Representasi sosial tentang konsep sehat dan sakit pada orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta - USD Repository
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KONSEP SEHAT DAN SAKIT PADA ORANG JAWA YANG TINGGAL DI YOGYAKARTA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh : Irene Kusuma Palmarani NIM : 059114032 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
ABSTRAK
REPRESENTASI SOSIAL
TENTANG KONSEP SEHAT DAN SAKIT
PADA ORANG JAWA YANG TINGGAL DI YOGYAKARTA
Oleh : Irene Kusuma Palmarani
Indonesia mengenal dua cara pengobatan yang masih eksis, yaitu pengobatantradisional dan pengobatan modern. Pengobatan modern memperoleh banyak keluhan
terkait dengan pelayanan yang kurang baik, sementara pengobatan tradisional,
meskipun masih banyak ditempuh, hampir selalu dilekatkan dengan ciri negatif.
Bahkan ada masyarakat yang menempuh kedua cara pengobatan tersebut dalam
waktu bersamaan. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki akses yang minim untuk
memperoleh kesehatan. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana
sebenarnya konsep sehat dan sakit pada masyarakat sehingga pelaku kesehatan dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang tepat.Representasi sosial, dengan anchoring dan objectification, memungkinkan
untuk melihat konsep sehat dan sakit pada masyarakat. Teori ini memperlihatkan
bagaimana praktek hidup sehari-hari, sikap, gagasan, nilai, kebudayaan, atau bahkan
mitologi mempengaruhi pembentukan makna sosial (Moscovici, 2001). Representasi
tidak diperoleh secara replika, tetapi diciptakan oleh ruang sosial.Pengambilan data dilakukan pada 30 responden yang berdomisili di
Yogyakarta, bekerja dan atau sudah menikah, serta bersuku-kebangsaan Jawa. Data
diambil dengan cara memberikan angket terbuka dan dilanjutkan dengan wawancara
semi-terstruktur.Representasi sehat, berarti tercapainya harmonisasi antara fisik dan mental
sehingga semangat dalam beraktivitas. Representasi sakit, berarti kondisi fisik
dan/atau mental terganggu sehingga timbul rasa malas untuk beraktivitas. Kondisi
fisik yang terganggu dapat mempengaruhi kondisi mental, begitu pula sebaliknya.Orang Jawa di Yogyakarta akan menjaga kesehatan dengan menjaga
keteraturan pola hidup sehari-hari (makan, minum, istirahat, olahraga) dan
mengkonsumsi suplemen ketika badan terasa tidak enak. Sementara jika sakit,
mereka akan mengkonsumsi obat pasar atau mengobati dengan caranya sendiri.
Pengetahuan tentang cara pengobatan tersebut diperoleh melalui kemasan obat,
pengalaman orang lain, cocok-cocokan, dan turun-temurun.Kata kunci : sehat, sakit, representasi sosial
ABSTRACTION
SOCIAL REPRESENTATION
ABOUT THE CONCEPT OF HEALTHY AND SICK
AMONG JAVANESE PEOPLE WHO LIVE IN YOGYAKARTA
Irene Kusuma Palmarani
Indonesia knows two ways for curing diseases that still exist, namelytraditional therapies and modern medicine. Modern medicine has many criticisms
about the un-satisfaction health services, while traditional therapies, though still
popular on curing diseases, almost always correlated with negative characteristics. On
the other hand, people also have minimal access for gaining health. A question
appeared of how exactly the concept of healthy and sick among people so that health
actors can provide appropriate health services.Social representation, with its anchoring and objectification, enables us to see
the concept of healthy and sick among people. The theory shows how everyday life
practices, attitudes, ideas, values, culture, or even mythologies influence the forming
of social meaning ( Moscovici, 2001). Representation is not hereditary but it is
created by social space.The data was retrieved from 30 Javanese who are living in Yogyakarta,
worked and or getting married. The data is taken by giving open questionnaires and
followed with semi-structured interview.Healthy representations, mean the achievement of harmonization between the
physical and mentally conditions, so activities have to be done with
spirits. Representations of sick, mean the physical and/or mentally conditions were
disturbed, so appearing lazy feeling to do the activities. Disturbed physical conditions
can affect the mentally conditions, as well as reverse.The Javanese people in Yogyakarta will care the health by keeping the order
patterns of daily living (eating, drinking, rest, exercise) and take supplements when
the body feels uncomfortable. If getting sick, they will take the drug market or
treating in their own way. Knowledge about how to obtain this medication through
the drug packaging, the experience of others, fit-skewer, and down through the
generations.Keywords : healthy, sick, social representation
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis, terutama selama penelitian
dan penulisan skripsi. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai Konsep Sehat
dan Sakit Pada Masyarakat Yogyakarta. Melalui representasi sosial, masyarakat
Yogyakarta memaknai konsep sehat dan sakit menurut gagasan, pengetahuan,
pengalaman, dan sikap yang saling dikomunikasikan dalam masyarakat.Terselesaikannya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan
kritik yang membangun dari orang-orang disekitar penulis. Maka pada kesempatan
ini pula, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :1. Bapak. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan waktu, dukungan, dan perhatian selama proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.
