RABI’AH AL-ADAWIYAH : 717-801 M DAN PEMIKIRANNYA TENTANG MAHABBAH.

(1)

RABI’AH AL-ADAWIYAH (717-801 M) DAN PEMIKIRANNYA TENTANG MAHABBAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu(S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Oleh :

Anggry Vera Febryanti

NIM:A02211008

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

PE,RNYATAAN

KEASLIAN

Anggry Vera Febryanti 402211008

Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Adab dan Humaniora Nama

Nim .[ urusan Fakultas

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahrva skripsi

ini secara

keseluruhan adalah hasil penelitian' karya saya sendiri. kecuali pada bagian - bagian yang

dirujuk surnbernya.

Surabaya, 05 .Tanuari 2016

Saya yang Mcnvatakan,

Anegry Vera Febryanti NrM. A02211008


(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Slripsi yang ditulis oleh Angsry vera Febryanti NIM. A02211008 ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Surabaya, 23 Desember 201 5

Pembimbing,

ok

Dr. Ahmad Nur Fuad, M.A.

NIP :19641 1 I 1 1993031002


(4)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi telah diuji oleh Tim Penguji dan dinyatakan Lulus

Pada tanggal 3 Februari 2016

Ketua/Pembimbing

qW

Dr. Ahmad Nur Fuad, M.A 196411111993031002

Penguji I

guji

II

:

1 15200s0r r 004

Adab dan Humaniora

9600212t99003 1002

Prof.

I

Mukarrom, M.A. 1981031002


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

viii

ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang ‘’Sejarah Munculnya Konsep Mahabbah Rabi’ah al -Adawiyah.Masalah yang dikaji meliputi sejarah munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah al -Adawiyah dan pengaruh konsep MahabbahRabi’ah al-Adawiyah dalam perkembangan tasawuf. Maka dari itu penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana sejarah munculnya konsep

Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah dan pengaruh konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah dalam

perkembangan tasawuf.

Skripsi ini menggunakan metode historis. Metode historis dijadikan penulis untuk

mengungkapkan apa yang melatarbelakangi munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah.

Dari perkembangan tasawuf sebelum munculnya Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah,

peristiwa munculnya Mahabbah, dan setelah munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah al -Adawiyah. Teori yang digunakan ialah Continuity and Change. yakni konsep ajaran Khauf dan

Raja’ Hasan al-Bashri dirubah menjadi konsep Mahabbaholeh Rabi’ah al-Adawiyah.

Hasil skripsi ini adalah sebelum munculnya ajaran Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah di Bashrah terlebih dahulu terdapat ajaran Khauf dan Raja’ yang dibawa oleh Hasan al-Bashri. Masyarakat Bashrah kemudian mengikuti ajaran Khauf dan Raja’ selama berabad-abad baru hadirlah Rabi’ah dengan konsep Mahabbahnya di Bashrah. Rabi’ah hadir dengan ajaran barunya kini mengubah ajaran yang hanya Allah karena takut masuk neraka dan ingin masuk surga dengan Mahabbah yaitu beribadah karena benar-benar cinta kepada Allah. Syair 2 cinta

Rabi’ah menjadi puncak tasawufnya, Syair tersebut dikutip dan ditulis oleh Abu Thalib al

-Makki. Bahkan Abu Thalib al-Makki merengkan lebih jelas agar lebih dapat dipahami oleh orang awam.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM...i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iv

DAFTAR TRANSLITERASI ...v

MOTTO...vi

PERSEMBAHAN ...vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xii

BAB I :PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...7

C. Tujuan Penelitian ...7

D. Kegunaan Penelitian ...8

E. Pendekatan dan KerangkaTeoritik ...8

F. Penelitian Terdahulu ...9

G. Metode Penelitian ...11

H. Sistematika Pembahasan ...15

BABII :RIWAYAT HIDUP RABI’AH AL-ADAWIYAH ...16

A. Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah ...16


(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ii

C. Masa Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah ...30

BAB III : SEJARAH MUNCULNYA KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH ...37

A. PerkembanganTasawuf Sebelum Munculnya Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah ...37

B. Munculnya Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah ...42

C. Ajaran Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah ...48

BAB IV :PENGARUH KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN TASAWUF ...54

A. Pengaruh Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah ...54

B. Perkembangan Tasawuf Pada Masa Setelah Rabi’ah al-Adawiyah ...61

BAB V : PENUTUP ...71

A. Kesimpulan...67

B. Saran saran ...68 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi`ah al Adawiyah dan masih banyak lagi. Menginjakabad ke-1 Hijriyah, umatIslam mengalami kekacauan sosial-politi kakibat perpecahan dan perang saudara yang beruntun. Dalam perkembangans elanjutnya gerakan zuhud ini berubah menjadi aliran mistik.Ajaran mistik yang diusahakan segolongan umat Islam dan disesuaikan dengan ajaran Islam disebut dengan tasawuf.1Di dalam tasawuf pengalaman ajaranmistikuntukperkem bangan keruhanian, tujuan orang melakukanatau menjalankan tasawuf adalah memantapkan keyak inan agamany adenganmenyaks ikanlangsungwuju dTuhan. Kedudukan tinggi telah dicapai oleh perempan Sufi diantara umat Islam, dan terdapat banyak penulis tentang agama yang mengangkat perempuan Sufi sebagai suatu contoh tidak hanya kepada perempuan lain, tetapi juga terhadap laki-laki lain. Tersebutlah Rabi’ah, seorang Sufi perempuan yang suci, dimana ia lebih terkenal dengan sebutan Adawiyah atau Qaysiyah atau juga disebut al-Bashriyah, tempat dimana ia dilahirkan, adalah perempuan terbesar di dalam kehidupan tasawufIslam dan kontribusinya yang terbesar bagi perempuan terhadap perkembangan sufisme. Perempuan yang memiliki kesucian hidup dan hubungan intim dengan Yang Suci, sebagaimana mereka pelajari dengan penuh antusias dari ajaran suci Islam, ditandai dengan banyak munculnya ulama-ulama

1


(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

di masanya, dan kontribusinyaterhadap perkembangan serta merupakan kekuatan tersendiri bagi agama Islam.2

Rabi’ah al-Adawiyah lahir di Basrah pada tahun 95 H (717 M) dan Rabi’ah wafat pada tahun 185 H (801 M) yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (Mahabbah) khas sufi ke dalam mistisisme dalam Islam. Sebagai seorang wanita zahidah, dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria saleh. Isi pokok ajaran

tasawufRabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdidan melakukan

amal saleh.3

Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Allah baginya merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti.4Kenyataan bahwa seorang perempuan muslim dapat dipuja seperti wali tidak diragukan lagi, karena sejarah tasawuf tidak akan lengkap kalau tidak menyebutkan perbuatan, perkataan dan syair-syair Rabi’ah. Dalam dataran

sejarah sufi, Rabi’ah al-Adawiyah dipandang sebagai pembawa versi baru dalam hidup kerohanian, karena ia telah tampil ke depan dan memperkaya kehidupan tasawuf dengan memperkenalkan warna baru, yaitu cinta Ilahi.5

Perjalanan hidup Rabi’ah al-Adawiyah yang penuh liku-likutelah mengantarkannya menjadi perempuan sufi yang hidupnya hanya untuk Allah

semata. Cinta Rabi’ah yang khas pada Khaliqnya. Rabi’ah al-Adawiyah adalah

2

Margareth Smith, Rabi’ah:Pergulatan Spiritual Perempuan (Surabaya: Risalah Gusti 1997), 6.

3

Ibid., 8. 4

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, 268-269.

5


(10)

3

seorang pelopor dan sekaligus sebagai guru bagi sejumlah sufi. Ide tasawuf yang

dikembangkannya, mahabbah, telahmenyebarkemana-mana,

danbanyakdikajihinggasekarang. Hal inimembuatnamanyatermasyhur, tidakhanya di kawasanduniaislam, namunsampaimenjangkaubenuaEropa.6

Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah akhirnya menjadi gambaran nyata dari al-Qur’an surat al-Maidah ayat 54.7 Kehidupan dan ajaran Rabi’ah tetap menarik untuk dikaji dan diteliti, karena di dalamnya sarat akan hikmah

dan teladan. Rabi’ahtokohpertamadalamsejarahtasawuf yang

diperkenalkandalamkarangan-karangan orang Eropa.

Kemasyhuran yang diperoleh Rabi’ah ialah karena dia membawa dan mengemukakan konsep baru dalam kehidupan kesufian. Rabi’ah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta, yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi.8 Tampak jelas bahwa cinta

Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah. Pemikiran

Rabi’ah tidak terjadi begitu saja melainkan terdapat sejarah di balik konsep

munculnya mahabbah itu sendiri. Bersama dengan mitos, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu atau cara untuk mengetahui masa lampau.9

Sebelum hadirnya Rabi’ah al-Adawiyah di Basrah terdapat seorang tokoh sufi yang terkemuka yakni Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di

6

Smith, Rabi’ah:Pergulatan Spiritual Perempuan, 12.

7

Iskandar, Tasawuf, Tarekat, dan Kaum Sufi, 347.

