T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan apa yang disebutkan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 bahwa “ Indonesia adalah
negara

hukum”.

Ketentuan

pasal

tersebut

merupakan

landasan

konstitusional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan

main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (supremacy of law).
Indonesia juga merupakan Negara dengan begitu banyak budaya,
agama, suku maupun adat istiadat. Kehidupan masyarakat Indonesia sangat
beragam khususnya masyarakat adat yang menggunakan hukum adat yang
sangat beraneka ragam antar satu masyarakat adat dengan adat lainnya
untuk mengatur kehidupan mereka dalam bermasyarakat untuk mencapai
kehidupan yang adil, makmur dan mencapai kesejahteraan. Sebagai Negara
yang menganut pluralitas termasuk dibidang hukum sampai saat ini masih
mengakui keberadaan hukum Barat dan Hukum adat, sehingga dalam
praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk
mengelola ketertiban di lingkungan masyarakat adat. Sebagai Negara yang
majemuk dan memiliki bermacam adat dan budaya, termasuk hukum
adatnya masing-masing sangat mencerminkan pola dan tingkah laku
masyarakatnya.

Penyelidikan Van Vollenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan
bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah
Republik Indonesia, yaitu terbatas pada kepulauan nusantara kita.1 Hukum
adat di Indonesia itu tidak saja bersemayam dalam hati nurani perasaan
orang Indonesia yang jadi warga Negara (Republik) Indonesia (staatsrctelijk

Indonesier) di segala penjuru nusantara kita, tetapi juga tersebar dan
menjalar sampai-sampai di gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan
disebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagaskar) disebelah Barat Lautan
Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas disebelah Timur sampai dekat
Amerika Selatan dikepulauan Paas, dianut dan dipertahankan oleh orang
Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch Indonesiel.2 Menurut
Soepomo Dalam karyanya “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum
adat “berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di
dalam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan yang hidup
meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum3. Hukum di Indonesia adalah suatu
keharusan dimana semua masyarakat yang berada dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk melakukan aktivitasnya harus selalu menjadikan
hukum sebagai patokan atau batas-batas untuk bertindak maupun tidak
bertindak sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditetapkan, khususnya
hukum pidana yang didalamnya diatur mengenai tindakan-tindakan yang
1

Busyar Muhammad, SH., Pengantar Hukum Adat, PT. Penerbit dan Balai Buku

“Ichtiar”, jilid I, Cetakan Pertama, Jakarta, 1961, hlm. 39.
2
Ibid, Hal. 39.
3
Lihat, http://riksaaneh.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-hukum-adat-menurut-paraahli.html, dikunjungi pada hari rabu 9 november 2016, pukul 21:56 WIB.

tidak boleh dilakukan oleh masyarakat salah satunya adalah pembunuhan,
apabila ada masyarakat yang melakukan pembunuhan terhadap warga dalam
masyarakat maka akan dikenakan sanksi pidana.
Namun yang menjadi masalah serius yang ingin dikaji oleh penulis
adalah, dalam masyarakat Indonesia masih ada masyarakat yang hidup dan
menggunakan hukum adat sebagai patokan dan batas-batas untuk
masyarakat adat dalam bertindak dan melakukan hal-hal yang dilarang
dalam masyarakat adat tersebut, karena ada hukum adat dalam masyarakat
tersebut yang sudah dipakai selama turun temurun. Menurut Soepomo
dengan mengutip pendapat Soekanto, salah satu unsur yang menjadi dasar
sistem hukum adat adalah sifat kebersamaan yang kuat yang meliputi
seluruh lapangan hukum adat4.
Setelah Indonesia memasuki era reformasi dan pasca amandemen
kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI 1945) ketentuan yang mengatur tentang hukum adat diatur
dalam asal 18B ayat (2), pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang”5. Selain itu, dalam beberapa undang-undang juga
mengatur pengakuan dan keberlakuan hukum adat, misalnya dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal

Ali Abubakar Medya Syaari’ah, Jurnal, Hukum Islam dan Pranata Sosial, “
Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Adat Aceh” Fa. Syari’ah, vol. XII No. 23 Januari-Juni
2010, hal. 36.
5
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
4

5 yang berbunyi “Hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu yang tercantum dalam UndangUndang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.6
Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks
norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan masyarakat adat yang
selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku masyarakat adat dalam
kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai
akibat hukum atau sanski. Menurut Cornelis van Vollenhoven, hukum adat
adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan Timur
Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)7.
Hukum adat tersebut dapat diterapkan

untuk menyelesaikan kasus

Pembunuhan dalam lingkungan masyarakat adat. Dalam keseharian mereka
hukum yang dipakai dalam masyarakat itu apabila terjadi pembunuhan
adalah “mata ganti mata, gigi ganti gigi” dalam bahasa daerah setempat
disebut dengan kata “Epkeret”, sanksi adat Epkeret ini sendiri lahir karena
adanya perbuatan yang didaerah setempat disebut dengan “Fah rahat”
artinya pertumpahan darah harus dibalaskan dengan pertumpahan darah.
Fah rahat berasal dari dua kata yaitu Fahan artinya tangan dan rahan

6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Dewi C Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Reifika Aditama,
Bandung, 2010, hal. 3-4.
7

artinya darah, jadi secara harafiah artinya tangan yang menumpahkan darah.
Dengan kata lain orang yang melakukan pembunuhan

(menumpahkan

darah) dalam konteks masyarakat adat setempat di sebut sebagai orang yang
melakukan Fah rahat, atau menumpahkan darah orang lain. Apabila terjadi
Fah rahat atau pembunuhan sepanjang belum ada penyelesaian maka pihak
korban terus berupaya untuk melakukan pembalasan.
Akibatnya lingkungan setempat tidak aman dan menimbulkan
ketidaktentraman dalam masyarakat. Untuk menciptakan perdamaian
diantara keluarga pelaku dan keluarga korban maka kedua belah pihak
membawa masalahnya kepada Tua-tua adat untuk diselesaikan. Untuk

sampai pada tingkat perdamaian, antara keluarga pelaku dan keluarga
korban maka didepan siding adat tua-tua adat memutuskan untuk membuat
penyelesaian menggunakan hukum adat “Epkeret” yaitu pihak pelaku
mendirikan seseorang pengganti di depan sidang adat atau mensubstitusikan
pengganti untuk keluarga korban, hukuman ini wajib untuk dijalankan
dalam artian apabila seorang warga masyarakat adat dibunuh oleh warga
masyarakat adat lain dalam komunitas masyarakat adat tersebut maka,
keluarga dari warga adat yang membunuh akan mengganti orang yang telah
dibunuh, apabila yang dibunuh laki-laki maka keluarga dari warga adat yang
membunuh harus mengganti seorang laki-laki, apabila perempuan harus
diganti dengan seorang perempuan di depan persidangan adat. Kata
“Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak artinya mendekat keret
mendirikan secara harafiah mendekati keluarga korban untuk mendirikan
pengganti. Terhadap pembunuhan maka sanksi adat “Epkeret” ini harus

dilakukan untuk memulihkan hubungan antar warga adat dalam masyarakat
adat setempat, jika tidak dilakukan sanksi adat “Epkeret” maka, lambat atau
cepat akan ada suatu pembalasan dendam oleh keluarga korban yang
dibunuh dan hal ini akan terus berlanjut secara terus menerus sampai dengan
dijalaninya sanksi adat “Epkeret” Untuk mencegah terjadinya tindakan

pembalasan dendam maka sanksi adat “Epkeret” harus dijalankan, agar
hubungan antar warga dalam masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan
kembali berjalan dengan baik untuk menyudahi dendam dan permusuhan
antar warga dalam masyarakat adat.
Sanksi adat “Epkeret” memang diberikan kepada keluarga pelaku
pembunuhan oleh karena itu, orang yang mengganti (substitusi)

