MODEL PENGEMBANGAN PEMBINAAN KETAWAKALAN SEBAGAI UPAYA MENGUBAH PERILAKU NARAPIDANA :Studi Deskriptif Analisis di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

(1)

ix

ix DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN i

SURAT PERNYATAAN ii

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

KATA PENGANTAR v

UCAPAN TERIMA KASIH vi

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 15

C. Hipotesis Penelitian 17

D. Tujuan Penelitian 19

E. Kegunaan Penelitian 19

F. Metode Penelitian 20

G. Lokasi dan Sampel Penelitian 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pendahulan 23

B. Dasar Filosofis Pemasyarakatan 31


(2)

x

x

D.Analisis SWOT dalam Sistem Pembinaan 66

E.Kajian Teoritis Ketawakalan 68

F. Studi Terdahulu yang Relevan 94

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian 99

B. Definisi Operasional 103

C. Instrumen Penelitian 111

D. Langkah-langkah Penelitian 113

E. Tahap-tahap Penelitian 125

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Tinjauan Umum Pemasyarakatan 138

B.Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan 149

C.Model Pengembangan Pembinaan Ketawakalan 188 D. Hasil Penerapan Model di Lapangan 212

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.Kesimpulan 250

B.Rekomendasi 253

DAFTAR PUSTAKA 255


(3)

xi

xi DAFTAR TABEF

Halaman Table 4.1 Komposisi Penempatan Narapidana Dalam Blok Hunian

Sampai Bulan Maret 2011

135

Table 4.2 Data Personalia Pegawai Di LAPAS Sukamiskin 137

Table 4.3 Kelompok Jenis Narapidana 138

Table 4.4 Narapidana Berdasarkan Tindak Pidana 139 Table 4.5 Warga Binaan Yang Tidak Diberi Perlakuan 140 Table 4.6 Warga Binaan Yang Diberi Perlakuan 141 Table 4.7 Jadwal Materi Pra Admisi Dan Orientasi Warga Binaan

Pemasyarakatan (Wbp) Lapas Sukamiskin Bandung

155

Table 4.8 Jadwal Materi Program Admisi Dan Orientasi Warga Binaan Pemasyarakatan (Wbp) Lapas Sukamiskin Bandung

155

Table 4.9 Produk Model Yang Dikembangkan 207

Table 4.10 Berdo’a Ketika Akan Tidur Dan Bangun Tidur 213

Table 4.11 Berdo’a Setelah Sholat 214

Table 4.12 Berdo’a Ketika Masuk Wc Dan Keluar Wc 214 Table 4.13 Berdo’a Ketika Akan Makan Dan Sesudah Makan 215

Table 4.14 Berdo’a Ketika Mendapat Masalah 215

Table 4.15 Berdo’a Kepada Allah Dalam Kehidupan Sehari-Hari 216

Table 4.16 Niat Yang Kuat Untuk Berbuat Baik 216

Table 4.17 Bekerja Keras Mencari Rizki Dengan Cara Halal 217

Table 4.18 Menolong Sesama 217

Table 4.19 Bergantung Kepada Allah 218

Table 4.20 Pemanfaatan Membaca Doa Sehari-Hari 218 Table 4.21 Kegiatan Pemberian Materi Yang Sudah Diberikan 219 Table 4.22 Mengikuti Kegiatan Sesuai Dengan Program 219 Table 4.23 Perlunya Kegiatan Seperti Yang Telah Diberikan pada LP Lain 220

Table 4.24 Dampak Dari Mengikuti Kegiatan 220


(4)

xii

xii

Table 4.26 Berdo’a Setelah Sholat 222

Table 4.27 Berdo’a Ketika Masuk Wc Dan Keluar Wc 222 Table 4.28 Berdo’a Ketika Akan Makan Dan Sesudah Makan 223

Table 4.29 Berdo’a Ketika Mendapat Masalah 223

Table 4.30 Berdo’a Kepada Allah Dalam Kehidupan Sehari-Hari 224

Table 4.31 Niat Yang Kuat Untuk Berbuat Baik 224

Table 4.32 Bekerja Keras Mencari Rizki Dengan Cara Halal 225

Table 4.33 Menolong Sesama 225

Table 4.34 Bergantung Kepada Allah 226

Table 4.35 Pelaksanaan Do’a Untuk Narapidana Yang Diberi Perlakuan 228 Table 4.36 Pelaksanaan Do’a Untuk Narapidana Yang Tidak Diberi

Perlakuan

229 Table 4.37 Perilaku Warga Binaan Yang Diberi Perlakuan 230 Table 4.38 Perilaku Warga Binaan Yang Tidak Diberi Perlakuan 230

Table 4.39 Respon Dari Warga Binaan 231

Table 4.40 Nilai Rata-Rata Responden 232

Table 4.41 Hasil Uji t Pelaksanaan Doa Dalam Kehidupan Sehari-hari Pada Saat Tidak Diberi Perlakuan Dengan Yang Diberi Perlakuan

236

Table 4.42 Hasil Uji t Perilaku Narapidana Dilihat Dari Aspek Ketawakalan Pada Saat Tidak Diberi Perlakuan Dengan Yang Diberi Perlakuan

237

Table 4.43 Hubungan Antara Pelaksanaan Do’a Dengan Perilaku Warga Binaan Dari Aspek Ketawakalan Pada Kelas Perlakuan

239 Table 4.44 Hubungan Antara Pelaksanaan Do’a Dengan Respon 240 Table 4.45 Hubungan Antara Tawakal Dengan Respon 241 Table 4.46 Hubungan Antara Pelaksanaan Do’a Dengan Ketawakalan, 242 Table 4.47 Pendapat warga binaan terhadap perlakuan buku saku (doa) 244


(5)

xiii

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Perubahan homeostatis 57

Gambar 4.1 Kompleks LAPAS Sukamiskin Bandung 134 Gambar 4.2 Pintu Depan LAPAS Sukamiskin Bandung 135

Gambar 4.3 Struktur Organisasi & Pejabat Lapas Klas I Sukamiskin Bandung

136

Gambar 4.4 Kondisi Warga Binaan Berdasarkan Usia 142 Gambar 4.5 Kondisi Warga Binaan Berdasarkan Pendidikan 144 Gambar 4.6 Kondisi Warga Binaan Berdasarkan Kasus 146

Gambar 4.7 Proses Pemasyarakatan 152

Gambar 4.8 Proses Yang Terjadi Dalam LAPAS 153

Gambar 4.9 Siklus Proses Kegiatan Pembinaan Ketawakalan 201 Gambar 4.10 Perbandingan Pelaksanaan Doa Dalam Kehidupan

Sehari-Hari

233

Gambar 4.11 Perbandingan Perilaku Warga Binaan Dari Aspek Ketawakalan

233


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Risalah, 2010:1). Arifin (1985:1) mengungkapkan bahwa Pembangunan Nasional merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, yaitu pembangunan yang meliputi segi-segi jasmani dan ruhani sekaligus. Sauri (2006: 26, 27) menyatakan bahwa manusia memiliki dua aspek penting, yaitu fisik dan ruhaniah. Aspek fisik merupakan tahap pertama manusia diciptakan, yang karenanya memerlukan pemenuhan kebutuhan fisiknya seperti makan, minum, dan berkembang biak. Aspek ruhaniah berkaitan dengan daya ruh yang dimiliki manusia. Ruh merupakan bagian yang sangat penting bagi manusia, yaitu daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.

Manusia, dengan demikian, memiliki dua kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan jasmani atau materil yang bersifat fisik dan kebutuhan ruhani atau

spiritual yang bersifat non fisik. Kebutuhan keduanya, baik yang bersifat fisik

atupun yang bersifat non fisik harus dipenuhi secara seimbang. Pemenuhan kepentingan fisik semata dapat menimbulkan rasa kecewa dan putus asa. Q.S. 17:83;


(7)

2

Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”. Pemenuhan kebutuhan ruhani semata dan mengabaikan kebutuhan jasmani dapat menimbulkan kesulitan dalam pencapaian kemajuan hidupnya. Q.S. 13:11; Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Pembangunan bidang jasmani atau fisik dapat dikatakan berhasil atau terlihat jelas hasilnya, seperti gedung-gedung perkantoran, pertokoan, sarana pendidikan, tempat ibadah, jalan-jalan untuk trasportasi dan sebagainya. Begitu juga untuk aspek fisik dari manusianya. Pemerintah telah mencanangkan olahraga jumat bagi semua PNS dan banyak olahragawan yang berprestasi di tingkat internasional. Tetapi pembangunan fisik saja tidak cukup, seperti dijelaskan Kusumaatmadja (2006, 10) bahwa yang terpenting bukanlah pembangunan fisik tetapi perubahan yang sedang terjadi pada manusia anggota masyarakat itu dan nilai-nilai yang dianut. Tanpa perubahan sikap-sikap dan sifat ke arah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, segala pembangunan dalam arti benda fisik, akan sedikit sekali artinya. Manusia, dengan demikian, selain harus sehat jasmaninya dan memiliki keahlian untuk bekal hidupnya, mereka juga harus memiliki kekuatan mental spiritual yang memadai. Yaitu dengan cara memiliki nilai-nilai tawakal, sebagaimana diajarkan Al-Qur’an 65:3: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya”. Dalam Al-Qur’an 16:42; (yaitu) orang-orang yang


(8)

3

sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal. Sajidah (2010:1) menjelaskan bahwa:

Tawakal adalah sikap seorang muslim yang menggantungkan kendali urusan mereka hanya kepada Allah, menerima ketentuannya dan yakin akan pertolongannya. Indikatornya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin, menerima akan takdir-Nya dan yakin akan pertolongan-Nya.

Manusia tanpa dibekali dengan kekuatan mental spiritual yang kuat sekaligus memiliki ketawakalan yang memadai akan mudah terkena pengaruh lingkungan yang negatif dan dapat terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang menunjukkan orang-orang yang tidak memiliki sifat ketawakalan atau orang yang tidak tawakal, seperti: kasus anggota brimob polda Jambi, T, yang tidak bisa menerima putusan hakim terhadap teman sesama brimob yang divonis 2 tahun penjara. Dia ngamuk di pengadilan (Indosiar, 2010). Begitu juga yang terjadi di Semarang Jawa Tengah. Seorang suami, M, menikam istrinya, karena gara-gara bertengkar (cekcok) (Indosiar, 2010). Kasus lain, pembunuhan yang dilakukan dua wanita di Surabaya, M dan H, terhadap seorang nenek, Z, karena ingin menguasai harta yang dimiliki oleh nenek tersebut (Patrolikriminal, 2010).

