PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG BERPIHAK PADA KEKUASAAN DAN UANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG BERPIHAK

PADA KEKUASAAN DAN UANG DALAM

SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA

(Skripsi)

Oleh

AMBO ASE AP

0742011035

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(2)

PADA KEKUASAAN DAN UANG DALAM

SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA

Oleh

Ambo Ase AP

Penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan. Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat dan penguasa/ pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan Negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah saja yang menjadi faktor-faktor penyebab berkembangnya praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia? dan apakah upaya-upaya yang dilakukan dalam penanggulangan praktik mafia hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?.

Pendekatan dalam penelitian ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dapat berkembang.

Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor-faktor penyebab berkembangnya praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia yaitu: sifat tamak dan kurangnya kesadaran bersyukur, penghasilan tidak memadahi, kurangnya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang salah, nilai negatif yang hidup dalam masyarakat, moral yang lemah, kebutuhan hidup yang mendesak dan ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar. Upaya-upaya yang dilakukan dalam penanggulangan praktik mafia hukum dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia secara umum dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu non penal dan penal. Upaya penal dilakukan dengan formulasi (kebijakan legislatif/legislasi), aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Sedangkan upaya non penal adalah dengan memberikan pemahaman kepada pejabat dan masyarakat akan kejahatan korupsi, akibat-akibat dan konsekuensinya. Saran, Kasus hukum pidana di Indonesia memperlihatkan bahwa hukum pidana berdampak negatif pada pembangunan nasional melalui kebocoran keuangan negara, menghambat investasi, memperluas jurang kaya dan miskin, merusak


(3)

tatanan masyarakat, serta merusak kehidupan bernegara, oleh karena itu harus diupayakan penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana. Apabila terdapat banyak kelemahan dalam perumusan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka akan mempengaruhi pula proses penegakan hukumnya. Maka dalam menentukan pilihan kebijakan yang ideal dalam perumusan pertanggungjawaban pidana, hendaknya menjadi perhatian agar perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana. Saran, kasus hukum pidana di Indonesia memperlihatkan bahwa hukum pidana berdampak negatif pada pembangunan nasional melalui kebocoran keuangan negara, menghambat investasi, memperluas jurang kaya dan miskin, merusak tatanan masyarakat, serta merusak kehidupan bernegara, oleh karena itu harus diupayakan penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana. Apabila terdapat banyak kelemahan dalam perumusan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka akan mempengaruhi pula proses penegakan hukumnya. Maka dalam menentukan pilihan kebijakan yang ideal dalam perumusan pertanggungjawaban pidana, hendaknya menjadi perhatian agar perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana


(4)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum ... 12

B. Tinjauan Tentang Kekuasaan ... 22

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 27

D. Upaya Penanggulangan Kejahatan ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 37

B. Jenis dan Sumber Data ... 37

C. Penentuan Narasumber... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 39

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-faktor Penyebab Berkembangnya Praktik Penegakan Hukum Pidana yang Berpihak Pada Kekuasaan dan Uang dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia... 41

B. Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Terhadap Praktik Penegakan Hukum Pidana yang Berpihak pada Kekuasaan dan uang dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ... 47


(5)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 56 B. Saran ... 57


(6)

Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Depenheur, 1999, Government Libility, Comparative Studies on Government Liabilty in East and Southeast Asia, edited by Yong Zhang, Kluwer Law International.

Fathullah, 2000, Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat Konsultan Hukum Otonomi Daerah, Jakarta, CIDES.

Fathullah, 2000, Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat Konsultan Hukum Otonomi Daerah, Jakarta, CIDES.

Harkrisnowo, Harkristuti, 2003, HAM Dalam Kerangka Integrasi Nasional Dan Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.

Hawkins, K, 1984, Environment and Enforcement, Regulation and the Social Definition of Pollution, Oxford; Clarendon Press.

Iskatrinah, 2004, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen Pertahanan.

Istanto, Sugeng, 1998, Konstitusionalisme dan Undang-Undang Politik. Mandar Maju Bandung

Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Penyunting Somardi, Rimdi Press, Cetakan Pertama.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Binacipta. Masyarakat Transparansi Indonesia, Pokok Pikiran Kajian GBHN Tahun 1999 Bidang Hukum Sebagai Pedoman Politik Hukum Nasional.

Mahendra, Oka, 1999,Hukum dan Politik. Jakarta, Gema Insani Press.

