Kontekstualisasi makna kaffah dalam perspektif Islam: kajian tematik penafsiran Muhammad ‘Abduh, Mustafa al-Maraghi dan Wahbah al-Zuhayli melalui pendekatan semantik (linguistik).

KONTEKSTUALISASI MAKNA KA<
al-Mara>ghi>
dan Wahbah al-Zuh}ayli> melalui Pendekatan Semantik/Linguistik)

Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S-1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:
WAHIB AKMAL
E83212117

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017

ABSTRAK
Nama : Wahib Akmal
NIM : E83212117

Judul Kontekstualisasi Makna Ka>ffah dalam Perspektif Islam (Kajian Tematik
Penafsiran Muh}ammad ‘Abduh, Must}afa> al-Mara>ghi> dan Wahbah alZuh}ayli> melalui Pendekatan Semantik/Linguistik)
Penelitian ini berawal dari banyak munculnya kekerasaan bersosialisasi
di masyarakat yang mengatasnamakan kelompok-kelompok dalam agama Islam.
Mereka menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai penguat hujjah mereka dalam
beradu argumen dengan kelompok selain mereka sekaligus tameng terhadap
segala manuver yang ditujukan kepada mereka atas sifat keras dan intolerannya
terhadap setiap ikhtilaf yang mendera khalayak.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1.) Bagaimana analisis
penafsiran dari “Islam Kaffah” menurut tiga mufassir yakni Muh}ammad ‘Abduh,
Must}afa al-Mara>ghi> dan Wahbah al-Zuh}ayli>?, 2.) Bagaimana konstekstualisasi
“Isla>m Ka>ffah” dalam perspektif al-Qur’an di era kontemporer?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis data penafsiran menurut
beberapa mufasir, di antaranya Muh{ammad ‘Abduh, Must}afa> al-Mara>ghi> dan
Wahbah al-Zuh{ayli> sebagai salah satu wakil dari sekian banyak mufasir
kontemporer yang produk penafsirannya telah beradaptasi dengan keadaan sosialhistori di masyarakat era modern tanpa memarginalisasi pendapat mufasir klasik.
Disamping itu penulis juga akan mengkontekstualkan pendapat ketiga mufasir
tersebut melalui pendekatan semantik/linguistik.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan
berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode

penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer
yang digunakan berasal dari penjelasan-penjelasan penafsiran oleh beberapa
mufasir dalam kitab tafsirnya, serta data sekunder yang berasal dari buku-buku
yang relevan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga mufasir tersebut di atas
mempunyai pemahaman yang hampir sama terkait makna “Isla>m Ka>ffah” itu
sendiri. Persamaan yang paling mencolok yakni mereka mendengungkan asasasas persatuan sebagai dianggapnya seseorang masuk dalam kategori “Ka>ffah”.
Begitupun sebaliknya, mereka yang sukanya berselisih atau yang senantiasa
membuat orang lain bercerai-berai, justru sebenarnya mereka-lah yang telah
mengikuti langkah-langkah setan, sedangkan orang-orang yang mengikuti
langkah-langkah setan bukanlah termasuk dari pemeluk “Isla>m Ka>ffah”.
Sebagaimana yg telah dijelaskan diakhir surat al-Baqarah:208 yang berbunyi ‫َوﻻ‬
ُ ‫ﺗَﺘﱠ ِﺒﻌُﻮا ُﺧ‬
َ ‫ﺸ ْﯿ‬
‫ت اﻟ ﱠ‬
ٌ ‫ﺎن إِ ﱠﻧﮫُ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻋﺪ ﱞُو ُﻣ ِﺒ‬
‫ﯿﻦ‬
ِ ‫ﻄ َﻮا‬
ِ ‫ﻄ‬


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 16
C. Rumusan Masalah ....................................................................................... 18
D. Tujuan penelitian ........................................................................................ 18
E. Telaah Pustaka ............................................................................................ 18
F. MetodePenelitian ........................................................................................ 19
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 22

BAB II : TINJAUAN KAFFAH DAN SEMANTIK DALAM DEFINITIF
A. Potret Sekilas Tentang Kaffah .................................................................... 23
B. Semantik/Linguistik .................................................................................... 28

BAB III : PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH, AL-MARAGHI, DAN

WAHBAH ZUHAILI TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG
KAFFAH
A. Ayat dan Terjemahannya ............................................................................ 37
B. Biografi dan Karakteristik Kitab Tafsirnya ................................................ 38
C. Produk Penafsiran ....................................................................................... 48

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB IV : ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG KAFFAH
1. Kaffah Dalam Tinjauan Semantik/Linguistik Dikaitkan dengan Keadaan
Sosial-Budaya Masyarakat Era Kontemporer ............................................ 65

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 78
B. Saran ........................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan satu dari tiga agama samawi yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. sebagai agama terakhir yang menyempurnakan agama-agama
terdahulu. Di dalamnya terkandung semua unsur kehidupan manusia, baik dalam
aspek duniawi maupun ukhrawi. Dalam QS. al-Qashas:77 dijelaskan bahwa Islam
tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (Habl min Alla>h)
yang dilaksanakan melalui ritual ibadah berupa salat, puasa, zakat, haji, dan
ibadah lainya, melainkan Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia (Habl min al-Na>s), hubungan manusia dengan lingkungan sekitar (Habl

min al-‘Affah (total) sehingga dari sana akan melahirkan sikap dan
akhlak yang mulia.
Nabi Muhammad SAW. telah meninggalkan dua pusaka penting
untuk umatnya, yang dengannya umat Islam menjalani kehidupan keberagamaan,
sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik dan sebagainya dengan nilai-nilai
yang telah disediakan di dalamnya. Adapun dua pusaka penting tersebut
adalah al-Qur’a>n dan al-Sunnah.3 Eksistensi al-Qur’an sudah teruji dan tidak
diragukan lagi sebagai sumber utama dalam Islam. Namun demikian, karena alQur’an merupakan kitab yang berbagai penjelasnnya masih global, maka perlu

adanya interpretasi secara proporsional dan kontekstual agar dapat diserap dan
diamalkan sesuai dengan value yang terdapat di dalamnya untuk menjawab
permasalahan di era kontemporer yang dinamis.4
Al-Qur’an sendiri adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam,
dan al-Qur’an adalah sebagai pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang
bersifat historis dan normatif.5 Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat historis dan
normatif tidak semua dapat dipahami secara tekstual saja, karena banyak dari
ayat-ayat al-Quran yang masih mempunyai makna yang luas (abstrak) dan perlu
untuk ditafsirkan lebih dalam, agar dapat diambil sebuah hukum ataupun hikmah
yang dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh manusia secara umum dan umat
Islam secara khusus.

