HUBUNGAN UMUR DENGAN CEMARAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA DARAH DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI SAPI BALI YANG DIPELIHARA DI TPA SUWUNG DENPASAR.

(1)

TESIS

HUBUNGAN UMUR DENGAN CEMARAN LOGAM

BERAT TIMBAL (Pb) PADA DARAH DAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI SAPI BALI YANG DIPELIHARA DI

TPA SUWUNG DENPASAR

IDA AYU ARY PURNAMASARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

HUBUNGAN UMUR DENGAN CEMARAN LOGAM

BERAT TIMBAL (Pb) PADA DARAH DAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI SAPI BALI YANG DIPELIHARA DI

TPA SUWUNG DENPASAR

IDA AYU ARY PURNAMASARI (1492361009)

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

HUBUNGAN UMUR DENGAN CEMARAN LOGAM

BERAT TIMBAL (Pb) PADA DARAH DAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI SAPI BALI YANG DIPELIHARA DI

TPA SUWUNG DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana

IDA AYU ARY PURNAMASARI (1492361009)

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 15 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.Dr.drh I Ketut Berata, M.Si Dr. Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes NIP. 19610914 198702 1 001 NIP. 19621228 199203 1 001

Mengetahui

Ketua Program Magister Direktur

Kedokteran Hewan Program Pascasarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Universitas Udayana,

Prof.Dr.drh. I Ketut Puja,M.Kes Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001


(5)

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal 15 April 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 1612/UN14.4/HK/2016 Tanggal : 15 April 2016

Panitia Penguji Ujian Tesis adalah : Ketua : Prof.Dr.drh I Ketut Berata, M.Si

Anggota :

1. Dr. Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes 2. Dr. Drh I Wayan Sudira, M.Si

3. Dr. Drh. Ni Luh Eka Setiasih, M.Si 4. Dr. Drh. Hapsari Mahatmi, MP


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ida Ayu Ary Purnamasari

Nim : 1492361009

Program Studi : Kedokteran Hewan

Judul Tesis : Hubungan umur dengan cemaran logam berat timbal (Pb) pada darah dan gambaran histopatologi hati sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 15 April 2016 Yang membuat pernyataan


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Ida Ayu Ary Purnamasari dilahirkan pada tanggal 19 Januari 1992 di Tabanan, Provinsi Bali. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan suami istri Ida Bagus Putu Surya Wibawa dan Ida Ayu Arini. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 10 Sumerta Denpasar Timur dan menamatkan pendidikan tahun 2003, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Denpasar, diselesaikan pada tahun 2006, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 8 Denpasar, diselesaikan pada tahun 2009. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2013 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun 2014. Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2014. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana berjudul “Hubungan Umur dengan Cemaran Logam Berat Timbal (Pb) pada Darah dan Gambaran Histopatologi Hati Sapi Bali yang Dipelihara di TPA Suwung Denpasar”. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.drh I Ketut Berata, M.Si. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes selaku pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD.KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan juga kepada Dr. Drh. Hapsari Mahatmi, MP sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Prof. Dr. Drh. Anak Agung Ayu


(9)

Mirah Adi, MSi.Ph.D, Dr. Drh. Ni Luh Eka Setiasih, M.Si, dan Dr. Drh. I Wayan Sudira, M.Si yang telah memberikan masukan, saran, dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Ida Bagus Putu Surya Wibawa, Ibu tersayang Ida Ayu Arini, dan kedua saudara penulis Ida Ayu Gede Widia Suryani dan Ida Bagus Adhi Baskara yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Kepada Yodi Umbara, Litha, Sita, Eka, Mei, Sista, Wela, Dayu Dian, Elyda, Galih, Ratnadi terimakasih banyak telah menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini.