4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan dukungan dan nasehat-nasehat yang berharga selama proses perkuliahan di Fakultas Psikologi ini.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam
memperluas pengetahuan.
6. Karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak Nanik,
dan Pak Giek, atas segala bantuan fasilitas selama proses perkuliahan.
7. Dr. Risa Permanadelli, terima kasih untuk pengetahuan tentang representasi
sosialnya.8. Bapak, ibu, serta kakak atas dukungan doa dan spiritnya.
9. Mas Angga, untuk setiap rasa sayang dan pengertiannya.
10. Keluarga cemara : Tiwi, Shinta, Arya, Lilo, Mbak Bella, Wida, Lucky, Suster,
Githa, Iin, Wira, dan Mbak Nana, untuk setiap canda-tawa, keluh-kesah, jatuh- bangun yang telah kita alami bersama.11. Citra, Ray, dan Lina, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya.
12. Teman-teman kuliah, KKN, Masdha FM, AZ crew, P2TKP, Mudika, Eldiva Net,
Karang Taruna, terima kasih atas segala bantuan dan pengertiannya.
13. Terima kasih pula bagi semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian
dan penulisan skripsi ini.Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam skripsi
ini. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
demi hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi yang
membacanya.Penulis
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN MOTTO iv HALAMAN PERSEMBAHAN v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
ABSTRAK vii ABSTRACT viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix
KATA PENGANTAR
x DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xvi DAFTAR GAMBAR xviii DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I PENDAHULUAN
1 A. Latar Belakang
1 B. Rumusan Masalah
8 C. Tujuan Penelitian
8
D. Manfaat Penelitian
9 BAB II LANDASAN TEORI
10 A. Konsep Sehat dan Sakit Modern
10
1. Konsep Dualisme
10
2. Pengertian Kesehatan WHO
13
3. Pengertian Kesehatan Dalam Ilmu Psikologi
14 B. Konsep Sehat dan Sakit di Indonesia
16
1. Sejarah Kedokteran di Indonesia Sebagai Awal Pelayanan Kesehatan Modern
16
2. Pengertian Kesehatan di Indonesia
21 C. Konsep Sehat dan Sakit Orang Jawa
22
1. Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Jawa Tentang Kesehatan
22
2. Pengertian dan Konsep Pengobatan Tradisional
26 D. Representasi Sosial Tentang Konsep Sehat dan Sakit
29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN
34 A. Jenis Penelitian
34 B. Batasan Istilah
35 C. Responden Penelitian
36 D. Metode Pengumpulan Data
36
1. Penelitian Pendahuluan
36
2. Pengambilan Data Penelitian
38 E. Metode Analisis Data
41
F. Pemeriksaan Keabsahan Data
43 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
45 A. Hasil Penelitian
45
1. Pelaksanaan Penelitian
45
2. Responden Penelitian
45
3. Analisis Data
51
a. Konsep Sehat 52 i. Data Konsep Sehat Menurut Asosiasi Kata 52 ii. Data Konsep Sehat Menurut Hasil Wawancara 56 iii. Data Konsep Sehat Menurut Makna Kata Dalam Asosiasi Kata dan Hasil Wawancara
59 iv. Konsep Sehat Menurut Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
64
b. Konsep Sakit 72 i. Data Konsep Sakit Menurut Asosiasi Kata 72 ii. Data Konsep Sakit Menurut Hasil Wawancara 76 iii. Data Konsep Sakit Menurut Makna Kata Dalam Asosiasi Kata dan Hasil Wawancara
81 iv. Konsep Sakit Menurut Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
85 B. Pembahasan Representasi Sosial Konsep Sehat dan Sakit
95
1. Representasi Sosial Konsep Sehat
95
2. Representasi Sosial Konsep Sakit
98
3. Representasi Sosial Konsep Sehat dan Sakit Pada Responden Percaya Dokter 101
a. Representasi Sosial Konsep Sehat 101
b. Representasi Sosial Konsep Sakit 103
4. Representasi Sosial Konsep Sehat dan Sakit Pada Responden Tidak
Percaya Dokter 105a. Representasi Sosial Konsep Sehat 105
b. Representasi Sosial Konsep Sakit 107
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 111 A. Kesimpulan
111
B. Saran
113 DAFTAR PUSTAKA 115 LAMPIRAN 120
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 : Contoh Kasus Pengobatan Modern59 Tabel 10 : Makna Definisi Sehat
69 Tabel 16 : Perbedaan Menjaga Kesehatan Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
