PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI ALPUKAT DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI.

(1)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI

ALPUKAT DENGAN PROSES

TRANSESTERIFIKASI

Oleh :

1.

ULFIATI

0531010068

2.

TOTOK HERBI S.

0531010081

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

Alpukat sampai sekarang masih belum dimanfaatkan untuk yang lainnya padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty acid methyl ester sebesar 71,715% sebagai bahan pembuat biodiesel. Tujuan penelitian ini adalah membuat biodiesel dari minyak biji alpukat sehingga dapat dijadikan bahan bakar alternatif diesel dan juga memanfaatkan biji alpukat agar memiliki nilai guna yang tinggi untuk diolah menjadi biodiesel. Kondisi operasi yang dipakai adalah volume minyak 100 ml, suhu transesterifikasi ± 60oC, ratio berat NaOH terhadap minyak sebesar 1% dan kecepatan pengadukan 600rpm. Selain itu penelitian dilakukan pada ratio mol minyak terhadap methanol 1:4, 1:6, 1:8, 1:10, 1:12 dan dengan variasi waktu 5, 20, 35, 50 dan 65 menit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biodiesel minyak biji alpukat memenuhi standart sebagai bahan bakar alternative di Indonesia karena mempunyai nilai flash point antara 130oC sampai 240oC dan mempunyai nilai pour point antara -2oC sampai 9oC.


(3)

memberikan rahmat, karunia, serta kekuatan, sehingga kami selaku penulis dapat

menyelesaikan penyusunan penelitian dengan judul “PEMBUATAN

BIODIESEL DARI BIJI ALPUKAT DENGAN PROSES

TRANSESTERIFIKASI“.

Penelitian merupakan mata kuliah wajib dan diajukan sebagai usaha untuk

memenuhi salah satu persyaratan penyelesaian program pendidikan Strata Satu

(S–1) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Laporan ini dapat terselesaikan berkat bantuan petunjuk, pengalaman,

bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Melalui tulisan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Sutiyono, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Ir. Retno Dewati, MT, selaku Kepala Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur.

3. Ir.Sri Resnoyatiningsih,Mpd selaku Dosen Pembimbing Penelitian yang telah

memberikan pencerahan dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Ir. Siswanto, MS selaku Dosen Penguji I Penelitian.


(4)

Dalam menyusun penelitian ini, kami menyadari masih memiliki

kekurangan. Diharapkan kritik dan saran dari saudara sekalian memicu kami

dalam penyempurnaan yang lebih baik. Semoga semua ini bermanfaat bagi

pengetahuan kita semua. Amin ya rabbal alamin...

Surabaya, November 2010


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan energi. Kenaikan harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang besar pada perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya transportasi, biaya produksi industri dan pembangkitan tenaga listrik. Dalam jangka panjang impor BBM ini akan makin mendominasi penyediaan energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan penganekaragaman energi dengan memanfaatkan energi terbaharukan. (www.Geocities.com)

Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan,tidak mempunyai efek terhadap kesehatan yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor yang dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Bahan baku yang berpotensi sebagai bahan baku pembuat biodiesel antara lain kelapa sawit, kedelai, jarak pagar,alpukat dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.(www.Geocities.com)

Pusat penelitian kelapa sawit (PPKS) telah berhasil mengembangkan palm biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO), refined bleached deodorised palm oil (RBDPO) dan fraksi-fraksinya seperti stearin dan olein serta minyak inti sawit. Palm fatty acid destilllate (PFAD) yang merupakan hasil samping dari pabrik minyak goreng maupun minyak goreng bekas dari industri rumah tangga juga dikembangkan oleh PPKS sebagai bahan baku pembuatan palm biodiesel. (Jenny Elisabeth dan Tri Haryati,2001)


(6)

Peneliti pendahulu menggunakan minyak jarak dalam pembuatan biodiesel dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa kuat. Hasil terbaik yang diperoleh yaitu pada penambahan methanol 40% dengan katalis 0,5% - 0,6% berat NaOH. (Ahmad Baktir,2003)

Beragam penelitian mendukung penggunaan minyak biji alpukat sebagai biodiesel. The National Biodiesel Foundation (NBF) telah meneliti buah alpukat sebagai bahan bakar sejak 1994. Joe Jobe selaku direktur eksekutif NBF mengungkapkan bahwa biji alpukat mengandung lemak nabati yang tersusun dari senyawa alkil ester. Bahan ester itu memiliki komposisi yang sama dengan bahan bakar diesel, bahkan nilai cetane-nya lebih baik diibandingkan solar sehingga gas buangnya lebih ramah lingkungan. (Wahyu Hidayat,2007)

Kandungan minyak biji alpukat lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti kedelai, jarak, biji bunga matahari dan kacang tanah. Namun,kandungan minyak alpukat masih lebih rendah bila dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Pemanfaatan biji alpukat sampai sekarang hanya digunakan sebagai obat penghilang stress saja dan belum dimanfaatkan untuk yang lainnya padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty acid methyl ester sebagai bahan pembuat biodiesel. (Wahyu Hidayat,2007)

Karena alasan diatas, peneliti tertarik untuk mengembangkan dan memaanfatkan biji alpukat menjadi biodiesel dengan proses transesterifikasi. Sebab mengingat banyaknya biji alpukat yang belum dimanfaatkan dan kandungan fatty acid methyl ester dari biji alpukat itu sendiri yang berpotensi sebagai bahan bakar alternatif pembuat biodiesel.


(7)

I.2. Tujuan Penelitian

 Menetukan bahan bakar alternative baik sebagai pencampur maupun sebagai pengganti bahan bakar diesel.

 Memanfaatkan biji alpukat agar memiliki nilai guna yang tinggi untuk diolah menjadi biodiesel.

I.3. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah dengan pembuatan biodiesel dari minyak biji alpukat dapat menjadi masukkan untuk pengembangan bahan bakar alpukat pengganti solar dari minyak nabati.


(8)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Biodiesel

Biodiesel adalah sejenis bahan bakar yang termasuk kedalam kelompok bahan bakar nabati (BBN) .Bahan bakunya bsa berasal dari berbagai sumber daya nabati,yaitu kelompok minyak dan lemak (H.R Sudradjat,2008).

Biodiesel mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan bakar diesel dari minyak bumi. Bahan bakar biodiesel dapat diperbaharui. Selain itu,juga dapat memperkuat perekonomian negara dan menciptakan lapangan kerja. Biodiesel merupakan bahan bakar ideal untuk industri transportasi karena dapat digunakan pada berbagai mesin diesel,termasuk mesin-mesin pertanian.

Jika 0.4% - 5% biodiesel dicampur dengan bahan bakar diesel minyak bumi otomatis akan meningkatkan daya lumas bahan bakar. Biodiesel mempunyai rasio keseimbangan energi yang baik. Rasio keseimbangan energi biodiesel minimum 1 sampai 2.5. Artinya,untuk setiap satu unit energi yang digunakan pada pupuk,minimum terdapat 2.5 unit energi dalam biodiesel berbagai rasio. Campuran 20% biodiesel dan 60% bahan bakar diesel minyak bumi disebut dengan B2O. Campuran B2O merupakan bahan bakar alternatif yang terkenal di Amerika Serikat , terutama untuk bus dan truk. B2O mengurangi emisi,harganya relatif murah dan tidak memerlukan modifikasi mesin.(Andi Nur Alam Syah,2006)

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikas dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang.Semua bahan baku ini mengandung trigliserida, asam lemak bebas (ALB) dan zat-pencemar dimana tergantung pada


(9)

pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut. Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada ini pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan karena alkohol larut dalam minyak. Minyak nabati kandungan asam lemak bebas lebih rendah dari pada lemak hewani, minyak nabati biasanya selain mengandung ALB juga mengandung phospholipids, phospholipids dapat dihilangkan pada proses degumming dan ALB dihilangkan pada proses

refining. Minyak nabati yang digunakan dapat dalam bentuk minyak Produk biodiesel tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku seta pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut.

Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alcohol tersebut. Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trig;iserida tinggi. Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.

Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Katalis yang akan dipilih tergantung minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan ALB kurang dari 2 %, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin. Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol. Jika banyak air yang diserap oleh katalis maka kerja katalis kurang baik sehingga produk biodiesel kurang baik. Setelah reaksi selesai, katalis harus di netralkandengan penambahan asam mineral kuat. Setelah biodiesel dicuci proses netralisasi juga dapat dilakukan dengan penambahan air pencuci, HCl juga dapat dipakai untuk proses netralisasi katalis basa, bila digunakan asam phosphate akan menghasil pupuk


(10)

phosphat(K3PO4). Proses Transesterifikasi yang umum untuk membuat biodiesel dari minyak nabati (biolipid) ada tiga macam yaitu :

1. Transesterifikasi dengan Katalis Basa

2. Transesterifikasi dengan Katalis Asam Langsung

3. Konversi minyak/lemak nabati menjadi asam lemak dilanjutkan menjadibiodiesel

Hampir semua biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi dengan katalisator basa karena merupakan proses yang ekonomis dan hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah. Hasil konversi yang bisa dicapai dari proses ini adalah bisa mencapai 98%. Proses ini merupakan metode yang cukup krusial untuk memproduksi biodiesel dari minyak/lemak nabati. Proses transesterifikasi merupakan reaksi dari trigliserin (lemak/minyak) dengan bioalkohol (methanol atau ethanol) untuk membentuk ester dan gliserol.

(www.Geocities.com/markal_bppt/public)

Tabel II.2.1. Parameter biodiesel Indonesia berdasarkan SNI : 04-7182-2006

No Parameter Satuan Metode uji Nilai

1 Berat jenis pada 40oC Kg/m3 ASTM D1298 850-890 2 Viskositas kinematik

pada 40oC

mm2/s(cSt) ASTM D445 2,3-6,0

3 Flash point oC ASTM D93 Min.100

4 Pour point oC ASTM D2500 Maks 18

5 Heating value Kcal/kg ASTM D240 9321

6 Indeks setana - ASTM D613 Min. 71


(11)

II.2. Karakteristik biodiesel

Karakteristik biodiesel antara lain : 1. Densitas

Densitas dari minyak adalah perbandingan berat minyak per unit volume. Minyak dengan densitas tinggi tergolong dalam minyak berat sedangkan minyak dengan densitas rendah tergolong minyak ringan. Hal ini karena minyak sebagian beasr tersusun atas karbin dan hydrogen. Dengan demikian perbandingan karbon dan hydrogen mempengaruhi densitas juga berhubungan erat dengan kalori atau panas yang dihasilkan suatu bahn bakar, semakin tinggi densitas minyak maka nilai kalorinya semakin rendah.

2. Viskositas

viskositas adalah suatu angka yang menyatakan besarnya perlawanan atau hambatan dari suatu bahan cair untuk mengalir atau ukuran besarnya tahanan geser dari bahn cair. Makin tinggi viskositas minyak akan makin kental dan lebih sulit mengalir, demikian sebaliknya makin rendah viskositas minyak akan makin encer dan lebih mudah minyak itu mengalir. Cara mengukur besarnya viskositas adalah tergantung pada alat viscometer yang digunakan dan hasilnya (besarnya viskositas) yang didapat harus dibubuhkan nama viscometer yang digunakan serta temperatur minyak saat pengukuran. Viskositas bahan bakar minyak sangat penting artinya, terutama bagi mesin – mesin diesel maupun ketel – ketel uap. Karena viskositas minyak sangat berkaitan dengan suplai konsumen bahan bakar kedalam ruang bakar dan juga sangat berpengaruh terhadap kesempurnaan proses pengkabutan (atomizing) bahan bakar melalui injector.

3. Flash Point (Titik Nyala)

Titik nyala adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak dimana minyak akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api. Titik nyala ini diperlukan sehubungan dengan pertimbangan –


(12)

pertimbangan mengenai keamanan (safety) dari penimbunan minyak dan pengangkutan bahan bakar minyak untuk mesin diesel atau ketel uap. Bahan bakar minyak yang mempunyai titik nyala rendah, berbahaya dalam penyimpanan dan penanganan.

4. Pour Point (Titik Tuang)

Titik tuang adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak sehingga minyak tersebut masih dapat mengalir apabila didinginkan pada kondisi tertentu karena gaya gravitasi. Titik tuang ini diperlukan sehubungan dengan adanya persyaratan praktis dari prosedur penimbunan dan pemakaian dari bahan bakar minyak. Hal ini dikarenakan bahan bakar minyak sering sulit untuk dipompa, apabila suhunya telah dibawah titik tuangnya. Titik tuang juga penting untuk menstart dingin mesin dan untuk menangani minyak dalam mesin maupun saat penyimpanan.

5. Angka Cetana (Cetane Index)

Angka Cetana menunjukkan kualitas pembakaran dari bahan bakar mesin diesel yang diperlukan untuk mencegah terjadinya “diesel knock” atau suara pukulan didalam ruang bakar mesin diesel. Angka Cetana juga menunjukkan persentase Cetana didalam bahan bakar berupa campuran n-Cetana (n-C16H36) dan -methyl-naphtalene.

n-cetana adalah hidrokarbon rantai lurus yang sangat mudah terbakar sendiri dan karenanya diberi angka cetana 100, sedangkan -methyl-naphtalene adalah suatu hidrokarbon aromatik bercincin ganda yang sukar terbakar dan karenanya diberi nilai cetana nol. Angka cetana juga dapat ditentukan oleh cetana index yang dilakukan dengan cara perhitungan berdasarkan temperatur distilasi pada recovery 50% volume dan densitas dari minyak solar pada 15oC. dari distilasi tersebut juga dapat diketahui sifat kemudahan menguap suatu BBM yang disebut IBP (Initial Boiling Point) yaitu pembacaan termometer pada waktu tetesan kondesat pertama menetes. Untuk mesin diesel


(13)

yang bekerja dengan putaran rendah cukup diperlukan bahan bakar minyak dengan angka cetana yang rendah.

6. Carbon Residu (Sisa Karbon)

Carbon residu yang tertinggal pada proses pembakaran akan menyebabkan terbentuknya endapan kokas yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya operasi mesin secara normal, serta dapat menyebabkan bagian-bagian pompa injeksi bahan bakar cepat menjadi aus. Dengan demikian, semakin rendah sisa karbon, semakin baik efisiensi motor tersebut.

(Muharto,1986)

II.3. Keunggulan biodiesel

Keunggulan biodiesel antara lain :

1. Angka Cetane tinggi ( >50 ), yakni angka yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasarkan sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin. Semakin tinggi bilangan Cetane,semakin cepat pembakaran semakin baik efisiensi termodinamisnya.

2. Titik kilat tinggi, yakni termperatur terendah yang dapat menyebabkan uap biodiesel menyala, sehingga biodiesel lebih aman dari bahaya kebakaran pada saat disimpan maupun pada saat disimpan maupun pada saat didistribusikan dari pada solar.

3. Tidak mengandung sulfur dan benzene yang mempunyai sifat karsinogen, serta dapat diuraikan secara alami.

4. Menambah pelumas mesin yang lebih baik daripada solar sehingga akan memperpanjang umur pemakaian mesin.

5. Dapat dengan mudah dicampur dengan solar biasa dalam berbagai komposisi dan tidak memerlukan modifikasi mesin apapun.

6. Mengurangi asap hitam dari gas asap buang mesin diesel secara siqnifikan walaupun penambahannya hanya 5% - 10% volume biodiesel kedalam solar. ( http ://www.indeni.org/yuli-setyo-indartono/2006/09/21/mengenal biodiesel/)


(14)

II.4. Biji Alpukat

Buah alpukat termasuk dalam kelas Lauraceae yang didalamnya terdapat 15 macam spesies,umumnya tumbuh didaerah Amerika tropis. Yang membedakan buah ini dengan buah lainnya adalah kandungan lipidnya yang tinggi, dikonsumsi sebagai makanan serta sebagai bahan kosmetik dan farmasi.( Grasas y Aceites,2001)

Kandungan minyak tergantung pada sifat ekologis dan ras(keturunan),contoh ras Guatemala mempunyai kandungan minyak dari 10-13%,dan ras Mexico mempunyai kandungan minyak 15-25%(Biale and Young 1971)sedangkan buah dari Carrebian mempunyai kandungan lemak yang rendah 2,5-5%.(Hatton et al.1964).

Dalam perdagangan dunia, buah alpukat merupakan komoditas buah yang penting, volume perdagangannya menempati urutan kelima susudah jeruk, pisang, nanas, dan mangga. Pengembangan tanaman alpukat di tanah air pada era agribisnis saat ini kiranya akan dapat memberikan manfaat dan meningkatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan ekonomi, khususnya dalam usaha perbaikan kesehatan

gizi, sosial ekonomi dan lingkungan hidup. (Benidiktus Sihotang,2008). Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berukut :

Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranales

Keluarga : Lauraceae

Marga : Persea

Varietas : Persea americana Mill

Minyak biji alpukat mengandung fatty acid methyl ester yang berpotensi sebagai bahan bakar alternatif, alpukat memiliki akndungan yang cukup tinggi. Pada tabel dibawah ini menunjukkan perolehan minyak/ha lahan dari beberpa tumbuhan.


(15)

Tabel II.4.1 kandungan minyak dari beberapa tanaman

Sumber : Wahyu Hidayat,2007

Dari tabel II.4.1, dapat dilihat bahwa kandungan minyak alpukat lebih tinggi dibandingkan tanaman-tanaman seperti kedelai, jarak, bunga matahari, dan kacang tanah. Namun, kandungan minyak alpukat masih lebih rendah dibandingkan sawit. Untuk membuat minyak dari biji , alpukat disimpan dalam suhu kamar (kira-kira 28oC) hingga masak, setelah masak diambil bijinya kemudian digiling dan dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya. Setelah itu dilakukan ekstraksi untuk diambil minyaknya.( Grasas y Aceites,2001)

Tabel II.4.2 komposisi biji alpukat

Constituents Dalam (%)

Moisture Lipids Protein Abu Fibre Carbohidrat

56,04 1,87 1,95 1,87 5,10 33,17 Sumber : Pushkar S. Bora,2001

Tanaman Perolehan

[kg/ha]

Perolehan [liter/ha]

Kedelai 375 446

Jarak 1590 1892

bunga matahari 800 952

Alpukat 2217 2638

kacang tanah 890 1059


(16)

Analisa dari biji alpukat ditunjukkan pada tabel II.4.2. Kandungan karbohidrat biji alpukat sangat tinggi yaitu 33,17% tetapi memiliki kandungan lipid dan protein yang sedikit yaitu 18,7%.

Tabel II.4.3 Sifat fisik dan kimia minyak biji alpukat

Sumber : Pushkar S. Bora,2001

Tabel II.4.3 menunjukkan beberapa data dari sifat fisik dan kimia dari minyak biji yang diextraksi dengan heksan. Angka bias, specific grafity dan nilai peroksida dari minyak biji alpukat sama dengan beberapa literatur. Nilai ini sama dengan yang ditunnjukkan oleh Soares (1991) walaupun ada perbedaan yang cukup besar pada angka penyabunan minyak biji alpukat yaitu 231,6. Tanggo (1972) menunjukkan angka penyabunan 190,1. Nilai iodine 69,4 berbeda sedikit dari nilai yang ditunjukkan oleh Tanggo (1072) yaitu 99,7.

Tabel II.4.4 komposisi asam lemak bebas minyak biji alpukat. Kandungan kimia (% fatty acid)

Oleic acid Linoleic acid Palmitic acid Stearic acid Lauric acid Myristic acid 71,715 13,135 6,032 1,530 0,164 0,700

Karakteristik Minyak biji alpukat

Refractive index Specific Gravity Acid Value Peroxide value Iodine Value Saponification Value 1,4592 0,93 2,06 1,37 69,4 231,6


(17)

Palmitoleic acid Margaroleic acid

0,606 0,017

( Sumber : pramudono,2004 )

Komposisi asam lemak dari minyak biji alpukat ditunjukkan pada tabel II.4.4 Dapat dilihat bahwa kandungan asam lemak yang paling tinggi adalah oleic yaitu 71,715 sedangkan kandungan asam lemak minyak alpukat yang paling rendah adalah asam margaroleic yaitu 0,017.

II.5. Bahan baku untuk proses produksi biodiesel

a. Methanol (CH3OH)

Untuk membuat biodiesel, ester dalam minyak nabati perlu dipisahkan dari gliserol. Ester tersebut merupakan bahan dasar penyusun biodiesel. Selama proses transesterifikasi, komponen gliserol dari minyak nabati dapat digantikan oleh alkohol, baik alkohol etanol maupun metanol. Etanol merupakan alkohol yang terbuat dari padi-padian sedangkan metanol adalah alkohol yang dapat dibuat dari batu bara, gas alam atau kayu. Metanol lebih dipilih daripada etanol karena mampu memproduksi reaksi biodiesel yang lebih stabil. Namun, metanol merupakan alkohol yang agresif sehingga bisa berakibat fatal bila terminum dan memerlukan kewaspadaan yang tinggi dalam penanganannya. (Andi Nur Alam Syah,2006)

Alkohol yang paling umum digunakan untuk transesterifikasi adalah metanol karena harganya yang lebih murah dan daya reaksinya lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol yang berantai lebih panjang. Proses metanolisis berkatalis alkali dapat dilakukan pada suhu ruangan dan akan menghasilkan ester lebih dari 80% beberapa saat setelah reaksi dilangsungkan (sekitar 5 menit). Pemisahan fase ester dan gliserol berlangsung cepat dan sempurna. Berbeda dengan etanol, metanol tersedia dalam bentuk absolut yang mudah diperoleh sehingga hidrolisa dan pembentukan sabun akibat air yang terdapat dalam alkohol dapat diminimalkan.


(18)

Biaya untuk memproduksi etanol absolut cukup tinggi. Akibatnya, bahan bakar biodiesel berbasis etanol tidak berdaya saing secara ekonomis dengan metil ester asam lemak, sehingga membiarkan bahan bakar diesel fosil bertahan sendiri. Disamping itu, harga alkohol juga tinggi sehingga menghambat pengguunaanya dalam produksi biodiesel dalam skala industri. (Andi Nur Alam Syah,2006)

Sifat-sifat fisika dan kimia methanol :

 Bentuk liquid

 Warna jernih

 Mudah menguap

 Beracun

 Mudah terbakar

 s.g = 0.89

 titik didih 64.5 0C

 titik leleh -97.8 0C

 Berat molekul 32.04215

 Sangat laru dalam air

 Rumus Kimia CH3OH

 Rumus bangun H

H C O H

H

b. Natrium Hidroksida (NaOH)

Dari aspek ekonomi, proses transesterifiikasi tanpa katalis tampaknya sangat sulit karena ester yang akan dibakar dalam mesin diesel memerlikan input energi yang tinggi, waktu reaksi yang lama dan harga pasar yang rendah. Karena itu, agar hasil esternya memuaskan, produksi biodiesel secara umum perlu menggunakan katalis.


(19)

Katalis adalah suatu bahan yang digunakan untuk memulai reaksi untuk bahan lain. Katalis yang mungkin untuk reaksi biodiesel adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Natrium hidroksida biasanya disubut dengan soda api. Kalium hidroksida dapat digunakan jika natrium hidroksida tidak tersedia. Keduanya berbentuk serbuk, butiran atau pelet. Natrium dan kalium hidroksida dapat merusak kulit, mata, sumsum dan berakibat fatal jika tertelan. (Andi Nur Alam Syah,2006)

Sifat fisika Natrium Hidroksida :

 Bentuk padat

 Bewarna putih

 Melting point 318.4 0C

 Boiling point 1390 0C Sifat kimia Natrium Hidroksida :

 Rumus kimia NaOH

 Berat Molekul 39.9971

 s.g = 2.13

 Larut dalam air dingin 0 0C 42 gr/100 gr air

 Larut dalam air panas 100 0C 347 gr/100 gr air

 Hydroskopis

 Larut dalam alcohol dan glycerol

 Tidak larut dalam aceton

II.6. Glyserol

Gliserin atau gliserol merupakan produk samping yang prospektif, karena harganya lebih tinggi daripada reaktan metanol. Fasa gliserin metanol dapat dibebaskan dari sisa-sisa katalis dengan penetralan oleh asam, sehingga membentuk garam yang mengendap dan dapat dipisahkan dengan penyaringan.


(20)

Fasa gliserin metanol bebas garam selanjutnya dipanaskan untuk menguapkan metanol dan menghasilkan gliserin murni. Penjumputan (recovery) gliserin dan metanol dari fasa gliserin metanol air biasa dilakukan dengan pertama-tama menyingkirkan sisa-sisa katalis dengan pertukaran kation, mengevaporasikan air dan metanol untuk menghasilkan gliserin murni, serta mendistilasikan larutan metanol air untuk mendapat metanol murni untuk didaur ulang. (Akhirudin,2006)

Sifat Fisika :

 Warna jernih dan kuning

 Bentuk semi padat,liquid pekat

 Bau menyengat

 Rasa manis terasa hangat

 Melting point 17 0C

 Boiling point 290 0C Sifat kimia :

 s.g = 1.2653

 Rumus kimia C3H5(OH)3

 Rumus bangun

H H H

H C C C H

OH OH OH

 Larut dalam air dan alcohol

 Tidak larut dalam ester,benzene dan cloroform

II.7. Proses Pengambilan Minyak.

Ada dua metode dasar untuk memperoleh minyak dari biji, yaitu pengepresan dan ekstraksi pelarut. Proses pengepresan biasanya dilakukan dengan pengepresan hidrolik atau ulir yang digerakkan secara manual atau


(21)

dengan mesin. Proses pengepresan biasanya meninggalkan ampas yang masih mengandung 7-10% minyak. Sedangkan pada ekstraksi pelarut mampu mengambil minyak secara optimal, sehingga ampasnya kurang dari 0,1% dari berat keringnya. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut lebih efektif untuk mengambil minyak dari biji. Cairan pelarut yang biasa digunakan adalah heksana atau eter minyak bumi dengan rentang didih 60 – 70oC.

Biji atau bungkil giling umumnya tidak langsung diekstraksi karena partikel-partikelnya yang halus sering kompak sehingga mengakibatkan penyumbatan didalam bejanah ekstraksi (cairan mengekstrak tidak bisa menerobos diantara partikel-partikel padat yang diekstrak). Berdasarkan hal ini, sebelum proses ekstraksi biji atau bungkil harus diubah bentuknya menjadi serpihan (flake) agar proses ekstraksinya berlangsung lancar karena bentuk serpihan membuat padatan yang diekstrak stabil dan mudah diterobos cairan pengekstrak. (Andi Nur Alam Syah,2006).

II.8. Pemurnian Minyak

Untuk mendapatkan minyak yang bermutu baik, minyak dan lemak harus dimurnikan dari kotoran atau bahan - bahan yang terdapat didalamnya. Cara - cara pemurnian dilakukan dalam beberapa tahap :

1. Pengendapan (settling) dan pemisahan gumi (degumming), bertujuan menghilangkan partikel - partikel halus yang tersuspensi atau yang berbentuk koloidal. Pemisahan ini dilakukan dengan pemanasan uap dan adsorben, kadang kadang dilakukan centifuge. (Ketaren,1986) 2. Netralisasi dengan alkali, bertujuan memisahkan senyawa - senyawa

terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas dan hidrokarbon. Lemak dengan kandungan asam lemak bebas yang tinggi dipisahkan dengan menggunakan uap panas dalam keadaan vakum, kemudian ditambahkan alkali. Sedangkan lemak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah cukup ditambahkan NaOH atau garam NaCO3,


(22)

sehingga asam lemak ikut fase air dan terpisah dari lemaknya. (Ketaren,1986)

3. Pemucatan, bertujuan menghilangkan zat zat warna dalam minyak dengan penambahan adsorbing agent seperti arang aktif, tanah liat atau dengan reaksi reaksi kimia. Setelah penyerapan warna, lemak disaring dalam keadaan vakum. (Ketaren,1986)

II.9. Landasan Teori

Produksi biodiesel dari biji alpukat dapat dibuat melalui proses yang disebut trensesterifikasi. Transesterifikasi yaitu proses kimiawi yang memerlukan grup alkoholis pada senyawa ester dengan alkohol. Untuk mempercepat reaksi ini diperlukan bantuan katalisator berupa asam atau basa. Asam mengkatalis reaksi dengan memberikan proton yang dimilikinya kedalam grup alkoholis sehingga lebih reaktif

Proses transesterifikasi secara kimia hanya mengambil molekul trigliserida atau asam lemak kompleks, menetralisasi asam lemak besar, mengeluarkan gliserin atau ester membuat ester alkohol. Pada prakteknya bisa dilakukan dengan mencampur alcohol dengan sodium hidroksida untuk membuat sodium metoksida. Campuran ini kemudian direaksikan dengan minyak tumbuh – tumbuhan.

Terdapat 3 jenis reaksi tranesterifikasi, yaitu : 1. pertukaran gugus alcohol (alkoholis)

R1COOR2 + R3OH R1COOR3 + R2OH 2. pertukaran gugus asam (acidolysis)

R1COOR2 + R3COOH R3COOR2 + R1COOH 3. ester – ester interchange

R1COOR2 + R3COOR4 R1COOR4 + R3COOR2

Ketiga reaksi tersebut adalah reaksi kesetimbangan yang dipercepat adanya katalis asam (H2SO4 dan HCl) atau katalis basa biasanya ion

alkosida. Katalis ini digunakan dalam bentuk system anhydroses karena air dapat menghidrolisa ester. Pada prakteknya biasanya dilakukan dengan


(23)

melarutkan sejumlah natrium didalam alcohol untuk selanjutnya ditambahkan ke ester ( Groggin,1958)

Reaksi pembuatan biodiesel minyak biji alpukat dapat dinyatakan :

CH2- OOC - C18H34O2 CH2 - OH

CH - OOC - C18H34O2 + 3 CH3OH 3CH3COOC18H34O2 + CH- OH

CH2 - OOC - C18H34O2 CH2 - OH

(Triolein) (methanol) Methyl Oleat Gliserol (Biodiesel)

Transesterifikasi pada dasarnya terdiri atas 4 tahapan, yakni:

1. Pencampuran katalis alkalin (umumnya sodium hidroksida atau potassium hidroksida) dengan alkohol (umumnya methanol). Konsentrasi alkalin yang digunakan bervariasi antara 0.5 - 1 wt% terhadap massa minyak. Sedangkan alkohol diset pada rasio molar antara alkohol terhadap minyak sebesar 9:1.

2. Pencampuran alkohol+alkalin dengan minyak di dalam wadah yang dijaga pada temperatur tertentu (sekitar 40 – 60oC) dan dilengkapi dengan pengaduk (baik magnetik ataupun motor elektrik) dengan kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm - putaran per-menit). Keberadaan pengaduk sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi methanolisis secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi methanolisis ini dilakukan sekitar 1 - 2 jam.

3. Setelah reaksi methanolisis berhenti, campuran didiamkan dan perbedaan densitas senyawa di dalam campuran akan mengakibatkan separasi antara metil ester dan gliserol. Metil ester dipisahkan dari gliserol dengan teknik separasi gravitasi.


(24)

4. Metil ester yang notabene biodiesel tersebut kemudian dibersihkan menggunakan air distilat untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti methanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah sedangkan metil ester di bagian atas. (Sudrajat,2006)

5. Metil ester (biodiesel) sudah dapat diperoleh setelah 30 menit dari awal proses dan dapat dipisahkan dari gliserol yang terbentuk setelah didiamkan selama 24 jam. Biasanya gliserol akan mengendap dibagian bawah berbentuk pasta putih. Bagian atas dari larutan ini diambil lalu dibilas dengan air. Biodiesel siap digunakan. ( Unggul Priyanto,2007)

Faktor – faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan biodiesel : 1. Kandungan asam lemak bebas dan kelembaban.

Pengaruh asam lemak bebas dan air pada alkoholis dari lemak daging dan methanol telah diselidiki (Fangrui Ma,1999). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan air dari lemak daging seharusnya dijaga dibawah 0,06% berat dan kandungan asam lemak bebasnya dibawah 0,5% berat untuk mendapatkan konversi terbaik. Kandungan air adalah variabel yang lebih diperhatikan daripada asam lemak bebas. Menurut Bioscience and Bioengineering (2001) bahwa transesterifikasi tidak menghendaki adanya nitrogen dilingkungan. Reaktor terbuka ke atmosfer melalui kondensor dan oksigen larut dalam minyak yang menguap ke atmosfer ketika reaktor dipanaskan sehingga alkohol menguap memudahkan prosesnya.

Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara


(25)

agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida. (Freedman, 1984)

2. Katalisator

Fungsi katalisator adalah mengaktifkan zat pereaksi sehingga pada kondisi tertentu konstanta kecepatan reaksi bertambah besar. Untuk mempercepat reaksi katalisator yang biasanya digunakan adalah katalisator asam (misalnya asam klorida dan asam sulfat) atau katalisator basa (misalnya natrium hidroksida dan kalium hidroksida). Katalis digunakan untuk menyempurnakan reaksi dalam waktu yang singkat yaitu 30 menit pada suhu rendah 50oC. katalis yang digunakan kira-kira 0,1%. Jika konsentrasi katalis tinggi maka akan kehilangan minyak secara berlebih sebagai pembentuk sabun dan methyl ester.

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH

3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi

sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida.

3. Perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Perbandingan metanol dalam minyak juga sangat berpengaruh. Perbandingan molar biasanya antara 5 : 1 sampai 10 : 1 walaupun menggunakan metanol berlebih juga dapat mengakibatkan pemisahan gliserin. (Kulchanat Kapilakarn,2007)

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 6 : 1 dapat menghasilkan konversi 98%. Secara umum


(26)

ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6 : 1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3 : 1 adalah 74-89% dan pada 8 : 1 adalah 79-81% karena metanol yang berlebih akan mengakibatkan sulitnya pemisahan gliserol. Sisa gliserol yang masih terdapat pada biodiesel akan mengurangi kadar metill ester yang terbentuk. (Ma, Fangrui., 1999). Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

4. Suhu reaksi

Temperature mempunyai peranan yang sangat penting pada kualitas produk. Umumnya , batasan temperatur yang digunakan dalam proses adalah 50oC – 65oC. Jika temperatur lebih besar dari titik didih metanol (68oC) menyebabkan metanol akan lebih cepat menguap sedangkan jika temperatur dibawah 50oC menyebabkan viscositas biodiesel tinggi. (Kulchanat Kapilakarn,2007)

Menurut Brackman dkk temperatur transesterifikasi terjadi mengikuti suhu didih metanol (60 - 70oC), sedangkan Korus Roger A menyatakan bahwa temperatur yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konversi maksimum dan bahwa kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan tercapainya fasa homogen antara minyak dengan alkohol.

(Rita Arbianti,2008)

5. Waktu reaksi

Waktu reaksi mempengaruhi konsentrasi dari methyl ester, konsentrasinya meningkat setelah 5 – 60 menit sedangkan konsentrasi dari minyak nabati dan gliserol sedikit menurun. (Kulchanat Kapilakarn,2007)

Kecepatan konversi meningkat dengan waktu reaksi (Fangrui Ma,1999). Alkoholis yang termasuk dalam ineteresterifikasi dapat dilakukan dengan pemanasan minyak/lemak pada suhu yang relatif


(27)

tinggi <200oC selama waktu yang lama. Katalis digunakan untuk menyempurnakan reaksi dalam waktu yang singkat misalnya 30 menit pada suhu rendah 50oC. Katalis yang digunakan kira-kira 0,1%. Jika konsentrasi katalis tinggi maka akan kehilangan minyak secara berlebih sebagai pembentuk sabun dan methyl ester. Darnoko D menyimpulkan bahwa waktu reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi metil ester yang dihasilkan. (Rita Arbianti,2008)

II.10. Hipotesa

Minyak biji alpukat mengandung fatty acid methyl esters yang berpotensi sebagai bahan bakar alternatif: avocado biodiesel. Alpukat memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi Minyak alpukat bisa dibuat biodiesel dengan proses tranesterifikasi dengan katalis methanol dan NaOH.


(28)

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1. Bahan – Bahan

Bahan utama dari penelitian ini ialah biji alpukat yang diperoleh dari penjual jus alpukat didaerah sekitar kampus UPN “VETERAN” JATIM. Sedangkan untuk bahan lain diperoleh dari toko kimia Bratachem,jalan tidar surabaya.

Bahan-bahan yang lain,yaitu:

 Aquades

 Methanol (CH3OH) 96%  Natrium Hidroksida (NaOH).

 Asam Fosfat (H3PO4) 85%  N-Hexane

III.2. Alat dan Susunan alat Alat yang digunakan


(29)

Gambar 3.2 Peralatan Distilasi


(30)

III.3. Variabel yang dijalankan. 1. Variabel tetap

 Volume minyak : 100 ml

 Suhu transesterifikasi : ± 60oC

 Kecepatan pengadukan : 600 rpm

 Konsentrasi NaOH : 1 % 2. Peubah

 Perbandingan molar metonol dan minyak : 4:1 , 6:1 , 8:1 , 10:1

dan 12:1


(31)

III.4. Skema penelitian

Di jemur di bawah sinar matahari 2 – 3

hari Pengecilan

partikel ± 1 cm

Ekstraksi n-hexane 60oC,2jam

Minyak biji alpukat kasar Bungkil / ampas

Degumming 90oC,30menit

Minyak biji alpukat Distilasi

Gum padat Biji alpukat


(32)

Diagram proses transesterifikasi :

Minyak Biji Alpukat

Pencampuran dan pemanasan ±600C

Pengadukan 600 rpm sampai variabel waktu yang telah ditentukan

Pencucian biodiesel dengan air panas 2 atau 3 kali

Biodiesel

Diamkan selama 24 jam sampai terbentuk 2 lapisan

Biodiesel Giserol

Perbandingan molar methanol dan minyak + NaOH

Air

Analisa flash point dan pour point


(33)

III.5. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian meliputi tahap persiapan dan tahap percobaan. Tahap persiapan yaitu pengambilan minyak biji alpukat dengan cara pengecilan partikel, ekstraksi, distilasi dan degumming , sedangkan tahap percobaan adalah transesterifikasi.

III.6. Prosedur Penelitian

1. Proses pengecilan partikel

Biji alpukat dikeringkan dibawah sinar matahari selama 2 – 3 hari setelah itu dipotong kecil-kecil ± 1 cm.

2. Ekstraksi dengan hexane

Biji alpukat yang telah berukuran kecil dikeringkan selama 24 jam kedalam oven. Setelah kering biji ditimbang sebanyak 50gram ditambahkan 250ml hexane diekstraksi selama 2 jam dengan suhu 60oC kemudian disaring.

3. Distilasi

Campuran minyak biji alpukat dan hexane kemudian didistilasi pada suhu 70oC (titik didih hexane). Didapat minyak biji alpukat kasar,sedangkan n-hexane bisa dipakai buat ekstraksi lagi. 4. Proses Deguming

Minyak biji alpukat kasar ditambahkan asam fosfat 0,2% dari berat minyak kemudian dipanaskan pada suhu 90oC sambil diaduk sampai munhcul warna hitam dibawah campuran. Pisahkan dan ambil bagian atas.

5. Proses Transesterifikasi

 Masukkan minyak biji alpukat kemudian tambahkan methanol dan NaOH sesuai variable yang ditentukan.

 Panaskan sampai suhu ± 60oC kemudian diaduk dengan kecepatan 600rpm selama waktu yang ditentukan.


(34)

 Setelah mencapai waktu yang diinginkan, larutan didinginkan sampai suhu kamar selama 24 jam.

 Setelah larutan dingin, terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan atas (biodiesel) dan lapisan bawah ( sisa pereaksi dan gliserol ). Lapisan tersebut dipisahkan dengan menggunakan corong pemisah.

 Lapisan atas dari larutan ini dibilas dengan air pan.as sebanyak 2 atau 3 kali.Lalu dipisahkan dengan air

 Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa kandungan biodiselnya. III.7. Analisis Hasil


(35)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini berupa methyl ester (biodiesel) yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti minyak solar. Untuk itu perlu dilakukan analisa terhadap karakteristif biodiesel. Analisa yang dilakukan meliputi :

1. Flash Point. 2. Pour Point.

Pada penelitian ini, proses yang dilakukan adalah reaksi transesterifikasi tanpa melalui reaksi eksterifikasi karena dalam pengujian kandungan FFA yang telah dilakukan, dihasilkan kandungan FFA sebesar 1,55%. Syarat untuk melakukan transesterifikasi adalah kandungan FFA dalam minyak harus < 2 %. Jika kandungan FFA > 2 % maka perlu dilakukan proses eksterifikasi sebelum melakukan tahap transesterifikasi (Ramandhas et al,2004).

IV.1. Hasil Karakteristik Biodiesel Dan Pembahasan IV.1.1. Flash Point (Titik Nyala)

Flash point adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api. Nilai flash points ini didapat dengan menggunakan alat ASTM D-925.


(36)

Tabel IV-1. Flash point dari berbagai waktu dan perbandingan molaritas methanol dan minyak

Perbandingan Molaritas Methanol dan minyak

Waktu (menit)

Flash Point (oC)

1:4 5 20 35 50 65 240 190 180 170 175 1:6 5 20 35 50 65 230 180 170 175 160 1:8 5 20 35 50 65 220 180 170 175 160 1:10 5 20 35 50 65 200 175 155 150 160 1:12 5 20 35 50 65 197 170 155 140 130


(37)

0 50 100 150 200 250 300

1:02 1:04 1:06 1:08 1:10 1:12 1:14

Fl

a

sh

 

P

o

in

t

 

(

oC

)

Ratio Molar

flash point batas minimum

Gambar IV.1 Hubungan antara Flash Point dan Ratio Molar

Dari gambar IV.1 menunjukkan bahwa nilai titik nyala (flash point) tertinggi terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 4 yaitu 240oC. Sedangkan nilai flash point terendah terdapat pada ratio molaritas terhadap minyak 1 :12 yaitu sebesar 197oC. Dari hasil analisa diperoleh flash point sebesar 197 oC – 240oC, ini menunjukkan bahwa nilai flash point biodiesel minyak biji alpukat telah memenuhi standart biodiesel di Indonesia karena berada diatas batas minimal suhu flash point biodiesel di Indonesia, yaitu minimal suhu 100oC. Hal tersebut tentunya baik karena menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai flash pointnya maka bahan bakar tersebut lebih aman karena tidak mudah terbakar.

IV.1.2 Pour Point (Titik Beku)

Pour point adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak sehingga minyak tersebut masih dapat mengalir karena gravitasi. Nilai pour points ini didapat dengan menggunakan alat ASTM D-97.


(38)

Tabel IV-1. Pour point dari berbagai waktu dan perbandingan molaritas methanol dan minyak.

Perbandingan molaritas methanol dan minyak

Waktu (menit)

Pour Point (oC)

1:4 5 20 35 50 65 9 8 8 4 5 1:6 5 20 35 50 65 7 6 7 5 4 1:8 5 20 35 50 65 8 6 7 3 2 1:10 5 20 35 50 65 6 5 5 2 -1 1:12 5 20 35 50 65 4 3 3 1 -2


(39)

‐5 0 5 10 15 20

1:02 1:04 1:06 1:08 1:10 1:12 1:14

p

o

u

r

 

P

o

in

t(

oC

)

Ratio Molar

pour point batas maksimal

Gambar IV.2 Hubungan antara Pour Point, Ratio Molar dan waktu

Dari gambar IV.2 menunjukkan bahwa hasil pengujian titik tuang (pour point) terbaik diperoleh pada ratio molar terhadap minyak 1 : 12 yaitu sebesar -2oC. Sedangkan nilai pour point terendah diperoleh pada ratio molar 1 : 4 yaitu 5oC. karena semakin rendah nilai pour pointnya maka akan semakin baik karena mengurangi kecenderungan biodiesel untuk membeku pada temperature rendah. Dari hasil penelitian diperoleh nilai pour point sebesar -2oC sampai 5oC, ini menunjukkan bahwa nilai pour point biodiesel minyak biji alpukat telah memenuhi standart biodiesel di Indonesia karena berada dibawah batas maksimal suhu pour point biodiesel di Indonesia, yaitu maksimal suhu 18oC.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

1. Biodiesel dari minyak biji alpukat diperoleh dengan proses transesterifikasi. Dari hasil pengujian flash point dan pour point didapat bahwa biodiesel dari minyak biji alpukat memenuhi standart sebagai bahan bakar alternatif.

2. Hasil pengujian titik nyala (flash point) terbaik terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 4 pada waktu 5 menit sedangkan hasil pengujian titik tuang (pour point) terbaik terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 12 pada waktu 65 menit.

3. Pada ratio molar yang memberikan konversi maksimal ternyata tidak mempunyai nilai flash point dan pour point yang terbaik.

V.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya pencampuran antara katalis NaOH dengan metanol serta kecepatan pengadukan harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi proses transesterifikasi.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Nur Alam Syah , 2005, “ Biodiesel Jarak Pagar ”, PT Agromedia Pustaka : Tangerang

Unggul Priyanto , 2007, “ Menghasilkan Biodiesel Jarak Pagar Berkualitas” , PT Agromedia Pustaka : Tangerang.

Sudradjat, 2006 , “ Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar ” , Penebar Swadaya : Jakarta.

Tilani Hamid S., Rachman Yusuf. , 2002, “ Preparasi Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Kelapa Sawit ” http://makara-teknologi.org/biodiesel.mi

ke_html,2002.

Tilani Hamid S., Andi Tryanto , 2003 , “ Pembuatan Biodiesel Dari minyak kelapa” , http://makara-teknologi.org/biodiesel.mi ke_html,2002.

Bambang P., Septian Adri W., Wawan R. , 2008 , “ Pengambilan Minyak biji Alpukat Menggunakan Pelarut N-Hexane Dan Iso Propil Alkohol ” , Martini Rahayu , 2005 ” Teknologi Proses Produksi Biodiesel ”, www.Geocities.com/markal_bppt/public

http://arhidayat.staff.uii.ac.id/2008/08/09/biodiesel-untuk-pemenuhan-sumber-energi/

http:// www.chemicalland21.com/industrialchem/inorganik/phosphoric acid.htm http://www.indeni.org/yuli-setyo-indartono/ 2006/09/21/mengenal-biodiesel/ http://www.sekolah-kita.net/tahu.php?aksi=detail&iden=38


(1)

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur Perbandingan Molaritas

Methanol dan minyak

Waktu (menit)

Flash Point (oC)

1:4 5 20 35 50 65 240 190 180 170 175 1:6 5 20 35 50 65 230 180 170 175 160 1:8 5 20 35 50 65 220 180 170 175 160 1:10 5 20 35 50 65 200 175 155 150 160 1:12 5 20 35 50 65 197 170 155 140 130


(2)

Pembuatan Biodiesel dari Biji Alpukat

dengan proses Transesterifikasi 33

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur 0

50 100 150 200 250 300

1:02 1:04 1:06 1:08 1:10 1:12 1:14

Fl

a

sh

 

P

o

in

t

 

(

oC

)

Ratio Molar

flash point batas minimum

Gambar IV.1 Hubungan antara Flash Point dan Ratio Molar

Dari gambar IV.1 menunjukkan bahwa nilai titik nyala (flash point) tertinggi terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 4 yaitu 240oC. Sedangkan nilai flash point terendah terdapat pada ratio molaritas terhadap minyak 1 :12 yaitu sebesar 197oC. Dari hasil analisa diperoleh flash point sebesar 197 oC – 240oC, ini menunjukkan bahwa nilai flash point biodiesel minyak biji alpukat telah memenuhi standart biodiesel di Indonesia karena berada diatas batas minimal suhu flash point biodiesel di Indonesia, yaitu minimal suhu 100oC. Hal tersebut tentunya baik karena menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai flash pointnya maka bahan bakar tersebut lebih aman karena tidak mudah terbakar.

IV.1.2 Pour Point (Titik Beku)

Pour point adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak sehingga minyak tersebut masih dapat mengalir karena gravitasi. Nilai pour points ini didapat dengan menggunakan alat ASTM D-97.


(3)

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur Perbandingan molaritas

methanol dan minyak

Waktu (menit)

Pour Point (oC)

1:4 5 20 35 50 65 9 8 8 4 5 1:6 5 20 35 50 65 7 6 7 5 4 1:8 5 20 35 50 65 8 6 7 3 2 1:10 5 20 35 50 65 6 5 5 2 -1 1:12 5 20 35 50 65 4 3 3 1 -2


(4)

Pembuatan Biodiesel dari Biji Alpukat

dengan proses Transesterifikasi 35

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur

‐5 0 5 10 15 20

1:02 1:04 1:06 1:08 1:10 1:12 1:14

p

o

u

r

 

P

o

in

t(

oC

)

Ratio Molar

pour point batas maksimal

Gambar IV.2 Hubungan antara Pour Point, Ratio Molar dan waktu

Dari gambar IV.2 menunjukkan bahwa hasil pengujian titik tuang (pour point) terbaik diperoleh pada ratio molar terhadap minyak 1 : 12 yaitu sebesar -2oC. Sedangkan nilai pour point terendah diperoleh pada ratio molar 1 : 4 yaitu 5oC. karena semakin rendah nilai pour pointnya maka akan semakin baik karena mengurangi kecenderungan biodiesel untuk membeku pada temperature rendah. Dari hasil penelitian diperoleh nilai pour point sebesar -2oC sampai 5oC, ini menunjukkan bahwa nilai pour point biodiesel minyak biji alpukat telah memenuhi standart biodiesel di Indonesia karena berada dibawah batas maksimal suhu pour point biodiesel di Indonesia, yaitu maksimal suhu 18oC.


(5)

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

1. Biodiesel dari minyak biji alpukat diperoleh dengan proses transesterifikasi. Dari hasil pengujian flash point dan pour point didapat bahwa biodiesel dari minyak biji alpukat memenuhi standart sebagai bahan bakar alternatif.

2. Hasil pengujian titik nyala (flash point) terbaik terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 4 pada waktu 5 menit sedangkan hasil pengujian titik tuang (pour point) terbaik terdapat pada ratio molar terhadap minyak 1 : 12 pada waktu 65 menit.

3. Pada ratio molar yang memberikan konversi maksimal ternyata tidak mempunyai nilai flash point dan pour point yang terbaik.

V.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya pencampuran antara katalis NaOH dengan metanol serta kecepatan pengadukan harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi proses transesterifikasi.


(6)

Pembentukan Biodiesel

dengan Transesterifikasi Minyak Ikan

Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri – UPN “Veteran” Jawa Timur

DAFTAR PUSTAKA

Andi Nur Alam Syah , 2005, “ Biodiesel Jarak Pagar ”, PT Agromedia Pustaka : Tangerang

Unggul Priyanto , 2007, “ Menghasilkan Biodiesel Jarak Pagar Berkualitas” , PT Agromedia Pustaka : Tangerang.

Sudradjat, 2006 , “ Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar ” , Penebar Swadaya : Jakarta.

Tilani Hamid S., Rachman Yusuf. , 2002, “ Preparasi Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Kelapa Sawit ” http://makara-teknologi.org/biodiesel.mi

ke_html,2002.

Tilani Hamid S., Andi Tryanto , 2003 , “ Pembuatan Biodiesel Dari minyak kelapa” , http://makara-teknologi.org/biodiesel.mi ke_html,2002.

Bambang P., Septian Adri W., Wawan R. , 2008 , “ Pengambilan Minyak biji Alpukat Menggunakan Pelarut N-Hexane Dan Iso Propil Alkohol ” , Martini Rahayu , 2005 ” Teknologi Proses Produksi Biodiesel ”, www.Geocities.com/markal_bppt/public

http://arhidayat.staff.uii.ac.id/2008/08/09/biodiesel-untuk-pemenuhan-sumber-energi/

http:// www.chemicalland21.com/industrialchem/inorganik/phosphoric acid.htm http://www.indeni.org/yuli-setyo-indartono/ 2006/09/21/mengenal-biodiesel/ http://www.sekolah-kita.net/tahu.php?aksi=detail&iden=38