8

Ahmad Isa, Tokoh-tokoh Sufi (Jakarta: PT RajawaliGrafindo Persada, 2000), 119. 9


(11)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana. Sehingga dia memiliki ilmu agama yang kepandaianya diakui oleh para sahabat.10Hasan al-Bashri terkenal sebagai salah seorang tokoh terkemuka pada zamannya. Dia termasyhur sebagai orang saleh dan pemberani. Dia terang-terangan benci dengan sikap para pejabat yang senang hidup berfoya-foya. Dia diakui sebagai salah seorang tokoh sufi besar. Hasan Al Bashri adalah orang yang pertama kali menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian, senantiasa didasarkan pada sunah-sunah nabi. Sahabat-sahabat nabi yang masih hidup pada zaman itu, mengakui kepandainya.11

Hasan al Bashri menolak segala kemegahan dunia, dan semata-mata hanya menuju kepada Allah, tawakal, khauf12 berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.

Raja’13 berarti menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah „azza wa

jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan

10

Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia,2000), 98.

11

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981), 71. 12

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 50.

13


(12)

5

pengharapan. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan Hasan al Bashri

merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk dia”.14

Rabi’ah hadir di tengah-tengah pengikut Hasan al-Bashri; ia mendengarkan dan mencermati pengajian mereka dan bergabung dalam pelajaran-pelajaran mereka, dan meneruskannya sepanjang umurnya. Ia kadang-kadang melampaui semua orang pada saat itu dengan keyakinan yang sesuai dengan kodrat alamiahnya.15

Demikianlah, Rabi’ah datang di antara orang-orang awal yang disebut Sufi. Ia diperhitungkan sebagai salah seorang Auliya’ (orang suci) yang visinya mencari kebenaran. Kebenaran itu sendiri mempunyai tingkatan, dan yang

paling tinggi lapasitasnya sebagai visi kesucian dan kemuliaan. Sufisme Rabi’ah

berkembang menurut kapasitas pembawaan dan keteguhannya, bukan hanya oleh pengajaran, atau dari meniru belaka. Benih-benih ini terlihat pada dirinya

tanpa disadarinya.Kehidupan sosial dan religius di kotanya sangat mempengaruhinya. Sejak kanak-kanak, sebagaimana kita ketahui, ia memperlihatkan karakteristik yang menyerupai kehidupan orang dewasa.16

Ada 2 (dua) batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi’ah. Pernyataan

pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.Dia harus memisahkan dirinya sesame makhluk ciptaan Allah, supaya dia tidak menarik

14

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, 72.

15

Smith, Rabi’ah:Pergulatan Spiritual Perempuan, 24.

16

Widad El Sakkani, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah: dari lorong derita mencapai Cinta Ilahicet II (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 85.


(13)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

dari Sang Pencipta. Dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada

Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi’ah dengan penuh

kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia sendirilah yang wajib dicinta hamba-Nya.

Pernyataan kedua, kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembalasan hukuman, paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut Rabi’ah Allah akan menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.17

Pembahasan tentang cinta kepada Allah cenderung mengaitkan Rabi’ah al-Adawiyah, seorang perempuan suci. Dia yang pertama membuat bahasa cinta menjadi pokok kosakata rohani Islam.18 dan bersaham besar dalam memperkenalkan cinta Allah dalam mistisisme Islam19 Margaret Smith menilai

Rabi’ah sebagai pelopor doktrin ini dan mengkombinasikan dengan kasyf,

17

Ibid.,122-123.

18

Sachiko Murata,The Tao of Islam: Kitab rujukan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nashrullah(Bandung: Mizan 1998), 329.

19

Fariduddin Al-Attar, Warisan Para Auliya’,cet II terj Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka 1994), 47.


(14)

7

terbukanya hijab pada akhir tujuan, Sang Kekasih, oleh pecintanya dan Annemarie Schimmel menyatakan wanita yang penyendiri dalam keterasingan suci dan memberikan warna mistik sejati.20

B. RumusanMasalah

1. Siapa Rabi’ah al-Adawiyah ?

2. BagaimanasejarahmunculnyapemikiranMahabbah Rabi’ah a l-Adawiyah ?

3. Bagaimanapengaruhpemikiran Rabi’ah al-Adawiyah terhadap perkembangan tasawuf ?

C. TujuanPenelitian

1. UntukmengetahuibiografiRabi’ah al-Adawiyah

2. Untuk mengetahuisejarah munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah

3. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah terhadap perkembangan tasawuf

20

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam terj. Sapardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 38.


(15)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

D. Kegunaan Penelitian

1.Dari segi praktis penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat menjadi referensi bagi para pembaca yang memiliki minat untuk

mendalami sejarah munculnya Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah.

2. Dari segi akademis peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan yang sudah ada sehingga akan menambah pengetahuan tentang sejarah tasawuf yang pernah mendapat perhatian di masa lalu, karena kajian tentang sejarah munculnya pemikiran tokoh sufi masih sangat minim dengan alasan itulah penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat terhadap nilai progress akademik.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan historis, yaitu suatu pendekatan kesejarahan yang memiliki ciri khas adanya model diakronis, yaitu pengungkapan sejarah yang menawarkan bukan hanya struktur dan fungsinya yang berdialektik dengan melihat realitas sejarah serta mengedepankan pengungkapan peristiwa-peristiwa dari waktu ke waktu.21Pendekatan historis dijadikan penulis untuk mengungkapkan apa yang melatarbelakangi munculnya konsep Mahabbah

Rabi’ah al-Adawiyah. Dari peristiwa sebelum munculnya, saat munculnya dan setelah munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah.

21


(16)

9

Teori Continuity and Change ialah kontinuitas dan perubahan, dikemukakan oleh Christine Preston. Dalam hal ini Continuity and Change bisa juga diartikan

sebagai sudut pendekatan yang meneliti adanya “kesinambungandi tengah-tengah

perubahan”22

yang terjadi di dunia tasawuf. Arti teori continuity and change

dalam konteks skripsi ini adalah Rabi’ah mampu membawa konsep mahabbah di

dalam masyarakat yang meyakini beribadah kepada Allah karena ingin masuk surga dan takut masuk neraka. Danhadirlah Rabi’ah al-Adawiyah dengan tasawufnya yaitu Mahabbah.

Dan pada generasi sesudah Rabi’ah hadirlah Abu Thalib al-Makki yang

mengutip dan menulis karya yang terkenal dari Rabi’ah yakni “2 cinta” karena Rabi’ah tidak menulis sendiri sajak “2 cinta” tersebut. Abu Thalib al-Makki tidak hanya mengutip dan menulis sajak tersebut tetapi juga menjelaskan lebih dalam lagi agar orang awam dapat memahami juga.

F. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu dengan tema yang sama dengan memfokuskan: Sejarah Munculnya Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah:

1.Lilik Indahyani: Konsep Cinta: Study Komparasi Terhadap Pemikiran Jalaluddin Ar-Rumi dan Rabi’ah al-Adawiyah.23Skripsi ini mengkaji tentang study perbandingan antara pemikiran Jalaluddin Ar-Rumi dan Rabi’ah

22

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1989), 20.

23Lilik Indahyani, “

Konsep Cinta: Study Komparasi Terhadap Pemikiran Jalaluddin Ar-Rumi dan

Rabi’ah Al-Adawiyah” (Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel tahun 2004).


(17)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Adawiyah mengenai konsep cinta. Kesimpulannya pemikiran Rabi’ah al -Adawiyah tentang cinta berbeda dengan menurut Jalaluddin Ar-Rumi.

1. Laili Indah: Study Komparatif Antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Ibu Teresa Mengenai Cinta.24Skripsi ini mengkaji tentang study perbandingan antara pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah dan Ibu Teresa mengenai cinta. Kesimpulannya

adalah Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah tentang konsep cinta berbeda dengan konsep cinta menurut Ibu Teresa.

2. Rif’atul Fikriya: Al-Mahabbah 713-801M; Ajaran Sufisme Rabi’ah al -Adawiyah.25Skripsi ini mengkaji tentang ajaran sufisme Rabi’ah al-Adawiyah. Kesimpulannya adalah dari tahap zuhud menuju ridho dalam perjalanan hidup

Rabi’ah al-Adawiyah.

3. Alfa Mardiyana: Landasan Qur’ani Ajaran Susistik Rabi’ah al-Adawiyah.26 Skripsi ini mengkaji tentang ajaran Rabi’ah al-Adawiyah serta terdapat beberapa implikasi Al-Qur’an bagi perjalanan spiritualnya. Kesimpulannya adalah dalam

ajaran mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah terdapat landasan Al-Qur’an didalamnya.

Dari beberapa penelitian terdahulu seperti yang dipaparkan di atas, peneliti tidak menemukan kajian yang membahas sejarah munculnya mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah. Dipaparkan diatas hanya membahas secara garis besar konsep

mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah dengan menggambarkan pemikiran secara

24

Laili Indah,”Study Komparatif Antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Ibu Teresa Mengenai Cinta”

(Skripsi jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tahun 2008).

25Rif’atul Fikriya,”

Al-Mahabbah713-801 M: Ajaran Sufisme Rabi’ah al-Adawiyah” (Skripsi jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Malang tahun 2007).

26Alfa Mardiyana,”Landasan Qur’ani Ajaran Sufistik Rabi’ah al

-Adawiyah” (Skripsi jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas IAIN Tulungagung tahun 2012.


(18)

11

utuhdan mengabaikan konsep historis. Dengan demikian dapat diketahui bahwa

belum ada yang membahas sejarah munculnyakonsep mahabbah Rabi’ah Al -Adawiyah.

G. MetodePenelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu sebuah proses yang meliputi analisis, gagasan atau pemikiran tasawuf pada masalampau. Metode ini juga dapat berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang.

Adapun langkah-langkah yang ditempuhadalahsebagaiberikut:

1. Heuristik (Pengumpulan data)

Dalampenelitianini yang berjudul “SejarahMunculnya Konsep

Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyahpenelitimengumpulkan data berupa data

kepustakaan yang berhubungandenganpenelitiantersebut di

atasuntukpenelitimenemukanbeberapabuku primer maupunsekunder yang berhubungandenganpenelitianini.

a.) Sumber primer

1.) Kitab al-Bayan wa-at Tabyin27, karya al-Jahiz (164-255 H / 780-868

M). Dia adalah penulis terawal yang menyebutkan Rabi’ah. Seorang pemikir

terkenal. Ia menulis kitab al-Hayawan (kehidupan hewan) dan kitab al-Bayan wa-at Tabyin(sebuah buku tentang retorika). Di dalam kedua bukunya

27


(19)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

tersebut, referensinya tentang Rabi’ah adalah yang pertama dan penting

sekali. Dikarenakan periodenya

yang awal dan adanya kenyataan bahwa ia mengenal dekat dengan Rabi’ah semasa kecilnya.

2.) KitabQut al-Qulub28, pengarang Abu Thalib al-Makki w.(386 H/996 M). Dia adalah seorang asketis yang hidup dan mengajar di Mekkah, Basrah, dan Baghdad. Penulis Qut al-Qulub (Santapan Rohani), sebuah risalah lainnya tentang sufisme, dan dalam karyanya itu ia menyebutkan Rabi’ah al -Adawiyah beberapa kali, peristiwa-peristiwa di dalam kehidupannya, sahabat-sahabatnya dan yang paling berharga adalah mengutip sajak-sajaknya yang

terkenal “dua cinta” dan memberikan komentarnya panjang lebar tentang

sajak-sajak tersebut.

Abu Thalib al-Makki adalah seorang penulis sufisme yang besar dan juga sangat berhati-hati, sebab tercatat ada beberapa penulis yang mengakui sajak-sajak Rabi’ahsebagai karya mereka sendiri tetapi Abu Thalib al-Makki menyangkal bahwa sajak-sajak itu adalah karya Rabi’ah.

b.) Sumbersekunder

1.Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al Ilahi: Rabi’ah tumbuh dan berkembang

dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya, Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol ia kelihatan cerdik dan lincah dibanding kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya, pancaran sinar ketakwaan dan ketaatan yang tidak

28


(20)

13

dimiliki oleh teman-temannya. Dari keterangan di atas, dapat diambil pengertian

bahwa kecerdasan yang dimiliki Rabi’ah di atas rata-rata.29

2.Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam: Tokoh Rabi’ah ini

dipergunakan dalam sebuah risalat abad ke-17 di Prancis tentang cinta murni;

Rabi’ah merupakan model cinta Ilahi.30

3.Muhiddin, Renungan Cinta Rabi’ah al-Adawiyah: Jalan itu tidak didapatkan

Rabi’ah dengan mudah dan ongkang-ongkang kaki, tapi ia beli dengan air mata dan nestapa terperikan. Disambanginya nestapa dengan syukur dan doa, maka terbukalah pintu rahmat dan cinta langit. Tapi jalan itu bukan jalan yang mulus, melainkan awal dari rentetan derita berikutnya yang lebih parah.31

4. JavadNurbakhs,Sufi Women: Berkaitan dengan lamaran yang datang pada

Rabi’ah pernah pula Muhammad Sulaiman al-Hasyimi, orang yang berkuasa dan kaya serta direstui oleh para pembesar Basrah, konon ia adalah amir Basrah dengan penghasilan 10.000 dirham per bulan, sedang mas kawin yang ditawarkan

kepada Rabi’ah sebesar 100.000 dirham, mengajukan lamaran pada Rabi’ah, namun oleh Rabi’ah ditolak. Cara menolak lamaran tersebut dengan mengatakan:

“Seandainya engkau member seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku

memalingkan perhatianku dari Allah padamu.32

5.Simuh,Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam: Tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Allah, yang intinya

29

Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al Ilahi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 22-23.

30

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 7.

31

Muhiddin, Renungan Cinta Rabi’ah al-Adawiyah (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 130.

32


(21)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara antara roh manusia dengan-Nya. Melalui Kasyf al-mahjub (terbukanya tabir), Rabi’ah dinilai Margareth Smith dalam bukunya, sebagai pelopor pengajar mistik Islam.33

2. Interpretasi

Dalam langkah ini, peneliti berusaha menafsirkan data yang telah diverivikasi yang digunakan dalam penelitian ini sehingga akan menghasilkan suatu penelitian atau skripsi yang benar-benar otentik.

3.Historiografi

Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang telah dilakukan. Penulis berusaha menulis data yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga menjadi suatu kisah yang disusun secara sistematis dengan penulisan karya ilmiah. Pertama, penulis akan memaparkan biografi dari Rabi’ah al-Adawiyah dari masa kelahiran, remaja, dewasa, hingga wafatnya.

Kedua, penulis memaparkan tentang Hasan al-Bashri tokoh yang sangat

berpengaruh sebelum hadirnya Rabi’ah dan ajaranMahabbahnya di Kota Basrah,

dari biografi Hasan beserta ajaran Khauf dan Raja’nya. Ketiga, penulis

memaparkan tentang konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah sendiri. Keempat,

penulis memaparkan tentang pengaruh dari konsep Mahabbah Rabi’ah al -Adawiyah dalam dunia tasawuf.

33


(22)

15

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai isi penelitian ini, maka pembahasan dibagi menjadi lima bab. Uraian masing-masing bab disusun sebagai berikut:

BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan, berisi tentang tinjauan secara global permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini serta dikemukakan beberapa masalah meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB 2 :Berisi Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah: kelahiran, masa remaja

dan masa dewasa Rabi’ah al-Adawiyah..

BAB 3:Membahas tentang Sejarah munculnya konsep Mahabbah Rabi’ah a l-Adawiyah, yaitu perkembangan tasawuf sebelum munculnya konsep

mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah, munculnya konsep mahabbah Rabi’ah al

-Adawiyah, dan konsep ajaran mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah.

Bab 4:Membahas tentang pengaruh konsep mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah terhadapperkembangan dunia tasawuf.


(23)


(24)

BAB II

RIWAYAT HIDUP RABI’AH AL-ADAWIYAH

A.Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khai bin Ismail al-Adawiyah al-Qaisyiyah. Lahir di Basrah di perkirakan pada tahun 95 H (717 M). Diceritakan dalam sebuah literatur karya Fariddudin al-Attar (w. 627 H.) Peristiwa-peristiwa ajaib tak jarang terjadi di masa kelahirannya. Pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain pun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir.1

Ayahnya telah memiliki tiga putri sebelumnya, dan oleh karena itulah ia diberi nama

Rabi’ah (artinya putri keempat). Ayah Rabi’ah telah bersumpah bahwa ia tidak akan minta

sesuatu pun dari manusia lain, ayahnya telah berucap janji atau sumpah bahwa tidak akan meminta bantuan kepada sesama manusia (yaitu bahwa seorang Sufi hanya akan bergantung kepada Tuhan untuk memenuhi kebutuhannya).2

Di saat ia tertidur malam itu dalam keadaan tertekan karena tidak memiliki sesuatupun

disaat kelahiran putrinya, ia bermimpi didatangi Nabi Muhammad saw, dan bersabda, “

Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci

yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuhribu umatku.” Dalam mimpi tersebut

Nabi juga memberi perintah agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah seperti yang diperintahkan dalam

1

Fariduddin al-Attar, Warisan Para Auliya’ cet II (Bandung: Pustaka, 1994), 57.

2


(25)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

mimpi. Isi surat itu: “Hai amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali tiap malam Jum’at. Tetapi dalam Jum’at terakhir ini engkau lupa

melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada

yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas kelalaianmu.”3

Ayah Rabi’ah terbangun dan menangis, ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan langsung

menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui pembawa surat pemimpin itu. Ketika

Amir telah selesai membaca surat itu ia berkata:“Berikan duaribu dinar kepada orang miskin itu

sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk member empatratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus dating kepadaku, akulah yang akan dating kepadanyadan mengusap penderitaanya dengan

jenggotku.”4

Kisah diatasmenggambarkan bahwa kehidupan Rabi’ah sejak dini telah sufi, tanpa dinodai oleh barang-barang yang syuhbat, apalagi barang yang diperoleh dengan maksiat.

Kehidupan Rabi’ah sejak awal, tanpa dipengaruhi oleh perilaku-perilaku yang merugikan orang lain, bahkan Nabi telah memberi suatu tanda, bahwa kelak Rabi’ah akan menjadi manusia yang

besar. Kondisi semacam inilah, yaitu lingkungan yang berinteraksi dengan Rabi’ah, yang dapat

dimasukkan sebagai salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan jiwa keberagamaannya.

Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan

orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya, Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol ia kelihatan cerdik dan lincah disbanding kawan-kawannya.

3

Ibid., 8.