67 Tabel 15 : Perbedaan Definisi Sehat Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
66 Tabel 14 : Prioritas Kata Sehat Pada Responden Tidak Percaya Dokter
65 Tabel 13 : Prioritas Kata Sehat Pada Responden Percaya Dokter
62 Tabel 12 : Perbedaan Asosiasi Kata Sehat Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
61 Tabel 11 : Makna Menjaga Kesehatan
58 Tabel 9 : Makna Asosiasi Kata Sehat
4 Tabel 2 : Demografi Responden Penelitian
57 Tabel 8 : Menjaga Kesehatan
55 Tabel 7 : Definisi Sehat
53 Tabel 6 : Prioritas Kata Sehat
49 Tabel 5 : Asosiasi Kata Sehat
48 Tabel 4 : Demografi Kelompok Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
46 Tabel 3 : Deskripsi Kelompok Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
70 Tabel 17 : Asosiasi Kata Sakit
73 Tabel 18 : Prioritas Kata Sakit
75 Tabel 19 : Definisi Sakit
77 Tabel 20 : Apa yang Dilakukan Ketika Sakit
78 Tabel 21 : Sumber Informasi Pengobatan
79 Tabel 22 : Makna Asosiasi Kata Sakit
82 Tabel 23 : Makna Definisi Sakit
84 Tabel 24 : Perbedaan Asosiasi Kata Sakit Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
86 Tabel 25 : Prioritas Kata Sakit Pada Responden Percaya Dokter
87 Tabel 26 : Prioritas Kata Sakit Pada Responden Tidak Percaya Dokter
88 Tabel 27 : Perbedaan Definisi Sakit Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
91 Tabel 28 : Perbedaan Apa yang Dilakukan Ketika Sakit Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
92 Tabel 29 : Perbedaan Sumber Informasi Pengobatan Pada Responden Percaya dan Tidak Percaya Dokter
94
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Skema konsep sehat dan sakit versi Barat (modern), Indonesia, dan Jawa
33 Gambar 2.
Skema representasi sosial konsep sehat dan sakit pada orang Jawa yang tinggal di DIY 110
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Panduan Umum Wawancara Penelitian Pendahuluan 120
Lampiran 2 : Contoh Angket Terbuka 121Lampiran 3 : Deskripsi Demigrafi Responden 123
Lampiran 4 : Tabulasi Asosiasi Kata Sehat 125
Lampiran 5 : Tabulasi Prioritas Kata Sehat 131
Lampiran 6 : Tabulasi Asosiasi Kata Sakit 141
Lampiran 7 : Tabulasi Prioritas Kata Sakit 147
Lampiran 8 : Tabulasi Hasil Wawancara Tentang Konsep Sehat 157
Lampiran 9 : Tabulasi Hasil Wawancara Tentang Menjaga Kesehatan 158
Lampiran 10 : Tabulasi Hasil Wawancara Tentang Konsep Sakit 159
Lampiran 11 : Tabulasi Hasil Wawancara Apa yang Akan Dilakukan Ketika Sakit 160
Lampiran 12 : Tabulasi Hasil Wawancara Sumber Informasi Pengobatan 161
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia mengenal dua cara pengobatan yang masih eksis, yaitu
pengobatan tradisional dan pengobatan modern. Kebudayaan Jawa, pada
khususnya, telah memiliki sistem pengetahuan pengobatan yang sudah ratusan
tahun digunakan oleh masyarakat Jawa, jauh sebelum masuknya teknik-teknik
kedokteran modern (Sudardi, 2002). Sistem pengobatan tersebut disebut sebagai
sistem pengobatan tradisional. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (Permenkes RI) nomor 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud
dengan obat tradisional adalah setiap bahan atau ramuan bahan berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, yang secara tradisional telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.Dewasa ini, sistem pengobatan tradisional banyak mendapat perhatian
karena sistem ini masih hidup dalam masyarakat dan berdampingan dengan
sistem pengobatan modern. Beberapa contoh pengobatan tradisional yang masih
digunakan antara lain: orangtua selalu menyarankan, jika kita masuk angin
(gejala flu), maka kita harus kerokan (salah satu metode memperlebar
pembuluh darah tepi yang menutup) (“Kerokan Bikin”, 2009), remaja putri
dianjurkan untuk minum galian putri (salah satu minuman herbal) dan kunir
asem (salah satu minuman herbal) untuk menyehatkan badan, menghilangkan
bau badan, menjaga kelangsingan tubuh, dan memperlancar menstruasi (“Jamu,
Obat” , 2006). Pengobatan tradisional ini bersifat non-medis yang kemudian
dikenal sebagai pengobatan alternatif.Salah satu fenomena ekstrim mengenai kepercayaan terhadap
pengobatan non-medis yang dilakukan oleh masyarakat adalah fenomena Ponari
(”Dukun Cilik”, 2009).