Mohammad Saleh, 2004.Pengantar Hukum Pidana. PT. Ichtiar Baru, Jakarta. Moleong, Lexy J, 2005, Metode Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Bandung,


(7)

Qordhawi, Yusuf, 2000, Waktu, Kekuasaan, dan Kekayaan sebagai Amanah Allah, Jakarta, Gema Insani Press.

Satjipto Rahardjo, 2000.Ilmu Hukum, Cet I, Bandung: Citra Aditya Bakti Soekanto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Soerjono Soekanto, 1982. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

PT. Grafindo Persada, Jakarta

Subekti, 2007.Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Sudikno Mertukusumo, 1996. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta, Liberty

Suparno, Paul, 2003, Memberantas Budaya Korupsi Lewat Pendidikan, Kompas. Jakarta

Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011. Strategi dan Teknik Korupsi. Mengetahui Untuk Mencegah. Jakarta. Sinar Grafika.

Yusuf Qordhawi, 2000. Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Risalah Gusti. Surabaya


(8)

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini banyak orang akan merespon bahwa hukum di Indonesia itu berpihak kepada yang mempunyai kekuasaan, dan mempunyai uang banyak. Seperti contoh, orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pidana pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya dan di dalam lembaga pemasyarakatan memperoleh fasilitas layaknya hotel. Itulah sedikit jawaban yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil atau belum adanya equality before the law. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum (Mohammad Saleh, 2004: 74). Pernyataan Wakil Presiden Boediono, bahwa reformasi penegakan hukum merupakan prioritas kerja Kabinet Indonesia Bersatu, Wapres Boediono menegaskan banyak tugas yang harus dilakukan (Muladi, 2004: 78). Hal Ini merupakan kunci utama, agar kualitas demokrasi menjadi lebih baik dan kuat. Reformasi penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam menguatkan konsolidasi demokrasi. Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu dan tentu berkorelasi dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian, tentu, proses reformasi penegakan hukum berbasis keadilan akan memakan waktu


(9)

2

dan memerlukan kesabaran. Prioritas reformasi penegakan hukum merupakan pilihan terbaik yang mesti ditempuh oleh pemerintah. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjamin terus berlangsungnya pemberantasan korupsi, dan sikap untuk memberantas mafia penegakan hukum, kita yakini sebagai sikap dasar penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan, oleh karena itu, seluruh tindakan penegakan hukum yang dilakukan secara benar, bersih, adil, dan tanpa rekayasa menjadi kepedulian kolektif bangsa (Fathullah, 2008: 112).

Harapan setiap insan manusia untuk mendapatkan keadilan dalam suatu pola kehidupan baik secara individu maupun kelompok merupakan bagian dari hak dasar manusia yang termaktub di dalam pengertian hak asasi manusia secara umum, dengan tujuan agar dapat menjalankan proses kehidupan dengan rasa aman, tenteram, dan damai untuk mencapai tujuannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan sebagai upaya mempertahankan hidup (Harkristuti, 2003: 49).

Kejahatan dan pelanggaran merupakan suatu fenomena konflik kehidupan sosial dalam masyarakat yang dapat menghambat terwujudnya harapan akan rasa tenteram dan damai sebagaimana yang diharapkan oleh semua bagian dari masyarakat baik secara parsial maupun secara keutuhan kelompok, serta sebagai suatu dinamika kehidupan yang senantiasa berkembang sesuai perubahan yang ada dalam kelompok masyarakat itu sendiri (Iskatrinah, 2004: 49).

Keberadaan hukum sebagai pondasi untuk setiap pengambilan keputusan dengan cara netral untuk penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat berdasarkan kebenaran yang hakiki agar dapat mewujudkan suatu keadilan serta menjalankan


(10)

fungsi hukum lainnya yakni sebagai alat pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu kelompok. Tanpa hukum yang jelas dan benar maka akan berlaku hukum rimba yang mengarah pada chaos dimana masing-masing individu dari kelompok sosial menggunakan persepsinya masing-masing dalam penyelesaian setiap konflik sosial dengan kekuatannya untuk mengambil tindakan hukum (Oka Mahendra, 1999: 75).

Proses hukum terhadap kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah merupakan suatu fenomena yang memunculkan kontra interpretasi maupun persepsi dalam masyarakat mengenai ketimpangan hukum dalam memberikan suatu efek jera bagi tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka. Sehingga terbentuk beragam opini dalam masyarakat yang menyatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum memiliki kecenderungan berpihak pada kekuasaan atau kekuatan uang karena dari sisi lain beberapa kasus besar yang melibatkan para pejabat pemerintahan maupun orang yang mempunyai banyak uang cenderrung berhenti di tengah jalan bahkan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya (Yusuf Qordhawi, 2000: 17).

