5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus) 2.1.1 Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus)

2.1.1 Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus)

Gambar 2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus

  Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias sp

  5

  2.1.2 Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

  Ikan lele dumbo (C. gariepinus) memiliki morfologi yang mirip dengan lele lokal (C. batrachus). Bentuk tubuh memanjang, agak bulat, dan batok kepalanya keras, tidak bersisik dan berkulit licin, mulut besar, warna kulit badannya terdapat bercak-bercak kelabu seperti jamur kulit manusia (panu) (Bachtiar, 2006).

  Menurut Najiyanti (1992) dalam Rustidja (2004) bentuk luar ikan lele dumbo yaitu memanjang, dan tidak bersisik. Mulut ikan lele dumbo terdapat di bagian ujung moncong dan dihiasi oleh empat pasang sungut, yaitu 1 pasang sungut hidung, 1 pasang sungut maksilan (berfungsi sebagai tentakel) dan dua pasang sungut mandibula. Lele dumbo memiliki 5 sirip yaitu sirip ekor, sirip dada, sirip punggung, dan sirip bagian dubur. Pada sirip dada jari-jarinya mengeras yang berfungsi sebagai patil, tetapi pada ikan lele dumbo patilnya lemah dan bersifat tidak beracun. Pada ikan lele dumbo insang berukuran kecil, terdapat alat pernafasan tambahan (arborecent) yang terletak pada insang bagian atas (arborecent) berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah.

  2.1.3 Habitat Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepnus)

  Pada umumnya ikan lele dumbo tidak ditemukan di air payau atau di air asin, habitanya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, serta kolam. Di alam bebas, lele dumbo memang lebih menyukai air yang arusnya mengalir secara perlahan atau lambat, lele dumbo kurang menyukaialiran air arus yang deras. Lele dumbo ternyata sangat toleransi terhadap suhu air yang cukup tinggi yaitu 20-35

  C, disamping lele dumbo dapat hidup pada kondisi lingkungan perairan yang jelek. Ikan lele dumbo kondisi air dengan kandungan oksigen yang sangat minim masih dapat bertahan hidup, karena ikan lele dumbo memiliki alat pernafasan tambahan yang disebut organ arborescent (Susanto, 2009).

2.1.4 Sifat Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

  Pada siang hari ikan lele dumbo memang jarang menampakkan aktivitasnya dan lebih menyukai tempat yang bersuasana sejuk dan gelap. Ikan lele dumbo bersifat noktural (aktif pada malam hari). Ikan lele dumbo mencari makan biasa dilakukan pada malam hari, namun pada kolam-kolam budidaya ikan lele dumbo dapat dibiasakan diberi pakan pada siang hari (Suyanto, 2010).

  Ikan lele dumbo terkenal sebagai ikan yang rakus, karena mempunyai ukuran mulut yang cukup lebar hingga mampu menyantap makanan alami di dasar perairan dan buatan misalnya pellet. Ikan lele dumbo sering digolongkan sebagai ikan pemakan segala (omnivora) seperti bangkai ayam, bebek, burung dan ungags lainnya. Namun, jika di kolam budidaya, ikan lele dumbo mau menerima segala jenis makanan yang diberikan (Santoso,1994).

2.2. Imunostimulan

  Imunostimulan adalah senyawa biologis atau senyawa lainnya yang dapat menngkatkan sistem respons imun non-spesifik (Hernawati et al., 2013).

  Imunostimulan terdiri dari kelompok biologis dan senyawa sintetik yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan non-spesifik seluler dan humoral (Mehana

  

et al ., 2015). Menurut Sakai (1999), dosis dan lama waktu perlu dipertimbangkan

  dalam pemberian imunostimulan adalah faktor penting, apabila imunostimulan diberikan dalam dosis yang tinggi atau berlebihan maka respon yang ditimbulkan dapat teramati dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, apabila diberikan dalam waktu yang berkepanjangan, dosis yang tinggi mungkin tidak akan meningkatkan. Bahan yang dapat digunakan sebagai imunostimulan dibagi menjadi 2 yaitu bahan biologis dan sintetik. Imunostimulator biologi terdiri dari hormon timus, interferon, limfokin, antibodi monoklonal, bahan yang berasal dari bakteri dan jamur. Imunostimulator sintetik meliputi levamisol, isoprenosin, muramil dipeptida (MDP), dan bahan-bahan lain seperti bestatin, Tufsin, dan Maleic anhydride (Bratawijaya, 2004).

2.2.1 Sistem Imun Pada Ikan

  Ikan seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap patogen. Sistem pertahanan tersebut terdiri dari sistem pertahanan konstitutif dan yang diinduksi (inducible). Sistem pertahanan konstitutif menjalankan perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi, infeksi, dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Sistem pertahanan konstitutif dikenal pula sebagai sistem pertahanan innate (bawaan atau alami).

