Membaca kembali syariah : mengelupaskan Agama dari sisi-sisi paradoksnya studi tentang Jihad di Majelis Mujahidin Indonesia [MMI] - USD Repository

  

M E M B A C A K E M B A L I S Y A R I ’ A H :

M E N G E L U P A S K A N A G A M A D A R I S I S I - S I S I

P A R A D O K S N Y A

  

Oleh

Lailatul Fitri

016322009

  

Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB)

Program Pasca Sarjana

! " #$$%&

  Halaman Persembahan Untuk

  Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia Father Baskara T Wardaya

  Mamak-Bapak

  ( )”………Boris Pasternak (Dr. Zhivago)

  

Abstraksi

  • ' ( ) ' * + , ) . - * ) &

  Studi Tentang Jihad Di Majelis Mujahidin Indonesia Beberapa tahun belakangan ini, umat beragama sering disuguhi dan

mungkin juga menyuguhkan pertikaian dan berbagai tindak kekerasan yang sudah

sangat anarkis dan brutal, dengan menggunakan simbol-simbol dan idiom-idiom

agama.

  Tindakan kekerasan tersebut menurut banyak kalangan tidak bermula dari

ajaran agama. Karena agama, mana pun, mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan,

perdamaian, persaudaraan, cinta kasih, dan sebagainya. Agama pada hakikatnya

mengharamkan praktik-praktik kekerasan. Praksis kekerasan itu terjadi karena

adanya faktor-faktor lain di luar agama yang ikut berperan, misal sosial, politik,

dan terlebih ekonomi. Apalagi kalau mengacu pada ideologi Karl Marx, teknikal

topografik pertikaian agama hanyalah menjadi materialisasi dari sesuatu yang lain

yaitu pertikaian ekonomi. Bahwa orang yang bertikai bukan mempertahankan

kebenaran tapi keunggulan ekonomi.

  Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa agama dengan satu dan

dua cara turut memotivasi konflik dan perang. Selain, di dalam Kitab Suci tertentu

dijumpai rekaman peristiwa-peristiwa perang yang di dalamnya berlangsung

tindakan-tindakan biadab seperti pembakaran, perampokan, penjarahan, dan

pembantaian massal. Dalam satu dan dua cara juga pertikaian dan kekerasan yang

terjadi bermuara dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Dengan demikian

agama sendiri mengandung ajaran-ajaran yang bernuansa kekerasan.

  Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa ajaran-ajaran itu lahir dari atau

dalam konteks historis tertentu. Ajaran-ajaran yang mengandung makna kekerasan

lahir dari tuntutan-tuntutan saat itu yang sifatnya spesifik dan kontekstual. Oleh

karena itu seharusnya ajaran-ajaran itu tidak dipandang secara meta-histories

melainkan dipahami dalam konteksnya Jika hal itu yang dilakukan, maka pemahaman akan ajaran-ajaran agama

akan lebih luas dan kaya. Instrumentalisasi agama demi kepentingan politik atau

sebaliknya, agama memakai politik untuk memperkuat identitasnya akan dapat

diminimalisir. Untuk mengurai gagasan-gagasan di atas, penulis akan mengambil

studi kasus tentang jihad di MMI Cabang Yogyakarta.

  

Abstract

RE-READING THE SHARIA: UNMASKING

RELIGION FROM ITS PARADOX

  

A Study on the Jihad Concept of the Yogyakarta Branch of the

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI/Council of Indonesian

Moslem Fighters)

  In last few years, many members of established religion offered or are

offering conflict and violences. They tend to be brutal with using religious

symbols and idioms.

  According to the many people, the violences are not originally from

the religion. They believed that religion would only over goodness values,

kindness, peace, brotherhood, love, etc. They furthermore believed that

religion would banned any practice of violence. The practice of violence

happened because the other factors outside religion such as social, political,

and economic factors. As at Karl Marx technical of tapografhic theory-

religious conflict are usually merely reflection of economic conflict. People

who are in conflict usually are not because of religion but because they are

defending economic interest.

  But if we look closely, we will see that religion also play important

role in motivating conflicts and wars. Furthermore in the Holy Books,

certain Holy Books at least we will find description of wars in which there are

also description of brutal act like burning, booting, robbing, and even mass

killing. Many factor indicated that conflict and violence have they origin in

the values are taught by religion. It is therefore in fact religion contain some

teaching that have nuances violence.

  Nonetheless, we need to understand religious teaching from their

particular historical context. The teaching that contain nuances of violence

were born from the necessity that were in specific context and

circumstances. Because of that, we need to look at religious teaching not

only from a historical point of view but meta-histories.

  If we do that, understanding of religious teaching will become

broader and richer. By having broader and richer understanding of religious

teaching we will be able to minimalize the practice of using religion for politic

or using politic for religion. In other to explore the above ideas, the writer of

this thesis will study case the jihad concept of the Yogyakarta Branch of the

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI/ council of Indonesian Moslem fighters)

  “Kata Pengantar” Seindah apapun kata tidak bermakna jika tanpa koma, ia memerlukan

jeda , ruang, dan sebagainya. (Dewi Lestari-Filosofi Kopi). Saya sangat berterima

kasih kepada semua pihak yang telah memberikan ruang untuk menjadi belajar

bersama dan menjadi orang baik, antara lain:

  1. Dr. Ir. P. Wiryono Priyoyamtama, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Romo Paulus Suparno, yang memberikan undangan mengikuti Milad Pondok Pesantren al-Mukmin- Ngeruki, Solo dari beliau lewat Bapak St. Sunardi, bagi saya itu satu bentuk perhatian.