Sebagai bentuk refleksi penegakan hukum di awal tahun 2010, “cara berhukum”

Bangsa Indonesia masih mengedepankan procedural justice dan cenderung memarginalkan substantial justice. Keterjebakan cara berhukum ini diyakini sebagai salah satu sebab munculnya tragedi-tragedi hukum. Pengalaman penegakan hukum seperti:

a. Kasus 10 anak dengan dakwaan perjudian dan tuntutan pencemaran nama baik oleh RS Omni Internasional terhadap Prita (keduanya di Tangerang);


(11)

4

b. Kasus pemidanaan terhadap Nenek Minah di Purwokerto karena mencuri 3 biji Kakau;

c. Kasus pencurian 5 kg buah Randu yang dilakukan oleh Manisih, Sri, Juwono (satu keluarga) dan Rustono sehingga harus di tahan di Batang;

d. Proses hukum terhadap Kakek Klijo Sumarto warga Jering, Sidorejo Godean, Kabupaten Sleman yang ditahan karena mencuri 1 (satu) tandan Pisang Klutuk;

e. Proses hukum terhadap Kholil dan Basar Suyanto warga Kampung Wonosari, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri yang ditahan karena mencuri sebuah Semangka, setidaknya dapat mewakili betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia (Paul Suparno, 2011: 47). Pada saat yang bersamaan cara berhukum yang demikian juga telah dimanfaatkan secara cerdas oleh Mafia Hukum dengan menjadikan hukum seolah-olah menjadi sarana penunjang di tengah-tengah rendahnya kesejahteraan dan krisis mentalitas aparat hukum. Peristiwa penangkapan Urip Tri Gunawan oleh KPK yang fenomenal, kasus Cicak vs Buaya yang begitu menyedot energi bahkan memaksa Wakil Jaksa Agung mengundurkan diri dan Kabareskrim harus diganti, hingga uletnya mengurai benang kusut kasus Century-Gate, semakin melengkapi bahwa cara berhukum Bangsa Indonesia ada yang perlu diperbaiki. Penegakan hukum tidak lagi identik dengan pencarian keadilan tetapi seolah-olah hanya penggalan episode ritual para pekerja hukum.

Kontrasnya pemandangan cara berhukum yang begitu tegas menghukum mereka yang tidak berdaya ketika menyentuh otoritas kekuasaan, dapat diprediksi akan terus berulang sepanjang jaksa sebagai bagian dari komunitas criminal justice system yang sangat menentukan dalam menjalankan hukum masih terkungkung dalam bangunan birokrasi yang konvensional (Istanto Sugeng, 1998: 14)


(12)

Penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan. Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat dan penguasa/ pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan negara (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118)

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang ”Penegakan Hukum Pidana Yang Berpihak Pada Kekuasaan dan Uang Dalam Sistem peradilan pidana di Indonesia”.

B. Permasalahan dan ruang lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan peneliti ajukan adalah :

a. Apakah saja yang menjadi faktor-faktor penyebab berkembangnya praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

b. Apakah upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

2. Ruang lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup pada:


(13)

6

b. Ruang lingkup sub pembahasan dalam penelitian ini adalah penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab berkembangnya praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

b. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk :

a. Secara teoritis, diharapkan berguna untuk memperkaya kepustakaan hukum tentang Penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang serta menjadi masukan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

b. Secara Praktis, agar aparat penegak hukum di dalam menjalankan tugasnya dapat bersifat adil serta tidak berpihak pada kekuasaan serta mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi dan kelompok..


(14)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1984: 124).

Menurut Surachmin dan Suhandi Cahaya (2011: 106), secara konseptual faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum adalah sifat tamak dan kurangnya kesadaran bersyukur, penghasilan tidak memadahi, kurangnya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang salah, nilai negatif yang hidup dalam masyarakat, moral yang lemah, kebutuhan hidup yang mendesak, ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar dan penegakan hukum kadang kala tidak mengerti peraturan hanya memakai ilmu instan (bukan ahlinya).