Dari cotoh-contoh kasus di atas, menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki rasa tawakkal yang memadai dan mental-spiritual mereka masih lemah. Nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat pada umumnya tidak dimiliki oleh para pelaku kejahatan. Akibatnya, mereka yang tertangkap dan divonis bersalah dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina mentalnya, dengan harapan jika kembali ke masyarakat mereka tidak mengulangi kejahatan. Sebagian dari mereka, meskipun


(9)

4

sudah dibina di lembaga pemasyarakatan masih mengulang kejahatan yang pernah dilakukannya. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa setelah selesai dibina di lembaga pemasyarakatan, mereka kembali melakukan kejahatan, sehingga harus dibina kembali untuk kedua kalinya atau bahkan lebih dari dua kali, yang biasa disebut ‘residivis’. Seperti dijelaskan Bratadinata (2007:1) seorang penjahat residivis adalah mereka yang pernah dipidana sebelumnya dalam perkara yang sama atau perkara yang lainnya. Contohnya yang terjadi di Cimahi G, dia mencuri sepeda motor sekaligus dengan STNK-nya. Dia mencuri sepeda motor dari rumah kontrakan pada dini hari ketika pemiliknya tidur lelap. Padalah empat bulan lalu ia baru keluar dari Rutan Kebon Waru karena kasus yang sama (Tribun, 20 Juli 2010). Di Bandung I. N. alias Gd cs. mencuri sepeda motor ditangkap Polisi. Gd menjelaskan, selama ini dengan berbekal kunci khusus dia mencuri motor di daerah-daerah yang banyak dihuni mahasiswa, seperti Jalan Tubagus Ismali dan Jalan Sekeloa, Bandung. Ia sudah dua kali masuk penjara karena kasus yang sama (Kompas, 31 Januari 2010). Di Tasikmalaya, yang dilakukan Ag dan Ah yang baru keluar dari penjara sebulan sebelumnya, karena alasan sulit cari pekerjaan mereka kembali mencuri motor, yang akhirnya ditangkap polisi (Tribun, 25 Mei 2009). Pencurian sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat, karena mereka berulangkali melakukan pencurian, yang menurut Kapolresta Bandung Barat AKBP Baskoro Tri P. sudah lebih dari 40 kali (Tribun, 4 Juni 2009). Kejadian lain dilakukan Je Ha yang sudah empat kali masuk penjara dengan kasus yang sama, yaitu menjambret korban dengan alasan kepepet butuh uang untuk bayar kos (Tribun, 4 Juni 2009). Di Se tertangkap karena pencurian


(10)

5

laptop. Dia keluar dari penjara tahun 2005 karena kasus yang sama. Alasan yang diungkapkan adalah karena tidak mempunyai pekerjaan (Tribun, 22 Juni 2009). Uc dan Uz yang baru keluar dari penjara bulan Agustus lalu. Mereka mencuri sepeda motor hanya dalam waktu 10 detik (Tribun, 17 September 2009). El Ro yang pernah mendekam selama setahun di penjara kembali beraksi dengan berpura-pura menjadi pembantu. Berdasarkan pengakuannya dia mencuri sudah 17 kali. Hasil curian dipakai untuk kebutuhan sehari-hari (Tribun, 9 Oktober 2009). Data hasil penelitian Bratadinata (2007) jumlah residivis di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung sebanyak 36 orang dari 503 orang narapidana dan di Lembaga Pemasyarakatan Banceuy Bandung berjumlah 141 orang residivis dari 937 narapidana. Secara keseluruhan, residivis yang ada di Bandung 177 orang dari 1440 narapidana atau ada 10,9% merupakan residivis dari jumlah narapidana secara keseluruhan.

Terdapat juga narapidana yang sedang dalam pembinaan, bukannya berperilaku makin baik, malahan dia mengendalikan kejahatan dari dalam penjara. Seperti yang dilakukan oleh ME. Ia mengendalikan jaringan narkotika dari dalam penjara, di Lembaga Pemasyarakan Tangerang (Bataviase, 2010). Di Kiaracondong Bandung, Dc (25), baru seminggu ke luar dari rutan Kebonwaru akibat mencuri handphone, harus kembali ke tempat di mana ia dibina selama enam bulan, karena mencuri motor, sebagai hasil dari didikan teman se-selnya termasuk cara membuat kunci letter T (Bandung Ekspres, 2010). Kasus ini menunjukkan bahwa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, bukannya membuat dia sadar atas kesalahannya,


(11)

6

kemudian memperbaiki diri, malahan dia mendapatkan pelatihan cara untuk mencuri motor. Hal serupa dilakukan oleh GKA yang sedang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Barelang, di Tembesi, Batam. Dia mengendalikan kejahatan dengan menggunakan HP (pinjaman dari pegawai Lapas) untuk mengatur pelaksanaan kegiatan pembobolan ATM. Dia juga melatih teknik membobol ATM di penjara kepada S alias L sesama Narapidana (TribunBatam, 2008). K mengendalikan peredaran Ganja dari Lapas Kebon Waru, Bandung. Dia yang mengatur pengiriman Ganja yang dilakukan oleh SHR untuk transaksi dengan SDH (Bandung Ekspres, 2010). Sedangkan YH, mantan anggota TNI yang dipecat karena mencuri mesiu dan dipenjara di LP Sukamiskin. Ketika di penjara dia terpengaruh oleh sesama narapidana untuk menjadi teroris dan berhasil hingga dibaiat menjadi anggota Jamaah Islamiyah (JI). Selesai dibina di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dia menjadi teroris yang ditembak mati oleh Densus 88 di Klaten Jawa Tengah (Tribun Jabar, 2010). Kasus-kasus kebebasan seksual yang melibatkan narapidana, seperti homoseksual, seks dengan hewan, dengan PSK, peredaran majalah porno, terjadi di Beberapa Lembaga Pemasyarakatan (Taufik, 2010:87-127). Kasus bunuh diri, seperti yang dilakukan CC tgl 27 Juli 2010 di Lapas Sukamiskin. Ada juga yang berhasil melarikan diri ketika kondisinya memungkinkan dengan memanjat tembok gedung penjara, dan bahkan ada yang kabur melalui pintu depan dengan berpura-pura ditengok kerabatnya. Ketika penjaga lengah mereka berhasil kabur dengan menembak sipir penjara.


(12)

7

Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa masih banyaknya permasalahan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan yang sudah seharusnya mendapat perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak yang memiliki kesadaran untuk kebaikan secara menyeluruh. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan tidak membuat mereka sadar atas kejahatan yang dilakukannya. Hal ini terbukti dengan berulang kali mereka keluar masuk penjara, mengendalikan kejahatan dari dalam penjara dan bahkan melatih narapidana lain cara-cara melakukan suatu kejahatan, untuk dilakukan jika kelak keluar dari penjara. Tentu banyak faktor yang menyebabkan mereka berperilaku seperti ini, tetapi salah satu faktor penyebab yang sangat kuat adalah mereka tidak mendapatkan pembinaan yang memadai, yaitu suatu pembinaan yang dapat membuat mereka sadar atas segala kesalahannya, menyesali perbuatannya dan tidak lagi mengulang perbuatan yang pernah dilakukannya. Sekaligus dapat membuat mereka memiliki rasa ketawakalan yang dibutuhkan selama di penjara.

Kelompok masyarakat ini sangat memerlukan perhatian, pembinaan dan bantuan-bantuan lain untuk memulihkan dirinya agar dapat berhenti dari perilaku jahatnya, dan dapat diterima kembali oleh masyarakatnya. Tidak diselesaikannya masalah mereka dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketegangan sosial serta menjadi ancaman bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Syamsudin (1997:2) menjelaskan bahwa:

Orang yang telah melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal, yang biasa disebut ‘narapidana’, merupakan salah satu bentuk dari ‘perilaku menyimpang’, yang dapat menjadi ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan sosial dan ketertiban sosial, dan dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketegangan sosial.


(13)

8

Persoalan kejahatan ini bukan lagi masalah individu tetapi sudah menjadi ‘masalah sosial’ (social problem) yang harus ditangani secara sosial. Garna (1996:163) menjelaskan bahwa masalah sosial adalah setiap keadaan yang dianggap oleh seluruh atau sebagian warga masyarakat sebagai suatu keadaan yang tidak dikehendaki, tidak dapat ditoleransi atau dianggap ancaman bagi nilai-nilai dasar masyarakat, sehingga memerlukan ‘tindakan masyarakat’ untuk menyelesaikannya. Penyelesaian masalah sosial menurut Soetarso (1999) tidak dapat dilakukan secara individu, melainkan melalui penyembuhan sosial, yaitu pendekatan dengan menggunakan strategi-strategi intervensi langsung dan tidak langsung untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok-kelompok kecil masyarakat agar dapat memperbaiki kemampuannya untuk berfungsi secara sosial dan mengatasi masalah-masalah sosial.

Persoalan ini, dengan demikian, harus diselesaikan secara kolektif dan terpadu melalui tindakan sosial (social action). Tindakan sosial, dalam pelaksanaannya, berdasarkan pada tiga aspek, yaitu: pertama tindakan itu diarahkan pada tujuan dan atau memiliki tujuan; kedua tindakan terjadi pada suatu situasi yang memiliki alat atau cara dan kondisi lingkungan tertentu, dan ketiga secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan (Parsons, 1968: 77).

