MODEL KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ALTRUISTIK SISWA SMPN DI JAKARTA SELATAN.
vii ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR ISI
Hal LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMAKASIH iv
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR GRAFIK xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 12
E. Asumsi Penelitian 13
F. Hipotesis 14
BAB II KONSEP PERILAKU ALTRUISTIK
A. Konseling Kelompok
1. Definisi Konseling Kekompok 15
2. Konseling Kelompok yang Efektif 18
B. Pendekatan Konseling Kelompok yang Digunakan
1. Konseling Kelompok Humanistik (Client-Centered Therapy) 26 2. Teknik Konseling Kelompok Behavioral 36
(2)
viii ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
4. Konselor dan Ko-konselor dalam Konseling Kelompok 42
5. Tahapan Konseling Kelompok 46
C. Perilaku Altruistik
1. Definisi Perilaku Altruistik 51
2. Karakteristik Perilaku Altruistik 57
a. Empati 57
b. Tanggungjawab 65
c. Self-efficacy 71
3. Perkembangan Perilaku Altruistik 76
4. Remaja dan Perilaku Altruistik 85
5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Altruistik 89 a. Pola Asuh Orangtua dan Perilaku Altruistik 90
b. Teman Sebaya dan Masyarakat 98
c. Sekolah 107
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode dan Pendekatan Penelitian 114
B. Tahap-tahap Penelitian 116
C. Definisi Operasional Variabel
1. Model Konseling Kelompok 119
2. Perilaku Altruistik Siswa 120
D. Pengembangan Instrumen
1. Kisi–kisi Instrumen Pengumpulan Data 121
2. Penimbangan Instrumen 123
3. Uji Coba Instrumen 124
E. Prosedur Pengumpulan Data 126
F. Uji Bobot Skala
1. Uji Nilai Bobot Skala 127
2. Uji Keterpaduan Butir Keseluruhan 128
3. Validasi dan Reliabilitas 128
(3)
ix ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
H. Teknik Analisis Data 133
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Hasil Studi Pendahuluan
a. Gambaran Perilaku Altruistik Siswa SMP 140
1) Gambaran Aspek Empati 141
2) Gambaran Tanggungjawab 143
3) Gambaran Self-efficacy 144
2. Gambaran Faktor-faktor Lingkungan 147 3. Gambaran Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah 149 4. MKK untuk Meningkatkan Perilaku Altruistik Siswa SMP 152
a. Rasional 153
b. Tujuan Konseling Kelompok 162
c. Asumsi 162
d. Target Intervensi 164
e. Komponen 165
f. Langkah-langkah Model 166
g. Kompetensi Konselor 167
h. Isi Intervensi 170
i. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan 177 5. Hasil validasi Model Konseling Kelompok 178
a. Pengujian Normalitas Data 183
b. Deskripsi Efektivitas Konseling Kelompok 185 c. Hasil Pengujian Efektivitas MKK untuk Meningkatkan Empati 186 d. Hasil Pengujian Efektivitas MKK untuk Tanggung jawab 188 e. Hasil Pengujian Efektivitas MKK untuk Self-efficacy 190
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Hasil uji Efektivitas MKK Meningkatkan Perilaku Altruistik 192
(4)
x ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
b. Tanggung jawab 203
c. Efikasi diri (Self-Efficacy) 204
2.Pembahasan Hasil Penelitian tentang Faktor-faktor yang 205 Memengaruhi Perilaku Altruistik Siswa SMP
C. Kekuatan Model Konseling Kelompok 214 D. Keterbatasan Model Konseling Kelompok 215
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Penelitian 218
B. Rekomendasi 228
(5)
1
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah memiliki fungsi pembentukan watak yang sesuai dengan tingkat perkembangan kepribadian remaja. Sekolah yang telah mencapai standar minimum pendidikan (SNP) memerolah penilaian akriditasi A, Sekolah tersebut dalam KBM berdasarkan 8 SNP dari BSNP. Standar–standar tersebut adalah sebagai berikut: (a) standar isi, (b) standar proses, (c) standar kelulusan, (d) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (e) standar sarana dan prasarana, (f) standar pengelolaan, (g) standar pembiayaan, dan (h) standar penilaian, dengan demikian maka kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Sekolah–sekolah tersebut sangat diminati oleh masyarakat dan banyak para orang tua siswa antusias untuk menyekolahkan putra-putrinya pada sekolah tersebut. Sekolah yang digunakan sebagai subjek yaitu SMPN 182, SMPN 239, dan SMPN 41 di Jakarta Selatan. Alasan pemilihan tiga sekolah SMP tersebut karena memiliki jumlah siswa banyak dan heterogen, sehingga sangat berpotensi timbul berbagai persaingan dan konflik diantara siswa.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Siswa SMP berada pada usia remaja awal merupakan suatu tahap kehidupan yang bersifat transisi rentan oleh pengaruh–pengaruh negatif seperti
(6)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
narkoba, minuman keras, kriminal, seks bebas, yang dapat membahayakan mereka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa jiwa remaja penuh gejolak (strum und drang).
Lingkungan sosial remaja juga terjadi perubahan sosial yang cepat dengan terjangkau sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan dapat mengakibatkan kesimpangsiuran norma (keadaan anomie). Fakta di masyarakat sering kita saksikan perilaku sebagian besar remaja yang agresif, tidak peduli terhadap orang lain, dan cepat emosional, hal demikian dapat memengaruhi perilaku remaja menjadi negatif atau juga positif. Kondisi intern dan ekstern yang sama-sama bergejolak menyebabkan masa remaja menjadi lebih rawan daripada tahap-tahap lain dalam perkembangan jiwa manusia (Sarlito, 2006: 228).
Pada masa remaja pula juga sangat berpotensi untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan bakat dan minatnya karena masa remaja adalah masa pencarian nilai-nilai hidup. Dalam situasi demikian remaja dihadapkan kepada kondisi yang perlu bantuan guna menjalankan kehidupannya supaya efektif, sesuai norma nilai budayanya dan tugas perkembangan. Bantuan yang perlu diberikan kepada siswa adalah ranah afeksi terkait perilaku prososial salah satunya yaitu perilaku altruistik.
Apabila tidak altruistik seperti dalam contoh kasus anak yang materialistik. Jensen dari teori sosiogenik menerangkan bahwa remaja yang mendambakan kemewahan, baju-baju yang sedang in, HP keluaran mutahir, makanan dan barang-barang yang diiklankan di TV dan segala hal yang hanya dapat dibeli dengan uang. Sementara kondisi ekonomi orang tuanya adalah orang
(7)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang tidak mampu. Rasa ingin menikmati kemewahan, dan mungkin juga bermaksud untuk menyenangkan orang tuanya dengan membelikan barang-barang keperluannya. Masalah tersebut membuat remaja terjerumus ke dalam perdagangan obat terlarang (Sarlito, 2006: 207-208). Perilaku remaja yang demikian mengakibatkan remaja tidak memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Perilaku tersebut merupakan kenakalan remaja, perilaku yang menyimpang yang melanggar hukum. Teori Broken Home MC.Cord menyatakan bahwa sumber penyebab kenakalan remaja dapat dari faktor keluarga, masyarakat (Sarlito, 2006: 208). Hal tersebut dikarenakan remaja tidak memiliki kesempatan untuk belajar perilaku prososial dan perilaku altruistik.
Remaja yang perilakunya tidak altruistik mudah terjerumus kedalam penyimpang perilaku yang dapat menimbulkan korban fisik pada orang lain, yaitu melakukan perkelahian, perkosaan. Penyimpangan perilaku yang menimbulkan korban materi, yaitu melakukan pengrusakan, pemerasan, pencurian. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain, yaitu melakukan pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks sebelum menikah. Melawan status yaitu membolos ketika sekolah, minggat dari rumah, dan selalu membantah perintah guru dan orang tua. Dampak dari penyimpangan perilaku pada siswa bermuara pada permasalahan akademik, sosial, karir terkait perencanaan masa depan siswa.
Secara fungsional konseling sangat signifikan sebagai salah satu upaya dalam membantu individu untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai tahap–tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah (Rochman
(8)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Natawidjaja, 1977: 30), sebab program konseling meliputi aspek–aspek tugas perkembangan individu, khususnya berkaitan dengan kematangan pendidikan dan sosial.
Penelitian Hearold (Sasason et al., 1991) menggunakan kelompok kontrol dan eksperimen. Kelompok eksperimen diajak menyaksikan acara TV yang terkait dengan perilaku prososial, sedang kelompok kontrol netral tidak diajak secara khusus (konvensional). Kelompok eksperimen yang diberikan model/contoh prososial melalui acara TV tersebut mengalami peningkatkan perilaku prososialnya dari 50% menjadi 70% (setidaknya untuk sesaat). Perilaku prososialnya meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya anggota kelompok eksperimen yang mendonorkan darah. Penelitian semacam itu telah dilaksanakan sebanyak 108 kali sejak tahun 1986.
