IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA YOGYAKARTA.

(1)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Lucky Astria Silalahi NIM 12108244061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”


(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibu tercinta.

2. Almamater Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Bangsa, dan Negara.


(7)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA YOGYAKARTA

Oleh

Lucky Astria Silalahi NIM 12108244061

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Aspek yang diamati dalam implementasi pendidikan budi pekerti ini adalah strategi pengembangan pendidikan budi pekerti, metode pendidikan budi pekerti dan penanaman nilai-nilai budi pekerti.

Subyek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, pamong dan peserta didik tahun ajaran 2015/2016. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai budi pekerti yang dikembangkan melalui implementasi pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa antara lain religius, sosial, sopan santun, kesetaraan gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, sportifitas, tanggungjawab, kerjasama, dan penghargaan terhadap lingkungan. Semua nilai tersebut diintegrasikan melalui strategi pengembangan pendidikan budi pekerti seperti keteladanan atau contoh, kegiatan spontan, teguran, pengkondisian lingkungan dan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh semua pihak baik kepala sekolah, pamong maupun peserta didik setiap harinya dengan menggunakan metode pendidikan budi pekerti seperti metode among, metode ngerti, metode ngrasa, dan metode nglakoni yang dilaksanakan sesuai dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara.

Kata kunci: pendidikan budi pekerti, sekolah dasar


(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Implementsi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat sarjana pada program Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa peran serta dari berbagai pihak baik secara moral maupun material. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta dalam mewujudkan masa depan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan ijin penelitian dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memaparkan gagasan skripsi ini dan memberikan ijin penelitian


(9)

4. Dr. Wuri Wuryandani, M.Pd, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan ilmu dan arahan secara tulus serta penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepala SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Nyi Anastasia Riatriasih, M.Pd, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

6. Para pamong SD Taman Muda Ibu Pawiyatan, yang turut serta memberikan informasi dan bantuan dalam memperlancar penulis dalam penelitian skripsi ini.

7. Seluruh staf dan peserta didik SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa. 8. Orangtua yang selalu mendukung dan mendoakan keberhasilan anak-anaknya. 9. Saudara-saudaraku dan sahabat-sahabatku, yang telah memberikan doa dan

dukungannya.

10. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan karya ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak senantiasa diharapkan penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pemikiran baru bagi Pendidikan di Indonesia. Penulis memohon maaf apabila dalam penyusunan skripsi terdapat kesalahan ataupun kekeliruan.

Yogyakarta, 24 Oktober 2016


(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti ... 11

B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti ... 15

C. Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti ... 19

D. Dasar Pendidikan Budi Pekerti ... 29

E. Strategi Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti ... 38

F. Metode Pendidikan Budi Pekerti ... 40


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ... 52

B. Setting Penelitian ... 53

1. Lokasi Penelitian ... 53

2. Waktu Penelitian ... 55

C. Sumber Data ... 54

1. Sumber Data Utama (Primer) ... 55

2. Sumber Data Tambahan (Sekunder) ... 55

D. Subyek dan Objek Penelitian ... 55

1. Subyek Penelitian ... 55

2. Objek Penelitian ... 56

E. Teknik Pengumpulan Data ... 56

1. Observasi ... 57

2. Wawancara ... 58

3. Dokumentasi ... 59

F. Instrumen Penelitian ... 59

1. Pedoman Observasi ... 60

2. Pedoman Wawancara ... 60

G. Teknik Analisis Data ... 64

1. Reduksi Data (Data Reduction) ... 65

2. Penyajian Data (Data Display) ... 66

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification) ... 66

H. Keabsahan Data ... 67

1. Triangulasi Sumber ... 67

2. Triangulasi Teknik 67 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 69

1. Lokasi Sekolah ... 69

2. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah ... 72

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 73


(12)

D. Keterbatasan Penelitian ... 135

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(13)

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 61 Tabel 2. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan ... 70


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Model Interaktif ... 65


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 142

Lampiran 2. Hasil Observasi ... 145

Lampiran 3. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 177

Lampiran 4. Pedoman Wawancara Guru Kelas (Pamong) ... 179

Lampiran 5. Pedoman Wawancara Siswa ... 183

Lampiran 6. Transkrip Wawancara dengan Kepala Sekolah ... 186

Lampiran 7. Transkrip Wawancara dengan Guru Kelas (Pamong) ... 192

Lampiran 8. Transkrip Wawancara dengan Peserta Didik ... 206

Lampiran 9. Reduksi Hasil Observasi ... 220

Lampiran 10. Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Kepala Sekolah... 239

Lampiran 11. Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Guru Kelas (Pamong) ... 244

Lampiran 12. Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Peserta Didik ... 255

Lampiran 13. Dokumentasi Gambar ... 262


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Krisis moral yang dialami bangsa Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Krisis moral ini bukan lagi menjadi sebuah permasalahan sederhana akan tetapi memiliki dampak serius di kalangan peserta didik. Perilaku-perilaku yang mencerminkan adanya krisis moral tersebut mengarah pada rendahnya perilaku kesopanan pada diri siswa, seperti keluar masuk kelas tanpa izin terlebih dahulu kepada guru. Padahal untuk membangun suatu negara yang maju dibutuhkan generasi muda berprestasi yang memiliki budi pekerti yang luhur.

Arus globalisasi mempunyai aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif dari globalisasi yang terjadi saat ini adalah peserta didik diajak untuk meningkatkan kemampuan individu, mengetahui kemampuan dasar intelektual dan mampu bertanggung jawab memasuki dunia yang baru. Sebaliknya dampak negatif dari derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi adalah memicu timbulnya degradasi moral akibat hilangnya nilai luhur budaya yang ditandai dengan semakin terkikisnya nilai-nilai budaya lama Bangsa Indonesia seperti ramah tamah, gotong royong, kejujuran, kerendahan hati, saling menghormati dan nilai-nilai positif lainnya. Kondisi ini bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kondisi tersebut.


(17)

Pendidikan dapat diartikan sebagai proses yang berkesinambungan, bahwa mendidik manusia adalah proses yang tidak akan pernah selesai. Pendidikan tidak berhenti ketika peserta didik menjadi dewasa, akan tetapi pendidikan akan terus menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta dengan lingkungan alamnya.

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan diartikan sebagai daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh (fisik) anak. Ketiga hal tersebut, yaitu tumbuhnya budi pekerti, intelektual dan fisik anak tidak dapat dipisah-pisahkan agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan dunianya (Nurul Zuriah, 2007: 122).

Dalam pandangannya yang lain Ki Hadjar Dewantara memberikan pengertian tentang maksud dan tujuan pendidikan sebagai tuntunan di dalam tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak, berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu berada di luar kemampuan dan kehendak pendidik. Anak-anak sebagai makhluk hidup, sebagai manusia, sebagai benda hidup akan hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kodrat yang ada pada anak tiada lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak. Jadi yang ada adalah kekuasaan kodrat. Para pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan


(18)

kodrat tersebut agar dapat memperbaiki lakunya hidup dan tumbuhnya (Bartolomeus, 2013: 75).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia. Hal ini dinyatakan di dalam tujuan pendidikan nasional yang ada di Indonesia yaitu dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan tersebut sebenarnya sudah sangat lengkap untuk mendidik anak didik kita menjadi pribadi yang utuh dan mandiri yang dilandasi akhlak dan budi pekerti yang luhur. Namun demikian, dalam kenyataannya tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi oleh kebijakan pemerintah, yang terbukti pada kurikulum sekolah pada tahun 1984 telah menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran di sekolah. Oleh karena itu aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentuh, bahkan ada kecenderungan dilupakan sama sekali dalam dunia pendidikan.

Penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, padahal tidak demikian adanya.


(19)

Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang salah satu bahasannya adalah akhlak atau budi pekerti, pembahasannya tersebut hanya memperoleh porsi yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan cukup banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama dengan alokasi waktu yang sangat minim, yaitu hanya dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan aspek budi pekerti menjadi sangat kurang. Padahal zaman terus berjalan, budaya dan teknologi terus berkembang sangat cepat, dan arus informasi global bagai tidak terbatas.