  Adapun sistem pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquired), maka untuk berfungsi dengan baik harus diinduksi antara lain dengan pemaparan pada patogen, misalnya vaksin. Sistem pertahanan yang diinduksi meliputi pula respon imun terhadap patogen penyebab infeksi. Ikan memiliki kemampuan respon imun humoral dan yang diperantarai sel (cell-mediated immune response). Selain itu pada ikan sudah mulai terdapat respon imun spesifik terhadap antigen (imunoglobin). Pada ikan, respon imun baru terbentuk sempurna manakala ikan sudah dewasa, meskipun pada larva atau ikan muda sudah terbentuk respon imun tetapi kerjanya kurang efisien sehingga rentan terhadap penyakit (Tizard, 1982).

  Beragam faktor mempengaruhi masing-masing individu dalam menanggapi suatu patogen potensial. Patogen harus dapat menembus sistem imun ikan untuk dapat menimbulkan penyakit. Daya tahan alami memungkinkan suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen, atau tidak mampu mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrien maupun lingkungan bagi pertumbuhan patogen. Pada umumnya organisme memiliki daya tahan yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status nutrien, dan ada tidaknya stress. Saat ikan pada kondisi lemah dan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (misalnya air tercemar, masa pergantian musim, perubahan suhu yang cepat), maka ikan menjadi rentan terhadap serangan patogen (Suyanto, 2007).

  2,2.2 Respons Imun Spesifik

  Respons imun spesifik adalah suatu mekanisme yang kompleks dari sel tertentu, protein, gen, dan respons biokimia yang berfungsi dalam memberikan pertahanan tubuh terhadap antigen tertentu, antibodi, dan sel penerima dengan spesifitas serta affinitas yang tinggi (Uribe et al., 2011). Antigen yang menginfeksi ulang akan lebih cepat dikenal, lalu akan dihancurkan oleh imun spesifik. Pemeran utama untuk sistem imun spesifik ialah sel B dan sel T (Bratawijaya, 2004).

2.2.3 Respons Imun Non Spesifik

  Upaya yang dilakukan oleh tubuh ikan dalam mempertahankan diri terhadap serangan benda asing adalah dengan menghancurkan benda asing tersebut secara non-spesifik dengan proses fagositosis. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh yang dapat memberikan respon langsung terhadap antigen atau suatu sistem pertahanan tubuh yang berfungsi untuk melawan segala jenis patogen yang menyerang dan bersifat alami. Kekebalan non-spesifik termasuk imunitas bawaan (innate immunity), bekerja secara umum karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu yang telah ada dan memiliki fungsi sejak lahir (Kamiso, 1990).

  Sistem kekebalan non-spesifik mencakup pertahanan pertama dan pertahanan kedua. Pertahanan pertama yaitu pertahanan fisik seperti sisik, kulit, dan mukus. Mukus memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit, insang, dan mukosa. Mukus ikan mengandung imunoglobin (IgM) alami dan bukan sebagai respon dari pemaparan antigen. Imunoglobin merupakan antibodi yang dapat menghancurkan patogen yang menyerang tubuh. Adapun sisik dan kulit berperan dalam melindungi ikan dari kemungkinan luka dan sangat penting peranannya dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Menurut Baratawidjaja (2004) respons imun non-spesifik terdiri dari tiga aspek yaitu pertahanan fisik/mekanik, pertahanan humoral, dan pertahanan selular yang dapat memberikan responnya secara langsung.

2.2.4 Vitamin C

  Vitamin C adalah nutrient yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Vitamin C termasuk golongan antioksidan, secara umum vitamin C mempunyai berbagai peranan di antaranya meningkatkan pertumbuhan normal, mengurangi stress, mempercepat penyembuhan luka, dan meningkatkan pertahanan atau kekebalan tubuh melawan infeksi bakteri (Susanto et. al., 2009). Vitamin C berada dalam dua bentuk, yaitu reduksi asam askorbat serta oksidasi asam dehidroaskorbat, keduanya adalah struktur biologi aktif. Asam askorbat atau vitamin C adalah agen pereduksi, reaksi yang berhubungan dengan fungsi vitamin C merupakan hidroksilasi dan reduksi. Dalam reaksi hidroksilasi lisin dan prolin, vitamin C berperan sebagai co-faktor. Lisin dan prolin adalah komponen jaringan konektif yaitu dasar struktural anatomi hewan multisel (Isnansetyo, 1996 dalam Mulia, 2012). Konsentrasi pada vitamin C yang normal pada pakan adalah faktor pembatas untuk mengoptimalkan tanggap kebal serta mekanisme pertahanan non spesifik lainnya (Ellis, 1998 dalam Mulia, 2012).