Penelitian selanjutnya melibatkan responden sebanyak 10.000 orang siswa dari 66 SMA di seluruh Amerika. Membandingkan dua kelompok, kelompok (intervensi) menonton slide berisi 38 foto kegiatan donor darah di SMA. Kelompok kontrol melalui prosedur oleh pusat donor darah, tanpa menonton (konvensional). Ternyata kelompok yang diintervensi dengan model 17% lebih banyak mau mendonorkan darahnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Begitu pula dalam konseling kelompok, apabila anggota dalam kelompok melakukan bantuan kepada anggota yang lain, maka anggota-anggota yang lain akan termotivasi membantu (Sears, 1988).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (2004) menemukan bahwa konseling kelompok kognitif-perilaku merupakan salah satu model intervensi
(9)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang efektif untuk meningkatkan keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas, teori perkembangan dari Erikson dapat digunakan sebagai kerangka kerja konseptual yang efektif untuk merancang program intervensi guna menanggulangi problem psikososial, dan perbedaan komposisi jenis kelamin dalam kelompok tidak memengaruhi tingkat keterlibatan anggota kelompok dalam proses konseling kelompok. Pada umumnya remaja mau berpartisipasi, merasa senang diberi tanggung jawab dalam peran dan status di tengah kelompok ataupun masyarakatnya. Hasil penelitian serupa dari Oemarjoedi (2002) menunjukkan bahwa konseling kognitif-perilaku sebagai salah satu pendekatan konseling yang efektif untuk menangani permasalahan individu yang terkait dengan aspek kognitif dan pribadi.
Untuk mengetahui perilaku altruistik siswa di SMP perlu dilakukan penelitian yang didasarkan atas kebutuhan nyata di lapangan. Dari hasil kegiatan penelitian tersebut diharapkan kontribusi terhadap peningkatan perilaku altruistik siswa. Perilaku altruistik dipengaruhi dari dalam diri dan lingkungan. Pengaruh dari diri yaitu empati, tanggung jawab dan self- efficacy semua ini baru akan menjadi perilaku altruistik apabila diwujudkan. Perilaku yang diubah perlu didefinisikan secara operasional, dapat diamati, dan diukur (Corey, 2007: 194). Pendekatan yang dipandang efektif untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa adalah melalui kegiatan konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik. Karena pada kegiatan suatu kelompok praktisi memberikan prosedur yang kongkrit dan prahmatis yang disesuaikan dengan kebutuhan individu yang diverifikasi secara impirik. Secara umum behavioral di dalam dan di luar adegan
(10)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
kelompok menekankan pada proses, pengalaman di sini dan kini, belajar, perubahan tindakan menyimpang, pembatasan tujuan yang spesifik, dan teknik yang ditunjang secara ilmiah.
Latar belakang masalah penelitian difokuskan kepada dua variabel yaitu (1) konseling kelompok dalam setting layanan bimbingan dan konseling di sekolah, dan (2) peningkatan perilaku altruistik siswa. Dalam model KK tersebut akan ditelaah dan dicari solusi untuk mengatasi kendala yang dapat menghambat perilaku altruistik siswa. Konselor membuat kriteria khusus tentang, kendala yang akan mendapatkan solusi dan untuk ditingkatkan supaya dapat berperilaku baru yang ingin diperoleh yaitu peningkatan perilaku altruistik. Tujuan KK disini adalah untuk menelaah dan meningkatkan perilaku empatik, tanggungjawab, dan
self-efficacy serta untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perilaku altruistik melalui kegiatan konseling kelompok.
Hasil studi pendahuluan bahwa intervensi konseling individual yang dilakukan oleh konselor di sekolah belum mampu memenuhi kebutuhan bantuan kepada siswa dalam pengembangan perilaku sosial individual, pencegahan dan pengentasan masalah dalam waktu yang relatif singkat dan bersamaan. Padahal tuntutan dan kebutuhan akan bantuan siswa sangat dibutuhkan. Secara kuantitatif jumlah siswa SMP sangat banyak, sedangkan konselor/guru BK jumlahnya terbatas. Hasil penelitian Asmangiyah (2007) memeroleh data yang menunjukkan perbandingan jumlah guru dengan siswa, di SMP Jakarta Selatan rata-rata 1 guru: 300 siswa.
(11)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Keuntungan konseling kelompok adalah dapat mencapai peningkatan rasa empati, rasa tanggung jawab, dan self-efficacy dari anggota dalam kelompok. Pada konseling individual, konselor membantu siswa mendapatkan pemahaman, menyusun rencana yang membawa perubahan perilaku, dan memertimbangkan segala konsekuensinya. Kelompok merupakan jembatan antara pemahaman yang diperoleh dari konseling dengan pengalaman langsung melalui kegiatan dalam kelompok. Transfer belajar dapat dilakukan segera. Siswa dapat mencoba rencana mengubah perilakunya dalam kelompok yang aman dan menjamin kerahasiaan, sebelum menerapkan perubahan perilaku baru tersebut di lingkungan yang lebih luas. Meskipun konseling individual, dapat dilakukan role playing untuk mendapatkan pengalaman menggunakan perilaku baru, pengalaman, ide, dan teladan atau model tersebut terbatas hanya satu orang saja, yaitu konselor. Dalam konseling kelompok terdapat berbagai teladan atau model, dengan berbagai pengalaman, berbagai kepribadian, jenis kelamin pria dan wanita. Dengan demikian pemahaman tentang cara terbaik untuk melakukan perilaku baru dapat dibandingkan dan dipilih. Pengalaman tersebut lebih realistik dari pada konseling individual.
Perilaku altruistik dalam konseling kelompok dapat membangkitkan empati, saling memberikan bantuan untuk dapat mengentaskan diri sendiri dan diri remaja lain ke dalam kehidupan yang lebih bertanggungjawab dengan menyeimbangkan pada kesejahteraan orang lain. Selanjutnya siswa mampu mengatasi segala rintangan dalam kehidupannya, dengan tetap memerhatikan kesejahteraan orang lain.
(12)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Studi pendahuluan menunjukkan bahwa, secara umum perilaku altruistik siswa SMP tinggi dan sedang cenderung rendah. Secara rinci aspek empati berada pada kriteria tinggi, dan sedang cenderung rendah (49%), aspek tanggungjawab (extensivity) pada berada pada kategori sedang cenderung rendah (58%), dan aspek self-efficacy, berada pada kategori sedang cenderung rendah (84%). Dari studi pendahuluan tersebut akan diteliti faktor-faktor apakah yang memengaruhi perilaku altruistik siswa SMP tersebut. Ditinjau dari faktor diri yaitu: empati, tanggung jawab dan self-efficacy, sedangkan faktor luar yaitu: pola asuh orang tua, teman sebaya dan sekolah dan media.
Pengembangan perilaku altruistik bertujuan agar siswa mampu menghadapi dan mengatasi kondisi–kondisi kehidupan dengan lebih baik, dengan demikian siswa dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Karena perilaku altruistik yaitu menolong untuk kesejahteraan orang lain, membuat orang lain senang dengan tetap berpegang pada norma dan nilai masyarakat dengan menunjukkan berbagai sikap dan kerja sama antara penolong dan yang ditolong. Untuk menyeimbangkan antara dirinya dan orang lain, dalam memenuhi kebutuhan kebutuhannya dan kebutuhan orang lain.
Hasil studi pendahuluan bahwa konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik belum dilakukan di sekolah–sekolah. Pelayanan konseling kelompok lebih merupakan kegiatan administratif, karena belum dikembangkan konseling kelompok untuk menjadi layanan profesional.
(13)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Intervensi layanan konseling di sekolah dirasakan manfaatnya oleh siswa dalam pengembangan diri, pencegahan terhadap gangguan kepribadian, dan perilaku yang dikembangkan belum terwujud dalam perilaku aktual yang stabil. Siswa mengharapkan diadakannya peningkatan layanan konseling kelompok untuk membantu dirinya dalam mengembangkan pribadi, meningkatkan perilaku altruistik namun belum dapat terpenuhi sesuai harapan. Dari segi efesiensi, konselor merasakan kemanfaatannya, karena banyaknya siswa yang perlu mendapatkan bantuan layanan segera. Pihak sekolah memberikan dukungan untuk mewujudkan pelaksanaan konseling dengan disediakannya jam masuk kelas bagi guru bimbingan dan konseling.
Sementara pelaksanaan konseling kelompok di sekolah masih merupakan kebutuhan formal daripada kebutuhan aktual, lebih merupakan kegiatan administratif yang menekankan bukti fisik daripada kegiatan profesional yang menekankan proses pengembangan perilaku dengan menggunakan intervensi psikologis dan normatif yang efektif. Konselor masih sering menggunakan konseling individual dari pada konseling kelompok. Dalam membimbing individu dalam kelompok lebih bersifat instruksional dan berdasarkan jadwal reguler untuk menyajikan informasi yang berkaitan dengan masa depan. Konseling kelompok belum merupakan teknik utama bagi konselor untuk membantu siswa dalam upaya pengembangan pribadi, pencegahan, pengentasan masalah, karena masih mengutamakan layanan individual. Dengan melaksanakan layanan konseling kelompok diharapkan terwujud layanan yang efektif dan efesien. Berdasarkan pertimbangan, untuk membantu siswa dalam meningkatkan perilaku empati, rasa
(14)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
tanggung jawab, dan self–efficacy kaitannya dengan perilaku altruistik dilakukan layanan KK menggunakan pendekatan behavioristik sebagai perlakuan kegiatan konseling. Alasan penggunaan pendekatan behavioristik karena diyakini sebagai salah satu terapi perilaku yang efektif untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa. Sesuai dengan pendapat para ahli behaviorisme bahwa perilaku dapat dikembangkan, perilaku pemalu dapat berubah menjadi perilaku terbuka, perilaku agresif dapat dibentuk menjadi perilaku penurut, perilaku tidak bersemangat dan membosankan dapat diubah menjadi perilaku antusiastik dan menarik, perilaku egois dapat diubah menjadi perilaku altruistik (Santrock, 2003: 52).
B.Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah fokus masalah penelitian ini sebagai
berikut.”Model konseling kelompok seperti apa yang efektif untuk membantu
meningkatkan perilaku altruistik siswa di SMP?”