(10)

ABSTRAK

HUBUNGAN UMUR DENGAN CEMARAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA DARAH DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI SAPI BALI YANG DIPELIHARA DI TPA SUWUNG DENPASAR

Sapi yang dipelihara di tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung Denpasar sangat rentan terhadap cemaran logam berat Pb. Logam berat Pb dalam darah dan jaringan sapi, dapat mengancam kesehatan orang yang mengkonsumsi dangingnya. Untuk mengetahui cemaran logam berat dalam darah sapi serta hubunganya dengan umur sapi di TPA, maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian menggunakan 22 ekor sapi yang dipilih secara acak. Umur sapi didasarkan pada data pemilik dan cincin pada tanduknya. Darah diambil dari vena jugularis dan ditampung dalam tabung yang telah diisi EDTA 5%. Plasma darah diperiksa terhadap kadar logam berta Pb dengan metode atomic absorption spectrophotometer (AAS). Dari sapi sampel, dinekropsi 3 ekor yang terpapar logam berat Pb untuk selanjutnya diambil jaringan hati. Jaringan hati diproses untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode embedding paraffin dan selanjutnya dengan pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Hasil pemeriksaan kadar logam berat Pb diperoleh hasil bervariasi antara 0 sampai 10,291 ppm, dengan variasi umur sapi antara 10 bulan sampai 5 tahun. Hasil analisis dengan uji korelasi diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara umur dengan kadar Pb. Lesi histopatologi yang teramati terdiri atas degenerasi melemak, kongesti, hemoragi, nekrosis dan infiltrasi sel radang dengan derajat keparahan yang lebih parah pada sapi dengan kadar logam berat Pb yang lebih tinggi. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara kadar logam berat Pb dengan umur sapi di TPA Suwung Denpasar. Histopatologi sapi yang diperiksa dengan kadar logam berat Pb yang lebih tinggi menunjukkan adanya degenerasi melemak dan kongesti.

Kata kunci: Logam berat Pb, umur, Perubahan histopatologi (degenerasi melemak, kongesti, hemoragi dan nekrosis), hati.


(11)

ABSTRACT

Relation Between Age and Plumbum Metallic (Pb) in Blood and Liver Histopathology Which being Maintaned in TPA Suwung

Balin’s cattle that farmed in landfill Suwung Denpasar are very susceptible to plumbum (Pb) contamination. Plumbum that concentrated in blood and tissue of cattle are very dangerous for human consumption .A research is needed to see correlation between Pb contamination and cattle’s age in landfill. The research uses 22 randomly selected cattles. Age used base on owner’s database or rings on horn. Blood collected from jugular vein and saved in EDTA 5% tube. Plasma then examined for Pb contamination using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) method. Three cattles positive for Pb contamination were necropsied and liver collected. Livers were processed for histopathological slide using embedding paraffin and then colored using hematoxylin eosin (HE). From the examination the results are varied from 0 to 10.291 ppm, within range 10 months to 5 years old cattles. The results was checked using Pearson correlation test and showed no correlation between age and plumbum concentration. Histopathology shows have some fatty degeneration, congestion, hemorrhage, necrosis, inflammatory cell with higher severity in cattle who have higher Pb concentration. Conclusion is there is no correlation between Pb concentration with age in the authentic Balinese cattle in Suwung Denpasar, but the histophatology shows there are fatty degeneration, congestion, hemorrhage and necrosis in the living tissues which exposured to the high concentration of Pb.

Key word: lead metallic (Pb), age of bali authentic cattle, histopathological (fatty degeneration, congestion, hemorrhagic, necrosis and inflammatory cell) in liver.


(12)

RINGKASAN

Logam berat timbal merupakan salah satu logam berat yang bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama, dan merupakan zat yang berbahaya karena dapat terjadi bioakumulasi. Akumulasi logam berat dalam jaringan (bioakumulasi) pada konsentrasi tertentu akan dapat merusak organ-organ dalam jaringan tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan umur dengan kandungan logam berat timbal (Pb) dan perubahan gambaran histopatologi pada sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode atomic absorption spectrofotometry (AAS) untuk pemeriksaan kadar timbal dalam darah sapi dengan menggunakan 22 sampel darah sapi bali, sedangkan untuk melihat perubahan histopatologi dilakukan pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin dan selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan kandungan logam berat timbal (Pb) pada darah sapi bali yang dipelihara di TPA terendah adalah 0 ppm dan tertinggi adalah 10,291 ppm, sedangkan dari 3 sampel organ hati yang dilakukan pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya degenerasi melemak, kongesti, hemoragi dan nekrosis pada jaringan hati. Hasil analisis menunjukkan tidak adanya hubungan antara umur dengan kandungan logam berat timbal (Pb) dalam darah sapi bali yang dipelihara di TPA dan terjadi perubahan histopatologi berupa degenerasi melemak, kogesti, hemoragi, nekrosi dan infiltrasi sel radang akibat akumulasi logam berat timbal pada organ hati.