  Selain berperan dalam kesehatan ikan dan udang, vitamin C juga berperan sebagai unsur yang dapat mengembalikan fungsi imunitas dalam tubuh ikan atau udang (Rukyani, 1992). Selain itu vitamin C dapat meningkatkan aktivitas Cell

Mediaded Immunity (CMI) atau faktor-faktor non spesifik lainnya (Setyabudi et.

  ., 1992 dalam Mulia, 2012). Vitamin C ikut terlibat di dalam pembentukan

  al

  epinefrin dan steroid anti pendarahan, penyembuhan luka, sistem kekebalan, dan fungsi leukosit.

2.3 Imunostimulan Padina sp.

Gambar 2.2 Ekstrak Rumput Laut Cokelat (Padina sp.)

  Menurut Dawes (1981) klasifikasi Padina sp. adalah sebagai berikut : Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Dictyotales Famili : Dictyotaceae Genus : Padina Spesies : Padina sp.

  Padina sp. merupakan alga yang berasal dari kelas phaeophyta yang

  memiliki pigmen berupa karoten, fucoxanthin serta klorofil a dan b. Habitat dari

  

Padina sp. berada pada daerah intertidal laut dan biasanya menempel pada batu

  karang baik di tempat terbuka maupun tempat yang terlindung. Thallus Padina sp. berbentuk lembaran seperti kipas dengan diameter 3-4 cm yang tumbuh dalam lingkaran konsentris. Alga ini berwarna coklat kekuningan dan ada yang memutih karena terdapat perkapuran. Pigmen warna coklat pada kelas alga coklat disebabkan adanya pigmen dominan yaitu fucoxanthin dan pigmen- pigmen xanthophyll (Abad et al., 2008). Menurut Rachmat et al. (1999) terdapat empat spesies Padina sp. di Indonesia yang telah diidentifikasi, antara lain

  

Padina javonica, Padina australis, Padina commersonii, dan Padina

tetrastomatica . Beberapa penelitian menyatakan bahwa Padina sp. memiliki

  aktivitas dalam meningkatkan kekebalan nonspesifik. Penelitian yang telah dilakukan Ridlo dan Pramesti (2009) menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak rumput laut Padina sp. pada dosis 10g/kg pakan mampu meningkatkan jumlah total hemosit dan aktivitas fagositosis udang L. Vannamei.

   Indonesia mempunyai potensi yang baik untuk mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan lautnya, termasuk rumput laut (Sulistyowati, 2003).

  Rumput laut memiliki kandungan metabolit primer dan sekunder. Kandungan metabolit primer yaitu vitamin, mineral, serat, alginat, karaginan, dan agar banyak dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik dalam pemeliharaan kulit. Selain kandungan primer yang bernilai ekonomis, kandungan metabolit sekunder dari rumput laut juga berpotensi sebagai produser metabolit bioaktif yang beragam dengan aktivitas yang sangat luas sebagai antibakteri, antivirus, antijamur (Zainuddin dan Malina, 2009).

  Rumput laut hijau, merah, ataupun coklat adalah sebagai sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat sekali bagi pengembangan (a) industri farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau sebagai reversal agent dan (b) industri agrokimia terutama untuk antifeedant, fungisida, dan herbisida (Bachtiar, 2007).

  Rumput laut banyak sekali dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai obat luar, salah satunya ialah sebagai bahan antiseptik alami (Kordi, 2010). Hasil penelitian Pringgenies et al. (2011) menunjukkan potensi rumput laut sebagai antibakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi. Salah satunya adalah penyakit infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada kulit. Bakteri

  

Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman

  patogen yang sering menyebabkan infeksi kulit pada manusia, sedangkan

  

Micrococcus luteus merupakan bakteri yang sering ditemukan menginfeksi kulit

ikan (Refdanita et al., 2004; Aydin et al., 2005).

  Pencegahan terhadap serangan infeksi dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Seiring dengan meningkatnya resistensi bakteri dalam dunia kesehatan, perlu adanya penemuan obat baru. Sumber antibakteri baru dapat diperoleh dari senyawa bioaktif yang terkandung pada suatu tumbuhan, salah satunya yaitu dari rumput laut. Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan cara ekstraksi, ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut. Untuk dapat memperoleh ekstrak yang baik dilakukan ekstraksi secara bertingkat dimulai dari pelarut non polar (n-heksana, sikloheksana, toluene, an kloroform), kemudian dengan pelarut semipolar (diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan polar (metanol, etanol dan air) sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, semipolar, dan polar (Houghton dan Raman, 1998).

2.3.1. Penyakit Ikan

  Penyakit ikan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mampu menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung (Ghufran & Kordi, 2004). Pada umumnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan adanya proses hubungan antara tiga faktor meliputi kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), serta adanya jasad patogen (jasad penyakit).