Secara rinci pertanyaan–pertanyaan penelitian, yaitu seperti apa?
a) Gambaran perilaku altruistik siswa di SMP? b)Gambaran aspek perilaku empati siswa di SMP?
c) Gambaran aspek perilaku tanggung jawab siswa di SMP? d)Gambaran aspek perilaku self-efficacy siswa di SMP?
e) Perbedaan peningkatan aspek empati antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol?
f) Perbedaan peningkatan aspek tanggung jawab antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol?
(15)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
g)Perbedaan peningkatan aspek self-efficacy antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini difokuskan untuk memeroleh suatu model pendekatan intervensi konseling yang efektif untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa di SMP. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan studi evaluasi sebagai langkah awal pengembangan yaitu melalui gambaran kondisi objektif di sekolah untuk mendapatkan gambaran umum terkait ketercapaian kebutuhan siswa terhadap peningkatan perilaku altruistik dan implementasi aktual konseling kelompok di sekolah. Berdasarkan kondisi objektif tersebut kemudian dirumuskan model hipotetik konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa.
Tingkat kelayakan model setelah divalidasi oleh pakar, kemudian model hipotetik tersebut dianalisis bersama konselor di sekolah. Kegiatan selanjutnya uji lapangan model. Berdasarkan hasil uji lapangan kemudian dirumuskan model akhir konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa dengan menggunakan pendekatan behavioristik. Perilaku altruistik siswa dipengaruhi oleh faktor dari dirinya dan faktor lingkungan, pendekatan behavioral dipandang efektif untuk membantu meningkatkan perilaku altruistik.
Secara khusus, penelitian ini dimaksudkan untuk menguji keefektifan Model konseling kelompok untuk membantu siswa dalam meningkatkan perilaku altruistik, dan menguji keefektifan penggunaan pendekatan behavioristik tepat
(16)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dengan teori perilaku altruistik dari (Baron & Byrne, 1997: 1998; Clarke, 2003: Schroender, Penner, & Pilavin, 1995; Schroender 1995: 174-175) sebagai kerangka konseptual untuk meningkatkan perilaku altruistik pada subjek siswa di SMP.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tersebut bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat teoritis adalah dalam hal pengembangan konsep mengenai bimbingan dan konseling, sedangkan manfaat praktis berkaitan dengan kegunaan praktis dari hasil penelitian tersebut untuk mendukung atau memfasilitasi para guru BK di sekolah dalam menjalankan tugas–tugas profesionalnya. Berikut diuraikan mengenai manfaat teoritis dan manfaat praktis hasil penelitian tersebut.
1. Manfaat teoritik.
a) memberi keragaman intervensi konseling kelompok, khususnya untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP,
b) memberi wawasan tentang pentingnya peningkatan perilaku altruistik siswa, sebagai dukungan pelaksanaan pencapaian tugas-tugas perkembangan secara optimal.
2. Manfaat praktis
Manfaat hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi guru BK di sekolah untuk intervensi dalam meningkatkan perilaku altruistik siswa. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan khususnya untuk pihak:
(17)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
a) Sekolah dalam melaksanakan layanan preventif dan kuratif terkait peningkatan perilaku altruistik siswa.
c) Orang tua, untuk melakukan upaya membiasakan disiplin, empati, tanggung jawab, dan memotivasi kepada putra-putrinya.
d) Kepada para peneliti lain, untuk melanjutkan penelitian pada tiap tingkatan kelas.
E. Asumsi
Konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa, dilandasi asumsi-asumsi penelitian sebagai berikut.
1. Pandangan evolusioner Donald Campbell bahwa manusia terlahir egois, karena itu maka harus diajarkan altruisme secara sosial.
2. Perilaku manusia berkembang melalui belajar, demikian pula perilaku altruistik akan dapat ditingkatkan melalui belajar dalam kegiatatan konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik.
3. Perilaku empati, tanggung jawab dan self-efficacy dapat diwujudkan menjadi altruistik dalam aktivitas nyata dalam kehidupan sehari–hari.
4. Konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik, dapat efektif untuk meningkatkan empati, tanggung jawab, dan self-efficacy menjadi perilaku altruistik.
5. Siswa memiliki mental yang sehat maka mereka dapat menerima bantuan menggunakan konseling.
(18)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
6. Perilaku altruistik, toleran dapat dikembangkan dalam suasana kehidupan yang heterogen.
7. Guru BK dapat meningkatkan perilaku altruistik secara profesional dalam memberi layanan bantuan sesuai kebutuhan siswa, baik secara individu atau kelompok yang relevan dengan kehidupan.
8. Konselor harus menjadi agen pengubah perilaku prososial sebagai komponen utama di dalam sekolah (House & Martin, 1998).
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian adalah konseling kelompok efektif untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP, baik secara keseluruhan maupun pada setiap aspeknya yaitu empati, tanggung jawab, dan self-efficacy.
(19)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (research and development). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Borg and Gall (2003: 231) penelitian dan pengembangan adalah ” ... a process used to develop and validate educational product”. Produk yang dimaksud adalah model konseling kelompok yang efektif untuk mengembangkan perilaku altruistik siswa. Borg and Gall (2003: 569) lebih lanjut mengemukakan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh dalam penelitian dan pengembangan, meliputi: (1) studi pendahuluan, (2) perencanaan, (3) pengembangan model hipotetik, (4) penelaahan model hipotetik, (5) revisi, (6) uji coba terbatas, (7) revisi hasil uji coba, (8) uji coba lebih luas, (9) revisi model akhir, (10) diseminasi dan sosialisasi.
Analisis terhadap kebutuhan dilakukan untuk mengembangkan model hipotetik dengan menggunakan penelitian dasar. Pengujian model hipotetik dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan pretest-posttest control group design. Senada dengan pendapat Sugiyono (2006: 118) metode eksperimen dengan disain pre-test dan post-test dilaksanakan dalam uji lapangan model hipotetik untuk memeroleh gambaran tentang efektivitas model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP.
(20)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang digunakan secara bersamaan melalui model pendekatan mixed methodology design (Cresswell, 2002: 342). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji tingkat perilaku altruistik siswa dan menguji keefektifan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional model hipotetik konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. Pada tataran teknis dilakukan langkah sebagai berikut: metode analisis deskriptif, metode partisipatif, dan metode eksperimen.
Metode analisis deskriptif dilakukan untuk pendataan konseling kelompok secara sistematis, faktual, akurat, mengenai fakta–fakta dan sifat–sifat yang terkait dengan substansi penelitian. Melakukan analisis pengaruh perilaku altruistik pada siswa, faktor pengaruh perilaku altruistik siswa dan upaya yang dilakukan siswa untuk meningkatkan perilaku altruistik.
Metode partisipatif kolaboratif dalam proses uji kelayakan model hipotetik konseling kelompopk untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa. Uji kelayakan model dilaksanakan dengan uji rasional uji keterbacaan, uji kepraktisan dan uji coba terbatas. Uji rasional melibatkan tiga orang pakar di bidang bimbingan dan konseling, uji keterbacaan melibatkan sepuluh siswa dari SMP bukan sampel penelitian di Jakarta. Uji kepraktisan dilaksanakan melalui diskusi terfokus dengan melibatkan para guru BK di tiga SMP yang dijadikan objek penelitian di Jakarta.
(21)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
B. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahapan–tahapan berikut: (1) persiapan, (2) merancang model, (3) uji kelayanan model hipotetik, (4) perbaikan model hipotetik, (5) uji coba terbatas, (6) revisi hasil uji coba
terbatas, tahap (7) uji lapangan model, tahap (8) merancang model akhir, dan (9) diseminasi model. Rancangan kegiatan setiap tahapnya adalah sebagai berikut.
Tahap 1, persiapan pengembangan model. Kegiatan pada tahap ini meliputi:
1) kajian konseptual dan analisis penelitian terdahulu yang relevan,
2) survei lapangan untuk memeroleh informasi kondisi objektif perilaku altruistik siswa,
3) mengkaji hasil–hasil penelitian–penelitian tentang konseling kelompok, mengkaji pendekatan dan strategi konseling dalam menerapkan model.
Tahap 2, merancang model hipotetik. Berdasar kajian teori hasil penelitian terdahulu, hasil studi pendahuluan, selanjutnya disusun model hipotetik konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa.
Tahap 3, uji kelayakan model. Untuk mendapatkan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa yang efektif dalam meningkatkan perilaku altruistik siswa, pada tahap tersebut dilakukan: (1) uji rasional model dengan mengidentifikasi masukan–masukan konseptual dari para pakar konseling, (2) uji keterbacaan model, melibatkan 10 siswa SMP di Jakarta, (3) uji kepraktisan model dilakukan melalui diskusi terfokus yang melibatkan para
(22)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
guru BK, yang bertujuan untuk melihat berbagai dimensi yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan dan penerapan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa di sekolah, (4) analisis kompetensi konselor yang diperlukan untuk mengimplementasikan model.
Tahap 4, revisi model hipotetik. Berdasarkan hasil uji kelayakan model,
selanjutnya dilakukan: (1) evaluasi dan identifikasi hasil uji kelayakan model, (2) memerbaiki redaksi dan konten model hipotetik, dan (3) tersusun model
hipotetik yang telah direvisi.