Muhammad Ponari (10) mendapatkan batu ajaib seusai disambar petir. Ponari
menjelma menjadi juru sembuh. Puluhan ribu orang berjejal di rumahnya di
Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur. Mereka berdatangan dari berbagai kota
di Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah. Banyak orang berharap batu ajaib di
tangan Ponari bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Fenomena Ponari menuai banyak kontroversi. Banyak penilaian, opini-opini
yang muncul terkait dengan fenomena Ponari ini. Salah satu contohnya, antara
lain :
Eka Lestari SKM, seorang Staf Pengajar STIKes Muhammadiyah Banjarmasin (2009)
: “Zaman yang makin canggih, ternyata tidak membuat masyarakat kita berpikir lebih
modern dan bertindak lebih rasional dalam menghadapi setiap masalah. Tidak peduli
masuk akal atau tidak, yang penting sakitnya sembuh dengan meminum air yang
dicelupi ‘batu ajaib’.”
Opini yang ada pada masyarakat menunjukkan bahwa fenomena Ponari
dikaitkan dengan ciri-ciri negatif. Masyarakat yang masih menempuh
pengobatan non-medis dinilai tidak rasional dan tidak masuk akal.Sekalipun demikian, fenomena Ponari tersebut dinilai sebagai potret
masyarakat yang masih memegang teguh pemikiran tradisional (Ridjal dalam
Ilmie, 2009). Masyarakat menghidupkan kembali mitos lama yang telah lama
punah. Golongan masyarakat ini disebut penganut romantisme mistis (Ridjal
dalam Ilmie, 2009). Mitos lama tersebut adalah Legenda Ki Ageng Selo dan
kembali dihidupkan di tengah masyarakat dengan menampilkan sosok Ponari.
Dalam tinjauan sosiologi dan kebudayaan, kedua sosok ini sama-sama
memiliki power (kekuatan) yang digambarkan oleh masyarakat sebagai bentuk
kesaktian (Ridjal dalam Ilmie, 2009). Oleh karena itu, masyarakat beranggapan
bahwa Ponari juga memiliki kesaktian.Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pengobatan
tradisional masih ditempuh oleh masyarakat meskipun semakin dipandang
negatif. Hal ini juga menggambarkan masyarakat yang masih memiliki
kepercayaan bahwa pengobatan tradisional (non-medis) dapat menyembuhkan
penyakit. Kepercayaan ini terkait pula dengan hal-hal mistis, misalnya
memunculkan sosok dari mitos lama.Kepercayaan mistis ini merupakan konsep personalistik pada pengobatan
tradisional (Sudardi, 2002). Personalistik beranggapan bahwa kesehatan
dipengaruhi oleh agen-agen aktif di luar diri manusia (jin, roh, makhluk halus)
sehingga pengobatan yang ditempuh adalah dukun, kyai, atau tukang sihir
(Sudardi, 2002). Akan tetapi, pengobatan tradisional juga menganut konsep
naturalistik, dimana sakit diakibatkan oleh cuaca, kebiasaan hidup, makanan,
dan penyakit bawaan. Oleh karena itu, untuk pengobatan dapat digunakan ramu-
ramuan, pijat, pantangan makan, obat-obatan, dan tenaga kesehatan.Masyarakat tidak hanya mengenal pengobatan tradisional tetapi juga
pengobatan modern. Akan tetapi, pengobatan modern hanya mengobati sakit
secara naturalistik. Selain itu, pengobatan modern dinilai tidak memberikan
pelayanan kesehatan yang baik pada masyarakat. Respon yang diterima oleh
masyarakat menimbulkan ketidakpuasan terhadap pelayanan rumah sakit dan
dokter. Beberapa contoh bentuk ketidakpuasan masyarakat dimuat dalam sebuah
Tabel 1 Contoh Kasus Pengobatan Modern No Kota (tahun)
Konsumen Kasus Keterangan
1. Bogor (2007) Y (Perempuan)
Kata-kata
dokter sulit
diterima pasien Dokter terang-terangan menyatakan langsung di depan pasien bahwa ia menderita kanker2. Banyumas (2007) YT (Pria)
Kurang responsif dan
ada biaya
konsultasi
dengan dokter Respon perawat untuk melakukan pengecekan infus lama padahal tangan sudah membengkak dan ada biaya administrasi membayar konsultasi dengan dokter3. Tangerang (2007) F (Pria)
Malpraktek Dokter memberikan suntikan bersumber babi dan menolak melakukan pemeriksaan rutin
Sumber : Pelayanan kelas 1 RS Hermina Bekasi mengecewakan. (2007). Dipungut 27 September,
2008, dari http://www.mediakonsumen.com/Artikel1648.html;Pelayanan dokter di RSUD Cibinong – Bogor . (2007). Dipungut27 September, 2008, dari http://www.mediakonsumen.com/Artikel2291.html; Malpraktek oleh dokter Tedjasukmana di RS. Mitra Int’l Jatinegara . (2007). Dipungut 27 September, 2008, dari http://www.mediakonsumen.com/Artikel1032.html.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak puas
dengan pelayanan kesehatan dari dokter, perawat, dan rumah sakit. Pelayanan
kesehatan modern memang mengobati penyakit, tapi pasien masih mengeluh
sakit walaupun dokter sudah menyatakan sehat berdasarkan hasil laboratorium.