Pemerintah, untuk menyelesaikan masalah tersebut, melalui Kementerian hukum dan HAM sudah melakukan tindakan sosial dengan menyediakan Lembaga Pemasyarakatan yang tersebar di seluruh Indonesia, yang bertujuan untuk mengembalikan narapidana (terpidana) ke masyarakatnya berbekal kesiapan hidup


(14)

9

dan mengembalikan jiwanya yang sudah parah (Syamsudin, 1997). Selanjutnya Prayuda (2007:1) menjelaskan bahwa pembinaan (di lembaga pemasyarakatan) diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan tersebut bukan sekedar untuk menghukum narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan difokuskan pada dua aspek, pertama pola pembinaan kemandirian, yaitu suatu pembinaan yang menekankan kepada aspek pelatihan dan keterampilan Narapidana dengan berbagai jenisnya. Dan kedua pola pembinaan kepribadian, yaitu suatu pembinaan yang menekankan kepada aspek mental dan aspek kerohanian. Untuk aspek kedua ini, pihak Lembaga Pemasyarakatan, pada aspek kedisiplinan, baris berbaris, brain storming, ditangani oleh pegawai tetap Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan untuk pembinaan keagamaan mendatangkan ahli-ahli agama dari luar, seperti ceramah umum, belajar mengaji, pendidikan pesantren dan lain-lain. Mereka bekerja tidak full time tetapi ada jadwal mengajarnya. Hal ini disebabkan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin belum ada pegawai tetap yang memiliki latar belakang pendidikan dari sarjana keagamaan. Apakah usaha dari pihak pemerintah tersebut sudah dapat dikatakan berhasil?

Untuk menjawab persoalan tersebut tidaklah mudah seperti membalikkan tangan. Secara umum, pendidikan bertujuan untuk memberi arah dan isi kepada perkembangan anak, anak didik atau peserta didik yang telah berusia dewasa, sesuai


(15)

10

dengan norma dan harapan masyarakat, sehingga dihasilkan manusia yang mampu hidup mandiri dan mampu melaksanakan fungsi serta perannya dalam rangka menunjang dan mengembangkan kehidupan masyarakat dan bangsanya (Adiwikarta, 1988:66). Tujuan pendidikan yang bersifat umum dan sangat mulia ini, perlu penjelasan yang lebih rinci, agar dalam aplikasinya lebih tepat dan terarah. Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan atau Bapak Pendidikan Nasional, telah memberikan dasar-dasar pendidikan yang masih up to date hingga kini, melalui konsep tri pusat pendidikan, yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda, atau yang lebih populer disebut pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat (Dewantara, 1962: 70).

Kondisi bangsa Indonesia masa kini, bahwa masalah pendidikan sangat rumit, dengan berbagai persoalan yang menyangkut tripusat pendidikan, baik pada persoalan pendidikan di keluarga, pendidikan di sekolah, ataupun pendidikan di masyarakat. Pendidikan dalam keluarga seharusnya menjadi prioritas utama proses pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya. Al-Qur’an (66:6) menyatakan bahwa jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka. Hal ini menunjukkan bahwa orangtualah yang pertama dan utama untuk mendidik anak-anaknya, agar kelak menjadi anak-anak yang soleh sesuai harapan orangtuanya. Tafsir (2008:128) menjelaskan bahwa orangtualah sebenarnya yang berkewajiban mendidik anak-anaknya. Lebih lanjut Tafsir (2008:129) menjelaskan:

Beberapa prinsip yang sebaiknya diperhatikan oleh orang tua dalam penanaman iman di hati anak-anaknya di rumah tangga. Pertama, membina hubungan harmonis dan akrab antara suami istri; kedua, membina hubungan


(16)

11

harmonis dan akrab antara orang tua dengan anak; dan ketiga, mendidik sesuai dengan tuntunan Islam.

Secara ideal, tiap keluarga muslim berharap dapat melaksanakan prinsip-prinsip sebagaimana dijelaskan. Untuk mencapainya orang tua harus memiliki kemampuan yang komprehensif, baik dari aspek pengalaman keagamaan dan pemahaman agama, aspek psikologis dan sosiologis dalam proses pembinaan terhadap anak, aspek kemampuan komunikasi suami istri dan orang tua-anak, ataupun aspek percontohan perilaku orang tua di hadapan anak-anaknya. Kenyataannya pendidikan dalam keluarga menjadi sebuah persoalan, ketika orang tua banyak yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anaknya, apakah karena kedua orangtuanya memiki karier di luar rumah sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk membina anak-anaknya yang berakibat anak-anak mereka terbengkalai, atau pendidikan orang tua yang rendah, sehingga mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah anak-anaknya, ataupun pengaruh negatif dari luar lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak-anak yang sulit dikontrol oleh orangtua, mungkin juga karena seringnya orang tua bertengkar bahkan sampai bercerai.

Untuk menanggulangi persoalan tersebut, banyak orangtua yang menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah di tempat anak-anak mereka belajar. Sedangkan kegiatan pendidikan di sekolah belum menunjukkan hasil optimal sesuai harapan para orangtua. Masalah pendidikan di sekolah pada saat ini, diantaranya, masih banyaknya tawuran antar sekolah, juga masih banyaknya anak-anak yang tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah formal, ataupun rendahnya semangat belajar


(17)

12

dari anak didik. Bahkan dengan adanya internet, selain banyak manfaat bagi anak didik juga memiliki ekses negatif; orang tua sulit mengontrol anak-anak mereka ketika di luar jam sekolah mereka masuk warnet untuk membuka website yang bermuatan pornografi. Masalah pendidikan di masyarakat, yang melibatkan banyak pihak, juga mengalami kesulitan dengan arus informasi yang sangat kuat yang berekses negatif, seperti maraknya penyebaran narkotika, pornografi, kejahatan di berbagai bidang, diantaranya bermunculan di berbagai tempat geng-geng motor yang sering membuat ulah dan menimbulkan keresahan di masyarakat, dan lain-lain.

Pembinaan Narapidana sebagai salah satu proses pendidikan masyarakat tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembinaan-pembinaan yang lain. Kejahatan yang dilakukan oleh para narapidana sebelum masuk ataupun setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, jelaslah sangat mengganggu ketertiban masyarakat secara umum. Persoalan ini harus mendapat perhatian secara khusus dari semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan terhadap ketertiban sosial. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003, dijelaskan:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam Kep.Men.Keh RI no. M.02.PK.0410.Tgl.10April.1990 dijelaskan: Tujuan diadakannya Lembaga Pemasyarakatan adalah agar dapat menjadi manusia seutuhnya, memantapkan iman (ketahanan mental) mereka, membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelompok


(18)

13

selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidananya.

Jika memperhatikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional juga tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan yang berniai sangat tinggi tersebut, maka secara teoritis, orang yang sudah dibina di Lembaga Pemasyarakatan, seharusnya memiliki kriteria seperti yang telah disebutkan, sekurang-kurangnya mereka memiliki rasa tanggungjawab, baik terhadap dirinya sendiri ataupun terhadap masyarakatnya, sehingga mereka berhenti dari perilaku kejahatan seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, kenyataannya masih banyak masalah yang terjadi di Lembaga pemasyarakatan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, seperti adanya ‘residivis’, melarikan diri dari penjara, mengendalikan kejahatan dari dalam penjara, dan lain-lain. Dengan kondisi seperti ini, menunjukkan adanya masalah yang harus diselesaikan secara komprehensif, yaitu suatu pembinaan yang dapat membuat para narapidana berperilaku sesuai dengan yang diharapkan semua masyarakat. Untuk mencapainya perlu diupayakan membuat suatu model pengembangan dari yang sudah ada yang dapat menghasilkan anak didik yang memikili rasa tawakal yang tinggi.

Rasa tawakal yang tinggi adalah mereka menginsafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa (Majid, 2000: 4). Mereka, dengan bekal tawakal yang memadai, tidak lagi mengulang kejahatan yang pernah dilakukan sebelumnya, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, sekaligus diharapkan dapat memiliki


(19)

14

bekal keterampilan untuk menjalani kehidupan seperti masyarakat kebanyakan. Selain dari hal-hal tersebut, perlu juga diperhatikan upaya dari pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan Ham untuk memberi jalan mendapatkan pekerjaan pada para mantan narapidana yang sudah dibina, sehingga mereka tidak perlu susah mencari pekerjaan sendiri.

Memperhatikan judul penelitian ini, penulis menggunakan istilah ketawakalan, alasannya adalah, secara konseptual, orang yang memiliki jiwa tawakal, setelah dia berusaha secara maksimal, dirinya akan menerima apapun hasil yang diberkan Tuhan kepadanya, tidak putus asa (sabar dalam berusaha mencapai cita-cita) dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan semua pihak, seperti melakukan suatu kejahatan. Al-Quran (65: 2-3) menjelaskan, yang artinya: “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.”. Ibnu Rajab Al-Hambaliy (Al-Atsari, 2008:1) menerangkan makna tawakkal:

Yaitu benarnya penyandaran hati kepada Allah di dalam mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan (berbagai mara bahaya) dari perkara-perkara dunia dan akhirat seluruhnya, yang seluruh perkara diserahkan kepada-Nya, dan merupakan pembuktian iman bahwasanya tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang memberikan madharat dan tidak ada yang memberikan manfaat kecuali Dia.

Dengan demikian, orang yang punya jiwa tawakal tidak akan mengalami kekecewaan yang dapat mengakibatkan dia melakukan hal-hal yang tidak diharapkan. Mereka yang telah dibina di Lembaga Pemasyarakatan dan kembali hidup di


(20)

15

masyarakat, jika dalam pembinaannya menghasilkan jiwa ketawakalan pada narapidana secara optimal maka seharusnya mereka memiliki kesadaran diri yang tinggi terhadap apa yang pernah dibuatnya. Orang tawakal akan memiliki dua aspek kemampuan sekaligus, pertama selalu bekerja keras dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa putus asa dan kedua memiliki kepasrahan pada Tuhan terhadap apapun hasil dari usahanya dengan keyakinan Tuhan akan menolongnya.

Karena persoalan ini sangat penting untuk dibahas dan sangat bermanfaat bagi semua pihak, penulis menganggap sudah seharusnya dilakukan penelitian terhadap aspek tersebut. Hasil penelitian ini, dalam bentuk suatu model pengembangan pembinaan ketawakalan, diharapkan dapat dijadikan model standar, baik bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung ataupun lembaga pemasyarakatan secara keseluruhan (nasional).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitiannya adalah bahwa Lembaga Pemasyaakatan belum berhasil membina mental-spiritual narapidana sesuai harapan, yaitu hidup sehat jasmani dan ruhani. Hal tersebut dapat dilihat dari masih terdapat Narapidana yang menjadi residivis, Mengendalikan kejahatan dari dalam, Melatih kejahatan di dalam penjara, Melarikan diri, Bunuh diri dan juga Melakukan sex bebas. Hal ini menunjukkan bahwa pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum dilaksanakan secara optimal atau belum optimalnya pelaksanaan kegiatan pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.


