Karya Tulis Pelaksanaan Tugas BPD

(1)

Studi Kasus tentang Badan Perwakilan Desa di Kecamatan Bantan Pada Tahun 2002

Oleh : Muhammad Fadhli

A. Latar Belakang

Era reformasi sekarang ini tidak berarti hanya mengganti kepemimpinan semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah reformasi ketentuan perundang-undangan yang selama ini melahirkan sistem-sistem yang ternyata telah menimbulkan kekurang berdayaan masyarakat. Reformasi yang terus bergulir telah mendorong untuk mengavaluasi dan melihat jauh kebelakang tentang bagaimana wajah desa yang sesungguhnya selama ini. Pengaturan dan pembangunan desa dan masyarakatnya telah dilakukan lebih dari 30 tahun disepanjang Orde Baru sepertinya telah menghasilkan Desa dengan wajah cukup memprihatinkan.

Munculnya ketergantungan masyarakat kepada Pemerintah sekaligus retaknya ikatan sosial dalam masyarakat desa dan terbentuknya perilaku birokrasi pemerintah, sampai ke Pemerintahan Desa yang lebih mengedepankan kekuasaan sering menimbulkan situasi konflik kepentingan antara masyarakat pada satu pihak dengan pemerintah desa di lain pihak, dan pada gilirnnya telah menyebabkan masyarakat bersifat apatis serta kurang partisipasinya dalam kegiatan pembangunan.

Gejolak sosial yang muncul akhir-akhir ini merupakan suatu petunjuk bahwa ikatan sosial masyarakat telah melemah dan mungkin juga rapuh.


(2)

Situasi antar warga dalam suatu wilayah lingkungan Rukun Tetangga ( RT ), Rukun Warga ( RW ), Desa/Kelurahan seperti hilang dan yang muncul adalah siapa lu, siapa gua “. Solidaritas sosial sepertinya hilang dan yang muncul adalah perilaku menyimpang sesama warga.

Jika mengulas balik mengapa terjadi keadaan sedemikian itu mungkin dapat dirujuk pada dua hal yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan yang dibuat dalam mengatur desa sudah baik, tetapi pelaksanaannya tidak konsisten, karena mengandung penafsiran yang berbeda pada tingkat desa. 2. Peraturan perundang-undangan serta kebijakan

pembangunan yang dibuat dalam mengatur desa memang kurang sesuai dengan kebutuhan atau ketentuan pembentukan UU tersebut memang dilatar belakangi oleh asumsi-asumsi yang ternyata saat sekarang telah berubah. Penulis berasumsi bahwa kedua kondisi itu telah terjadi selama masa Orde Baru namun dalam sorotan ini penulis lebih mengakaji kondisi yang kedua yang telah signitifkan. Sebagai contoh adalah keberadaan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah yang memberi kedudukan Kepala Daerah sebagai penguasa tunggal dan mendudukan DPRD sebagai unsur daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 13 UU tersebut, yang latar belakang kehadirannya sebenarnya memang dirancang untuk menjawab permasalahan diawal Orde Baru yaitu perlunya kekuasaan pemerintah yang mutlak untuk menjaga stabilitas. Sayangnya legimitasi power yang dimiliki oleh pemerintah daerah dengan adanya UU tersebut, terbawa terus meskipunterjadi perubahan yang mendasar terhadap kehidupan masyarakat.


(3)

Demikian pula halnya dengan UU. No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa juga terjadi prubahan.