3

Egi Sudjana, Islam Fungsional, (Jakarta: Rajawali, 2008), 23.
Ibid.
5
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1988), 1
4


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Al-Qur’an juga sebagai aturan yang menjadi penentu dasar sikap
hidup manusia, dan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih mendetail,
karena pada zaman sekarang banyak permasalahan-permasalahan yang kompleks,
dan tentunya tidak sama dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada
zaman nabi Muhammad SAW.6
Al-Qur’an juga merupakan kitab suci yang tiada henti menjadi obyek
pembicaraan dan senantiasa bergerak secara dinamis selama kurun waktu 14 abad
yang lalu hingga sampai sekarang. Hal ini dikarenakan fungsi dan peran al-Qur’an
yang unik dan menarik dari semua aspek, seperti yang dikatakan Nashr Hami>d
Abu> Zayd ”Islam Adalah Peradaban Teks”. Statemen ini mendapat ruang yang
positif dalam melihat fenomena dan fakta di lapangan akhir-akhir ini.
Al-Qur’an diyakini sebagai pedoman hidup umat manusia, tapi di
samping menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi
keselamatan dunia-akhirat bagi individu dan sosial. Di sisi yang lain, al Qur’an
seperti dikatakan Ahmad Fuad Fanani menjadi dituduh sebagai penyebab konflik,

kekerasan dan kekacauan umat manusia. Hal ini tidak terlepas dari proses
interpretasi terhadap teks al Qur’an yang beragam dan berbeda-beda di kalangan
umat

Islam

yang

menimbulkan

egoismenya

masing-masing

serta

mengatasnamakan kebenaran. Maksudnya, perbedaan itu sering berujung pada
pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham sehingga
memunculkan klaim kebenaran antar kelompok yang sama-sama mengakui


6

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

interpretasinya yang paling benar dan menganggap yang lain jauh dari kebenaran,
baik dari dimensi teologis maupun sosiologis.
Fenomena tersebut tak lain di karenakan adanya perbedaan dalam
suatu penafsiran kelompok-kelompok tertentu. Hingga penafsiran tersebut
dianggapnya sudah paten dan tidak bisa diubah lagi. Padahal, penafsiran itu
sifatnya relatif dan tentatif. Teks al-Qur’an yang dianggap statis dan konteksnya
yg dianggap dinamis.7
Kajian al-Qur’an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang
dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan
peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai
dari klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode, dan pendekatan
yang digunakan.

Keinginan umat islam untuk selalu mendialogkan al-Qur’an sebagai
teks yang terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas
merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur’an. Hal ini karena
al-Qur’an meskipun turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas sosial budaya
tertentu, ia mengandung nilai-nilai universal yang akan selalu relevan untuk setiap
zaman dan tempat. Karena itu, di era modern-kontemporer dewasa ini, al-Qur’an

7

Disampaikan oleh Abdul Mustaqim dalam disertasinya yang berjudul “Epistemologi Tafsir
Kontemporer” tahun 2010, menurutnya : secara normatif al-qur’an memiliki kebenaran mutlak,
namun kebenaran produk penafsiran al-qur’an bersifat relatif dan tentatif. Sebab tafsir adalah
respon mufassir tatkala memahami teks kitab suci, situasi, dan problem sosial yang dihadapinya.
Jadi, sesungguhnya ada jarak antara al-qur’an dan penafsirnya. Oleh karena itu, tidak ada
penafsiran yang benar-benar objektif karena seorang mufassir suah memiliki prior text yang
menyebabkan kandungan teks tersebut menjadi “tereduksi” dan terdistorsi maknanya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5


harus ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman.8 Dengan kata lain sebagai orang
yang hidup di era kontemporer dewasa ini, kita tidak perlu menggunakan
kacamata orang terdahulu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab, jika problemproblem kontemporer dewasa ini harus dipecahkan dengan menggunakan metode
orang-orang terdahulu yang jelas berbeda dengan problem yang kita hadapi
sekarang ini maka hal itu merupakan suatu kemunduran. Sudah barang tentu hal
itu menuntut adanya epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia.9
Konsekuensinya, mengembangkan metodologi dan epistemologi tafsir
kontemporer merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari. Apalagi
dalam peta pemikiran ilmu-ilmu keislaman, persoalan metodologi tafsir –yang
notabene adalah seperangkat konsep dan teori, proses dan prosedur untuk
mengembangkan tafsir– merupakan ilmu yang belum matang sehingga selalu
terbuka untuk di perbarui dan di kembangkan. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan
jika di katakan bahwa merumuskan epistemologi dan metodologi tafsir “baru” di
era modern-kontemporer dapat di pandang sebagai upaya pengembangan tafsir
dalam rangka merespons tantangan zaman, mengingat pengembangan tafsir tidak
dapat di lepaskan dari persoalan epistemologi dan metodologi itu sendiri.10
Dalam surat al-Baqarah ayat 208 (Masuklah kalian ke dalam Islam
secara utuh) sebagai contoh terletak variabel-variabel perbedaan pendapat sangat