4


(26)

Tampak juga dalam dirinya, pancaran sinar ketakwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya. Dari keterangan di atas, dapat diambil pengertian bahwa kecerdasan yang

dimiliki Rabi’ah di atas rata-rata.5

Sebagian besar pemikiran yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ialah pemikiran seri atau jenis pemikiran IQ. Aritmatika mental merupakan contoh yang jelas dan sederhana. Fase analisis dari proyek maupun melibatkan penguraian suatu masalah atau situasi menjadi bagian-bagian logis yang paling sederhana dan kemudian memprediksi hubungan sebab-akibat yang mungkin terjadi. Hal ini akan sangat relevan bila dikaitkan dengan teori Intelegencia Quotient (IQ). Bila dianalisa lebih jauh, perkembangan taraf intelegensia (kecerdasan) sangat besar pada usia balita dan mulai menetap pada masa akhir remaja. Taraf IQ tidak mengalami penurunan, yang menurun hanya penerapannya saja.6

Terutama setelah usia 65 ke atas, dan bagi mereka yang alat inderanya mengalami kerusakan. Keunggulan berpikir seri dan keunggulan kecerdasan IQ ialah bahwa ia akurat, tepat dan dapat dipercaya. Tetapi, jenis pemikiran yang melandasi sains Newtonian ini bersifat linier dan deterministik.7 Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak hanya IQ pada masa balita sajayang menentukan taraf IQ pada masa selanjutnya, sebagaimana yang berlaku dalam hukum perkembangan manusia, tapi juga masa dalam kandungan (prenatal). Faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah pengaturan makanan, menjaga kesehatan, dan menjaga ketenangan batin. Agaknya faktor terakhir inilah yang mendominasi kehidupan Rabi’ah saat dalam kandungan. Sedang pasca kelahiran, menanamkan jiwa kasih sayang merupakan salah satu

faktor yang mengantarkan Rabi’ah untuk memiliki IQ tinggi.

5

Ibid., 22-23.

6

Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik (Jakarta: Kencana, 2004), 11.

7


(27)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Dari paparan di atas, bila dikaji lebih jauhakan terlihat bahwa pada akhirnya Rabi’ah dengan kecerdasan yang tinggi mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan kepadanya. Semua itu di bawah petunjuk dan ridha Allah, sehingga dalam banyak literatur

Rabi’ah mempunyai ilmu laduni. Ini pulalah yang membuat Rabi’ah menjadi tempat bertanya,

teman diskusi bagi para cendekiawan Muslim saat itu, khususnya dalam bidang agama.

Rabi’ah termasuk tokoh sufi pertama dalam sejarah tasawuf yang dikenal di kalangan

sarjana Eropa. Tokoh Rabi’ah ini dipergunakan dalam sebuah risalahabad ke-17 di Prancis

tentang cinta murni; Rabi’ah merupakan model cinta Ilahi.8

Diceritakan oleh Abdul Mu’in Qandil dan Athiyah Kamis, bahwa sejak kecil Rabi’ah

sudah seperti orang dewasa, ia seakan-akan telah paham dan dapat merasakan kondisi yang dialami oleh orang tuanya, sehingga ia menjadi pendiam, tidak banyak menuntut kepada orang tuanya, sebagaimana layaknya gadis kecil yang menginjak remaja. Keistimewaan dan kekuatan

daya ingat Rabi’ah juga telah dibuktikan sejak masa kanak-kanak.Al-Qur’an dihafalnya sejak

usia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Qur’an ini dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Bila telah berhasil menghafal ia duduk lalu mengulanginyakembali

dengan penuh khusyu’, penuh iman yang mendalam dan pemahaman yang sempurna.9

Tidak jarang pula ayah Rabi’ah melihat putrinya mengasingkan diri, bermuka muram dan

sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadah kepada Allah tak ubahnya seperti tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Permasalahan berikut yang patut untuk dikaji adalah bagaimana

pendidikan Rabi’ah pada masa anak-anak. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah

tidak pernah sekolah secara “formal” semisal al-kuttab, namun Rabi’ah dididik secara langsung

oleh orang tuanya.

8

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 7.

9


(28)

Ayah Rabi’ah menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh

-pengaruh yang tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa menyekat kesempurnaan batiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa oleh ayahnya ke sebuah Mushalla yang berada di pinggiran kota Basrah.Kegiatan tersebut dimaksudkan agar Rabi’ah terhindar dari polusi akhlaq yang melanda kota Basrah. Letak mushalla itu jauh dari kebisingan dari hiruk

pikuk keramaian. Di tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan sang Khaliq Yang Maha Kuasa.

Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut, seseorang akan mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang

diperoleh semasa kecil, dengan ayahnya sebagai guru. Sistem yang diterapkan oleh ayah Rabi’ah

dalam mendidik putrinya merupakan bagian dari pendidikan informal yang diperoleh dalam lingkungan keluarga. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud merupakan satu lingkungan yang besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.10

B.Masa Remaja Rabi’ah Al-Adawiyah

Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena masa ini merupakan periode peralihan. Masa remaja juga merupakan masa yang bermasalah, masa mencari identitas yang sekaligus sebagai masa yang tidak realistis yang sekaligus sebagai ambang masa depan. Secara umum masa remaja merupakan masa pancaroba, penuh dengan kegelisahan dan kebingungan.11 Kondisi demikian disebabkan pengaruh pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat berlangsungnya, terutama perubahan fisik, perubahan dalam

10

Ibid.,10.

11


(29)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

pergaulan sosial, perkembangan intelektual, adanya perhatian terhadap lawan jenis dan sebagainya.

Masa remaja, yang kata sebagian orang merupakan masa yang indah dan bahagia,

ternyata tidak berlaku bagi Rabi’ah. Masa-masa manis bersamaayah ibunya tidak dapat dinikmatinya lagi, karena dalam usianya yang relatif muda ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah, disusul kemudian oleh ibunya.12

Kepergian orang tuanya merupakan ujian bagi Rabi’ah, karena sang ayah merupakan

tulang punggung keluarga, kemudian disusul ibunya tercinta. Betapapun cobaan yang dihadapi,

Rabi’ah tetap tidak kehilangan pedoman. Sepanjang siang dan malam Rabi’ah selalu

berdzikirdan tafakkur pada Allah SWT. Hanya kepada Allah sajalah ia berserah diri, mengadukan nasib dan mempersembahkan seluruh hidupnya. Secara psikologis, saat usia muda (remaja) kondisi jiwa masih labil. Namun Rabi’ah mampu bersikap dewasa. Kondisi demikian, menurut penulis tidak terlepas dari pendidikan jiwa yang diperoleh dalam lingkungan keluarga. Meski ia telah kehilangan ayah ibunya, yang sekaligus sebagai guru, akan tetapi semua itu tidak

mengendurkan semangat Rabi’ah untuk “menggembleng” jiwanya guna lebih ber-taqarrub kepada Allah.13

Kehidupan Rabi’ah beserta empat saudaranya menurut Atiyah Khamis,14

dalam karyanya

yang mengupas kehidupan Rabi’ah, diceritakan bahwa untuk mempertahankan hidup mereka dari kelaparan, maka mereka giat bekerja. Saudara-saudara Rabi’ah bekerja di rumah, menenun

kain atau memintal benang, sedangkan Rabi’ah sehari-harinyabekerja di sungai menyeberangkan orang dengan perahu kecilnya. Perahu kecil itulah barang warisan yang ditinggalkan orang

12

Atiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, 9.

13

Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi,27.

14


(30)

tuanya. Meski demikian, Rabi’ah dan saudara-saudaranya tetap tabah menjalani kehidupan yang ada.

Menurut Qandil, Rabi’ah dan kakak-kakaknya keluar masuk kampung, mengetuk rumah-rumah, menawarkan jasa, barangkali ada pekerjaan yang dapat dibantunya. Memang pekerjaan

demikian wajar saja dilakukan oleh Rabi’ah bersaudara, mengingat kondisi keluarganya yang miskin. Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa kehidupan Rabi’ah yang penuh dengan derita

sama sekali tidak melunturkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, malah

sebaliknya menambah ketebalan iman dan takwanya. Pada usia remaja inilah Rabi’ah mulai

menampakkan rasa cintanya pada Allah SWT.15

Pada masa selanjutnya kehidupan Rabi’ah semakin sulit, lebih-lebih kota Basrah sebagai kota segala bangsa dan aliran, telah menjadi ajang pertentangan antara satu aliran dengan aliran lainnya, antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Pertentangan tersebut tidak terlepas dari situasi politik yang terjadi pada saat itu. Suasana demikian semakin memperburuk kota Basrah.

Dalam data sejarah disebutkan bahwa sepeninggal Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, kekuatan khalifah berada di tangan Yazid ibn Abd al-Malik (720-724). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung pada kemewahan dan kurang memperhatikan kondisi rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politik, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik (724-743 M), bahkan pada saat itu muncul kekuatan baru,

15

Abdul Mun’im Qandil,Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah dan cintanya kepada Allahterj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah (Surabaya: Pustaka Progresif,1933), 15.