Dampak dari pemutlakan akibat legimitasi power dalam perumusan program-program pembangunan masyarakat desa pada tahap implementasinya adalah munculnya berbagai penyimpangan program yang bersifat struktural. Misalnya masyarakat tidak berdaya ditengah situasi conflict of interenst atas akses pembangunan ketika berhadapan dengan pihak-pihak dari luar desa seperti halnya aparat pemerintah maupun kalangan pengusaha swasta maupun pihak-pihak dari dalam desa itu sendiri yaitu elit desa. Masyarakat seolah-olah menjadi objek swasta. Pengentasan kemiskinan dijadikan label oleh berbagai instansi pemerintah untuk memperbesarkan anggaran tanpa berupaya mengoptimalkan output khususnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, dalam upaya untuk mengatur desa secara seragam di seluruh Indonesia, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa melemah, sehingga situasinya menjadi tidak kondusif bagi pembangunan itu sendiri. Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 menyambutkan bahwa, karena jabatannya, Kepala Desa menjadi Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Sedangkan untuk sekretarisnya, sekretaris desa diangkat menjadi sekretaris Lembaga Musyawarah Desa, seperti yang disebutkan pada pasal 17 ( 3 ). Jika menilik keseluruhan pasal dalam UU tersebut terlihat bahwa telah terjadi penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Kepala Desa sehingga sangat berpeluang terjadinya kepemimpinan yang otoriter. Selain itu dalam pengaturan, kedua lembaga ini, baik Lembaga Musyawarah Desa maupun Lembaga Ketahanan Masyarakat itu tersesat secara vertikal dan sering tunduk kepada petunjuk dari atas dan bukan sebagai lembaga yang menyalurkan sapirasi masyarakat yang otonom. Posisi Kepala Desa sebagai Ketua Umum lembaga Musyawarah desa dan


(4)

lembaga ketahanan masyarakat desa telah menjadikannya lebih dominan dalam memberikan arah dan menurunkan garis kebijaksanaan yang telah ditentukan sebelumnya dari atas, sehingga yang terjadi bukan botton up tetapi top down. Tendensi ini di perkuat lagi oleh pernyataan bahwa pada prakteknya hampir semua anggota Lembaga Musyawarah Desa dan lembaga ketahanan masyarakat desa adalah hasil penunjukkan dari kepala desa, sehingga tidak ada lembaga kontrol yang sesungguh-sungguh efektif terhadap kepala desa.

Secara teoritis, dengan adanya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Lembaga Musyawarah Desa akan terjadi proses pembangunan bottom-up tetapi kenyataan selama ini menunjukkan bahwa lembaga tersbeut kurang berhasil mengartikulasikan aspirasi masyarakat desa dalam pembangunan. Padahal telah dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1981 tentang Mekanisme Pengendalian pelaksanaan program masuk desa yang menetapkan suatu kebijaksanaan umum tentang perencanaan dari bawah tersebut. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa sebagai basic institution serta bertanggung jawab diatas pengkodinasian dan pengawasan implementasi proyek-proyek pembangunan tingkat desa. Ini berarti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa menjadi forum rakyat desa sendiri yang menjadi forum rakyat desa untuk berparisipasi dalam pembangunan lokal. Dalam pengertian ini terkandung pengertian bahwa masyarakat desa sendiri yang menjadi subjek atau determinan dalam proses pembagunan desanya.

Pengaturan pemerintah desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 telah menyebabkan paling sedikit tiga hal : Pertama, panjangnya rantai birokrasi yang menjadi jalur bottom up yang mestinya ditempuh sampai akhirnya usulan-usulan rakyat desa dapat direalisasikan. Kedua, usulan rakyat desa itu seringkali ditolak ketika up-nya baru sampai ditingkat kecamatan. Pada akhirnya


(5)

sering program pembangunan desa yang ada bukan lagi program yang diusulkan oleh rakyat desa, melainkan program-program seperti yang didefenisikan olen instansi lain diatasnya.

Kebijakan dan proses pembangunan yang dilakukan tidak terpadu, parsial, dengan pendekatan yang berdasarkan pada cara berfikir, sikap dan prilaku pasa material, sehingga pelaku-pelaku pembangunan hanya mengejar pengeluaran ( output ) hasil target materi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan negara, komunikasi, keluarga bahkan dirinya, yang menjadikan individual, dan menumpukkan aset finansial yang tidak bermanfaat. Jika antara empiris kehidupan politik yang berlangsung dari atas sampai ke dusun adalah sistem politik model penguasa briokrasi yang benar, rakyat harus menerima. Hal ini bisa dilihat dalam kelembagaan sejak dari Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat, Daerah Tingkat I/II, Unit Daerah Kerja Pembangunan dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Lembaga-lembaga ini lebih didominasi oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa, ketimbang yang mewakili aspirasi rakyat banyak, apalagi rakyat miskin. Unit Daerah Kerja Pembangunan ( UDKP ) sebenarnya merupakan forum untuk pengusulan proyek-proyek pembangunan tingkat kecamatan namun kenyataannya yang sering terjadi adalah forum kepala-kepala desa dan pejabat kantor Kecamatan, ditambah dengan jumlah tokoh informal yang kenal baik dengan camat. Hal ini berakibat pada perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pembangunan masyarakat dari musyawarah pembangunan desa-desa yang sering didominasi oleh kepentingan kepala desa dan unit daerah kerja pembangunan akan didominasi oleh pikiran dan kepentingan camat.