(21)

16

Secara lebih rinci, persoalan utama tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung?

Pertanyaan ini terkait dengan beberapa hal sebagai berikut: a. Sistem pembinaan (pelaksanaan kegiatan pembinaan), b. Sistem material, dan lingkungan yang kondusif bagi narapidana, c. Sistem personal (Aspek Pembina dan aspek yang dibina), d. Analisis SWOT terhadap seluruh kegiatan pembinaan narapidana. 2. Bagaimana perumusan model pengembangan pembinaan ketawakalan sebagai

upaya mengubah perilaku narapidana?

Pertanyaan di atas membahas suatu model yang tepat berkaitan dengan pembinaan narapidana. Model yang dibuat berupa pengembangan pembinaan ketawakalan untuk mengubah perilaku narapidana. Kemudian diterapkan di lapangan.

3. Bangaimana hasil dari penerapan model di lapangan terhadap perilaku narapidana?

Pertanyaan di atas mengungkap tentang hasil penerapan model di lapangan yang terbagi pada dua bagian:

a. Uji statistik:

1) Perbandingan rata-rata antara WBP diberi perlakuan dan non perlakuan 2) Hubungan-hubungan dalam perlakuan dan non perlakuan


(22)

17

b. Jawaban dari pertanyaan terbuka:

1) Pendapat WBP terhadap buku saku (doa)

2) Perbandingan Pemahaman ketawakalan antara WBP perlakuan dan non perlakuan

c. Observasi dan wawancara terhadap WBP setelah dilakukan pengolahan data untuk validasi dari hasil penelitian.

C.Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah atau sub masalah yang diajukan oleh peneliti, yang dijabarkan dari landasan teori atau kajian teori dan masih harus diuji kebenarannya (Riduan, 2008:35). Hipotesis yang diajukan di sini adalah merupakan sub masalah dari pertanyaan penelitian pada pertanyaan nomor tiga, berupa pertanyaan yang sifatnya kuantitatif, yaitu:

1. Terdapat perbedaan antara Warga Binaan yang diberi perlakuan buku saku (doa) dengan yang tidak diberi. Hipotesis statistiknya:

H0 : µ1 = µ2 (Secara statistik tidak ada perbedaan antara rata-rata pelaksanaan doa pada kelompok perlakuan dan kelompok non perlakuan).

H1 : µ1≠µ2 (Secara statistik ada perbedaan antara rata-rata pelaksanaan doa pada kelompok perlakuan dan kelompok non perlakuan ).

2. Terdapat perbedaan antara Warga Binaan yang diberi perlakuan ketawakalan dengan yang tidak diberi. Hipotesis statistiknya:

H0 : µ1 = µ2 (Secara statistik tidak ada perbedaan antara rata-rata tawakal pada kelompok perlakuan dan kelompok non perlakuan).

H1 : µ1 ≠ µ2 (Secara statistik ada perbedaan antara rata-rata tawakal pada kelompok perlakuan dan kelompok non perlakuan).


(23)

18

3. Terdapat hubungan pada Warga Binaan yang diberi perlakuan antara perlakuan buku saku (doa) dan perlakuan ketawakalan. Hipotesis statistiknya:

H0: Tidak Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan tawakal pada kelompok perlakuan.

H1: Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan tawakal pada kelompok perlakuan.

4. Terdapat hubungan pada Warga Binaan yang diberi perlakuan antara perlakuan buku saku (doa) dan respon warga binaan terhadap kegiatan pembinaan yang telah diberikan. Hipotesis statistiknya:

H0 : Tidak Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan respon pada kelompok perlakuan.

H1 :Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan respon pada kelompok perlakuan

5. Terdapat hubungan pada Warga Binaan yang diberi perlakuan antara perlakuan ketawakalan dan respon warga binaan terhadap kegiatan pembinaan yang telah diberikan. Hipotesis statistiknya:

H0: Tidak Terdapat hubungan antara tawakal dengan respon pada kelompok perlakuan.

H1: Terdapat hubungan antara tawakal dengan respon pada kelompok perlakuan. 6. Terdapat hubungan pada Warga Binaan yang tidak diberi perlakuan buku saku

(doa) dengan perilaku ketawakalan. Hipotesis statistiknya:

H0 : Tidak Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan tawakal pada kelompok kontrol.

H1 : Terdapat hubungan antara pelaksanaan doa dengan tawakal pada kelompok kontrol.


(24)

19

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pola pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung; yaitu sistem pembinaannya, sistem material, kondisi lingkungan yang kondusif bagi narapidana, sistem personalnya dan analisis SWOT.

2. Untuk menghasilkan suatu model pengembangan pembinaan ketawakalan yang dapat diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan pada realitas kebutuhan di lapangan.

3. Untuk mengetahui hasil dari penerapan model di lapangan terhadap perilaku narapidana.

E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat:

a. Untuk menambah wawasan pengetahuan bagi semua pihak yang membutuhkan mengenai cara-cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

b. Untuk merespon terhadap kondisi realitas yang ada, sehingga dengan adanya model pembinaan narapidana yang optimal dapat memberikan kontribusi nyata bagi pelaksanaan kegiatan pembinaan narapidana.


(25)

20

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini bermanfaat:

a. Dengan adanya rumusan model pembinaan ketawakalan bagi narapidana yang tepat, diharapkan, selesai mereka dibina dapat memenuhi harapan semua pihak. b. Temuan penelitian berupa model pembinaan ketawakalan bagi narapidana dapat

dipertimbangkan oleh pihak institusi Lembaga Pemasyarakatan untuk mendisain suatu model yang tepat bagi narapidana yang berada di lembaga ini.

c. Sebagai masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan secara umum (nasional) untuk menjadikan sebagian atau seluruhnya model hasil penelitian dalam membina narapidana di semua Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) yang dimodifikasi dan analisis data kualitatif-kuantitatif, untuk menjawab identifikasi masalah yang diajukan. Metode penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan (Syaodih, 2005:164). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi, berupa penyederhanaan dari 10 langkah Borg dan Gall, menjadi tiga langkah utama, yaitu 1) studi pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) Uji Model (Syaodih, 2005:184).


(26)

21

G. Lokasi dan Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Jalan Jenderal A.H. Nasution no. 114 Bandung. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, adalah berdasarkan studi pendahuluan, Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Lembaga Pemasyarakatan kelas 1 (satu) yang memiliki standarisasi fasilitas, berbagai kegiatan, dan sistem pembinaan yang ada lebih lengkap dibandingkan dengan Lembaga Pemasyarakatan yang lain. Dengan kondisi tersebut diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan model standar bagi Lembaga Pemasyarakatan yang lain.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitiannya adalah narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Untuk analisis kualitatif, peneliti mengambil mereka tanpa ditentukan jumlah sebelumnya, tetapi diambil berdasarkan kebutuhan secara bertahap sampai pada saat tertentu dirasa cukup. Proses pengambilan Narapidana menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan data jenuh (tidak mengambil informan baru) (Simatupang, 2010:203). Praktek di lapangan selain bertanya kepada narapidana juga dikonsultasikan dengan pembina supaya tetap ada koordinasi. Selain dari narapidana juga dilakukan wawancara kepada para pembina.

Untuk analisis kuantitatif, pengambilan sampel narapidana, secara umum diambil dari narapidana yang sedang menjalani pembinaan keagamaan. Alasannya


(27)

22

adalah agar terlihat bandingan antara mereka yang hanya mendapatkan pembinaan keagamaan berdasarkan program yang sudah ada dengan mereka yang mendapatkan tambahan yang diprogramkan oleh peneliti. Secara lebih khusus, bahwa jumlah narapidana secara keseluruhan 512 orang. Dari jumlah tersebut yang sedang mengikuti pembinaan keagamaan sebanyak 85 orang. Jumlah ke 85 orang yang sedang mengikuti pembinaan keagamaan (pesantren) yang dijadikan sebagai populasi, peneliti mengambil sampel sebanyak 26 x 2= 52 orang. 26 orang sampel untuk narapidana yang diberi perlakuan dan 26 orang sampel narapidana yang tidak diberi perlakuan. Jumlah 52 orang ini berdasarkan perhitungan sebagai berikut (Dahlan, 2006:15):

.

nₒ = sampel minimal tanpa melibatkan populasi p = kemungkinan untuk hasil penelitian signifikan q = kemungkinan untuk hasil penelitian tidak signifikan d = kemungkinan penyimpangan sampel dari populasi

t = mengambil 5% tingkat kesalahan. Dalam daftar urut jatuh pada angka 1.96 (lampiran4)

t 1.96 diperoleh dari tabel statistik

p 0.5 ditentukan peneliti

q 0.5 ditentukan peneliti

d 0.085 ditentukan peneliti

N 85 jumlah populasi

No 132.9273hasil perhitungan dengan rumus di atas

n 52orang responden

      + = N n n n o o 1


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung merupakan upaya yang dilakukan pihak pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan kegiatan pembinaan terhadap narapidana, untuk membuat suatu model pengembangan pembinaan ketawakalan, dan untuk menerapkan model yang sudah dibuat terhadap narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah dengan ‘pendekatan sosiologis’ yaitu semua tindakan sosial melalui pranata (lembaga, institusi) keluarga, pendidikan dan keagamaan, yang berperan dalam proses mengubah keadaan seseorang untuk menjadi orang yang lebih baik (Dewanto, 1987:24). Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan pengamatan kritis yang dilandasi pemahaman terhadap seluruh kegiatan dalam menggali informasi yang jelas mengenai proses berjalannya kegiatan, pemanfaatan komponen yang ada dan perilaku Narapidana. Dari pengamatan yang dalam dan analisis yang tajam, diharapkan peneliti dapat membuat suatu model pembinaan ketawakalan bagi narapidana yang tepat, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh seluruh komponen yang ada di Lembaga Pemasyarakatan.