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 54), secara konseptual terdapat 5 (lima faktor) yang mempengaruhi proses penegakan hukum antara lain:

a. Aturan hukum atau Undang-Undang sering merupakan faktor penghambat sehingga mempengaruhi proses penegakan hukum, karena rumusan normanya tidak jelas menimbulkan penafsiran yang kadang-kadang merugikan atau tidak adil.

b. Aparatur penegak hukum yang merupakan salah satu pilar penting dalam proses penegakan hukum, sering melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum sehingga menimbulkan berbagai


(15)

8

masalah.

c. Sarana dan prasarana pendukung yang kurang memadai sudah tentu akan mempengaruhi ruang gerak aparatur penegak hukum dan juga anggota masyarakat sebagai pencari keadilan.

d. Budaya hukum masyarakat yang merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam rangka memahami hukum dan berupaya untuk menerapkannya secara baik demi kepentingan bersama, ternyata belum dipraktekan secara baik.

e. Masyarakat sering menjadi penyebab dalam proses penegakan hukum, karena mempunyai uang, sering didorong oleh keinginan untuk menang sendiri tanpa memperhatikan aspek-aspek yang sifatnya objektif dari hukum untuk mewujudkan tujuannya yakni keadilan.

Berdasarkan pendapat G P. Hoefnagels (1990: 10) bahwa penanggulangan kejahatan secara umum dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu penal dan

non penal. Keduanya dalam fungsinya harus berjalan beriringan secara sinergis, saling melengkapi. Jika pendekatan pertama yang ditempuh, maka ini berarti bahwa penanggulangan suatu kejahatan dilakukan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy /strafrechtspolitiek), yaitu, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang”.

Artinya, hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana untuk dijadikan sarana menanggulangi kejahatan. Dengan demikian diharapkan norma-norma sosial dapat ditegakkan dengan sanksi


(16)

yang dimiliki hukum pidana terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma tersebut.

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konnsep- konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti (Soerjono Soekanto,1996: 132). a. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Satjipto Rahardjo, 2000: 84)

b. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2000: 54). Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (Tonggat. 2008: 113).

c. Kekuasaan

Kekuasaan adalah kualitas yang melekat dalam satu interaksi antara dua atau lebih individu (a quality inherent in an interaction between two or more individuals). Jika setiap individu mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan.


(17)

10

d. Sistem Peradilan

Menurut Subekti (2007: 18) sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan

untuk mencapai suatu tujuan”. Sistem peradailan merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain dalam peradilan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I. Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan proposal skripsi yang berjudul penegakkan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan beserta permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tinjauan kepustakaan dari berbagai konsep yang digunakan dalam penelitian dan dia mbil dari berbagai referensi yang sesuai dengan permasalahan yang di kaji, meliputi Tinjauan Tentang Penegakan hukum, Tinjauan tentang hukum pidana, Tinjauan tentang kekuasaan.


(18)

III. Metode Penelitian

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan masalah, data dan sumber data, informan (responden) penelitian, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penulisan dari pokok permasalahan mengenai sebab penegakkan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dapat berkembang dan faktor-faktor penyebab berkembangnya penegakkan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan

V. Penutup

Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dari hasil penelitian dan saran- saran dari penulis yang merupakan alternatif dari penyelesaian permasalahan yang ada.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum

yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”(Sudikno Mertukusumo, 1996: 87).

Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penilaian APBN dan APBD di kalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus


(20)

Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya (Subekti, 2007: 18).

Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik akhir. Hampir setiap saat dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh pengadilan (Subekti, 2007: 20).

Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilakuperilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang tertentangan dengan nilai-nilai keadilan hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2000: 84).


(21)

14

Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi yang membingungkan. Masyarakat kebingungan nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang, itulah yang akan menjadi hukumnya (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118).

Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marc Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak (Togat. 2008: 113).

Lembaga pengadilan dalam perspektif sosiologis merupakan lembaga yang multifungsidan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative


(22)

processing”, “ceremonial changes of status”, “settlement negotiation”, “mediations and arbitration”, danwarfare. Marc Galanter, 1981,Justice in Many Rooms(Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118).

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Subekti, 2007: 18).

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan


(23)

16

hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja, karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ke dalam bahasa Indonesia

dalam menggunakan perkataan ‘penegakanhukum’dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah‘the rule of law’versus ‘the rule of just law’atau dalam

istilah ‘the rule of law and not of man’versus istilah‘the rule by law’yang berarti

‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah‘the rule by law’yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka (Subekti, 2007: 18).

Berdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan


(24)

bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan tentang penegakan hukum dapat tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja (Istanto Sugeng, 1998: 14).

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilanhukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula,

Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’(Istanto Sugeng, 1998: 14).

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan


(25)

18

kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118).

Pengertian tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, isu hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).


(26)

Sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) (Paul Suparno, 2011: 48).