Sebagai akibatnya adalah budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang konsumeristik, kapitalistik dan hedonistik yang tidak didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur dari bangsa ini cepat masuk dan mudah ditiru oleh generasi muda kita. Perilaku negatif, seperti tawuran, anarkis, dan premanisme ada di mana-mana. Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Tindak kejahatan mencuri, menodong, bahkan membunuh terkadang pelakunya adalah pelajar sekolah. Hal ini sangat ironis dan memprihatinkan serta bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

Melihat fenomena dan kenyataan seperti yang dipaparkan di atas maka pantaslah Bangsa Indonesia mengalami kemunduran moralitas. Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Untuk memberantas dan mencegah berbagai macam perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma di masyarakat, baik bagi kalangan anak-anak, remaja maupun dewasa maka perlu adanya usaha-usaha untuk


(20)

meningkatkan kesadaran dan pengalaman moral susila secara luas, yaitu salah satunya dengan meningkatkan pendidikan budi pekerti di sekolah. Pentingnya pendidikan budi pekerti yaitu untuk membentuk jati diri seseorang mempertahankan dan mengembangkan derajat dan martabat manusia dengan tingkah laku yang baik, mencegah berbagai macam kejahatan, dan mencapai tujuan hidup manusia yaitu kebahagian lahir dan batin.

Menanamkan kembali pendidikan budi pekerti pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberikan pegangan hidup yang kokoh kepada peserta didik dalam menghadapi perubahan sosial. Kematangan kepribadian peserta didik akan menjadikan peserta didik mampu memperjelas dan menentukan sikap dalam memilih budaya-budaya baru yang masuk. Dengan bekal pendidikan budi pekerti secara memadai, akan memperkuat konstruksi moralitas peserta didik sehingga mereka tidak mudah goyah dalam menghadapi berbagai macam godaan dan rayuan negatif di luar sekolah.

Adapun nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang perlu ditanamkan pada jenjang Sekolah Dasar menurut Paul Suparno, dkk (dalam Nurul Zuriah, 2007: 46-50) adalah sebagai berikut: religiusitas, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggungjawab, dan penghargaan terhadap lingkungan alam. Nilai-nilai tersebut terintegrasi pada seluruh kegiatan anak di sekolah.

Ki Hadjar Dewantara (dalam Bartolomeus, 2013: 75), citra seseorang yang memiliki kecerdasan budi pekerti (watak atau pikiran) adalah orang yang senantiasa


(21)

memikir-mikirkan, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas dan terpuji terhadap sesama dan lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatu jualah gerak, pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauannya, yang lalu menimbulkan tenaga padanya (untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya).

Jadi, “budi pekerti” itulah yang membuat tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka, yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri, menjadi manusia beradab. Namun, kemerdekaan yang dimaksudkan itu, kata Ki Hadjar Dewantara, bukan hanya menyangkut hidup seseorang yang tidak terperintah saja, tetapi seseorang juga harus menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib (penguasaan diri), termasuk mengatur tertibnya relasi dengan kemerdekaan orang lain. Dengan demikian, pendidikan yang mencerdaskan budi pekerti itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti menutupi, mengurangi tabiat-tabiat jahat yang tak dapat dilenyapkan sama sekali (tabiat biologis) karena sudah bersatu dengan jiwanya (Bartolomeus, 2013: 75-76).

Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Taman Siswa, Yogyakarta merupakan sekolah dasar pertama yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara seorang pahlawan nasional pada tahun 1922. Sekolah Dasar ini menerapkan pembelajaran


(22)

budi pekerti melalui olah rasa, dan seni budaya serta penerapan sistem among berupa keseimbangan berupa keseimbangan peran orang tua/keluarga, keguruan, dan masyarakat.

Pendidikan yang digunakan Taman Siswa untuk mewujudkan cita-citanya dengan berdasar pada pengenalan pendidikan budi pekerti kepada anak didik di semua mata pelajaran di sekolah sehingga anak bisa menjadi manusia yang luhur dan berguna untuk masyarakat. Jadi, dalam pendidikan yang terpenting bukan masalah kecerdasan saja, tetapi justru humaniora atau budi pekertinya. Sekarang ini banyak manusia cerdas, tetapi jika tidak dibekali dengan budi pekerti yang baik maka mereka akan menggunakan kecerdasannya untuk merugikan orang lain. Pendidikan Budi Pekerti itu sendiri tidak hanya diberikan pada mata pelajaran sosial saja, tetapi juga pada mata pelajaran eksakta.

Implementasi pendidikan budi pekerti di Taman Siswa, disatupadukan ke seluruh mata pelajaran. Pendidikan Budi Pekerti ditanamkan dengan membiasakan berdoa dan memberikan salam sebelum dan sesudah pelajaran. Pelaksanaannya dapat berjalan dengan kondusif jika para pamong atau guru yang ada bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan bersandarkan pada prinsip ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Sumber yang mendasari pendidikan budi pekerti adalah ajaran agama atau religiusitas, yaitu ajaran yang diberikan tokoh agama maupun tokoh masyarakat, termasuk teladannya. Di Taman Siswa semua pamong (guru) beragama, baik itu Islam, Nasrani, maupun agama yang lainnya. Para pamong selalu mengajak para


(23)

siswanya untuk berdoa terlebih dahulu atau mengucapkan salam sebelum pelajaran dimulai atau setelah pelajaran selesai. Hal itu merupakan pendidikan budi pekerti yang baik yang harus dibiasakan, keteadanan yang bersumber dari ajaran agama yang penting untuk dilaksanakan menjadi sebuah kebiasaan atau habit. Pendidikan tidak akan berjalan dengan baik, jika pamong tidak bisa menjadi teladan siswanya. Konsep pendidikan among yang diterapkan di Taman Siswa mendasarkan diri pada sistem pendidikan yang berasaskan kekeluargaan. Kekeluargaan intinya adalah kasih sayang dan cinta kasih sehingga hubungan guru dengan siswa seperti hubungan anak dengan orang tuanya. Pamong atau guru diharapkan memberikan bimbingan secara luwes, jangan sampai anak merasa tertekan, karena Taman Siswa mengedepankan pemberian kemerdekaan pada siswanya.

Dalam implementasinya, sistem among disebut dengan tut wuri handayani. Tut Wuri berarti memberikan kemerdekaan. Jadi, selama anak itu mengerjakan dan berpikir positif atau tidak merugikan pribadi atau masyarakat, maka ia diberi kemerdekaan dan kebebasan sehingga anak menjadi aktif, kreatif, inovatif, produktif dan sebagainya.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan budi pekerti dalam penelitian skripsi yang berjudul “Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta”


(24)

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka didapatkan identifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pendidikan belum sepenuhnya menghasilkan generasi yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.

2. Penghapusan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran di sekolah mengakibatkan degradasi moral pada peserta didik.

3. Belum diketahui implementasi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta.

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka peneliti membatasi permasalahan pada belum diketahui implementasi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana implementasi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?


(25)

E.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak yakni sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan ilmu dan pandangan terkait penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah dasar untuk dapat dijadikan masukan bagi solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang terjadi pada saat sekarang ini. Serta dapat memberikan kontribusi pemikiran dan memperkaya keilmuan di bidang pendidikan budi pekerti.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bahan pertimbangan bagi pelaksanaan (praktik) pendidikan budi pekerti sekolah dasar dan dapat menjadi refleksi bagi penulis dan pembaca dalam mewujudkan tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia yang berbudi pekerti yang baik.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Pengertian Pendidikan Budi Pekerti

Peranan pendidikan bagi manusia sangatlah penting karena manusia telah menyadari tentang arti sebuah kehidupan sehingga pendidikan menjadi perhatian tersendiri dalam rangka mencari eksistensi dirinya. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan definisi tentang pendidikan, yaitu sebagai berikut:

Pendidikan menurut pengertian umum adalah: “Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” (Bartolomeus, 2013: 75).

Lebih jelas lagi Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan dalam konteks pengajaran budi pekerti adalah:

“Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.Komponen-komponen budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.” (Muchlas. S, 2011: 33).

Definisi pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambungan, pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Keseimbangan unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses penularan atau transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi menurutnya


(27)

pendidikan juga merupakan proses penularan nilai dan norma serta penularan keahlian dan keterampilan. Hal ini senada dengan pendapat Ki Buntarsono (dalam Nurul Zuriah, 2007: 123) yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan agar tidak hanya mengejar intelektual saja.Akan tetapi, moral anak didiknya juga harus diperkuat. Jika yang dikejar hanya intelektualnya saja maka dinamakan pengajaran, tetapi jika yang dikejar intelektual dan moralnya maka hal itu bisa dikatakan pendidikan.

