakatan sebagai kelompok manusia yang memiliki hak untuk memperoleh pembelajaran agar mempunyai bekal pengetahuan, keterampilan, dan wawasan serta pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan luar sekolah (PLS) merupakan garda candra dimuka, wahana dan sarana yang sangat tepat bagi narapidana untuk menjadi manusia yang mampu mengikuti kehidupan global.

Pengembangan sumber daya manusia agar berkualitas, baik kualitas hidupnya, maupun kualitas keterampilannya sebagai modal untuk melaksanakan pembangunan terutama membangun dirinya adalah perlu mengembangkan sejumlah aktifitas seperti aktif melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu : 1) Latihan dan pengembangan; 2) Pengembangan organisasi; 3) Desain pekerjaan organisasi; 4) Perencanaan sumber daya manusia; 5) Menempatkan diri sesuai dengan kemampuan ; 6) Mencari informasi dan menjalin kerjasama; 7) Hubungan untuk memperoleh kepercayaan.


(19)

Pengembangan konsep tersebut sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi dua segmen, yaitu pengembangan sumber daya manusia secara perorangan dan pengembangan sumber daya manusia secara organisasi. Namun dalam konteks penelitian ini adalah difokuskan pada pengembangan perorangan yang dilakukan dengan usaha pendidikan dan pelatihan (education and training) melalui pelatihan keterampilan dan pendidikan keagamaan sehingga diharapkan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan baik untuk masa sekarang maupun untuk masa depan.

Untuk mengatasi hal tersebut, tepatlah jalur PLS dalam mempersiapkan sumber daya manusia dengan konsep; pendidikan seumur hidup, belajar sepanjang hayat, pendidikan untuk semua, pendidikan berkelanjutan, dan lain-lain. Tidak hanya sejalan dengan konsep pendidikan keagamaan seperti terungkap dalam hadits Nabi Muhammad Saw. yang artinya “carilah ilmu sejak lahir sampai menjelang ajal menjemput”, tetapi juga terbukti PLS yang telah diterapkan di berbagai negara telah menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sangat tepat organisasi badan dunia PBB di bawah UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) dengan mengembangkan empat pilar pendidikan sepanjang hayat (life long education), yaitu: 1) Belajar mengetahui (learning to know). 2) Belajar berbuat (learning to do). 3) Belajar hidup bersama (learning to life together) dan 4) Belajar menjadi seseorang (learning to be).

Pendidikan sepanjang hayat (life long education) sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO tersebut memberikan arah supaya pendidikan nonformal yang


(20)

menjadi garapan pendidikan luar sekolah (PLS) termasuk kegiatan pendidikan di lembaga pemasyarakatan hendaknya dikembangkan di atas prinsip-prinsip pendidikan. D. Sudjana S. (2004: 225-226) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pendidikan tersebut sebagai berikut:

1. Pendidikan hanya berakhir apabila manusia telah meninggalkan dunia fana ini.

2. Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisir dan sistematis.

3. Kegiatan belajar ditujukan untuk memperoleh, memperbaharui, dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimiliki dan yang mau atau tidak mau harus dimiliki oleh peserta didik atau masyarakat berhubung dengan perubahan yang terus menerus sepanjang kehidupan.

4. Pendidikan memilki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap insan yang melakukan kegiatan belajar

5. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk memotivasi diri maupun untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

6. Pendidikan nonformal mengakui eksistensi dan pentingnya pendidikan formal serta dapat menerima pengaruh dari pendidikan formal, karena kehadiran kedua jalur pendidikan ini untuk saling melengkapi dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.

Keenam prinsip tersebut memberikan gambaran akan pentingnya jalur pendidikan luar sekolah (PLS) dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang semakin terbuka dan bergerak melalui berbagai sektor, terlebih setelah diberlakukan otonomi daerah telah terjadi perubahan-perubahan mendasar, termasuk dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, peluang PLS semakin leluasa untuk bergerak dan berkembang secara signifikan.

Kontribusi pendidikan luar sekolah (PLS) dalam upaya pemberdayaan masyarakat sangat strategis dan memberikan arah yang jelas dalam konteks


(21)

aktualisasi atau pengembangan diri yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan individu. Untuk mempertegas konsep pemberdayaan (empowering) dapat dikemukakan pendapat Mertens dan Yarger (1988:35) bahwa pemberdayaan adalah “a route to enhancing the teaching professions the authority to teach with the profesional standars that pertain to teir work” (suatu rute untuk menambah pengajaran profesi kewenangan untuk mengajar dengan standar profesional termasuk kerjanya). Goodman (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah “a more active and critical approach to words teaching” (suatu pendekatan yang lebih aktif dan kritis terhadap pengajaran). Glickman (1989) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah “internal control and individually divergent practices, solving problems indepentdently” (kontrol internal dan praktek pemisahan secara individual memecahkan problem secara bebas). Sedangkan menurut Weissglas (1990) pemberdayaan adalah “a process of supporting people to construck new meanings and exercise their freedom to choose” (suatu proses mendorong seseorang untuk membentuk arti-arti baru dan melatih kebebasan mereka untuk memilih). Sementara Irwin (1995) mengemukakan bahwa “empowering other people means giving them a chance to make their special constribution ... your contribution may be a particular insight, a particular talent, a particular energy, a aparticular loving way to be with peoples” (pengembangan pada orang lain berarti memberikan kepada mereka suatu kesempatan untuk membuat kontribusi khusus mereka ... kontribusi anda kemungkinan menjadi suatu wawasan khusus, bakat khusus, energi khusus, suatu cara mencintai khusus bersama orang-orang). Adapun pendapat Kieffer (1981) bahwa “empowering is an


