MUNAWWIR SJADZALI DAN PEMIKIRANNYA DALAM

MUNAWWIR SJADZALI DAN PEMIKIRANNYA
DALAM BIDANG FIKIH DI INDONESIA
Oleh: M. Jafar, SHI
Dosen dan Ketua Prodi Ahwal al-Syakhsiyyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Abstrak
Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam hal ibadah maupun
dalam hal bertransaksi sosial dengan sesamanya. Di antara hukum Islam adalah transaksi
ribawi, aurat perempuan, dan warisan (faraidh). Penulis sengaja memilih ketiga masalah ini
untuk diangkat dalam pembahasan di sini karena ini melihat pemikiran Munawwir Sjadzali
yang agak aneh dan ‘nyeleneh’ dalam masalah-masalah tersebut. Menurutnya bunga bank
adalah riba, tetapi karena sedikit, maka boleh diambil dengan alasan darurat. Kemudian
mengenai aurat perempuan, ayat hijab diturunkan di Arab karena kondisi perempuan Arab saat
itu tidak merasa aman jika keluar rumah tanpa menutup diri. Maka dalam kondisi masyarakat
Indonesia sekarang ini tidaklah demikian, maka menutup kepala (aurat) tidak wajib bagi
masyarakat Indonesia sekarang ini. Ayat tersebut dinasakh oleh budaya bangsa Indonesia yang
telah aman di jalan-jalan, tanpa menutupi auratnya. Aneh bin ajaib memang. Begitu pula
dalam masalah hak waris, antara anak laki-laki dengan anak perempuan disamakan dalam
budaya masyarakat Indonesia. Alasannya, karena di Indonesia laki-laki dan perempuan samasama bekerja. Maka tidak ada alasan untuk membedakan hak waris di antara keduanya. Jadi,
dalam dua masalah tadi Alquran perlu direaktualisasikan dalam masyarakat Indonesia
sekarang ini. Istilahnya, kedua ayat Alquran tadi tidak relevan lagi dengan kondisi budaya
masyarakat Indonesia, maka perlu diinterpretasikan ulang. Aneh memang.


A. PENDAHULUAN
Agama Islam mengatur segala ketentuan hidup manusia dengan aturan dan prinsipprinsip yang adil, hal ini sebagaimana yang terlihat dari segala aturan yang terdapat dalam
Islam, semuanya diatur sesuai dengan kebutuhan dan fitrah kehidupan manusia. Realitas ini
menunjukkan bahwa hukum Islam mempunyai dasar yang kuat dan tersistematika dengan
demikian rapi, maka kemudian dapat diterapkan dan juga dapat menjawab segala persoalan
manusia. Kedatangan Islam benar-benar rahmatan lil ’alamin dan mengubah semua sistem
kehidupan yang tidak baik menjadi baik, karena itu Islam adalah agama yang revolusioner
bagi peradaban manusia sebelumnya.1
Eksistensi hukum Islam adalah bersifat universal, artinya hukum Islam bukanlah
sistem hukum yang hanya berlaku bagi sebagian masalah saja, akan tetapi hukum Islam
1

mengatur semuanya tanpa terkecuali. Hukum Islam bukan hanya tertentu pada masalah ibadah
saja, tetapi segala lini kehidupan manusia disentuh oleh Islam dan diatur ketentuan hukumnya.
Islam mengatur hubungan antar manusia dan segala bentuk interaksinya baik dalam lingkup
keluarga maupun masyarakat luas, Islam mengatur masalah ekonomi, politik, tata negara dan
berbagai aspek kehidupan manusia lainnya, bahkan sampai hal yang paling kecilpun Islam
mengaturnya.
Sebagian dari hukum Islam adalah tentang transaksi ribawi, aurat perempuan, dan