(13)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI . ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum... 4

1.3.1 Tujuan khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Sapi Bali ... 6

2.2 Penentuan Umur Sapi Bali ... 8

2.2.1 Mengamati gigi ternak sapi ... 8

2.2.2 Mengamati tanduk ternak sapi... 9

2.2.3 Mengamati bulu ternak sapi ... 10

2.2.4 Mengamati tingkah laku ternak sapi ... 10

2.3 Logam Berat Timbal (Pb) ... 11

2.3.1 Risiko cemaran logam berat timbal (Pb) pada sapi ... 12

2.4 Histopatologi Hati ... 13

BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 18

3.1 Kerangka Berpikir ... 18

3.2 Konsep Penelitian ... 20

3.3 Hipotesis Penelitian ... 21

BAB IV METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Rancangan Penelitian ... 22

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 23

4.4 Penentuan Sumber Data ... 23

4.5 Variabel Penelitian ... 24

4.6 Bahan Penelitian ... 24

4.7 Instrumen Penelitian ... 25

4.8 Prosedur Penelitian ... 25


(14)

ii

4.8.2 Penentuan kadar logam berat timbal (Pb) ... 25

4.8.3 Pembuatan preparat histopatologi organ hati ... 27

4.8.4 Variabel yang diperiksa ... 28

4.9 Analisis Data ... 28

BAB V HASIL ... 29

5.1 Kandungan Timbal pada Darah Sapi yang Dipelihara di TPA .... 29

5.2 Gambaran Histopatologi Hati Sapi Bali yang Dipelihara di TPA 32 BAB VI PEMBAHASAN ... 35

6.1 Hubungan antara Umur dengan Kandungan Timbal dalam Darah Sapi Bali yang Dipelihara di TPA ... 35

6.2 Gambaran Histopatologi Hati Sapi Bali yang Dipelihara di TPA 37 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 Simpulan ... 41

6.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(15)

3 DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.4 Pembengkakan Sel Hati Disertai Vakuolisasi ... 15

Gambar 3.2 Bagan Konsep Penelitian ... 20

Gambar 5.1 Degenerasi Melemak, Hemoragi dan Nekrosi Pada Hati ... 33

Gambar 5.2 Degenerasi Melemak, Hemoragi dan Nekrosi Pada Hati ... 33

Gambar 5.3 Degenerasi Melemak, Kongesti dan Infiltrasi Sel Radang Pada Hati ... 34


(16)

4 DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Hasil Kandungan Logam Berat Timbal pada Darah Sapi TPA ... 29 Tabel 5.2 Hasil Analisis Korelasi Sperman ... 31 Tabel 5.3 Perubahan Histopatologi pada organ Hati Sapi TPA ... 32


(17)

1 BAB I PEDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Semakin berkurangnya lahan sebagai tempat merumputnya sapi, maka banyak peternak mencari alternatif lain termasuk melepas ternak sapinya di tempat pembuangan sampah atau tempat pembuangan akhir (TPA). Salah satu TPA yang banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi bali dalam berbagai umur dipelihara di TPA Suwung. Ternak sapi bali yang dipelihara di TPA memperoleh makanan dari tumpukan-tumpukan sampah yang ada di TPA tersebut. Sedangkan air minum diperoleh dari kubangan sekitar TPA. Secara fisik (performance) tampak ternak sapi di TPA mengalami pertumbuhan yang baik dan gemuk-gemuk. Keadaan ini menyebabkan banyak peternak sapi dari lingkungan sekitar merasa beruntung, karena tidak terbebani mencarikan pakan ternak dan jika saatnya perlu uang, maka tinggal memanggil pembeli (blantik).