(22)

interactive and highly subjective realtionship of individuals and their environment, it demmans innovation in qualitative/ ethnographic methodologis and a special strategy to capture in the intense experience of human stragle an transformation” (pemberdayaan adalah suatu hubungan individu yang interaktif dan sangat subjektif dan lingkungannya, pemberdayaan itu menuntut inovasi dalam metodologi etnografi yang kualitatif dan strategi khusus yang mencaku pengalaman perjuangan dan transformasi manusia yang intensif). Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan yaitu “empowerment is a personal an social process, a liberating sense of one’s own strengths, competens, creativity, and freedom of actio, to be empowerd is to feal power surging into one from other people and from from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire terms, “more fully human” (proses perseorangan dan sosial, suatu reaksi yang bebas dari kekuatan seseorang yang dimilikinya, kecakapan, kreativitas dan kebebasan tindakan, jadi memperdayakan itu adalah merasakan gejolak yang kuat pada seseorang dari orang lain dan dari dalam, secara khusus kekuatan beraksi dan tumbuh untuk menjadi manusia yang lebih sempurna). Proses pemberdayaan bukan saja berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, ekonomi atau sosial, tetapi juga meliputi politik, seperti yang dikemukakan oleh Kreisberg (1992) bahwa “empowerment involves individuals gaining control of their lives and fulfilling their need in part, as a result of developing competencies, skills and abilities necessary to effectively participate in their social and political worlds” (melibatkan individu-individu yang mendapatkan pengendalian kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya


(23)

sebagai hasil pengembangan kompetensi-kompetensi keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara efektif dalam sosial dan dunia politik).

Pendapat para ahli tersebut dapat memberikan gambaran bahwa proses pemberdayaan menjadi amat penting baik untuk perseorangan atau kelompok yang diupayakan secara terencana dan sistematis serta berkesinambungan guna mengembangkan daya atau potensi dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu dan kelompok sehingga mampu melakukan transformasi sosial, kehidupan masyarakat perlu dikondisikan melalui aktivitas sehari-hari, saling belajar sehingga terjadi saling interaksi dan komunikasi antara sesama yang saling mendorong guna mencapai pemenuhan kebutuhan hidup baik yang mencakup kebutuhan fisik material maupun kebutuhan mental spiritual. Atas dasar inilah PLS dalam pemberdayaan masyarakat termasuk masyarakat penghuni lembaga pemasyarakatan sebagai bagian integral dalam upaya membangun bangsa sehingga menjadi kreatif dan mandiri.

Upaya pemberdayaan masyarakat termasuk narapidana perlu mengetengahkan sejumlah pendekatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kindervatter (1979) dengan lima macam pendekatan, yaitu: 1) need oriented (suatu pendekatan yang berdasarkan pada kebutuhan); 2) endogenous (pendekatan yang berorientasi pada apa yang terdapat pada masyarakat itu sendiri); 3) selftreliant (pendekatan yang memgutamakan terciptanya rasa percaya diri dan sikap mandiri); 4) ecological sound

(pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan); dan 5) based on structural transformation (pendekatan yang berorientasi pada perubahan struktur).


(24)

Ginanjar Kartasasmita (1995: 19) mengemukakan bahwa:

“Upaya memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara.

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakekat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan bahwa rakyat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu yang kemudian meluas ke keluarga serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sarana baik fisik dan sosial yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di pedesaan. Dalam upaya memberdayakan rakyat ini yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah”.

Melihat upaya pemberdayaan rakyat secara keseluruhan adalah sangat penting dalam upaya membangun bangsa menuju masyarakat makmur dan sejahtera, termasuk masyarakat narapidana di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, PLS sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ruang lingkup dan bidang kajian yang sangat luas yang mencakup pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan keguruan (PP No, 73 tahun 1991). Sekaitan dengan hal tersebut PLS memandang perlu dan bertanggung jawab melakukan upaya pembinaan terhadap narapidana di


(25)

lembaga pemasyrakatan melalui pendidikan keagamaan dan pendidikan life skills

atau keterampilan hidup. Dengan cara ini narapidana diharapkan baik selama menjalani masa hukuman maupun setelah selesai dapat menjadi orang yang memiliki harga diri, semangat hidup yang positif dan taat pada norma-norma baik norma adat, agama, susila dan hukum. Departemen Kehakiman RI. (1990: 10) bahwa pembinaan narapidana ditujukan agar:

1. Berhasil mamantapkan kembali harga diri dan kepercayaan diri serta bersikap optimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada prilakunya yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial.

4. Berhasil memupuk jiwa dan semangat pengabdian terhdap bangsa dan negara.

Narapidana di lembaga pemasyarakatan merupakan warga binaan yang memiliki karakteristik tersendiri, karena mereka pernah melakukan tindak kejahatan. Untuk itu kegiatan pembelajarannyapun dikondisikan secara terintegrasi dan terarah, agar kembali tumbuh rasa kesadaran dan mampu menyadari semua kesalahan yang pernah dilakukan sehingga dapat kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian program pendidikan yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan harus bersifat penyembuhan. Untuk terealisasinya program dimaksud supaya lembaga pemasyarakatan dapat berhasil melaksanakan visi dan misinya. Maka perlu adanya suatu program pembinaan yang jelas berdasarkan kebutuhan di lapangan, dalam hal ini program pembinaan yang dirasa paling tepat sebagai solusi adalah berdasarkan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Sebab pengembangan model pembelajaran life


(26)

skills ini bertujuan; 1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapi; 2) memberikan kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan; dan 3) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia termasuk yang berada di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

Berkaitan dengan pemberdayaan narapidana di lembaga pemasyarakatan akan memberikan percepatan perubahan secara menyeluruh, yakni dengan menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi narapidana dapat berkembang kemandiriannya dan keberdayaannya baik secara individu atau kelompok, sebab proses pemberdayaan berakar kuat pada suatu proses kemandirian tiap individu.

Memberdayakan narapidana di lembaga pemasyarakatan perlu dilindungi dan dicegah agar jangan sampai terpinggirkan. Melindungi dan membela mereka merupakan upaya mendasar untuk mengembalikan citranya di tengah-tengah masyarakat sehingga potensinya berkembang dan dapat membangun kehidupan yang lebih baik.