warisan (faraidh). Mengenai ketentuan hukum ketiga masalah ini telah banyak dibahas oleh
ulama dalam berbagai literatur baik klasik maupun kontemporer. Namun demikian ada
beberapa pemikiran baru dan berbeda dalam masalah tersebut, khususnya di Indonesia seiring
dengan perubahan zaman dan kondisi masyarakat. Maka penulis dalam makalah ini ingin
menjelaskan pemikiran Munawwir Sjadzali mengenai ketiga masalah tersebut. Alasannya,
karena hanya dalam ketiga masalah fikih tersebut Munawwir mempunyai pemikirannya
tersendiri yang agak ”aneh” dari aturan-aturan hukum yang pernah ada, yang penulis temukan
dalam berbagai referensi.
B. BIOGRAFI MUNAWWIR SJADZALI
Munawwir Sjadjali lahir di Desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 7
November 1925. Munawwir adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu
Aswad hasan Sjadzali (putera Tohari) dan Tas‘iyah (puteri Badruddin). Pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah (setingkat SD) ditamatkan di kampungnya. Setelah itu Munawwir melanjutkan ke
Mambaul Ulum, madrasah modern yang didirikan atas prakarsa Sri Susuhunan Pakubuwono
X. Tapi cita-cita itu sempat tertunda karena pendaftaran di Madrasah Tsanawiyah belum
dibuka, lalu Munawwir dimasukkan ke Madrasah al-Islam, Madrasah lain di Solo, yang
didirkan oleh KH. Ghazali, salah seorang sahabat senior ayahnya. Hanya setahun Munawwir
belajar di Madrasah al-Islam karena pada tahun berikutnya dia sudah diterima di Mambaul
2


Ulum. Pada tahun 1943 tepat di usia 17 tahun Munawwir sudah menamatkan dan
mengantongi ijazah dari Madrasah terkenal itu. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari
diri Munawwir adalah kemampuannya dalam memahami kitab-kitab klasik Islam.2
Kemudian Kursus Diplomatik dan Konselor Deplu di Universitas Exeter Inggris Raya
Tahun 1953-1954, dan memperoleh MA dari Universitas Georgetown AS Tahun 1959
mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta Tahun 1994.3
Munawwir Sjadzali merupakan tokoh intelektual dan agama serta diplomat dan pernah
menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV Tahun 1983-1988 hingga
Kabinet Pembangunan V tahun 1988-1993. Sosok Munawwir Sjadzali adalah tokoh yang
paling aktif dan banyak melakukan peran dalam sejarah pergerakan di Indonesia semasa
penjajahan maupun setelahnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Banyak posisi penting
pernah dijabat selama hidupnya.
C. PEMIKIRAN MUNAWWIR SJADZALI DALAM BIDANG FIKIH
1. Masalah Bunga Bank
Munawwir Sjadzali dalam buku Kontektualisasi Ajaran Islam menyebutkan bahwa
perlunya reaktualisasi Alquran surat al-Baqarah ayat 173 tentang haramnya riba dan di antara
kita banyak yang berpendirian bunga dalam bank itu riba, oleh karenanya maka sama-sama
haram dan terkutuk sebagaimana riba. Tapi di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari banyak
mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan

dharurat, padahal seperti yang tersebut dalam ayat tadi, kelonggaran yang diberikan kepada
kita dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak boleh
lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.4
Menurutnya, bunga bank yang dikategorikan riba jika sedikit boleh diambil dengan
alasan dharurat, padahal kalau yang namanya riba sedikit atau banyak sama saja. Dan alasan
darurat tidak logis karena masih banyak cara lain yang bisa ditempuh untuk memperoleh
3

rezeki yang halal. Namun demikian reaktualisasi ayat tersebut tidak begitu bermasalah dan
berbahaya karena penggolongan bunga bank sebagai riba merupakan hal yang masih
diperselisihkan di kalangan para ulama.
2. Masalah Aurat Perempuan
Munawwir Syadzali ketika masih menjabat Menteri Agama RI masa orde baru dalam
kunjungan kerjanya ke Saudi Arabia, 1984, ketika berbincang-bincang dengan beberapa
pelajar Indonesia di kota itu, dia sempat melontarkan Tafsir Kontekstualnya tentang masalah
hijab bagi wanita muslimah. Menurutnya, ayat yang menyuruh mengenakan hijab (“…dan
janganlah wanita-wanita itu menampakkan perhiasannya kecuali perhiasan yang tampak
saja” QS. Al-Nur : 31) kepada wanita muslimah itu diturunkan karena keadaan di Madinah
pada saat itu tidak aman, di mana apabila ada wanita yang keluar rumah tanpa memakai
hijab, ia akan diganggu oleh lelaki. Keadaan seperti itu di Indonesia tidak ada karena alamnya