  2. St. Sunardi, ketua program IRB yang slalu membesarkan hati dan semangat untuk menggilai teori-teori humaniora. Romo Sastra Pratedja, yang tiada henti memberi semangat mempelajari Machiavelli, dan Romo Budi G. Subanar. Kepada keluarga besar IRB yang memberikan ruang bagi kebersamaan, persaudaraan tulus, dan kasih, bertumbuh.

  3. Romo F.X. Baskara T. Wardaya, atas share dan pertemanannya. Kali ini Allah memberiku 3 anugerah sekaligus: sahabat yang selembut rembulan, membuatku bangkit, more than I can be, pembimbing yang sangat teliti, dan “Romo” yang paling pemaaf sedunia. Yang akan selalu ingat dari romo, sampai kapanpun adalah kisah mawar yang baru kuntum dan belum terbuka, tak ada orang yang mengatakan “indah”. Suatu ketika mawar mekar dan memerah orang berbicara tentang mawar yang berduri, baginya, kenapa harus takut mendekat, cukup sadari durinya. Dalam hidup untuk tidak takut dengan hal-hal yang lebih besar. Bahwa tesis ini, adalah persembahanku untuk Romo yang paling menanti karya ilmiahku. Romo Harry Susanto, pembimbing kedua, yang memberi banyak insight pada tesis ini, terima kasih telah membantu memahami tentang Yang Kudus, yang bagai hijau bagi daun, bagai embun bagi pagi dan sebagainya.

  4. Ustadz Irfan Suharyadi Awwas beserta seluruh keluarga besar MMI Cabang Yogyakarta yang mempersilakan saya meneliti jihad dan memberikan kemudahan dalam mengakses data-data. Para ikhwan dan akhwat MMI yang baik, hangat, dan bersahabat, namun, karena satu dua hal tak bisa kusebut di sini. Bapak Muhaimin dan keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Ummahat, pak Yusdani dan pak Aden di Pusat Studi Islam (PSI) UII.

  5. Romo Haryatmoko, Romo I. Wibowo, Romo Herry Priyono, Romo Budi Susanto, Ibu Sri Mulyani, Maria Pakpahan, Pujo Sumedi, Bang Saut dan Katrin, Tri Subagya, Makin, P.M. Leksono, Listiyo, Ishadi SK. Fred Wibowo, Lana Simatupang, F.B. Hardiman, Nico L. Kana. mas Budiawan, bu Ike, dan Nico, juga para dosen tamu Abdurrahman Wakhid, Aristiddes Kattopo, Sinta Nuriah, Jose Cotte, Daniel Dakhidae, pendeta Gerrit Singgih, Barney Adeney Resikota. Henkie dan Lely yang telah melapangkan jalan bagi mujahid-mujahid IRB.

  

6. Sahabatku Andi Dianello (atas diskusi), Rusnan (miz U, very much),

Indra Ramos, Kak Firman (Gatra), Ahmad Taufiq (Tempo), Yulia (AJI dan Tri Jaya FM Solo), teman-teman IRB sepejuangan Ita dan Devi, Kamsun, Kukuh, Lilik, Maryanus pak Khoiron, juga Kemal, Tina. Singgih dan Mukhlis (atas joke-jokenya), Rudy (trims, support-nya menyelesaikan studi ini, sesegera mungkin), Ali, Wakhid (atas masukannya), Samuel dan bang Vic. Terkhusus buat Rudi Rahabeat atas dukungan, kesabaran, dan dorongan yang tiada henti-hentinya memotivasi agar ide mewujud dalam bentuk tulisan, menjadi sahabatku dalam bahagia, sekaligus sahabat sejati dalam sedih. Di tengah kesibukan, trim, telah menyempatkan mengedit tesis ini. Takkan kulupa Bang Harun al Rasyid (Cides), Dian Yanuar dan Laode yang menjadi jaminan saat saya disandera dan hampir diusir dari arena kongres. Secara khusus buat Laode Arham, yang meminjamkan kasetkaset wawancara dan dokumentasi-dokumentasi lainnya, yang saya gunakan sebagai sumber primer dalam tesis ini.

7. Teman-teman di lingkungan HMI Lafran Pane UII, di DPD PAN DIY,

  yang banyak memberi ruang untuk belajar bersama, Mas Sidiq, mba Tanti,… dan di C-Truth, Rudi, Tata, Aziz, Aris, Malik, dan Yanu. Ofi dan Wandi (kapan-kapan ke Merapi lagi yach, air terjun Bojong, wow), juga buat Patrick Levaique (Australian Broad Casting) untuk data-data yang dikirim juga analisis-analisisnya, Elsa, Peter, dan Anwar selama “grey November”, for time to share and understand.

  

8. Untuk bagian yang selalu ingin ku “baca“ ketimbang ku “rasa“, Suamiku

SA, yang berbeda, baik hati. Dalam ideal yang menjadi nyata. Terima kasih, yang menerimaku sebagaimana aku ada. Qodabiyaa qalbii an

syiwaka, sungguh hatiku akan menolak dengan sendirinya, selainmu.

  

9. Mamak dan Bapak, setulusnya saya bermohon maaf atas sikap keras dan

keputusan yang telah mengurai air mata (terutama Mamak), kakek-Gde, baru sekarang aku bisa memahami apa yang ingin kalian katakan, ini soal komunikasi saja. Trim atas pelajaran tentang hidup, atas kasih yang tidak bertepi. Semoga di sana kau bahagia. Idho-Cici, dan keluarga besar Sudjana Sobari di Majalaya. Nana-Suhaimi, Umi-Quyung, OOI dan “Jojo”.