(27)

27 Ide Narapidana Manusia makhluk Tuhan yang memiliki akal, nafsu, hati dan hati nurani yang berada dalam lembaga pemasyarakatan. Input Hakikat Manusia yang memiliki Need for Achieve ment Potens i Pemba waan pendidi kan dan lingkun gan Pengembangan

Model Life Skill Berlandaskan pada potensi seseorang secara utuh dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan holistik yaitu manusia sebagai pemilik dan pembina tiga potensi (kognitif, afektif, dan psikomotor) Penerapan Berbasis Pendekatan Keagamaan Pendidikan yang terpadu akan tercipta dan hasilnya akan sempurna apabila mampu membentuk nilai atau sistem keyakinan, mengakses jamani denga kebutuhan dan kondisi serta aktivitas narapidana Hasil Output Narapidana yang siap bermasyarakat, menjadi terdidik dan membawa sejumlah harapan baru Target/Goal Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat mampu membiayai kehidupan keluarga dan pendidikan putra/putrinya. Interaksi Edukatif Out Come Narapidana yang memiliki keterampilan, disiplin, mandiri, jujur, bertanggungjaw ab, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Gambar 1.1

Alur Ide-ide Kerangka Dasar Pemikiran

2


(28)

(29)

139 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Pendekatan ini dipandang sesuai karena digunakan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna yang lebih mendalam dari lapangan baik yang menyangkut perbuatan dan atau kata-kata responden khususnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skill yang berbasis pendekatan keagamaan. Penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau pandangan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. S. Nasution (1992: 5) menegaskan bahwa “penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang di dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Sedangkan data yang dihasilkan melalui kuantitatif akan diolah secara statistik. Dengan demikian upaya untuk memperoleh data secara lengkap, akurat dan signifikan berkaitan dengan kajian ini perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memilih dan menentukan lokasi penelitian yaitu lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung


(30)

b. Untuk memperoleh makna yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan dan untuk mengembangkan model yang efektif. Penelitian dan pengembangan ini hanya dilakukan di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung.

c. Setelah menetapkan lokasi penelitian, peneliti mengadakan hubungan formal dan informal dengan pihak-pihak terkait untuk memudahkan melaksanakan kegiatan penelitian sehingga dapat memperoleh data secara baik dan akurat serta kemungkinan upaya melakukan pengembangannya.

d. Mengidentifikasi pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang akan dijadikan sumber informasi, antara lain kepala lembaga pemasyarakatan, pembimbing pemasyarakatan, narapidana dan fasilitator serta pengelola pendidikan/ pembelajaran baik yang berkaitan dengan life skills maupun yang berkaitan dengan pendekatan keagamaan.

e. Mencatat segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, khususnya pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. f. Peneliti berupaya mendeskripsikan data baik dari dokumen, hasil pengamatan

dan wawancara dengan melakukan pencatatan secara wajar dan apa adanya. g. Mengembangkan model pembelajaran life skills berdasarkan kondisi aktual di


(31)

Pendekatan kualitatif maupun kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan karakteristik penelitian dalam pengembangan pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan oleh S. Nasution (1992: 9-12), yaitu:

1. Sumber data ialah situasi wajar atau “natural setting”. 2. Peneliti sebagai instrumen penelitian

3. Sangat deskriptif.

4. Mementingkan proses maupun produk.

5. Mencari makna di belakang kelakuan atau perbuatan sehingga dapat memahami masalah atau situasi.

6. Mengutamakan data langsung atau “first hand”.

7. Data atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan memperoleh data itu dari sumber lain (triangulasi).

8. Menonjolkan rincian kontekstual.

9. Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti. 10.Mengutamakan perspektif emie, artinya mementingkan pandangan

responden.

11.Verivikasi antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif. 12.Sampling yang purposif.

13.Menggunakan “audit trail” untuk mengetahui apakah laporan peneliti sesuai dengan data yang dikumpulkan.

14.Partisipasi tanpa menggangu untuk memperoleh situasi yang wajar. 15.Mengadakan analisis sejak awal dan sepanjang melakukan penelitian. 16.Disain penelitian tampil dalam proses penelitian.

Kutipan tersebut memberikan arah bahwa metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dipandang sesuai sebagai dasar kajian yang berusaha memahami berbagai permasalahan secara lebih komprehensif, integralistik dan holistik. Dengan demikian dalam penelitian ini, didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama, peneliti bermaksud mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola yang terkandung dalam proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan mengembangkan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Peneliti menyeting secara keseluruhan baik yang terkait dengan suatu kondisi, proses pembinaan narapidana maupun yang terkait dengan fasilitator, juga variabel-variabel induktif. Kedua, peneliti bertujuan


(32)

untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkaitan dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung, melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Ketiga, kajian penelitian ini berkenaan dengan suatu proses dan kegiatan pembelajaran dalam konteks pendidikan luar sekolah yang di dalamnya terdapat interaksi antara bimpas dengan narapidana sebagai warga belajar, dimana narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya dan antara narapidana dengan lingkungannya dapat berlangsung proses pembelajaran meskipun dalam lingkungan waktu dan ruang yang terbatas disamping itu peneliti mengolah data tersebut dengan kuantitatif untuk memperkuat hasil penelitian secara signifikan.

Penelitian dan pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan sehingga diperoleh gambaran yang faktual dan jelas, yakni dari penelitian pendahuluan, pengembangan model awal (model hipotetik sebagai produk pendahuluan), pengujian kelayakan model sampai dihasilkan suatu produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki suatu keadaan dalam meningkatkan kualitas pembinaan baik dalam proses, output maupun outcome narapidana. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa paradigma penelitian ini secara lebih komprehensif, integralistik dan holistik berikut ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan akan terlihat sebagai berikut:


(33)

GAMBAR 3.1.

PARADIGMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

B. Tahap-tahap dan Prosedur Penelitian 1. Tahap-tahap Penelitian

a. Tahap orientasi

Tahap orientasi dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai rancangan penelitian untuk mempertajam fokus penelitian. Pada tahap ini peneliti mendatangi dan mengamati serta melakukan wawancara pendahuluan di sekitar pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Kegiatan ini untuk mempertajam fokus guna dilakukan penelitian secara mendalam dan terinci.