Budi pekerti terdiri dari dua kata yaitu Budi dan Pekerti. Budi yang berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran, pekerti berarti kelakuan. Secara etimologi Jawa budi berarti nalar, pikiran atau watak, sedangkan pekerti berarti penggawean, watak, tabiat atau akhlak. Dalam bahasa Sanskerta budi berasal dari kata Budh, yaitu kata kerja yang berarti sadar, bangun, bangkit (kejiwaan). Budi adalah penyadar, pembangun, pembangkit. Pekerti dari akar kata Kr yang berarti bekerja, berkarya, berlaku, bertindak (keragaan). Kata budi pekerti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) adalah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana, serta manusiawi. Budi pekerti didorong oleh kekuatan rohani manusia yakni pemikiran, rasa, dan karsa yang akhirnya muncul menjadi perilaku yang dapat terukur dan menjadi kenyataan dalam kehidupan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti diletakkan sebagai jiwa atau ruh dari pengajarannya. Sebab, menurutnya pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya, pengajaran atau pendidikan


(28)

budi pekerti tidak lain artinya daripada menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 485). Upaya yang dimaksudkan itu berupa anjuran-anjuran, perintah-perintah kepada anak-anak untuk melakukan berbagai perilaku yang baik dengan cara disengaja. Syarat-syaratnya adalah mereka menyadari, menginsyafi dan melakukan anjuran atau perintah gurunya. Sementara pengajar atau pamong adalah penuntun yang menjadi teladan bagi para peserta didiknya dalam berperilaku baik agar mereka mencapai keluhuran budi atau kebijaksanaan (bersatunya lahir dan batin) dan mengalami keselamatan dan kebahagiaan (Bartolomeus, 2013: 75).

Selain dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara juga mengembangkan pendidikan budi pekerti yang merupakan salah satu pendukung utama dalam melaksanakan tujuan pendidikan nasional. Menurut Ki Hadjar Dewantara (Hadiwinarto, 2010:44) pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju pada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melainkan juga syarat-syarat zaman baru yang berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan kita.

Sejalan dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara, pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional. (Nurul Zuriah, 2007: 20). Pendidikan budi pekerti secara konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut:


(29)

1) Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.

2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individu sosial).

3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan.

Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian, terbentuklah pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan budi pekerti secara konsepsional adalah upaya untuk membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur. Sedangkan secara operasional, pengertian pendidikan budi pekerti adalah upaya untuk membekali peserta didik


(30)

baik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan sebagai bekal masa depan, sehingga terbentuklah pribadi seutuhnya yang bermoral dan berbudi pekerti luhur.

B.Tujuan Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Ramli Zakaria (dalam Hadiwinarto, 2010: 43), pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, sekaligus menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik. Persoalan nilai tidak hanya terkait dengan persoalan kepercayaan, tetapi juga dengan pemahaman, perasaan dan perilaku. Nilai-nilai pendidikan dapat diartikan dalam perasaan atau pengertian yang luas mencakup semua aspek proses guru dengan orang dewasa lainnya menanamkan nilai-nilai kepada anak.

Tujuan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa untuk mewujudkan manusia susila atau makhluk yang berbudi dan beradab, mutlak membutuhkan tiga kesaktian atau kekuatan yang dikenal dengan istilah trisakti jiwa,


(31)

yakni: cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah daya berfikir yang bertugas mencari kebenaran sesuatu; rasa adalah segala gerak gerik hati kita, yang menyebabkan kita mau atau tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau belas kasihan, benci atau cinta; sedangkan karsa atau kemauan selalu timbul di samping dan seakan-akan sebagai hasil buah pikiran dari hawa-nafsu kodrati yang ada di dalam jiwa manusia, namun sudah dipertimbangkan oleh pikiran serta diperhalus oleh perasaan (Hadiwinarto, 2010: 45).

Menurut Ki Hadjar Dewantara (Nurul Zuriah, 2007: 124) tujuan pemberian pengajaran budi pekerti seharusnya dihubungkan dengan tingkatan perkembangan jiwa yang ada di dalam hidup anak-anak, mulai kecilnya sampai dewasanya. Pengajaran budi pekerti tidak lain artinya daripada mendukung perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dari sifatnya yang umum. Menganjurkan dan kalau perlu memerintahkan anak-anak untuk duduk yang baik dan manis, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak-anak yang lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak dan orang tua lainnya, menolong teman yang perlu ditolong, demikian seterusnya. Itu semua sudah merupakan pengajaran budi pekerti. Terhadap anak-anak kecil cukuplah kita membiasakan mereka untuk bertingkah laku yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang sudah dapat berfikir, seyogianyalah diberikan keterangan, agar mereka mendapat pengertian serta keinsafan tentang kebaikan dan keburukan.


(32)

Dalam hal ini, anak-anak dewasa perlu juga diberikan anjuran untuk melakukan berbagai tingkah laku yang baik dengan cara disengaja.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, untuk bagian “Taman-Muda”, bagi anak umur antara 9-12 tahun: dalam “periode hakikat” ini hendaknya anak-anak diberi pengertian tentang segala tingkah laku kebaikan dalam hidupnya sehari-hari. Meskipun caranya masih “occasional” atau “spontan”, namun di kelas tertinggi bolehlah disediakan jam yang tertentu. Tidak cukup mereka hanya “membiasakan” saja apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh orang-orang tua di sekelilingnnya. Tidak cukup pula mereka hanya “menginsyafi”, namun perlulah mereka “menyadari”-nya.Jangan sampai mereka terikat oleh “syari’at yang kosong”. Terangkanlah sekedarnya maksud dan tujuan pengajaran budi-pekerti, yang pokoknya tidak lain daripada memelihara tata-tertib dalam hidupnya lahir, guna mencapai rasa damai hidup batinnya, baik yang mengenai hidup dirinya sendiri maupun hidup masyarakatnya (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 488).

Ada dua aspek yang menjadi orientasi pendidikan budi pekerti. Pertama, membimbing hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara bertahap dan berkesinambungan. Hasil yang diharapkan, hati nurani pesera didik akan mengalami perubahan dari yang semula bercorak egosentris menjadi altruis. Kedua, memupuk, mengembangkan, mananamkan nilai-nilai dan sifat-sifat positif ke dalam pribadi peserta didik. Seiring dengan itu, pendidikan budi pekerti juga mengikis dan menjauhkan peserta didik dari sifat-sifat dan nilai-nilai yang buruk. Hasil yang diharapkan, ia akan mengalami proses transformasi nilai, transaksi nilai


(33)

dan transaksi internalisasi (proses pengorganisasian dan pembiasaan nilai-nilai kebaikan menjadi kepercayaan/keimanan yang mempribadi) (Zubaedi, 2005: 5).

Atas dasar ini, dapat dipahami bahwa titik tekan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan potensi-potensi kreatif subjek didik agar menjadi manusia “baik”, baik menurut pandangan manusia dan baik menurut pandangan Tuhan. Persoalan manusia “baik” merupakan persosalan nilai karena menyangkut penghayatan dan pemaknaan yang bersifat afektif ketimbang kognitif. Seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tergantung pada sistem nilai yang dipegangnya. Sistem nilai di sini menjadi preference (pilihan) dari perilaku seseorang yang menjadi ukuran kepatutan atau kepantasan (Zubaedi, 2005: 5).

Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Bartolomeus, 2013: 75), citra seseorang yang memiliki kecerdasan budi pekerti (watak atau pikiran) adalah orang yang senantiasa memikir-mikirkan, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas dan terpuji terhadap sesama lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatu jualah gerak, pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauannya, yang lalu menimbulkan tenaga padanya (untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya).

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan dari pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:


(34)

1 Membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, sekaligus menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik.

2 Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

3 Membimbing hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara bertahap dan berkesinambungan.

4 Memupuk, mengembangkan, menanamkan nilai-nilai dan sifat-sifat positif ke dalam pribadi peserta didik.

5 Mengembangkan potensi-potensi kreatif subjek didik agar menjadi manusia baik.

C.Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti

Secara umum, ruang lingkup pendidikan budi pekerti adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap, dan perilaku peserta didik sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasakasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat azas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.


(35)

Jika peserta didik telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai-nilai budi pekerti di atas, diyakini ia telah menjadi manusia “baik” (Zubaedi, 2005: 4).

Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Bartolomeus, 2013: 77), orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khazanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, persaudaraan, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan, serta menghargai kesetaraan derajat kemanusiaan dengan sesama. Nilai- nilai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini. Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa, pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai kultural Indonesia juga.

Adapun nilai-nilai budi pekerti yang perlu ditanamkan pada jenjang Sekolah Dasar menurut Paul Suparno (dalam Nurul Zuriah, 2007: 46), adalah sebagai berikut.

1) Religiusitas

Dalam mananamkan nilai-nilai religiusitas pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, kebiasaan berdoa yang telah ditanamkan mulai TK harus tetap dijaga. Selain itu, anak-anak mulai diperkenalkan dengan hari-hari besar agama, dan diajak untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Melalui kegiatan berdoa, sebelum melaksanakan suatu kegiatan, anak-anak dibiasakan dan diperkenalkan akan


(36)

adanya kekuatan dan kekuasaan yang melebihi manusia dan ini semua ada pada Tuhan Yang Mahakuasa yaitu Allah SWT. Di samping itu juga perlu ditanamkan pada anak didik, keyakinan dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah maha baik dan maha segalanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup ada dalam alam semesta dan itu berasal dari Tuhan. Tersedianya segala kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan, tanah yang subur dan indah, kekayaan alam yang melimpah ruah, dan berguna bagi kehidupan ini harus selalu dijaga dengan baik, dan semua berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahapengasih dan Tuhan Yang Mahapemurah.

2) Sosialitas

Nilai sosialitas dapat ditanamkan pada anak-anak SD melalui kegiatan baris-berbaris untuk masuk kelas. Ada beberapa anak yang tidak tertib, tidak mau berbaris, dan tidak mau masuk sesuai urutan, tetapi nyelonong masuk begitu saja. Hal ini akan membuat suasana gaduh karena teman-teman lain yang terlewati berteriak dan berkomentar macam-macam. Begitu juga dalam kehidupan bersama ada aturan, tatanan yang perlu untuk diperhatikan dan ditaati bersama agar semua dapat berjalan dengan tertib dan baik. Melalui kegiatan ini, anak-anak sudah dibiasakan untuk hidup bersama secara benar, baik, dan tertib.

Untuk membantu membiasakan hidup bersama dengan baik dapat dipilih berbagai macam kegiatan yang dapat dilaksanakan bersama. Misalnya dengan tugas kertakes bersama, olahraga bersama dan tugas-tugas kelompok yang


(37)

menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama dan sosialitas yang tinggi. Dengan aktivitas dan kegiatan kelompok semacam ini anak dapat diperkenalkan pada sikap saling menghargai, saling membantu, saling memerhatikan, dan saling menghormati satu sama lain. Melalui semangat kerja sama, komitmen yang dibutuhkan dalam hidup bersama dapat semakin ditingkatkan.

3) Gender

Pendidikan jasmani dan kesehatan yang dilakukan melalui kegiatan olahraga di Sekolah Dasar, pada umumnya masih berupa olahraga dasar. Hal ini merupakan peluang dan kesempatan terbuka untuk memberi kesempatan kepada anak perempuan untuk mengikuti setiap kegiatan olahraga yang dilaksanakan di sekolah. Selain untuk membentuk fisik, olahraga dapat digunakan untuk membentuk gambaran bahwa perempuan pun dapat mengikuti berbagai macam kegiatan olahraga, termasuk kegiatan sepakbola sekalipun.

Anak perempuan bermain sepakbola bukanlah sebuah pantangan atau kendala yang perlu ditabukan keberadaannya. Melaui olahraga anak perempuan dibentuk untuk tidak mengkristalkan pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah, lembek, dan hanya bisa melakukan kegiatan yang ringan-ringan belaka. Pandangan yang berkembang dalam masyarakat dapat diubah dengan menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender dengan baik dan benar sejak dini. Laki-laki dan perempuan memang beda dalam hal jenis kelamin (seks), tetapi dalam hal peran gender jangan dibeda-bedakan, yang membedakan satu sama lain adalah soal kemampuan saja. Oleh karena itu, semangat kesetaraan


(38)

gender harus dilakukan sejak dini dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan.

4) Keadilan

Pada kelas bawah (kelas 1, 2, dan 3) jenjang pendidikan dasar, pengertian keadilan sebaiknya lebih ditekankan pada hal-hal yang sifatnya fisik lahiriah dan kasat mata (konkret), belum pada konsep yang luas dan mendalam. Dorongan dan pemberian kesempatan untuk maju berpartisipasi di depan kelas, menjawab soal, dan menjalankan tugas merupakan bagian dari keadilan awal yang perlu ditanamkan pada diri siswa pada jenjang ini. Keadilan dalam konteks seperti ini perlu dipertegas dengan sikap guru yang menjauhkan diri dari sikap dan penilaian senang (like) dan tidak senang (dislike) atau pilih kasih terhadap seseorang atau sekelompok siswa.

Pada kelas tinggi (kelas 4, 5, dan 6) jenjang pendidikan dasar, pengertian keadilan sudah mulai pada perbedaan hakiki antara laki-laki dan perempuan. Budaya dan kebiasaan berpakaian dan berperilaku yang “pantas dan baik” bagi laki-laki dan perempuan yang mempunyai perbedaan fisik dan fungsi fisik yang berbeda mulai ditanamkan dalam konsep yang agak luas dan rinci. Perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perlakuan lahiriah yang berbeda dipahamkan pada anak didik di jenjang kelas ini. Namun demikian, juga perlu diimbangi pada sikap dasar dan prinsip hidup bahwa keadilan tetap berlaku pada semua orang tanpa membedakan jenis kelamin.


(39)

Perlakuan dan pemberian kesempatan serta hak dan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan secara wajar merupakan bagian dari pendidikan keadilan pada anak. Pada jenjang pendidikan dasar ini anak belum diajak untuk mengkaji konsep keadilan secara mendalam, namun lebih rinci dibanding konsep pada kelas rendah.

5) Demokrasi

Melalui pendidikan IPS dan PKn, nilai-nilai demokrasi dapat ditanamkan secara tepat dan akurat. Melalui wahana bidang studi sosial tersebut penanaman jiwa dan nilai demokrasi dapat ditumbuhkan sejak dini pada anak didik. Sikap menghargai adanya perbedaan pendapat secara wajar, jujur, dan terbuka merupakan dasar sikap demokratis yang perlu ditanamkan pada anak didik di jenjang pendidikan dasar. Di samping itu, anak didik juga perlu diajak dan dididik untuk membuat kesepahaman dan kesepakatan bersama secara terbuka dan saling menghormati.

Sikap demokratis berarti juga mengakui keberagaman dan perbedaan satu sama lain. Melalui sikap demokratis anak didik diajak untuk terbuka dan berani menerima dan mengakui bahwa pendapatnya belum tentu atau tidak dapat digunakan pada saat itu, atau dengan kata lain anak didik dalam forum demokrasi tidak dapat memaksakan kehendak satu sama lain. Masing-masing pihak harus menjalin komunikasi yang baik dan mencari win-win solution serta kesepakatan bersama demi tujuan bersama yang telah dicita-citakan. Kesepakatan dalam konteks ini bukan berarti jumlah yang besar (pihak


(40)

mayoritas) yang menang atau yang kuat bersuara menang, tetapi juga menghargai suara minoritas dan lebih menjunjung tinggi prinsip kebenaran dan keadilan serta kebaikan bersama.

Prinsip-prinsip di atas dapat diterapkan pada saat pemilihan pengurus kelas, pemilihan regu pramuka, atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Pemilihan yang digelar bukan berdasar senang atau tidak senang, namun berdasar pada prinsip mana yang terbaik untuk perkembangan kelas dan kelompok-kelompok di masa depan. Dalam alam demokrasi berarti juga masyarakat mempunyai tujuan bersama, harapan bersama, dan keprihatinan bersama. Prinsip dari siswa perlu dijunjung tinggi dan ditegakkan dalam kelas-kelas yang demokratis.