Muh}ammad Shahru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>shirah, (Damaskus: Ahali li ‘an-Nashr
wa at-Tawzi’, 1992), 33
9
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang,
2010), 2
10
Ibid.
8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

fundamental di antara kaum muslimin dalam melakukan interptretasi terhadap
makna Ka>ffah dalam ayat tersebut.11
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan
penterjemahan kata “Ka>ffah” yang di kaitkan dengan sistem Islami. Dengan
demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili
keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa
dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem
yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Di sisi lain, kita juga
harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem
islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin dan menjadi warga
negara kelas dua.12
Bercermin dari sebuah sabda nabi Muhammad SAW yang pernah
mengatakan bahwa umat islam akan terbagi menjadi 73 golongan, nampaknya
hadits tersebut di zaman elit ini telah banyak terjadi dikarenakan marak
munculnya kelompok-kelompok organisasi islam yang menjelma sebagai Islam
Teologi hingga berani meng-kafirkan organisasi islam lainnya. Hingga yang lebih
naasnya lagi, mereka berani bertindak anarkis kepada siapapun yang dianggapnya
telah melenceng dari ajaran doktrin-doktrin organisasi islamnya. Padahal
Rasulullah SAW telah memberikan indikasi adanya larangan untuk meng-kafirkan

11

Asgh>ar ‘Ali> Engini>r, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baihaqi,
(Yogyakarta: Lkis, 2007), 77
12
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta : The Wahid Institut, 2006), 12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

saudaranya sendiri, apalagi hingga berbuat anarkis kepada sesama muslim, itu
mengacu pada hadis nabi yang mengatakan bahwa sesama muslim bersaudara.

ِ
ِ
‫َﺧﻮ‬
َ َ‫ﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ‬
َ ‫ أَ ﱠن َر ُﺳ‬،‫ﻳﺚ َﻋْﺒ ِﺪ ﷲ ﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
ُ ‫َﺣﺪ‬
ُ ‫ »اﳌُ ْﺴﻠ ُﻢ أ‬:‫ﺎل‬
ِ ِ ِ ‫ وﻣﻦ َﻛﺎ َن ِﰲ ﺣ‬.‫ وﻻَ ﻳﺴﻠِﻤﻪ‬،‫ ﻻَ ﻳﻈْﻠِﻤﻪ‬،‫اﳌﺴﻠِ ِﻢ‬
‫ َوَﻣ ْﻦ ﻓَـﱠﺮ َج َﻋ ْﻦ ُﻣ ْﺴﻠِﻢ‬.‫ﺎﺟﺘِ ِﻪ‬
َ ‫ َﻛﺎ َن ﷲ ِﰲ َﺣ‬،‫ﺎﺟﺔ أَﺧﻴﻪ‬
َ َ
ْ ََ ُ ُ ْ ُ َ ُ ُ َ
ُْ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
.«‫ َﺳﺘَـَﺮﻩُ ﷲ ﻳـَ ْﻮَم اﻟﻘﻴَ َﺎﻣﺔ‬،‫ َوَﻣ ْﻦ َﺳ َﱰ ُﻣ ْﺴﻠ ًﻤﺎ‬.‫ت ﻳـَ ْﻮم اﻟﻘﻴَ َﺎﻣﺔ‬:َ‫ ﻓَـﱠﺮ َج ﷲ َﻋْﻨﻪُ ُﻛ ْﺮﺑَﺔً ﻣ ْﻦ ُﻛ ُﺮ‬،ً‫ُﻛ ْﺮﺑَﺔ‬
Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim
saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiayanya dan tidak akan
dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat
saudaranya, maka Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan siapa yang
melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan
kesukarannya di hari qiyamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang
muslim maka Allah akan menutupi nya di hari qiyamat. (HR.Bukhari dan
Muslim)13

Peristiwa pengeboman di Bali yang diprakarsai oleh Amrozi dkk,
(yang mengaku sebagai kelompok-kelompok islam radikalisme) tentu membuat
hati umat muslim lainnya miris terhadapnya. Terbaru, peristiwa penembakan di
Sarina, Jakarta semakin memperpanjang daftar ‘keburukan’ umat islam. Dengan
munculnya peristiwa-peristiwa tersebut, islam di klaim oleh banyak pihak sebagai
agama teroris, agama yang sadis dan tak ber-peri kemanusiaan sehingga wajib dan
layak untuk dimusuhi. Kelompok islam radikalisme, meng-klaim keyakinan islam
mereka-lah yang terbaik. Maka dari itu, mereka memerintahkan kepada umat
islam lainnya agar senantiasa mengikuti keyakinan mereka. Mereka berkeyakinan
bahwa dengan masuk islam secara utuh, membuatnya bisa menjadi muslim sejati.

Muh}ammad Fu’a>d ‘Abdul Ba>qi>’, Lu’Lu’ wa al-Marja>n, Kitab Adab, Kebajikan dan
Silaturrahmi, Hadits no.1667, (Jakarta : PT. Bina Ilmu, 2007)
13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah:208

ِ‫ﱠ‬
ِ ‫اﻟﺴ ْﻠ ِﻢ َﻛﺎﻓﱠﺔً وﻻ ﺗَـﺘﱠﺒِﻌﻮا ﺧﻄُﻮ‬
ِ ِ
ِ َ‫ات اﻟﺸﱠﻴﻄ‬
‫ﲔ‬
ٌ ِ‫ﺎن إِﻧﱠﻪُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻋ ُﺪ ﱞو ُﻣﺒ‬
ْ
َ ‫ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬Fَ
ّ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا ْاد ُﺧﻠُﻮا ﰲ‬
َ ُ ُ َ
Wahai orang-orang yang beriman! masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia
itu musuh yang nyata bagimu.14