Hal ini menggambarkan bahwa pengobatan modern dapat mengobati penyakit,
namun tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat.Pada kenyataannya, masyarakat yang menderita sakit, baik secara
personalistik maupun naturalistitik, tetap ada yang meminta pengobatan ke
dukun atau kyai. Ada pula masyarakat yang menempuh pengobatan tradisional
dan pengobatan modern secara bersamaan untuk mengobati penyakit. Ketika
berada dalam kondisi sakit, masyarakat dihadapkan pada pilihan cara-cara
ditempuh dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, sementara pengobatan
modern memang mengobati sakit namun pelayanannya tidak memuaskan.
Keberagaman cara pengobatan yang dilakukan memunculkan pertanyaan
bagaimana sebenarnya konsep sakit pada masyarakat.Di sisi lain, masyarakat juga memiliki banyak akses untuk bergaya hidup
tidak sehat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kejadian yang ada
belakangan ini. Indonesia berada dalam urutan tertinggi ke-lima di antara
negara-negara di dunia dalam hal konsumsi rokok, sementara rokok terjual
bebas di pasaran (Rachmawati, 2004). Konsumsi Narkoba juga kian marak,
bahkan pemakai Narkoba di DIY telah mencapai 68.980 orang (Prasetyo, 2009).
Sementara itu produsen makanan justru banyak menawarkan produk makanan
instan dan ternyata digemari oleh masyarakat (Damayanti, 2009). Padahal
terlalu sering mengkonsumsi makanan instan dapat mengakibatkan gangguan
pencernaan hingga penyakit diabetes. Selain itu, pedagang bakso menggunakan
formalin dan boraks untuk mengawetkan makanan (“Pedagang Bakso”, 2006).
Formalin dan boraks adalah pengawet jenazah dan bila dikonsumsi dapat
mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia hingga kematian (Handayani,
2006). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki akses yang minim
untuk memperoleh kondisi sehat.Setiap individu, pasti mengalami sehat dan mengalami sakit secara
bergantian dan terus-menerus (Notosoedirdjo & Latipun, 2001). Oleh karena itu,
sehat dan sakit merupakan dua hal yang tidak terpisah. Ketika berada dalam
kondisi sakit, individu akan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat mengubah
sehat, individu akan berupaya untuk menjaga kondisinya supaya tetap sehat.
Dengan demikian, penting untuk mengungkap bagaimana konsep sehat
sekaligus sakit pada masyarakat sehingga para pelaku atau pelayan kesehatan
dapat mengkonstruksi model pelayanan kesehatan tertentu yang sesuai dengan
konsep sehat dan sakit pada masyarakat.Konsep sehat dan sakit ini juga penting untuk diungkap karena
penelitian-penelitian mengenai kesehatan di Indonesia, lebih banyak kepada
penelitian yang melihat bagaimana pelayanan kesehatan yang diterima oleh
masyarakat. Seperti penelitian Adhinata (2008) yang mengungkap tentang
kualitas pelayanan Ruang Isolasi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian
yang lain adalah mengenai bagaimana kepuasan pasien terhadap resep di
Apotek Kopkar Rumah Sakit Budhi Asih Jakarta (Harianto, Khasanah, &
Supardi, 2005). Rustiano (2007), seorang pengamat Manajemen Rumah Sakit,
menyebutkan apa saja keluhan ketidakpuasan masyarakat terhadap rumah sakit.