  

Daftar Isi

Judul............................................................................................................... i

Pernyataan Keaslian..................................................................................... ii

Persetujuan Pembimbing............................................................................ iii

Halaman Pengesahan.................................................................................. iv

Halaman Persembahan................................................................................ v

Motto.............................................................................................................. v

Akbstrak........................................................................................................ vi

Kata Pengantar............................................................................................. viii

Daftar isi........................................................................................................ ix

  

Bab I Pendahuluan 1

A. Latar Belakang ............................................................. 1 B. Tema ............................................................. 7 C. Rumusan Masalah ............................................................. 11 D. Sumber Acuan Utama ............................................................. 12 E. Metode Penelitian ............................................................. 15 F. Kerangka Teoritis ............................................................. 16 G. Relevansi Tulisan ............................................................. 17 H. Sistematika Pembahasan ............................................................. 19

Bab II Syari’ah, Kekuasaan dan Kekerasan 20

A. Syari’ah sebagai Sumber Terbaca dan Cara Membacanya A.1.1. Basis Normatif Agama A.1.2. Syari’ah Sebagai Sebuah Penafsiran ..........................

  .......................... ..........................

  28

  31

  38 B. Pengaruh Dalil Syari’ah pada Individu ..........................

  51 C. Kekerasan, Teks, dan Konteks. ..........................

  56

  Bab III MMI Cabang Yogyakarta dan Wacana Penegakan Syari’ah 61 A. MMI, antara Islamisasi dan Arabisme ..........................

  65 A.1. Aspirasi dari Ba’asyir ..........................

  66 A.2. Kharisma Ba’asyir ..........................

  68 A.3. Arab Sebagai Mainstream ..........................

  70 B. Penguatan Identitas Ideologi di Pesantren .......................... 75

  

C. MMI dan syariah: sebuah wacana perlawanan .......................... 80

terhadap kolonialisme

D. MMI dan politik: demokrasi tidak sesuai .......................... 84

dengan Islam

E. MMI dan Jihad: Perjuangan Melawan .......................... 89

Globalisasi

F. Perempuan MMI: Syari’ah Islam Wacana .......................... 94

Mendiskripsikan Diri

  Bab IV MMI dan Praksis Jihad; dari Tradisi ke “Keberagamaan yang Ekstrem”97 A. Wacana Kekerasan dalam Islam: Sebuah .......................... 102 Dasar Fiqhiyah.

B. Pengaruh Perang dalam Rumusan Fiqh. .......................... 107

C. Kedamaian yang Terkoyak. .......................... 111

D. Bahasa, Agama dan Budaya. .......................... 114

Bab V Penutup 126 A. Syari’ah: Gunung Masalah .......................... 127 B. Membaca Ulang, Menghilangkan Kabut ..........................

  131 Tebal

C. Kekerasan Sebagai Musuh Bersama .......................... 133

Daftar Pustaka 138

Bab I Pendahuluan: Agama, Syari’ah dan Praksis Kekerasan A. Latar Belakang dan Deskripsi Penelitian

1 Berbicara masalah agama, seperti berbicara mengenai sebuah paradoks. Di

  satu sisi, agama mengajarkan pemeluknya untuk mengamalkan kasih, menghargai sesama manusia, dan perdamaian. Agama merupakan tempat bagi pemeluknya untuk menemukan kedalaman hidup, kedamaian, dan (mungkin juga) penghiburan- penghiburan berupa berita gembira dan kabar pembebasan yang mengukuhkan segala harapan menuju “tanah terjanji”. Agama pun menjadi kekuatan bagi banyak orang

  2 untuk menghadapi berbagai penderitaan dan penindasan.

  Pada sisi ini sepertinya mustahil jika agama dari dirinya sendiri akan mendorong orang untuk melakukan tindak kekerasan represif yang menyengsarakan orang lain. Agama bahkan menegaskan dirinya mengharamkan praktik-praktik kekerasan. Fitrah agama menyangkut ke-fitri-an hidup, keluhuran akhlak, ketenangan, dan sebagainya. Kebrutalan, kezaliman dan tindakan-tindakan amoral lainnya menjadi

  3 bertentangan dengan fitrah agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.

  Namun, pada sisi yang lain, agama seringkali justru “bercumbu mesra” dengan kekerasan dan kebrutalan. Fenomenologi agama tidak terlepas dari praktik-praktik

  ! " !# $ $ " % & ' ( & ' ))* )+,- ( ! "

  ! ,-" kekerasan. Dalam Kitab Suci tertentu bahkan digambarkan event-event kekerasan seperti ritual kurban, hukuman bagi pelanggaran terhadap ajaran agama berupa hukuman potong tangan dan cambuk, serta perang. Agama juga punya “andil besar” dalam meniupkan kecurigaan, merekayasa kebencian, mengundang kesalahpahaman, membangkitkan kemarahan, dan membenarkan berbagai tindakan radikal, destruktif,

  4

  dan dehumanistik lainnya. Sejarah mencatat bahwa agama terkait dalam berbagai tindak kekerasan, tak terkecuali di Indonesia beberapa tahun belakangan ini.