Pengembangan Model Pembelajaran Life Skiils Berbasis Pendekatan Keagamaan bagi Pembinaan

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung

Sistem Nilai Berdasarkan Konsep Islam: Terampil, Kerja keras, Mandiri, dan

Amal Saleh

Pembelajaran Life Skills Berbasis pendekatan keagamaan bagi Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Pembina Fasilitator Pendidikan Life Skills Tujuan Pembelajaran

Life Skills

Berbasis Pendekatan Keagamaan

Terbentuknya nilai, perilaku, derajat kemanusiaan, terampil, kerja keras,

mandiri, melaksanakan perintah ajaran agama Islam

Tujuan Pembelajaran

Life Skills

Berbasis Pendekatan Keagamaan


(34)

b. Tahap eksplorasi

Berdasarkan hasil informasi pada tahap orientasi diperoleh suatu gambaran dan paradigma yang semakin terarah sehingga memberikan teknik pengumpulan data, baik melalui wawancara, observasi maupun dokumentasi.

Pada tahap ini peneliti mulai melakukan wawancara terhadap sejumlah subjek yang telah ditentukan, disamping melakukan observasi secara langsung sehingga diperoleh data yang lengkap. Subjek penelitian diharapkan memberikan masukan sesuai dengan kondisi kegiatan pembinaan, begitu juga teknik-teknik pengumpulan data akan semakin beragam. Dengan demikian inti dari tahap eksplorasi ini meliputi kegiatan-kegiatan, antara lain: 1) menyusun dan menentukan sumber data yang dapat dipercaya untuk memberikan informasi yang akurat dan jelas, seperti dari kepala lembaga pemasyarakatan, bimpas, fasilitator dan orang-orang yang terkait, 2) Menyusun pedoman wawancara dan observasi yang akan digunakan di lapangan sebagai instrumen penelitian, 3) mengadakan wawancara dengan subjek penelitian, disamping melaksanakan observasi terhadap kegiatan pembelajaran life skills bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan; 4) mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian sebagai sumber referensi/literatur untuk melengkapi dan memperkuat model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan, 5) mendeskripsikan, menganalisis, dan menafsirkan data hasil penelitian secara cermat sampai tuntas.


(35)

c. Tahap member check

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh tingkat kredibilitas hasil penelitian sehingga informasi yang diperoleh mendapatkan keabsahan dari subjek penelitian. Tahap ini meliputi kegiatan penyusunan hasil penelitian yang diperoleh dari tahap eksplorasi dan melakukan pengecekan ulang secara cermat untuk diketahui kebenarannya.

d. Tahap triangulasi

Tahap ini merupakan pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh dengan cara memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang ada. Tahap ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara; 2) membandingkan informasi yang diperoleh dari pihak pembina narapidana di lembaga pemasyarakatan, misalnya para pembina, fasilitator/bimpas, dengan tokoh mayarakat, para narapidana tertentu dan pejabat terkait.

e. Tahap audit trail

Tahap ini dilakukan guna membuktikan keabsahan dan kebenaran data yang ditampilkan dalam penulisan ini, dan setiap data yang diperoleh dan ditampilkan disertai dengan keterangan yang menunjukan sumber sehingga data itu mudah ditelusuri.

2. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dan pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini ditempuh dengan menggunakan tujuh langkah yaitu sebagai berikut:


(36)

1) Penelitian dan pengumpulan informasi dalam bentuk: a. penelitian pendahuluan;

b. penelitian kualitatif dan kuantitatif; c. kajian teoritis.

2) Pengembangan model awal (model hipotetik) berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan informasi.

3) Uji kelayakan melalui analisis kualitas model dan penilaian para ahli. 4) Revisi I dan II

Revisi tahap I dilakukan selama dan setelah analisis kualitas model. Sedangkan revisi II dilakukan setelah penilaian ahli.

5) Uji lapangan.

6) Revisi III dan IV dilakukan selama dan setelah uji lapangan dan dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan masukan pada setiap tahapan uji lapangan.

7) Model akhir, yaitu model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagai pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Langkah-langkah penelitian dan pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan tersebut pada garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam penelitian deskriptif dan kajian konseptual, pengembangan model awal dan pengujian model serta penelitian kuantitatif. Ketiga langkah tersebut dilakukan secara cermat dan terarah serta saling melengkapi satu sama lain sampai dihasilkannya suatu model akhir yang benar-benar teruji kelayakannya baik melalui analisis kualitas model, penilaian


(37)

ahli maupun melalui uji lapangan. Untuk memudahkan mengetahui langkah-langkah penelitian dan pengembangan model ini dapat dilihat dalam gambar berikut:

GAMBAR 3.2.

ALUR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KAJIAN TEORITIS

PENELITIAN PENDAHULUAN

STUDI DESKRIPTIF

Karakteristik, situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan Kondisi aktual penbinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan

PENGEMBANGAN PRODUK AWAL MODEL PEMBELAJARAN LIFE SKILL BERBASIS PENDEKATAN KEAGAMAAN BAGI PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

UJI KELAYAKAN ANALISIS KUALITAS MODEL PENILAIAN AHLI

UJI LAPANGAN

UJI LAPANGAN II

MODEL AKHIR

MODEL TERUJI MODEL AWAL REVISI


(38)

a. Studi deskriptif dan kajian teoritis

Studi deskriptif dalam penelitian ini digunakan dengan maksud untuk mengidentifikasi kondisi lembaga pemasyarakatan, menggambarkan aspek-aspek yang diteliti sesuai dengan disain dan tujuan penelitian. Studi deskriptif yang digunakan untuk menjabarkan, menguraikan dan menafsirkan kondisi, peristiwa dan proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Studi deskriptif dalam penelitian dan pengembangan ini dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah masukan dan informasi dari lapangan yang berkaitan dengan kondisi aktual, karakteristik, sistem pembinaan narapidana, dan hal lain yang berkaitan dengan penelitian dan pengembagan model.