Banyak organisasi formal yang semakin menambah rumitnya organisasi pedesaan karena telah membuahkan institusi baru sesuai dengan tujuan organisasi itu, ternyata bukan untuk kepentingan masyarakat, tetapi kepentingan birokrasi pemerintah. Pada tingkat ini sangat jelas bahwa organisasi itu sebagai program-program


(6)

pembangunan-pembangunan seluruh departemen. Di dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat ada beberapa kendala, yaitu kendala-kendala yang berasal dari agen-agen pelaksana (Impementing agency) dalam masyarakat sendiri, serta dalam kelembagaan masyarakat yang lebih luas ( the broader intitutation of society ). Kendala yang berasal dari agen-agen pelaksana ( pihak yang membuat keputusan ) mencakup sikap nilai dan keterampilan serta sistem evaluasi. Kendala dalam masyarakat sendiri mencakup kekurang seriusan organisasi lokal, kurangnya kemampuan organisasional, kurangnya fasilitas komunikasi, serta perbedaan kepentingan ekonomi yang terjadi antara golongan masyarakat. Kendala-kendala lainnya yang ditemui dalam peningkatan pertisipasi masyarakat adalah berkaitan dengan unsur politik birokrasi.

Pasa era otonomi daerah sekarang ini yang ditandai dengan diberlakukan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kondisi Pemerintah desa juga mengalami perubahan. Lembaga Musayawarah desa diganti menjadi suatu lembaga yang diberi nama badan perwakilan desa. Posisi lembaga ketahanan masyarakat desa belum tergantikan namun perannya semakin kecil dengan munculnya badan Perwakilan Desa.

Menurut R. Amin ( 2003 : 3 ) dalam makalah Prospek badan perwakilan desa terhadap penyelenggaraan pemerintah desa, mengembangkan otonomi desa dan perwujudan demokrasi pancasila di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang disingkat BPD. Hal yang menarik dari skema bari dari pemerintah desa adalah kehadiran BPD yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, manampung ada menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa (pasal 104, UU No. 22 Tahun 1999, Permendagri No. 64 Tahun 1999).

Dengan belajar dari pengalaman pemerintah desa membangun desa selama ini, maka rangkaian mengelindingnya era


(7)

reformasi sekarang ini merupakan momentum yang tepat untuk menata desa yang sekaligus memberi arah pembangunan masyarakat desa yang mengacu community development.

Upaya memperkuat desa selalu mengalami banyak persoalan hambatan dan dilema. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurang berperannya lembaga desa dalam menyambut perubahan yang ada. Beberapa upaya reformasi dan penataan ulang dari semangat dan aturan lama menuju ke semangat dan aturan baru tidak sepenuhnya dapat berjalan mulus. Secara internal pemerintah desa belum menemukan jati diri yang sebenarnya diera otonomi desa, dimana desa merupakan wilayah yang otonom dari pemerintah yang lebih atas sehingga desa mampu mengambil inisiasi, kreasi dan inovasi sesuai dengan semangat perubahan otonomi yang ada.