(29)

100

Untuk memahami masalah penelitian tersebut, peneliti melakukan kegiatan penelitian dengan mengamati langsung di lapangan (field research) sekaligus menjadikan diri sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Metode yang digunakan adalah metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) yang dimodifikasi dan analisis data kualitatif-kuantitatif,untuk menjawab identifikasi masalah yang diajukan.

Metode penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan (Syaodih, 2005:164). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi, yaitu penyederhanaan dari 10 langkah Borg dan Gall, menjadi tiga langkah utama, yaitu 1) studi pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) Uji Model (Syaodih, 2005:184). Studi pendahuluan merupakan tahap awal atau persiapan untuk pengembangan. Dalam tahap awal ini, peneliti berusaha mengungkapkan tentang pola pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Isinya berkaitan dengan a. Sistem pembinaan (pelaksanaan seluruh kegiatan pembinaan), b. Sistem material dan non material (perangkat/alat yang dimiliki), dan lingkungan yang kondusif bagi narapidana, c. Sistem personal (Aspek Pembina dan aspek yang dibina). d. Analisis SWOT terhadap seluruh kegiatan pembinaan narapidana.


(30)

101

Dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan, beberapa metode yang digunakan diantaranya metode deskriptif untuk menghimpun data tentang kondisi yang ada (Syaodih, 2005:167). Nawawi (1991:64) menjelaskan bahwa ciri pokok metode deskriptif adalah memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat aktual; menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi interpretasi rasional yang memadai (adequate). Alwasilah (2008:151) menyatakan bahwa teknik deskriptif lazim dipakai untuk mengukur tiga hal; (1) eksistensi dan distribusi berbagai tingkah laku atau karakteristik yang terjadi secara alami; (2) frekwensi kemunculan kejadian yang terjadi secara alami; (3) hubungan yang mungkin ada antara karakteristik, tingkah laku, kejadian, atau fenomena yang menjadi perhatian peneliti. Peneliti, dalam pelaksanaannya, berusaha mengungkapkan ketiga hal tersebut sekaligus mencoba menghubungkan antara program kegiatan dengan perilaku Narapidana berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Data-data yang merupakan kumpulan fakta di lapangan dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan teliti, yang selanjutnya diinterpretasi oleh peneliti secara rasional dan memadai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Penjelasan lebih lanjut tentang analisis data kualitatif ada pada pembahasan analisis data.

Untuk menghasilkan suatu model yang memadai, peneliti akan mengungkapkan tentang kekuatan dan kelemahan sekaligus peluang dan ancaman yang ada pada pola pembinaan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini terkait dengan konsep analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and


(31)

102

Threats). Dengan menggunakan metode analisis SWOT diharapkan mendapatkan model yang optimal sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, peneliti mengembangkan aspek kegiatan dari yang sudah ada, dengan harapan dapat makin meningkatkan kualitas kehidupan secara positif dari narapidana dan memperkuat kekuatan dan peluang sebagai aspek positif dan meminimalisir aspek kelemahan dan ancaman sebagai aspek negatif dengan cara memberi masukan yang konstruktif.

Perumusan model yang dikembangkan mengacu pada hasil dari survei lapangan dan mengacu dari dasar-dasar teori atau konsep yang disimpulkan dari hasil studi kepustakaan (Syaodih, 2005:185). Konsep model yang telah dibuat, dikonsultasikan dan didiskusikan secara matang dan terarah dengan para pembimbing, sehingga menghasilkan suatu model yang diharapkan dapat sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Selanjutnya, peneliti menerapkan model di lapangan kepada warga binaan yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk mengetahui hasilnya, peneliti menyebarkan angket kepada warga binaan yang diberi perlakuan sekaligus juga kepada warga binaan yang tidak diberi perlakuan berupa pertanyaan tertutup. Warga binaan (kelompok perlakuan dan non perlakuan) dibebaskan memilih dari pilihan yang telah ditentukan oleh peneliti. Selanjutnya peneliti menganalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif. Penjelasan lebih lanjut tentang analisis data kuantitatif ada pada pembahasan analisis data.


(32)

103

B.Definisi Operasional

1. Model

Wikipedia (2010) Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.

Model dalam penelitian ini dibuat berupa model citra, yaitu suatu model yang menggambarkan rancangan atau pola tentang bagaimana cara-cara membina Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan secara konprehensif.

2. Pengembangan

Pengembangan adalah suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2010). Maksud pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu uapaya peneliti untuk mengembangkan suatu model melalui penelitian secara komprehensif terhadap proses kegiatan pembinaan ketawakalan pada Narapidana, yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan suatu model pembinaan ketawakalan yang optimal bagi narapidana.

3. Model Pengembangan

Maksud model pengembangan di sini adalah peneliti melakukan penelitian melalui dua tahap (research and development). Teknik pengumpulan data menggunakan kualitatif dan kuantitatif. Tahap pertama peneliti mengungkap realitas kegiatan pembinaan di lapangan, kemudian dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Selanjutnya dipelajari dan dilihat kekurangan dan kelebihannya


(33)

104

menggunakan analisis SWOT. Tahap kedua, peneliti membuat suatu model berdasarkan kebutuhan di lapangan dan dikonsultasikan kepada pembimbing, sehingga dapat menghasilkan model sesuai yang diharapkan yang dapat membantu mereka (narapidana) kearah yang lebih baik.

Model yang telah dibuat selanjutnya diterapkan (uji model) di lapangan melalui suatu proses pembinaan kepada narapidana yang merupakan tahap ketiga.. Model pembinaan ketawakalan ini harus dapat membuat narapidana berubah perilakunya, terutama selama dalam masa pembinaan, sekaligus diharapkan dapat sadar dan berhenti dari perilaku atau perbuatan salah yang pernah dilakukannya, dengan adanya penyesalan dan bertobat kepada Allah. Seterusnya mereka didorong untuk berupaya memperbaiki diri dengan berusaha meningkatkan ibadah, supaya memiliki sifat sabar dan syukur dan bekerja meningkatkan keterampilan yang disediakan pihak lembaga, supaya siap untuk bekerja keras dalam mencapai keberhasilan tanpa mengenal lelah. Akhirnya diharapkan mereka dapat memasrahkan diri kepada Allah setelah berusaha bekerja maksimal dalam pencapaian keberhasilannya.

Untuk melihat hasil dari penerapan model yang telah dibuat, sampai di mana pengaruhnya terhadap perilaku narapidana, peneliti menyebarkan Quesioner bentuk angket kepada warga binaan supaya mengisi pilihan jawaban yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil dari pengumpulan jawaban dianalisis menggunakan analisis kuantitatif sehingga dapat di lihat sejauh mana pengaruh penerapan model terhadap perilaku narapidana.


(34)

105

4. Pembinaan

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual, Sikap dan Perilaku, Profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan (PP No. 31 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1).

Pembinaan adalah: 1 proses, cara, perbuatan membina (negara dsb); 2 pembaharuan; penyempurnaan; 3 usaha, tindakan, dan kegiatan yg dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yg lebih baik (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2010).

Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan– urutan pengertian, diawali dengan mendirikan, menumbuhkan, memelihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha–usaha perbaikan, menyempurnakan, dan mengembangkannya (Widjaja. 1988). Pengembangan dalam penelitian ini adalah berusaha mengembangkan kebiatan pembinaan selama dalam masa penahanan para narapidana. Yaitu mengembangkan pembinaan ketawakalan dari yang sudah ada kepada yang lebih baik, baik dari aspek upaya bidang mengembangkan keterampilan ataupun aspek keimanannya.

5. Ketawakalan

Menurut Madjid (2000):

Tawakal secara harfiah berarti bersandar atau mempercayai diri. Tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. Tawakal bukanlah sikap pasif dan melarikan diri dari kenyataan. Tawakal adalah sikap aktif dan tumbuh dari pribadi yang memahami hidup dengan tepat serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Pangkal tawakal ialah kesadaran diri bahwa


(35)

106

perjalanan pengalaman manusia secara keseluruhan dalam sejarah, tidak cukup hanya pengalaman perorangan dalam kehidupan diri pribadi untuk menemukan hakikat hidup.

Wikipedia (2010) Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Sajidah (2010:1) Tawakal adalah sikap seorang muslim yang menggantungkan kendali urusan mereka hanya kepada Allah, menerima ketentuannya dan yakin akan pertolongannya. Indikatornya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin, menerima akan takdir-Nya dan yakin akan pertolongan-Nya. Secara lebih rinci, indikator tawakal tersebut dapat diurai menjadi lima bagian: a. Selalu berdoa kepada Allah, b. Memiliki niat untuk beramal shaleh, c. Bekerja keras mencari nafkah dengan usaha sendiri (cara yang halal), d. Suka menolong sesama, dan e. Menyerahkan segala urusan kepada Allah. 6. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari (Notoatmodjo, 1993:61). Menurut Kast (2007:393) ada tiga asumsi yang saling berkaitan mengenai perilaku manusia. Pertama, perilaku itu disebabkan. Kedua, perilaku itu digerakkan; dan ketiga, perilaku itu ditujukan pada


(36)

107

sasaran. Hal ini berarti proses perubahan perilaku mempunyai kesamaan untuk setiap individu, yakni perilaku itu ada penyebabnya, dan terjadinya tidak dengan spontan tetapi digerakkan dan mengarah kepada suatu sasaran tertentu.

Menurut Hamidi (1995:23) perilaku itu ada yang tidak tampak (innert, covert behavior) dan perilaku yang tampak (overt behavior). Sarwono (1999:10) menyebutkan bahwa aspek-aspek pikiran yang tidak kasat mata (covert behavior, intangible) dapat berupa pandangan, sikap, pendapat, dan sebagainya. Bentuk yang kedua adalah perilaku yang tampak (overt behavior, tangible) yang biasanya berupa aktivitas motoris seperti berpidato, mendengar, debat, menulis, menyeberang dan sebagainya. Harsojo (1988:112) memandang perilaku yang tampak sebagai manifestasi dari bentuk norma-norma, baik norma hukum atau undang-undang (law), norma moral (mores), ataupun norma susila (folkways). Norma dapat diartikan sebagai suatu ukuran atau ‘das sollen’, yang merupakan spesifikasi kultural (kebudayaan) yang membimbing tingkah laku kita dalam masyarakat.