6) Kejujuran

Nilai dan prinsip kejujuran dapat ditanamkan pada diri siswa di jenjang pendidikan dasar melalui kegiatan mengoreksi hasil ulangan secara silang dalam kelas. Dalam konteks ini peranan guru sangat penting dalam mencermati proses koreksi tersebut. Cara koreksi ini bukan semata-mata untuk meringankan tugas guru, melainkan bertujuan secara sungguh-sungguh untuk menanamkan kejujuran dan tanggung jawab pada diri siswa.Setelah kegiatan koreksi yang dilakukan oleh siswa selesai, guru melakukan koreksi ulang pekerjaan siswa satu persatu. Berdasarkan coretan dan hasil tulisan yang tertera dalam lembar jawaban anak, akan terlihat kejujuran dari anak. Setelah itu berdasarkan hasil


(41)

pengamatannya guru dapat menyampaikan nilai kejujuran dan tanggung jawab pada anak dan dampaknya bagi kehidupan kelak.

7) Kemandirian

Kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana dan wadah yang tepat untuk melatih kemandirian siswa. Melalui kegiatan ini anak dilatih dan diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Kegiatan ekstrakurikuler sangat membantu proses pengembangan ini. Untuk anak yang berbakat diberi kesempatan untuk mengembangkannya, baik dari sisi akademis maupun nonakademis. Kegiatan nonakademis yang cukup menarik dan dikenal secara universal adalah melalui kegiatan pramuka atau gerakan kepanduan lainnya seperti Hizbul Wathon.

Kegiatan pramuka atau HW yang terencana akan membuat anak senang dan terlatih untuk dapat menyelesaikan persoalan, baik secara pribadi maupun kelompok. Anak juga diberi kesempatan yang luas untuk mengambil keputusan pribadi maupun bersama. Kemandirian bukan berarti tidak butuh orang lain, namun justru di dalam kebersamaan dengan orang lain.

8) Daya Juang

Melalui kegiatan olahraga, nilai daya juang anak dapat ditumbuhkan secara konkret. Pertumbuhan fisik merupakan perkembangan proses tahapdemi tahap dan untuk mencapai perkembangan yang optimal dibutuhkan daya dan semangat juang. Selain menumbuhkan semangat dan daya juang yang tinggi,


(42)

kegiatan olahraga juga merupakan wahana untuk mengembangkan sikap sportivitas (kejujuran) yang tinggi pada anak. Berani bersaing secara wajar, namun juga berani untuk menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain dengan setulus hati.

9) Tanggung Jawab

Pembagian tugas piket kelas secara bergiliran merupakan wahana penanaman nilai akan tanggung jawab di lingkungan kelas atau persekolahan. Kebersihan dan kenyamanan kelas bukan hanya tugas karyawan kebersihan sekolah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. Untuk keperluan kelas maka keterlibatan anggota kelas sangat penting. Dalam proses pengembangan tanggung jawab ini perhatian dan pendampingan guru sangat penting agar apabila anak yang tidak mau bertugas segera mendapat perhatian. Demikian juga apabila ada anak yang selalu menjadi korban kemalasan temannya dapat dilindungi sehingga tanggung jawab dan kebersamaan dalam kelas dapat terjalin dengan baik.

10) Penghargaan terhadap Lingkungan Alam

Pelaksanaan tugas kerja bakti mengandung kegiatan proses pembelajaran yang sangat baik di lingkungan persekolahan. Melalui kegiatan kerja bakti terkandung proses penanaman nilai yang berkaitan dengan semangat kerjasama atau gotong royong dan penghargaan terhadap lingkungan alam. Dalam kerja bakti tidak hanya berbicara tentang menyapu dan membersihkan halaman, tetapi juga menjaga tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan


(43)

sekolah agar tetap asri dan terjaga dengan baik. Lingkungan alam yang hijau dan asri sangat membantu kesehatan dan kenyamanan hidup manusia, membuat seluruh siswa kerasan dan nyaman berada dan belajar di sekolah.

Pelaksanaan kerja bakti membutuhkan perencanaan yang baik karena ada unsur penanaman nilai yang akan disampaikan terutama berkaitan dengan tanggung jawab, kerja sama, gotong royong, kecintaan, serta penghargaan terhadap lingkungan alam. Selain perencanaan yang baik, juga dibutuhkan pengamatan dalam proses pelaksanaannya yang akan menjadi titik pijak pendampingan selanjutnya, baik secara personal, kelompok, maupun klasikal di lingkungan sekolah dasar.

Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa nilai-nilai budi pekerti yang perlu ditanamkan di sekolah menurut Zubaedi dan Paul Suparno adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat azas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, religiusitas, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, daya juang, dan penghargaan terhadap lingkungan alam.


(44)

D.Dasar Pendidikan Budi Pekerti

Dalam menjalankan konsep pendidikannya dalam memajukan tumbuhnya budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara menggunakan azas atau dasar yang dicetuskan beliau pada Juli 1922 sebagai berikut:

1 Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengikuti tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijk saamhoorigheid), itulah azas kita yang pertama. Tertib dan damai (tata lan tentrem, orde en vrede) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak adalah “ketertiban” terdapat, kalau tak bersandar pada “perdamaian”. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groi) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (“ regering-tucht en orde”, ini perkataan dalam ilmu pendidikan) kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak yang kita pakai sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sedikit. Inilah kita namakan “Among method”.

2 Dalam sistem ini maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya


(45)

guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama.

3 Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan harus untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah acapkali kita merusak sendiri kedamaian hidup kita.

4 Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil dari pada rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran yang secukupnya. Kekuatan bangsa dan negeri itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada mempertinggi pengajaran kalau usaha mempertinggi ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.

5 Untuk dapat berusaha menurut azas dengan bebas dan laluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

6 Oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Inilah


(46)

yang kita namakan “zalfbedruipingsysteem”, yang jadi alatnya semua perusahaan yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.

7 Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, berniatlah kita berdekatan dengan sang anak. Kita tidak meminta hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada sang anak.” (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 48-49)

Apa yang telah dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang azas pendidikannya pada tahun 1977 diadakan perbaikan yang tidak jauh berbeda dari rumusan awal. Azas tersebut yang meliputi:

1. Kodrat Alam

Dasar pendidikan budi pekerti yang pertama yaitu azas kodrat alam yaitu azas yang dimanfaatkan untuk dapat mengembangkan segenap bakat, potensi dan kemungkinan yang terdapat dalam diri manusia secara kodrati. Menurut azas kodrat alam manusia itu terlahir sama dan merdeka.

Jadi, Ki Hadjar Dewantara selalu menganggap bahwa semua orang itu sama dan merdeka. Ki Hadjar Dewantara tidak setuju dan menentang sikap rasis dan foedalisme walaupun beliau adalah keturunan bangsawan. Sesuai dengan kodrat alam semua orang dilahirkan sama. Tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang lebih rendah.

Menurut Ki Hadjar Dewantara harga atau nilai seseorang bukan karena bangsawan, bukan pula karena ia seorang yang kaya raya, nilai atau harga seseorang ditentukan oleh jasa dan perbuatannya terhadap masyarakat. Mulia tidaknya seseorang tergantung pada perbuatannya. Dengan azasnya kodrat alam,


(47)

dapat dipahami bahwa sesungguhnya Ki Hadjar Dewantara juga mengakui adanya kekuasaan Tuhan karena yang dimaksud kodrat alam adalah kekuasaan Tuhan.

2. Azas Kemerdekaan

Kemerdekaan merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap makhluknya, termasuk juga manusia, setiap manusia mempunyai hak untuk merdeka dan bebas mengatur dirinya. Dalam mencapai kebahagiaan hidupnya, setiap orang mempunyai kebebasan untuk berpikir dan berbuat. Semua orang berhak hidup bahagia. Akan tetapi, kebebasan di sini bukan berarti kebebasan berbuat semaunya. Walaupun setiap orang bebas berpikir dan berbuat, namun ia harus memperhatikan ketertiban masyarakat. Kebebasan seseorang jangan sampai mengganggu dan merusak ketertiban masyarakat.

Ki Hadjar Dewantara menjunjung tinggi kemerdekaan, beliau menolak penjajahan. Dari ketidaksetujuannya mengenai hal itu bahkan beliau menolak bantuan subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda kepada Taman Siswa. Dapat dikatakan azas kemerdekaan dapat dimaknai dengan independensi dari seseorang atau oraganisasi. Tidak adanya keterkaitan dengan apapun yang dapat mengurangi rasa kemerdekaan yang ada pada tiap-tiap individu maupun masyarakat, akan tetapi dalam kebebasan ada nilai-nilai yang mengatur.