  Dalam memandang paradoks itu ada pihak yang berdalih bahwa bukan agama, melainkan pemeluknya yang mempolitisasi agama demi kepentingan pribadinya untuk mendapatkan kekuasaan dan klaim atas kebenaran pendapatnya. Pada titik ini, sering kali teks-teks Kitab Suci dipolitisasi sedemikian rupa, agama dijadikan tameng untuk menutupi kepentingan dan kejahatan seseorang. Bisakah memisahkan agama dari pemeluknya? Kalau kita mau realitis, pada dasarnya sikap dan tindakan orang beragamalah yang dipermasalahkan.

  Banyak kalangan, terutama pengamat dan akademisi menafikan faktor agama sebagai pemicu kekerasan. Mereka cenderung melihat faktor lain, yaitu ketidakpuasan terhadap tatanan yang ada, kesenjangan ekonomi, pertarungan politik, dan kecemburuan sosial. Apakah dapat dikatakan bukan agama jika tindakan kekerasan itu diilhami oleh teks-teks agama? Sangat naif jika mengabaikan begitu saja produk

  : & ; &

  • #< (

  ( / ( /

<$ /

' ( = '

  !& 3 ), , " penafsiran Kitab Suci seperti syari’ah yang membedakan orang lain, memberikan landasan ideologis dan stereotife etis untuk memerangi umat beragama lain.

  Ketakterhindaran agama dari praktik-praktik kekerasan, dalam pengamatan Daniel L. Pas dalam bukunya Seven Theories of Religion, bermula dari nilai-nilai esoterik dari bangunan normatif dan historis agama, yang diyakini oleh penganutnya secara

  5 rohaniyah sebagai “kebenaran” dan “keselamatan” paling shahih dan authentic.

  “Kebenaran” dan “keselamatan” yang dikandung agama acapkali berskala internal dan bukan eksternal antar umat lain agama. Di sinilah praktik kekerasan antar umat beragama menjadi realitas sejarah yang sangat paradoksal dengan otentisitas masing- masing ajaran agama.

  “Kebenaran” sering dipersepsikan hanya sebagai satu klaim yakni bahwa diriku, kelompokku, agamaku bahkan Tuhanku sajalah yang benar, dan di luar itu semuanya adalah sesat, dan oleh karenanya halal untuk dibunuh. Maka ujung- ujungnya adalah penggunaan kekerasan. Sedangkan “keselamatan” beroperasi untuk meniscayakan subordinat dan inferiorisasi agama lain, yang dalam banyak interpretasi lanjutannya melegitimasi dengan keshahihan bahkan kewajiban memerangi dan

  6 menghancurkan ketidakbenaran itu. Di sinilah cara kekerasan menjadi pilihan utama.

  Memperkuat bukti kalau paradoks semacam itu sungguh terjadi dalam agama yang membuat agama berpotensi terhadap kejahatan, tepatnya kejahatan atas kemanusian, Yonki Karman, rohaniwan dan pemerhati sosial dalam artikelnya “Devaluasi Agama Melalui Kekerasan” mengatakan:

  “Keberkaitan agama dengan kekerasan disebabkan oleh fungsi agama sebagai penghubung manusia kepada Yang Mutlak. Demi kodratnya sebagai instrumen manusia untuk berhubungan dengan kuasa-kuasa adikodrati atau Yang Mutlak agama mudah melegitimasi tindak kekerasan, bahkan kekerasan dengan pedang. Terutama pada awal kelahiran dan penyebarannya, demi tegaknya

  • * 8 3 & ?@ ;

  & > 5 ))6 ,62+,A,

  8 kewibawaan agama sanksi-sanksi yang rigid dan keras diterapkan. Disiplin hidup komunitas diberlakukan dalam masyarakat luas demi mencapai sebuah

  7 masyarakat ideal yang hukum-hukumnya homogen”.

  Dengan demikian, realitas kekerasan konstitutif ada dalam agama, dan terjadi melalui: intensifikasi ajaran-ajaran agama pada awal kelahirannya dan penerapan sanksi-sanksi dan hukuman demi mendisiplinkan sebuah komunitas. Karena inheren dalam agama, kekerasan pun mendapatkan makna teologis (peluhuran) dan sublimasi (penghalusan). Kekerasan diarahkan untuk tujuan-tujuan kebenaran dan keselamatan. Yang berarti bahwa sebuah tindak kekerasan tidak pernah berhenti pada tindakan itu sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis, demi efek

  8 pengkudusan dan keselamatan umat pada masa tertentu.

  Andai pun betul begitu, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa setiap teks

  9

  mempunyai konteks. Teks Kitab Suci tidak dirancang untuk menjadi model kehidupan umat sepanjang masa. Ia musti dilihat dari rangka pemunculannya (emerging) dan karenanya bersifat darurat (emergent)”. Yang berdasarkan itu semua tindak-tindak kekerasan yang tercatat dalam Kitab Suci tidak begitu saja untuk ditiru dan diterapkan untuk segala masa dan keadaan, terlebih bila perkembangan masyarakat sudah semakin come of age dan kehidupan bermasyarakat sudah diikat hukum-hukum positif. Yang berlaku untuk segala masa dan keadaan hanya nilai-nilai soteriologisnya, yang harus diimplementasikan secara berbeda sesuai perkembangan masa dan keadaan yang sudah tidak sama lagi dengan yang ada dalam Kitab Suci.