Tahap 5, uji coba terbatas. Dilaksanakan uji coba terbatas untuk mendapat masukan kritik dari siswa sebagai objek dalam upaya meningkatkan perilaku altruistik siswa. Kegiatan pada tahap ini meliputi: (1) menyusun rencana dan teknis uji coba terbatas, (2) menyiapkan konselor dan fasilitator, (3) membagi siswa dalam dua kelompok kecil, masing-masing 8 orang, (4) melaksanakan uji coba terbatas, dan (5) diskusi dan refleksi sebagai masukan untuk perbaikan.
Tahap 6, revisi hasil uji coba terbatas. Masukan dalam diskusi dan refleksi dari hasil uji coba terbatas, dijadikan dasar dalam merevisi model hipotetik dan untuk mengkonstruk kembali terkait dengan materi, dan pelaksanaan konseling kelompok.
Tahap 7, pengujian lapangan. Dilaksanakan uji lapangan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa, meliputi: (1) menyusun
rencana kegiatan uji lapangan, (2) melaksanakan uji lapangan, dan (3) mendeskripsikan hasil pelaksanaan uji lapangan.
(23)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Tahap 8, merancang model akhir. Dilakukan kegiatan (1) evaluasi dan analisis hasil uji lapangan, (2) revisi dan merumuskan kembali model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa berdasar hasil pengujian lapangan, dan (3) tersusun model akhir konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa yang telah teruji.
Rancangan kuasi eksperimen uji efektivitas model dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1
Rancangan Eksperimen Uji Efektivitas Model Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Perilaku Altruistik Siswa SMP
Model diujicobakan di SMPN 182 Jakarta Selatan melibatkan 16 orang siswa. Kelompok eksperimen beranggotakan empat orang siswa perempuan dan empat orang siswa laki–laki di kelas VIII. Kelompok kontrol berangotakan empat orang siswa perempuan dan empat orang siswa laki–laki di kelas VIII.
Tahap 9, diseminasi model. Mempublikasikan model pada khalayak profesi melalui forum ilmiah dan penulisan jurnal.
Gambaran tahap–tahap model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik dapat dilihat pada Gambar 3.2 sebagai berikut.
Pre-test intervensi Post-test
Kelompok eksperimen
KK dengan pendekatan behavior
Kelompok eksperimen
Kelompok kontrol
Yang biasa dilakukan oleh konselor sekolah
Kelompok kontrol
(24)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Gambar 3.2
Alur Proses Pengembangan Model Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Perilaku Altruistik Siswa SMP
C. Definisi Operasional Variabel
Terdapat dua variabel utama pada tema penelitian ini yaitu konseling kelompok, dan perilaku altruistik. Untuk memerjelas arah dan maksud penelitian, maka didefinisikan secara operasional sebagai berikut.
1. Model Konseling Kelompok
Model konseling kelompok merupakan layanan konseling untuk siswa yang dirancang secara kontekstual, terhadap kebutuhan peningkatan perilaku sosial, pribadi, dalam kehidupannya dan peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa terdiri atas dua kegiatan, yaitu: (a) model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa di SMP, dan (b) panduan
Studi pendahuluan
Pengembangan dan validasi Model
Uji efektivitas Model Diseminasi Model 1.pre-test 2.Implementasi Model 3.Post-test Kajian: 1. Konseptual 2.Asesmen kebutuhan 3.Hasil penelitian yang relevan Publikasi ilmiah Model, Diseminasi 1.Validitas isi 2. Validitas impirik 3. Revisi
pengembangan Model 1. KK di SMP
2. Perilaku altruis siswa 3. faktor yang
mempenga ruhi
1.Model KK untuk mengembangkan perilaku altruistik siswa 2.Panduan pelaksanaan Model Model akhir
(25)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
implementasi model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa di SMP.
Pendekatan yang digunakan dalam intervensi adalah behavioristik karena konsep behavioristik memandang bahwa perilaku manusia merupakan hasil belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Behaviorisme merupakan pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Menurut behaviorisme manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya sehingga perilaku manusia dapat dipelajari.
2. Perilaku Altruistik Siswa
Perilaku altruistik yaitu perilaku yang lebih mengutamakan keperluan orang lain (Purwadarminta, 2003). Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang (Santrock, 2002:374). Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme, khususnya berbagi. Altruisme mengacu pada suatu tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa harapan menerima imbalan dalam bentuk apapun (kecuali merasa telah melakukan suatu kebaikan). Dengan definisi ini, suatu tindakan dianggap altruistik atau tidak berdasarkan pada tujuan orang yang memberi bantuan. Misalnya orang asing yang mau memertaruhkan jiwanya untuk menarik seorang korban dari mobil yang terbakar dan kemudian lenyap tanpa nama di kegelapan malam telah melakukan tindakan altruistik.
Perilaku altruistik terwujud karena kecenderungan karakteristik sifat altruistik yang ditunjukkan oleh empati, rasa tanggungjawab, kepedulian dan self–
(26)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
efficacy untuk menghadapi tantangan dan kesulitan diantaranya adalah adanya keterlibatan siswa sebagai relawan. Perwujudan pertolongan oleh relawan dilaksanakan berdasarkan dorongan dari dalam diri tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tujuan utama relawan menolong untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain dan menghindarkan orang lain mendapat masalah, menderita yang berkelanjutan, sedangkan keuntungan secara psikologis dalam menolong tidak merupakan tujuan utama.
D. Pengembangan Instrumen Pengumpulan Data
1. Kisi–kisi Instrumen Pengumpulan Data
Data penelitian yang diperlukan adalah perilaku altruistik siswa meliputi: empati, tanggung jawab, dan self-efficacy, membantu dengan sesama, memperhatikan kebutuhan teman, dan peka terhadap kesulitan orang lain. Oleh karena itu, dikembangkan instrumen penelitian (a) kuesioner perilaku altruistik siswa (Format A) digunakan untuk menjaring data tentang perilaku altruistik siswa sebelum dan setelah mengikuti kegiatan konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik. Kuesioner menggunakan pernyataan dengan alternatif jawaban sangat setuju (4), setuju (3), tidak tahu (2), kurang setuju (1), dan tidak setuju (0) untuk jawaban pernyataan positif, dan untuk jawaban pernyataan negatif menjadi sangat setuju (0), setuju (1), tidak tahu (2), kurang setuju (3), tidak setuju (4). Secara rinci untuk pertimbangan dalam menentukan kadar perilaku altruistik siswa dapat dilihat pada Tabel 3.1.
(27)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Tabel 3.1
Kisi-kisi Pengungkap Perilaku Altruistik Siswa SMP
Variabel Aspek Indikator Nomor butir Jumlah Positif Negatif
Perilaku altruistik
Empati 1.Menyenangkan oranglain 2.Memajukan orang lain
3.Mengajarkan, menunjukkan kesalahan untuk memperbaiki
4.Menghargai perbedaan
5.Sikap memahami terhadap perasaan teman 6.Memahami kebutuhan orang lain
7.Memahami kesulitan, penderitaan orang lain
1 3 5 7 9 11 13 2 4 6 8 10 12 14 2 2 2 2 2 2 2 Tanggung jawab
1.Menegur untuk memperbaiki 2.Memberikan solusi
3.Menasehati
4.Memberikan petunjuk
5.Membimbing supaya terhindar dari bahaya 6.Menghindarkan orang lain menderita kesulitan.
16 18 20 22 24 15,17 19 21 23 25 3 2 2 2 1 1
Self-efficacy 1.Kemandirian memutuskan tindakan
2.Memiliki keyakinan diri akan kemampuan dalam menghadapi tantangan
3.Dapat mengontrol apa yang terjadi pada dirinya.
26,28 29,31 33,35 27 30,32 34 3 4 3
Jumlah 35
Format B adalah kuesioner pengungkap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku altruistik siswa. Hanya digunakan untuk pretest saja untuk mengetahui pengaruh pengasuhan orang tua, teman sebaya, dan sekolah serta media. Kuesioner menggunakan pernyataan dengan alternatif jawaban: sangat setuju (4), setuju (3), tidak tahu (2), kurang setuju (1), dan tidak setuju (0) untuk jawaban pernyataan positif, dan untuk jawaban pernyataan negatif menjadi sangat setuju (0), setuju (1), tidak tahu (2), kurang setuju (3), tidak setuju (4). Secara rinci untuk pertimbangan dalam menentukan kadar perilaku altruistik siswa dapat dilihat pada Tabel 3.2.
(28)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Pengungkap Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perilaku Altruistik Siswa SMP
Variabel Aspek Indikator Nomor butir Jumlah Positif Negatif
Fak to r-fak to r lin g k u n g an y an g m em p en g ar u h i p er ilak u altr u is tik Sis wa SMP Pengasuhan orangtua: Sikap dan perilaku
1.Kehangatan (warmth) 2.Penerimaan (accepting) 3.Tanggapan (responsive)
36 38 40 37 39 41 2 2 2 Controlling/ demonding
1. Patuh terhadap aturan 2. Penanaman disiplin d 3. Bersikap mandiri
4. Ramah terhadap lingkungan
5. Mau, dapat bekerjasama kepada orangtua 6. Sikap optimis orangtua
42,43 45,46 48 50 52 44 47 49 51 53 3 3 2 2 2 2 Lingkungan teman sebaya 1.Sosial Kognitif
1. Hubungan yang harmonis
2. Pengendalian, pengelola tingkah laku sosial 3. Pengembangan keterampilan, minat 4. Saling bertukar pendapat
5. Pencarian solusi masalah 6. Optimis ke masa depan
54 56 58 60, 63,64 66 55 57 59 61,62 65 67 2 2 2 3 3 2 2.Konformit
as: Motif untuk menjadi sama
Sesuai nilai-nilai,
kebiasaan, kegemaran, budaya teman sebayanya
68 70,71 69 72 2 3 Lingkungan sekolah
1. Motivasi semangat para personil sekolah, siswa
2. Memiliki personil, fasilitas 3. Siswa yang baik
4. Lulusan diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi, dunia pekerjaan yang lebih prospektif
73 75,76 78,79 81,82 74 77 80 83 2 3 3 3
Jumlah 48
2. Penimbangan Instrumen
Penimbangan instrumen dilakukan untuk memperoleh alat ukur yang layak digunakan. Setiap butir pernyataan yang dikembangkan (sebanyak 83 butir) di validasi oleh tiga pakar untuk dikaji secara rasional dari segi konten dan redaksi butir soal, dan ditelaah kesesuaian indikator-indikator dengan aspek-aspek yang akan diungkap. Ketiga penimbang adalah para pakar konseling yang memiliki keahlian dan pengalaman, dan berkualifikasi sebagai Guru Besar di bidang Bimbingan dan Konseling.