Isu hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, memang sudah salah kaprah. sudah terbiasa menggunakan istilah

penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari


(27)

20

saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).

Proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata (Paul Suparno, 2011: 48).

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam


(28)

masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).


(29)

22

B. Tinjauan Tentang Kekuasaan

1. Pengertian

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992: 178).

Merupakan Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang


(30)

tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat (Yusuf Qordhawi, 2000: 17).

2. Legitimasi kekuasaan

Pemerintahan mempunya makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh

masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat


(31)

24

memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati (Oka Mahendra, 1999: 75).

Perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002: 14) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992: 178).

Pada negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Di zaman yang sudah cukup lama,para ahli filsafat sudah membagi bagi kekuasaan, yang kenal ada tiga yaitu : legeslatif,Yudikatif dan eksekutif.Tujuan tokoh dulu agar suatu negara terdapat


(32)

keseimbangan dalam menjalankan pemerintahan dalam arti lain dapat saling mengontrol kinerja dari masing-masing lembaga, sehingga roda pemerintahan akan berjalan dengan baik dan sempurna (Sarlito Sarwono, 2005: 45).

Kekuasaan merupakan unsur penting dalam kehidupan masyarakat karena peranannya dapat menentukan nasib berjuta-juta orang. Kekuasaan senatiasa ada dalam masyarakat, baik masih sederhana maupun masyarakat besar dan kompleks. Adapun keberadaan kekuasaan tergantung pada sifat hubungan anatar yang berkuasa dan yang terpaksa. Sosiologis mengakui adanya unsur kekuasaan sebagai bagian penolong dalam kehidupan masyarakat. Sosiologis tidak menilai baik dan buruknya kekuasaan karena ukurannya dari kegunaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah di tentukan oleh masyarakat (Sarlito Sarwono, 2005: 48). Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya. Bila kekuasaan itu melembaga dan di akui masyarakatnya, disebut wewenang. Kekuasaan mempunyai aneka bentuk serta sumber yang berbeda- beda misalnya hak milik kebendaan, kedudukan sosial, birokrasi dan intelektualitas. Adapun unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan ialah rasa takut, rasa cinta, kepercayaan dan pemujaan atau sugesti. Keempat unsur ini senantiasa dimanfaatkan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya (Sarlito Sarwono, 2005: 49). Saluran pelaksanaan kekuasaan dapat berupa :

a. Saluran militer

Tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat,sehingga mereka tunduk pada kemauan penguasa. Untuk itu,


(33)

26

dalam organisasi militernya sering di bentuk pasukan khusus, dinas rahasia, dan satuan pengaman kerusuhan.

b. Saluran ekonomi

Pengusaha berusaha menguasai segala jaringan ekonomi,sehingga penguasa dapat menyalurkan perintah-perintahnya melaui berbagai peraturan perekonomian, baik masalah modal, buruh, ekspor impor dan sebaginya

c. Saluran politik

Penguasa sengaja membuat berbagai peratuaran yang harus ditaati masyarakat agar berbagai perintahnay berjalan lancar. Untuk itu sengaja di angkat para pejabat yang loyal

d. Saluran tradisi

Penguasa mempelajari dan memanfaatkan tradisi yang berlaku dlm masyarakat guna kelancaran pemerintah.

e. Saluran ideologi

Penguasa mengemukakan serangkaian ajaran dan doktrin hingga menjadi ideologi bangsa sekaligus menjadi dasar pembenaran segala sikap dan tindakannya selaku penguasa

f. Saluran lainnya

Berupa pers, kebudayaan, keagamaan dan sebagainya. Saluran mana yang paling efektif sangat tergantung pada struktur masyarakat yang bersangkutan. Menururt Mac Iver dapat dijumpai tiga pola umum dari sistem pelapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu sebagai berikut sistem pelapisan kekuasaan dengan garis-garis pemisahan yang tegas dan kaku. Biasanya di jumpai dalam masyarakat yang berkasta, dimana garis pemisah tak mungkin di tembus.


(34)

Pada puncak piramida di atas duduk raja, berikut bangsawan, orang pekerja pemerintahan, tukuang-tukang dan pelayan-pelayan, petani dan buruh, serta pada level bawah budak-budak Tipe kedua adalah tipe oligrakis yang masih memiliki garis pemisahan yang tegas, namun terbuka kesempatan bagi warga biasa untuk memperoleh kekuasaan tertentu Tipe demokratis adalah tipe yang memunjukkan kenyataan akan adanya garis-garis pemisah yang sangat terbuka, dengan di tentukan oleh kemampuan dan faktor keberuntungan berikut gambaran perbandingan antara masyarakat praindustri, industri, dan pascaindustri (Sarlito Sarwono, 2005: 48)

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979: 48).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.