  2 A 5 & ' ( %

  Dengan logika emerging dan emergent kasus-kasus kekerasan dalam Kitab Suci bukan merupakan model untuk menyelesaikan problem-problem sosial, tetapi sebagai

  

event-event yang sifatnya einmalig, tidak untuk diulangi sebagai kasus, sehingga efek-

  efek soteriologisnya harus dihadirkan dalam berbagai cara yang kontekstual sesuai

  10

  situasi dan kondisi”. Dengan demikian, religiositas yang membenarkan kekerasan bukan bersumber dari ajaran agama yang terdalam, melainkan dari pemahaman teks-

  11 teks Kitab Suci secara prima facie. Maka, pembenarannya bersifat quasi-religius.

  Ironisnya, kondisi tersebut kini dibalik. Event-event einmalig yang dulunya terbatas pada ruang dan waktu tertentu, sekarang ini dengan begitu saja dihadirkan sebagai pedoman-pedoman moral umat untuk segala masa dan keadaan. Teks-teks Kitab Suci yang membolehkan penggunaan cara kekerasan diambil tanpa mempertimbangkan kondisi faktual saat itu. Dalam Islam, kondisi ini ditambah lagi

  12

  dengan pemahaman bahwa teks-teks tersebut merupakan syari’ah. Syari’ah dipahami oleh kelompok tertentu sebagai ketentuan Tuhan (Yang Mutlak) yang abadi dan universal, yang mengatur segala bidang kehidupan (meta-historis dan meta-

  13

  kanonik). Padahal syari’ah sebenarnya merupakan produk manusia pada abad -

  14 tertentu, yaitu abad VII-IX.

  5 % , % & D D D

  7 D E . 4 E + D .

  ? +

  8 F / #

& . )A: 2 8 & $ ' )2- 8 Masalahnya menjadi lebih parah ketika syari’ah yang demikian itu disakralkan, dianggap sebagai tuntunan ilahiah di mana prinsip dan rinciannya diwahyukan. Yang karenanya pemahaman terhadapnya harus bersifat literal, tekstual, dan harfiyah, bahkan huruf per huruf jika perlu. Kebenaran dari sebuah realitas menurut mereka diukur apabila bersesuaian dan tidak bertentangan dengan teks-teks syari’ah, bahkan diverifikasi secara empiris berdasarkan kesuksesan pemeluknya, kesejahteraan umat dan sebagainya. Penafsiran demikian tentunya mirip dengan konsep Max Weber yang

  15

  menyatakan bahwa ajaran tertentu menciptakan etos tertentu bagi pemeluknya. Hal

  16 inilah yang menjadi keresahan dan melatarbelakangi penulisan tesis ini.

  “Etos” menegakkan syari’ah (baca: dalam prinsip teologis atau tauhid) selalu ada dalam diri seorang Muslim, termasuk Muslim yang dianggap “sekuler”sekali pun, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang religius (zoon religion). Akan tetapi, ide dan ideal tidak hadir untuk dirinya sendiri. Ada pelaku, penafsir, penghayat dan pengamal yang menjadi subyek sekaligus obyeknya. Proses kodifikasi syari’ah sering kali merespon berbagai dinamika umat. Dan, gerak sejarah komunitas acap kali

  / . ) 1 # + 2 ' G /

  5 9 ,--: D

  1 / D

  1

  1 : D ( ! ,--:+*:" * 8 < (( ' *-+A

  8

  • # $ = C / H

    & +

    # $ + +
  • H / # $ #
  • 6
  • $ # + G & ;

  9 9 )) ! " ,, & F > % /& D 0 / /

  8 terkait dengan komunitas-komunitas lainnya. Ada episteme dan jejaring makna, ada

  17

  18

  imajinasi, ada pengetahuan, dan tentu saja ada kekuasaan. Dengan demikian, syari’ah merupakan konstruksi sosial yang tak luput dari interpretasi, akomodasi kepentingan, dan adaptasi kondisi sosial-budaya, yang tentunya bisa keliru.

  Oleh sebab itu, penegakan syari’ah seharusnya tak lagi mengandaikan otoritas para pemimpin agama, melainkan pengalaman umat terutama pengalaman batin.

  Pegalaman mengandaikan posisi bebas umat (semacam Lebenswelt) untuk melakukan proses interpretasi dengan realitas-realitas hidupnya. Ruang tersebut selama ini dimonopoli oleh pemimpin-pemimpin agama. Hal itu mengakibatkan lahirnya fatwa- fatwa sepihak, dan secara tidak langsung memiskinkan—untuk tidak dikatakan mematikan ruang imajinasi umat. Dalam konteks itu, umat harus berjihad dalam arti berjuang menolong dirinya sendiri dari jejaring-jejaring kuasa yang merugikan dirinya, dengan kata lain berjihad akbar. Dan, sebagai Muslim, gagasan ini seharusnya dipahami sebagai bagian dari dialektika sejarah guna menemukan kembali posisi khas syari’ah dalam konteks kekinian, yang selama ini sering terampas oleh keserakahan dan terkikis oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.

B. Tema

  Meski syari’ah adalah produk manusia, namun, ia merupakan hasil interpretasi historis terhadap sumber fundamental Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah atas 2

  # $ # $ # " $ & D ' ' berbagai problem aktual yang berkembang dalam sejarah nyata umat Islam. Atas dasar itu ada dua nalar yang mestinya dikembangkan; (1) bahwa pada prinsipnya syari’ah dihadirkan demi kemaslahatan umat, demi menghindarkan umat dari kejahatan, kekerasan, dan ketidakadilan; (2) karenanya, wacana kekerasan dengan sendirinya bertentangan prinsip dasar syari’ah.