Kajian teoritis dilakukan untuk mengkaji konsep-konsep yang sesuai dengan berbagai sumber sebagai bahan dalam memperkuat pandangan. Kajian teorits penelitian dan pengembangan model ini bertitik tolak dari konsep dan kajian tentang perlunya pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, sehingga diharapkan mereka memiliki keterampilan/kecakapan hidup, pemahaman agama Islam, dan kesadaran atau perubahan mental yang baik melalui proses belajar. b. Pengembangan model awal

Pengembangan model awal pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dimulai dengan mengembangkan produk awal berdasarkan analisis kebutuhan dari hasil penelitian tahap pertama yakni pada studi deskriptif dan kajian konseptual,


(39)

kemudian mendiskusikannya dengan para fasilitator atau pembimbing pemasyarakatan di lapangan.

Model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian konseptual, dan hasil penelitian deskriptif menunjukan perlunya meningkatkan sistem pembinaan yang selama ini kurang berjalan ke arah yang lebih optimal, efektif dan efisien.

c. Pengujian model

Pengujian model dilakukan melaui uji kelayakan dalam bentuk analisis kualitas model, penilaian ahli, dan uji lapangan sehingga dihasilkan suatu model pembelajaran life skills yang efektif yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Analisis kualitas model dilakukan secara terus menerus dari awal pengembangan model sampai dihasilkannya model akhir.

Penilaian ahli dilakukan untuk mengadakan perbaikan terhadap model yang dikembangkan, terutama dilihat dari ketepatan isi, kemanfaatan, kebermaknaan, dan untuk memperoleh legitimasi dari berbagai pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, dengan dilakukannya penilain para ahli dari berbagai bidang yang berkepentingan berkaitan dengan model yang dikembangkan diharapkan menjadi suatu model yang efektif, signifikan dan bermanfaat. Uji lapangan dilakukan dalam bentuk penerapan model oleh para bimpas dan peneliti dengan metode partisipatif dan kolaboratif. Cara ini dilakukan untuk menguji model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan,


(40)

tingkat penerimaan fasilitator atau pembimbing dalam menerapkan model, dan juga dampaknya terhadap pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan.

Berdasarkan hasil pengujian dilakukan revisi model. Kegiatan revisi model (produk pengembangan) ini dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali yaitu; revisi tahap pertama setelah analisis kualitas model, revisi tahap kedua sesudah penilaian ahli, dan revisi tahap ketiga sesudah uji lapangan. Meskipun demikian, ternyata dalam pelaksanaannya revisi dilaksanakan secara terus menerus sampai dihasilkannya model akhir yang diharapkan dan tentunya dapat bermanfaat.

Prosedur penelitian tersebut ditempuh untuk mengetahui kelayakan, efektif dan efisien serta kemenarikan model pembalajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan yang dikembangkan di lembaga pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung. Demikian pula prosedur penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai kendala yang muncul dilapangan.

d. Penelitian Kuantitatif

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tes kai kuadrat dengan langkah-langkah :

1) Pengelompokkan data antara data observasi dan data teoritik

2) Penentuan besarnya prosentase data untuk memperoleh gambaran secara umum.

3) Penentuan derajat perbedaan kelompok narapidana yang memperoleh masa hukuman ringan sampai kepada narapidana yang memperoleh masa hukuman tertinggi/terberat.


(41)

4) Pengujian hipotesis.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dirancang tiga tahap yaitu tahap pertama adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Tahap kedua dan ketiga adalah tahap pengembangan dan pengujian model yaitu melalui diskusi kelompok, dan teknik respon terinci. Ketiga teknik ini digunakan secara berlapis dan berulang selama proses pengumpulan data di lapangan guna memperoleh informasi lebih mendalam, akurat, dapat dipercaya dan signifikan. Untuk memperoleh data yang relevan, objektif, akurat, dan signifikan, maka peneliti selama melakukan pengumpulan data, menyusun dan menyiapkan rambu-rambu pertanyaan dan jenis data atau instrumen sesuai kebutuhan melalui pedoman penelitian yang berisi garis besar pertanyaan dan objek yang akan diobservasi dan diwawancarai serta dokumen yang berkaitan dengan kepentingan penelitian. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dijelaskan secara bertahap.

1. Teknik Pengumpulan Data Tahap Pertama a. Observasi

Dalam penelitian ini observasi digunakan untuk melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung dan sistematis tentang fenomena-fenomena yang berkaitan dengan karakteristik, situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan serta kondisi objektif pembinaan narapidana melalui pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan.


(42)

Observasi merupakan salah satu teknik untuk menghasilkan data dari lapangan penelitian secara objektif, karena: 1) dapat melakukan pencatatan secara langsung sebagaimana apa adanya; 2) dapat mengungkap suatu peristiwa yang berkaitan atau yang menjadi sasaran penelitian; 3) dapat menghindari atau menghilangkan sikap keraguan tentang data yang diperoleh; 4) memungkinkan untuk memahami situasi yang rumit dan berbagai perilaku dalam suatu peristiwa yang kompleks; dan 5) dapat mengungkap suatu kasus tertentu yang mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan teknik lain.

Berkaitan dengan penelitian dan pengembangan model pembelajaran

lifes skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, maka sedikitnya terdapat empat fungsi pokok observasi ini, yaitu: 1) mengoptimalkan upaya peneliti terhadap motivasi, perhatian, perilaku, dan kebiasaan; 2) melihat pembelajaran life skills bagi pembinaan narapidana sebagai subjek penelitian yang menunjukkan adanya fenomena kehidupan yang harus diberdayakan sesuai dengan fungsi-fungsi kemanusiaan; 3) peneliti secara empati merasakan apa yang dirasakan, dijalankan dan dihayati oleh para narapidana; dan 4) mengembangkan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan berdasarkan hasil penelitian dengan rasa penuh tanggung jawab.