berbeda tidak pernah mencapai tahap itu.5
Singkatnya, Munawwir menghendaki agar ayat hijab--yang menyuruh wanita
muslimah menutup auratnya--ditafsirkan sedemikian rupa dengan mempertimbangkan konteks
keindonesiaan, sehingga wanita muslimah Indonesia tidak diwajibkan menutupi kepalanya
dengan kerudung dan sebagainya karena rambut wanita itu tidak termasuk aurat. Baru dan
aneh, memang. Karena selama ini penafsiran tentang aurat wanita di luar rumah adalah, semua
tubuh wanita itu aurat tanpa kecuali (Madzhab Syafi‘i dan Hanbali), dan semua tubuh wanita
itu aurat kecuali wajah dan kedua tapak tangan (Madzhab Hanafi dan Maliki).
Padahal dia tidak sadar bahwa Alquran itu bukan hanya diturunkan dan
diperuntukkan ajarannya untuk orang Arab saja, tapi juga untuk semua manusia di atas
permukaan bumi, tidak terbatas oleh sekat dan waktu, dan berlakunya sepanjang masa sampai

4

kiamat tiba. Alquran diturunkan Allah sebagai hudan linnas (petunjuk untuk semua manusia),
bukan hudan lil ‘Arab (petunjuk untuk orang Arab).
3. Masalah Harta Warisan (faraidh)
Selanjutnya, menurut Munawwir yang perlu direaktualisasikan juga adalah Alquran
surat al-Nisa` ayat 11 tentang faraidh yang dengan jelas menyatakan bahwa hak anak laki-laki
adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah

banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksudnya, apabila seorang keluarga muslim meninggal, para ahli
waris meminta fatwa kepada Pengadilan Agama dan keputusan yang diberikan oleh lembaga
tersebut sesuai dengan hukum faraidh. Lalu mereka tidak melaksanakan tersebut dan pergi ke
Pengadilan Negeri untuk meminta supaya dibagikan hak yang sama. Adapun secara tidak
langsung, yaitu dengan cara membagikan hak yang sama antara anak laki-laki dengan anak
perempuan ketika seorang masih hidup dalam bentuk hibah. Hal ini dilakukan karena kuatir
jika dibagikan setelah dia meninggal mereka akan mendapat hak yang berbeda.6
Padahal perilaku masyarakat Islam Indonesia yang tidak menerima keputusan
Pengadilan Agama yang membagikan harta warisan sesuai dengan hukum faraidh, yakni anak
laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan, tidak dapat dijadikan alasan untuk merubah
(mereaktualisasikan) ayat Alquran yang mengatur masalah tersebut. Itu yang dilupakan oleh
Munawwir, aneh memang. Adapun membagikan harta yang sama antara anak laki-laki dengan
anak perempuan dalam bentuk hibah ketika seseorang masih hidup dan sehat, hal itu tidak
dilarang dalam agama dan tidak diatur secara khusus tatacara pemberiannya (hibah),
sebagaimana yang diatur dalam pembagian harta warisan setelah seseorang meninggal dunia.
Kecuali hibah dalam kondisi sakit berat yang secara adat orang itu akan meninggal dalam
sakitnya itu, maka hanya dibenarkan sepertiga hartanya yang boleh dihibah. Hal ini sama juga
5