  Dalam kenyataaannya, praksis kekerasan justru terkait erat dengan rumusan– rumusan klasik syari’ah (di bidang teologi, etika dan hukum) yang menyediakan event-

  

event kekerasan demi tujuan kemaslahatan. Salah satu contohnya adalah teks tentang

  19

  jihad. Di lain pihak juga, “kemaslahatan” yang dicitakan oleh Islam sendiri menuntut hadirnya situasi yang kondusif, potensi-potensi yang akan menimbulkan konflik, dan kerusakan kehidupan umat harus diatasi dengan tangan, lisan, dan diam (dengan cara apa pun). Kondisi semacam ini digenapi dengan pemahaman bahwa tuntutan melakukan tindakan kekerasan didasarkan pada pertimbangan etis, demi kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, dan demi menegakkan syari’ah Allah.

  Tanpa disadari, betapa prinsip kemaslahatan yang merupakan fondasi syari’ah, yang mestinya menolong umat dari kejahatan, ketidakadilan dan kekerasan malah menyeleweng dari cita-citanya yang paling dasariah, yakni memaslahatkan kehidupan manusia. Syari’ah yang semula menjadi sarana untuk mencapai tujuan kebahagian dunia dan akhirat, pada akhirnya menjadi tujuan itu sendiri.

  Hal ini, menurut penulis, dilatarbelakangi oleh beberapa sebab yang saling berkait satu dengan lainnya, misalnya cara pembacaan teks-teks yang harfiah dan dogmatis; ketidakmampuan mengkontekstualisasikan ajaran dengan kehidupan konkret; ketidakberanian mengelaborasikan teks lebih jauh melalui perspektif historis yang terkait dengan konsep itu; ketidakmampuan menangkap nilai-nilai universal yang dikandungnya untuk diaplikasikan dalam kehidupan konkret saat ini, dan terlebih dari adanya kecenderungan kelompok tertentu—tak jarang dari mereka yang mengklaim “pengawal setia” syari’ah − untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dengan kembali kepada teks dengan melakukan pemahaman yang literal dan parsial terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Contoh paling nyata dalam hal ini, umpamanya adalah mengartikan jihad dalam Al Qur’an sebatas arti harfiah yang tersurat.

  Untuk memeriksa keberkaitan antara agama dengan keberagamaan yang ekstrem ini, saya melakukan studi kasus tentang jihad di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Cabang Yogyakarta. Ini karena: Pertama, MMI menyakini bahwa syari’ah adalah kehendak sempurna Tuhan atas kehidupan manusia, yang karenanya mereka memproklamirkan diri sebagai institusi untuk penegakan syari’ah. MMI menjadikan pemberlakuan syari’ah secara legalistik-formal sebagai sebuah keniscayaan. Kedua, MMI menjadikan jihad sebagai ideologi gerakan. Mereka mendasarkan tindakan jihad mereka pada teks-teks tertentu Al Qur’an dan Sunnah.

  Doktrin finalitas syari’ah membawa konsekuensi idealisasi formalisme syari’ah dalam kehidupan bernegara. MMI berpandangan syari’ah sebagai satu-satunya sarana untuk mengembalikan Islam seperti pada masa keemasan, (lihat lampiran 1). Hal ini,

  20

  karena MMI meyakini syari’ah adalah induk dari segala Yang Baik, yang memayungi

  21 kekuasaan, yang dapat memperluas dan menciptakan institusi-institusi yang adil.

  Dengan pendirian seperti di atas MMI tidak hanya menempatkan syari’ah ,- masalah hukum (sosiologis-historis), tetapi meta-historis yang mampu menjadi kanopi

  = 8 #= D 8 > $ , ,-- seluruh permasalahan umat. Syari’ah seolah-olah adalah meta-kanonik yang ditujukan untuk mengincar hidup baik bersama dan untuk orang lain.

  Mujahid MMI sungguh-sungguh dalam menerapkan teks-teks syari’ah “versi mereka”, yang secara garis besar dijabarkan dalam prinsip-prinsip : Tauhid (teologis),

  22 Fiqh (prinsip hukum) dan Aqidah (prinsip etika) secara konservatif dalam kehidupan sehari-hari (lihat lampiran 2), mulai dari interaksi personal hingga interaksi sosial.

  Mereka tidak mengenal kompromi untuk menerapkan hukum dalam pelaksanaan bidang peribadatan dan pengaturan hidup islami secara benar. Mereka ingin mengembalikan “Islam” ke landasan pokok Al Qur’an dan Sunnah. Dalam rangka itu, MMI memahamkan ke publik bahwa kejahatan-kejahatan yang menimpa masyarakat Islam sekarang ini disebabkan oleh ketidaksetiaan akan model masyarakat Mekkah

  23

  dan Madinah. Untuk itu mereka merasa perlu untuk menghidupkan kembali ajaran- ajaran Islam yang selama ini sering dinilai sudah ketinggalan jaman, seperti jilbab,

  24 khilafah, tadarus, dan sebagainya.

  Namun, MMI menolak penggunaan cara kekerasan, meski dalam kondisi tertentu mereka membenarkan cara-cara kekerasan, dan menganggapnya berasal dari teks-teks syari’ah. Praksis kekerasan menjadi tambah dekat dengan kehidupan mereka ketika menjadikan jihad dalam arti yang paling radikal; perang terhadap apa saja yang bertentangan dengan “syari’ah” dan menjadikan kewajiban kolektif (fardhu ain) bagi setiap Muslim. Kajian akademis ini ingin memeriksa kaitan teks-teks syari’ah dengan praksis kekerasan di MMI Cabang Yogyakarta.