(43)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengumpulkan sejumlah informasi tentang situasi dan kondisi di lapangan dari sejumlah subjek yang berkaitan. Dalam hal ini adalah tentang pembelajaran life skills

bagi pembinaan narapidana termasuk sistem pembinaannya dari berbagai sumber, seperti bimpas, sejumlah narapidana, kepala lembaga pemasyarakatan, kepala sub bidang keagamaan, dan fasilitator.

Wawancara dilakukan untuk menemukan informasi yang tepat tentang pelaksanaan pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan. Wawancara ini tentu menjadi sumber data yang original, karena berasal dari pusat sumber yakni dengan sejumlah orang yang dianggap dapat mewakili dalam memberikan informasi yang akurat dan signifikan. Dengan wawancara sebagai bentuk komunikasi dua arah diharapkan dapat memberi kemudahan bagi sejumlah responden untuk memberi jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diajukan dan diinginkan oleh pewawancara secara baik, apa adanya dan jujur serta dapat dipertanggungjawabkan.

Secara garis besar, wawancara dalam penelitian dan pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu: 1) wawancara informal; 2) wawancara mendalam; dan 3) wawancara terstruktur.


(44)

Wawancara informal berlangsung dalam situasi alamiah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada spontanitas pewawancara, rileks, dan penuh keakraban. Pada wawancara mendalam, pewawancara terlebih dahulu menyiapkan kerangka dan garis besar pokok-pokok yang berisi sejumlah pertanyaan dan telah dikelompokan pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan karakteristik dan telah jelas pula bagi responden yang akan menerima pertanyaan tersebut. Langkah ini dimaksudkan agar hal-hal yang hendak diakses dapat dihimpun dan diketahui secara keseluruhan. Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan dan urutan pertanyaan dibuat secara garis besar, kemudian disesuaikan dengan keadaan responden di lapangan. Pada wawancara terstruktur, sejumlah pertanyaan, kata-kata yang digunakan dan cara penyajiannya disiapkan secara baku dan diberlakukan bagi semua narapidana yang menjadi responden penelitian.

Berkaitan dalam penelitian dan pengembangan model pembelajaran

life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung, peneliti lebih banyak melakukan wawancara informal, karena untuk memperoleh data yang diperlukan dapat melakukan wawancara setiap saat, tentu diupayakan tidak mengganggu, sikap santun dalam kegiatan wawancara bagian dari strategi peneliti untuk mengungkap dan menggali data di lapangan seoptimal mungkin.


(45)

c. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk menelusuri dan menemukan informasi tentang pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Dokumen-dokumen yang diperlukan tentu yang ada relevansinya dengan penelitian. Seperti buku daftar narapidana, jadwal kegiatan pembinaan narapidana, jadwal pembagian tugas bimbingan/ bimpas, materi/bahan ajar kelompok belajar, program-program pembinaan, pemateri/narasumber, laporan bulanan, dan data-data lain yang diperlukan.

Penelusuran tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai dihasilkannya informasi dan data yang lengkap sebagai bahan untuk mengembangkan model pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Sejumlah dokumen yang berhasil dihimpun akan dikaji secara mendalam dan dianalisis kemudian dijabarkan.

2. Teknik Pengumpulan Data Tahap Kedua dan Ketiga

Teknik pengumpulan data tahap kedua dan ketiga ini adalah tahap pengmbangan dan pengujian model yaitu diskusi kelompok dan teknik respon terinci.

a. Diskusi

Diskusi merupakan kegiatan percakapan responsif, aktif dan terarah pada pertanyaan-pertanyaan yang problematis untuk memecahkan masalah dan menemukukan solusi. Diskusi digunakan dalam penelitian dan pengembangan model ini untuk menggali informasi tentang pembinaan


(46)

narapidana berkaitan dengan pembelajaran life skills di lembaga pemasyarakatan, sehingga dicapai kecocokan dan kesepakatan pandangan. Hal ini penting untuk memperoleh pandangan yang jelas sehingga dalam menentukan kesimpulan yang akan diambil dapat terhindar dari hal-hal yang tidak sesuai dengan persoalan yang sedang dibahas.

Diskusi digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang berkaiatan dengan konsep yang sedang dikembangkan dalam penelitian yakni pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, melalui kegiatan diskusi diharapkan dapat terungkap atau tergali berbagai masalah yang diperlukan di satu sisi, dan sisi lain dapat meningkatkan pemahaman para bimpas tentang model yang dikembangkan sehingga mereka siap melakukan uji lapangan dan memberikan masukan tentang model yang sedang dikembangkan. Dengan demikian hasil pengembagan model yang diharapkan dapat diterapkan dan bermanfaat bagi lembaga pemasyarakatan.

b. Teknik Respon Terinci

Teknik respon terinci (itemized response technique) pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi program, komponen, proses dan lain sebagainya (Sudjana, 1993b). Dalam penelitian dan pengembangan ini, teknik respon terinci merupakan alat komunikasi antara peneliti dengan para bimpas, dan digunakan untuk menilai model pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang telah dikembangkan.


(47)

Melalui teknik respon terinci ini, para bimpas (fasilitator), kepala lembaga pemasyarakatan, dan para ahli dari berbagai bidang seperti, PLS, sosiologi, kriminologi, keagamaan, psikologi sosial, komunikasi teknologi pembelajaran, kurikulum, dan ahli bahasa (Bahasa Indonesia), yang berkepentingan dengan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Mereka diminta untuk mengevaluasi model dengan cara mengisi kolom pada lembaran yang telah disediakan. Lembaran tersebut berisi dua kolom, kolom sebelah kiri berkaitan dengan hal-hal yang telah dianggap baik, dan kolom sebelah kanan berkaitan dengan hal-hal yang masih perlu diperbaiki dan dikembangkan. Sebagai alat evaluasi, teknik ini dapat mengembangkan diskusi dan menumbuhkan iklim yang memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan secara bebas di antara para bimpas. Kedua kolom tersebut dapat dilihat dalam format sebagai berikut.

FORMAT PENILAIAN MODEL DENGAN TEKNIK RESPON TERINCI

Hal-hal yang dianggap baik Hal-hal yang masih perlu dikembangkan 1.

2. 3. n. dst.