(35)

28

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

a. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):

1) Undang-undang tidak berlaku surut.

2) Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, 3) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

4) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.


(36)

5) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.

6) Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

7) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

b. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:

1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

2) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.

4) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.

5) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.


(37)

30

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:

1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.

3) Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

4) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.

5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

7) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

8) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.

10) Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.


(38)

Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):

1) Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

2) Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. 3) Yang kurang-ditambah.

4) Yang macet-dilancarkan.

5) Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan. d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap


(39)

32

buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1997: 48):

1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2) Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

D. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Dalam kompleksitas sudut pandang terhadap kasus ini dapat pula diambil beberapa konsep teori: IW Friedman tentang Legal Theory yang menyatakan bahwa dalam hukum ada empat unsur, yakni :

1) Di dalamnya termuat aturan atau ketentuan 2) Bentuknya dapat tertulis dan tidak tertulis

3) Aturan atau ketentuan tersebut mengatur masyarakat 4) Tersedia sanksi bagi para pelanggarnya

Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dapat dicapai dengan melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang. Implementasi dari tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan pada suatu negara yang berdasarkan hukum. Untuk mencapai tujuannya hukum haruslah ditegakkan, dalam hal ini hukum tersebut dapat


(40)

diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik).

Selain itu diperlukan juga sistem hukum yang baik, Friedman menyatakan bahwa dalam sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur hukum. Menurut Friedman struktur hukum adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur system hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur institusi penegakan hukum yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga permasyarakatan. Yang dimaksud substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada dalam system tersebut. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam system hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law ( hukum yang hidup), dan hukum bukan hanya aturan yang tertulis dalam kitab undang-undang ataulaw in the book.

Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum juga adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Jadi, kultur hukum sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Hubungan antara tiga unsur system hukum tersebut dapat diilustrasikan sebagai pekerjaan mekanik yang saling terkait dan tidak dapat bergerak secara keseluruhan apabila salah satu unsurnya tidak dijalankan. Walter C Recless membedakan karir penjahat dalam : penjahat biasa, penjahat


(41)

34

berorganisasi, dan penjahat professional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional, mulai dari pencurian ringan sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang sangat kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis illegal berskala besar, kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas ekonomi diluar hukum.

Penjahat profesional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan yang besar dan sulit diungkap oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan keterampilan daripada kekerasan. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/massmedia)

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapatdibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal'(bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut di atasupaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana,


(42)

Cuba,diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, antara lain:

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/ kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi;

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;

d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan;

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yangpemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut di atas;

i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;


(43)

36

j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleransi.


(44)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dapat berkembang.

B. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 49-50) sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada data


(45)

38

Sekunder, adalah data yang diperoleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

b. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer berupa Peraturan Pemerintah, Rancangan Undang-Undang dan Putusan-putusan hukum.

c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, media massa, kamus maupun data-data lainnya.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah:

a. Polisi


(46)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Menurut Soekanto Soerjono (1986: 48) pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut Studi dokumentasi dan Studi Pustaka, studi dokumentasi dan pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tertier). Kemudian menginventarisir serta mensistematisirnya.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejalasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun

dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya.

c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.


(47)

40

3. Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian dianalisa secara menyeluruh. Tujuan analisa ini adalah menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Pada penganalisaan data, dipergunakan analisis kualitatif dengan cara mendeskripsikan data mengenai langkah- langkah kebijakan yang dilakukan yaitu suatu cara berpikir dari hal-hal bersifat umum kemudian diambil kesimpulan secara khusus (Masri Singarimbun & Sofian Effendi, 1995: 112).


(48)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab berkembangnya praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia yaitu:

a. Sifat tamak dan kurangnya kesadaran bersyukur b. Penghasilan tidak memadahi

c. Kurangnya keteladanan dari pimpinan d. Kultur organisasi yang salah

e. Nilai negatif yang hidup dalam masyarakat f. Moral yang lemah

g. Kebutuhan hidup yang mendesak

h. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.

2. Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap praktik penegakan hukum pidana yang berpihak pada kekuasaan dan uang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara umum dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu non penal dan penal. Upaya penal dilakukan dengan formulasi (kebijakan legislatif/legislasi), aplikasi (kebijakan


(49)

57

yudikatif/yudicial) dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Sedangkan upaya non penal adalah dengan memberikan pemahaman kepada pejabat dan masyarakat akan kejahatan korupsi, akibat-akibat dan konsekuensinya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Kasus hukum pidana di Indonesia memperlihatkan bahwa hukum pidana berdampak negatif pada pembangunan nasional melalui kebocoran keuangan negara, menghambat investasi, memperluas jurang kaya dan miskin, merusak tatanan masyarakat, serta merusak kehidupan bernegara, oleh karena itu harus diupayakan penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana.

2. Apabila terdapat banyak kelemahan dalam perumusan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka akan mempengaruhi pula proses penegakan hukumnya. Maka dalam menentukan pilihan kebijakan yang ideal dalam perumusan pertanggungjawaban pidana, hendaknya menjadi perhatian agar perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana.


(50)

Penulis bernama Ambo Ase A P, beragama Islam dilahirkan di Jambi, pada tanggal 01 Juni 1985. Penulis merupakan anak kesembilan dari Sembilan bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Hi Ambo Occong dengan Ibu Hj Indo Kanto

Penulis mengenyam jenjang pendidikan Sekolah Dasar Negeri 01 Pasir Sakti Lampung Timur yang diselesaikan pada tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama PGRI 4 Jabung diselesaikan pada tahun 2001, Sekolah Menengah Umum Perjuangan yang diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana.


(51)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG BERPIHAK PADA

KEKUASAAN DAN UANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr.Heryandi, SH., MS., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan bantuannya.

4. Bapak Tri andrisman, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan dan mendukung penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan


(52)

6. Bapak Gunawan Jatmiko, SH., MH., selaku Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis.

7. Ibu dona raiza SH,MH Dan Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas II, atas waktu, saran, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis. 8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hokum kepada penulis.

9. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik di bidang kemahasiswaan maupun akademik yang telah banyak membantu penulis demi kelancaran skripsi ini yang tidak dapat saya tulis kan nama-nama nya satu per satu,saya ucapkan terimakasi yg tak ter hingga

10. Alm Nenek dari Ayah Hi.Daeng Massenggeng dan Hj.Indo Nyilik,Serta Alm Nenek Dari Ibu Hi.Ambo Tolah Dan Hj.Indo Sanabek,Alm Paman Hi.Mussa semua Kaka,Kaka sepupuku,Kakak Ipar, Yang Telah Memberikan Dukungan Secarah Moral Dan Moril

11. Sahabatku yang selalu mendukung dan bantuan selama ini, Sukarman, Nisa Irham Mudin Farit, Arif Hidaya Tullah, Mat Riswan, Teriy, Ardat Putra, Adit, M Tofan, Kocu.

12. Teman-teman seperjuangan di Kampus Universitas Lampung, Tukul, Retno Anggreni, Irma, Alaila, Berian, Ana,Ariska, teman-teman angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya.


(53)

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan baik berupa moril maupun materiil kepadaku selama menempuh studi.

Akhirnya khusus kepada Ayah dan Ibu tersayang kupersembahkan karya kecilku ini sebagai tanda bhaktiku, ananda taruhkan sembah bhakti, terima kasih yang

tiada terkira atas do’a dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan kepada saya yang tak pernah pudar.

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan do’a semoga semua amal

kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(54)

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Sekretaris/ Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ………

Penguji

Bukan Pembimbing :Gunawan Jatmiko. S.H., M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, SH. MS. NIP. 196211091987031003


(55)

Motto

Bila kau ingin dicintai , belajarlah mencintai dan bersikap dapat dicintai .

(Benjamin Franklin )

Tawa menyembuhkan berbagai kepedihan .

(Madeleine L Engle )

Tidak mempunyai kontrol atas perasaan adalah seperti berlayar dengan

kapal tanpa kemudi, yang akan pecah berkeping-keping ketika terbentur

batu karang yang pertama .

(Mahatma Gandhi )

Pantang Menyerah Di Segala Rintangan Dan Kegagalan Awal Dari

Kesuksesan


(56)

Puji syukur kupersembahkan kehadirat Allah SWT

Dzat yang tiada bandingnya yang telah menjadikan

segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah,

Dengan segala kerendahan hati

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada:

Ibu Hj.Indo Kanto & Bapak Hi.Ambo Occong yang telah

membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran dan kasih

sayang, yang selalu berdo a disetiap waktu demi kesuksesanku,

Anakmu tersayang.