  ,, % 1 .

C. Rumusan Masalah

  Syari’ah bagi sebagian umat Islam lebih dari sekedar sistem hukum, bahkan

  25

  lebih dari agama itu sendiri. Syari’ah menjadi inspirasi bagi kelompok tertentu dalam setiap aspek kehidupannya. Kontroversi terjadi manakala syari’ah dimaknai secara ekstrim pada salah satu dimensinya saja, atau ketika hendak diaplikasikan. Dimaklumi bahwa aspek ilahiah merupakan aspek ideal Islam. Ketentuan-ketentuan ilahi berlaku universal dan mengandung konsekuensi teologis.

  Syari’ah menyimpan problem serius justru: 1) ketika aspek ideal syari’ah akan diimplementasikan dalam kehidupan aktual yang kaya dengan subyektivitas dan nuansa-nuansa lokal; 2) (di sisi lain, tidak bisa dipungkiri) ketika berhadapan dengan realita dalam kehidupan aktual, dalam merespon tantangan tersebut, dalam diri umat Islam tertentu, ada kecenderungan untuk lari ke ortodoksi teks dan beromantisme dengan sejarah masa lalu kala syari’ah diberlakukan secara ketat.

  Karena itu melalui kajian akademis ini, penulis hendak mempertanyakan tiga hal mendasar :

  1. Benarkah kekerasan dalam jihad bermula dari ajaran agama (terutama, syari’ah) atau karena bias pemahaman?

  2. Setelah teks-teks Kitab Suci tentang penggunaan kekerasan dipahami secara kontekstual, adakah jaminan syari’ah bisa dijalankan tanpa reduksi?

  3. Dalam Konteks apa jihad digunakan di MMI

  ,* % (

  8 D 1 ! " D 8 (( ' *-+A D

  1 /

D. Sumber Acuan Utama

  “Intim-“nya hubungan antara agama dan kekerasan telah lama “merangsang” minat kalangan akademisi, pengamat, dan peneliti untuk melakukan kajian dan analisis mendalam. Penulis merasa terbantu dengan adanya beberapa buku, tesis, skripsi, kertas kerja, makalah, kolom atau tulisan-tulisan lepas telah dibuat sebagai reaksi atas persoalan tersebut. Meskipun demikian, dalam kajian akademis ini penulis lebih menggunakan tiga buku sebagai acuan utama. Buku-buku itu adalah: (1) Dr, Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Pustaka Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2003; (2) Khairul Abdul Karim, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, LkiS, Yogyakarta, Juli 2003, judul asli Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah al-Islamiyyah; (3) Irfan S. Awwas Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir, Wihdah Press, Yogyakarta, 2000.

  Kekerasan dan agama, menurut Haryatmoko, adalah hal yang saling bertautan satu sama lain. Ia menunjukkan sisi-sisi agama yang rentan kekerasan, yaitu: Pertama, agama sebagai kerangka penafsiran terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis). Sebagai ideologi agama memantapkan satu tata sosial dan memonopoli pemaknaan hubungan-hubungan sosial yang ada di dalamnya. Sehingga satu sentuhan ringan pada tata sosial yang diamini agama tertentu bisa mudah memicu konflik. Kedua,

  26 agama sebagai faktor identitas. Ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.

  Ia juga melihat adanya upaya terstruktur untuk menjadikan fenomena kekerasan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah, dan umat beragama yang melakukannya merasa tidak berdosa, bahkan mereka akhirnya terbiasa menjadikannya sebagai sarana untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pelembagaan kekerasan ini mengaburkan kodratnya sebagai kekerasan karena seolah-olah disahkan secara institusional karena institusi-institusi yang menopangnya mendapat legitimasi

  27 dari agama, ideologi dan sistem nilai.

  Haryatmoko juga tidak melupakan akar-akar psikologis kekerasan. Dengan meminjam filsuf Perancis Rene Girard, ia menunjukkan bahwa kekerasan datang dari hasrat mimesis. Hasrat itu bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek

  28

  diingini juga oleh orang lain. Manusia memiliki kecenderungan meniru keinginan orang lain terhadap suatu objek. Insting mimesis ini berujung pada penguasaan keinginan orang lain tersebut untuk menutup kekurangannya. Dalam kaitan antara agama dan kekerasan ini Haryatmoko berpendapat :

  “Kebenaran yang diklaim agama telah menumbuhkan keinginan agama lain untuk menegaskan dirinya sebagai satu-satunya yang memonopoli kebenaran. Hasrat satu agama akan kemutlakan kebenaran terhalang oleh hasrat agama lain akan hal yang sama. Itu sebabnya tiap agama berlomba-lomba mencari

  29 pengikut demi sebuah pengakuan atas keutuhan kebenaran”.

  Sedikit berbeda dengan Haryatmoko, bagi saya, hasrat memesis tidak hanya bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek yang diingini oleh orang lain, tetapi juga, saat orang lain tidak berhasrat terhadap suatu obyek yang dimilikinya. Di sini, seseorang itu mengajak orang lain merasakan hasrat yang sama dengan hasrat

  30

  yang ia miliki. Ketika orang lain itu menolak terciptalah kohesi sosial dalam bentuk ,2 tradisi-tradisi. Tradisi itulah berfungsi mempurifikasi kekerasan. 28 % ' *)

  8 F > ,)

% (

30 % ( % D & +& D

  5 Permasalahan kekerasan yang dipicu oleh hasrat mimesis yang terhalangi ini semakin menunjukkan bukti bahwa dari sisi individu atau kelompok pelaku mempunyai peran penting membela kepentingan agama. Namun, persoalannya apa yang dianggap sebagai “kebenaran”, “yang otentik”, “yang sakral” dan dibela mati- matian dalam Islam belum tentu ia berasal dari perintah Al Qur’an?