Di sisi lain, munculnya ormas-ormas baru seperti HTI (Hizbu Tahrir
Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam) yang secara terus-menerus
mendengungkan sistem syari’at islam supaya di terapkan di indonesia, nyatanya
merupakan wujud atas kekecewaan mereka terhadap sistem demokrasi yang
dianggap gagal membina keadilan dalam kehidupan sosial-politik umat di
indonesia. Ormas-ormas ini terbentuk setelah runtuhnya rezim orde baru pada
bulan mei 1998. Setelah tumbangnya orde baru inilah, kelompok-kelompok
radikal islam menemukan momentum untuk melakukan akselerasi politik kultural
maupun struktural. Mereka beranggapan jika muslim di Indonesia belum berani
menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, maka perlu diadakan penggalangan
kekuatan dalam mengentas masalah-masalah tersebut. Awalnya, kelompokkelompok ini hanya membudayakan demonstrasi saja dalam setiap aksinya. Tapi,
lambat laun ormas-ormas ini semakin menjelma layaknya sebuah lembaga
peradilan dimana mereka berhak menentukan mana yang benar dan mana yang
salah. Puncaknya, menjelang akhir-akhir tenggelamnya tahun 2016, mereka
semakin semena-mena dengan mengkafirkan saudara mereka yang sesama
muslim yang tak sependapat dengan apa yang mereka sampaikan. Ormas-ormas
14

Departemen Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2002)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

ini senantiasa mendengungkan agar umat islam yang tak sependapat dengannya
disarankan supaya masuk islam secara kaffah. Dari sini-lah, penulis merasa
tertarik untuk mengkaji lebih dalam bagaimana makna “Ka>ffah” yang sebenarnya.
Dalam hemat penulis, peristiwa di atas terjadi lantaran adanya
perbedaan interpretasi atas penafsiran-penafsiran berkenaan ayat tersebut. Di sisi
lain, pemberian doktrin paten yang diterapkan oleh masing-masing kelompoknya
semakin menambah rasa

teguh dan gigih dalam membela bendera panjinya

masing-masing. Padahal seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa penafsiran
hanya bersifat relatif dan tentatif saja. Hanya kebenaran teks al-Qur’an-lah yang
dianggap statis dan mutlak.
Secara singkat, Gerakan Radikalisme kebanyakan muncul dalam
kalangan agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan radikal keagamaan
justru lahir pada saat proses demokratisasi sedang di gelar. Gerakan-gerakan
agama radikal di Indonesia pun juga lahir di saat proses demokratisasi sedang
berjalan. Otonomi daerah sebagai refleksi dari tuntutan demokrasi misalnya, justru
di tandai dengan bangkitnya literalisme-radikalisme agama seperti kehendak
untuk menerapkan “Syari’at Islam”.15
Radikalisme sendiri merupakan paham pemikiran sekelompok
masyarakat yang menginginkan pembaharuan untuk hidup lebih baik namun
dengan cara yang tidak benar karena dengan menghalalkan segala cara. Semakin
banyak gerakan yang muncul karena persoalan agama, politik maupun yang
lainnya. Sebagian besar bentuk radikalisme adalah perbuatan yang negatif untuk

15

John O. Voll, Demokrasi dan Radikalisme, Divisi Muslim Demokrasi, 2011, 4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

umum. Demokrasi yang seharusnya menjadikan tatanan masyarakat semakin cair,
egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi justru sebaliknya.16
Radikalisme di sebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal.
Salah satunya adalah karena lemahnya pemahaman agama. Radikalisme ini
merupakan sasaran yang tepat bagi orang-orang yang bertujuan menyelewengkan
ajaran agama atau mengajarkan paham-paham keagamaan yang sesat. Untuk
sebagian masyarakat menganggap radikalisme sebagai hal yang positif karena
kepentingan mereka. Seperti pelaku terorisme yang menganggap perbuatannya
merupakan hal yang positif karena dia merasa telah berjihad untuk agama yang
dianutnya.
Selama ini, penulis belum pernah tahu akan kitab-kitab tafsir yang
menjadi rujukan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja,
penulis sering mendapat kabar/berita, baik dari lisan ataupun dunia maya bahwa
kitab tafsir rujukan kaum radikalisme yakni kitab tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya
Sayyid al-Qut}b. Menilik dari track record beliau selama membuat kitab tersebut
yakni kala beliau tengah berada di penjara.
Sayyid al-Qut}b diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April
1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya “Ma’a>lim fi> al-T>a{ ri>q”,
di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan mesir dengan
kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid al-Qut}b bersama ‘Abdul
Fatta>h Isma>’i>l dan Muh}ammad Yu>suf Hawwa>sy di nyatakan bersalah dan di

16

Ibid., 4-5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

hukum mati. Al-Qut}b dihukum gantung bersama dua orang sahabatnya itu pada
29 Agustus 1966.17
Umej Bha>tia> (Seorang peneliti di pusat studi timur tengah, dari
Harvard Univercity, AS) menilai, tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur'a>n menyajikan cara baru
dalam menafsirkan al-Qur’an yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama
klasik. Sayyid al-Qut}b memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan
sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan
al-Qur’an sebagai pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.18
Dalam kitab tafsir Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, surat al-Baqarah:208 yang
didalamnya terdapat kata “Ka>ffah”, Sayyid al-Qut}b menilai bahwa orang-orang
mukmin harus menyerahkan diri secara total kepada Allah SWT, dalam urusan
yang kecil maupun besar. Hendaklah mereka hendak menyerahkan diri dengan
sebenar-benarnya secara keseluruhan, baik mengenai tashawwur persepsi,
pandangan, pemikiran maupun perasaan, niat maupun amal, kesenangan maupun
ketakutan, dengan tunduk patuh kepada Allah serta ridha kepada hukum dan
qadha’-Nya, tak tersisa sedikitpun dari semua itu untuk selain Allah SWT. Pasrah
yang disertai dengan ketaatan yang mantap, tenang dan ridha. Menyerah kepada
tangan (kekuasaan) yang menuntun langkah-langkahnya. Mereka percaya bahwa
tangan itu menuntun bagi mereka kebaikan, ketulusan dan kelurusan. Arahan
dakwah kepada orang-orang yang beriman ini juga mengisyaratkan bahwa disana
terdapat jiwa-jiwa yang senantiasa memberontak dengan keragu-raguan untuk
melakukan ketaatan yang mutlak baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
17
18

http://dakwahsyariah.blogspot.com/2011/10/sejarah-islam-sayyid-qutb.html
Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