1. 2. 3. n. dst. Sumber: D. Sudjana (1993b)

D. Teknik Analisis Data

Analisis data tahap pertama dilakukan dengan cara memilah dan mengelompokkan data berdasarkan klasifikasi data dengan tahapan: (1)


(48)

menelusuri data tentang narapidana di lembaga pemasyarakatan untuk melihat kemungkinan keteraturan pola, tema atau topik yang berkaitan denganpembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang berbasis pendekatan keagamaan, (2) mencatat kata-kata, ungkapan-ungkapan para narapidana, bimpas, dan kepala lembaga pemasyarakatan, serta berbagai peristiwa yang terjadi guna menampilkan pola, tema atau topik tentang pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Pengolahan data selanjutnya adalah pengorganisasian data dengan cara memilah dan mengelompokkan data berdasarkan klasifikasi data. Mencatat kata-kata, ungkapan-ungkapan dalam menelusuri data guna menampilkan pola, tema/topik yang berkaitan dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, dengan mengembangkan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan.

Untuk penelitian tahap kedua dan ketiga yaitu pengembangan dan pengujian model, analisis data dilakukan melalui pendekatan reflektif inkuiri dengan teknik respon terinci (itemized response tecnique) (D. Sudjana, I993b). Pendekatan reflektif inkuiri digunakan dalam penelitian dan pengembangan model ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran data melalui pengkajian secara berulang-ulang dengan menambah, mengurangi, melengkapi, atau memadukan komponen dan antarkomponen, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengolahan dan validasi menyatakan persetujuannya terhadap kesatuan model yang dikembangkan.


(49)

E. Subjek Penelitian

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa produk akhir yang diharapkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini adalah pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan karakteristik, situasi, dan kondisi aktual pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan serta konsep-konsep tentang life skills dalam kaitannya dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran life skills dengan memperhatikan faktor pendukung, penghambat, peluang dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi dalam penelitian dan pengembangan model di lapangan.

Subjek penelitian yang dapat memberikan data tersebut adalah kepala lembaga pemasyarakatan, 12 orang pembimbing pemasyarakatan dan 62 dari 132 orang narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung.


(50)

307 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Pembelajaran Life Skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung setelah dikembangkan, diujicobakan, dan diimplementasikan melalui perngorganisasian yang dilakukan dengan cara melibatkan narapidana khususnya yang menganut agama Islam, meliputi identifikasi kebutuhan belajar, perumusan tujuan belajar dan penyusunan program pembelajaran, yang pelaksanaannya disetting dengan mengembangkan pembinaan terpadu, kekeluargaan/keakraban, pembentukan kelompok, pengembangang pembelajaran yang sarat nilai-nilai religious serta mengembangkan kecakapan hidup (Life Skills) dan diikutsertakan sebagian narapidana dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar terbukti memberikan pengaruh yang positif.

2. Penelitian dalam pengembangan model ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dikembangkan secara partisipatif dan kolaboratif berdasarkan kondisi objektif di lapangan yang mencakup komponen-komponen, yaitu: rasional, tujuan, ruang lingkup dan paradigma model, tahapan model, produk model yang dikembangkan, kriteria keberhasilan, serta organisasi dan manajemen. Dengan mengembangkan komponen-komponen tersebut, terbukti


(1)

315

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. (1987). Sosiologi Kriminalitas, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Abdulhak, I. (1995). Metodologi Pembelajaran pada Pendidikan Orang Dewasa, Bandung : Cipta Intelektual.

Abdullatief, (2006). Perencanaan Sistem Pengajaran PAI, Bandung: Bani Quraisy.

Abdoerraoef. (1970). Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta : Bulan Bintang.

Akademi Ilmu Pemasyarakatan, (2000/2001). The Standard Minimum Rules (SMR), Jakarta: AKIP.

Al Askolany, H. (Tanpa Tahun). Bulughul Maram, Mesir: Al Maktabah Al Tijariyah Al Kubro.

Al-Djamaly, M.F. (1967). Tarbiyah Al Insan Al Jadid; Matbaah Al Ittihad Al Aam Al Tunisiyah Al Syghly.

Al Gozaly, I. (Tanpa Tahun). Ihya Ulumuddin III (Terjemahan), Semarang : Usaha Keluarga.

Alkumayi, S (2005) Kecerdasan 99 Buku II, Bandung : Mizan Publika

An Nawawi, S.M. (Tanpa Tahun). Riyadhus Shalihin, Surabaya : Syirkah Maktabah Ahmad bin Said

Apeldorn, Van L.J. (1954). Inleinding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

Atmasasmita, R. (1984). Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni.

Arifin, M. (2000). Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Arsyad, A. (1997). Media Pengajaran, Jakarta : Raja Grafinfo Persada.

Brookfield, S.D. (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning, San Francisco and London : Jossey - Bass Publisher.

Brannen, J. (1997). Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kunatitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


(2)

Bogdan dan Biklen. (1982). Qualitative Research for Education, Boston : Alyn and Bacon.

Bonger, W.A. (1962). Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta : Pustaka Sarjana.

Bukhori, I. (1997). Shaheh Al Bukhori, Riyadh : Syarikah Baromij AL Islamiyah Ad Dauliyah.

Chaedar, A. (2009). Pokoknya Kualitatif, Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

Daradjat, Z. (1985). Kesehatan Mental, Jakarta : PT. Gunung Agung.

Daradjat, Z. dkk. (1996). Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara.

Departemen Agama. (1976). Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Bumi Restu

………… (2000). Pembelajaran yang Efektif, Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kesembilan, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), Tim Broad Based Education (BBE).

Departemen Kehakiman, (1965). Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan Depkeh Nomor Kp. 10/13/III/1965 tentang Pembinaan Narapidana, Jakarta: Departemen Kehakiman.

………… (1990). Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman.

Dirdjosisworo, S. (1984). Sosio Kriminologi, Bandung: Sinar Baru.

Dimyati dan Mudjiono, (1999). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta.

Elliot, M.A. (1952). Crime in Modern Society, First Edition, New York: Harvper & Brtoher Publisher.

Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang : Yayasan Asah Asih Asuh.


(3)

Gay, L.R. (1987). Educational Research: Competencies for Analysis and Aplication, Third Edition, Colombus Toronto, London and Melbourne: Merril Publishing Company.

Glickman, C.D. (1989). Has Sam and Samantha’s Time Come at Last, Education Leadership.

Goodman, J. (1987). Key Factor in Becoming an Empowerd Elementary School Teacher, A Preliminary Study of Slected Novices Eric Documents.

Harahap, S dan Nasution, H.B. (2003). Ensiklopedi Aqidah Islam, Jakarta : Prenada Media.

Hasan, M.T. (2000). Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta : Listafariska Putra.

Ibrahim, M.D. (2005). Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan, Jakarta: MHMMD Production.

Irwin, R.L. (1995). A Circel of Enpowerment; Women, Education and Leadership, New York : State University of New York.

Kartasasmita, G. (1995). Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjaun Administrasi, Buletein Alumni SESPA, Edisi Keempat.

Kartono, K. (1981). Hygiene Mental, Bandung : CV. Mandar Maju.

Kindervatter, S. (1979). Nonformal Education as An Empowering Process, Massachusetts : Center for International Education University of Massachusetts.

Kieffer, C.H. (1981). The Emergence of Empowerment; The Development of Participatory Competence Among Individuals in Citizen Organizations, Unpublished Ph.D. Disertation, University of Michigan, Ann Arbor.

Kreisberg, S. (1992). Transforming Power; Domination Empowerment an Education, New York : State University of New York.

Knowles, M.S. (1986). The Adult Learner: a Negleteed Species, Third Edition, Houston : Gulf Publishing Co., Book Division.

Laird, D. (1995). Approaches to Training and Development, Second Edition, California : Addison - Wesley, Publishing Company.

Latuheru, J.D. (1993). Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar Kini, Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang.


(4)

Martasaputra, M. (1973). Azas-Azas Kriminologi, Bandung : Alumni.

Merten, S. dan Yarger, S.J. (1988). Teaching as a Profesion: Leadership, Enpowerment and Involvement, Journal of Teacher Education.

Miarso,Y. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta : Prenada Media.

Moleong, L.J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Morris, B. (2003). Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta : AK Group.

Mudyahardjo, R. (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2002). Pengembangan Model Andragogi bagi Pembinaan Narapidana Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bandung (Desertasi), PPS UPI.

Mulyasana, D. (1993). Pengelolaan Program PLS sebagai Upaya Pengembangan Pola Hidup Mandiri bagi Narapidana Pelaku Delik Pencurian (Tesis), IKIP Bandung.

Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito

Parmele, M. (1923). Criminology, New York : Mc Miller Company.

Parsons, P.A. (1926). Crime and Criminal, New York : Alfred A Knof.

Poerbakawatja, R.S. dan Harahap, A.H. (1981) Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung.

Praja, S.J. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu, Program Pasca Sarjana, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung

Prasetyo, E. dkk. (2001). Wacana Hak Asasi Manusia; Antara Skenario Kemanusiaan dan Proyek Global, Edisi 8 Tahun II 2001, Insist Press.

Rathomy, M.A. (1975). Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min (Ringkasan Ihya Ulumuddin), Bandung : CV. Diponegoro.

Reksodiputro, (1982). Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta : PT. Pembangunan dan Ghalia Indonesia.


(5)

Robinson, H.A. (1994). The Ethonography of Enpowerment, London : The Falmer Press.

Saherodji, H. (1980). Pokok-Pokok Kriminologi, Jakarta : Aksara Baru.

Simanjuntak, (1977). Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung : Tarsito.

Schmid, C.F. (1960). Urban Crime Areas, Part II, American Sociological Review.

Soedomo, (1989). Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, Jakarta : P2LPTK.

Soedijarto, (1992). Indonesian Polities and Approaches toword Achieving Education for All Objektives, Manila : Innotech Center.

Sudiono, A. (2000). Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sudjana, D. (1992). Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah, Bandung : Nusantara Press.

……….. (1993b). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif dalam Pendidikan Luar Sekolah, Bandung : Nusantara Press.

………… (2000). Starategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Bandung : Falah Production.

………… (2004). Pendidikan Nonformal: Wawasan Sejarah Perekembangan Filsafat Teori Pendukung Asas, Bandung : Falah Production.

Sudjono. D, (1970). Konsepsi Kriminologi dalam Usaha Penanggulangan, Bandung : Alumni.

Suharsono, (2002). Melejitkan, IQ, IE, dan IS, Jakarta : Inisiasi Press.

Sukardi, (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Sumantri, E. (1994). Harmoni Budaya Hidup Berpancasila dalam Masyarakat yang Religius Suatu Analisis Fenomenalogis, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada IKIP Bandung.

Suryabrata, S. (2002). Metodologi Penelitian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


(6)

Sutherland, E.H. (1960). Principles of Criminology, New York : J.B. Lipincott Company.

Tilaar, H.A.R. (2002). Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta.

Tyler. (1986). Basic Principles of Curriculum and Intruction, University of Chicago Press.

Utrecht, E. (1953). Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Buku Indonesia.

Vollmer, A. (1949). The Criminal, Police Science Series, Brooklyn : The Foundation Press Inc.

Weissglass, J. (1990). Constructivist Listening for Enpowerment and Change, The Educational Forum.

SUMBER LAIN

Harian Pikiran Rakyat. Selasa 3 Pebruari 2009. Halaman 7 “Jumlah Presentase Kemiskinan dan Pengangguran.

Harian Pikiran Rakyat. Senin 20 April 2009. Halaman 27, 28, dan 29 “Pembinaan Napi Kurang Terstruktur”. Selisik, Bandung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1978) Cetakan ke X : Yogyakarta.

UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 - Keempat 2003), Jakarta : Sinar Grafika.

UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sisitem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara.

UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan Nasional (Penyempurnaan terhadap UU No. 2/1989 Tentang Sisdiknas).