seperti wasiat yang boleh sejumlah kadar tersebut. Sedangkan harta warisan ada aturan khusus
dalam tatacara pembagiannya sebagaimana yang telah dibuat aturannya oleh Allah dalam
Alquran. Maka, aturan yang sangat jelas dipahami dari ayat Allah tidak boleh diganggu gugat.
Tapi Munawwir secara berani telah menggugat Allah yang telah menetapkan aturan tersebut.
Melihat perkembangan budaya dan struktur sosial masyarakat seperti itu, sehingga
pelaksanaan faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan, maka Munawwir
mempunyai pandangan untuk memodifikasi ayat yang sangat jelas tersebut. Dalam beberapa
pidato kenegaraannya sebagai Menteri Agama waktu itu dia selalu melemparkan idenya
tersebut, walaupun mendapat banyak tantangan dari para ulama. Bahkan, suatu ketika ia
melapor kepada Presiden Soeharto selaku atasannya tentang naskah pidatonya yang menyebut
tentang hal itu. Ia menunjukkan ayat Alquran yang jika diartikan secara harfiah tidak lagi
relevan dengan dunia kita sekarang ini. Ia berkata kepada presiden: “Bapak Presiden, mungkin
saya salah, tetapi saya berpendapat bahwa selama umat Islam berpendirian bahwa ayat
Alquran itu final dan harus diartikan secara harfiah, maka Islam akan merupakan kendala bagi
kemajuan dan pembangunan. Saya tidak berpendapat demikian. Pemahaman kita tentang
Alquran harus juga kontekstual. Saya mohon petunjuk apakah kegiatan saya itu salah. Kalau
memang salah, akan saya hentikan. Saya kaget bercampur gembira ketika beliau menjawab,
“Tidak salah, justru strategi itu perlu. Hanya saja jangan Anda sendiri. Gunakan IAIN untuk
mencetak ilmuwan-ilmuwan yang dapat mengikuti pahammu. Masa, pada zaman emansipasi
wanita sekarang ini anak perempuan hanya menerima warisan separo dari yang diterima oleh

anak laki-laki”.7
Pada pertengahan dekade delapanpuluhan Munawwir Sjadzali yang ketika itu
menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia melontarkan idenya mengenai warisan.
Menurutnya pembahagian warisan antara laki-laki dan perempuan seharusnya sama, tidak
lebih banyak laki-laki sebagaimana yang lumrah dipahami selama ini. Pendapat ini kemudian
6

ditentang oleh ulama karena dianggap telah bertentangan dengan dalil sarih (eksplisit), di
mana Alquran dengan jelas menyebutkan bahwa warisan anak laki-laki dua banding warisan
anak perempuan. Setelah mengemukakan idenya yang demikian, kemudian Munawwir
Sjadzali mulai membatasi diri dalam membahas masalah agama, namun demikian
pendapatnya yang demikian itu terus bergulir dan menjadi topik kajian tersendiri dalam
lingkup reaktualisasi hukum Islam.8
Alasan ia mengemukakan ide yang demikian adalah bahwa sesungguhnya ayat AlQuran yang mengatur masalah warisan yaitu surah al-Nisa ayat 11 adalah untuk membatalkan
budaya Arab pra Islam yang sangat tidak memihak perempuan, mereka sama sekali tidak
dihargai bahkan sampai kepada harta warisan juga tidak diberikan. Maka turunlah ayat
Alquran untuk menghapus budaya tersebut dengan cara memberikan harta warisan kepada
wanita.
Munawwir Sjadzali mengemukakan bahwa ayat tersebut merupakan salah satu upaya
Islam untuk mengangkat harkat dan martabat wanita dari kehinaan dan tidak mendapatkan

warisan sama sekali. Upaya Islam ini menurutnya bersifat tahapan (step by step) tidak
sekaligus, sama halnya sebagaimana pada masalah pengharaman khamar yang merupakan
minuman yang telah menjadi kebiasaan orang Arab pada saat itu. Jadi menurutnya Islam ingin
mengangkat derajat perempuan sama dengan laki-laki dalam segala hal, namun hal itu
dilakukan secara bertahap dengan memberikan hak sedikit demi sedikit. Maka mengenai
warisan seharusnya Perempuan mendapatkan jumlah yang sama dengan laki-laki, namun
Islam tidak langsung memutuskan demikian, tetapi dilakukan secara perlahan-lahan, karena
itu menurut Munawir Sjadzali sampai saat ini masih terbuka ruang untuk terus melanjutnya
penyempurnaan upaya ini.9
Lebih lanjut menurut Munawwir bahwa kondisi masyarakat sekarang sudah
seharusnya masalah warisan diatur ulang dan diporsikan secara sama antara laki-laki dan
7