Ketika seorang mukmin mematuhi ini dengan sebenar-benarnya, berarti ia telah
masuk ke alam kedamaian secara menyeluruh dan kealam keselamatan secara
total.19
Beliau menambahkan bahwa “Perasaan seorang mukmin selalu
berjalan bersama takdir Allah dan selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah
SWT. Perasaan ini akan menuangkan ke dalam ruhnya ketenteraman, kedamaian
dan kemantapan serta penerang bagi jalannya. Oleh karena itu mereka merasakan
kedamaian dalam jiwanya sehingga ia rela berperang menhadapi musuh-musuh
Allah dan musuh-musuhnya. Sebab ia berperang karena Allah, di jalan Allah, dan
untuk menjunjung tinggi agama Allah SWT. Ia tidak berperang untuk
mendapatkan kedudukan, harta rampasan, memenuhi ambisi, atau untuk
mendapatkan kekayaan kehidupan dunia.”20
Dari redaksi di atas, itu menjadi sebuah pertanda bahwa penafsiran
Sayyid al-Qut}b terhadap kalimat “Isla>m Ka>ffah’”menganjurkan seorang mukmin
yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya untuk berani berperang dengan
siapapun musuh-musuhnya yang dirasa tidak taat terhadap aturan yang sudah
dibuat Allah SWT dan Rasul-Nya.
Disamping itu, di dalam kitab Ibnu Katsir juga sedikit ada yang
menyinggung berkenaan “Ka>ffah”, dimana ada sebagian dari kalangan mufassirin
yang menjadikan kata “Ka>ffah” sebagai ha>l (keterangan keadaan) dari lafadz al-

da>khili>n , yakni masuklah kalian semua kedalam islam.21

Sayyid al-Qut}b, Tafsi>r Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Jilid II, cet-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 246
Ibid., 248
21
Al-Hafi>z Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Ibn Katsi>r, Jilid II, (Kairo: PT. Pustaka Imam Syafi’ie. 1994), 362
19
20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Menurut al-Ima>m ‘Abdulla>h Ibn Ah}mad Ibn Mah}mu>d al-Nasafi> dalam
kitab tafsirnya yakni Tafsi>r al-Nasafi>, beliau berpendapat bahwa “salmi>” dengan
dibaca fathah sin-nya itu menurut ahli hijaz yang artinya menyerah dan taat.
Maksudnya menyerahlah kalian kehadirat Allah SWT dan taatlah kepada-Nya.
atau Islam dan berarti pembicaraan ini ditujukan kepada ahli kitab, karena mereka
Iman kepada nabi-Nya dan kitab-Nya, atau pembicaraan di tujukan kepada orangorang munafik karena mereka beriman hanya dengan lisannya. Kata “Ka>ffah”
(secara keseluruhan) artinya tak satupun dari kalian yang keluar dari taat kepada
Allah SWT, sehingga lafadz “Ka>ffah” itu menjadi ha>l dari dhomir yang ada pada
“udkhulu>” yang semakna dengan “jami>’an” yang artinya semua, atau “Kaffa>h”
menjadi ha>l dari al-silmi> karena ia muannats. Seakan-akan mereka diperintah
untuk melakukan seluruh ketaatan atau cabang-cabang Islam dan syariatsyariatnya. Lafadz “Ka>ffah” dari kata “al-Kaffa”, seakan-akan mereka mencegah
jangan sampai seorang-pun dari mereka keluar, sebab mereka telah berkumpul.22
Melihat fenomena-fenomena di atas, penulis berkeinginan mengkaji
serta mengupas makna “Isla>m Ka>ffah” itu sendiri dengan mengacu pada beberapa
referensi yang ada. Penulis bermaksud mengkontekstualkan kata tersebut secara
linguistik dengan mengambil pendapat-pendapat para mufassir yang di anggap
penafsirannya masuk dalam ranah ketelitian leksikal atau ketelitian redaksinya
seperti Muhammad Abduh, Mustofa al-Maraghi, dan Wahbah Zuhaili.

Abdulla>h Ibn Ah}mad Ibn Mah}mu>d al-Nasafi>, Tafsi>r al-Nasafi> (Mada>riku al-Tanzi>l wa Haqa>iqu
al-Ta’wi>l), Juz 1, (Beirut-Lebanon: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah, tth), 104-105
22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Mungkin kata “Kontekstualisasi” sangat jarang terdengar di telinga
kita. Maka dari itu penulis akan sedikit menyinggung masalah ini. Secara
etimologi, dalam bahasa latin “Kontektualisasi” ini terdiri dari 2 kata yakni “Con”
yang berarti “bersama-sama”, dan “Tekstual” yang berarti “dari dokumen
tertulis”. Secara terminologi, “Kontektualisasi” adalah usaha menempatkan
sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu
dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi
kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut
berbicara.23 Sederhananya, “Kontekstualisasi” adalah tindakan atau proses
menempatkan informasi dalam konteks; membuat rasa informasi dari situasi atau
lokasi di mana informasi itu ditemukan. Jadi “Kontekstualisasi Makna Kaffah”
adalah proses atau usaha menempatkan kata “Ka>ffah” itu sendiri dalam konteks
yang sebenarnya sehingga menyatu dalam arti keseluruhannya.
Sementara istilah modern dan kontemporer sendiri yang dianggap dua
sisi yang berbeda tapi nyatanya sesuatu yang sama. Kontemporer berarti era masa
kini, zaman sekarang, atau yang bersifat kekinian. Kontemporer lahir dari
modernitas, sehinnga istilah modern dan kontemporer, meskipun merujuk pada
dua era, keduanya tidak memiliki penggalan waktu yang pasti.24 Tak ada
kesepakatan yang jelas tentang istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah
kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21.
Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern,
keduanya saling saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban
23
24

Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, (Tangerang: Bintang Fajar, 1999), 122.
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Op., Cit., 12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam
dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu
pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.25
Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau
penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat
ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
serta kondisi sosial masyarakat.26
Tafsir era kontemporer ini dimulai dari hadirnya tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh, hingga banyak mempengaruhi metodologi penafsiranpenafsiran mufasir setelahnya diantaranya dua muridnya sendiri yakni al-Maraghi
dan Rasyid Ridha. Gerakan pembaruan islam di mesir ini-lah yang juga
mempengaruhi mufasir di indonesia seperti buya hamka dalam tafsirnya al-Azhar
begitupun dengan Quraisy Shihab dengan al-Misbah nya dan lain-lain.
Sekedar pembuka, Muhammad Abduh sendiri berpendapat, “Kata
“‫ ”اﻟ ِﺴ ّْﻠ ِﻢ‬ini bermakna jalan keselamatan atau sesuatu yang menyelamatkan. Dan ini
berhubungan erat dengan adanya persatuan antar sesama dengan di naungi sebuah
agama yakni Islam. Sedangkan “ً‫ ”ﻛَﺎ ﱠﻓﺔ‬sendiri adalah ha>l dari lafad “‫ ”اﻟ ِﺴ ّْﻠ ِﻢ‬yakni
pada keseluruhan syariat Islam. Dan saya berpendapat bahwa hakikat munculnya
Islam yakni sebagai penyelamat dengan melaksanakan perintah Allah SWT dan
ikhlas terhadap semua perintah-Nya. Sedangkan dasar-dasar Islam yakni
25

Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman,
(Jambi : Sulton Thaha Press, 2007), 38
26
Abdul Mustaqim, Epistemologi ..., 12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

persatuan, rukun dan damai dengan manusia lainnya, serta melarang adanya
perang dan pembunuhan antar sesama umat.” Setali tiga uang, al-Maraghi dan
Wahbah Zuhaili-pun demikian. Keduanya menganggap bahwa disebut “Islam
Kaffah” yakni salah satunya yang mencintai persatuan dan kesatuan umat. Hanya
saja, al-Maraghi tak segan memberi gelar “Telah membantu agama Allah SWT”
bagi mereka yang senantiasa mengembalikan suatu kebijakan pada kebijakan
saudara-saudara muslim lainnya agar tidak berselisih satu sama lain.
Penulis berniat mengambil ketiga mufasir ini, karena dianggap
merupakan perwakilan serta wujud representasi dari mufasir era kontemporer
yang disinyalir metode dan epistemologi produk penafsirannya menggunakan
metode yang berbeda dengan para mufasir klasik. Penulis juga berpendapat bahwa
hanya dengan mengambil pendapat-pendapat dari ketiga mufassir ini, setidaknya
dapat meminimalisir fenomena-fenomena diatas dikarenakan ketiga mufasir
tersebut juga hidup di era kontemporer-modern, sehingga produk penafsirannyapun beradaptasi dengan peristiwa-peristiwa kontemporer-modern dan tentunya
menggunakan metodologi penafsiran era reformatif berbasis nalar-kritis yang
bertujuan transformatif. Berbeda hal nya dengan mufasir-mufasir klasik yang
lebih menggunakan metode penafsiran era afirmatif yang berbasis nalar-ideologis.

B. Identifikasi Masalah
Skripsi ini mengangkat tentang “Silmi> Ka>ffah”, sebagai objek
pembahasan. Namun, pembahasannya akan lebih di spesifik-kan tentang
pemahaman teks itu sendiri dikarenakan beraneka ragam munculnya interpretasi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

akan pemahaman teks “Kaffah” itu sendiri hingga berakibat banyak terjadinya
kesalahfahaman antar sesama muslim.
Ormas-ormas seperti layaknya HTI atau FPI memang sejak awal
memproklamirkan “Islam Kaffah” ini, muaranya dengan segala sistem yang
pernah diajarkan oleh Nabi SAW tanpa terkecuali termasuk sistem “Khilafah” itu
sendiri. Tak ayal jika mereka gampang meng-klaim orang muslim lainnya dengan
kata-kata ‘kafir’ bagi mereka yang tak sependapat dengan pendapatnya, bahkan
juga berani mengkafirkan sistem demokrasi di negeri ini yang telah bertahan
selama kurang lebih 71 tahun lamanya. Dalam hemat penulis, sistem khilafah
sebenarnya sitem yang sangat baik, namun cara penyampaian maksud mereka-lah
yang penulis kira kurang baik bahkan terkesan memaksa. Oleh sebab itu, penulis
bermaksud mengangkat tema “Islam Kaffah” ini supaya bisa mengkaji
kontekstualisasi makna islam kaffah ini.
Agar pembahasannya terfokus pada akar permasalahannya, maka
penulis akan mengemukakan penafsiran ulama-ulama kontemporer dengan
memakai 3 produk penafsiran masing-masing dari Muhammad Abduh, Mustofa
al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili karena dinilai produk penafsirannya akan “Isla>m

Ka>ffah” lebih terperinci terutama tentang sentilan sisi leksikalnya atau
kebahasaannya. Disamping itu, ketiganya juga merupakan perwakilan dari
mufasir era modern-kontemporer yang metodologi penafsirannya berbeda dengan
mufasir klasik.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

C. Rumusan Masalah
Jika dilihat dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah tersebut sebagai berikut :
1. Bagaimana analisis penafsiran dari “Islam Kaffah” menurut tiga mufassir
yakni Muhammad Abduh, Musthafa al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili?
2. Bagaimana konstekstualisasi “Islam Kaffah” dalam perspektif al-Qur’an di
era modern-kontemporer?

D. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis penafsiran dari “Islam Kaffah” dari penafsiran Muhammad
Abduh, Mustofa al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili.
2. Mengkontekstualkan “Islam Kaffah” dalam perspektif al-qur’an di era
modern-kontemporer

E. Telaah Pustaka
Penelitian ini sebagaimana pembahasan judul diatas dengan
menggunakan tiga surat sebagai sampel yakni surat al-Baqarah:208, surat atTaubah:36 dan surat Saba’:28. Hanya saja dari ketiga surat tersebut, surat alBaqarah:208 akan lebih difokuskan karena dalam ayat tersebut lafadz
“Islam/Silmi” dan “Ka>ffah” bergandengan, sedangkan kedua surat yang lain
hanya memfokuskan lafadz “Ka>ffah” nya saja.
Penulis melihat adanya sesuatu yang menarik untuk dibahas secara
komprehensif. Diantaranya yakni memfokuskan kajian lafadz makna ‘kaffah’
secara

harfiah

dengan

menggunakan

metode

mawdhu>’iy/tematik,

lalu

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

memunculkan ke permukaan pendapat-pendapat beberapa para mufassir seperti
syaikh al-mara>ghi, syaikh muhammad ‘abduh dan syaikh wahbah al-zuhayli>, yang
terkenal jeli dan lugas dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara harfiyah,
yang kemudian dianalisis dengan mengaitkannya terhadap keadaan sosial-budaya
zaman.

F. Metode Penelitian
Sebagai langkah awal penelitian tentang Ka>ffah dalam Al Qur’an,
Dibutuhkan proses penelitian yang konprehensif. Sehingga akan menghasilkan
penelitian yang perfect dalam penyusuanan skripsi ini. Untuk mencapai hasil
tersebut dibutuhkan sebuah metode penelitian karya ilmiah.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagaimana berikut:
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan corak tafsir adabiy-ijtima>’iy sebagai antisipasi untuk beradaptasi
dengan zaman kontemporer dikarenakan adabiy-ijtima>’iy muncul dan diprakarsai
oleh Muhammad Abduh supaya tidak terkungkung dan terkurung akan produk
penafsiran mufassir era klasik yang dianggapnya sudah tak relevan lagi dengan
era modern-kontemporer dewasa ini. Disamping itu, penelitian ini akan
menggunakan metode mawdhu>’i/tematik sebagai konsepnya, lalu ditafsirkan
dengan pendapat-pendapat ketiga mufassir diatas dengan mengambil pendapatpendapatnya yang berkenaan dengan “Kaffah” itu sendiri, yang kemudian
diselesaikan dengan menggunakan pisau analisis semantik/linguistik dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

menyesuaikan serta mengaitkannya dengan situasi sosial dan peradaban
masyarakat era modern-kontemporer.

b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua klasifikasi, antara
lain :
1. Sumber Data Primer : Kitab Tafsir al-Manar, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir alMunir
2. Sumber Data Sekunder, yaitu Buku penunjang lainnya, yaitu buku-buku yang
berkaitan dengan tema.

c. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, karya
ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

d. Metode Analisis Data
Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh
melalui pustaka atau penelitian. Dengan menggunakan pendekatan analisislinguistik yaitu menjelaskan dengan rinci pengertian islam kaffah kemudian
meletakkan pendapat mufassir itu sendiri akan penafsiran “Ka>ffah” yang di tafsiri
melalui pendekatan linguistik/teksnya, lalu menyingkronkan terhadap situasi
sosial-budaya masyarakat. Maka dari itu, penulis memilih mufassir-mufassir yang
memakai corak adabiy-ijtima>’iy dalam penafsirannya dikarenakan corak ini lebih
menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan
menonjolkan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan
pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, Maka penulis
meruntut persoalan melalui bab-bab yang masing-masing memuat persoalan yang
akan dibahas yaitu :
Pada BAB I, yakni bab mengenai pendahuluan dimana di dalamnya
terdapat latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, telaah pustaka, dan metode penelitian.
Sedangkan pada BAB II, yakni mendeskripsikan tentang pengertian
kaffah secara definitif dan mengurai karakteristik dari seorang muslim kaffah,
serta menjelaskan semantik/linguistik mulai dari definisinya, jenis-jenis dan
unsur-unsurnya hingga korelasi semantik itu sendiri dengan tataran ilmu sosial
lainnya beserta analisisnya.
Di BAB III, penulis akan menguraikan penafsiran dari ketiga mufasir
yakni Muhammad Abduh, Al-Maraghi, dan Wahbah Zuhaili terhadap ayat-ayat
berkenaan tentang kaffah dimulai dari surat al-Baqarah:208, lalu dilanjutkan
dengan surat al-Taubah:36, dan diakhiri surat Saba’:28 serta menceritakan
biografi dari masing-masing mufasir sekaligus karakteristik kitabnya.
Di BAB IV, penulis akan menganalisis pendapat ketiga mufasir
tersebut dengan pendekatan semantik/linguistik dan mengaitkan ketiga ayat
tersebut diatas dengan keadaan sosial-budaya masyarakat era kontemporermodern
Kemudian di BAB V, akan ditutup dengan kesimpulan dan saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN KAFFAH DALAM SEMANTIK
DALAM DEFINITIF
A. Potret Sekilas Tentang Kaffah
1. Definisi “Ka>ffah”
Secara leksikal, “Ka>ffah” mempunyai arti keseluruhan, secara total.
Terambil dari kata (kaffa-yakuffu-kaffan) yang mempunyai arti, yaitu :
mengumpulkan, menghimpun,

dan mencegah tercerai-berainya sesuatu serta

kemudian digunakan dengan makna jumlah, totalitas, keseluruhan sebab
menghalangi tercerai-berainya bagian-bagian atau mencegah keluarnya sesuatu
bagian dari keseluruhan. Adapun ta’ marbuthoh pada kata tersebut yang asalnya
adalah “kaffan” berfungsi (1) ta’ni>ts (termasuk kelompok kata jenis perempuan)
(2) menunjukkan peralihan dari kata sifat menjadi ismiyah (kata benda) (3) lil

muba>laghah. (menunjuk makna sangat atau melebihi umumnya).
Dalam al-Qur’an, kata “Ka>ffah” disebut sebanyak 5 kali, namun
hanya dua yang menunjuk pada makna keseluruhan dalam kaitannya dengan
agama Islam yang satu surat Saba’ 28 bermakna keseluruhan dalam arti Islam itu
berlaku universal (untuk seluruh umat manusia) yang satunya surat al-Baqarah
208 yang bermakna keseluruhan dalam arti ajaran Islam itu bersifat integral, tidak
parsial. Sedang tiga lainnya menunjuk pada makna (1) semua kaum musyrikin alTawbah 36 (2) Semua kaum mu’minin al-Tawbah 36 (3) dan tidak semua kaum
Mukminin al-Tawbah 122.27