Di dalam prinsip sistem among yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan


(48)

menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun. Hal tersebut merupakan cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara lewat Taman Siswanya yaitu dengan cara membina manusia yang merdeka lahir dan batin. Ki Hadjar Dewantara mendidik orang agar berpikir merdeka dan bertenaga merdeka. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara manusia merdeka ialah manusia yang tidak terikat lahir dan batinnya, orang yang merdeka ialah orang yang tidak tergantung pada orang lain (mandiri). Kemerdekaan manusia dibatasi oleh potensi yang ada pada dirinya. Kemerdekaan manusia ada 3 macam: berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung kepada orang lain (anafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikking) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 4).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kemerdekaan yang sejati tidak hanya dalam arti kebebasan, akan tetapi keharusan memelihara tertib damainya diri dan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama.

3. Azas Kebudayaan

Azas kebudayaan merupakan landasan yang memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan budi pekerti. Azas ini digunakan untuk membimbing anak agar tetap menghargai serta mengembangkan kebudayaan sendiri. Hal ini bertujuan untuk menjaga keaslian budaya lokal, sehingga Ki Hadjar Dewantara mempunyai konsentrasi tersendiri dalam mengembangkan pendidikan nasional yang berlandaskan atas kebudayaan murni Indonesia. Perlunya memelihara, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai dan bentuk kebudayaan nasional.


(49)

Menurut Ki Hadjar Dewantara kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri. Namun, Ki Hadjar Dewantara selalu bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan dari luar yang dapat mengembangkan khazanah kebudayaan Indonesia.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan Indonesia merupakan segala puncak dari sari kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Puncak-puncak kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan unsur-unsur budaya lokal yang dapat memperkuat solidaritas nasional (H.A.R Tilaar, 2007: 90).

Jadi, menurut Ki Hadjar Dewantara kebudayaan nasional Indonesia didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tinggi mutunya, baik yang lama maupun yang ciptaan baru. Kebudayaan nasional Indonesia harus bersambung (kontuinitas) dengan kebudayaan lama. Kebudayaan nasioal Indonesia harus mengumpul menuju ke arah kebudayaan universal (konvergensi) dengan memiliki kepribadian nasional sendiri (konsentrisitas). Tujuan semua ini adalah untuk mengenal budaya dan jati diri tanpa harus meniru dan menjiplak budaya asing yang dapat merusak kebudayaan sendiri.

4. Azas Kebangsaan

Azas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang amat penting sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Melalui azas ini Ki Hadjar Dewantara hendak menegaskan bahwa, seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Dalam konteks itu pula, azas ini diperjuangkan Ki Hadjar


(50)

Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan ataupun keagamaan. Bagi Ki Hadjar Dewantara, kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial biologis, status sosial ataupun keagamaan. Rasa kebangsaan adalah bagian dari rasa kebatinan kita manusia, yang hidup dan dihidupkan di dalam jiwa kita dengan disengaja.

Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari rasa diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan pribadi, lalu menjalar menjadi rasa keluarga. Rasa diri ini terus memintal erat menjadi rasa hidup bersama (rasa sosial). Wujud rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri; kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya. Ideologi kebangsaan inilah yang diterapkan Ki Hadjar Dewantara secara konsekuen ketika ia bersama dengan Dr. Tjipto dan E.F.E. Douwes Dekker mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Bahkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, yang juga merupakan ideologi nasional kita pada dasarnya adalah suatu formulasi dari ideologi kebangsaan itu, dari wawasan kebangsaan kita itu. Mencermati pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang azas kebangsaan ini kita semakin yakin bahwa Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu adalah sosok yang pluralis (Bartolomeus, 2013: 86-87).


(51)

5. Azas Kemanusiaan

Azas ini pada dasarnya mengandung makna persahabatan antar bangsa-bangsa. Dalam konteks itu, ia menggarisbawahi pentingnya Bangsa Indonesia menjalin persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya menjadi sahabat bagi siapa pun juga dan tidak boleh bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain. Dalam praksis berbangsa dan bernegara manusia di Indonesia memperlakukan sesamanya secara beradab dalam rasa cinta kasih yang mendalam. Dalam perspektif itu, azas kemanusiaan ini boleh dipandang sebagai azas yang radikal sebab konsep kemanusiaan itu merupakan akar dan sekaligus titik simpul bagi proses hidup yang manusiawi. Ia menjadi landasan kokoh untuk membangun kondisi hidup bermasyarakat yang cinta damai dan saling menghormati dalam konteks sosial yang dewasa ini menjadi sedemikian kompleks, mengglobal, dan sarat dengan persoalan kemanusiaan.

Konsep manusia sebagai makhluk multidimensional, dinamis dan luhur mengisyaratkan panggilan kodratinya untuk senantiasa berevolusi dalam rangka menanggapi tantangan alam dan zaman yang tetap dalam kondisi berubah-ubah. Klimaks evolusi manusia itu adalah terbangunnya integrasi potensi-potensi diri dalam rupa kesadaran akan pentingnya menjaga eksistensi hidup yang manusiawi. Kesadaran demikian bermuara pada upaya optimalisasi daya akal budi sedemikian rupa untuk menghumanisasikan lingkungan hidupnya. Itulah yang telah melahirkan kebudayaan. Jadi, kebudayaan adalah ekspresi kesadaran mendalam manusia akan pentingnya menjalani hidup yang manusiawi. Dalam


(52)

konteks itu, perspektif kemanusiaan yang beradab mengacu pada pengertian bahwa segala hal yang diciptakan oleh manusia dalam berbagai aspek kehidupan harus selalu sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. “Hasil karya manusia” idealnya menghantar dirinya pada kondisi hidup yang beradab. Dalam pengertian ini, perkembangan hidup manusia dari jaman ke jaman idealnya adalah peningkatan rasa hormat pada kemanusiaan yang mengkristal dalam apa yang kita sebut dengan kebudayaan.

Kiranya dalam perspektif itulah Ki Hadjar Dewantara layak kita pandang sebagai seorang humanis. Ia mengabdikan hidupnya secara total dan radikal untuk membangun kesadaran tinggi akan pentingnya bertumbuh dalam rasa kemanusiaan. Gagasan ini dapat kita temukan juga dalam refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang atau terhadap Pancasila yang ditulisnya pada tahun 1948. Baginya Pancasila mendeskripsikan keluhuran sifat hidup manusia. Kandungan makna Pancasila yang asasi adalah perikemanusiaan karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang mengajarkan kita perihal bagaimana seharusnya kita berpendirian, bersikap, dan bertindak, tidak saja sebagai warga negara yang setia, melainkan juga sebagai manusia yang jujur dan bijaksana. Kita bisa memahami pandangan ini dengan meyakini bahwa hormat kepada sesama manusia adalah suatu bentuk konkret penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bartolomeus, 2013: 88-89).


(53)

E.Strategi Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Nurul Zuriah (2011: 86), penerapan pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolahan dapat diartikan dengan berbagai strategi pengintegrasian, antara lain sebagai berikut:

1. Keteladanan atau contoh

Suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan sebagai model bagi peserta didik. Dalam hal ini guru berperan langsung bagi peserta didik.

2. Kegiatan spontan

Kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui adanya sikap atau perilaku peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan berteriak-teriak, mencoret-coret dinding dan sebagainya.

3. Teguran

Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.

4. Pengkondisian lingkungan

Suasana di sekolah perlu dikondisikan sedemikian rupa, dengan penyediaan sarana fisik. Contohnya dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik.


(54)

5. Kegiatan rutin

Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus-menerus dan konsisten setiap saat. Contohnya berbaris memasuki kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam apabila bertemu orang lain.

Sejalan dengan pendapat Nurul di atas, Ali Muhtadi (2010: 9) juga mengungkapkan bahwa berkaitan dengan implementasi pendidikan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari, secara teknis strategi yang dapat dilakukan adalah melalui: keteladanan, kegiatan spontan, teguran, pengkondisian lingkungan, dan kegiatan rutin. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ali Muhtadi (2010: 8) untuk strategi pengintegrasian pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan dapat direncanakan oleh guru melalui berbagai kegiatan seperti: bakti sosial, kegiatan cinta lingkungan, kunjungan sosial ke panti jompo atau yayasan yatim piatu atau yayasan anak cacat. Kegiatan ini penting dilakukan guna memberikan pengalaman langsung serta pemahaman dan penghayatan nyata atas prinsip-prinsip moral yang telah ditanamkan guru kepada peserta didik. Dengan berbagai kegiatan tersebut, diharapkan pendidikan budi pekerti tidak hanya berhenti pada aspek kognitif saja, melainkan juga dapat menyentuh aspek afektif, psikomotor peserta didik.

Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, seringkali kontra produktif atau terjadi benturan nilai. Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti


(55)

di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi dalam implementasi pengembangan nilai-nilai budi pekerti perlu menerapkan prinsip yaitu: a) menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang tua, guru, masyarakat, maupun pimpinannya, b) menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam segala aspek keidupan), c) menggunakan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengna nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan.

F. Metode Pendidikan Budi Pekerti

Dalam pendidikan telah dikenal beberapa aspek yang penting dan berpengaruh terhadap kesuksesan dalam mewujudkan tujuan pendidikan, salah satunya adalah aspek metode pengajaran. Hal ini dikarenakan metode pengajaran terkait dengan proses interaksi dan komunikasi antara pendidik dengan peserta didik. Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Bartolomeus, 2013: 78-79), metode pendidikan yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia adalah yang sepadan dengan makna “pendagogik”, yakni Momong, Among dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam nilai-nilai. Dalam sistem among ini, pengajaran berarti mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan


(56)

merdeka tenaganya. Mengemong anak berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan, apabila keinginan anak-anak berpotensi membahayakan keselamatannya. Sementara alat atau cara mendidik dalam metode among terdiri dari enam, yakni: 1. Memberi contoh: pamong memberi contoh atau teladan yang baik dan bermoral

kepada peserta didiknya.

2. Pembiasaan: setiap peserta didik dibiasakan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pelajar; sebagai anggota komunitas Taman Siswa, dan sebagai anggota masyarakat secara selaras dengan aturan hidup bersama.

3. Pengajaran: guru atau pamong memberikan pengajaran yang menambahkan pengetahuan peserta didik sehingga mereka menjadi generasi yang pintar, cerdas, benar dan bermoral baik.

4. Perintah, paksaan, dan hukuman: diberikan kepada peserta didik bila dipandang perlu atau manakala peserta didik menyalahgunakan kebebasannya yang dapat berakibat membahayakan kehidupannya.

5. Laku (perilaku): berkaitan dengan sikap rendah hati, jujur, dan taat pada peraturan yang terekspresi dalam perkataan dan tindakan.

6. Pengalaman lahir dan batin: pengalaman kehidupan sehari-hari yang diresapi dan direfleksikan sehingga mencapai tatanan “rasa” dan menjadi kekayaan serta sumber inspirasi untuk mencapai kehidupan yang membahagiakan diri dan sesama.


(57)

Dalam lingkup pendidikan budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara memiliki metode pengajaran dan pendidikan tersendiri yang terdiri atas tiga macam metode yang didasarkan pada urutan pengambilan keputusan berbuat, yang artinya ketika kita bertindak haruslah melihat dan mencermati urutan-urutan yang benar sehingga tidak terdapat penyesalan di kemudian hari. Metode tersebut antara lain: ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan) dan ngelakoni (melaksanakan) (Moch. Tauhid, 1963: 57).

Dari tiga macam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Metode Ngerti

Metode Ngerti dalam pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, mempunyai maksud memberikan pengertian yang sebanyak-banyaknya kepada anak. Di dalam pendidikan budi pekerti anak diberikan pengertian tentang baik dan buruk. Berkaitan dengan budi pekerti ini seorang pamong (guru) ataupun orang tua harus berusaha menanamkan pengetahuan tingkah laku yang baik, sopan santun dan tata karma yang baik kepada peserta didiknya. Dengan harapan peserta didiknya akan mengetahui tentang nilai-nilai kebaikan dan dapat memahami apa yang dimaksud dengan tingkah laku yang buruk yang dapat merugikan mereka dan membawa penyesalan pada akhirnya.

Selain itu pamong juga memiliki tugas untuk mengajarkan tentang hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta beragama. Dengan tujuan akhir peserta didik diarahkan untuk mampu menjadi manusia yang merdeka dan


(58)

memahami pengetahuan tantang perilaku baik dan buruk serta memiliki budi pekerti (akhlak) yang luhur (mulia)

2. Metode Ngrasa

Metode yang kedua adalah metode Ngrasa yang merupakan kelanjutan dari metode ngerti, metode pendidikan budi pekerti merupakan metode yang bertahap yang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yang dimaksud dengan metode Ngrasa adalah berusaha semaksimal mungkin memahami dan merasakan tentang pengetahuan yang diperolehnya. Dalam hal ini peserta didik akan dididik untuk dapat memperhitungkan dan membedakan antara yang benar dan yang salah.

3. Metode Nglakoni

Metode Nglakoni merupakan tahapan terakhir dalam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud dengan metode Nglakoni adalah mengerjakan setiap tindakan, tanggung jawab telah dipikirkan akibatnya berdasarkan pengetahuan yang telah didapatnya. Jika tindakan telah dirasakan mempunyai tanggung jawab, tidak mengganggu hak orang lain, tidak menyakiti orang lain maka dia harus melakukan tindakan tersebut.

Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Bartolomeus, 2013: 87), pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun budi (pikiran, kognisi) namun juga pekerti (tenaga) anak-anak Indonesia, agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang “meng-Indonesia” (mencintai dan memiliki


(59)

kekhasan Indonesia). Praksis pendidikan berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru sebagai pengasuh yang matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai sosio-kultural dan religius yang khas Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dewasa (dalam intelektualitas, moralitas, sosialitas, spiritualitas). Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberikan pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami apa yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya; memberikan keteladanan sehingga peserta didik meniru yang baik; memberikan kepercayaan supaya peserta didik menjadi pribadi yang bertanggung jawab dalam tugas-tugasnya kelak. Pamong (guru) boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan atas dasar kepercayaan bahwa anak adalah pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya.

Dalam rangka menerapkan metode among dan untuk menegaskan perbedaan metode pendidikannya dari pendidikan Belanda, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan pentingnya “tritunggal” fatwa pendidikan untuk hidup mereka, yakni pertama, tetep, antep, dan mantep. Artinya, pendidikan adalah upaya terencana untuk membangun ketetapan pikiran dan batin subjek didik. Kondisi demikian penting agar subjek didik dalam semakin dewasa dan berkualitas atau


(60)

pasti mantep (kokoh). Kedua, pendidikan dimaksudkan untuk membentuk mentalitas ngandel, kandel, kendel, dan bandel dalam diri subjek didik. Artinya, pendidikan yang menekankan pengolahan kematangan batiniah menumbuhkan rasa percaya diri (ngandel) dan membentuk ‘pendirian yang teguh’ (kandel) pada subjek didik sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang berani (kendel) dan tawakal, tidak cepat menyerah (bandel). Ketiga, pendidikan itu dilaksanakan demi dan untuk membangun kondisi neng, ning, nung, dan nang dalam kesadaran diri peserta didik.Artinya, upaya mendidik adalah upaya membentuk kesucian pikiran dan kebatinan subjek didik (neng). Bila kondisi ini mewarnai aktivitas pendidikan, peserta didik akan mengalami ketenangan hati (ning), yang lantas pula membuat mereka mampu menguasai diri untuk memiliki “kekuasaan atas diri sendiri” (nung). Manakala subjek didik sudah memiliki ketiga hal itu, mereka sesungguhnya mencapai “kemenangan” (nang) pada dirinya, yakni “kemenangan atas ego diri yang cenderung pongah dan serakah (Bartolomeus, 2013: 81).

G.Kiprah Taman Siswa Dalam Membangun Budi Pekerti

Pada masa berdirinya Taman Siswa, keadaan pendidikan dan pangajaran pada waktu itu sangat kurang dan sangat mengecewakan. Seperti yang diketahui sesudah pemerintah kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian, jumlah sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat jauh dari cukup. Lagipula


(61)

sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ada kepentingan rakyat Indonesia.

Misi dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan intinya adalah dengan sarana pendidikan yang ada di Taman Siswa akan mengenalkan kebudayaan sosial dan lain sebagainya kepada anak didik, bukan hanya ilmu pengetahuan saja. Semua itu tidak terlepas dari konsep yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri perguruan Taman Siswa. Bagaimanapun Ki Hadjar Dewantara berperan sebagai pionir pendidikan nasional.Hal ini disebabkan karena pada waktu Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, pendidikan yang digunakan adalah pendidikan dari Belanda yang bertentangan dengan kehendak Ki Hadjar Dewantara.Sedangkan Ki Hadjar Dewantara dengan kelompoknya merupakan pionir berdirinya pendidikan yang berbeda dengan Belanda, yaitu dengan membuka Taman Siswa, dimana arah sistem pendidikannya sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan Belanda.