Sejauh ini, penelitian kesehatan lebih ditujukan untuk pelaku kesehatan. Oleh
karena itu, penting pula untuk melihat kesehatan dari sisi masyarakat itu sendiri,
dalam hal ini konsep sehat dan sakit.Pengertian sehat dan sakit berdimensi subjektif dan kulturalistik
sehingga setiap masyarakat mempunyai pengertian sendiri tentang sehat dan
sakit sesuai dengan pengalaman dan kebudayaannya (Notosoedirdjo & Latipun,
2001). Setiap kelompok masyarakat akan memiliki perbedaan dalam memahami
kondisi sehat atau sakit, penyebab sakit, memberi kewenangan orang yang dapat
menetapkan kondisi sehat atau sakit, merespon terhadap kesakitan, dan
melalui pemahaman, gagasan, sikap, perilaku individu-individu dalam
masyarakat terkait dengan konsep tersebut.Pemahaman, gagasan, sikap, dan perilaku individu-individu dalam
masyarakat mengenai konsep sehat dan sakit merupakan representasi sosial
masyarakat mengenai konsep tersebut. Moscovici (2001), mendefinisikan
representasi sosial sebagai sistem nilai, ide, sikap, perilaku, dan praktik-praktik
yang membangun sebuah pemaknaan sosial. Dalam hal ini, pemaknaan sosial
tersebut berkaitan dengan konsep sehat dan sakit. Dengan demikian,
representasi konsep sehat dan sakit merupakan pemaknaan dan penilaian
masyarakat atas nilai, ide, sikap, perilaku, dan praktik-praktik terkait dengan
kesehatan yang merupakan produk sosial (Moscovici, 2001).Masyarakat saling berdialog tentang sesuatu yang tampil dalam ruang
sosial, lalu ruang sosial menangkap sebagai wacana tentang sehat dan sakit dari
masyarakat dan kembali dikonsumsi oleh masyarakat, begitu seterusnya (lihat
Ardiningtiyas, 2004). Wacana tentang sehat dan sakit yang ada dan beredar di
masyarakat adalah suatu proses respresentasi sosial yang berjalan membentuk
wacana dalam alam kognisi individu. Dari individu-individu tersebut, wacana
tentang konsep sehat dan sakit kembali dikomunikasikan dalam masyarakat dan
muncul menjadi representasi sosial, begitu seterusnya (lihat Ardiningtiyas,
2004).Secara khusus penelitian ini akan dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Di satu sisi, Yogyakarta memiliki budaya tradisional Jawa yang
tercermin pada praktik-praktik menjaga kesehatan dan pengobatan tradisional, dalam Boomgard, Sciortino, & Smyth, 1996). Namun di sisi lain, data dari Badan Pusat Statistik DIY menunjukkan bahwa pada tahun 2007 sarana kesehatan yang ada sudah sebanyak 44 unit rumah sakit, 22 unit rumah bersalin, 35 unit balai pengobatan, dan 118 unit puskesmas induk. Hal ini menunjukkan bahwa Yogyakarta masih menggunakan cara tradisional dalam menjaga kesehatan dan menangani sakit, namun cara modern juga semakin banyak.
Dengan demikian, Yogyakarta menjadi salah satu tempat yang tepat untuk mengungkap representasi sosial dari sehat dan sakit di tengah-tengah perkembangan pengobatan tradisional dan modern yang sama-sama berkembang.
Responden penelitian adalah orang dewasa yang sudah bekerja dan/atau berkeluarga. Hal ini dimaksudkan bahwa mereka telah memiliki tanggungjawab untuk mengambil keputusan dan kemandirian secara ekonomi. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul ”Representasi Sosial Tentang Konsep Sehat dan Sakit Pada Orang Jawa yang Tinggal Di Daerah Istimewa Yogyakarta”.
B. RUMUSAN MASALAH Apa representasi sosial orang Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta tentang konsep sehat dan sakit ?
C. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui nilai, ide, pengetahuan, sikap, dan praktik-praktik yang berhubungan dengan konsep sehat dan sakit pada orang Jawa, yang tinggal di
Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai representasi sosial tentang konsep sehat dan sakit.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan gambaran tentang konsep sehat dan sakit orang Jawa untuk teori-teori kesehatan.
b. Referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis Melihat konsep sehat dan sakit secara lebih kontekstual pada orang Jawa sehingga para pelaku atau pelayan kesehatan dapat mengkonstruksi model pelayanan kesehatan tertentu yang sesuai dengan konsep sehat dan sakit pada masyarakat Jawa.
BAB II LANDASAN TEORI A. KONSEP SEHAT DAN SAKIT MODERN
1. Konsep Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi, yaitu jiwa dan raga. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non- fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga mulai muncul sejak jaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tentang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan (dalam Wozniak, 1995). Plato dan Aristoteles (dalam Wozniak, 1995) berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Plato menyebutkan bahwa jiwa berusaha keluar dari tubuh. Mungkin diperlukan waktu beberapa reinkarnasi sebelum ini tercapai. Salah satu masalah dari dualisme Plato adalah walaupun dia berbicara tentang jiwa yang dipenjarakan dalam tubuh, ia tidak menjelaskan apa yang mengikat jiwa tersebut di dalam tubuh. Oleh karena itu, perbedaan ini dinilai bersifat misteri (“Dualism”, 2007).