harus

dipersiapkan dengan baik oleh keluarga pelaku, jika sudah disiapkan dengan
baik maka keluarga pelaku memberitahukan keluarga korban untuk
melakukan sanksi adat “Epkeret” yang dihadiri oleh Keluarga korban dan
keluarga pelaku, tua-tua adat, pemerintah, tokoh-tokoh agama dan
masyarakat. Semua ini dimaksudkan agar kedamaian dan kekeluargaan
yang ada dalam masyarakat tidak terganggu oleh pembunuhan. Oleh karena
itu, sanksi adat “Epkeret” adalah sebuah jalan damai untuk mengakhiri
permusuhan dan balas dendam antara pihak korban dan pelaku. Ketentuan
ini di pegang teguh oleh masyarakat adat setempat karena mengandung
pesan dan makna bahwa kematian akibat pembunuhan adalah penurunan
derajat kehidupan yang tidak bisa diterima begitu saja oleh pihak korban

dan karena itu harus dilakukan pembalasan untuk memulihkan derajat
kehidupannya.

Pemahaman masyarakat adat setempat bahwa pembalasan dendam
keluarga korban terhadap keluarga pelaku adalah bagian dari pemulihan
derajat kehidupan dari pihak keluarga korban. Pemberlakuan hukuman atau
sanksi adat “Epkeret” untuk Masyarakat adat di Pegunungan Kabupaten
Buru Selatan bertujuan meminta pertanggungjawaban bagi pelaku
pembunuhan atas perbuatannya oleh karena itu sanksi adat “Epkeret” adalah
hukuman yang memiliki nilai kemanusian karena manusia yang meninggal
(korban) diganti dengan manusia yang masih hidup. Selain sanksi adat
“Epkeret” apabila keluarga pihak pelaku tidak memiliki orang pengganti,
maka dilakukan pembicaraan antara kedua belah pihak untuk menggantinya
dengan sanksi berikut yang oleh tua-tua adat setempat disebut, “Rahe nefu”
terdiri dari dua kata yaitu Rahe artinya tanah dan nefu atau tefu artinya
tebusan. Dalam pengertian itu maka apabila sanksi “Epkeret” tidak
terlaksana maka kemudian dilakukan sanksi berikut adalah Rahe nefu yaitu
pihak pelaku akan menyerahkan sebidang tanah sebagai pengganti bagi
pihak korban. Tanah dapat diterima sebagai tebusan bagi sikorban, karena
dalam pemahaman masyarakat adat setempat tanah adalah


asal

mula

manusia. Selain itu diatas tanah tersebut dapat dilalukan banyak untuk
menopang kehidupan keluarga korban, dengan kata lain tanah yang
diberikan menjadi jaminan hidup bagi keluarga korban. Seperti diketahui
bahwa pergantian menggunakan tanah sebagai tebusan dilakukan melalui
musyawarah keluarga (marga) apabila disepakati maka yang menyerahkan
tanah kepada keluarga korban adalah kepala marga atau dalam bahasa
setempat disebut Kepala Soa. Dua bentuk sanksi adat diatas yakni Epkeret

dan Rahe nefu dalam konteks masyarakat adat di daerah pegunungan Buru
Selatan masih dipelihara dan di pakai dalam penyelesaian kasus
pembunuhan. Ter Haar dalam pidato Dies Natalies Rechtshogeschool,
Batavia 1937, yang berjudul Het Adat recht van Nederlandsch Indie in
wetenschap, pracktijk en onderwijs, menurutnya hukum adat adalah seluruh
peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh
wibawa yang dalam pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa

adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya mengikat sama
sekali.8 Definissi Ter Haar tersebut kemudian dikenal dengan nama
beslissingenleer. menurut ajaran ini, hukum adat dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis (terdiri dari peraturan-peraturan desa, suratsurat perintah raja) merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti
luas).9 Dalam Hukum adat keputusan diambil berdasarkan nilai-nilai yang
hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggotaanggota persekutuan adat.
Berkaitan dengan hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat
yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh warga masyarakat adat
yaitu hukum adat “ mata ganti mata, gigi ganti gigi “, atau dalam bahasa
setempat disebut dengan “Epkeret” yang lahir sebagai akibat dari perbuatan
“Fah rahat” atau pembunuhan dan melahirkan sanksi adat “Epkeret” yang
terjadi dalam masyarakat adat tersebut, jika dikaitkan dengan pasal 4
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
8

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini,dan Akan Datang, Prenadamedia
Group, Jakarta, Cetakan ke-1, 2014, hal. 4.
9
Ibid., hal. 5.

disebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun. Itu berarti pengenaan sanksi adat “ Epkeret “, apakah dirasakan
adil bagi orang yang di dirikan selaku orang yang mengganti (substitusi)
untuk keluarga korban dalam hal pembunuhan yang dilakukan oleh anggota
keluarganya. Apakah orang yang menjadi pengganti korban pembunuhan,
dan yang akan menjadi pengganti ini terpenuhi seluruh aspek kehidupan
oleh keluarga yang akan menerimanya menjadi bagian dari keluarga yang
menerimanya, setelah adanya pengenaan sanksi “Epkeret” khususnya
dalam hal hidupnya, pendidikannya, maupun dalam hal-hal untuk tidak
diperbudak.
Terkait dengan masalah ini berbicara soal keadilan itu sangat relatif
dikarenakan salah satu pihak yang merasa dirugikan terhadap adanya
pembunuhan ini akan merasa sangat adil dengan adanya sanksi adat
“Epkeret” akan tetapi belum tentu dilain pihak akan merasa adil terhadap
pengenaan sanksi “Epkeret”. Memang diakui bahwa keadilan yang paling
tinggi adalah keadilan menurut hukum Tuhan, sementara disisi lain dan
keputusan yang diambil

menurut manusia belum tentu juga menurut

masyarakat adat, keputusan peradilan adat efektif karena dampak putusan
dan sanksi sosial langsung dirasakan sebagai sesuatu yang

adil. Sudah

saatnya masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan mempunyai kesadaran

tinggi tentang hukum maupun hukum adat sebagai hukum yang hidup dan
mempunyai kekuatan dalam hal kemanfaatan terhadap terjadinya tindakan
pencegahan pembalasan dendam dari pihak yang anggota keluarganya
menjadi korban. Persoalan kemudian adalah apakah dengan adanya
pencegahan pembalasan dendam akan berlaku keadilan bagi yang menjalani
sanksi “Epkeret”. Terkait dengan penerapan sanksi Epkeret diatas maupun
Rahe nefu, memang ada hal yang positif yakni para pihak menyadari bahwa
setiap perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain bertentangan
dengan hukum dan karena itu penuh dengan resiko baik moral maupun
materiil.
Berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka
penulis terdorong untuk melakukan kajian terhadap Penggunaan Sanksi adat
dalam masyarakat adat yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan
mengangkat

judul

“PENGENAAN

SANKSI

ADAT

“EPKERET”

TERHADAP KASUS PEMBUNUHAN DALAM MASYARAKAT ADAT
DI PEGUNUNGAN BURU SELATAN”

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis mencoba merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dari penerapan konsep
Restorative Justice terkait dengan eksistensi hukum adat terhadap
Pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus pembunuhan dalam
Masyarakat adat di Pegunungan Buru Selatan

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap
pengenaan sanksi adat “Epkeret“ terhadap kasus Pembunuhan dalam
Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan, dengan konsep Restoratif
Justice.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan
sumbangan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, terkait dengan hukum
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang sudah secara turun
temurun ditaati yaitu adanya Pengenaan Sanksi Adat “ Epkeret “ terhadap
kasus pembunuhan dalam masyarakat adat di pegunungan Buru Selatan.