Perbedaan yang mendasar adalah jika pendidikan Belanda mengarahkan anak didiknya agar setelah lulus menjadi stave (budak) atau antek-anteknya Belanda, yaitu menjadi pegawai pemerintah Belanda. Sedangkan Ki Hadjar Dewantara dengan membuka Taman Siswa, beliau menyebar benih untuk memberikan jiwa kemerdekaan pada rakyat Indonesia yang putra-putrinya disekolahkan di Taman Siswa. Risiko dan konsekuensi yang ditanggung cukup berat, termasuk ketika Ki Hadjar Dewantara harus berhadapan langsung dengan pemerintah Belanda dan


(62)

dikenai hukuman pengasingan akibat mendirikan sekolah yang melawan arus dengan sistem pendidikan Belanda.Dalam perkembangan selanjutnya, program pendidikan Taman Siswa dikembangkan melalui program SBII (Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama). Artinya, konsep pendidikan di Taman Siswa selalu berkembang sesuai dengan sifat, bentuk, isi, dan irama zaman yang dialami saat itu.Jadi tidak benar kalau Taman Siswa dikatakan tidak reformis. Namun demikian, konsep dasar yang dikembangkannya masih tetap sama, yaitu menumbuhkan jiwa merdeka pada setiap diri anak didik, yaitu merdeka lahir batin, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Dengan tujuan agar anak didik menjadi orang yang beriman, bertakwa, terampil, dan akhirnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat (Nurul Zuriah, 2007: 132).

Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya.Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual saja, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila. Dengan menggunakan dasar kekeluargaan dengan sistem among dapatlah terwujud dengan baik pendidikan budi pekerti terhadap anak bangsa (Soeratman, 1982: 89).

Selain berdasarkan kekeluargaan, pendidikan di Taman Siswa menggunakan Tri Pusat (Soeratman, 1982: 95-96). Pusat-pusat pendidikan ini masing-masing harus tahu kewajibannya sendiri-sendiri dan mengakui haknya pusat-pusat lainnya, yaitu:


(63)

2. Pusat perguruan: sebagai balai wiyata, yaitu untuk usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek.

3. Pusat pergerakan pemuda: sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “Kerajaan Pemuda” untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk pembentukan watak.

Dalam hal ini, perguruan berdiri sebagai titik pusat dari ketiga pusat tersebut dan menjadi perantara keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat. Antara orang tua, murid dengan guru yang menjadi penasihatnya. Di sini guru harus melaksanakan metode among.

Eksistensi dan inti pendidikan di Taman Siswa sebenarnya adalah sebuah lembaga pendidikan yang tetap mempertahankan kebudayaan dan juga sosial untuk kemerdekaan anak bangsa. Jadi, dengan pendidikan tersebut diusahakan agar sebanyak mungkin anak bisa sekolah dan mempunyai jiwa merdeka. Oleh karena itu, pendidikan di Taman Siswa didasarkan atas prinsip atau slogan Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para muridnya. Ing Madya Mangun Karsa, yang artinya seseorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus memprakarsai/ memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya. Tut Wuri Handayani, yang artinya seorang


(64)

pendidik selalu mendukung dan menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat (Bartolomeus, 2013: 78).

Sebagai komunitas pendidikan, sikap dan hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman Siswa sebagai dasar dan sikap perjuangan hidup mereka di tengah-tengah masyarakat adalah Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi) (Bartolomeus, 2013: 90-91).

Kontinuitas (atau dasar kultural): terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Bagi Ki Hadjar Dewantara kebudayaan itu adalah garis kehidupan suatu bangsa yang terus berkembang tanpa terputus-putus. Dalam konteks itu, pengaruh dari kebudayaan lain berupa nilai-nilai baru dapat diterima dengan catatan bahwa kebudayaan bangsa sendiri tetap berjalan sebagai penuntun nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan wajib dihidupkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kemajuan suatu bangsa adalah ketika bangsa itu tetap setia melajutkan garis hidup dari asal-usulnya yang ditarik terus dari sumber awalnya sembari terbuka menerima nilai-nilai baru, baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain.

Konsentrisitas (dasar nasional): terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini Ki Hadjar Dewantara sebagai “alam hidup berbulatan” (konsentris). Ki Hadjar Dewantara berupaya menginternalisasi kesadaran akan pentingnya menghormati fakta pluralitas kepada segenap anggota Taman Siswa. Ia menekankan bahwa, meskipun manusia itu berasal dari keluarga yang berbeda, daerah yang berbeda, agama yang berbeda, dan golongan yang berbeda, tetapi ia tetap diliputi


(65)

suatu lingkungan hidup yang luas cakupannya. Persatuan bangsa tidak akan rugi manakala perasaan cinta keluarga, cinta suku, cinta daerah, cinta agama dan cinta golongan disertai dengan kesadaran bahwa perasaan cinta itu berada dalam kondisi damai dan tertib dari lingkungan yang meliputinya, yakni bangsa. Kesadaran seorang bahwa keluarga, suku, agama, golongan dan daerahnya berada dalam lingkungan bangsa, dan tertib damainya kehidupan keluarganya hanya akan tercapai apabila ada ketertiban dan kedamaian nasional, menjadi jaminan tidak munculnya primordialisme sempit. Demikian juga manakala semangat kebangsaan kita atau nasionalisme mengakui bahwa suatu bangsa hanya bisa hidup tentram dan selamat manakala ada perdamaian dunia, maka luapan ekspresi nasionalisme tidak akan membahayakan kepentingan perdamaian dunia.

Konvergensi (dasar kemasyarakatan): kehidupan di Taman Siswa selalu bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan keyakinan seperti itu, Ki Hadjar Dewantara membiasakan bahkan mewajibkan setiap anggota Taman Siswa untuk hidup membaur dan menjalin relasi dengan masyarakat luas dalam prinsip saling menghormati perbedaan identitas. Setiap anggota Taman Siswa harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat kalau ia ingin hidup mengabdi kepentingan masyarakat. Bagi Ki Hadjar Dewantara, semangat hidup yang memencil dan penyakit menjaga “kemurni-murnian” berdasarkan identitas primordial, dia akan membawa kepada kematian. Di sini semakin jelas bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin yang berjiwa pluralis. Baginya, perbedaan bukanlah hal yang harus dipertentangkan, diperlawankan satu terhadap yang lain,


(66)

dan diperdebatkan, tetapi merupakan keniscayaan yang wajib diterima sebagai anugerah istimewa dari sang Pencipta.

H.Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dikembangkan berdasarkan rumusan masalah dan digunakan sebagai rambu-rambu untuk memperoleh data penelitian. Berikut ini adalah pertanyaan penelitian yang peneliti kemukakan sebelum diadakan penelitian di lapangan.

1. Bagaimana strategi pengembangan pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?

2. Bagaimana metode pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?

3. Bagaimana penanaman nilai-nilai budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?


(1)

185

Gambar 43. Pembiasaan SD Taman Muda Gambar 44. Slogan kawasan tanpa rokok Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang ditempel yang ditempel di depan kantor pamong di depan kantor kepala sekolah dan pamong

Gambar 45. Slogan yang ditempel di pintu Gambar 46. Lembar tata tertib pamong


(2)

186

Gambar 47. Lembar daftar rincian tugas piket Gambar 48. Lembar penegakan tata tertib SD Taman Muda Ibu Pawiyatan yang ditempel yang ditempel di dinding kantor pamong di dinding kantor pamong

Gambar 49. Kegiatan 5S oleh kepala sekolah Gambar 50. Kegiatan berbaris di depan


(3)

187

Gambar 51. Kegiatan peserta didik ziarah Gambar 52. Slogan budi pekerti

ke makam pahlawan demokrasi

Gambar 53. Kegiatan lomba olahraga dan Gambar 54. Pelajaran demokrasi yang

tujuhbelasan diberikan guru melalui mata pelajaran PKn


(4)

188 Lampiran 14. LAMPIRAN SURAT-SURAT


(5)

189


(6)

190