27

Tim Sembilan, Tafsir al-Muntaha, Jilid I, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004 ), 142

23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Demikian juga kata “Ka>ffah” disini dari segi lafadz selalu nakiroh
yang disebut 5 kali dalam al-Qur’an. Sebagian ulama menyangka bahwa kata
“Ka>ffah” didalam bahasa Arab dipakai kecuali hanya dengan posisi nakiroh dan
dianggap salah jika memakai (al-alma’rifah) atau dengan (idhafah).28 Al-Baidawi
berkata: Bahwa “Ka>ffah” adalah isim yang menunjuk makna jumlah (totalitas)
karena menghalangi terpisah-pisahnya bagian-bagian, berfungsi sebagai ha>l dari
dhamir atau al-Silmi>, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qofa>l bahwa “Ka>ffah” bisa
dikembalikan kepada orang-orang yang diperintahkan masuk (Islam) dan bisa
dikembalikan kepada Islam, maka bisa bermakna: masuklah kamu semua dan
boleh bermakna: masuklah ke dalam semua syariat Islam.
Ima>m al-T{abari> menerangkan makna “Ka>ffah” di dalam tafsirnya
adalah :“Perintah melaksanakan seluruh syari’at-syari’at-Nya (Islam) dan hukumhukum hudud-Nya dengan tidak mengurangi sebagiannya dan mengamalkan
sebagiannya. Yang demikian itu dimaksudkan karena “Ka>ffah” itu merupakan
sifat dari pada Islam, maka ini dapat ditakwilkan “Masuklah kamu dengan
mengamalkan seluruh ajaran-ajaran Islam, dan janganlah kamu mengurangi
sedikitpun dari padanya wahai ahli Iman dengan Muhammad dan dengan apa
yang ia datang dengannya.”29
Ima>m al-Qurt}ubi> menjelaskan bahwa lafadz “Ka>ffah” adalah sebagai
hal (penjelasan keadaan) dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu’minin.
Sedangkan pengertian “Ka>ffah” adalah jamiy’an (menyeluruh) atau ‘a>mmatan

Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r Al-Muni>r, (Lebanon: Da>r al-Fikr, 2007), 316
Ibnu Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> (Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n), Jilid II, (Beirut: Da>r
al-Hadi>ts Qa>hirah, 1996), 337

28
29

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

(umum). Bila kedudukan lafadz “Ka>ffah” sebagai ha>l dari lafadz al-silmi maka
tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT ‘menuntut’ orang-orang yang masuk
Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya
memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan.30
Pemahaman ini diperkuat dengan asba>b al-nuzu>l (sebab turunnya) ayat tersebut
yang mengisahkan ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka
hendak masuk Islam. Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang
mau masuk Islam saja, akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu’min
sebagaimana penjelasan Ibnu Jari>r al-T{abari> yang mengutip tafsir (penjelasan)
dari Ikrimah di atas. Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya
berserah diri, ta’at, dan melaksanakan seluruh syari’at Nabi Muhammad SAW
(yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain.
2. Karakteristik Muslim “Ka>ffah”
Dari makna dasar “Ka>ffah” ini, tidaklah semudah membalik telapak
tangan untuk memahami pesan-pesan didalamnya, akan tetapi diperlukan proses
dan panahapan serta konsistensi, yang didasari niat yang benar dan tekad yang
kuat, dibekali ilmu pengetahuan yang memadai tentang Islam baik dengan
pendekatan nalar burhani, nalar bayani maupun irfani secara istiqamah.
Secara harfiyah, “Ka>ffah” memang diartikan meyeluruh atau total,
namun segala sesuatu yang terikat akan suatu wadah yakni ‘islam’, kata total
terasa sangat berat untuk dipikul ke pundak kaum muslim. Itu dikarenakan esensi

Ima>m al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ Li Ahka>m al-Qur’a>n, Jilid III, (Beirut: Da>r al-Hadi>ts al-Qa>hirah, tth),
18
30

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

dari manusia itu sendiri yang dipenuhi dengan kelebihan dan kekurangan.
Mengingat historisitas al-Qur’an yang diturunkan tidak sekaligus, akan tetapi
dengan berangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun disesuaikan dengan
kebutuhan dan berdasarkan kasus demi kasus kehidupan, dengan maksud agar
setiap ajaran Al Qur’an benar-benar dipahami secara integral dan terpatri dalam
jiwa orang-orang muslim.31 Derajat muslim kaffah dapat dicapai apabila ia taat
dan patuh kepada Allah dan Rasulnya secara lahir batin dengan melaksanakan
semua ajaran dan syariatnya atas dasar keimanan dan keikhlasan. Adapun
seseorang belum ‘pantas’ dikatakan seorang mukmin meski ia islam, sebagaimana
telah tertera dalam firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat : 14, yang berbunyi:
‫ﺖ اﻷﻋ َْﺮابُ آ َﻣ ﱠﻨﺎ ﻗُ ْﻞ َﻟ ْﻢ ﺗُﺆْ ِﻣﻨُﻮا َو َﻟ ِﻜ ْﻦ ﻗُﻮﻟُﻮا أَ ْﺳ َﻠ ْﻤﻨَﺎ َو َﻟ ﱠﻤﺎ َﯾﺪْ