  Dengan adanya tiga faktor tersebut, timbul serangan penyakit yang merupakan hasil interaksi yang tidak sesuai antara lingkungan, ikan dan jasad/organisme penyakit. Akibat interaksi yang tidak sesuai ini dapat mengakibatkan ikan menjadi stress, sehingga mekanisme pertahanan diri menjadi lemah yang akhirnya mudah terserang oleh penyakit (Afrianto & Liviawaty, 2006).

  Ikan yang terserang penyakit mudah sekali ditularkan dari satu ikan ke ikan lainnya karena media hidup ikan adalah air. Penyakit dapat ditularkan melalui kulit serta insangnya. Ikan lele dumbo akan peka terhadap kualitas pakan yang buruk, penanganan ikan secara kasar, dan lingkungan perairan yang kurang mendukung sehingga dapat meningkatkan terjadinya stress. Ikan yang menderita stress akan menimbulkan kondisi yang tidak normal seperti sirip rontok, insang pucat, mata menonjol, adanya bintik-bintik putih kemerahan pada insang, bintik- bintik putih pada kulit, pendarahan serta bengkak pada bagian anus. Ikan lele dumbo yang dipelihara dalam kondisi optimal pada umumnya dapat tahan terhadap serangan virus, parasit, dan bakteri. (Afrianto & Liviawaty, 2006)

2.3.2. Kualitas Air Media Hidup Ikan Lele Dumbo

  Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan yaitu kualitas air. Kualitas air yang baik adalah yang dapat diterima ikan dan tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ikan, penetasan telur, dan kehidupan ikan (Zonneveld et al., 1991). Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan ikan stress sehingga pertumbuhan menurun dan ikan rentan terhadap kematian (Rosmawati & Muarif, 2010). Faktor yang berhubungan dengan air perlu diperhatikan antara lain yaitu oksigen terlarut, suhu,dan pH.

1. Suhu

  Suhu merupakan salah satu parameter air yang sangat berpengaruh pada kehidupan ikan, karena merupakan faktor fisika yang dapat mempengaruhi aktivitas fisika dan kimia di dalam suatu perairan. Suhu juga mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen, kekentalan atau viskositas air, distribusi mineral dalam air, serta kandungan oksigen yang terlarut. Suhu air yang optimal untuk pertumbuhan ikan berkisar antara 24-27

  C, sedangkan suhu air minimum yang masih bisa diterima oleh ikan yaitu 20 C, dan untuk suhu maksimalnya yaitu 30 C (Bachtiar, 2007).

2. Derajat Keasaman (pH)

  Derajat keasaman (pH) yang kurang optimal mengakibatkan ikan mudah terserang penyakit, stres, produktivitas dan pertumbuhan rendah.

  Keasaman (pH) memegang peranan yang penting dalam bidang perikanan karena berhubungan dengan kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi.

  Untuk mendukung secara baik bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan di kolam, nilai pH berkisar antara 6,4-8,5. Pada perairan yang mempunyai nilai pH antara 4-6 atau 9-10, ikan-ikan di dalam kolam masih dapat hidup, tetapi pertumbuhannya sangat lambat sehingga produksinya sangat rendah. Nilai pH pada banyak perairan alami berkisar dari 4 sampai 9. Air yang digunakan untuk budidaya ikan pada kolam air tenang mempunyai nilai pH antara 6,7- 8,2 (Zonneveld et al., 1991). Nilai pH yang dapat ditoleransi lele dumbo adalah berkisar antara 6,5-8 (Ghufran, 2005 dalam Minggawati et al., 2012)

3. Oksigen Terlarut

  Konsentrasi oksigen terlarut dalam air berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Untuk dapat digunakan oleh organisme air, maka oksigen harus berada dalam posisi terlarut dalam air. Oksigen akan digunakan oleh ikan dalam pembakaran bahan makanan yang akan menghasilkan suatu energi yang digunakan dalam beraktivitas, pertumbuhan, reproduksi, dan lain-lain. Apabila oksigen tersebut dalam suatu perairan yang kurang, maka akan dapat mempengaruhi kehidupan ikan dan aktivitasnya Menurut (Djariah, 1992) konsentrasi oksigen yang optimal bagi budidaya ikan lele dumbo adalah 5 ppm, dan lebih baiknya pada konsentrasi 7 ppm, akan tetapi untuk benih lele dumbo konsentrasi oksigen minimumnya adalah 2 ppm. Konsentrasi oksigen minimum yang mampu diterima oleh sebagian besar untuk spesies ikan agar dapat bertahan hidup dengan baik yaitu pada 5 ppm. Ikan masih dapat bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen dibawah 4 ppm, tetapi nafsu makannya cenderung rendah bahkan tidak memiliki nafsu makan, sehingga pertumbuhan ikan menjadi terhambat. (Afrianto & Liviawaty, 1994).