perempuan, karena peran dalam masyarakat sekarang ini sama-sama dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan, keduanya memiliki peranan dan tanggung jawab yang sama baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Seperti halnya di Indonesia laki-laki dan perempuan sama-sama
mencari uang untuk menafkahi keluarga, sama-sama berperan dalam masalah sosial
kemasyarakatan maupun pembangunan, maka kondisi ini tentu saja membuat kebutuhan
masing-masing laki-laki dan perempuan sama besarnya.
Di zaman modern dewasa ini kita dapat melihat bagaimana perubahan terjadi, semua

tempat, intansi, lembaga baik pemerintahan maupun swasta telah sama-sama diisi oleh lakilaki dan perempuan, jumlah masing-masingpun sangat kompetitif

(bersaing) bahkan di

sebagian tempat malah perempuan yang lebih banyak. Jadi fenomena ini sudah terbalik dari
keadaan dahulu, sekarang ini laki-laki dan perempuan telah sama-sama menguasai sektor
publik, karena itu pembahagian harta warisan secara adil (sama) antara laki-laki dan
perempuan telah menjadi suatu keniscayaan yang harus diterapkan.
Dalam Kitab “Hikmah al Tasyri’ wa Falsafatuhu” dijelaskan bahwa hikmah kenapa
bagian warisan laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan adalah karena keutamaan lakilaki dan tanggungjawabnya yang lebih besar dalam keluarga dan masyarakat. Laki-laki wajib
menafkahi istrinya atau keluarganya walaupun istrinya itu orang kaya atau memiliki
penghasilan sendiri.10 Dalam Islam perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah, walaupun
ada tradisi di sebagian negara seperti di Indonesia di mana-mana laki-laki dan perempuan
sama-sama bekerja, sesungguhnya yang wajib mencari nafkah itu laki-laki, sedangkan
perempuan boleh-boleh saja bekerja bila mendapat izin dari suaminya.
Oleh karena demikian, alangkah naifnya alasan yang dikemukakan oleh Munawwir,
hanya karena budaya dan struktur sosial masyarakat yang sudah berbeda dengan ketetapan
8

ayat Alquran, sehingga Alquran perlu direaktualisasikan untuk disesuaikan dengan budaya dan

struktur sosial tersebut. Padahal menurut kaidah fiqhiyyah, budaya bisa ditetapkan menjadi
sebuah hukum jika tidak bertentangan dengan ketentuan syara‘ (Alquran dan Alhadith).
Jangan-jangan nanti semua ayat Alquran harus direaktualisasikan karena tidak ada lagi yang
relevan dengan zaman. Na‘udzubillah.
Di sisi lain ia mengaku adanya nasakh dalam Alquran, tetapi semua sudah ada
ketentuannya. Namun, Munawwir membuat aturan sendiri tentang nasakh, yakni budaya dan
struktur sosial masyarakat dapat menjadi sebagai nasikh (pembatal hukum).
Dari ketiga masalah yang telah penulis sebutkan di atas tentang pemikiran Munawwir
Sjadzali dalam bidang fikih di Indonesia, namun yang paling menarik adalah pemikirannya
dalam masalah warisan Islam, karena pendapatnya dalam masalah ini cukup fenomenal dan
kontroversial, di mana pendapatnya cukup membuat reaksi di kalangan umat Islam, para
ulama waktu itu sama tersentak dengan pendapat tersebut dan kemudian mereka
menggugatnya. Namun, walaupun banyak gugatan-gugatan yang datang kepadanya tentang
keputusan dan pemikirannya itu, Munawwir tetap saja Munawwir. Ia tetap saja tidak
bergeming dengan keputusan dan pemikirannya itu. Sangat aneh memang. Anehnya lantaran
ia membuat kaidah fikih yang baru, yaitu perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat
dapat menjadi nasikh (pembatal) bagi ayat Alquran. Padahal Imam Syafi’i saja yang sudah
diakui akuntabilitas dan kredibilitasnya dalam bidang ijtihad oleh dunia Islam, tidak berani
berkomentar secara jelas bahwa al-Hadits boleh menjadi nasikh terhadap ayat Alquran. Hanya
ketika dilakukan interpretasi ulang oleh ulama-ulama mujtahid dalam mazhabnya menemukan
al-Hadits mutawatir boleh menjadi nasikh terhadap ayat Alquran. Sedangkan al-Hadits ahad
yang kualitasnya shahih masih diperselisihkan di kalangan mereka, antara boleh dengan tidak.
Itu yang terjadi sesama wahyu, al-Hadits walaupun keluar dari mulut Rasulullah Saw
merupakan wahyu dari Allah. Sedangkan Alquran adalah wahyu yang berasal dari kalam Allah
9