(31)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

golongan Mawali. Sementara khalifah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tapi juga bermoral buruk.16

Kota Basrah yang menjadi pusat ilmu pengetahuan itu berubah menjadi kota pusat pertentangan. Di kota tersebut terdapat pengikut Khawarij dan Syi’ah yang fanatik. Hal ini memicu munculnya pemberontakan-pemberontakan dan kerusuhan-kerusuhan antar penduduk Basrah. Pertentangan antara aliran tersebut menyebabkan pertumpahan darah. Dapat disebut sebagai contoh adalah terjadinya pemberontakan khas Khawarij yang dilakukan oleh sekelompok pasukan pada tahun 737 M, dengan tujuan utama membunuh Khalid, gubernur Irak yang menjadi kaki tangan Khalifah Hisyam.17

Pada saat yang sama, dua orang agigator (penghasut) ang menamakan dirinya sebagai

kelompok Syi’ah ekstrim ditahan dan dijatuhi hukuman mati. Untuk menjaga stabilitas, Hisyam

memperlakukan hukuman yang sama pada dua orang agitator lainnya, yaitu : Ghailan al-Dimisqy, tokoh aliran Qadariah, dan Al-Ja’d ibn Dirham, tokoh aliran Jabariah. Sementara, pada tahun 740 M terjadi pemberontakan kaum Syi’ah Zaidiyah di bawah pimpinan Zaid, cucuAli ibn Abi Thalib.18

Selanjutnya kota Basrah mengalami bencana alam berupa kemarau panjang, kekeringan berkepanjangan menyebabkan kelaparan penduduk kota. Kota yang mulanya makmur dan berkembang, berubah menjadi kota yang dilanda kemiskinan. Kondisi demikian diperparah dengan meningkatnya pencurian dan perampokan. Hai ini tidak hanya membuat penduduk menderita, tetapi juga dilanda ketakutan. Orang miskin semakin miskin dan terlunta-lunta, mereka sering dihadang perampok dan menjualnya sebagai budak.

16

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), 47.

17

Ibid., 48.

18


(32)

Rabi’ah dan saudaranya semakin parah kondisinya, sehingga memaksa mereka untuk

meninggalkan gubuknya. Mereka berkelana ke berbagai daerah mencari hidup. Dalam

pengembaraan ini menyebabkan Rabi’ah terpisah dari kakaknya. Kemudian Rabi’ah jatuh ke

tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga sangat murah, yaitu sebesar enam dirham. Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuan yang telah membelinya sebagai budak memperlakukannya dengan amat kasar dan”bengis”, tanpa

rasa perikemanusiaan dan rasa belas kasihan. Tubuh Rabi’ah semakin kering kerontang,

makanan yang dimakannya hanyalah sisa tuannya. Pakaiannya pun hanya sepotong, itupun telah compang-camping.19

Pahitnya kehidupan dijalani dengan tabah dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar, merupakan senandung yang selalu didendangkannya. Musibah yang tiada henti semakin membuat Rabi’ah mendekatkan diri pada Ilahi.20 Dalam Psikologi Wanitadijelaskan bahwa pada masa pubertas gadis yang tengah tumbuh dan berkembang itu tidak akan pernah mencapai perkembangan yang maksimal tanpa menemui rintangan dan kesulitan, selama perjuangan menuju ke arah kedewasaan dan kematangan pribadinya, itu pasti pernah menderita, berduka cita, terjatuh, luka-luka, kecewa dan kalah. Sukses dalam usaha individu yang matang adalah mampu memikul duka derita. Tidak seorang pun yang dapat merasakan pahit dan madunya derita kecuali orang yang pernah mengalaminya sendiri.

Ciri pribadi yang kuat adalah mampu menanggulangi dan mengatasi kepedihan, ketegangan, kemalangan, kekalahan dan duka derita dengan rasa tawakal dan ketekunan usaha,

19

Ibid.,31.

20


(33)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

disertai dengan keberanian dan kemauan yang besar untuk mengatasi segala ujian hidup. Dengan begitu ia akan mampu mengambil dari manfaat dan semua pengalamannya untuk upaya mendewasakan diri guna lebih mematangkan dan menyempurnakan diri. Penjelasan demikian

menggambarkan kehidupan yang dialami oleh Rabi’ah.

Mengalami pengalaman pahit ini, ia kehilangan kepercayaan kepada mereka, ia tidak mungkin melupakan begitu saja perampok yang telah mengambil dan menjual sebagai hamba sahaya. Alasan lain yang dapat dijadikan tambahan adalah kecenderungan yang terjadi pada saat itu, masyarakat tenggelam dalam kemewahan, hidup mereka tidak lagi sesuai dengan ajaran agama Islam, sehingga ia memilih untuk hidup terasing dan jauh dari kebisingan dan ia terus memperbanyak ibadah dan tobatserta menjauhi kehidupan materil.21

Hanya kepada Allah Rabi’ah mengadu dan berserah diri serta mohon perlindungan. Pada awalnya perasaan cinta Rabi’ah sama dengan orang kebanyakan, segala sesuatu akan terasa

indah bila bersama orang yang dicinta dan segala sesuatu akan terasa mudah bila yang minta orang yang tercinta. Bila berpisah akan memunculkan kerinduan, dan rasa akrab bila berdekatan, sebagaimana ungkapan majmun yang tergila pada Layla, bahwa mata cinta hanya melihat satu keindahan.

Bagi Rabi’ah yang tercinta bukanlah lawan jenisnya, namun Allah yang maha pencipta, pemilik cinta yang hakiki. Cinta dan gairah Rabi’ah kepada Allah sangat dalam, sehingga tidak

ada satu pun ruangan yang tertinggal di hati atau pikirannya untuk pikiran atau kepentingan lain.22Kenyataan demikian tergambar dalam sebuah alur cerita yang menuturkan bahwa pada

suatu hari Rabi’ah disuruh tuannya berbelanja ke pasar, dengan menyusuri gang-gang yang

21

Noer Iskandar al-Barsany, Tasawuf, Tarekat, dan Para Sufi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 42.

22


(34)

sempit kota Basrah. Di tengah perjalanan ia dihadang oleh penjahat. Ia ketakutan dan berusaha melarikan diri. Akan tetapi, ia tersandung dan terjatuh sehingga lengannya patah. Ia kembali ke

rumah tuannya, kemudian sholat dan bermunajatkepada Allah. Sepanjang malamRabi’ah selalu

melakukan shalat, dan sepanjang siang ia selalu berpuasa, dengan tetap melaksanakan pekerjaan di rumah tuannya.

Pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah

kamar ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah. Ia tertegun melihat Rabi’ah. Bersujud di tanah seraya berdoa: Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas pasti akan persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepada-Mu.23 Dengan mata kepalanya sendiri

tuannya menyaksikan betapa sebuah lentera tanpai rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah,

sedang cahayanya menerangi seluruh rumah.

Demi melihat peristiwa demikian, ia merasa takut lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Esok paginya ia memanggil Rabi’ah dengan sikap lembut dan

berkata bahwa ia membebaskankan Rabi’ah. Kebebasan telah ada di tangan Rabi’ah. Tuannya menawarkan untuk tetap bersama atau meninggalkan rumah tuannya. Rabi’ah minta izin untuk

meninggalkan rumah tuannya. Segala penyakit datangnya atas kehendak Tuhan, karena itu

Rabi’ah selalu memikulnya dengan ketabahan hati dan keberanian. Rasa sakit yang

bagaimanapun tidak pernah mengganggunya, tidak pernah mengganggunya, tidak pernah menarik perhatiannya dan pengabdiannya kepada Tuhan. Sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya yang terluka sampai ia diberitahu oleh orang lain.24

23

Mustofa, Akhlaq Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 247.

24


(35)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Sebagai satu catatan kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk Allah SWT.

Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani

kehidupan sufi, dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada satupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah. Dalam masa selanjutnya ia telah berhasil mencapai tingkatan yang tinggi dalam bidang kerohanian,

25

Artinya:

Beliau adalah induk dari segala kebaikan yaitu Robi’ah Anak perempuannya Ismail di desa Adwiyah suku Qoisiyah wilayah basroh, dan beliau dianggap lebih masyhur-masyhurnya golongan ahli zuhud juga golongan ahli ibadah pada Allah SWT. Beliau juga pernah berkata ketikabeliau terperanjat dari tempat tidurnya wahai seorang diriberapa banyak tidurmu dan sampai berapa banyak lagi tidurmu. Hampir dekat tidurmu satu kali kamu tidak bisa bangun darinyakarena kecuali teriakan yang keras pada hari kebangkitan dari kubur.Lihatlah terhadap seluruh perkataannya dikitab sifatus shofah. (4:17). Dan telah menyebutkan Ibnu Khalikan

25


(36)

bahwasannya wafatnya berada ditahun135, dan kuburannya didaerah luar pinggir Masjid Mqoddas diatas puncak gunung yang bernama gunung Thur.26

C.Masa Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah

Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah mantap menjadi pilihannya. Rabi’ah telah

menepati janjinyapada Allah untuk selalu beribadah pada-Nya sampai menemui ajalnya. Ia selalu melakukan shalat tahajud sepanjang malam hingga fajar tiba. Abdah, sahabat karib

Rabi’ah, menceritakan bahwamenyingsing ia tertidur sebentar. Dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dapat mengangkat derajatnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Ibadah juga memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa. Dengan ibadah pula, wajahnya selalu kelihatan berseri-seri, karena orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan tahajud akan mendapatkan cahaya Ilahi. Salah satu pusaka waris, kalau ini bisa kita katakan warisan yang ia dapatkan dari ayahnya adalah akhlaq seorang asketis yang nantinya akhlaq ini akan membekas dalam ingatan dan menjadi jalan hidupnya.27

Jalan itu tidak didapatkan Rabi’ah dengan mudah dan ongkang-ongkang kaki, tapi ia beli dengan air mata dan nestapa terperikan. Disambanginya nestapa dengan syukur dan doa, maka

26

Ibid.,364.

