UAS Dasar-Dasar Filsafat Hukum | Muchamad Ali Safa'at Kasus Charge HP

Tragis..Aguswandi Tanjung Ditahan Gara-gara Ngecas Baterei Ponsel

JAKARTA-Sungguh naas nasib Aguswandi Tanjung (57). Penghuni apartemen dan
ruko Roxy Mas ini terpaksa harus mendekam di penjara sejak 8 September lalu,
gara-gara mengecas telepon selulernya.
Saat itu, Aguswandi sangat ingin tahu informasi perkembangan gempa di
Tasikmalaya. Saat itu listrik di rumahnya mati. Penghuni lantai 7 nomor 8
Apartemen Roxy Mas ini pun lalu mengecas telepon selulernya dengan cara
mengalirkan listrik dari koridor Apartemen Roxy Mas. Namun, ternyata hal itu justru
membuat Aguswandi dipenjara.
Dia memang terpaksa mengambil listrik dari koridor lantaran aliran listrik ke unitnya
diputus pengelola sejak 6 Agustus 2009.
Rabu lalu (28/10), berkas Aguswandi resmi dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat. Bersamaan dengan itu, Aguswandi dipindahkan dari sel Kepolisian Sektor
Metro Gambir ke Rumah Tahanan Salemba.
Dalam surat perintah penahanan yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,
Aguswandi diduga mengambil aliran listrik milik PT Jakarta Sinar Intertrade (JSI)
tanpa sepengetahuan perusahaan. PT JSI adalah pengelola Apartemen dan ITC Roxy
Mas. Dengan kabel listrik berukuran 3 x 1,5 milimeter sepanjang 15 meter, listrik
dialirkan dari stop kontak fasilitas operasional pengelola gedung ke apartemen
Aguswandi dan digunakan untuk kepentingan pribadi. Listrik inilah yang dipakai

untuk mengecas ponsel Aguswandi malam itu.
Aguswandi dituduh melanggar Pasar 19 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1985
yang diperbarui dalam Pasal 60 Ayat 1 UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan jo
Pasal 363 (1) 3e KUHP tentang pencurian.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Tris Sumardi dan Property Manager PT JSI
Uung Hartanto menyatakan, Aguswandi sudah beberapa kali melakukan hal serupa.
”Kami menyayangkan tindakan Aguswandi. Selaku Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah
Susun Seluruh Indonesia, ia seharusnya memberikan contoh baik. Kalau sekjen
mengambil listrik dari stop kontak fasilitas operasional, pengguna apartemen lain
bisa meniru. Bila sudah begitu, orang tidak perlu punya listrik di unitnya karena bisa
mencolok listrik dari tempat umum. Sementara tagihan listrik di ruang publik masuk
ke rekening pengelola,” kata Uung.
Uung enggan menyebutkan besar kerugian akibat tindakan Aguswandi. Tris

menduga kerugian PT JSI Rp 500.000.
Keluarga dan pengacara menepis anggapan bahwa Aguswandi kerap mengambil
listrik dari stop kontak di koridor apartemen. ”Setelah gempa di Tasikmalaya
tanggal 2 September, Bapak ambil listrik. Itu pun tidak setiap hari. Listrik yang
diambil hanya untuk mengecas ponsel, tidak untuk keperluan lain,” ucap Henny
Ancilla, istri Aguswandi.

Sejak hidup tanpa listrik, keluarga Aguswandi bermodalkan lilin dan lampu cas
untuk penerangan. Hiburan hanya berasal dari radio yang dibunyikan dengan
tenaga baterai.
Buntut persoalan
Keluarga Aguswandi menduga penahanan ini merupakan buntut dari keberanian
Aguswandi mempertanyakan pelbagai kebijakan di Apartemen dan ITC Roxy Mas.
Aguswandi juga punya dua kios di ITC Roxy Mas.
Sejak 2004, Aguswandi gencar mempertanyakan perubahan sertifikat hak milik atas
satuan rumah susun yang dibagikan kepada para penghuni. Sertifikat yang semula
diatasnamakan setiap pemilik apartemen atau kios tiba-tiba diubah pengurus
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun menjadi atas nama PT Duta Pertiwi selaku
pengembang.
Akibatnya, sejumlah pemilik apartemen dan kios kesulitan mengagunkan sertifikat
untuk mendapatkan pinjaman bank, kecuali bila pemohon mengajukan pinjaman ke
bank yang satu grup dengan pengembang Roxy Mas. Sebelumnya, pinjaman bank
sangat mudah didapat dengan agunan sertifikat atas nama penghuni.
Belum selesai masalah sertifikat, pengelola Apartemen dan ITC Roxy Mas
menaikkan biaya jasa pengelolaan (servis) sejak Januari 2006. Kenaikan biaya itu
diprotes sebagian penghuni karena dilakukan sepihak dan tidak sesuai perjanjian
awal antara penghuni dan pengelola. Aguswandi adalah salah satu yang menentang

kenaikan ini.
”Kami bukan tidak membayar biaya servis. Namun, Bapak bersedia membayar
biaya servis sesuai tarif lama. Tagihan listrik dan air juga tetap dibayarkan,” ucap
Henny. Beberapa rekan Aguswandi juga ikut hidup dalam gelap karena listrik
dicabut.
Namun, menurut Uung, Aguswandi berhenti membayar biaya servis sejak Juli 2006.
Surat peringatan sudah dilayangkan sebanyak 18 kali. Mulai Februari 2009,
Aguswandi kembali membayar biaya servis, tetapi dengan tarif lama.

”Dari pemilik sekitar 700 kios dan penghuni sekitar 120 unit apartemen, hanya Pak
Aguswandi yang membayar dengan tarif lama. Penghuni lain membayar sesuai
ketentuan. Pengelola mencabut listrik sebagai sanksi karena mereka tidak
memenuhi kewajiban membayar biaya servis,” kata Uung.
Perubahan nama di sertifikat, menurut Uung, tidak meninggalkan ekses apa pun.
Sertifikat dengan nama pengembang ini disebutnya masih laku diagunkan ke bank.
Apa yang terjadi sebelum kasus ”cas ponsel” ini barangkali tidak muncul di
persidangan. Namun, urusan cas ponsel dan listrik ini tampak terlampau kecil untuk
melaju hingga ke meja hijau. Dalam kasus ini, rasa keadilan penegak hukum
tampaknya perlu dikedepankan. (aris kuncoro/kompas)