Aristoteles tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles lebih memungkinkan untuk menjelaskan kesatuan tubuh dan jiwa. Ia mengatakan bahwa jiwa adalah bentuk tubuh. Ini berarti jiwa seseorang
tidak lebih dari sifatnya sebagai manusia karena jiwa tampak menjadi
milik tubuh. Jiwa memberikan banyak interpretasi, baik kuno dan
modern. Hal ini ia tafsirkan sebagai teori materialistis. Interpretasi dari
filosofi Aristoteles ini terus dipercaya hingga kematiannya. Namun
demikian, Aristoteles percaya bahwa kecerdasan, meskipun bagian dari
jiwa, berbeda dari bagian lain yang tidak memiliki organ tubuh
(“Dualism”, 2007).Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diperkenalkan oleh
Descartes (dalam Wozniak, 1995). Ia adalah seorang ahli matematika
Perancis, filsuf, fisiologis, dan orang pertama yang secara sistematis
memunculkan tentang hubungan mind dan body. Mind dan body,
merupakan entitas yang terpisah. Bila kita dalam keadaan sadar, sensasi
kesadaran kita diwakilkan oleh pancaindera (Eliasmith, 2006). Hal ini
berarti body mempengaruhi mind. Sebaliknya, dalam tindakan tidak sadar,
mind akan mempengaruhi body. Dengan demikian, mind and body
memang entitas yang berbeda, akan tetapi saling mempengaruhi (dalam
Wozniak, 1995).Pada abad ke-17, berkembang aliran Cartesian yang berorientasi
pada kesehatan fisik-organik (dalam Wozniak, 1995). Sehat diartikan tidak
ditemukan disfungsi alat tubuh, sedangkan mental dan roh bukan urusan
dokter. Pandangan dualisme Cartesian ini mendorong profesi kedokteran
terbagi menjadi dua kelompok yang hampir tidak berkomunikasi satu
dengan yang lainnya (Joesoef & Sutanto, 1990). Di satu sisi, dokter
psikolog menangani gangguan jiwa. Hal ini mencegah peneliti-peneliti
kedokteran mempelajari peranan stress dan keadaan emosional dalam
perkembangan penyakit. Oleh karena itu, kaitan antara keadaan emosional
dan penyakit, walaupun sudah diketahui sejak dulu, mendapat perhatian
yang sedikit sekali dari profesi kedokteran (Joesoef & Sutanto, 1990).Konsep tentang pemisahan antara mind dan body ini terus
berkembang hingga abad ke-19. Banyak ilmuwan-ilmuwan memunculkan
gagasan dan reaksi mereka terhadap perumusan Descartes. Sampai pada
akhir abad ke-19, konsepsi pemisahan antara pikiran dan tubuh kembali
diperbincangkan. William James (1842-1010), seorang filsuf-psikolog
Amerika, memunculkan istilah ‘perasaan’ yang menjadi penghubung
antara tubuh dan pikiran sehingga keduanya memiliki hubungan kausal
(dalam Wozniak, 1995).Mengenai agama, William James mengungkapkan bahwa agama
terletak di dalam pengalaman masing-masing orang. Seseorang bisa
melakukan transformasi pengalaman mistis ke luar sehingga muncul baik
sementara maupun pasif. Ketika hasil transformasi agama ini muncul,
kepribadian telah diubah secara permanen. Akan tetapi, adekuasi dari
pengalaman ini, hanya dapat diuji dalam istilah buah-buah dari kehidupan
mereka (dalam Wozniak, 1995).Konsepsi William James ini disambut hangat oleh masyarakat. Sejak
saat itu, dualisme mulai hangat diperbincangkan kembali di Amerika.
Dualisme mulai merambah masuk, tidak hanya dalam ilmu meta-fisika, akan tetapi juga masuk ke dalam disiplin ilmu lainnya, terutama psikologi (dalam Wozniak, 1995).
Konsep dualisme yang diperkenalkan oleh Barat menyebutkan bahwa antara tubuh dan pikiran memang terpisah. Akan tetapi, tubuh dan pikiran dihubungkan oleh ‘perasaan’. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh dan pikiran memang terpisah tetapi keduanya memiliki hubungan kausal yang diakibatkan oleh ‘perasaan’.
2. Pengertian Kesehatan WHO
Dunia, memiliki konsep kesehatan yang dirumuskan oleh WHO (World Health Organization). Menurut WHO (1950), ”Health is a state of complete physical, mental and social well being not merely the absence of disease or infirmity” . Pengertian kesehatan ini, menunjukkan bahwa sakit mengandung dimensi biopsikososial, yaitu disease, illness, dan sickness (Calhoun dalam Notosoedirdjo dan Latipun, 2001).
Disease merupakan dimensi biologis, dimana gejala diketahui melalui diagnosis medis. Illness merupakan dimensi psikologis, dimana pengalaman subjektif seseorang tentang kondisi sakit (ketidaknyamanan) ada pada dimensi ini. Sickness merupakan dimensi sosiologis, menggambarkan bagaimana penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sakit. Dengan demikian, muncul dua istilah untuk menggambarkan sakit, yaitu gangguan dan deviasi. Gangguan merupakan konsep medis dan psikologis yang secara klinis dijumpai ada penyakit atau merupakan penyimpangan dari norma sosial (Notosoedirdjo & Latipun, 2001).