27


(37)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

terbukalah pintu rahmat dan cinta langit. Tapi jalan itu bukan jalan yang mulus, melainkan awal dari rentetan derita berikutnya yang lebih parah.28

Rabi’ah tidak tergoda oleh keduniawian, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam

dalam kecintaannya pada Allah dan beramal demi mencapai keridlaan-Nya. Cinta pada Tuhan yang telah muncul sejak masa remaja terus dipupuk selama hidupnya, baik dalam keadaan duduk maupun berdiri, bahkan segala pikirannya hanya tercurah pada Allah SWT. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa selama 40 tahun ia tidak mendongakkan kepalanya ke langit, karena malu pada Allah, tidak jarang ia mengucurkan air matanya mengharapkan rahmat dari Allah.

Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupan sendiri, dengan memilih hidup zuhud dan

hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya tidak pernah menikah, walaupun ia seorang

yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin meminangnya. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa Rabi’ah pernah dilamar oleh Abdul Wahid ibn Ziad, seorang yang sangat dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat dalam waktu itu. Tetapi aat Abdul Wahid datang menyampaikan lamaran pada Rabi’ah, ia mendapatkan jawaban,”hai orang

yang bersyahwat, carilah orang yang sepadan dengan engkau.”

Berkaitan dengan lamaran yang datang pada Rabi’ah pernah pula Muhammad Sulaiman

al-Hasyimi, orang yang berkuasa dan kaya serta direstui oleh para pembesar Basrah, konon ia adalah amir Basrah dengan penghasilan 10.000 dirham per bulan, sedang mas kawin yang

ditawarkan kepada Rabi’ah sebesar 100.000 dirham, mengajukan lamaran pada Rabi’ah, namun oleh Rabi’ah ditolak. Cara menolak lamaran tersebut dengan mengatakan: “Seandainya engkau

28


(38)

memberi seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah

padamu.”29

Terdapat pelajaran dari nilai yang dipetik dari kisah tersebut di atas, yaitu bahwa Rabi’ah adalah sebagai wanita yang disanjung, dihormati dan dimuliakan oleh sesamanya, sebab sebelum Amir Basrah tersebut mengajukan lamaran, terlebih dahulu mengadakan pertemuan khusus dan musyawarah dengan para pemuka Basrah. Satu hal lagi yang dapat dicatat dari kisah tersebut

adalah, bahwa Rabi’ah tidak mempunyai harta benda yang dapat mengundang para pria untuk meminangnya, atau menunjukkan keindahan fisik dan kecantikan wajahnya kepada lelaki lain pun. Sehingga lamaran tersebut dapat dijadikan sebagai barometer untuk melihat sejauh mana ia dapat mempertahankan prinsip kezuhudan terhadap kemewahan hidup duniawi dan kedalaman cintanya pada Allah.

Lamaran Amir Basrah dapat dijadikan sebagai satu ujian bagi Rabi’ah,30

dan ternyata ia dapat melewatinya.Argumen-argumen tersebut di atas dapat memperkuat pendapat yang

mengatakan bahwa Rabi’ah selama hidupnya tetap melajang. Pangkat, derajat dan kekayaan

tidak mampu memalingkan cinta pada kekasih-Nya, Allah SWT.Rabi’ah termasuk dalam kelompok manusia yang mempunyai naluri yang tinggi, melebihi manusia biasa. Keinginannya yang bersifat manusiawi telah tunduk dan menyerah di bawah keinginan yang suci, karena kebutuhan hidupnya yang sangat mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya.

Dorongan seksual sudah tidak lagi merupakan gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak dipenuhi dengan sebuah perkawinan. Kondisi demikian dalam kajian psikologi dapat disebut dengan substitusi, yaitu suatu cara untuk menghilangkan ketegangan batin dengan jalan

29

JavadNurbakhs, Sufi Women(Bandung: Mizan, 1996), 29.

30


(39)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

menghilangkan sebab-sebabnya. Boleh jadi keinginan Rabi’ah yang bersifat manusiawi telah dialihkan atau dipuaskan (disubstitusikan) dengan rasa cinta kepada Allah SWT.31

Pada suatu hari seseorang bertanya kepada Rabi’ah tentang pilihan hidupnya untuk tidak kawin, namun pertanyaan tersebut malah dijawab dengan tiga masalah yang selama ini menimbulkan keprihatinan dalam dirinya. Jika ada seseorang yang dapat menjawab permasalahan tersebut, maka ia akan menikah dengan orang tersebut, yaitu:

1. Apabila ia meninggal, apakah ia akan menghadap Allah dalam keadaan iman dan suci atau tidak.

2. Apabila ia menerima catatan amal perbuatan, apakah ia menerima dengan tangan kanan atau tangan kiri.

3. Bila sampai pada hari berbangkit, termasuk dalam golongan kanan yang masuk surge, atau termasuk dalam golongan kiri yang menuju neraka.

Ketiga permasalahan tersebut di atas hanya Allahlah yang mampu menjawab , dan tidak akan ditemukan orang yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Demikianlah argumen-argumen yang diajukan oleh Rabi’ah dalam menolak setiap lamaran yang ingin memperistrinya.

Jawaban atau alasan lain yang dilontarkan Rabi’ah terkadang dengan nada yang diplomatis, seperti pertanyaan sebagai berikut: “Jika aku tetap dalam keadaan prihatin, bagaimana mungkin

aku dapat berumah tangga.”32 Rabi’ah sadar, dengan menerima tangan pria dalam ikatan perkawinan, hanya akan membuat ia untuk berbuat tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya, ia tidak mampu memberikan perhatian pada mereka, karena seluruh hatinya hanya untuk Allah semata.

31

Surur,Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al Ilahi., 40.

32


(40)

Untuk selanjutnya Rabi’ah semakin mantap dalam kehidupan sufi. Ilmunya yang tinggi

telah mengundang sufi lain untuk datang untuk bertanya dan diskusi. Beberapa ahli mengutip

para penulis riwayat hidupnya dimana baru mengenal Rabi’ah di masa tuanya, pada saat tubuhnya telah lemah, tetapi pemikirannya masih cemerlang, dan hingga di akhir hayat ia masih menjadi panutan bagi orang yang membutuhkannya.

Rasa takut yang berlebihan pada Hari Pengadilan setelah kematian dan rasa takut pada Neraka adalah ciri dari seorang Sufi, seperti telah dibahas sebelumnya, khususnya aliran Hasan al-Bashri. Harapan yang selalu disampaikan dalam doa-doa adalah pengurangan siksa Neraka

bagi yang beriman, Rabi’ah mencapai usia kurang lebih dari 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di sekelilingnya.

Rabi’ah idak ingin menyusahkan orang lain. Menurut al-Attar, ketika tiba saatnya untuk

meninggalkan dunia ini, orang yang menunggunya meninggalkan kamar Rabi’ah dan

menutupnya dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah pada Tuhanmu dengan bahagia.”33

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya.

Maka masuklah ke dalam hamba-hamba Ku dan masuklah ke dalam surge-Ku. QS. Al-Fajr (89):

27-30)34

Banyak ulama’ mengatakan bahwa kehadiran Rabi’ah di dunia, dan lalu meninggalkannya kealam lain kecuali ta’zim hanya kepada Allah, dan ia tidak pernah

menginginkan apapun atau mengatakan kepada Allah, “Berilah aku ini atau tolong lakukan ini

untukku!” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.

33

Ibid.,35.

34


(41)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Setelah kematiannya, Rabi’ah pernah muncul dalam mimpi seseorang dan orang tersebut berkata kepadanya,” Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat

lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan

bertanya,”Siapa Tuhanmu?” Aku katakan“Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua iemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernahmelupakan-Mu, sekarang mengapa Engkau harus

bertanya, “Siapakah Tuhanmu?”35

Rabi’ah sebagaimana para Sufi lainnya, menjalani hidup hingga usia lanjut, hampir

mendekati usia 90 tahun pada saat beliau wafat. Beberapa ahli mengutip para penulis riwayat

hidupnya dimana baru mengenal Rabi’ah di masa tuanya, pada saat tubuhnya telah lemah, tetapi

pemikirannya masih cemerlang, dan hingga di akhir hayat ia masih menjadi panutan bagi orang

yang membutuhkannya.Rabi’ah wafat pada tahun 185 H. (801 M) dan ia dimakamkan di Basrah. Rabi’ah telah mencapai tujuan pencariannya, akhirnya ia telah menyatu dengan Sahabatnya, ia

menyaksikan Keindahan Yang Abadi itu.36

35

Margareth, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, 52.

36


(42)

(43)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

SEJARAH MUNCULNYA KONSEP MAHABBAH

RABI’AH AL-ADAWIYAH

A. Perkembangan Tasawuf Sebelum Munculnya Konsep Mahabbah

Rabi’ahal-Adawiyah

Ada beberapa tokoh sufi klasik yang sempat melihat dan menirukan perilaku nabi dan para sahabat nabi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hasan al Bashri adalah salah satu tokoh itu. Hasan al Bashri adalah seorang

dari golongan tabi’in yang memiliki kecerdasan dan kepandaian di dalam ilmu

agama, dia adalah Hasan al Bashri. Hasan al Bashri adalah tokoh sufi yang mula-mula meletakkan ilmu dasar tasawuf yang kemudian dijadikan referensi oleh para sufi sesudahnya. Terutama di daerah masjid Bashrah.