Kakakku: Bunga Intan , HJ.Indo Ufek , Ambo Acok , Hj.Indo Asse ,

Ambo Siang , Alm Hj.Indo Jemmah , Hi Ambo Angka , Hj Tenri,

terimakasih atas dukungannya.

Kakak iparku: Abdul Talib , Hi Abdul Gani , Indo Assa , Hi Arifin ,

Nurlena , Yusma Wati S,pd , Basok Jamal.

Serta Ponakanku (Tahani,Indo Ake,Ambo Tappa,Abdul

Rahman,Ambo Ufek,Rina,Firda,Rani,Aldi,Eka,Fira,Resa,Riski )

yang telah menjadikan ku dewasa dari nya secara berpikir lebi

dewasa.


(1)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG BERPIHAK PADA

KEKUASAAN DAN UANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr.Heryandi, SH., MS., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan bantuannya.

4. Bapak Tri andrisman, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan dan mendukung penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan


(2)

dan mendukung penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.

6. Bapak Gunawan Jatmiko, SH., MH., selaku Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis.

7. Ibu dona raiza SH,MH Dan Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas II, atas waktu, saran, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis. 8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hokum kepada penulis.

9. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik di bidang kemahasiswaan maupun akademik yang telah banyak membantu penulis demi kelancaran skripsi ini yang tidak dapat saya tulis kan nama-nama nya satu per satu,saya ucapkan terimakasi yg tak ter hingga

10. Alm Nenek dari Ayah Hi.Daeng Massenggeng dan Hj.Indo Nyilik,Serta Alm Nenek Dari Ibu Hi.Ambo Tolah Dan Hj.Indo Sanabek,Alm Paman Hi.Mussa semua Kaka,Kaka sepupuku,Kakak Ipar, Yang Telah Memberikan Dukungan Secarah Moral Dan Moril

11. Sahabatku yang selalu mendukung dan bantuan selama ini, Sukarman, Nisa Irham Mudin Farit, Arif Hidaya Tullah, Mat Riswan, Teriy, Ardat Putra, Adit, M Tofan, Kocu.

12. Teman-teman seperjuangan di Kampus Universitas Lampung, Tukul, Retno Anggreni, Irma, Alaila, Berian, Ana,Ariska, teman-teman angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya.


(3)

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan baik berupa moril maupun materiil kepadaku selama menempuh studi.

Akhirnya khusus kepada Ayah dan Ibu tersayang kupersembahkan karya kecilku ini sebagai tanda bhaktiku, ananda taruhkan sembah bhakti, terima kasih yang tiada terkira atas do’a dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan kepada saya yang tak pernah pudar.

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan do’a semoga semua amal

kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Sekretaris/ Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ………

Penguji

Bukan Pembimbing :Gunawan Jatmiko. S.H., M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, SH. MS. NIP. 196211091987031003


(5)

Motto

Bila kau ingin dicintai , belajarlah mencintai dan bersikap dapat dicintai .

(Benjamin Franklin )

Tawa menyembuhkan berbagai kepedihan .

(Madeleine L Engle )

Tidak mempunyai kontrol atas perasaan adalah seperti berlayar dengan

kapal tanpa kemudi, yang akan pecah berkeping-keping ketika terbentur

batu karang yang pertama .

(Mahatma Gandhi )

Pantang Menyerah Di Segala Rintangan Dan Kegagalan Awal Dari

Kesuksesan


(6)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kupersembahkan kehadirat Allah SWT

Dzat yang tiada bandingnya yang telah menjadikan

segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah,

Dengan segala kerendahan hati

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada:

Ibu Hj.Indo Kanto & Bapak Hi.Ambo Occong yang telah

membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran dan kasih

sayang, yang selalu berdo a disetiap waktu demi kesuksesanku,

Anakmu tersayang.

Kakakku: Bunga Intan , HJ.Indo Ufek , Ambo Acok , Hj.Indo Asse ,

Ambo Siang , Alm Hj.Indo Jemmah , Hi Ambo Angka , Hj Tenri,

terimakasih atas dukungannya.

Kakak iparku: Abdul Talib , Hi Abdul Gani , Indo Assa , Hi Arifin ,

Nurlena , Yusma Wati S,pd , Basok Jamal.

Serta Ponakanku (Tahani,Indo Ake,Ambo Tappa,Abdul

Rahman,Ambo Ufek,Rina,Firda,Rani,Aldi,Eka,Fira,Resa,Riski )

yang telah menjadikan ku dewasa dari nya secara berpikir lebi

dewasa.