(29)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Ketiga penimbang memberikan koreksi. Butir-butir pernyataan yang menurut para penimbang kurang layak, baik secara konstruk maupun konten, serta keterbacaan bahasanya, selanjutnya dilakukan perbaikan sesuai dengan saran-saran para penimbang.
3. Ujicoba Instrumen
Setelah memeroleh persetujuan para pakar, peneliti melakukan ujicoba instrumen penelitian, kecuali pedoman observasi (validitas pedoman observasi didasarkan pada pendapat ahli). Ujicoba dilakukan dengan prosedur penilaian individual dan uji lapangan. Prosedur ini mengikuti prosedur dalam pengembangan bahan instruksional yang disusun oleh Dick & Carey (1990). Subjek ujicoba terbatas adalah siswa kelas VIII SMPN 239 Jakarta.
Sepuluh orang siswa kelas VIII SMPN 239 Jakarta diminta untuk membaca dan memberikan tanggapan terhadap setiap pernyataan dalam kuesioner.
Hasil uji keterbacaan kuesioner tersebut ditemukan lima pernyataan yang perlu dilakukan perbaikan, sesuai dengan tujuan indikator pada aspek yang akan diukur. Peneliti berdiskusi dengan siswa untuk memudahkan pemahaman dengan tanpa mengubah maksud dan esensi pernyataan.
Setelah pernyataan diperbaiki maka dilakukan uji coba. Tujuan uji coba untuk mengidentifikasi adanya kelemahan dari segi praktis apabila kuesioner digunakan untuk populasi siswa yang sebenarnya. Selanjutnya untuk memperoleh
(30)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
data untuk menguji validitas dan reliabilitas kuesioner. Uji coba melibatkan 44 orang siswa kelas VIII SMPN 239 Jakarta.
Ancok (Naga, 2001: 125-130) mengemukakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghitung validitas konstruk adalah dengan mengkorelasikan skor untuk setiap butir pada alat ukur dengan skor total. Koefisien korelasi antara skor butir dan skor total menunjukkan kemampuan butir pernyataan untuk memprediksi skor total butir, atau derajat kesesuaian antara butir satu dengan butir yang lain dalam keseluruhan alat ukur (Natawidjaja, 2002). Landasan dasar pemikiran ini adalah apabila butir pernyataan dan keseluruhan butir adalah atribut yang sama, maka skor suatu butir dapat dikorelasikan dengan skor total.
Koefisien korelasi antara skor butir dan skor total dihitung dengan menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson. Butir pernyataan yang valid yaitu jika terdapat hubungan yang signifikan positif antara skor butir dan skor total. Hubungan korelasi dinyatakan dalam koefisien korelasi r. Signifikansi koefisien korelasi butir ditetapkan dengan membandingkan nilai kritis atau koefisien korelasi dalam tabel signifikansi product moment pada tingkat signifikansi (p) dan derajat kebebasan (df) tertentu. Tingkat signifikansi penelitian ini menggunakan 0,05 artinya tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan derajat kebebasan 42. Penghitungan derajat kebebasan digunakan rumus (N-2). Sampel yang digunakan sebanyak 44 siswa (df = 42) dan tingkat signifikansi 0,05 adalah 0,297. Butir pernyataan yang memiliki koefisien korelasi signifikan jika ≥ 0,297. Butir-butir yang digunakan hanya yang signifikan, yang tidak signifikan dibuang, karena tingkat keterwakilan dari setiap aspek telah terwakili.
(31)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Validitas butir dilakukan melalui proses pengujian atas dasar hasil uji coba kepada 44 siswa, dengan melakukan analisis daya beda melalui prosedur pengujian menurut Edward (1957: 153).
Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan terhadap butir soal yang valid untuk melihat konsistensi internal instrumen tersebut.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dilaksanakan selama dua minggu berturut– turut yaitu tanggal 1–12 Februari 2010. Langkah–langkah dan prosedur pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut.
1) Peneliti dibantu guru bimbingan dan konseling pada sekolah-sekolah yang diteliti untuk menginventarisasi siswa yang ditetapkan sebagai subjek penelitian. Penetapan subjek berdasarkan variabel–variabel yang diteliti dengan tetap memerhatikan keseimbangan jumlah subjek antara satu kelompok dan kelompok lain.
2) Subjek–subjek penelitian yang telah ditentukan, dikumpulkan dan instrumen dibagikan kepada subjek.
3) Peneliti dibantu oleh konselor sekolah untuk mengawasi pelaksanaan pengisian instrumen. Siswa mengisi instrumen selama 40 menit.
4) Seusai pengumpulan data, kegiatan yang dilakukan lebih lanjut adalah melakukan skoring terhadap instrumen yang telah diisi oleh siswa.
(32)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
F. Uji Bobot Skala Instrumen
Instrumen dilakukan pengujian secara empiris yang bertujuan untuk mengetahui kebakuan instrumen. Setiap butir pernyataan diuji ketepatan bobot skalanya. Untuk butir pernyataan yang memenuhi ketepatan bobot skala digunakan, dan yang tidak tepat dibuang namun yang mendekati masih digunakan. Sesuai ketentuan kebakuan instrumen tersebut di perlukan analisis data empirik dari lapangan dengan bantuan perhitungan statistik. Langkah– langkah pembakuan instrumen disajikan berikut ini.
1. Pengujian Nilai Bobot Skala
Instrumen yang sudah diperbaiki diujikan kepada satu kelompok siswa kelas VIII di SMPN 239 Jakarta. Kelompok ini terdiri dari 44 siswa. Angket perilaku altruistik tersebut terdiri dari dua format angket, yaitu format A dan format B. Dalam menganalisis butir pernyataan positif dengan kriteria 0 – 1 – 2 – 3 – 4 dan untuk butir pernyataan negatif dengan kriteria 4 – 3 – 2 – 1 – 0.
Tabel 3.3
Contoh Butir Pernyataan Positif (Item Nomor 3)
STATISTIK
SKALA
N
0 1 2 3 4
F 4 19 6 12 3 44
P 0.091 0.432 0.136 0.273 0.068 Cp 0.091 0.523 0.659 0.932 1.000 mid-cp 0.045 0.307 0.591 0.795 0.966 Nilai Z -1.691 -0.505 0.230 0.825 1.824 Z + (Z) 0.000 1.186 1.921 2.516 3.514
(33)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2. Uji Keterpaduan Butir Keseluruhan
Butir penyataan tersebut dilakukan uji untuk mengetahui apakah sebuah pernyataan merupakan bagian dari seluruh pernyataan. Maka dilakukan perhitungan korelasi butir. Hasil perhitungan keterpaduan menggunakan software SPSS version 15.0 for Windows menunjukkan setiap item pada instrumen format A dan format B memiliki tingkat keterpaduan karena indeks Corrected Item-Total Correlation berada di antara 0,30 – 1,00. Rincian hasil perhitungan terlampir pada lampiran.3.4 dan 3.5.
3. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
a. Validitas
Pengujian validitas instrumen dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi Product–Moment Pearson. Sedangkan untuk mengukur reliabilitas variabel ini digunakan rumus Alpha Cronbach (Azwar, 2002:18 – 78) (dapat dilihat pada lampiran). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05. Butir pernyataan dikatakan valid jika tingkat koefisien korelasi Product–Moment atau r–hitung > r-tabel, sesuai tingkat kepercayaan yang telah ditentukan. Jumlah responden uji coba yaitu 44 siswa, sehingga daerah bebas (db) yang digunakan adalah n-2 (44 – 2) = 42 sesuai r-tabel adalah 0,297.
Dari hasil analisis ke 35 butir pernyataan format A, dan 48 pernyataan format B diperoleh nilai r – hitung dan dibandingkan dengan r tabel. Butir yang memiliki nilai ≥ r tabel valid, dan yang lebih kecil dari r tabel drop. Taraf nyata yang digunakan r tabel pada penelitian ini adalah Alpha 0,05 = 0,297. Dari format
(34)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
A, yang tidak valid sebanyak 19 butir pernyataan, yaitu butir nomor 1, 2, 4, 6, 8, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 19, 24, 25, 26, 27, 30, 33, 34 = 19. Dari format B, butir yang tidak valid sebanyak dua puluh satu (21) dari 48 butir pernyataan, yaitu butir nomor 1, 2, 3, 6, 8, 10, 12, 13, 16, 21, 22, 25, 27, 29, 32, 33, 34, 35, 37, 41, 43, 44, 45 = 21.