Hasan al-Bashri adalah seorang zahid1yang amat masyhur dalam kalangan Tabi’in. Beliau lahir pada tahun 21 H (641 M) di Madinah, dan beliau meninggal pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Hasan al Bashri dilahirkan tepat dua hari sebelum Khalifah Umar bin Khattab meninggal. Beliau sempat bertemu dengan 70 sahabat yang turut menyaksikan perang Badr dan 300 orang sahabat lainnya.2

Hasan al- Bashri memiliki nama lengkap Abu Sa’id al Hasan bin Yasar. Beliau lahir dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi

1

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian(Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981), 69.

2


(44)

beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yang ditangkap di Maisan, yang di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullahyang sekaligus juru tulis wahyu. Karena itulah, Yasar biasa dipanggil Yasar Maula Zaid bin Tsabit.3Kelahiran Hasan al-Bashri membawa keberuntungan bagi kedua orangtuanya karena kedua orang tuanya terbebas dari status hamba sahaya menjadi merdeka.4Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana. Sehingga dia memiliki ilmu agama yang kepandaianya diakui oleh para sahabat.5

Hasan al Bashri sempat berada di masa peristiwa pemberontakan terhadap

Khalifah Usman ibn Affan serta beberapa kejadian politik sesudahnya yang terjadi di Madinah yang memporak-porandakan umat Islam. Alasan itulah yang menyebabkan Hasan al Bashri bersama ayahnyapindah ke Bashrah, tempat inilah yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan al Bashri. Puncak keilmuannya dia peroleh di Bashrah.

Hasan al-Bashri terkenal sebagai salah seorang tokoh terkemuka pada zamannya. Dia termasyhur sebagai orang saleh dan pemberani. Dia terang-terangan benci dengan sikap para pejabat yang senang hidup berfoya-foya. Dia diakui sebagai salah seorang tokoh sufi besardan orator ulung. Tasawuf akhlaqi,

3

Asmaran, pengantar studi Tasawuf(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), 259.

4

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 65.

5


(45)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

tokohnya Hasan al-Bashri, sebagai tasawuf yang menekankan pada pembahasan etika, etika yang mulia, dan bahkan etika yang sangat sempurna sebagaimana

yang dikehendaki oleh Rasulullah:“Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”.Banyak pengakuan yang menyatakan kebolehannya dalam menguasai ilmu agama, seperti pernah diungkapkan oleh Abu Qatadah:

“Bergurulah kepada syeikh ini (Hasan al-Basri). Saya sudah menyaksikan sendiri tidak ada seorangtabi’in pun yang mampu menyamai ilmu para sahabat, Hasan al-Bashri”6

Kehebatan Hasan al-Bashri dalam ilmu tasawuf di tulis di dalam buku-buku tasawuf, seperti Qut al-Qulubkarya Abu Thalib al-Makki, Tabaqat al-Kubra

karya al-Sya’rani, Hilyah al-Auliya’ karya Abu Nu’aim, dan lain-lain.Hasan al Bashri adalah orang yang pertama kali menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian, senantiasa didasarkan pada sunnah-sunnah Nabi. Sahabat-sahabat nabi yang masih hidup pada zaman itu, mengakui kepandaiannya.7

Hasan al-Bashri adalah zahidyang masyhur di kalangan tabi’in. Ajarannya yang berkaitan dengan kehidupan tasawuf selalu mengacu kepada sunnah nabi; bahkan dia yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah kehidupan ketasawufan dengan mengaitkannya dengan akhlaq, hal ini dapat ditempuh dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.

6

Ibid.,107.

7


(46)

Dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika Ali ibn Thalib masuk ke dalam Masjid Bashrah didapatinya di dalam masjid itu seorang pemuda yang sedang bercerita dihadapan umum. Ali mendekatinya dan berkata “Hai budak! Aku hendak bertanya kepadamu mengenai dua perkara, jika engkau dapat menjawabnya dengan benar, maka engkau boleh meneruskan berbicara di depan

manusia”.8

Anak muda itu mendatangi Ali ibn Abi Thalib dengan tawadu’, dan

berkata: “Tanyalah, ya amir al mu’minin, apa dua perkara itu?”. Ali ibn Abi Thalib bertanya: “Ceritakan kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusak agama?”. Hasan al Bashri menjawab: “ yang dapat

menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang dapat merusaknya adalah tama’ ”. Ali ibn Abi Thalib terlihat gembira dengan jawaban Hasan al Bashri dan berkata:

“Benar engkau dan teruskanlah bicaramu, orang semacam engkau layak berbicara

dihadapan orang banyak”.9

Dalam kesempatan lain dia pernah berpesan: “Waspadalah terhadap kehidupan duniawi ini. Dia bagaikan ular, nampaknya lembut tetapi bisanya mematikan. Jauhilah pesonanya. Kalau tidak, anda akan terjerat olehnya. Ingatlah, waspadalah pada kehidupan duniawi, karena pesonanya tidak bisa dipercaya, di situlah anda terancam bahaya kesenangan semu, bencana datang tiba-tiba, duka nestapa dan nasib malang datang menjelma. Pesona kehidupan duniawi tidak berdampak bagi insan yang bijak, tetapi berbahaya bagi insan yang senang

8

Ibid.,72..

9


(47)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

bersamanya, karena itu waspadalah terhadap bencana kehidupan duniawi, dan

yakinlah akan akibatnya.”10

Tasawuf menurut Hasan al Bashri adalah senatiasa bersedih hati, senatiasa takut, kalau dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan menghentikan larangan Allah dengan sepenuhnya pula. Sehingga Hasan al Bashri menjadikan zuhud terhadap dunia sebagai prinsip hidupnya. Semata-mata takut kepada Allah, tetapi ketakutannya kepada Allah disertai dengan pengharapan akan rahmat-Nya.

Mengenai kehidupan zuhud ini, Hasan al-Basri pernah mengatakan:

“Dunia adalah tempat bekerja bagi orang-orang yang diliputi perasaan tidak senang dan tidak memerlukannya, dan nafsu duniawi merasa bahagia bersamanya atau menyertai kehidupannya. Barang siapa menyenangi kehidupan duniawi dengan maksud memiliki dan mencintainya, maka dia dibuat menderita oleh kehidupan duniawi serta diantarkannya kepada derita yang tidak tanggung-tanggung beratnya.

Hasan al Bashri menolak segala kemegahan dunia, dan semata-mata hanya menuju kepada Allah, tawakal, khauf11 berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya. Khauf timbul karena

10

Ahmad Isa, Tokoh-tokoh Sufi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2000), 107.

11

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 50.


(48)

pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.

Raja’12 berarti menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah „azza wa

jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan Raja’ harus diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan. Janganlah hanya semata-mata takut kepadaAllah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan. Takut akan murka Allah, akan tetapi mengharap akan Rahmat Allah. Sya’rani pernah mengatakan: “ Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan

Hasan al Bashri merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk dia”.13

B.PERISTIWA MUNCULNYA KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL

-ADAWIYAH

Rabi’ah hidup selama era Islam yang spektakuler:abad paling berpengaruh dalam sejarah Arab, ketika dunia baru saja terbuka lebar untuk manusia. Pengaruh berbagai budaya yang datang dari berbagai daerah sekitar diterima dengan baik.

Basrah di Iraq, seperti yang kita ketahui, merupakan kota kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah, dan juga tempat di mana ia tinggal sampai meninggal pada tahun 801 Masehi, abad kedua hijriah dalam kalender Islam.

Basrah dibangun pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibnu al-Khathab, di Teluk Persia. Kota Basrah sendiri dibangun pada tahun 637 Masehi, dua tahun sebelum kota Kufah. Banyak suku Arab dan masyarakatnya,

12

Ibid., 52.

13


(49)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

diantaranya suku Bani Tamim yang pindah ke Basrah, dan menikmati hidup di sana.

Basrah segera mulai berkembang menuju sesuatu yang berbeda dari rencana para penakluk awal. Basrah menjadi tempat pertemuan bagi masyarakat, baik yang datang dari jauh maupun dari dekat; sebuah pusat perdagangan yang sibuk, berkumpul dengan sekolah-sekolah agama dan ilmu pengetahuan, dan menjadi pusat berkumpul para ilmuwan dan orang-orang yang berpendidikan, yang membicarakan berbagai masalah. Diskursus mereka bersumber dari

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, yang merupakan awal dari pemikiran bangsa

Arab.14

Sebagai kekuatan aliran pikiran utama yang muncul dan berkembang di Basrah, sebagaimana disebutkan, merupakan dinding penahan semua pendapat untuk tidak saling menekan. Hal tersebut ada dalam diri Hasan dari Basrah. Ia secara tetap melawan semua pendapat dari bangsa non-Arab, yang datang dari India atau Persia dan muncul bagaikan ular-ular menunggu setiap kesempatan.

Selama masa Rabi’ah, pengetahuan ini menjadi satu-satunya acuan, terutama bagi masyarakatnya, kaum Mawali. Mereka memimpin aliran intelektual selama masa pemerintahan dinasti Umayyah. Mereka melengkapi keduanya (pendidikan dan pengetahuan) dengan maksud meredam sikap superior dari bangsa Arab ekstrim dan membawa mereka pada logika dan kesadaran, dan juga mendekati para penguasa. Tekanan mereka yang keras itu, bagaimanapun

14

Widad El Sakkani, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: dari lorong derita mencapai Cinta Ilahi,cet II (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 48-49.