Informasi dari jagal di rumah potong hewan tradisional menyatakan bahwa ada perbedaan aroma daging sapi bali yang dipelihara di TPA dengan daging sapi yang lainnya. Walaupun informasi ini sulit dibuktikan, tetapi penting untuk ditelusuri faktor-faktor yang memungkinkan mempengaruhi kualitas dagingnya. Sehingga kualitas daging yang dihasilkan dari ternak sapi yang dipelihara di TPA dapat dibuktikan aman atau tidak aman bagi konsumennya. Salah satu faktor yang mungkin terjadi pada ternak sapi yang dipelihara di TPA adalah keracunan logam berat. Keracunan adalah masuknya suatu zat dalam tubuh dalam jumlah tertentu


(18)

2

dapat menyebabkan reaksi tubuh yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan kematian. Keracunan juga bisa dikatakan sebagai reaksi kimia yang merusak jaringan tubuh atau mengganggu fungsi tubuh (Mansjoer, 2000). Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya pemaparan. Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan akut yaitu keracunan yang terjadi sebagai akibat pemaparan yang terjadi dalam waktu relatif singkat (dapat terjadi dalam waktu 2-3 jam), dengan kadar yang relatif besar. Sedangkan keracuan yang kronis yaitu terjadi karena absorbsi timbal dalam jumlah kecil, tetapi dalam jangka waktu yang lama dan terakumulasi dalam tubuh. Durasi waktu dari pemulaan terkontaminasi sampai terjadi gejala atau tanda-tanda keracunan mungkin di dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun Keracunan timbal pada sapi biasanya terjadi dalam bentuk kronis (Ariens, 1978).

Penelitian pendahuluan dilaporkan oleh Berata (2015) menyatakan bahwa terdapat logam berat timbal (Pb) dalam darah sapi bali yang berasal dari TPA Suwung. Logam berat Pb sangat berbahaya bagi ternak maupun manusia yang mengkonsumsi daging yang tercemar. Keracunan logam berat Pb umumnya dapat menyebabkan degenerasi otak (Harte, et al., 1991), anemia (Sugiharto, 1987) dan pengecilan organ hati (Percy and Barthold, 2007).

Logam berat Pb dalam sampah dapat berasal dari degradasi dari bateray maupun cat yang tercampur dalam sampah. Partikel logam berat dapat masuk ke dalam tubuh hewan melalui difusi permukaan kulit, terserap di usus yang kemudian masuk peredaran darah dan jaringan. Akumulasi logam berat dalam jaringan (bioakumulasi) pada konsentrasi tertentu akan dapat merusak organ-organ dalam


(19)

3

jaringan tubuh (Palar 1994). Akumulasi logam berat dalam tubuh hewan sangat dipengaruhi oleh dosis dan lamanya terpapar (Harte, et al 1991). Oleh karena itu kadar logam berat Pb dalam darah sapi yang dipelihara di TPA sangat tergantung umur atau lamanya sapi tersebut berada di TPA.

Toksisitas logam timbal (Pb) terhadap ternak sapi dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ yang peka terutama di jaringan hati (Darmono, 2001). Hati sebagai pusat metabolisme berbagai zat makanan dan zat toksik (detoksikasi) merupakan organ yang paling utama dapat digunakan sebagai indikasi kerusakan akibat zat toksik. Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia terutama yang bersifat toksik, sehingga mudah mengalami kerusakan (Lu, 1995).

Selain keracunan oleh timbal (Pb), ada berbagai logam berat lain nya yang berbahaya bagi tubuh, misalnya keracunan arsenic (As) yang dapat menyebabkan berkurangnya produksi urine, terdapatnya sel darah merah dalam urine dan selanjutnya akan mengalami kegagalan ginjal (Palar, 1994). Keracunan kadmium (Cd), kadmium memiliki banyak efek toksik diantaranya kerusakan ginjal dan karsinogenik pada hewan yang menyebabkan tumor pada testis. Kadmium bisa juga menyebabkan terganggunya metabolisme kalsium sehingga terjadi difesiensi kalsium pada tubuh dan menyebabkan penyakit osteomalacia dan bittlebones (kerusakan tulang). Keracunan merkuri (Hg), efek toksisitas merkuri terutama pada susunan saraf pusat (SSP) dan ginjal, dimana merkuri terakumulasi yang dapat menyebabkan kerusakan SSP dan ginjal antara lain tremor, efek terhadap sistem pernapasan akan mengakibatkan radang paru-paru (pneumonia), bronchitis, dan


(20)

4

efek terhadap sistem pencernaan akan menyebabkan muntah dan diare (Kuntoro dkk., 2012).

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada hubungan antara umur dengan kadar logam berat timbal (Pb)

dalam darah sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar ?

2. Bagaimanakah gambaran histopatologi hati sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar ?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara umur sapi dengan kadar logam berat timbal (Pb) serta gambaran histopatologi hati sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar.

1.3.2Tujuan Khusus

1. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara umur sapi bali dengan kadar logam berat timbal (Pb) pada sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar

2. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hati yang tercemar logam berat timbal (Pb) pada sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar.


(21)

5 1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan antara umur sapi bali dengan kadar logam berat timbal (Pb) dalam darah serta memberikan informasi tentang gambaran histopatologi hati pada sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar.

2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan kepada pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan sistem pemeliharaan sapi di TPA, apakah masih layak atau perlu ada penanganan khusus.


(22)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Sapi bali (Bos Sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali. Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng. Para ahli meyakini bahwa domestikasi tersebut telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi bali. Sapi bali tersebar hampir terdapat di semua provinsi di Indonesia (Fikar dan Ruhyadi, 2010). Klasifikasi taksonomi bangsa sapi bali menurut Williamson dan Payne (1993)

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata, Dass : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Family : Bovidae, Genus : Bos,

Spesies : Bos sondaicus

Ciri khas sapi bali diantaranya rambut berwarna merah keemasan pada jantan akan menjadi hitam setelah dewasa, dari lutut ketungkai bawah berwarna putih seperti memakai kaus kaki, bagian pantat berwarna putih membentuk setengah lingkaran, ujung ekor berwarna hitam, serta terdapat garis belut warna hitam di punggung betina. Sapi bali memiliki kepala pendek dengan dahi datar, sapi bali jantan memiliki tanduk panjang dan besar yang tumbuh kesamping belakang. Sebaliknya, sapi bali betina memiliki tanduk yang lebih pendek dan kecil. Sapi bali


(23)

2

mampu beradaptasi terhadap kondisi pakan yang buruk dan lingkungan tropis, serta memiliki persentase karkas yang tinggi. Sapi bali merupakan sapi lokal dengan penampilan produksi yang cukup tinggi. Sampai saat ini kemurnian genetis sapi bali masih tetap terjaga karena ada undang-undang yang mengatur pembatasan masuknya sapi jenis lain ke Pulau Bali (Fikar dan Ruhyadi, 2010).

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi sapi bali adalah dengan cara pemeliharaan dan pengembangbiakan ternak sapi. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak. Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu pengawasan lingkungan, pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan ternak (Gunawan dan Nuhayati, 2001). Sedangkan yang diketahui, sapi-sapi yang dipelihara di TPA sangat jauh bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pemeliharaan ternak yang telah diuraikan diatas. Sapi bali yang dipelihara di TPA hidup dilepas di timbunan sampah, sehingga sapi tersebut memakan sampah-sampah yang ada di TPA yang kemungkinan besar tercemar logam berat seperti timbal (Pb) yang dapat mengganggu kesehatan dari ternak tersebut. Berata (2015) melaporkan bahwa terdapat logam berat Pb dalam darah sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar. Walaupun secara klinis tidak tampak ada gangguan pertumbuhan, tetapi penelusuran secara lebih mendalam perlu dilakukan, dalam upaya menjaga kesehatan ternak sapi dan produksi daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).


(24)

3 1.2 Penentuan Umur Sapi Bali

Umur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan badan sapi yang berpengaruh juga terhadap bobot sapi. Pertumbuhan dari tubuh hewan mempunyai arti penting dalam suatu proses produksi, karena produksi yang tinggi dapat dicapai dengan adanya pertumbuhan yang cepat dari hewan tersebut (Pradana dkk., 2014). Pendugaan umur pada sapi dapat diketahui dari jumlah gigi seri, mengamati jumlah lingkar pada tanduk sapi. kondisi atau keadaan bulu pada ternak, dan tingkah laku ternak.

2.2.1 Mengamati Gigi Ternak Sapi

Umumnya metode ini sudah sangat dikenal pada masyakat peternak di Indonesia. Istilah yang biasa dikenal adalah “poel”. ‘Poel” menunjukkan adanya pergantian gigi ternak, sehingga seberapa banyak tingkat pergantian gigi bisa menjadi dasar menduga umur ternak. Semakin banyak gigi yang “poel” maka umur ternak juga semakin tua.

Gigi ternak mengalami erupsi dan keterasahan secara kontinyu. Pola erupsi gigi pada ternak memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan untuk menduga umur ternak. Gerakan mengunyah makanan yang dilakukan ternak mengakibatkan terasahnya gigi (Heath dan Olusanya, 1988)

Pertumbuhan gigi ternak dibagi menjadi 3 fase yaitu : fase tumbuh gigi (gigi susu), fase pergantian gigi dan fase keausan gigi.

a) Fase gigi susu : Terjadi pada ternak mulai lahir sampai dengan gigi seri bertukar dengan yang baru.


(25)

4

b) Pergantian gigi : masa awal dari pergantian gigi sampai dengan selesai

c) Keausan gigi : gigi sudah tidak berganti-ganti lagi, melainkan sedikit demi sedikit aus.

2.2.2 Mengamati Tanduk Ternak Sapi

Fikar dan Ruhyadi (2010), menyatakan bahwa keadaan cincin tanduk dapat digunakan untuk menafsirkan umur sapi. Rumus yang digunakan yaitu :

Dimana Y merupakan umur sapi, X merupakan jumlah cincin tanduk dan 2 merupakan koefisien rata-rata sapi bunting pada umur 2 tahun. Tiap cincin tanduk berhubungan erat dengan kelahiran, periode laktasi dan jalannya pemeliharaan. Sesudah selesai periode kebuntingan pertama, pangkal tanduknya timbul suatu alur melingkar dan selanjutnya setiap kali bunting hal demikian akan terjadi lagi. Pengaruh pencemaran, penyakit dan musim panas menyebabkan cincin tanduk kelihatan dangkal dan tidak terang.

Secara umum sejak umur 6 bulan, tanduk sapi normal akan tumbuh dan secara bertahap pada dasar tanduk akan terlihat lingkaran-lingkaran yang mengelilingi. Pada sapi betina yang secara teratur melahirkan, dapat dilihat jelas pertumbuhan tanduknya. Maka pedoman memberikan taksiran umur sapi betina dewasa adalah banyaknya lingkaran pada tanduk ditambah 4 tahun. Namun untuk sapi jantan dapat dihitung jumlah lingkaran pada tanduk ditambah 5 tahun. Yang perlu diingat adalah penaksiran dengan metode lingkar tanduk ini hanya dapat


(26)

5

digunakan pada sapi dewasa, maka perlu dilengkapi dengan taksiran dengan metode gigi sapi.

Penentuan umur ternak dengan melihat lingkar cincin tanduk adalah dengan cara menjumlahkan angka dua pada tiap lingkar cincin tanduk. Misalnya terdapat satu lingkar cincin tanduk berarti sapi tersebut berumur tiga tahun. Asumsi dari penambahan angka dua tersebut adalah sapi telah dewasa kelamin dan siap melahirkan pada umur dua tahun (Timan, 2003).

1.2.3 Mengamati Bulu Ternak Sapi

Pendugaan umur dapat dilakukan dengan cara pengamatan keadaan atau kondisi bulu ternak sapi. Ternak muda memiliki bulu yang panjang dan kasar, sedangkan pada ternak tua bulu lebih pendek dan halus. Bulu yang kasar juga dapat disebabkan oleh keadaan ternak yang sedang sakit ataupun faktor pakan. Sapi subtropis umumnya memiliki bulu yang panjang dan kasar sebagai termoregulator, sedangkan sapi tropis umumnya pendek dan halus (Hakim et al., 2010).

1.2.4 Mengamati Tingkah Laku Ternak

Habitus atau tingkah laku (behavior) ternak sapi sangat bervariasi, karena tergantung pada cara pemeliharaan, umur dan status kesehatannya. Sapi-sapi yang dikandangkan memiliki tingkah laku yang jinak dibandingkan dengan yang dilepas seperti halnya sapi di TPA. Secara umum ternak yang sehat atau masih muda mempunyai temperamen yang lebih lincah dari pada ternak yang kurang sehat atau sudah tua (Timan, 2003).


(27)

6

Logam berat merupakan komponen alami yang terdapat di kulit bumi yang tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan merupakan zat yang berbahaya karena dapat terjadi bioakumulasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi zat kimia dalam tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan konsentrasi zat kimia yang terdapat di alam (Panggabean, 2008). Menurut Connel dan Miller (1995) berdasarkan toksisitasnya, logam berat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Golongan logam berat toksik tinggi yaitu : Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn 2. Golongan logam berat toksik menengah yaitu Zat Cr, Ni dan Co 3. Golongan logam berat toksik rendah yaitu Mn dan Fe

Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass dan Strauss, 1981). Timbal (Pb) dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya sumber Pb ke perairan (Palar, 1994).

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat. Menurut Underwood dan Shuttle (1999), Pb


(28)

7

biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung jumlah Pb dalam tubuh hewan. Akumulasi logam berat Pb yang melebihi batas ambang dalam tubuh hewan, akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsional dari jaringan tubuh, sehingga dapat menimbulkan patologis multiorgan. Batas ambang dari kadar logam berat Pb yaitu 1,0 mg/kg dalam daging atau jeroan sapi (SNI 7389:2009).

2.3.1 Risiko Cemaran Logam Berat Timbal (Pb) Pada Sapi

Logam yang telah diabsorbsi akan masuk ke dalam darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), dalam kedua organ tersebut logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalotionin. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam maupun tempat penimbunannya. Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Timbal (Pb) dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Semua spesies hewan muda lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Timbal dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus (Darmono, 2001).

Timbal adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh timbal (Pb) dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada sapi terutama yang digembalakan di daerah tercemar seperti sapi-sapi yang


(29)

8

dipelihara di TPA. Menurut (Irasanti dkk., 2012) keracunan timbal (Pb) pada ruminansia menimbulkan gejala khas sebagai berikut :

1. Gastroenteritis, hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkakan. Gerak kontraksi rumen dan usus meningkat dan terjadi diare.

2. Anemia. Hal ini akibat timbal (Pb) dalam darah berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah, terjadi gangguan sintesi Hb. Pada kasus ini sering ditemukan basofilik stipling pada sel darah, dimana hal ini menandakan terjadi keracunan.

3. Encephalopati. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler dan sel neuron pada otak.

2.4 Histopatologi Hati

Histopatologi merupakan cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Teknik pemeriksaaan histopatologi berguna untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikroanatomi. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Oleh karena itu, dengan proses diagnosis yang benar akan dapat ditentukan jenis penyakitnya sehingga dapat dipilih tindakan preventif dan kuratif. Hati merupakan organ yang berperan sebagai pusat metabolism zat makanan dan pusat detoksikasi zat racun yang masuk sirkulasi darah. Sel–sel yang


(30)

9

terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer. Lesi sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel. 1. Lesi reversible

a. Pembengkakan (radang) sel hati

Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua bentuk lesi sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan reticulum endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran lesi nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang lebar (Robbins, 2007).

b. Degenerasi

Degenerasi merupakan suatu perubahan keadaan secara fisika dan kimia dalam sel, jaringan, atau organ yang bersifat menurunkan efisiensinya. Degenerasi terjadi perubahan morfologi dan fungsi yang sifatnya irreversibel (bisa kembali menjadi normal). Degenerasi sel atau jaringan dapat diamati dari komponen komponen yang ada pada sel seperti membran sel, inti sel, dan sitoplasmanya. Degenerasi dapat dibagi menjadi


(31)

10

dua golongan yaitu pembengkakan sel dan perubahan perlemakan. Pembengkakan sel timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel. Sedangkan perubahan perlemakan bermanifestasi sebagai vakuola-vakuola lemak di dalam sitoplasma dan terjadi karena hipoksia atau bahan toksik. Perubahan perlemakan dijumpai pada sel yang tergantung pada metabolism lemak seperti sel hepatosit dan sel miokard (Sudiono, 2003)

Gambar 2.4 Pembengkakan sel hati disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang Mengalami Vakuolisasi; 2. Inti Sel Menggeser ke Tepi (Robbins, 2007).

2. Lesi Ireversibel a. Nekrosis

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik

1


(32)

11

(councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis). (Chandrasoma and Taylor, 2005).

b. Fibrosis

Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera.Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya pada hati. Faktor-faktor ini akan mengaktivasi sel yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Robbins, 2007).

c. Sirosis

Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis (Robbins, 2007).


(1)

6

Logam berat merupakan komponen alami yang terdapat di kulit bumi yang tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan merupakan zat yang berbahaya karena dapat terjadi bioakumulasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi zat kimia dalam tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan konsentrasi zat kimia yang terdapat di alam (Panggabean, 2008). Menurut Connel dan Miller (1995) berdasarkan toksisitasnya, logam berat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Golongan logam berat toksik tinggi yaitu : Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn 2. Golongan logam berat toksik menengah yaitu Zat Cr, Ni dan Co 3. Golongan logam berat toksik rendah yaitu Mn dan Fe

Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass dan Strauss, 1981). Timbal (Pb) dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya sumber Pb ke perairan (Palar, 1994).

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat. Menurut Underwood dan Shuttle (1999), Pb


(2)

7

biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung jumlah Pb dalam tubuh hewan. Akumulasi logam berat Pb yang melebihi batas ambang dalam tubuh hewan, akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsional dari jaringan tubuh, sehingga dapat menimbulkan patologis multiorgan. Batas ambang dari kadar logam berat Pb yaitu 1,0 mg/kg dalam daging atau jeroan sapi (SNI 7389:2009).

2.3.1 Risiko Cemaran Logam Berat Timbal (Pb) Pada Sapi

Logam yang telah diabsorbsi akan masuk ke dalam darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), dalam kedua organ tersebut logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalotionin. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam maupun tempat penimbunannya. Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Timbal (Pb) dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Semua spesies hewan muda lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Timbal dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus (Darmono, 2001).

Timbal adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh timbal (Pb) dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada sapi terutama yang digembalakan di daerah tercemar seperti sapi-sapi yang


(3)

8

dipelihara di TPA. Menurut (Irasanti dkk., 2012) keracunan timbal (Pb) pada ruminansia menimbulkan gejala khas sebagai berikut :

1. Gastroenteritis, hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkakan. Gerak kontraksi rumen dan usus meningkat dan terjadi diare.

2. Anemia. Hal ini akibat timbal (Pb) dalam darah berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah, terjadi gangguan sintesi Hb. Pada kasus ini sering ditemukan basofilik stipling pada sel darah, dimana hal ini menandakan terjadi keracunan.

3. Encephalopati. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler dan sel neuron pada otak.

2.4 Histopatologi Hati

Histopatologi merupakan cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Teknik pemeriksaaan histopatologi berguna untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikroanatomi. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Oleh karena itu, dengan proses diagnosis yang benar akan dapat ditentukan jenis penyakitnya sehingga dapat dipilih tindakan preventif dan kuratif. Hati merupakan organ yang berperan sebagai pusat metabolism zat makanan dan pusat detoksikasi zat racun yang masuk sirkulasi darah. Sel–sel yang


(4)

9

terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer. Lesi sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel. 1. Lesi reversible

a. Pembengkakan (radang) sel hati

Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua bentuk lesi sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan reticulum endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran lesi nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang lebar (Robbins, 2007).

b. Degenerasi

Degenerasi merupakan suatu perubahan keadaan secara fisika dan kimia dalam sel, jaringan, atau organ yang bersifat menurunkan efisiensinya. Degenerasi terjadi perubahan morfologi dan fungsi yang sifatnya irreversibel (bisa kembali menjadi normal). Degenerasi sel atau jaringan dapat diamati dari komponen komponen yang ada pada sel seperti membran sel, inti sel, dan sitoplasmanya. Degenerasi dapat dibagi menjadi


(5)

10

dua golongan yaitu pembengkakan sel dan perubahan perlemakan. Pembengkakan sel timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel. Sedangkan perubahan perlemakan bermanifestasi sebagai vakuola-vakuola lemak di dalam sitoplasma dan terjadi karena hipoksia atau bahan toksik. Perubahan perlemakan dijumpai pada sel yang tergantung pada metabolism lemak seperti sel hepatosit dan sel miokard (Sudiono, 2003)

Gambar 2.4 Pembengkakan sel hati disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang Mengalami Vakuolisasi; 2. Inti Sel Menggeser ke Tepi (Robbins, 2007).

2. Lesi Ireversibel a. Nekrosis

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik

1


(6)

11

(councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis). (Chandrasoma and Taylor, 2005).

b. Fibrosis

Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera.Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya pada hati. Faktor-faktor ini akan mengaktivasi sel yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Robbins, 2007).

c. Sirosis

Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis (Robbins, 2007).