Tabel 3.6
Ringkasan Hasil Pengujian Validitas Butir Kuesioner Format A
Komponen yang Dianalisis Jumlah butir
Awal Signifikan Drop
Perilaku Altruis 35 16 21
Aspek Empati 14 7 7
Aspek Tanggung jawab 11 7 4
Aspek Self-Efiicacy 10 5 5
Tabel 3.7
Ringkasan Hasil Pengujian Validitas Butir Kuesioner Format B
Komponen yang Dianalisis Jumlah butir
Awal Signifikan Drop
Faktor Penyebab Altruis 48 21 27
Aspek Pola Asuh Orangtua 24 8 16
Aspek Teman Sebaya 18 8 10
Aspek Sekolah 6 5 1
Tabel 3.8
Kisi-kisi Instrumen Format (A) Setelah Ujicoba
Aspek dan Indikator Pernyataan
Jumlah Positif Negatif
A. Empati
1. Menyenangkan orang lain, menghibur 1 1 2. Memajukan atau mengembangkan orang lain 2 1 3. Mengajarkan, menunjukkan kesalahan untuk memerbaiki 3 1
4. Menghargai perbedaan 4 1
5. Memahami kebutuhan orang lain 5 1 6. Memahami kesulitan teman 6 1
(35)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Aspek dan Indikator Pernyataan
Jumlah Positif Negatif
7. Memahami penderitaan orang lain 7 1
B. Bertanggungjawab: terhadap kesejahteraan
1. Menegur untuk memperbaiki 9 8 2
2. Memberikan solusi 10 1
3. Menasehati 11 1
4. Memberikan petunjuk 12 1
5. Membimbing supaya terhindar dari bahaya 13 1 6. Menghindarkan orang lain menderita kesulitan 14 1
C. Self-efficacy: keyakinan dapat berhasil mengatasi
tantangan yang dihadapi
1. Kemandirian memutuskan tindakan 15 1 2. Memiliki keyakinan diri dalam menghadapi tantangan 16 17 2 3. Dapat mengontrol apa yang terjadi pada dirinya 18 19 2
Jumlah 10 9 19
Tabel 3.9
Kisi-kisi Instrumen Format (B) Setelah Ujicoba
Aspek dan Indikator Pernyataan
Jumlah Positif Negatif
A. Pengasuhan orangtua: 1. Sikap dan perilaku
a. Kehangatan (warmth) 20 1
b. Penerimaan (accepting) 21 1
2.Controlling/demonding
a. Patuh terhadap aturan 22 1
b. Penanaman disiplin dengan mengajak berpikir 23 1 c. Pemahaman dampak perilaku 24 1
d. Bersikap mandiri 25 1
e. Tegas terhadap diri sendiri 26 1 f. Ramah terhadap lingkungan 27 1 g. Mau dan dapat bekerjasama kepada orangtua 28 1
h. Bertanggung jawab 29 1
i. Sikap optimis orangtua 30 1
B. Lingkungan teman sebaya 3. Sosial Kognitif
a. Pengendalian, pengelola tingkah laku sosial 31 1 b. Pengembangan keterampilan, minat 32 1
c. Pencarian solusi masalah 33 1
d. Optimis ke masa depan 34 1
4. Konformitas:
Motif untuk menjadi sama
sesuai dengan nilai-nilai; 35 1
C. Lingkungan sekolah
1. Memotivasi semangat para personil sekolah, siswa 36 1 2. Memiliki personil, fasilitas, material, dan siswa yang baik 37,38,39 3
(36)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Aspek dan Indikator Pernyataan
Jumlah Positif Negatif
3. Penyaluran lulusan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
40 1
Jumlah 18 3 21
b. Reliabilitas
Reliabilitas instrumen adalah ketetapan atau keajegan instrumen. Artinya kapampun instrumen tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas perilaku altruistik siswa dihitung koefisien reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
Reliabilitas format (A) diuji dengan menggunakan software SPSS version 15.0 for Windows hasil uji format (A) dapat dilihat pada Table 3.10.
Tabel 3.10 Reliabilitas Format A
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
,957 ,958 35
Hasil pengujian reliabilitas format (A) menunjukkan indeks reliabilitas 0,957 sehingga instrumen format (A) memiliki reliabilitas yang tinggi.
Selanjutnya pengujian reliabilitas format (B) diuji dengan menggunakan
software SPSS version 15.0 for Windows. Hasil uji reliabilitas format (B) dapat dilihat pada Tabel 3.11
(37)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Tabel 3.11 Reliabilitas Format B
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
,969 ,969 48
Hasil pengujian reliabilitas format (B) menunjukkan indeks reliabilitas 0,969. Artinya, instrumen format B memiliki indeks reliabilitas yang tinggi.
G. Subjek Penelitian
Penelitian ini adalah pengembangan model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa. Proses pengembangan model terdiri atas empat tahap dengan subjek penelitian yang beragam. Pada studi pendahuluan, subjek adalah siswa SMP 239 Jakarta kelas VIII berjumlah 44 orang siswa yang dipilih menggunakan teknik klaster.
Pada tahap pengembangan dan validasi model hipotetik subjeknya adalah pakar bimbingan dan konseling berjumlah empat orang. Pada tahap uji coba model, subjek penelitian adalah siswa kelas VIII dari dua kelompok, satu kelompok sebagai kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol, yang ditentukan secara ramdom artinya bahwa semua siswa mempunyai hak yang sama untuk mendapat intervensi dalam konseling kelompok tersebut. Pada masing-masing kelompok sebanyak 8 orang siswa. Penentuan ini berdasarkan perspektif konseling kelompok bahwa jumlah anggota kelompok yang efektif adalah 8-15
(38)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
siswa (Winkel, 2003; Natawidjaja, 2009). Secara rinci subjek penelitian disajikan pada Tabel 3.12. berikut.
Tabel 3.12 Subjek Penelitian
Tahap Penelitian Subjek Jumlah
1. Studi Pendahuluan Siswa SMP kelas VIII 44 2. Validasi Model Pakar bimbingan dan konseling 4 3. Ujicoba Model a. satu kelompok intervensi
b. satu kelompok kontrol
8 8
H. Teknik Analisis Data
Analisis gambaran perilaku altruistik siswa, baik total maupun aspeknya, menggunakan batas lulus ideal yang perhitungannya didasarkan atas rerata ideal dan simpangan baku ideal skala nilai 0 – 4 (Rakhmat dan Solehuddin, 2006: 63 dan 65) sebagai berikut.
xideal ±1.5 Sideal xideal ±1.5 Sideal
Keterangan:
xideal = Rata-rata Ideal
±1.5 dan ±0.5 = Nilai Z pada kurva normal
Sideal = Standar Deviasi Ideal
Dimensi model hipotetik model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa yang dianalisis, yaitu rumusan judul, penggunaan istilah, sistematis model, rumusan rasional model, rumusan tujuan model, rumusan asumsi model, rumusan kompetensi model, rumusan kompetensi konselor,
(39)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
kesesuaian antar komponen model, struktur intervensi, garis besar sesi intervensi 1-8, teknik evaluasi dan rumusan indikator keberhasilan.
Teknik yang digunakan untuk menganalisis kelayakan model yaitu: (1) uji
rasional model melibatkan para pakar BK Universitas Pendidikan Indonesia (2) uji keterbacaan (readability) model melibatkan siswa SMP, dan (3) uji
kepraktisan (usebility). Analisis ini dilaksanakan dalam bentuk diskusi terfokus yang membahas model (1) kontribusi model terhadap pencapaian tujuan pendidikan dan tujuan bimbingan dan konseling, (2) peluang ketercapaian penerapan model, (3) kesesuaian model dengan kebutuhan siswa, (4) kemampuan
konselor untuk menerapkan model, (5) pemahaman pengelola model, dan (6) keterjalinan kerja sama.
Diskusi terfokus untuk menganalisis kepraktisan model melibatkan beberapa konselor di sekolah SMP Jakarta. Rincian tentang data dan sumber data disajikan pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13
Aspek–aspek Instrumen pada Setiap Variabel Penelitian
Variabel Aspek Instrumen Sumber Data a.Perilaku altruistik 1. empati
Kuesioner Siswa 2. tanggungjawab
3. self-efficacy 4. pola asuh orang tua 5. teman sebaya 6. lingkungan sekolah b.Model KK untuk
meningkatkan perilaku altruis siswa
1. rasional
Kriteria penilaian
Pakar BK, dan Konselor 2. tujuan
3. asumsi model 4. target intervensi 5. komponen model 6. langkah-langkah model 7. kompetensi konselor 8. struktur, isi intervensi
(40)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Variabel Aspek Instrumen Sumber Data c.Panduan Model
KK untuk meningkatkan perilaku altruis siswa
1. deskripsi
Kriteria penilaian
Pakar BK, dan konselor
2. karakteristik hubungan 3. homogenitas
4. peran peneliti dan klien 5. pelaksanaan KK
Hipotesis penelitian tentang efektivitas model konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku altruistik dijawab dengan menggunakan teknik uji perbedaan dua kelompok berpasangan dari data rata-rata skor gains ternormalisasi (normalized gains score/NGS), yaitu:
K E
H0 :
K E
H1 :
Hipotesis tersebut diuji dengan metode independent sample t-test dari data skor gain ternormalisasi (normalized gain score) menggunakan bantuan perangkat lunak (software) Statistical Packages for Social Studies (SPSS) 15.0 for Windows.
Dasar pengambilan keputusannya dengan melihat perbandingan nilai Sig. (2-tailed) dengan , yaitu :
1. jika nilai Sig. (2-tailed) < (0,05) maka H0 ditolak. Dengan kata lain, MKK efektif (signifikan) untuk mengembangkan perilaku altruistik siswa SMP; atau
2. jika nilai Sig. (2-tailed) > (0,05) maka H0 diterima. Dengan kata lain, MKK tidak efektif (tidak signifikan) untuk mengembangkan perilaku altruistik siswa SMP.