  Khairul Abdul Karim dalam buku Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah al-

  

Islamiyyah mengatakan syari’ah yang dianggap otentik tak lain adalah produk ulama

  abad VII-IX yang didominasi oleh nalar Arab dan nalar historis yang absurd. Lebih ekstrem lagi, ia mengatakan bahwa ajaran-ajaran dalam syari’ah seperti pengagungan Baitul Haram, jihad, khilafah, syura, dan sebagainya diadopsi dari tradisi lokal Arab

  31 pra-Islam (Jahiliyah).

  Untuk melengkapi pembahasan mengenai keberkaitan agama dan praksis kekerasan di MMI penulis menggunakan Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir sebagai bahan acuan lainnya. Bagi Ba’asyir, jihad adalah sebuah undangan, pertemuan, ajakan

  32

  dari Tuhan seru sekalian alam untuk melawan musuh. Jihad dalam arti kekerasan fisik (bahasa otot) bukannya sesuatu yang lepas dari kendali fikir, hal itu telah disistemasikan pada acuan masalah yang terjadi. Kekerasan diambil karena pembiaran terhadap kekerasan massif atas Muslim di berbagai wilayah. Jihad merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian atas kemanusiaan. Jihad adalah teologi pembebasan untuk menyelamatkan Muslim dari ruang nestapa yang sekian waktu melingkupi kehidupan mereka. Cara demikian dilakukan setelah upaya dan bahasa otak (dakwah) tidak pernah ditanggapi secara serius.

E. Metode Penelitian

  Dalam mencari keberkaitan antara teks-teks Kitab Suci (syari’ah) dengan praksis, penulis melakukan “penggalian” konsep syari’ah sebagaimana dipahami dalam MMI. Konsep tersebut lalu dikonfrontir dengan pemahaman syari’ah lainnya, baik dari kelompok Islam moderat maupun dari kelompok liberal. “Penggalian” ini berguna untuk menemukan jawaban-jawaban atas: definisi syari’ah, gagasan dasar syari’ah, cara berpikir (nalar) dalam menginterpretsi teks syari’ah di MMI.

  Selanjutnya, penulis mencari manifestasi dari pemahaman syari’ah yang demikian dengan praksis kekerasan yang terjadi, bagaimana teks-teks yang memuat

  

event-event kekerasan dijalankan di MMI, dan apa akibat pemahaman syari’ah yang

  parokhial tersebut bagi kelompok keagamaan lainnya di Indonesia (menyangkut pola jihad dan aplikasinya terhadap ancaman minoritas dan etnis). Penggalian ini berguna untuk mengetahui lebih lanjut posisi khas syari’ah dalam Islam sekaligus posisi syari’ah dalam masyarakat.

  Penulis dalam kajian akademis ini banyak menggunakan catatan historis tentang bagaimana jihad dipahami dari waktu ke waktu. Penulis juga menggunakan etnografi yang diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dengan informan dipilih sebagai metode pokok pengumpulan data. Untuk melihat adanya keterkaitan antara agama, jihad dan kekerasan Dengan tidak mengesampingkan fakta sosiologis bahwa penggunaan jihad bermakna “perang” terkait wicara sehari-hari kita yang memaknai jihad tidak dengan perjuangan untuk menegakkan cinta kasih. Selain itu, penelusuran literatur difungsikan sebagai data sekunder. Lebih lanjut proses analisis akan didasarkan pada keterkaitan antara data yang ditemukan serta hubungan tiap

F. Kerangka Teoritis

  Kemunculan gerakan-gerakan keagamaan radikal dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Pemahaman keagamaan mereka didasarkan pada teks Kitab Suci yang tidak dielaborasi secara kontekstual (terutama sebab-sebab historis yang terkait dengan teks tersebut).

  Kelompok ini menganggap teks-teks tersebut sebagai kebenaran yang berlaku universal yang dapat diaplikasikan ke dalam setiap situasi. Suatu kelompok dengan pemahaman yang literal akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok atau pemeluk agama lain.

  Topik kajian ini akan penulis dekati secara khusus dengan dasar kerangka Max Weber tentang pemikiran rasionalitas tindakan bertujuan. Pembenaran bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian Weber ini adalah tujuan menentukan pilihan

  

sarana. Kelompok-kelompok semacam MMI mendasarkan pada komitmen terhadap

  nilai-nilai yang diyakini, sedangkan analisa rasional tidak ada masalah koheransi tujuan. Menyangkut syari’ah dan motivasi jihad, Penulis juga banyak dibantu oleh tulisan dari beberapa pemikir lain, seperti An Naim tentang pemahaman syari’ah dan

  33 Kuntowijoyo tentang paradigma Islam untuk aksi atau yang disebut Kuntowijoyo

  

34

  dengan “Paradigma Ilmu Sosial Propetik”. Pendekatan sosial Propetik penting dalam memeriksa sejarah sosial dari perspektif moral. Artinya, nilai-nilai moral yang mendasari gerakan-gerakan sosial. Perspektif ini penulis gunakan untuk melihat

  8 * 3 / C . ))) !' + )

+ +

  • 44
pengaruh ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai teks syari’ah klasik terhadap motivasi jihad di MMI.