Secara ekternal desa belum mampu menjalin kerjasaman dengan desa lain yang saling mengantungkan ( sinergis ) di samping belum cukup pahamnya masyarakat tentang beberapa komponen otonomi desa antara lain mencakup demokrasi desa, ekonomi desa, manajemen pemerintahan desa dan pengelolaan sumber-sumber keuangan desa. Tidak jarang para pemimpin dan tokoh masyarakat desa banyak berpikir masih dengan cara lama. Akibatnya banyak terdapat penafsiran yang berbeda dalam mewarnai perubahan-perubahan, khususnya dalam hal keluasan, prakarsa, kreativitas pengelolaan pemerintah desa dan kemandirian desa, pemaknaan terhadap otonomi desa, tata cara penyelesaian kongflik diera banyak partai, pengelolaan sumber-sumber keuangan desa, kerjasama antara desa,serta efesiansi dan efektivitas birokrasi desa. Akibat lebih lanjut dari persoalan diatas adalah munculnya berbagai hambatan, kendala dan disorientasi pelaksanaan otonomi desa yeng menurut pemerintah dan masyarakat desa mampu mengelola setidaknya tiga hal, yitu kebijakan, sumber daya dan program.


(8)

Tatanan pemerintah yang demokratis-partisipasif bisa diwujudkan hanya melalui otonomi pada level grass roots diberikan dan perilaku dibudayakan. Dalam rangka itulah prinsip subsidiaritas dikampanyekan dimana-mana. Satu urusan harus diberikan kepada unit pemerintahan paling rendah ( yang artinya paling mudah dikelola secara partisipasif ). Level pemerintahan yang lebih tinggi diharapkan mengurusi persoalan-persoalan yang tidak bisa atau tidak akan optimal kalau ditangani oleh level yang lebih rendah. Semakin tinggi jenjang pemerintah, semakin jauh dari jangkauan partisipasi masyarakat, dan oleh karenanya semakin abstrak perannya. Peran pemerintah pada level paling tinggi adalah mengembangkan dan memelihara tatanan atau sistem yang memungkinkan berbagai aktivitas yang terdesentralisasikan berjalan secara optimal.

Campur tangan terhadap tata kehidupan dan penyelenggaraaan pemerintahan di desa, kini telah membudaya. Bukan hanya pihak yang melakukan campur tangan memiliki justifikasi heroik ( misalnya memajukan desa ) mengatasi ketertinggalan, modernisasi desa, dan sebagainya. Masyarakat desa sendiri tidak merasa urusannya di campuri. Hampir setiap tokoh telah terbiasa untuk memperlakukan desa sebagai sasaran dan objek, oada saat yang bersamaan, masyarakat desa sendiri juga banyak yang telah menikmati peran sebagai sasaran ataupun sebagai objek. ( Purwo santoso, kedaulatan rakyat, 20 mei 2003 ).

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberi ruang bagi pelaksanaan otonomi desa semakin terbuka ataukah sebaliknya dalam bungkus yang lebih demokratis. Dalam konteks seperti inilah masalah otonomi desa menjadi sangat bermakna untuk dikaji dan diteliti.


(9)

B. Permasalahan

Penulis bermaksud untuk mengkajinya dalam konteks tertentu, yakni pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang badan perwakilan desa dalam rangka pelaksanaan desa di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.

C. Pemecahan Masalah

Untuk melihat perubahan politik yang terjadi di desa dapat dilihat pada kejadian berikut ini. Pada pertegahan bulan Juli 2002, datanglah rombongan dari Desa Teluk Lancar Kecamatan Bantan ke Kantor Camat Bantan. Rombongan tersebut ternyata adalah Kepala Desa bersama dengan perangkat desa. Mereka sebelumnya telah meminta diberhentikan saja sebagai perangkat desa. Hal itu disebabkan karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap beberapa orang anggota Badan perwakilan Desa ( BPD ) yang menginginkan mereka dinonaktifkan. Karena merasa terisnggung perangkat tersebut ingin meletak jabatannya selaku perangkat desa. Disini badan perwakilan desa belum mengetahui tugas dan fungsinya secara jelas. Sebagaimana yang diatur didalam Perda Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Desa Teluk Lancar saja, di desa-desa yang lain juga terdapat permasalahan antara pemerintah desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Menurut analisa penulis, pergesekan ini terjadi berkemungkinan besar disebabkan miscommunication atau kesalahan pahaman terhadap suatu permasalahan, sebagai contoh kasus penonaktifkan Kepala Desa Telak Lancar oleh Badan Perwakilan Desa.

Sebagai suatu lembaga yang baru, tentulah organisasi badan perwakilan desa ini harus memulai langkah dari awal.


(10)

Tindakan-tindakan ang dilakukan lembaga ini terkadang membuat situasi di desa semakin memanas.

Melihat gejolak diatas, apakah sebenarnya yang telah terjadi ? Era reforemasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, membawa perubahan ke segenap lapisan pemerintahan. Perubahan ini juga dialami oleh pemerintahan desa. Dengan keluarnya Undang nomor 22 tahun 1999 ini maka Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan tidak berlaku lagi.

Organisasi/lembaga yang ada di Desa juga berubah, Lembaga masyarakat Desa yang dulunya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 , dirubah menjadi Badan Perwakilan Desa. Apakah perubahan ini hanya kulitnya saja, hal ini tidaklah demikian. Angin reformasi juga menghembus di Desa , transparansi dan demokratisasi juga didengungkan di desa-desa. Namun suatu hal yang sering terjadi yaitu reformasi yang salah arah. Sehingga muncul argumen-argumen, tindakan-tindakan yang sering keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Kesadaran masyarakat desa akan arti pentingnya keterbukaan dan transparansi semakin kuat. Penyelengaraan pemerintah Desa yang dulunya diatur menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, lebih menekankan penyeragaman dan pengawasan yang ketat serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri. Saat ini dinamika, transparansi dan semangat reformasi yang menekan pada prinsip desentralisasi, demokratisasi, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman desa harus dilaksanakan oleh Pemerintah. Selama ini pemerintah desa sering disebut one man show, memiliki partner yang selalu mengawasai pelaksanaan pemerintah di desa yaitu badan perwakilan desa.


(11)

Badan perwakilan desa dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, pada pasal 102 ayat ( 1 ) dinyatakan bahwa “ dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan desa”. Selanjutnya hal ini diatur pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 1999 tentang Pedoman umum pengaturan mengenai desa. Untuk Kabupaten Bengkalis, dasar pembentukan Badan Perwakilan Desa ( BPD ) adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000 tentang pedoman pembentukan Badan Perwakilan Desa, yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2001.

Sampai saat ini belum satupun Badan Perwakilan Desa yang dapat menghasilkan peraturan desa, hal ini perlu pembinaan yang teratur dan terarah dari pemerintah kabupaten maupun kecamatan. Kurangnya pembinaan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah tingkat atas akan memperlambat peningkatan kinerja badan perwakilan desa.

Sebagai suatu organisasi yang baru tumbuh di desa, badan perwakilan desa memulai semuanya dari nol. Perlu pembenahan dan pembinaan dari perintah tingkat atas seperti pemerintah kecamatan dan kabupaten. Kalau diamati secara seksama yang dibina ( develop) bukan hanya organisasinya akan tetapi juga termasuk orangnya (sikap, persepsi dan motivasinya ).

Jadi dapat dikatakan bahwa Badan Perwakilan Desa sebagai sebuah lembaga yang baru didirikan di desa, berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tersebut, harus melalui proses perencanaan jangka panjang dalam pembinaannya, sehingga nantinnya badan perwakilan desa ini diharapkan mencapai efektifitas yang dibutuhkan oleh masyarakat desa khususnya dan pemerintah umumnya.

Selanjutnya sarana dan prasarana yang dimiliki badan perwakilan desa pun sangat terbatas sekali. Dengan bantuan uang


(12)

operasional sebesar Rp. 12.000.000,- pertahunnya. Tanpa uang gaji dan penghasilan yang tetap anggota badan perwakilan desa dituntut untuk kerja dengan beban tugas yang berat.

Fasilitas kantorpun belum disediakan oleh pemerintah kabupaten ,kantor yang merupakan sarana mutlak bagi suatu lembaga belum sepenuhnya terealisir, baru 2 desa yang memiliki kantor badan perwakilan desa sedangkan sisanya sebanyak 7 Desa, kantor badan perwakilan desa kadang kadang berkantor dirumah Ketua Badan Perwakilan Desa.

D. KESIMPULAN

Bahwa dengan kejadian penonaktifan Kepala Desa Lek Lancar dan mogoknya seluruh aparat Pemerintah Desa Teluk Lancar yang ingin meletakkan jabatannya dapat disipulkan anatara lain : 1. Bahwa konflik politik yang selama ini terjadi pada level

pemerintahan tingkat atas (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), sekarang sudah menjalar pada level Desa.

2. Badan Perwakilan Desa secara structural merupakan sutau kekauatan baru yang ada di desa dan bisa menjadi oposisi di desa. 3. Badan Perwakilan Desa merupakan sarana demokrasi yang ada di

desa, maka dari saat ini pelaksanaan Pemerintahan Desa harus transparan, Kepala Desa tidak bisa lagi sendirian bekerja “ One Man Show”.

4. Supaya pelajaran demokrasi di desa lebih terarah dan sesuai dengan jalurnya maka aparat pemerintahan Desa secepat mungkin harus dibekali dan dilatih tentang manajemen Pemerintahan Desa. Sehingga nantinya di desa bukan lagi tempat untuk salaing menjatuhkan antara BPD dan Kepala Desa, karena tentulah hal ini akan merugikan masyarakat desa.

5. Khusus anggota Badan Perwakilan Desa harus secepatnya diberdayakan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan sehingga kinerja BPD menjadi meningkat.


(13)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, Makalah Prospek Badan Perwakilan Desa terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pekanbaru, 2003.

Heri, Z, dkk, Parlemen Desa, Universitas Riau, Pekanbaru, 2003.

Lapera, Otonomi Pemberian Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

Widjaja, HAW, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli dan Utuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003


(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

H. Muhammad Fadhli, S.Sos, M.Si bin Bachrumsyah, dengan panggilan hari-hari IIK, lahir di Bengkalis pada tanggal 07 Januari 1972. Menikah tanggal 8 Agustus 1997 dengan seorang wanita yang bernama Hj. Dian Darayanti Binti Ajbar Elwalid, dikarunia 3 (tiga) orang cahaya mata yaitu: (1) Siti Fahma Diani, (2) Muhammad Fandi Fadhli, dan (3) Muhammad Fatahilah Fadhli . Menamatkan SD, SMP

dan SMA di Bengkalis. Menamatkan pendidikan Diploma 3 (D3) STPDN Jatinangor Jawa Barat tahun 1994, pendidikan Srata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (Fisipol USU) Tahun 1999 di Medan. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pernah bekerja sebagai sebagai Kasubsi Perekonomian dan Produksi kantor Camat Bukit Batu Kabupaten Bengkalis selama dua tahun, berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Subbag Mutasi Pegawai pada Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 1999-2001. Menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) di Program Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau (Fisipol UNRI) pada tahun 2005 . Memperoleh kesempatan menjabat Sekretaris Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Eselon IV/a) dari Tahun 2002 sampai dengan 2003. Tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan Desember 2007 dipromosikan menjabat Camat Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.Camat Bukit Batu pada tahun 2007 – 2008 dan Camat Bengkalis tahun 2008. Menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Bengkalis (Eselon III/a) akhir Desember Tahun 2008 sampai dengan 17 September 2010. Kemudian menjadi fungsional di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bengkalis selama satu tahun, staf pada Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik selama 1 tahun dan pada tanggal 8 Juni 2012 dipindahkan ke Badan Diklat dan Kepegawaian Kab. Bengkalis sebagai Widyaiswara sampai dengan sekarang.


(1)

B. Permasalahan

Penulis bermaksud untuk mengkajinya dalam konteks tertentu, yakni pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang badan perwakilan desa dalam rangka pelaksanaan desa di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.

C. Pemecahan Masalah

Untuk melihat perubahan politik yang terjadi di desa dapat dilihat pada kejadian berikut ini. Pada pertegahan bulan Juli 2002, datanglah rombongan dari Desa Teluk Lancar Kecamatan Bantan ke Kantor Camat Bantan. Rombongan tersebut ternyata adalah Kepala Desa bersama dengan perangkat desa. Mereka sebelumnya telah meminta diberhentikan saja sebagai perangkat desa. Hal itu disebabkan karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap beberapa orang anggota Badan perwakilan Desa ( BPD ) yang menginginkan mereka dinonaktifkan. Karena merasa terisnggung perangkat tersebut ingin meletak jabatannya selaku perangkat desa. Disini badan perwakilan desa belum mengetahui tugas dan fungsinya secara jelas. Sebagaimana yang diatur didalam Perda Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Desa Teluk Lancar saja, di desa-desa yang lain juga terdapat permasalahan antara pemerintah desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Menurut analisa penulis, pergesekan ini terjadi berkemungkinan besar disebabkan miscommunication atau kesalahan pahaman terhadap suatu permasalahan, sebagai contoh kasus penonaktifkan Kepala Desa Telak Lancar oleh Badan Perwakilan Desa.

Sebagai suatu lembaga yang baru, tentulah organisasi badan perwakilan desa ini harus memulai langkah dari awal.


(2)

Tindakan-tindakan ang dilakukan lembaga ini terkadang membuat situasi di desa semakin memanas.

Melihat gejolak diatas, apakah sebenarnya yang telah terjadi ? Era reforemasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, membawa perubahan ke segenap lapisan pemerintahan. Perubahan ini juga dialami oleh pemerintahan desa. Dengan keluarnya Undang nomor 22 tahun 1999 ini maka Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan tidak berlaku lagi.

Organisasi/lembaga yang ada di Desa juga berubah, Lembaga masyarakat Desa yang dulunya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 , dirubah menjadi Badan Perwakilan Desa. Apakah perubahan ini hanya kulitnya saja, hal ini tidaklah demikian. Angin reformasi juga menghembus di Desa , transparansi dan demokratisasi juga didengungkan di desa-desa. Namun suatu hal yang sering terjadi yaitu reformasi yang salah arah. Sehingga muncul argumen-argumen, tindakan-tindakan yang sering keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Kesadaran masyarakat desa akan arti pentingnya keterbukaan dan transparansi semakin kuat. Penyelengaraan pemerintah Desa yang dulunya diatur menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, lebih menekankan penyeragaman dan pengawasan yang ketat serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri. Saat ini dinamika, transparansi dan semangat reformasi yang menekan pada prinsip desentralisasi, demokratisasi, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman desa harus dilaksanakan oleh Pemerintah. Selama ini pemerintah desa sering disebut one man show, memiliki partner yang selalu mengawasai pelaksanaan pemerintah di desa yaitu badan perwakilan desa.


(3)

Badan perwakilan desa dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, pada pasal 102 ayat ( 1 ) dinyatakan bahwa “ dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan desa”. Selanjutnya hal ini diatur pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 1999 tentang Pedoman umum pengaturan mengenai desa. Untuk Kabupaten Bengkalis, dasar pembentukan Badan Perwakilan Desa ( BPD ) adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 18 tahun 2000 tentang pedoman pembentukan Badan Perwakilan Desa, yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2001.

Sampai saat ini belum satupun Badan Perwakilan Desa yang dapat menghasilkan peraturan desa, hal ini perlu pembinaan yang teratur dan terarah dari pemerintah kabupaten maupun kecamatan. Kurangnya pembinaan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah tingkat atas akan memperlambat peningkatan kinerja badan perwakilan desa.

Sebagai suatu organisasi yang baru tumbuh di desa, badan perwakilan desa memulai semuanya dari nol. Perlu pembenahan dan pembinaan dari perintah tingkat atas seperti pemerintah kecamatan dan kabupaten. Kalau diamati secara seksama yang dibina ( develop) bukan hanya organisasinya akan tetapi juga termasuk orangnya (sikap, persepsi dan motivasinya ).

Jadi dapat dikatakan bahwa Badan Perwakilan Desa sebagai sebuah lembaga yang baru didirikan di desa, berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tersebut, harus melalui proses perencanaan jangka panjang dalam pembinaannya, sehingga nantinnya badan perwakilan desa ini diharapkan mencapai efektifitas yang dibutuhkan oleh masyarakat desa khususnya dan pemerintah umumnya.


(4)

operasional sebesar Rp. 12.000.000,- pertahunnya. Tanpa uang gaji dan penghasilan yang tetap anggota badan perwakilan desa dituntut untuk kerja dengan beban tugas yang berat.

Fasilitas kantorpun belum disediakan oleh pemerintah kabupaten ,kantor yang merupakan sarana mutlak bagi suatu lembaga belum sepenuhnya terealisir, baru 2 desa yang memiliki kantor badan perwakilan desa sedangkan sisanya sebanyak 7 Desa, kantor badan perwakilan desa kadang kadang berkantor dirumah Ketua Badan Perwakilan Desa.

D. KESIMPULAN

Bahwa dengan kejadian penonaktifan Kepala Desa Lek Lancar dan mogoknya seluruh aparat Pemerintah Desa Teluk Lancar yang ingin meletakkan jabatannya dapat disipulkan anatara lain : 1. Bahwa konflik politik yang selama ini terjadi pada level

pemerintahan tingkat atas (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), sekarang sudah menjalar pada level Desa.

2. Badan Perwakilan Desa secara structural merupakan sutau kekauatan baru yang ada di desa dan bisa menjadi oposisi di desa. 3. Badan Perwakilan Desa merupakan sarana demokrasi yang ada di

desa, maka dari saat ini pelaksanaan Pemerintahan Desa harus transparan, Kepala Desa tidak bisa lagi sendirian bekerja “ One Man Show”.

4. Supaya pelajaran demokrasi di desa lebih terarah dan sesuai dengan jalurnya maka aparat pemerintahan Desa secepat mungkin harus dibekali dan dilatih tentang manajemen Pemerintahan Desa. Sehingga nantinya di desa bukan lagi tempat untuk salaing menjatuhkan antara BPD dan Kepala Desa, karena tentulah hal ini akan merugikan masyarakat desa.

5. Khusus anggota Badan Perwakilan Desa harus secepatnya diberdayakan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan sehingga kinerja BPD menjadi meningkat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, Makalah Prospek Badan Perwakilan Desa terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pekanbaru, 2003.

Heri, Z, dkk, Parlemen Desa, Universitas Riau, Pekanbaru, 2003.

Lapera, Otonomi Pemberian Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

Widjaja, HAW, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli dan Utuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

H. Muhammad Fadhli, S.Sos, M.Si bin Bachrumsyah, dengan panggilan hari-hari IIK, lahir di Bengkalis pada tanggal 07 Januari 1972. Menikah tanggal 8 Agustus 1997 dengan seorang wanita yang bernama Hj. Dian Darayanti Binti Ajbar Elwalid, dikarunia 3 (tiga) orang cahaya mata yaitu: (1) Siti Fahma Diani, (2) Muhammad Fandi Fadhli, dan (3) Muhammad Fatahilah Fadhli . Menamatkan SD, SMP

dan SMA di Bengkalis. Menamatkan pendidikan Diploma 3 (D3) STPDN Jatinangor Jawa Barat tahun 1994, pendidikan Srata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (Fisipol USU) Tahun 1999 di Medan. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pernah bekerja sebagai sebagai Kasubsi Perekonomian dan Produksi kantor Camat Bukit Batu Kabupaten Bengkalis selama dua tahun, berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Subbag Mutasi Pegawai pada Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 1999-2001. Menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) di Program Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau (Fisipol UNRI) pada tahun 2005 . Memperoleh kesempatan menjabat Sekretaris Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Eselon IV/a) dari Tahun 2002 sampai dengan 2003. Tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan Desember 2007 dipromosikan menjabat Camat Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.Camat Bukit Batu pada tahun 2007 – 2008 dan Camat Bengkalis tahun 2008. Menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Bengkalis (Eselon III/a) akhir Desember Tahun 2008 sampai dengan 17 September 2010. Kemudian menjadi fungsional di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bengkalis selama satu tahun, staf pada Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik selama 1 tahun dan pada tanggal 8 Juni 2012 dipindahkan ke Badan Diklat dan Kepegawaian Kab. Bengkalis sebagai Widyaiswara sampai dengan sekarang.