sendiri. Apalagi perilaku manusia (masyarakat) dalam bentuk adat dan budaya yang mau
dijadikan nasikh oleh Munawwir. Itu sangat tidak logis dan tidak dapat diterima oleh akal
yang masih waras.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa menurut pemikiran Munawwir Sjadzali, bunga bank walaupun menurutnya
riba tapi boleh diambil karena sedikit dan dharurat.
Selanjutnya, kaum perempuan di Indonesia tidak wajib menutup kepala, apalagi
menutup seluruh tubuhnya sebagai aurat karena kondisinya aman dari gangguan laki-laki,
yang berbeda dengan kondisi dulu di Arab.
Terakhir, dalam harta warisan harus disamakan pembagiannya antara laki-laki dengan
perempuan karena budaya dan status sosial kemasyarakatan yang menghendaki demikian.
Semua pemikiran Munawwir Sjadzali di atas menurut penulis tidak bisa diterima,
karena sangat bertentangan dengan dalil-dalil sharih khususnya pada dua masalah, yakni aurat
perempuan dan harta warisan. Juga subtansi hikmah yang terdapat di balik dalil-dalil tersebut,
karena walaupun sesungguhnya hakikat dari pensyariatan harta warisan lebih besar kepada
laki-laki adalah atas dasar keutamaan dan tanggungjawab laki-laki yang lebih besar dalam
kehidupan. Begitu juga dalam masalah aurat perempuan, hikmahnya untuk menjaga
kemungkinan munculnya gangguan dari laki-laki yang nakal. Karena gangguan yang
menjerumuskan seseorang ke dalam maksiat berasal dari pandangan mata.
Adapun masalah ribanya bunga bank masih diperselisihkan di kalangan ulama,
walaupun dalam Alquran juga jelas bahwa riba itu haram, tetapi bunga bank dianggap riba itu
yang diperselisihkan. Namun, mayoritas ulama (jumhur) menganggapnya haram (riba).
Sedangkan Munawwir walau menganggapnya riba tetap memperbolehkannya dengan alasan
sedikit dan dharurat.

10

11

11 Munawwir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 1.
2 Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta : Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), 1998), hlm. 372-374.
3 Ibid., hlm. 382-383.
4 Munawwir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Cet. I, (Jakarta : Paramadina, 1995), hlm. 87-88.
5 Ali Mustafa Yakub, Islam Masa Kini, Cet. 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 16.
6 Munawwir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran …, hlm. 88-90.
7 Ibid., hlm. 90-97.
8 M. Atho Mudzhar, Bunga Rampai, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Cet. I, (Jakarta Selatan: IPHI
Dengan Yayasan Waqaf Paramadina, 1995), hlm. 311.
9 Ibid, hlm. 312.
10 Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Shaleh, Judul Asli, Hikmah at-Tasyri’ wa
falsafatuhu, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 717.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali Mustafa Yakub, Islam Masa Kini, Cet. 1, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001.
Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta :
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), 1998.
M. Atho Mudzhar, Bunga Rampai, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Cet. I, Jakarta
Selatan: IPHI Dengan Yayasan Waqaf Paramadina, 1995.
Munawwir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawwir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Cet. I, Jakarta : Paramadina, 1995.
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Shaleh, Judul Asli, Hikmah atTasyri’ wa falsafatuhu, Cet. I, Jakarta: Gema Insani, 2006.