Dengan demikian, konsep kesehatan yang diberikan oleh WHO menggambarkan sehat sebagai kondisi sejahtera baik dari fisik, mental, maupun sosialnya.
3. Pengertian Kesehatan dalam Ilmu Psikologi Pengertian kesehatan WHO juga diterapkan dalam ilmu Psikologi.
Psikologi Abnormal, misalnya, memberikan batasan perilaku abnormal. Secara klinis, orang sakit disebut abnormal. Perilaku abnormal ini disebut juga psikopatologi (menurut Kamus Psikologi). Batasan perilaku abnormal menurut Wakefield (1992, dalam Wilson et al., 1996) antara lain sebagai pelanggaran norma sosial, gangguan yang ditangani oleh profesional, penyimpangan statistik, kemunduran biologis, distress atau ketidakmampuan yang tidak diharapkan, dan disfungsi yang membahayakan. Oleh Nevid, Rathnus, dan Greene (2005), batasan perilaku abnormal ini ditambahkan dua poin, yaitu mengandung persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realita dan merupakan perilaku yang maladaptif atau ’self defeating’.
Di samping Psikologi Abnormal, terdapat pula Psikologi Kesehatan yang ditujukan untuk memahami pengaruh psikologis pada bagaimana individu tetap sehat, mengapa mereka sakit, dan bagaimana tanggapan mereka ketika sakit (Taylor, 2003). Psikologi Kesehatan fokus pada penyakit, identifikasi penyebab sehat, penyakit, dan disfungsi, serta meningkatkan sistem pemeliharaan kesehatan dan perumusan kebijakan kesehatan (Matarazzo dalam Taylor, 2003).
Oleh karena psikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari jiwa, maka kesehatan dalam ilmu psikologi lebih banyak berbicara tentang kesehatan mental. Secara umum, kesehatan mental ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yaitu menjalankan tuntutan hidup sehari-hari, sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia (Supratiknya, 2005). Kesehatan mental memiliki hubungan dengan beberapa ilmu lain (Notosoedirdjo & Latipun, 2001). Kesehatan mental memberikan sumbangan dalam dunia kedokteran, terutama kedokteran jiwa. Dalam ilmu psikologi, Kesehatan Mental membantu melihat proses psikis yang berpengaruh pada perilaku sehat dan tidak sehat. Sementara dalam ilmu Sosio-Antropologi, intervensi Kesehatan Mental akan berhasil jika mempertimbangkan dimensi sosial dan budayanya.
Sekalipun demikian, kesehatan secara psikologis ini tidak hanya semata-mata kondisi mental yang dilihat secara klinis, akan tetapi juga penilaian dari kondisi lingkungan individu (ruang sosial). Hal ini menunjukkan bahwa sehat dan sakit di dalam ilmu Psikologi masih menggunakan konsep kesehatan WHO yang menyangkut dimensi bio- psiko-sosial.
Melihat konsep dualisme dari Barat, konsep sehat dan sakit sehat berarti tubuh tidak mengidap penyakit, sementara sakit berarti ada penyakit di dalam tubuh. Akan tetapi, kondisi tubuh dan pikiran ini saling mempengaruhi. Sakit atau sehat yang dialami oleh tubuh bisa jadi merupakan akibat dari kondisi pikiran. Sebaliknya, jika tubuh dalam keadaan sehat atau sakit juga bisa mengakibatkan kondisi pikiran tertentu. Misalnya : karena terlalu banyak hal yang dipikirkan maka kepala merasa pusing, atau karena sakit tubuh yang diderita maka pikiran menjadi stres.
WHO (World Health Organization) memberikan definisi kesehatan yang diberlakukan di seluruh dunia. Definisi kesehatan dari WHO ini diadopsi oleh ilmu-ilmu dan bidang-bidang pengetahuan, tak terkecuali psikologi. Konsep kesehatan dari WHO memiliki dimensi bio-psiko-sosial. Sehat dikatakan sebagai kondisi sejahtera dari bio-psiko-sosial, sementara sakit dikatakan sebagai kondisi adanya gangguan dan/atau deviasi.
B. KONSEP SEHAT DAN SAKIT DI INDONESIA
1. Sejarah Kedokteran di Indonesia Sebagai Awal Pelayanan Kesehatan Modern
Pendidikan kedokteran di Indonesia dimulai sejak tahun 1851 (Khumaidi, 2008; Almazini, 2007). Pendirian sekolah keahlian di bidang kedokteran berawal dari terjadinya epidemi penyakit menular yang menyerang tenaga kerja pribumi di perkebunan-perkebunan Belanda.