Pembentukan perilaku, dapat dibedakan menjadi perilaku yang bersifat alami (innate behavior) yaitu berupa insting-insting dan refleks-refleks yang merupakan gerakan reaktif spontan yang dibawa sejak organisme lahir, dan perilaku operan (operant behavior), yakni perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, atau perilaku sebagai hasil dari interaksi sosial (Skinner dalam Walgito,1994:17). Perilaku alami, dalam prosesnya tanpa melalui otak sebagai pusat kesadaran, sedangkan perilaku operan proses terjadi dalam pusat kesadaran (otak) yang disebut sebagai perilaku aktivitas psikologis (Branca dalam Walgito, 1994:18).


(37)

108

Penelitian ini sangat terkait kajiannya dengan perilaku operan atau aktivitas psikologis seperti dikemukakan oleh Skinner dan Branca tersebut, sebab perilaku yang diamati pada penelitian ini merupakan perilaku yang disadari, dikendalikan, dapat dibentuk, dipelajari, sehingga dapat berubah melalui proses belajar. Penelitian seperti ini, dengan memperhatikan bagaimana tingkah laku berubah pada keadaan-keadaan yang berbeda dan penekanan pada proses belajar, diharapkan dapat menjelaskan, membuat prediksi serta mengontrol tingkah laku (Adi, 1994:61).

Proses belajar, secara sosiologis, merupakan interaksi sosial, sebagaimana dijelaskan Bonner (dalam Gerungan, 1987:57) bahwa, interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, ketika individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya. Perilaku, dengan demikian, dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar; sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 1993:62).

Proses perubahan perilaku narapidana, dalam pelaksanaannya dibantu sekaligus dibimbing oleh para pembina, dengan harapan mendapatkan hasil yang optimal. Perubahan perilaku secara signifikan ini diasumsikan terjadi setelah mereka mempraktekan model yang telah dibuat peneliti. Sebagai hasil proses pembinaan


(38)

109

yang dilakukan, mereka (Warga Binaan) diharapkan dapat menunjukkan adanya perubahan (homeostatis) yang meningkat. Yaitu suatu upaya memberikan kemampuan untuk menyesuaikan diri sambil mempertahankan struktur masyarakat yang ada (Adiwikarta, 1988:65). Dalam hal ini, yaitu adanya perubahan perilaku dengan harapan lebih baik dari pada sebelumnya dengan tetap mempertahankan struktur internal yang ada. Perilaku yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah perilaku narapidana selama dalam masa proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

7. Narapidana

UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. (Prayudha, 2007).

8. Lembaga

Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu usaha (Poerwadarminta, 1976: 582). 9. Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik (Kep.Men.Keh.RI No. M.02PK.041.tgl.10April 1990).


(39)

110

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembiaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilakn pidana (Pasal 1 ayat 1 UU no. 12 Tahun 1995).

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (Waspiyah, 2006).

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat (Prayuda, 2007).

10.Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan anak didik Pemasyarakatan (Pasal 1 ayat 3 UU No. 12 Tahun 1995). Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana (Kep.Men.Keh.RI No. M.02PK.041.tgl.10April 1990). Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah unit pelaksana teknis di bidang pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman (Kep.Men.RI no. M.01.PR.07.03 Tahun1985).


(40)

111

C. Instrumen Penelitian 1. Analisis Kualitatif

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrumen utama, sehingga proses dari pengumpulan data, analisis data sampai pada penarikan kesimpulan, peneliti terlibat secara langsung. Menurut Moleong (1997: 121):

Peneliti sebagai instrumen diharapkan dapat: (1) bersikap responsif terhadap lingkungan dan terhadap individu-individu yang berbeda dalam lingkungan tersebut; (2) menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi lapangan penelitian; (3) mengamati persoalan secara utuh—baik suasana, keadaan maupun perasaan; dan (4) memproses secara cepat seluruh data dari hasil di lapangan.

Karena peneliti sebagai instrumen utama, maka dalam penggunaan instrumen lain dilakukan langsung oleh peneliti, seperti observasi dan wawancara. a. Observasi

Peneliti melihat pelaksanaan seluruh kegiatan pembinaan, melihat langsung perilaku mereka dan mendengarkan apa yang menjadi permasalahan ketika kegiatan berlangsung, juga bagaimana mereka memberikan arti terhadap kegiatan serta masalah yang sedang dihadapi. Pengamatan dilakukan dengan cermat, terus menerus sampai didapatkan data yang cukup terinci dan mendalam sehingga dapat dibedakan mana data yang berguna dan data tidak berguna.

Observasi dilakukan kepada dua bidang, yaitu bidang kepribadian dan bidang kemandirian. Observasi dilakukan sejak pertama dilakukan penelitian sampai berakhirnya penelitian. Pengamatan dilakukan dengan cermat, terus menerus sampai didapatkan data yang cukup terinci dan mendalam.


(41)

112

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan kepada Pembina dan Narapidana yang berada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Yang diungkap dalam wawancara, mengutamakan pandangan menurut pendirian dari yang diwawancarai, menurut pendirian masing-masing orang, informasi didapat dari dalam diri yang diwawancarai, yang disebut perspektif ‘emic’.

1) Wawancara kepada Pembina; Pertama bidang kepribadian dan kedua bidang kemandirian.

2) Wawancara kepada Narapidana. Penentuan siapa yang diwawancarai dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pembina.

2. Analisis Kuantitatif

Instrument untuk Analisis data kuantitatif dilakukan untuk mengetahui pendapat dan perubahan perilaku pada warga binaan tehadap pelaksanaan penerapan model dalam kegiatan pembinaan. Instrument ini berbentuk pertanyaan pilihan yang jawabannya sudah ditentukan oleh peneliti. Warga binaan tinggal memilih salah satu dari empat pilihan yang tersedia. Instrument ini diberikan kepada warga binaan yang mengikuti pembinaan ketawakalan dan yang tidak mengikuti pembinaan ketawakalan. Angket tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif. Hasilnya menggambarkan perbedaan antara warga binaan yang diberi perlakuan dengan yang tidak diberi perlakuan sertan hubungan-hubungan yang terjadi pada warga binaan yang diberi perlakuan dan juga pada warga binaan yang tidak diberi perlakuan. Perincian Instrumen secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 1.


(42)

113

D. Langkah-langkah Penelitian

Alwasilah (2008:143) menjelaskan bahwa yang dilakukan peneliti (Langkah-langkah penelitian) untuk mencapai tujuan penelitian pada garis besarnya ada empat, yaitu: a. Mengakrabi lokasi dan responden, b. Penentuan sampel, c. Pengumpulan data, dan d. Analisis data.

1. Mengakrabi Lokasi dan Responden

Mengakrabi lokasi dan responden tujuannya adalah untuk negosiasi dengan obyek yang diteliti. Intensitas negosiasi bergantung pada jarak psikologis antara peneliti dan obyek penelitian, yaitu hubungan yang ditandai oleh kesesuaian, kesepakatan, persetujuan, atau kedekatan antara peneliti dan yang diteliti. Hal ini penting karena peneliti adalah instrument penelitian, tanpa hubungan ini penelitian tidak mungkin terlaksana. Hubungan ini berpengaruh bukan hanya pada peneliti dan obyek yang diteliti melainkan juga pada desain penelitian secara keseluruhan (Alwasilah, 2008:144).

Dalam pelaksanaan di lapangan, penulis (peneliti) akan mendatangi pimpinan Lembaga Pemasyarakatan, dengan pendekatan persuasif, menjelaskan tujuan kedatangan, bicara dari hati ke hati, memperkenalkan diri, melihat situasi, mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada, bernegosiasi dengan pimpinan terhadap apa yang akan dilakukan nantinya selama pelaksanaan penelitian. Menghadapi para narapidana yang akan dijadikan obyek penelitian, peneliti memulai dengan pengamatan dilanjutkan dengan dialog-dialog tentang hal-hal yang ringan menyangkut persoalan yang sifatnya umum, sebelum masuk pada materi penelitian.


(43)

114

2. Penentuan Sampel

Dalam penelitian, pemilihan sampel bukan saja diterapkan pada manusia, melainkan juga pada latar (setting), kejadian dan proses (Alwasilah, 2008:145). a. Manusia. Untuk sampel data kualitatif, Informan penelitian terbagi atas para

pembina dan para narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Pengambilan Narapidana untuk diwawancarai pada dasarnya bebas, tidak ditentukan secara sepihak oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan, siapa saja boleh diwawancarai, namun dalam pelaksanaannya penentuan siapa saja yang akan diwawancara dimusyawarahkan antara peneliti dengan pihak pembina.

Untuk pengambilan sampel data kuantitatif, dari jumlah narapidana secara keseluruhan 512 orang, yang sedang mengikuti pembinaan keagamaan sebanyak 85 orang. Jumlah ke 85 orang yang sedang mengikuti pembinaan keagamaan (pesantren) yang dijadikan sebagai populasi, peneliti mengambil sampel sebanyak 26 x 2= 52 orang. 26 orang sampel untuk narapidana yang diberi perlakuan dan 26 orang sampel narapidana yang tidak diberi perlakuan. Jumlah 52 orang ini berdasarkan perhitungan sebagai berikut (Dahlan, 2006:15):


(44)

115

.

b. Latar (setting). Di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, berkomunikasi personal, berkomunikasi resmi, berkomunikasi dengan pimpinan dan stafnya, berkomunikasi dengan narapidana, saat bicara, saat menulis.

c. Kejadian dan proses. Mengungkapkan kejadian-kejadian yang berlangsung selama penelitian dilakukan sekaligus dengan prosesnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sumber informasi dikumpulkan berdasarkan sumber data primer dan data

sekunder. Data primer didapat dari para narapidana para pembina dan pegawai lain

yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Data sekunder didapat dari data yang ada pada buku-buku, harian umum, dari sekretariat Lembaga Pemasyarakatan, hasil penelitian orang lain dan sumber lain yang relevan dengan kegiatan penelitian.

t 1.96 diperoleh dari tabel statistit p 0.5 ditentutan peneliti

q 0.5 ditentutan peneliti d 0.085 ditentutan peneliti

N 85 jumlah populasi

No 132.9273hasil perhitungan dengan rumus di atas

n 52orang responden

      + = N n n n o o 1


(45)

116

Sedangkan teknik pengumpulan dan pencatatan data dilakukan dengan cara: a. Observasi; b. Wawancara mendalam (data kualitatif); c. Quesioner (data kuantitatif); dan d. Pencatatan data sekunder.

a. Observasi

Nasution (1996:59) menjelaskan bahwa data observasi berupa deskripsi yang faktual, cermat, dan terinci mengenai keadaan lapangan kegiatan manusia dan situasi sosial, serta konteks di tempat kegiatan-kegiatan itu terjadi. Data diperoleh melalui peneliti di lapangan dengan mengadakan pengamatan secara langsung.