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk
menambah pengetahuan untuk masyarakat adat di pegunungan Buru
Selatan, akan tetapi juga untuk menambah pengetahuan untuk setiap orang
yang membaca penelitian ini, untuk dapat lebih memahami hukum adat
yang berkembang dan bertumbuh di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan harapan bahwa kehidupan masyarakat adat daerah pegunungan
Buru Selatan lebih memahami pentingnya kehidupan yang lebih baik antar
sesama masyarakat dalam komunitas masyarakat hukum adat, dengan

adanya pengenaan sanksi “Epkeret“ yaitu adanya pergantian orang,
sebagai akibat dari pembunuhan.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu :
1. Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan Yuridis-sosiologis artinya suatu penelitian yang dilakukan
terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan
maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian
menuju pada identifikasi (problem-identification),dan menggambarkannya
(to describe).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum yang tumbuh dan
berkembang secara turun temurun dalam masyarakat adat Pegunungan
Buru Selatan yang selama ini menjadi pedoman untuk bagaimana
masyarakat adat untuk bertindak, dan juga sanksi yang dikenakan apabila
ada pelanggaran terhadap apa yang sudah menjadi batasan untuk suatu
perbuatan, yaitu Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret”

terhadap Kasus

Pembunuhan dalam Masyarakat Adat Pegunungan di Buru Selatan.

2. Jenis Penelitian
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian
yang memberikan gambaran rinci tentang fakta-fakta tentang hukum yang
tidak tertulis berdasarkan hukum berlaku dalam masyarakat, yang terkait

dengan pidana adat. Penelitian deskriptif sendiri adalah penelitian yang
bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan
pada saat tertentu.10

3. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan
penelitian secara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam
penelitian ini agar dapat memperoleh data-data akurat dan konkret
mengenai

masalah

penelitian.

Dalam

hal

ini

Matgugul

(raja tanah), Kepala Soa, tua-tua adat, orang yang didirikan sebagai
pengganti, pelaku, keluarga korban, pemerintah, dan pihak
Kepolisian).
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan terhadap berbagai macam literatur yang berkaitan
dengan tujuan penelitian seperti dokumen, artikel, buku-buku,
kamus-kamus hukum, sumber lainnya yang berkaitan dengan
masalah dan tujuan penelitian.

2. Sumber Data
a. Penelitian Pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai
buku, artikel, jurnal-jurnal hukum, dan artikel yang berkaitan
dengan masalah dan tujuan penelitian.
10

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cetakan 3, Jakarta:
Sinar Grafika, 2002, hal. 8-9.

b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu pengumpulan data
dengan mengamati secara sistematis fenomena-fenomena yang
diselidiki.

4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan dengan membaca serta mengkaji
berbagai macam literatur yang relevan dan berhubungan langsung
dengan masalah penelitian yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
b. Wawancara
Wawancara dimaksud untuk memperoleh keterangan,
pendirian, pendapat, secara lisan dari seseorang (yang lazim
disebut dengan responden) dengan berbicara langsung (face to
face) dengan orang tersebut.11 Wawancara ini ditujukan kepada
tokoh-tokoh adat, masyarakat adat serta pihak-pihak yang terkait
dengan masalah penelitian

11

Suyanto dan Sutinah, (Metode penelitian sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan),
Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 55-56 dan 69.

F. SISTEMATIKA PENULISAN
1. BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini berisikan urain orientasi tentang
penelitian yang akan dilakukan, meliputi :
a. Latar belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penelitian
d. Manfaat Penelitian
e. Metode Penelitian
2. BAB II : Bab ini berisikan uraian pembahasan atau analisis terhadap
permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa
tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Pengenaan sanksi adat
“Epkeret”

terhadap kasus Pembuhunan dalam Masyarakat Adat di

Pegunungan Buru Selatan.
3. BAB III : Bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran penulis.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25