(50)

meninggalkan dendam dan kebohongan. Pendidikan dan pengetahuan yang mereka wariskan gagal mempengaruhi doktrin setempat, yang makin lama makin memperuncing situasi.

Orang Mawali yang pandai dan suci yang dihargai, yang menggabungkan kebijakan dan agama adalah Hasan al-Bashri, sebagaimana kita lihat, telah tertekan oleh korupsi yang meliputi kehidupan kaum Muslim. Setelah menyerukan keadilan dan perbaikan kondisi kehidupan untuk waktu yang cukup lama, ia terjun ke dalam dunia asketik sampai akhir hayatnya.15

Rabi’ah hadir di tengah-tengah pengikut Hasan al-Bashri; dia mendengarkan dan mencermati pengajian mereka dan bergabung dalam pelajaran-pelajaran mereka, dan meneruskannya sepanjang umurnya. Dia kadang-kadang melampaui semua orang pada saat itu dengan keyakinan yang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Dia mengamati kejadian-kejadian di masanya dan mengenal sepenuhnya detail intelektual dan kehidupan sosial di sekitarnya. Tak satupun yang tampaknya mampu membebaskannya. Kadang-kadang ia tiba pada keyakinan spiritual yang dijalaninya, yang membebaskannya dari laki-laki dan membawanya mendekat hanya pada Allah semata. Ia menghayati suatu rasa ketenangan melebihi pendekatan ini. Kepadanya, laki-laki mengalami kekecewaan. Ia mengenal laki-laki hanya sebagai penindas, tidak adil, tidak pernah memiliki kemauan menahan hawa nafsu dunia untuk kepuasannya.

15


(51)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengamat sejarah filsafat Islam akan menemukan bahwa ide-ide ini adalah kombinasi antara Sufisme dengan paham-paham baru dan berbagai masalah yang

berkaitan. Jadi Sufisme Rabi’ah tercipta setelah ia menggabungkan

pengalamannya sebagai asketis dengan pengabdian terhadap agama. Pada mulanya, ia seperti kaum asketik lain, berdoa kepada Tuhan atas dasar ketakutannya terhadap hukuman dan pengharapan atas balasan pahala dari-Nya. Itulah tujuan asketik. Tetapi ketika ia menjadi Sufi dan mendalami arti penyembahan kepada Allah, ia menjadi terbebas dari kesedihan hidup dan dari rasa takut akan Hari Peradilan.16

Dan demikianlah, Rabi’ah datang di antara orang-orang awal yang disebut Sufi. Dia diperhitungkan sebagai salah seorang Auliya’ (orang suci) yang visinya mencari kebenaran. Kebenaran itu sendiri mempunyai tingkatan, dan yang paling tinggi kapasitasnya sebagai visi kesucian dan kemuliaan.Sufisme Rabi’ah berkembang menurut kapasitas pembawaan dan keteguhannya, bukan hanya oleh pengajaran, atau dari meniru belaka. Benih-benih ini terlihat pada dirinyatanpa disadarinya. Kehidupan sosial dan religius di kotanya sangat mempengaruhinya. Sejak kanak-kanak, sebagaimana kita ketahui, ia memperlihatkan karakteristik yang menyerupai kehidupan orang dewasa.17

Rabi'ah memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah SWT. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Dia tidak meninggalkan ajaran

16

Ahmad Isa, Tokoh-tokoh Sufi, 57.

17


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan yang diuraikan pada bab terdahulu, yakni pada bab pertama hingga pada bab terakhir, sebagai jawaban dari rumusan masalah setidaknya dapat dikemukakan beberapa pokok pikiran yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rabi’ah Al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu Khai bin Ismail

al-Adawiyah al-Qisysyah. Lahir di Basrah pada tahun 95 H (717 M). Keluarga Rabi’ah

dari suku Atiq, dan ayahnya bernama Ismail. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam

lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Rabi’ah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan dimakamkan di Basrah.

2. Sebelum Rabi’ah hadir terlebih dahulu hadir sufi ternama yang bernama Hasan al

-Bashri. Hasan al-Bashri hadir di Basrah dengan konsep tasawufnya yakni Khauf dan Roja”. Lalu Rabi’ah hadir diantara para pengikut Hasan al-Bashri dengan memperkenalkan konsep Mahabbahnya. Mahabbah menurut Rabi’ah adalah beribadah kepada Allah karena cinta. Bukan hanya karena ingin masuk surga dan takut masuk neraka. Dua macam pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta.

3. Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan


(2)

sepanjang zaman para pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh jalan Sufi

sendiri, merasakan adanya kekurangan manakala belum “menghadirkan” spirit Rabi'ah

dalam ulasan dan kontemplasinya. Sebagai seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Lalu syair “2 Cinta” Rabi’ah yang paling terkenal itu dikutip oleh Abu Thalib al-Makki. Dia adalah seorang asketis yang hidup dan mengajar di Mekkah, Basrah, dan Baghdad dan penulis sufisme yang besar dan sangat berhati-hati. Penulis Qut al-Qulub

(Santapan Rohani), sebuah risalah lainnya tentang sufisme, dan dalam karyanya itu ia menyebutkan Rabi’ah al-Adawiyah beberapa kali, peristiwa-peristiwa di dalam kehidupannya, sahabat-sahabatnya dan yang paling berharga adalah mengutip

sajak-sajaknya yang terkenal “dua cinta” dan memberikan komentarnya panjang lebar tentang

sajak-sajak tersebut.

B.SARAN

Sebagai penutup, penulis ingin memberikan beberapa saran, agar dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peningkatan kualitas penelitian selanjutnya. Saran tersebut adalah sebagai berikut:

1.melihat benang merah sejarah sangat diperlukan untuk mengkaji Mahabbah dan

pengkajian lainnya, hal ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana latarbelakang munculnya suatu peristiwa tersebut, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran atau pengkajian disiplin ilmu.

2.mengkaji suatu hal dari beberapa sudut paradigm sangat diperlukan hal ini akan memperkaya sebuah wawasan atau wacana begitu juga dengan mengkaji paham

Mahabbah, tidak bisa hanya memandang dari sudut yang negatif akan tetapi harus


(3)

sempit melainkan dari sudut yang luas dengan fleksibilitas. Hal ini bertujuan untuk menghindari subjektifitas.

3.Menurut penulis masyarakat sekarang bisa memahami dulu pemikiran Rabi’ah al -Aadawiyah tentang Mahabbah. Agar bisa mempraktekan sedikit demi sedikit pemikiran

Mahabbah dalam kehidupan sekarang ini. Karena pada hakikatnya pemikiran Rabi’ah

tersebut bertujuan untuk mengajak umat Islam agar lebih dekat lagi dengan Allah dengan cinta bukan mengharapkan imbalan dari setiap ibadahnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ahAl Adawiyah

dan cintanya kepada Allah terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd.Sofyan

Amrullah. Surabaya: Pustaka Progresif,1933.

Ahmad, Djamaluddin Al-Buny. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.

Al-Attar, Fariduddin. terj Anas Mahyuddin. Warisan Para Auliya’,cet II. Bandung: Pustaka, 1994.

al-Makki, Abu Thalib. Qut al-Qulub. Kairo: Dar al-Taufiqiyah, 1310 H.

A Mustofa, Akhlak Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Annemarie Schimmel, terj. Sapardi Djoko Damono dkk.,Dimensi Mistik Dalam

Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Anwar, Rosihun dan Mukhtar Solihin.Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:PT Rajawali Grafindo Persada, 1996.

Bakar, Aboe Atjeh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo: CV. Ramdhani, 1990.

Bahr, Amr b. al-Jahiz. al-Bayan wa-at Tabyin. Kairo: Dar al-Taufiqiyah, 1332 H. Bashri, Hasan. Remaja Berkualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: CV Darus Sunnah, 2002.

El Sakkani, Widad. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah:

dari lorong derita mencapai Cinta Ilahi, cet II. Surabaya: Risalah Gusti,

2000.

Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: Mizan, 1997.

Hadi, Abdul W.M.Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadina, 2001.

Haeri, Fadhlalla. Jenjang-jenjang Sufisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981.


(5)

Isa, Ahmad.Tokoh-tokoh Sufi. Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000. Kartanegara,Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: PT Gelora Aksara

Prima, 2006.

Khamis, Atiyah. Rabi’ah Al-Adawiyah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Khomeini, Imam. Insan Ilahiah. Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.

Kuntowijoyo. PengantarIlmuSejarah. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, cetkeempat, 2001.

Majjid, Nurcholis.Kuliah-kuliah Tasawuf. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000.

Moleong,Lexy J.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.

Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Muhiddin. Renungan Cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Murata, Sachiko.terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nashrullah. The Tao of Islam: Kitab rujukan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam

cet vi. Bandung: Mizan, 1998.

Nata, Abuddin.Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1996.

Nurbakhs, Javad. Sufi Women,alih bahasa M.S. Nasrullah dan Ahsin Muhammad,

Wanita-wanita Sufi. Bandung:Mizan, cet.1, 1996.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Smith, Margareth M.A., Ph.D, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan. Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Soleh,A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al-Illah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.


(6)

Syukur, Amin. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Taimiyah, Ibnu. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2002.

Tauleka, Hamzah dkk., Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

Tebba, Sudirman. Kecerdasan Sufistik. Jakarta: Kencana, 2004..

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2010.