Dengan cara pengamatan secara langsung akan dipahami dan dimengerti mengenai hubungan sebab-akibat antara kegiatan pembinaan dengan perubahan perilaku yang terjadi pada Narapidana. Bagi Narapidana, jika melaksanakan seluruh kegiatan pembinaan dengan baik, maka perilakunya akan berubah, dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Untuk mengetahuinya, peneliti melihat pelaksanaan seluruh kegiatan pembinaan, pola-pola interaksi mereka, pola-pola pembagian kerjanya, dan akibat bagi Narapidana, yaitu terjadinya perubahan perilaku pada mereka. Peneliti melihat langsung perilaku mereka dan mendengarkan apa yang menjadi permasalahan ketika kegiatan berlangsung, juga bagaimana mereka memberikan arti terhadap kegiatan serta masalah yang sedang dihadapi. Pengamatan dilakukan dengan cermat, terus menerus sampai didapatkan data yang cukup terinci dan mendalam.


(46)

117

b. Wawancara Mendalam

Sebelum melakukan wawancara, peneliti harus menyadari bahwa ia masuk area sensitif, ruang kepribadian yang berbeda, atau menghadapi subyek penelitian yang sama sekali belum diketahui karakternya. Oleh karena itu, adakalanya wawancara diawali dengan permohonan izin, pembuatan kesepakatan waktu, tempat, dan durasi waktu yang diperlukan.

Langkah-langkah wawancara yang perlu diperhatikan (Danim, 2002), yaitu: 1) Pembukaan, yaitu peneliti menciptakan suasana kondusif, memberi penjelasan

fokus yang dibicarakan, tujuan wawancara, waktu yang akan dipakai, dan sebagainya.

2) Pelaksanaan, yaitu ketika memasuki inti wawancara, sifat kondusif tetap diperlakukan dan juga suasana informal.

3) Penutup, berupa pengakhiran dari wawancara, ucapan terima kasih, kemungkinan wawancara lebih lanjut, tindak lanjut yang bakal dilakukan, dan sebagainya.

Karakteristik pewawancara harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi, bersahabat, dan tidak menyerang, menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan, memiliki selera humor, dan mampu menjaga kerahasiaan responden (Wasilah, 2008:145).Dengan memiliki karakteristik tersebut, diharapkan terbangun komunikasi yang kondusif, mengurangi jarak psikologis, mencairkan ketegangan dan membangun kepercayaan responden terhadap peneliti.


(47)

118

Wawancara mendalam adalah menyampaikan berbagai pertanyaan terbuka kepada obyek penelitian untuk mendapatkan data yang bermakna. Yaitu bagaimana individu memahami dunianya dan mereka menjelaskan atau merasakan tentang berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (McMillan, 2001:443). Kunci utama wawancara mendalam adalah kedalaman wawancara mereka yang terpusatkan pada individu. Mereka memberi peluang untuk menyelidiki secara rinci terhadap tiap pandangan individu untuk mendapatkan pengertian yang dalam dari kondisi pribadi (Ritchie, 2003:58). Dengan wawancara yang mendalam (in-depth interview)

diharapkan dapat mengungkap kejadian dari dalam individu berupa kekuatan esoterik (esoterically event) sebagai akibat dari melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah diprogramkan. Yang diungkap dalam wawancara, mengutamakan pandangan menurut pendirian dari yang diwawancarai, menurut pendirian masing-masing orang, informasi didapat dari dalam diri yang diwawancarai, yang disebut perspektif ‘emic’. Seperti dijelaskan Moleong (1993:55) bahwa titik pandang emic dapat dikatakan dari dalam atau internal atau domestik. Wawancara mendalam dilakukan kepada pembina, Narapidana, dan petugas lain yang berada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

Untuk mengetahui validitas data digunakan teknik trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu (Moleong, 1997:178). Dalam hal ini data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan informan kunci dikontrol dengan data sekunder. Data yang diperoleh melalui observasi dikontrol dengan wawancara dengan informan kunci. Beberapa informasi


(48)

119

dari informan kunci dikontrol dengan informasi dari informan biasa. Dengan cara ini diharapkan data akan layak untuk dipercaya, sehingga digunakan untuk ditemukannya konsep-konsep maupun teori-teori yang bersifat substansif. Analisisnya adalah unit-unit kegiatan utama dalam kegiatan pembinaan. Dari kegiatan pokok tersebut dipelajari dan dianalisis mengenai hubungannya dengan perilaku Narapidana. Kegiatan keseharian, dalam hal ini, merupakan sebab dan perilaku Narapidana merupakan akibat.

Sasaran penelitiannya adalah para Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Proses pengambilan Narapidana menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan data jenuh (tidak mengambil informan baru) (Simatupang, 2010:203). Peneliti mengambil mereka tanpa ditentukan jumlah sebelumnya, tetapi diambil berdasarkan kebutuhan secara bertahap sampai pada saat tertentu dirasa cukup. Selain dari Narapidana, juga dilakukan wawancara kepada para pembina.

Untuk mempermudah hasil dari wawancara, peneliti menggunakan alat tulis dan alat perekam suara (tape recorder).

3)Quesioner

Quesioner, sebagai data kuantitatif, dilakukan untuk melihat pandangan/ pendapat dari warga binaan terhadap pelaksanaan kegiatan pembinaan, sekaligus dijadikan ukuran keberhasilan dari perlakuan/treatmen terhadap warga binaan. Juga kepada warga binaan diminta pendapatnya terhadap proses kegiatan pembinaan yang


(49)

120

diterapkan berdasarkan dari hasil pengembangan model yang dibuat peneliti. Selanjutnya dianalisis dengan analisis data kuantitatif.

d. Pencatatan data sekunder

Data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan data yang ada pada buku-buku, harian umum, dari sekretariat Lembaga Pemasyarakatan, hasil penelitian orang lain dan sumber lain yang relevan dengan kegiatan penelitian. Data dari sekretariat Lapas secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

a. Struktur organisasi yang ada di Lembaga Pemasyarakatan b. Tugas masing-masing dalam struktur di LAPAS

c. Data narapidana (macam, jenis kejahatan, usia, jumlah, ltrblkng pendd, dll d. Data pembina (jumlah, pendidikan, usia, yang pernah ikut pelatihan, dll e. Data lain yang berkaitan dengan pembinaan narapidana.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif- kuantitatif. Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori. Tanpa kategorisasi atau klasifikasi data akan terjadi chaos. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Interpretasi menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti untuk mendapatkan suatu kebenaran hasil dari penelitian.


(50)

121

Analisis data kualitatif pada dasarnya data dideskripsikan berwujud kata-kata atau kalimat-kalimat, sama sekali tidak melakukan pengujian melalui rumus-rumus tertentu. Dengan analisis kualitatif, pengamatan dapat dilakukan secara rinci dan mendalam dan memberikan interpretasi secara teoritik yang diperlukan untuk memadukan berbagai macam informasi yang diperoleh sehingga menjadi satu kesatuan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori Grounded, yaitu peneliti mengkonsentrasikan dirinya pada deskripsi yang rinci tentang sifat/ciri dari data yang dikumpulkan, sebelum berusaha menghasilkan pernyataan-pernyataan teoritis yang lebih umum (Sanafiah, 1990:108). Data yang diperoleh untuk dianalisis diklasifikasikan menurut kategori informan, sehingga dicapai titik temu antara proses kegiatan yang dilakukan, pemanfaatan komponen yang ada, dan perubahan perilaku yang terjadi pada Narapidana.

Analisis ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang dilakukan terus-menerus selama penelitian, yaitu; reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Huberman, 1992:16). Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhaan, pengabstrakan, dan tranformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Penyajian data dibatasi pada suatu sajian berupa kumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, yaitu mensistematikan dan menyederhanakan informasi yang beragam ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan dan selektif sehingga lebih mudah dipahami. Penarikan Kesimpulan berasal dari fakta-fakta atau hubungan yang logis. Kesimpulan terdiri atas kesimpulan utama dan kesimpulan tambahan. Kesimpulan utama


(51)

122

bertalian dengan pokok permasalahan. Kesimpulan tambahan merupakan uraian tentang jawaban penulis atas pertanyaan yang diajukan pada pendahuluan (Setyowati, 2009: 1).

Digunakannya pendekatan analisis kualitatif ini didorong oleh adanya suatu kesadaran pragmatis, yaitu kesadaran akan sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah laku (perilaku) manusia itu sendiri. Menurut Sanafiah (1990:2) keunikannya itu bersumber dari hakikat manusia sebagai makhluk psikis, sosial dan budaya yang mengaitkan makna dan interpretasi dalam bersikap dan bertingkah laku; makna dan interpretasi itu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya. Kompleks sistem makna tersebut secara konstan digunakan oleh seseorang atau kelompok orang dalam mengorganisasikan segenap sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Dunia sosial dan tingkah laku manusia barulah dapat dipahami secara benar apabila peneliti mampu menarik ‘inferensi’ melalui proses penghayatan terhadap sistem makna yang terstruktur dalam dunia ‘psikis, sosial dan budaya’ manusia pelakunya.

Analisis data kuantitatif digunakan untuk mengukur keberhasilan dari penerapan model yang telah dibuat secara kuantitatif. Terdapat dua hal yang dianalisis secara kuantitatif, pertama menguji perbedaan antara narapidana yang diberi perlakuan dan yang tidak diberi perlakuan kedua menguji hubungan-hubungan yang terjadi berdasarkan data kuantitatif dari lapangan.

Hasilnya dapat menggambarkan perbedaan antara warga binaan yang pernah mengikuti pembinaan berdasarkan model yang telah dibuat dengan warga binaan yang tidak mengikuti pembinaan berdasarkan model yang telah dibuat. Proses kegiatan ini disebut dengan metode eksperimen, yaitu metode yang digunakan untuk


(1)

Rasyidi, L. dan Rasyidi, T.(2007). Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju

Rato, D. (2010). Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum), Yogyakarta: Laksbang Jutitia

Riduan (2008). Dasar-Dasar Statistik. Bandung: Alfabeta

Ritchie, J. and Lewis J. (2003). Qualitative research practice, London: Sage Publications.

Ritzer, G. (1992). Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma Ganda, saduran

Alimandan, Jakarta: CV Rajawali.

Ritzer, G. dan Goodman, D.J. (2007). Teori Sosiologi Modern, terjemahan Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Salman, O. (2010). Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). Bandung: Refika Aditama

Sanafiah, F. (1990). Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Sarbini, A. (1990). Pola Pembinaan Keagamaan Bagi Narapidana Subversiv di LP

Sukamiskin Bandung, Bandung: IAIN SGD Bandung.

Sarwono, S., W., (1999), Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka. Sauri, S. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun, Bandung: Genesindo.

…..……(2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga (Kajian Nilai religi,

Sosial, dan Edukatif). Bandung: PT Genesindo.

Simatupang, L. (2010). Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Soekanto, S., (1995). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers.

……….(2005). Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada


(2)

Soetarso. (1999). Metoda-metoda Penyembuhan Sosial dalam Praktek Pekerjaan

Sosial, Bandung: Kopma STKS.

Soewardi, H. (2000). Roda Berputar Dunia Bergulir: Kognisi Baru Tentang

Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bandung: Bakti Mandiri

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Sudjana, (1996). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito,

Sujatni, A (2004). Sistem Pemasyarakatan Indonesia (membangun manusia mandiri), Jakarta: MontasAd.

Sulaiman, A.B. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Life Skills Berbasis

Pendekatan Keagamaan Bagi Pembinaan Narapidana, Bandung: SPS UPI

Sumaatmadja, N. (1996), Manusia dalam Konteks Soial Budaya dan Lingkungan

Hidup, Bandung: CV Alfabeta.

Sumaatmadja, N. (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Alfabeta

Sumantri, E. (2008). Kumpulan makalah kuliah dari mata kuliah: Cakrawala Pendidikan Umum (PU).

Supriyanto, (2010), Tawakal Bukan Pasrah, Jakarta: Qultum Media.

Syah, M. (1995), Psikologi Pendidikan, ‘suatu pendekatan baru’, Bandung: Remaja Rosyda Karya.

Syamsuddin, A. (1997). Pengaruh Kegiatan Keagamaan Terhadap Perilaku Moral

Narapidana di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Bandung: PPS

UNPAD.

Syaodih S, N. (2005). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya Tafsir, A. (2008). Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Rosdakarya. Taufik, A. (2010). Penjara (the untold stories), Jakarta: Ufuk Press

Ujan, A.A. (2009). Filsafat Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan). Yogyakarta: Kanisius


(3)

UURI No. 12 Tahun 1995. Tentang Pemasyarakatan

UUSPN No. 23 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekjen Depdiknas.

Vembriarto. (1993). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Pt Grasindo Walgito, B. (1994). Psikologi Sosial, Yogyakarta: Andi Offset.

Wallace, R. A. & Wolf Allison (1986). Contemporary Sociological Theory:

Continuing the Classical Tradition, New Jersy: Prentice, Inc, Englewwod

Cliffs.

Waspiah. (2001). Pembinaan Narapidana Melalui Sistem Pemasyarakatan Kaitannya Dengan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIa

Semarang. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNHES.

Weber, M., (1958), The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (translated by

Talcott Parsons), New York: Charles Scribner’s Sons.

Widjaja, A.W. 1988. Administrasi Kepegawaian: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Widjono, E., 1980, Buku Pedoman Diagnosa dan Terapi Korban Narkotika, Depkes RI, Jakarta: 1980.

Yana, D. (2009), Ditolong Allah dengan Tawakal. Jakarta: Arifa Yahya, I Z, tth., Riyadhus Shalihin, Beirut: Darul Fikr.

2. Surat Kabar dan Majalah

Bandung Ekspres (2010). Residivis Pencuri Motor Diciduk Aparat: 8 Januari 2010. Bandung Ekspress (2010). Napi Bawa Ganja Dua Kwintal, TANGKAP: 4 Mei 2010. Kompas (2010). Residivis Pencuri Sepeda Motor Ditembak. Bandung: Kompas.com Manalu, R. (1986), Mengenal Watak Anak Didik, dalam Anda, nomor 118, Hlm. 53-56.


(4)

Tribun, 17 September, (2009). Ditarget Sebulan Curi 10 Motor. Bandung Tribun, 20 Juli 2010. “Si Belut” Mencuri Motor Berikut STNK-nya. Bandung Tribun, 22 Juni, (2009). Diki Bingung Ditanya Soal Kabel. Bandung

Tribun, 25 Mei (2009), Tim Buser Tembak dua Residivis. Bandung Tribun, 26 Juli 2010. Teroris akan Serang Kedubes Denmarki. Bandung Tribun, 31 Agustus 2010, Bisnis Narkoba Dikendalikan dari LP.. Bandung Tribun, 4 Juni (2009), Gembong Juranmor Tersungkur di Cijapati. Bandung Tribun, 9 Oktober 2009. Elis Beraksi 17 Kali. Bandung.

3. Internet

Bataviase, (2010). Penyelundupan Narkotika Dikendalikan Dari Penjara, http://bataviase.co.id/node/112497

Budiaribowo (2009). Masalah-Masalah Sosial. http://www.kompasiana.com /welcome

Indosiar. (2010). http://www.indosiar.com/patroli/85624/suami-tusuk-istri-dan-dua-warga. Semarang

Indosiar. (2010). Kasus Penganiayaan oleh Oknum Brimob. http://www.indosiar.com /patroli/82048/kasus-penganiayaan-oleh-oknum-brimob. Jambi.

James, W. (1999). Council on Spiritual Practices, Sanfrancisco: Internet www.csp.org.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010). http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus /indonesia-gratis-lengkap.php?hasil=sukses_id_3#hasil

Maulan, R. (2009) Makna Tawakal, http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/makna-tawakal.htm


(5)

Nico, (2009). Kontroversi Hukuman Mati dan Tantangan Etisnya, http://for-the-better-world.blogspot.com/2008_10_01_archive.html.

Ohoitimur, Y.(2010). Teori Etika tentang Hukuman Legal. http://www.gramedia.com /buku_detail.asp?id=EBEM4337&kat=3

Ohoitimur, Y., (2010). Filsafat Hukuman Mati. http://www.manadopost.co.id/index. php?mib=berita.detail&id=66801

Patrolikriminal (2010). Dua Wanita, Pembunuh Nenek Pemilik Kos Dibekuk. Surabaya:http://portalkriminal.com/index.php?option=com_content&view=art icle&id =5553:-1201-dua-wanita-pembunuh-nenek-pemilik-kos-dibekuk&catid =38:kriminal-daerah&Itemid=41.

Prayudha, A.D (2007). Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah Pembinaan

Narapidana. http//id.worspress.com/tag/makalah/.

Risalah (2010). Makna dan Hakikat pembangunan Nasional. http://222.124.250.252/ mpr/video /risalah/7/26/Risalah_16022006171006.pdf

Sajidah, I. (2010). Hubungan antara tawakal dan percaya diri dengan etos kerja,: http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=126032&lokasi=l okal

Setyowati, E. (2009). Kesimpulan, Saran, dan Abstrak. http://ide.yhs.search. yahoo.com/avg/search?p=pengertian+kesimpulan&type=yahoo_avg_hs2-tb-web_ide&fr=yhs-avg&YST_b=21

Suparto (2010). Negara Tanpa Retributivisme. http://www.opensubscriber.com/ message/[email protected]/5289383.html

Tambun, J.G. (2010) Peradilan Sesat: Pengampunan Anumerta?. http://www. hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/ags 19/lkOpin001.html.

Thia (2010). Etika Utilitarianisme Dalam Bisnis. http://community.gunadarma. ac.id/blog/view/id_31557/title_etika-utilitarianisme-dalam-bisnis/

Tribun Batam (2008). Bobol ATM. http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option= com_ content&task=view&id=13948&Itemid=1096.


(6)

Wikpedia, 2009, Perencanaan_strategis, http://id.wikipedia.org/wiki/Perencanaan-strategis

Wikpedia, 2010, Model, http://id.wikipedia.org/wiki/Model Wikpedia, 2010, Tawakal, http://id.wikipedia.org/wiki/Islam

Wikipwdia, 2010. Sociology of education, http://en.wikipedia.org/wiki/Sociology_ of_education

Wikpedia, 2011. Disipin, http://id.wikipedia.org/wiki/Disiplin

Youtube (2010) Tawuran Anak-anak SMP di Cengkareng. http://www.youtube.com/ watch?v=zOUV4JcZO4c&feature=relate


Dokumen yang terkait

Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan)

0 56 127

Perilaku Seks Narapidana Remaja Pria di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan Tahun 2005

0 40 81

Perilaku komunikasi narapidana anak : (studi fenomenologi tentang perilaku komunikasi narapidana anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Sukamiskin Bandung)

1 15 131

Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin di Lembaga Pemasyarakatan (Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kotamadya Bandung)

1 14 304

OPTIMALISASI PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI UPAYA MENCEGAH Optimalisasi Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Recidive (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen Tahun 2012).

0 1 17

OPTIMALISASI PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI UPAYA MENCEGAH Optimalisasi Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Recidive (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen Tahun 2012).

0 0 9

PEMBINAAN NARAPIDANA MELALUI PROGRAM PELATIHAN KONVEKSI UNTUK MENUMBUHKAN JIWA BERWIRAUSAHA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SUKAMISKIN.

0 0 5

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN LIFE SKILLS BERBASIS PENDEKATAN KEAGAMAAN BAGI PEMBINAAN NARAPIDANA : Studi Deskriptif di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung.

0 0 67

Redesain Lembaga Pemasyarakatan Tipikor Kelas I Sukamiskin Bandung.

0 1 21

Hubungan Program Kegiatan Pembinaan Keagamaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Dengan Sikap Narapidana Terhadap Program.

0 0 2