(41)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Prosedur pengujian hipotesis tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, menghitung gains skor ternormalisasi kelompok eksperimen dan kontrol pada setiap variabel menggunakan rumus yang diadaptasi dari Hake (1998 : 65), Stewart (2007), Meltzer (2007), Coletta & Phillips (2005) berikut.
etest X etest Posttest g Max Pr Pr
Perolehan hasil pengujian hipotesis kelompok eksperimen dan kontrol dengan tafsiran NGS dapat dilihat pada Tabel 3.14. sebagai berikut.
Tabel 3.14 Kualifikasi NSG (g)
NGS (g) Kualifikasi
g≥ 0.7 Tinggi (High) 0.7 > g ≥ 0.3 Sedang (Medium)
g≤ 0.3 Rendah (Low)
Kedua, dilakukan pengujian sebaran gains kedua kelompok untuk setiap variabel. Pengujian sebaran gains dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika sebaran gains kedua kelompok menyebar normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji parametrik, tetapi jika tidak menyebar normal, maka pengujian dilakukan dengan statistik nonparametrik menggunakan uji Mann-Whitney U. Dengan nilai U = minimal (UE, UK).
K K K K E K E E E K E E R n n n n U R n n n n U 2 1 2 1(42)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
RE : jumlah rangking kelompok eksperimen
RK : jumlah rangking kelompok kontrol
Tolak H0 jika Uhitung > dari Utabel. Tetapi karena banyaknya nE dan nK 8 responden maka pengujian dilakukan dengan menggunakan nilai z, yakni :
12 1 2 K E K E K E n n n n n n U z .Pengujian dilakukan dengan tabel normal baku, karena hipotesis dalam penelitian ini yang disusun dua sisi, jika nilai 2p (2 kali nilai probabilitas) pada tabel normal baku lebih kecil dari α, maka H0 ditolak.
Ketiga, dilakukan pengujian homogenitas varians antara kedua kelompok untuk setiap variabel. Hipotesis yang diuji adalah:
2 2 2 2 0 : : E K A E K H H
Statistik uji yang digunakan adalah statistik F, dengan:
terkecil Varians
terbesar Varians
F
Tolak hipotesis nol, jika ; ( 1, 1) )
( 2
1
dk besar kecil
hitung F dk n n
F
Keempat, jika varians kedua kelompok homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t menggunakan rumus berikut.
(43)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu k E K E n n s X X t 1 1
, dengan
2 1
1 2 2
K E K K E E n n s n s n s
Tolak H0 thitung t dkatau t t dk
2 1 2
1 1
1
dengan dk = nE + nk– 2.
Kelima, jika varians kedua kelompok tidak homogen, maka digunakan uji-t’ dengan rumus:
K K E E K E n s n s X X t 2 2
Terima H0 jika
K E K K E E K E K K E E w w t w t w t w w t w t w
, dengan
K K K E E E n s w n s w 2 2 ,
, 1 ( 1), 1 1
2 1 2
1
K
E K n
n
E t t
t
Merespons kritik-kritik sejumlah pakar yang mengusulkan agar pengujian hipotesis nol diikuti oleh informasi tentang effect sizes dan interval keyakinan (confidence interval). Maka, dalam penelitian ini dilakukan pula pengujian terkait tentang dua macam signifikansi, yaitu statistical significance dan practical significance (Shavelson dalam Furqon dan Emilia, 2009).
Analisis efektivitas MKK untuk mengembangkan perilaku altruistik siswa SMP dari hasil penelitian ini, tidak berhenti sampai menolak atau tidak menolak hipotesis nol (berdasarkan kriteria yang telah dibahas di halaman 135), melainkan melakukan analisis tentang kebermaknaan hasil penelitian bagi pemecahan masalah di lapangan. Analisis kebermaknaan atau practical significant
(44)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
1. melihat perubahan perilaku siswa SMP setelah treatment ke arah yang lebih positif berdasarkan hasil observasi terhadap perilakunya sehari-hari, terutama di sekolah. Kriteria perubahan perilaku ke arah yang lebih positif, berupa : (a) meningkatnya empati terhadap temannya seperti mau menjenguk teman yang sakit dan bersedia membantu teman yang mengalami kesulitan dalam belajar; (b) meningkatnya tanggung jawab seperti berkurangnya bolos sekolah; (c) meningkatnya self-efficacy seperti memiliki keyakinan bahwa ia akan mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dan akan berhasil menempuh sekolah dengan prestasi yang baik.
2. menganalisis keterkaitan komponen MKK dengan peraturan perundangan-undangan pendidikan yang berlaku, terutama terkait dengan tujuan pendidikan nasioanl dan pendidikan karakter; dan
3. menganalisis karakteristik dan tugas perkembangan remaja sebagai karakteristik dari siswa SMP.
(45)
218
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan model konseling kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Secara uji statistik Model Konseling Kelompok (MKK) dapat meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP pada level sedang.
2. Perilaku altruistik siswa SMPN Jakarta Selatan pada tahun ajaran 2010/2011 berada pada kriteria tinggi dan sedang cenderung rendah.
3. MKK dapat meningkatkan aspek empati, aspek tanggung jawab, ataupun self-efficacy siswa SMP pada level sedang.
4. Layanan konseling kelompok disekolah dirasakan manfaatnya oleh siswa dalam pengembangan diri, pencegahan terhadap pengaruh negatif. Siswa mengharapkan diadakannya peningkatan layanan konseling kelompok untuk membantu dirinya dalam mengembangkan pribadi, meningkatkan perilaku altruistik namun belum dapat terpenuhi sesuai harapan. Dari segi efesiensi, konselor merasakan kemanfaatannya, karena banyaknya siswa yang perlu mendapatkan bantuan layanan segera. Pihak sekolah memberikan dukungan untuk mewujudkan pelaksanaan konseling dengan disediakannya jam masuk kelas bagi guru bimbingan dan konseling. Konseling kelompok belum merupakan teknik utama
(46)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
bagi konselor untuk membantu siswa dalam upaya pengembangan pribadi, pencegahan, pengentasan masalah, karena masih mengutamakan layanan individual.
5. Faktor pola asuh orang tua memberikan pengaruh sebesar 74,01%, kemudian lingkungan teman sebaya memberikan pengaruh sebesar 68,44%, dan lingkungan sekolah dan media memberi pengaruh sebesar 65,31% terhadap peningkatan perilaku altruistik siswa SMP di Jakarta.
6. Model hipotetik konseling yang dikembangkan dan menjadi dasar dalam proses konseling terdiri dari dua komponen model yaitu: a) panduan model meliputi rumusan rasional model, tujuan, asumsi, komponen model, kompetensi konselor, struktur dan isi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan konseling kelompok.
7. Hasil validasi pakar konseling kelompok terhadap model hipotetik konseling kelompok dinilai layak untuk dikembangkan sebagai salah satu model intervensi untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP.
8. Hasil analisis terhadap efektif model konseling kelompok membuktikan adanya peningkatan dari ketiga aspek yang dikembangkan yaitu empati, tanggung jawab, dan self-efficacy altruistik siswa.
9. Berdasarkan hasil pertimbangan teoritik dan empirik, model konseling kelompok secara konseptual dapat dipertimbangkan sebagai kerangka acuan dalam layanan bimbingan dan konseling di SMP Jakarta Selatan.
(47)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Secara statistik (statistical significance), hasil penelitian ini memang menerima hipotesis nol. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menolak hipotesis kerja. Dari hasil pengujian diketahui bahwa rata-rata NGS kelompok eksperimen lebih besar (berada pada level sedang), sedangkan rata-rata NGS kelompok kontrol (berada pada level rendah). Namun dari hasil penugasan rumah, dalam hal ini dilakukan observasi oleh konselor sekolah terkait perilaku altruistik siswa dalam aktivitas di lingkungan sekolah setelah siswa mendapat intervensi rata-rata mengalami kecenderungan peningkatan perilaku yang altruistik.
Beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab tidak efektif signifikannya MKK untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP adalah: (a) pemilihan sampel yang tidak representatif karena mengabaikan random assigment; (b) jumlah sampel yang dipilih untuk dijadikan kelompok eksperimen dan kontrol sangat sedikit, masing-masing kelompok hanya delapan orang siswa; (c) sejak studi pendahuluan memang sudah diketahui bahwa pada umumnya responden (siswa SMP) sudah memiliki perilaku altruistik pada kategori tinggi dan sedang sehingga walaupun terjadi perubahan tidak terlalu signifikan; (d) dalam proses penelitian, diyakini tidak dapat mengontrol secara ketat berbagai variabel yang dapat mengancam validitas internal; dan (e) perkembangan sosial siswa SMP yang banyak didorong oleh kebutuhan untuk melakukan konformitas terhadap kelompok teman sebaya dan masih dalam masa transisi perkembangan dari anak-anak ke remaja.
(1)
231 ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy : The Axercise of Control. New York : WH Fredman.
Baron, Robert A. (2005). Psikologi Sosial; Alih bahasa Ratna Djuwita.. et al. Jakarta: Erlangga.
Batson, et al. (1986). Where is the Altruism in the Personality? Journal of Personality & Sosial Psychology, 50 (1). 212-220.
Bierhoff, H.W., Kleien, R., & Kramp, P. (1991), Evidence for the Altruistic Personality from Data on Accident research. Journal of Personality, 59 (2), 263-280.
Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1982). Qualitative Research for Education. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Borg, W.R. & Gall, M.D. (2003). Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc.
Carlo G., et al. (1991). The Altruistic Personality: In What Contexts is it Apparent? Journal of Personality & Social Psychology, 61 (3) 450-458. Chau, L.L., et al. (1990). Intrinsic and Extrinsic Religiosity as Related to
Conscience, Adjustment, and Altruism. Personality & Individual Differences, 11 (4), 397-400.
Clarke, D. (2003). Pro-Social and Anti-Social Behavior. London-New York: Routledge.
Corey, G. & Corey, M.S.. (2005). Groups : Process and Practice. (7th Edition). USA: : Thomson & Brooks/Cole Publishing Company.
Corey, G. (1984). Issues & Ethics in the Helping Professions (2th Edition). Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Reseach. 3rd ed. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.
Darajat, Z. (1973). Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Press.
Davis, M. H., Luce, C., &Kraus, S.J. (1994). The Heriability of Characteristics Associated With Dispositional Empathy. Journal of Personality, 62, 369.
(2)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Davis, M.H. (1983). Measuring individual differences in empathy: Evidenc for a multidimensional Approach. Journal of Personality & Social Psychology, 44 (1), 113-126.
Durkin, K. (1995). Developmental Social Psychology: from Infancy to Old Age,USA: Cambridge University Press.
Eisenberg, N., et al. (2002). Prosocial Development in Early Adulthood: A. Longitudinal Study. Journal of Personality and Social Psychology, vol. 82. no. 6. 993-1005.
Eisenberg, N., & Mussen, P.H. (1989). The Roots of Prosocial Behaviour in Children.New York: Cambridge University Press.
Eisenberg. (1983), The Socialization and Development of Empathy and Prosocial Behavior, USA: Arizon State University.
Ellis, A.K. & Fouts, J.T. (1993). Reseach on Educational Innovations. Prenceton Junction, New Jersey: Eye on Education.
Fabes, Richard, A. and Eisenberg, N. (1998). Meta-Analises of Age and Sex Differences in Children’s and Adolescents Prosocial. USA: Arizona State University.
Fraenkel, Jack R & Wallen, Normal E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill, Inc.
Furqon. (2002). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Furqon & Emi Emilia (2009). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Beberapa Isu Kritis). Bandung : SPs UPI.
Gall, M.D., Gall, J.P. & Borg, W.R. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.
George & Cristiani (1981). Theory, Methods, and Process of Counseling and Psychotherapy. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gerald Corey (2007). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, California: Brooks/Cole Publishing Company
Giles, DE. & Eyler J., (1994). The Impact a College Community service Laboratory on Student Personal, Social and Cognitive. Journal of Adolesecent, Vol. 17: 327-329.
Goleman, Daniel (1999). Working With Emotional Integence: Keceerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih Bahasa, Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, Sutrisno (1995). Metodologi Research Yogyakarta: Andi Offset.
Hake, R.R. (1998 : 65). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia di : http://lists.asu.edu/ [1 Desember 2009].
Heppner, P. P., Wampold, B.E. & Kivlighan, D.M. (2008). Research Design in Counseling. Belmont, California: Thomson Brooks/Cole.
(3)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Hoffman, M.L. (1981). Is Altruism Part of Human Nature? Journal of Personality and Social Psychology, vol.40. no. 1. 121-137.
Hoffman, M.L. (1975). Altruistic Behavior and Parent-Children Relationship. Journal Personality and Social Psychology, vol. 31. no.5. 937-943.
Hogg, M.A. & Vaughan, G.M. (2002). Social Psychology. New York: Prentice Hall.
Hogg, M.A. & Vanghan, G.M. (2002). Social Psychology. New York: Pretice Hall.
House, R.M. & Martin, P.J. (1998). Advocating for Better Futures for All Students: A New Vision for School Counselors. Education. Winter: ProQuest Education Journals.
James F.C, Joan Ross Acocella. (1990). Psychology of Adjusment and Human Relationship, McGraw – Hill.
Johnson, Chou. L.L. R.C. Bowers, JK. Darvil. T.J. & Danko, G.P. (1990). Intrinsic and Extrinsic Religiossity as Related to Consecience, Adjustment, and Altruism. Personality & Individual Differences, Vol. 11 (4), 397-400.
Kaniati, Nia Dewi (2006) Peran Pengasuhan Orang Tua dan Keberagamaan Pada Perilaku Altruistik Remaja: Pendekatan Studi Kasus pada Relawan Remaja). Tesis tidak diterbitkan: Universitas Indonesia.
Kartono, Kartini (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Grasindo Raja Persada.
Kerlinger, F.N. (2003). Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kerlinger, F. N. (1976). Fundamental of Behavior Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Kustiah, Soenarti (1996). Pola Asuh Orang Tua di Tinjau dari Teori Kepribadian Analisa Transisional dan Hubungan dengan Kepribadian Anak. Malang: Pascasarjana IKIP Malang.
Lakshmi, K.S. (2003). Encyclopaedia of Guidance and Counseling. New Dellhi: Naurang Rai.
Latipun (2006). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Maddux, J.E. (2005). Self-Efficacy : The Power of Believing You Can. In Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (Eds). Handbooks of Positive Psychology. New York : Oxford University Press.
McKesson (2005). Health Solutions LLC: University of Michigan Health System Http;// www.med.umich.Edu/Ilibr/pa/pa-devoteen-pep.htm. (15 Februari, 2005).
(4)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
McMillan, J.H. & Schumacher,S. (2001). Research in Education A Conceptual Introduction. New York: Longman.
Miles, Mathew & B. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif: terjemahan Tjetjep Rohendi R. Jakarta: UI Press.
Monks,F.J., Haditomo Siti Rahayu (2002). Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mouly, G. J. (1978). Educational Research. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Myers, David G. (1993). Social Psychology. United States of America: McGraw-Hill, Inc.
Natawidjaja, R. (1987). Program Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta: Depdikbud.
Natawidjaja, R. (2009). Konseling Kelompok: Konsep Dasar & Pendekatan. Bandung: Rizqi Press.
Newcomb, Turner, Converse. (1964). Social Psychology. Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (1978). Psikologi Sosial. Bandung : Diponegoro.
Nichols, K., and Jenkinson, J. (1991). Leading a Support Group. London: Chapman & Hall.
Nurihsan, J. (2002). Pengantar Bimbingan dan Konseling (Edisi Kedua). Bandung : Jurusan PPB FIP UPI Bekerja sama dengan UPT LBK UPI.
Pepinsky H.B and Pepinsky, P. (1954). Counseling: Theory and Practice. New York: Ronald Press.
Penner, L.A., Dividio. J.F. & Filiavin, J.A. (2005). Prosocial Behavior: Multilevel Perspective.Ar Reviews in Advance. Annurev. Psych. 56.091103. 070141.
Purwadarminta. W.S. (2003). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Permendiknas Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswan.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Prayitno (1995). Konseling Kelompok. Jakarta: Galia Indonesia.
Prince, Jeffrey P. & Heiser, Lisa J. (2000). Essentials of Career Interest Assessment. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Romer, D., Chaeles, L., Gruder & Terry Lizzadro (1986). A Person-Situation Approach to Altruistic Behavior. Journal Personality and Social Psychology, Vol. 51, no. 5, 1001-1012.
(5)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Sarwono, Sarlito, W. (2006). Psikologi Remaja,Jakarta: PT RajaGrasindo. Sugiyono (1999). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.
Surya, Mohamad (2009). Konselor Ideal Untuk Layanan-layanan Bimbingan dan Konseling di Abad 21. UPI Bandung: Makalah Seminar.
Ruseffendi (2005). Dasar-dasar Penelitian pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Santrock, J.W. (1993). Adolesscence: An Introduction. Wisconsin: Brown & Benchmark.
Santrock, J.W. (2004). Human Development. USA: McGraw-Hill. Santrock, J.W. (2005), Adolescent, USA: McGraw-Hill.
Sarwono, Sarlito W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Schroender, et al. (1995). The Psychology of Helping and Altruism: Problems and
Puzzless, NewYork: McGraw Hill.
Sears, David O. et.al.(1991). Sosial Psychology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Sukadji, Soetarlinah (2000). Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: L.P.S.P3. Schmidt, J.J. (2003). Counseling in Schools. Boston: Pearson.
Sugiyono (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R & D). Bandung : Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih (2007). Bimbingan & Konseling: Dalam Praktek Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung: Maestro. Synder, C.R. & Shane J. Lopez. (2005). Handbook of Positive Psychology.
Oxford: University Press.
Staub (1978). The Psychology of Good and Evil: Why Children. Adults and Group Help and harm Others. Cambridge: University Press.
Tuckman, B. W. (1978). Constructing Educational Research. San Diego: HBJ Publishers.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Bandung: Fokusmedia.
Winarno Surakhmad. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito.
Waxler, Carolyn Zahn, Jo. Ann L. Robinson & Robert N Emde (1992). The Development of Empathy in Twins. Journal Developmental Psychology. Vol. 28.No. 6, 1038-1047.
Winkel, WS. (2005). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
(6)
ASMANGIYAH, 2011
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Wrightsman L.S. & Deaux K. (1984). Social Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Yuliati, Nanik. (2004). Model Konseling Kelompok Berdasarkan Pendekatan Kognitif- Perilaku untuk Membantu Remaja Dalam Menangani Krisis Identitas dan Dampaknya Pada Penurunan Tingkat Problem Psikososial (Disertasi). Bandung: PPs UPI. (tidak diterbitkan).
Yusuf, S., Nurihsan, A.J. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan & Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi. Yusuf,S. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: