IMPLIKASI PEMBATALAN PERDA TERHADAP KETEPATAN PROPORSI TEORI PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
12 IMPLIKASI PEMBATALAN PERDA TERHADAP KETEPATAN PROPORSI
TEORI PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Fat khurohman
Fakult as Hukum Universit as Widyagama Malang E-mail:
Abst r act
Af t er t he abr ogat i on of a l ocal r egul at ion made by t he cent r al gover nment , t he l ocal gover nment
may make a legal ef f or t cal l ed an ‘ obj ect ion” mechani sm. In t he on hand, t he obj ect ion made by t he
l ocal gover nment shows t hat a l aw enf or cement may be wel l made. On t he ot her hand, an uncl ear
concept of l aw enf or cement ar i ses. It i s due t o t he f act t hat t he subst ance of t he 2004 Law no. 4
ar t i cle 10 on t he Just i ce Power mer el y r egul at es 4 (f our ) mat et r s namel y: Gener al Just i ce, Rel i gi on
Just i ce, Mi l i t ar y Just i ce and St at e Admini st r at ive Jut si ce. Ther ef or e, any disput e on any deci sion on
l ocal r egul at i on abr ogr at i on act ual l y i s not incl uded i n t he f our t h cat egor y i n t he concer ned j ust i ce
envi r onment . Ef f or t s t hat may be made i s t o add aut hor i t ies t o t he Supr eme Cour t by ar r anging
j ust i ce i nst it ut ion t hat handl e any local r egul at ion di sput e, opt imi zi ng execut ive r evi ews and
appl yi ng j udi ci al r eviews. Fr om st r eaml ini ng impr oper t heor ies of t he sol ut ion on t he di sput e of
Local Regul at ion abbr ogat ion t hr ough t he Supr eme Cour t , t o f i nd out a way out i s a necessi t y in
or der t o avoi d any legal uncer t ai nt y.Key wor ds: Local r egul at i on, l ocal r egul at i on abbr ogat i on, obj ect ion mechani sm
Abst rak
Pasca pembat alan Perat uran Daerah oleh Pemerint ah Pusat , daerah dapat mengaj ukan upaya hukum yang disebut dengan mekanisme “ keberat an” . Disat u sisi, keberat an Pemerint ah menunj ukan bahwa penegakan hukum bisa dij alankan dengan baik, namun di sisi lain t ernyat a dihadapkan oleh belum j elasnya konsep penegakan hukum. Hal ini t erj adi karena berdasarkan subt ansi Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman hanya mengat ur 4 (empat ) hal yakni; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er dan Peradilan Tat a Usaha Negara. Dengan demikian bahwa sengket a at as Keput usan pembat alan Perda sebenarnya t idak t ermasuk dalam kat egori keempat di lingkungan peradilan dimaksud. Upaya yang bisa dilakukan adalah menambah kewenangan MA dengan menat a kelembagaan peradilan yang menangani sengket a perda, opt imalisasi eksekut if review dan penerapan j udicial preview. Berangkat dari pelurusan t eori yang kurang t epat at as penyelesaian sengket a pembat alan Perda melalui Mahkamah Agung adalah suat u menj adi suat u keniscayaan unt uk dicarikan j alan keluar agar t idak menimbulkan ket idakpast ian hukum. Kat a kunci : Perat uran Daerah, pembat alan perda, mekanisme keberat an
Pendahuluan capai dengan lebih menit ik berat kan pada
Dalam penanganan set iap perkara at au kekuat an hukum mat eriil j ika dibandingkan de- persoalan hukum bisa dipast ikan mengede- ngan f ormil. Di sinilah kebebasan hakim dalam pankan prinsip adanya kepast ian hukum. Ut uk menimbang rasa keadilan yang hendak diput us- mewuj udkan kepast ian hukum t ersebut , dasar nya menj adi amat t erasa, sedangkan, ket ent u- pij akannya selalu mengarah pada ket ent uan hu- an hukum f ormal t idak j arang diabaikan karena kum f ormal melalui proses peradilan. Tuj uan memang disadari bet ul bahwa kepast ian hukum ut ama dalam proses peradilan adalah adanya bukanlah segalanya. Kepast ian hukum hanyalah
1
keadilan sebagai t uj uan akhir yang hendak di- suat u j alan menuj u t ercipt anya keadilan . Me-
Art ikel ini merupakan art ikel hasil penel it ian dengan 1 Thomas Aquinas f il suf Besar abad pert engahan menya- Skim Penel it i an Fundament al DIKTI, Kemdikbud 2011
Impl ikasi Pembat al an Perda t erhadap Ket epat an Propor si Teori Penegakan …
bert ent angan dengan kepent ingan umum, at au mengganggu ket ent ra- man dan ket ert iban
Berl aku, Kompas, Jumat , 24 Agust us 2012 6 Umbu Lil y Pekuwal i, “ Eksi st ensi Per da dal am Mewuj ud- kan Kesej aht eraan Masyarakat ” , Jur nal Yust i si a FH Uni versit as Sebel as Maret Sur akart a, Edisi Nomor 79,
kan ol eh Pembuat an Per da it u sendiri. Banyak dar i Per - da t ersebut di buat dengan semangat ot onomi daerah yang t inggi dan berl ebihan sehingga menci pt akan aro- gansi kekuasaan Daerah yang menj ur us kepada kedau- l at an daer ah dan sebagai aki bat nya perda-perda t erse- but di buat t anpa memperhat ikan l agi berbagai per at u- ran perundang-undangan yang ada di pusat . Lihat dal am Saf ri Nugraha, “ Probl emat ika Dal am Penguj ian dan Pembat al an Per da Ol eh Pemeri nt ah Pusat ” , Jur nal Hu- kum Bi sni s, Vol 23-No. 1-Tahun 2004. hl m. 29 5 Paj ak Ret r ibusi, Perat uran daerah Ber masal ah Tak
bagaimana seharusnya menyelesaikan sengket a ant ara Pemerint ah Pusat dengan Pemerint ah Daerah melalui proporsi t eori penegakan hukum yang benar. Tanpa langkah ini maka ke depan j elas akan menyebabkan kesalahan f undamen- t al dalam penerapan hukum f ormal (hukum acara), bahkan menj adi keniscayaan unt uk di- 4 Perda per da yang di bat al kan ol eh Pusat j uga di sebab-
gr and t eor y yang t erbent uk selama ini t ent ang
Berdasarkan penelit ian t erdahulu dit emu- kan bahwa ada upaya hukum bagi daerah ket ika Perda dibat alkan oleh Pemerint ah Pusat , yakni melalui keberat an melalui Mahkamah Agung. Namun set elah dit elit i lebih lanj ut t ernyat a mekanisme ini menyalahi kelaziman penegakan hukum. Hal ini dikarenakan set elah penelit i mencermat i subt ansi Pasal 10 UU Nomor 4 Ta- hun 2004, t enyat a dalam sist em peradilan di Indonesia hanya mengenal adanya Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er, dan Peradilan Tat a Usaha Negara, maka sengket a at as Keput usan Pembat alan Perat uran Daerah, sebenarnya t idak t ermasuk dalam kat egori ke- empat lingkungan peradilan dimaksud. At as da- sar perist iwa ini maka t erj adi kerancuan t eori penegakan hukum khususnya masalah kompe- t ensi penyelesaian sengket a yang seharusnya t idak melalui Mahkamah Agung. Persoalan pe- nyelesaian sengket a ant ara pemerint ah pusat dengan Pemerint ah Daerah t elah menyalahi
6 .
. Selain it u j uga mengham- bat upaya upaya upaya memperbaiki perekono- mian daerah
5
4
13
ngan at uran di at asnya,
Dr . Sat j i pt o Rahar dj o, Bandung: Cit r a Adi t ya Bakt i , hl m. 197-208 3 Fat khurohman , 2009, “ Pengaruh Ot onomi daerah Terhadap Hubungan Pemda di bidang Regul asi Unt uk menangani Per da Ber masal ah (St udi di Kabupat en Mal ang)” , Junal Hukum Yust i si a, FH UNS Surakart a,
III Okt ober 2005 2 B. Arief Sidhart a, 2000, Waj ah hukum di er a Ref or masi : kumpul an Kar ya Il mi ah Menyambut 70 Tahun Pr of .
hukum. Keadil an adal ah j iwa hukum. Sebagai konse- kwensi l ogis, hukum yang t idak adil t i dak perl u dipat u- hi, cr it er ia keadil an yang t er pent ing adal ah hukum kodrat . Dal am Al . Andang L. Binaw an, 2005, “ Merunut Logika Legisl asi ” , Jent er a Jur nal Hukum, Edisi 10-Tahun
Menurut ket erangan Kepmendagri t er-ba- ru, bahwa sepanj ang Tahun 2009-2012 Kemen- dagri t elah mengevaluasi sekit ar 13. 000 perda dimana sebanyak 824 perda t elah diklasif ikasi
. Hal ini disebabkan oleh sist em peradilan Indonesia belum mengat ur pe- nyelesaian sengket a Perda khususnya dalam lingkup kewenangannya. Inilah yang menurut penelit i t erj adi kesalahan proporsi t eori pene- gakan hukum dalam sist em peradilan di In- donesia. Selanj ut nya dalam sist em peradilan di Indonesia memang secara f akt ual belum me- ngenal sebuah peradilan yang khusus menanga- ni sengket a perat uran daerah. Kej adiannya adalah sebuah upaya unt uk menghindari keko- songan hukum, sehingga penyelesaiannya lebih bersif at t ent at if . Mengingat persoalan pemba- t alan perda t elah menj adi “ bencana nasional perundang-undangan” maka perlu segera dise- lesaikan secara cepat agar t idak menimbulkan ket idakpast ian hukum.
3
Pemerint ah Pusat ada ruang bagi dunia per- adilan (yudikat if ) diberi kekuasaan unt uk me- nyelesaikan. Namun dalam penelit ian yang di- lakukan oleh Fat khurohman pada 2009 t ernyat a model penyelesaian melalui peradilan ini diang- gap t idaklah t epat
nurut B. Arief Sidhart a, hakim pada wakt u mempert imbang-kan put usan yang akan diam- bilnya, selain mempert imbangkan kenyat aan kemasyarakat an, j uga harus mengacu cit a hu- kum yang berint i pada keadilan, kepast ian hu- kum dan predikbilit as demi mewuj udkan ket er- t iban berkeadilan.
2 Pada persoalan pembat alan Perda oleh
14 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 13 No. 1 Januari 2013
kan dalam sist em hukum di Negara Republik In- donesia.
t iga kegunaan. Per t ama, menj elaskan, t eori hukum dilaksanakan dengan cara menaf sirkan sesuat u art i/ pengert ian, sesuat u syarat at au 9
9 Ada
Adapun dilihat dari sisi t at a hukum Indo- nesia t eori ilmu hukum bert uj uan unt uk men- j elaskan kej adian-kej adian dalam bidang hu- kum dan mencoba unt uk memberikan penilai- an. Menurut Radburch t ugas dari t eori hukum post ulat hukum sampai kepada dasar-dasar f ilsaf at yang paling dalam. Teori hukum meru- pakan kelanj ut an dari usaha unt uk mempela- j ari hukum posit if . Teori hukum menggunakan hukum posit if sebagai bahan kaj ian dengan t elaah f ilosof is sebagai salah sat u sarana ban- t uan unt uk menj elaskan t ent ang hukum.
Agar proporsi t eori penegakan hukum pada masalah ini menj adi t epat maka diperlu- kan sebuah rekonst ruksi t eori. Secara harf iah rekonst ruksi t eori adalah pengembalian sepert i semula, sedangkan menurut kamus Besar Baha- sa Indonesia (KBBI), t eori adalah: a). Pendapat yg didasarkan pada penelit ian dan penemuan, didukung oleh dat a dan argument asi; b). Pe- nyelidikan eksperiment al yg mampu menghasil- kan f akt a berdasarkan ilmu past i, logika, met o- dologi, argument asi; c). Asas dan hukum umum yang menj adi dasar suat u kesenian at au ilmu penget ahuan; d). Pendapat , cara, dan at uran unt uk melakukan sesuat u. Disi lain j uga diart i- kan sebagai sebuah sist em konsep abst rak yang mengindikasikan adanya hubungan diant ara konsep-konsep t ersebut yang membant u kit a memahami sebuah f enomena, sehingga bisa di- kat akan bahwa suat u t eori adalah suat u kerang- ka kerj a konsept ual unt uk mengat ur penget a- huan dan menyediakan suat u cet ak biru unt uk melakukan beberapa t indakan selanj ut nya.
Pembahasan Perlunya Ket epat an Proporsi Teori Penegakan Hukum pada Pembat alan Perda dalam Sist em Peradilan di Indonesia
dengan analisis kualit at if dan hasilnya dipapar- kan dalam bent uk deskript if .
7 Selanj ut nya dikat akan sebagai bukt i
Daer ah dal am sist em Hukum di Negara Republ ik Indo- nesi a” , Jur nal Legi sl asi Daer ah, DPRD` Provinsi Jat im, Edisi II Tahun 2010. hl m. 1 8
Pengumpulan dat a penelit ian akan dila- kukan dengan menggabungkan ant ara st udi do- kumen, observasi dan dept h i nt er view. Dengan dat a diharapkan akan memperoleh ket erang- an-ket erangan obyekt if realist is dari sumber dat a yang dit uj u. Obyekt ivit as dan kemurnian dat a akan sangat mempengaruhi validit as t e- muan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kualit as hasil penelit ian. Mengingat sasaran da- t a bersif at yuridis, maka analisis dat a dilakukan 7 Mar ia Fari da Indr art i S, 2010, “ Kedudukan Per at uran
Jenis penelit ian ini adalah yuridis empi- ris ( empir i c l egal r esear ch). Lokasi yang diam- bil pada penelit ian ini adalah Pemerint ah Kot a Kabupat en Malang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kot a Malang, dan Depart emen Dalam Negeri. Dat a yang diperlukan dalam penelit ian ini adalah dat a primer dan dat a sekunder.
Met ode Penelitian
Agar mendapat sebuah sist emat ika ber- pikir yang runt ut , maka penulis akan melaku- kan penelit ian ini dengan menyandarkan 2 (dua) masalah. Per t ama, mengapa diperlukan ket epat an proporsi t eori penegakan hukum pada pembat alan Perda dalam sist em peradi- lan di Indonesia. Kedua, t eori apa yang t epat unt uk meluruskan penerapan t eori penegakan hukum pada pada pembat alan Perda dalam sist em peradilan di Indonesia.
Permasalahan
t erhadap persoalan t ersebut di at as adalah pe- nulis gambarkan pada bagan di bawah ini.
bahwa perda bagian dari sist em hukum di In- donesia, bisa dilihat dalam berbagai produk hukum mulai dari Tap MPR No III Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 t ent ang Pembent ukan Perat uran Perundang-undangan.
8 Langkah-langkah unt uk mencari j alan keluar
Impl ikasi Pembat al an Perda t erhadap Ket epat an Propor si Teori Penegakan …
15
unsur sahnya suat u perist iwa hukum, dan hi- rarkhi kekuat an perat uran hukum). Kedua, menilai, t eori hukum digunakan unt uk menilai suat u perist iwa hukum.
Ket i ga, memprediksi,
t eori hukum digunakan unt uk membuat perki- raan t ent ang sesuat u yang akan t erj adi. Tuj u- an t eori hukum menurut Hans Kelsen adalah sebagai berikut . Per t ama, t uj uan t eori hukum adalah unt uk mengurangi kekacauan dan ke- maj emukan menj adi kesat uan. Kedua, t eori hukum merupakan ilmu penget ahuan menge-nai hukum yang berlaku, bukan mengenai hu-kum yang seharusnya. Ket i ga, hukum merupa-kan ilmu penget ahuan normat if , bukan ilmu alam.
Keempat , t eori hukum sebagai t eori t ent ang
norma-norma, t idak ada hubungannya dengan
Bagan 1: Desain Pencarian Ket epat an Proporsi Teori
Pembat alan Perda Sist em peradilanIndonesia Tidak mengenal Pembat alan Perda Menyalahi t eori penegakan hukum Alt ernat ive
Penyelesaian Menambah kewenangan baru Mahkamah Agung
Menj adi sengket a int ernal Sist em peradilan Indonesia
Lit igasi Non Lit igasi
Mahkamah Agung Judicial Preview
Eksekut if Review Penambahan Kewenangan
16 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 13 No. 1 Januari 2013
daya kerj a norma-norma hukum . Kel i ma, t eori Gambaran t ersebut t it ik krusial t eori ada hukum adalah f ormal, suat u t eori t ent ang cara pada peranan Mahkamah Agung unt uk menye- menat a, mengubah isi dengan cara yang khu- lesaikan persoalan ” keberat an” pemerint ah
Keenam, hubungan ant ara t eori hukum dan sus.
daerah ket ika perda dibat alkan oleh pemerin- sist em yang khas dari hukum posit if adalah hu- t ah pusat . Menurut subt ansi Pasal 10 UU No 4. bungan apa yang mungkin dengan hukum yang Tahun 2004, t enyat a dalam sist em peradilan di
10 ada.
Indonesia hanya mengenal adanya peradilan Dari beberapa pengert ian di at as maka umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er, dan melalui pendekat an hukum rekont ruksi t eori Peradilan Tat a Usaha Negara, maka seng-ket a ini adalah bert uj uan unt uk mengembalikan t eo- at as keput usan pembat alan Perat uran Daerah, ri penegakan hukum kepada kit ah yang sebe- sebenarnya t idak t ermasuk dalam kompent ensi narnya t erut ama kepada penyelesaian secara keempat lingkungan peradilan dimaksud. ideal persoalan kasus pembat alan perda oleh Dikaj i sisi t eori kompet ensi sangat t erli- pemerint ah Pusat . Sebelum direkonst ruksi se- hat bahwa keberat an t erhadap pembat alan cara t eorit is pembat alan Perda oleh Pemerin- Perda oleh Pemerint ah Pusat yang dit angani t ah Pusat yang kemudian menimbulkan upaya Mahkamah Agung t idak pada t empat nya. Di- keberat an melalui Mahkamah Agung oleh pene- sinilah t empat t it ik pert emuan kesalahan pro- lit i dalam penelit ian sebelumnya digambarkan porsi t eori penegakan hukum. Sedangkan me- sebagai berikut : nurut Friedman beberapa unsur yang mempe- ngaruhi penegakan hukum adalah; st rukt ur,
11 subst ansi dan kult ur.
Dari 2 (dua) t eori t ersebut , maka peris- t iwa t idak t epat nya proporsi penegakan hukum pada masalah di at as adalah lebih banyak di- pengaruhi oleh f akt or st rukt urnya. St rukt ur hu- kum menyangkut aparat penegak hukum kemu- dian mat eri hukum meliput i perangkat perun- dang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup ( l i vi ng l aw) yang dianut da- lam suat u masyarakat . Tent ang st rukt ur hukum Friedman menj elaskan
“ To begi n wi t h, t he legal syst em has t he st r uct ur e of a l egal syst em consi st of el ement s of t he ki nd, t he number and si - ze of cour t ; t hei r j ur i sdi ct i on. . . st r uc- t ur e. Al so means how t he l egi sl at ive i s or gani zed… what pr ocedur es he pol i ce depar t emen f ol l ow, and go on. St r uct ur e i n a way ki nd of cr oss sect i on of t he legal syst em. . . a ki nd of st i l l phot ogr aph, wi t h
12 f r ee t he act i on“
St rukt ur dari sist em hukum t erdiri unsur berikut ini, j umlah dan ukuran pengadilan, yu- risdiksinya (t ermasuk j enis kasus yang mereka 10 periksa), dan t at a cara naik banding dari peng-
W. Fr iedman, 1993. Teor i & Fi l saf at Hukum: Tel aah Kr i - 11 t i s At as Teor i -Teor i Hukum (Susunan I), Judul Asl i : Le- Ibi d, hl m. 67 12 gal Theor y, Penerj emah: Mohamad Ari f in, Cet akan Ke- Lawrence M. Friedman, 1984 Amer i can Law, (New York:
Impl ikasi Pembat al an Perda t erhadap Ket epat an Propor si Teori Penegakan …
17
adilan ke pengadilan lainnya. St rukt ur j uga ber- art i bagaimana badan legislat if dit at a, apa yang boleh dan t idak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikut i oleh Kepolisian dan sebagainya. Jadi st rukt ur hukum ( Legal st r uc- t ur e) t erdiri dari lembaga hukum yang ada.
At as dasar it ulah maka f okus masalah ini ada pada f akt or kelembagaan khususnya ke- t idakt epat an MA menangani persoalan ini, ka- rena f akt or kelembagaan menempat i posisi pent ing maka keberadaannya sangat mempe- ngaruhi unsur-unsur penegakan yang lain. Ini di- karenakan sif at dari unsur-unsur yang mem- pengaruhi penegakan hukum adalah saling t er- kait ant ara sat u dengan yang lain. Sif at pene- gakan hukum yang sepert i ini, menj adikan hu- kum harus bisa bekerj a secara simult an de- ngan unsur-unsur lainnya. Rusaknya sat u unsur berakibat t idak berf ungsinya unsur-unsur yang lain.
Proses penegakan hukum dalam persoal- an pembat alan perda berada pada ket ika ma- salah ini masuk pada ranah kekuasaan yudika- t if , khusus berada pada Mahkamah Agung. Hal ini dilat ar belakangi oleh Kewenangan Presi- den t ersebut diberikan oleh Pasal 145 UU No. 32 t ahun 2004 yang menegaskan bahwa Perda Disampaikan kepada pemerint ah paling lama 7 (t uj uh) hari set elah dit et apkan. Perda yang bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perundang-undangan yang le- bih t inggi dapat dibat alkan oleh pemerint ah.
pembat alan Perda yang dilakukan oleh Peme- aj ukan keberat an kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanj ut - nya, pada ket ent uan Pasal 145 Ayat (6), apa- bila keberat an t ersebut dikabulkan sebagian at au seluruhnya, maka put usan Mahkamah Agung menyat akan Perat uran Presiden yang membat alkan Perda bersangkut an menj adi ba- t al dan t idak mempunyai kekuat an hukum.
14 13 Sel anj ut nya l ihat dal am Ni ’ mat ul Huda 2008. “ Probl e- mat ika Yuri di s Di Seput ar Pembat al an Per da” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 5, Nomor1, Juni 2008, hl m. 50 14 Ket idakt epat annya ialah t erlet ak pada
melakukan permohonan keberat an yang t elah dilakukan oleh pemerint ah daerah melalui me- kanisme pengaj uan keberat an kepada Mahka- mah Agung dalam hal upaya mempert ahankan Perda yang dianggapnya bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perun- dang-undangan yang lebih t inggi. Padahal di sini j elas bahwa t erdapat ket idaksepahaman dalam menaf sirkan Perda ant ara pemerint ah pusat dengan pemerint ah daerah, yang art inya sengket a ini merupakan konf lik int ernal ekse- kut if yang seharusnya mekanisme penyelesai- annya t anpa melibat kan lembaga yudikat if (Mahkamah Agung), melainkan mekanisme pe- nambahan kewenangan kepada MA, mekanis- me Execut ive Review dan Judi ci al Pr evi ew yang lebih t epat unt uk menyelesaikannya.
Adanya kewenangan pemerint ah unt uk menguj i Perat uran Daerah hendaknya t idak akan menj adi j alan unt uk mewuj udkan supe- riorit as kekuasaan pemerint ah pusat at as pe- merint ah daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Perat uran Daerah.
15 Menu-
rut Laica Marzuki, walaupun demikian perda t et ap t idak boleh meregulasi hak ikhwal yang menyimpang dari prinsip NKRI.
16 Di sisi lain pe-
nulis mengakui, apabila secara murni mengacu pada ket ent uan normat if hukum pada Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 Tent ang Pemerint ahan Daerah, bukanlah menj adi suat u permasalah- an, dikarenakan Pemerint ah Daerah merupakan bagian dari Pemerint ah Pusat at au berada di bawah Pemerint ah Pusat . Menurut Ni’ mat ul Hu- ( uni t ar y st at e/ eenhei dst aat ) adalah logis unt uk mengembangkan pengert ian bahwa pemerin- t ahan at asan berwenang melakukan kont rol t er- 15 Pemerint ahan Daer ah berhak menet apkan per at uran
13 Jika Pemerint ah Daerah t idak menyepakat i
daer ah dan perat uran perat uran l ain unt uk mel aksana- kan ot onomi dan t ugas pembant uan. Per da adal ah at uran daer ah dal am art i mat er iil ( Per da i n mat er i i l e zi n). Per da mengikat (l egal l y bi ndi ng) warga dan pen- duduk daer ah ot onom. Regul asi Perda merupakan bagi - an dari kegi at an l egisl asi l okal dal am r angka penyel eng- garaan pemerint ah daer ah, yang berkait an dengan ot o- nomi daerah dan t ugas pembant uan. Sel anj ut nya l ihat dal am Laica Marzuki, 2009. “ Pr insip-Pr insip Pemben- t ukan Perat uran Daerah” , Jur nal Konst i t usi MKRI, Vol . 6 Nomor 4, November 2009, hl m. 2 16
18 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 13 No. 1 Januari 2013
hadap unit pemerint ahan bawahannya. Art i- nya, pemerint ah pusat dalam kont eks Negara kesat uan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 t ent u dapat dikat akan mempunyai kewe- nangan unt uk mengont rol unit -unit pemerint ah- an daerah provinsi at aupun peme-rint ahan daerah kabupat en dan kot a,
17
sehingga Peme- rint ah Pusat j uga mempunyai kewenangan un- t uk menguj i dan membat alkan perat uran yang dibent uk oleh Pemerint ah Daerah. Penguj ian t erhadap suat u Perda yang dilakukan oleh Pe- merint ah Pusat adalah dalam rangka pengawas- an dan pembinaan t erhadap Pemerint ahan Dae- rah. Menurut Ni’ mat ul Huda Eksist ensi Perda akan diawasi secara represif oleh pemerint ah ( eksekut i ve r evi ew) dan oleh Mahkamah Agung melalui j udi ci al r eview.
DPRD menet apkan suat u Perda, maka Pemeri- nt ah Daerah waj ib menyerahkan Perda t er- sebut kepada Pemerint ah Pusat unt uk di eva- luasi. Dan j ika hasil evaluasi Pemerint ah men- dapat kan bukt i bahwa Perda t ersebut bert en- t angan dengan kepent ingan umum dan/ at au bert ent angan dengan perat uran perundang- undangan yang lebih t inggi, maka Pemerint ah membat alkan Perda t ersebut dan unt uk se- lanj ut nya diserahkan kembali ke Pemerint ah Daerah bersangkut an agar bersama-sama DPRD mencabut Perda dimaksud.
Menurut Maria Farida, penguj ian t erha- dap Perda t idak dilakukan oleh Mahkamah A- gung. Menurut pakar ilmu perundang-undangan t ersebut , hal it u t erkait ket ent uan Pasal 145 nangan pembat alan (berart i t ermasuk j uga pe- nguj iannya) Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda t ersebut bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perun- dang-undangan yang lebih t inggi. Dengan de- mikian, wewenang MA t erkait pembat alan Per- da berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 t erbat as hanya menerima keberat - an t erhadap daerah yang t idak t erima pemba- t alan Perda oleh Pemerint ah, dan t idak berwe- 17 Ni’ mat ul Huda. op. ci t hl m. 58 18 nang menguj i, apalagi membat alkannya. “ Jadi dia (MA) t idak membat alkan. Tet api kalau Per- da bert ent angan dengan yang lebih t inggi, ma- ka asasnya ia t idak bisa diberlakukan, (karena) t idak punya kekuat an hukum (lagi)” .
19 Pada akhirnya, kompleksit as pembat alan t erhadap produk hukum daerah yang berben- t uk Perat uran Daerah (Perda) dan Perat uran Kepala Daerah maupun bent uk yang lainnya merupakan keniscayaan dalam mewuj udkan pe- ran dan f ungsi hukum dalam menopang proses pembangunan menuj u masyarakat yang adil dan sej aht era.
20 Teori untuk Meluruskan Penerapan Teori Penegakan Hukum pada Pembat alan Perda
18 Jika Pemerint ah Daerah bersama-sama
Beberapa j alan yang bisa dit empuh un- t uk mengat asi masalah ini adalah dengan me- nambah kewenangan Mahkamah Agung, mela- kukan eksekut if review dan j udicial preview. Akar masalah dari penelit ian ini adalah me- t oda keberat an yang dilakukan pemda ket ika perdanya dibat alkan oleh pemerint ah pusat di Mahkamah Agung t ernyat a t idak dikenal da-lam sist em peradilan Indonesia. Sehingga posisi MA dalam masalah menj adi t idak t epat secara t eo- rit is.
21 Penambahan wewenang
22
dalam kont eks 19 Baj ongga Apriant o , 2006, Pr obl emat i ka Hukum Hak Uj i
Mat er i i l dan For mi l Per at ur an Daer ah, Jakar t a: Ghal i a Indonesi a, hl m. 34 20 Jazim Hami di, “ Par adigma Bar u Pembent ukan dan Ana- l isi s Perat uran Daerah (St udi At as Perda Pel ayanan Pub- l ik dan Per da Ket erbukaan Inf or masi Publ ik), ” Jur nal hukum No. 3 Vol . 18 Jul i 2011, hl m. 336 - 363 21 Wal aupun demikian perl u diakui bahwa l angkah ini hanya semat a agar sampai t erj adi kekosongan hukum ( Recht Vakum). Mengingat persoal an penyel esaianya t idak bisa di t unda-t unda l agi maka berdasarkan i us cur i a novi t maka l angkah MA ini sering di sebut dengan t erobosan hukum at as dasar di skr esi / f r ei es emmer sen. Langkah ini sej al an dengan pikiran Laica Marzuki yang menyat akan bahw a Per da yang menyi mpangi dar i hukum dapat set iap saat di baw akan ke MA dan pada ket ikanya Per da yang menyimpang dari hukum it u dapat dinyat akan t i dak mengikat secar a hukum ol eh MA. Lihat dal am Laica Marzuki, “ Hakekat Desent r al isasi dal am Sist em Ket at anegar aan RI” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 4 No. 1 Maret 2007, hl m. 14. 22 Wewenang dal ah kekuasaan yang diber ikan at au ber da- sarkan hukum ekuival en dengan aut hor i t y. Dengan kat a l ain, konsep kewenangan ber beda dengan kekuasaan ( macht ) yang bi sa di dapat kan at as dasar hukum at au t idak berdasarkan hukum. Sel anj ut nya l ihat dal am Lut - hf i Widagdo Eddyono, “ Penyel esai an Sengket a Kewena- Impl ikasi Pembat al an Perda t erhadap Ket epat an Propor si Teori Penegakan …
19
25 Di dalam lit erat ur, t erdapat 3
Sehingga ist il ah t oet si ngr echt dapat digunakan dal am proses uj i perundang-undangan ol eh l embaga l egisl at i f ( l egi sl at i ve r evi ew), eksekut if (execut i ve r evi ew) mau- pun l embaga yudikat i f ( j udi ci al r evi ew). Sel anj ut nya l ihat dal am Pusat St udi Konst it usi Andal as, “ Perkem- bangan Penguj i an Perundang-undangan di Mahkamah Konst i t usi” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 7 No. 6 Desember 2010, hl m. 149 25 Machmud Aziz, “ Penguj i an Perat uran Perundang-unda- ngan dal am sist em Per at ur an Perundang-undangan Indo- nesi a” , Jur nal Konst i t usi , Vol ume 7 Nomor 5, Okt ober
ist il ah ‘ r evi ew’ yai t u ant ara j udi ci al r evi ew, t oet si ng- r echt dan dengan const i t ut i onal r evi ew. Ist il ah t oet - si ngr echt yang art i harf iahnya adal ah hak uj i di gunakan unt uk penguj i an per undang-undangan secar a umum.
Pengawasan t erhadap produk legislasi daerah t ersebut dalam beberapa Perat uran per- undang-undangan, ant ara lain: UU No. 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ah daerah se-bagaimana 24 Sebagian pakar membedakan mengenai penggunaan
sif at nya polit ik ( pol it i cal r eview); ket i ga, peng- uj ian oleh pej abat at au badan administ rasi ne- gara ( execut ive r eview). Execut ive r eview ada- lah penguj ian Perat uran Daerah oleh Pemerin- t ah yang lahir dari kewenangan pemerint ah da- lam rangka pengawasan dan pembinaan Peme- rint ah Pusat t erhadap penyelenggaraan ot ono- mi Pemerint ahan Daerah. Eksekut if review me- rupakan bagian dari sist em pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerint ahan daerah, khusus- nya pengawasan t erhadap produk legislasi dae- rah. Pengawasan produk legislasi daerah (Per- da) dilakukan agar mat eri muat an sebuah Pera- t uran Daerah t idak bert ent angan dengan Pera- t uran perundang-undangan yang lebih t inggi dan t idak bert ent a-ngan dengan kepent ingan umum.
Per t ama, penguj ian oleh badan peradilan (j udi - ci al r evi ew); kedua, penguj ian oleh badan yang
(t iga) kat egori penguj ian perat uran perundang- undangan (dan perbuat an administ rasi negara).
kan oleh pakar-pakar hukum unt uk menyebut kewenangan pej abat at au badan administ rat if negara unt uk melakukan penguj ian t erhadap perat uran perundang-undangan. Ini berart i bah- wa penguj ian un-dang-undang t idak hanya oleh lembaga peradilan saj a melainkan j uga lemba- ga eksekut if .
penguat an kelembagaan bisa dibenarkan, apa- lagi ada pada sit uasi-sit uasi mendesak. Dengan ikht iar ini maka pilihannya hanya ada pada penambahan kelembagaan negara yang berupa peradilan konst it usi (Perda). Dalam sist em ke- t at anegaraan Indonesia rest rukt urisasi organi- sasi lembaga negara adalah sesuat u yang diper- bolehkan oleh perat uran perundang-undangan. Langkah ini bisa j uga dengan mengurangi lem- baga negara besert a kekuasaan dan kewenang- annya. Dalam hal menambah lembaga negara maka harus didasarkan kebut uhan-kebut uhan konkrit .
cut i ve r evi ew” merupakan ist ilah yang diguna-
, “ exe-
24
Berbeda dengan j udicial review
bl ik Indonesi a” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 7 No. 3 Juni 2010, hl m. 14 23 Sel anj ut nya l ihat dal am Sl amet Suhart ono, “ Norma Sa- mar (Vage Nor men) sebagai Dasar Hukum Pengambil an Keput usan Tat a Usaha Negara” , Jur nal Yust i si a FH Uni versit as Sebel as Maret Sur akart a, Edisi Nomor 79,
Penambahan kewenangan MA unt uk mem- bent uk peradilan konst it usi (Perda) sangat be- sar unt uk bisa direalisasikan karena menurut cat at an sej arah munculnya peradilan di Indone- sia mulai dari t erbent uknya Peradilan Tat a Usa- ha Negara t ahun 1986 Mahkamah Konst it usi t a- hun 2003 bisa t erwuj ud. Dengan demikian pe- nambahan kewenangan secara empiris memang dit ekankan lebih lanj ut oleh Philipus Hadj on bahwa nant inya penggunaan wewenang peme- rint ahan harus berlandaskan pada hukum yang berlaku.
Alasan mendesak adanya penambahan lembaga baru oleh MA ini adalah karena perda bermasalah sudah menj adi kenyat aan nasional yang perlu segera dicarikan j alan keluar khu- susnya dalam t at a laksana penyelesaian menu- rut sist em peradilan yang benar. Lembaga ne- gara berupa sist em peradilan konst it usi (baca: Perda) ini akan menj adi t empat yang akan me- nyelesaikan sengket a pembat alan perda oleh pemerint ah pusat . Dengan lahirnya lembaga ba- ru ini maka daerah akan lebih t erlindungi seca- ra hukum dari sikap represif pemerint ah pusat proses legalisasi berlakunya Perda.
23 Opt imalisasi Eksekutif Review
20 Jurnal Dinamika Hukum
del , yang punya kewenangan j udi ci al pr evi ew
Sudah lama mengakar dalam t ubuh De- wan Konst it usi Perancis mengenai pandangan bahwa undang-undang adalah bersif at suci dan t idak dapat diganggu gugat . Dewan ini diang- 26
dimint ai pendapat ( advi sor y opi nion) oleh pre- siden (kepala negara) t erkait hal-hal darurat .
consul t at i ve f unct i on. Counsei l Const i t ut i on- nel , berdasarkan Ar t i cles 16 UUD Prancis, bisa
f ungsi yang bersif at konsult at if at au a pur el y
pr eview, dan bukan j udicial review, punya
yang sudah berlaku. Sement ara, Counseil Cons- 1958 Prancis, memiliki kewenangan j udi ci al
ci al r eview yang menguj i konst it usionalit as UU
sekaligus j udi ci al r evi ew. Judi ci al pr eview ber- art i penguj ian konst it usionalnya bersif at a priori ( ex ant e r evi ew) at au prevent if , yakni menguj i RUU yang sudah disahkan parlemen t et api belum diundangkan, kebalikan dari j udi -
Vol . 13 No. 1 Januari 2013
t ent ang Perubahan kedua at as UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004 t ent ang Perimba- ngan Keuangan Ant ara Pemerint ah pusat dan Pemerint ah daerah, UU No. 28 Tahun 2009 t ent ang Paj ak dan Ret ribusi Daerah, UU No. 12 Tahun 2011 t ent ang Pembent ukan Perat uran Perundang-undangan. Selain undang-undang yang disebut kan di at as, pengawasan t erhadap daerah j uga t ermuat di dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 188. 34/ 1464/ SJ t ert anggal 30 April 2009 perihal t indak Lanj ut Pembat alan Perda. Di samping it u j uga ada pada Surat Edaran Mendagri No. 188. 34/ 393/ SJ t ert anggal 18 Pebruari 2008 perihal Penga-wasan Perda.
t i t ut i onnel Prancis. MK Polandia memang unik,
Secara yuridis konst it usional memang In- donesia t idak mengenal met ode j udicial pre- view. Negara lain yang mengenal adalah Mah- kamah Konst it usi Polandia dan Counsei l Cons-
Judicial Preview
Tahun 2004 j uga harus segera dilakukan agar pengawasan prevent if daerah t idak hanya pada Ranperda t ent ang Paj ak, Ret ribusi, APBD, dan RTRW, t et api j uga unt uk semua Rancangan Perat uran Daerah dengan mat eri yang lain.
26 Perubahan UU No 32
Perundang-undangan. Akan banyak alasan-ala- san yang akan diaj ukan unt uk mengingkari hal t ersebut sehingga pembat alan perda t et ap da- pat dilakukan oleh peme-rint ah pusat sehingga pusat t et ap memiliki kont rol t erhadap daerah. Walau bagaimanapun pengawasan adalah (t e- t ap) merupakan kegiat an yang dapat dikat ego- rikan sebagai campur t angan suat u ot orit as ke- pada ot orit as lainnya.
Judi ci al Review di dalam penguj ian Perat uran
Esensi t indakan prevent if dalam persoa- lan ini sebenarnya hanya dit uj ukan agar pro- duk legislasi daerah t et ap dalam kerangka sis- t em hukum nasional. Kalau semangat preven- t if it as t erus t erj aga maka t idak akan ada perda bermasalah, apalagi sampai dibat alkan oleh pe- merint ah pusat . Opt imalisasi pengawasan pre- vent if ini j uga harus lebih menyent uh kalangan masyarakat . Hal ini gayung bersambut dengan semangat UU No. 12 t ahun 2011 t ent ang Pem- bent ukan Perat uran Perundang-undangan di mana peran masyarakat j uga diberi porsi yang rah. Tidak mudah bagi bagi Pemerint ah unt uk dapat menerima kenyat aan bahwa sebenarnya UU No 12 Tahun 2011 hanya menganut sist em
Pada dasarnya pengawasan yang dilaku- kan t ersebut t erbadi menj adi dua yait u pre- vent if dan represif . Pengawasan prevent if di- lakukan pada saat produk legislasi masih ber- bent uk Rancangan Perat uran daerah, sedang- kan pengawasan represif dilakukan pada saat produk legislasi t elah dit et apkan sebagai Per- at uran daerah. Khusus di dalam pengawasan represif , proses pengawasan dapat beruj ung pada pembat alan Perat uran daerah yang di-t e- t apkan oleh Perat uran Presiden (pasal 145 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004. Ke depan unt uk menghindari t erj adinya pembat alan perda oleh pemerint ah pusat maka kiranya perlu diopt i- malkan peranan pengawasan secara prevent if . Pengawasan prevent if dilakukan melalui eva- luasi oleh Mendagri t erhadap Ranperda Provinsi dan Oleh gubernur t erhadap Ranperda daerah Kabupat en/ Kot a meliput i; paj ak daerah, ret ri- busi daerah, anggaran dan pendapat an belanj a
menganut Model Aust ria at au t he Kel senian Mo- Impl ikasi Pembat al an Perda t erhadap Ket epat an Propor si Teori Penegakan …
21
gap “ keramat ” , apalagi dipercayai bahwa un- dang-undang adalah perwuj udan dari keingin- an dan pendapat masyarakat ; sehingga hanya t erhadap rancangan undang-undang (RUU) saj a boleh dilakukan penguj ian; t idak unt uk un- dang-undang yang punya kekuat an dan kepas- t ian hukum. Jadi, model yang diamalkan di Pe- rancis bukan “ j udicial review” (menguj i vali- dit as suat u undang-undang yang sah). Kendat i pun krit ik t aj am t erus-menerus muncul dari kalangan pakar hukum, karena cara kerj a De- wan t erkadang mirip sepert i maf ia yang me- makai hukum unt uk melegit imasi semua j enis kebij akan dalam polit ik/ kekuasaan. Namun, sampai dewasa ini yang dij alankan masih t et ap “ j udi ci al pr evi ew” , bukan “ j udi ci al r evi ew” .
MKRI, Vol . 6, Nomor 2, Jul i 2009, hl m. 146 33 Purwant o, “ Konsep Pengembangan Pengat uran Si st em Pengaw asan Pel aksanaan Jabat an Not ari s Di Indonesia” Jur nal Ri sal ah Hukum, Fak. Hukum Univer sit as Mul awar -
Al Andang L. Binawan, Op. ci t . hl m. 16 30 AM. Muj ahidin. “ Pemul i han Hukum Yang Berkeadil an Di Era Ref ormasi Menuj u Kesej aht eraan Masyar akat ” Jur nal Var i a Per adi l an No. 301 Desember 2010, hl m. 77 31 Kal au meruj uk pada i st il ah kat egori s unt uk kekuasaan masyarakat , hal ini merupakan redi st r ibusi kekuasan dar i pemegang kekuasaan kepada masyar akat yang member dayakan wargat ak ber punya yang diakibat kan ol eh proses ekonomi dan pol it ik. Lihat dal am Imam Koeswahyono, ” Par t i si pasi Masyar akat Dal am Proses Pembuat an Kebi j akan Negara Suat u Tel aah Pl ur ari sme Hukum” Jur nal Ar ena Hukum, Fak. Hukum Univer si t as Brawij aya, Nomor 3 Tahun 2 Januar i 2009, hl m. 67 32 Arf an Faiz M. ” Reposi si Lembaga Pendidikan Hukum dal am Proses Legi sl asi di Indonesi a” , Jur nal Konst i t usi
at uran hukum, dalam pembent ukannya perlu
33 Di samping it u Perat uran Daerah sebagai
kadang pada t at aran t eknis menurut t eori et is hukum semat a-mat a bert uj uan unt uk mewuj ud- kan keadilan.
32 Walau
akan berimplikasi kepada sist em regulasi nasio- nal. Penguat an regulasi daerah nant inya j uga akan menguat kan t uj uan hukum it u sendiri yak- ni unt uk mencapai keadilan ( ger echt i gkei t ), ke- manf aat an ( zweck-massi gkei t ) dan unt uk mem- berikan kepast ian ( r echt ssi cher hei t ).
31 Sist em regulasi daerah yang kuat j elas
Harapan penelit i set elah berbagai t awar- an pemikiran t ersebut adalah semoga akan ber- implikasi t erhadap ef ekt if it as penyelesaian per- da bermasalah yang sampai sekarang masih me- nimbulkan pro dan kont ra. Hal ini pent ing un- t uk t erus dipant au dan dit angani secara benar dan t erukur mengingat keberadaan perda sa- ngat dekat dengan kehidupan masyarakat dae- rah.
30 .
(j uga) harus mampu meyakinkan masyarakat dari pada hanya sekadar memerint ah masyara- kat , ia harus mampu mempengaruhi kecenderu- ngan-kecenderungan kehendak masyarakat
29 Dengan demikian perat uran hukum it u
j adi ket ika dalam proses legislasi ada kelompok (baca: masyarakat ) yang disingkirkan at au t idak diikut sert akan dengan alasan yang t idak rasio- nal.
ad homi nem, yakni hukum yang ant ara lain t er-
t eorit is dan empiris upaya ini sangat mendekat i kebenaran khususnya set elah negara-negara lain sudah banyak menerapkannya. Di samping it u j uga unt uk menghindari t erj adinya hukum
hi dua pr insi p, yait u: pert ama t idak merugikan sese- orang dan kedua, perl akuan kepada t i ap-t i ap manusi a apa yang menj adi haknya. Jika kedua pr insi p ini dapat di penuhi barul ah it u dikat akan adil . Sel anj ut nya l ihat dal am H. M. Arsyad Sanusi, “ Keadil an Subt ant i f dan Prob- l emat ika Penegakannya” , Jur nal var i a Per adi l an No. 288 November 2009, hl m. 35 28 Jiml y Asshi ddiqie, “ Per at uran Daer ah Sebagai Bagian In- t egral Dar i Per at ur an Perundang-Undangan dal am Nega- ra Hukum RI ” , Jur nal Legi sl asi Daer ah Edi si I Januari -
an yang bersif at prevent if . Hal ini disebabkan posisinya yang masih berada pada pra penge- sahan perat uran perundang-undangan. Kit a sa- ngat mendambakan langkah ini karena secara 27 Keadil an menurut kaj i an f il saf at adal ah apabil a di penu-
vi ew ini j uga merupakan bagian dari pengawas-
ra sepert i ini maka perat uran perundang-un- dangan yang mau disyahkan sudah bebas dari cacat norma dan dipast ikan dalam pelaksanaan- nya t idak menimbulkan masalah baik secara vert ikal maupun horisont al. Demikian j uga dengan ranperda kalau memakai inst rument ini j elas akan t erbebas dari ancaman pembat alan apalagi harus beracara di Mahkamah Agung.
Nilai posit if yang bisa kit a ambil dari model t ersebut adalah sebelum perat uran per- undang-undangan disyahkan maka waj ib dipre- view dulu oleh inst ansi t ert ent u unt uk dicer- mat i lebih mendalam maksud dan t uj uannya. Sehingga subt ansi dari perat uran perundang- undangan yang t idak mencerminkan kepast ian, keadilan dan kemanf aat an j elas harus dirubah sampai t erpenuhinya hal t ersebut .
27 Dengan ca-
28 Dilihat dari posisinya maka Judi ci al Pr e-
22 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 13 No. 1 Januari 2013
Kedua, dari