Kepemimpinan Berkarakter Sebuah Kajian a

Kepemimpinan Berkarakter
(Sebuah Kajian awal Untuk Fondasi Pendidikan Karakter di
Indonesia)
Oleh: Dr. H. Johar Permana, MA dan Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd.

A. Pendahuluan
Kepemimpinan pendidikan merupakan istilah yang sering dikaji dalam
berbagai

referensi

Pendidikan.”

akademik,

Apabila

khususnya

ditelusuri,


kajian

dalam
ini

kajian

mengarah

“Administrasi
pada

makna

kepemimpinan di sekolah atau di lembaga pendidikan, yaitu kepemimpinan
kepala

sekolah

kepemimpinan


dan
level

guru.
sekolah

Kepemimpinan
sedangkan

kepala

sekolah

kepemimpinan

adalah

guru


adalah

kepemimpinan level kelas. Kepemimpinan pada organisasi pendidikan dan
organisasi non-pendidikan seharusnya memberikan model kepemimpinan
yang berbeda dikarenakan konteks organisasi yang berbeda. Semisal,
kepemimpinan di bank tentu akan berbeda dengan kepemimpinan di SD,
demikian halnya kepemimpinan di perusahaan sangat berbeda dengan
kepemimpinan di SMP. Perbedaan ini tidak semata karena karakteristik
organisasi yang berbeda, tetapi juga karena layanan jasa pada lembaga
pendidikan salah satu prosesnya adalah kepemimpinan itu sendiri. Kajian ini
akan memposisikan tentang hakikat kepemimpinan di dalam pendidikan,
khususnya pendidikan dalam konteks Indonesia saat ini.
Fenomena sistem sosial yang tampak rusak saat ini bukanlah suatu hal yang
terlepas dari peran serta sekolah. Pendidikan Indonesia yang dicitrakan
sebagian besarnya oleh pendidikan persekolahan memberikan andil yang
cukup

besar

ketidakberhasilan


terhadap

keberhasilan

pembangunan

bangsa.

pembangunan

bangsa

Ketidakberhasilan

atau

pendidikan,

bukan saja karena pendidikan di nusantara ini belum merata untuk semua

orang di semua tempat, termasuk di pelosok, tetapi juga ditandai dengan
rendahnya akhlak (moral) penduduk, baik usia sekolah atau setelah lulus
sekolah. Hal ini dapat dianalisis lebih lanjut, bahwasanya pendidikan
merupakan

investasi

jangka

panjang.

Artinya

keuntungan

investasi

pendidikan saat ini baru akan terasakan oleh anak, orang tua, masyarakat
dan pemerintah setelah ia menamatkan jenjang pendidikan tertentu,


misalnya pendidikan dasar sembilan (9) tahun. Setelah seorang anak
menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, barulah ia dapat merasakan
keuntungan investasi selama sembilan tahun mengalami proses pendidikan,
yaitu enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP. Keuntungan dari investasi
selama 9 tahun proses, saat ini banyak banyak diindikasikan/diukur dengan
ijazah SMP yang diterima anak dan/atau keterserapan anak pada sekolah
menengah atas yang dikategorikan pavorit. Walaupun demikian, ini hanyalah
sebagian kecil dari keuntungan investasi pendidikan dasar. Hanya saja jangan
sampai kita melupakan yang pokok, yaitu kuatnya fondasi perilaku yang
mencerminakan sebagai anggota keluarga, masyarakat, Negara dan dunia.
Dengan demikian, perilaku masyarakat saat ini merupakan hasil pendidikan
di masa lalu, antara 9 sampai dengan 16 tahun ke belakang. Pengamatan
terhadap

kecenderungan

perilaku

masyarakat


saat

ini

banyak

dinilai

masyarakat mengalami penurunan moral (akhlak). Hal ini tentu saja perlu
dianalisis lebih lanjut, apakah perilaku masyarakat saat ini dipengaruhi oleh
perilaku guru, kepala sekolah, dan warga sekolah lainnya selama ia mengikuti
proses pendidikan, baik di SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, maupun di
perguruan tinggi (PT).

B. Analisis Kritis Masalah Penting Untuk Pendidikan Indonesia Saat
ini
Arah pembangunan pendidikan Indonesia saat ini dapat diketahui dari
dokumen negara dan praktik pendidikan secara nyata di lembaga-lembaga
pendidikan yanga ada. Dokumen negara dapat dilihat dalam bentuk
peraturan dan perundang-undang yang membidangi atau terkait dengan

masalah pendidikan. Praktik nyata pendidikan dapat dilihat/diobservasi
secara langsung dari proses pendidikan saat ini. Dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan

nasional

dijelaskan

bahwa

“Pendidikan

nasional

adalah

pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan

zaman.” (UUSPN No. 20/2003 Pasal 1 ayat 2). Secara hakiki, pendidikan
nasional berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara utuh
sebagaimana dijelaskan pada ayat 1 “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”
Undang-undang tersebut seharusnya menjadi suatu landasan bagi proses
pendidikan yang berlangsung di Indonesia semenjak diberlakukan. Namun
demikian, hal ini tentu berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh para
pendidik di sekolah saat ini. Satu pertanyaan untuk menguji apakah
pendidikan di Indonesia secara hakiki dilandaskan pada UUSPN No. 20 tahun
2003 adalah “apakah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru saat ini
ditujukan untuk menjadikan potensi peserta didik berkembang sebagaimana
mestinya atau ditujukan untuk menyampaikan materi yang dipersepsi oleh
guru-guru menjadi tugas pokok guru di sekolah?” tentu saja kedua aktivitas
yang dilakukan guru sebagaimana ditanyakan di atas berbeda dalam bentuk
layanan terhadap peserta didik. Analisis tentang hal ini merupakan faktor

pertama

yang

harus

dikaji untuk

mengidentifikasi

kesesuaian

antara

kenyataan dengan peraturan yang ada. Tentu saja UUSPN No. 20/2003 ini
memiliki kesesuaian dengan kajian teori pendidikan yang ada, dimana
pendidikan ditujukan untuk perubahan perilaku peserta didik.
Pembelajaran yang dilaksanakan hanya sekedar menyampaikan materi saja
dapat dikatakan sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan proses
pendidikan yang diberikan guru tersebut dapat dilihat sebagai “mal praktik

pendidikan.”

Dikatakan

“mal

praktik”

karena

pendidikan

seharusnya

mengembangan potensi peserta didik, bukan membebani atau bahkan
menyesatkan peserta didik, baik dari sisi pola pikir/paradigma, kepribadian,
pengetahuan, dan keterampilan tertentu secara utuh/terpadu. Dampakdampak dari mal praktik pendidikan inilah yang saat ini nampak dalam
bentuk perilaku korupsi, pembobolan rekening bank, mafia hukum, mafia
pajak, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, seks bebas, peredaran
narkoba, aborsi, pembalakan hutan, perdagangan manusia, dan berbagai
fenomena lainnya. Walaupun demikian, pendidikan bukan merupakan satusatunya faktor yang mempengaruhi, tetapi pendidikan seharusnya mampu
membentengi perilaku berkelainan, jahat, tidak bermoral, dan merugikan
masyarakat tersebut.

Proses pendidikan yang benar (pedagogis) akan membentengi perilaku
seseorang dari berperilaku tidak sesuai, baik tidak sesuai dengan norma,
peraturan, kesepakatan, maupun agama. Seseorang akan “merasa hidup”
ketika ia hidup dalam kondisi pas-pasan tetapi jujur, daripada hidup mewah
tapi hasil dari korupsi, jika proses pendidikan memberikan penguatan tentang
nilai kejujuran, keikhlasan dan kesederhanaan. Namun jika ketiga nilai
tersebut tidak diperkuat dalam proses belajar anak selama ia mengikuti
proses pendidikan (SD, SMP, SMA, dan PT) maka ia akan dengan mudah
melakukan korupsi ketika ia memiliki peluang. Persoalannya adalah banyak
orang-orang yang korupsi saat ini merupakan orang yang berpendidikan,
dalam arti mereka telah menamatkan pendidikan di SD, SMP, SMA, bahkan
sampai pada perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah
dengan proses pendidikan kita saat ini. Khususnya dilihat dari “apakah
pendidikan kita berorientasi pada penguatan potensi (karakter bangsa
Indonesia) atau berorientasi pada penguasaan materi yang ada di mata
pelajaran saja?,” sehingga perilaku masyarakat ini rentan dengan kejahatan,
asusila, amoral.
Perubahan perilaku manusia bukan suatu hal yang kebetulan, tetapi
merupakan hasil dari proses pendidikan. Dalam arti yang luas, pendidikan
dimaknai sebagai proses kehidupan itu sendiri, dimana seseorang belajar dari
apa yang dialaminya selama ia hidup. Dalam konteks ini, teori “Social
learning” sebagaimana diungkapkan oleh Albert Bandura relevan untuk
menjadi alat untuk menganalisis perubahan perilaku seseorang, yakni
manusia belajar dari lingkungan dimana ia berada. Dengan demikian dapat
ditarik suatu asumsi bahwa besar kecilnya pendidikan yang terjadi antara 9
s.d 16 ke belakang mempengaruhi perilaku masyarakat saat ini. Jika
kecenderungan perilaku masyarakat saat ini menunjukkan banyak kondisi
yang tidak sesuai dengan harapan maka dapat diduga bahwa pendidikan di
masa lalu tidak memiliki daya ubah terhadap perilaku peserta didik. Yang
menjadi daya ubah terhadap perilaku peserta didik adalah pengalaman
peserta didik selama ia mengalami proses belajar. Dengan kata lain,
esensinya adalah pengalaman anak ketika berinterkasi dengan lingkungan
selama proses pendidikan. Sejauhmana baik-buruknya pengalaman yang
mereka alami sejauh itu pula dampaknya terhadap perilaku mereka saat ini.
Analisis di atas bermaksud memberikan gambaran bahwa praktik pendidikan
yang tidak mendidik (pedagogis) akan menghasilkan perilaku yang tidak

sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan akan terakumulasi pada
suatu waktu. Pemecahan masalah ini akan coba penulis analisis melalui
kepemimpinan berkarakter guru dan kepala sekolah.

C. Memaknai Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan Berkarakter
Pendidikan karakter sebagaimana menjadi ramai saat ini tidak sekedar
dipandang sebagai salah satu program prioritas pemerintah saat ini tetapi
juga merupakan desakan masyarakat yang sudah klimaks dikarenakan hasil
pendidikan berupa perilaku masyarakat saat ini banyak yang tidak sesuai
dengan harapan masyarakat itu sendiri. Beberapa pihak baik perorangan
maupun kelembagaan telah merespon hal ini secara positif. mari kita kaji
pengertian/definisi/pemaknaan dari pihak-pihak tertentu terhadap pendidikan
karakter.
Pusat Pengkajian Pedagogik UPI (2010:6) mendefinisikan pendidikan karakter
dalam

setting

sekolah

sebagai

“pembelajaran

yang

mengarah

pada

penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan
pada suatu nilai yang dirujuk oleh sekolah.” Definisi lainnya dikemukakan
oleh Fakry Gaffar (2010:1) “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan
untuk

ditumbuhkembangkan

menjadi satu

dalam

kepribadian

seseorang

sehingga

dalam perilaku kehidupan orang itu.” Sedangkan menurut

Ratna Megawangi (2004:95) pendidikan karakter “sebuah usaha untuk
mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya
dikemukakan oleh akhmad Sudrajat (2010) “Pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia

insan

kamil.”

[sumber:http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikankarakter-di-smp/].

Penulis

sendiri

merupakan

bagian

dari

tim

Pusat

Pengkajian Pedagogik, karenanya pemaknaan terhadap pendidikan karakter
sebagaimana dikemukakan oleh Pusat Pengkajian Pedagogik UPI.

Berbagai definisi mengenai pendidikan karakter di atas menunjukkan bahwa
proses pendidikan merupakan suatu proses yang alamiah yang digambarkan
oleh Pusat Pengkajian pedagogik UPI sebagai proses penguatan dan
pengembangan

dan

dijelaskan

oleh

Gaffar

(2010:1)

sebagai

proses

transformasi. Proses alamiah ini merupakan proses yang mengharuskan
pengalaman anak secara alamiah (bukan dibuat-buat), seperti anak belajar
kejujuran dari suatu lingkungan yang mempraktikkan kejujuran. Praktik inilah
yang benar-benar memberikan penguatan tentang kejujuran kepada anak.
Demikian halnya jika proses belajar yang dialami anak menguatkan praktik
pura-pura jujur, dengan sendirinya yang akan menguat pada perilaku anak
adalah “pandai berpura-pura,” bukan tekun dalam kejujuran.
Analisis penulis menguatkan bahwa karakter manusia

saat ini sangat

dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang dialami oleh dirinya baik dari
lingkungan kerja, lingkungan pendidikan sekolah, lingkungan keluarga,
dan/atau lingkungan masyarakat. Namun satu hal yang lebih pasti bahwa
besar kecilnya pengaruh berbagai pengalaman tersebut, sangat dipengaruhi
oleh keberhasilan proses pendidikan sampai pada pendidikan dasarnya.
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan pada usia 0 – 15 tahun (sampai
pada pendidikan dasar).
Apa

sebenarnya

yang

menguatkan

perilaku

seseorang,

sehingga

ia

mengimitasi/menuruti/melaksanakan perilaku baik atau buruk? Mari kita
menganalisis hal ini dari kacamata teori perubahan perilaku.
1.

1.

Perubahan

Perilaku

Menurut

Teori Social

Learning dari

Albert Bandura
Teori social learning memposisikan bahwa orang-orang dari satu sama
lainnya melalui observasi, imitasi, dan pemodelan. Dalam pandangan Albert
Bandura, manusia belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain,
sikap, dan hasil dari perilaku-perilaku tersebut. Secara tegas, Bandura
mengatakan “Most human behavior is learned observationally through
modeling: from observing others, one forms an idea of how new behaviors
are performed, and on later occasions this coded information serves as a
guide for action.” [Online: http://www.learning-theories.com/social-learningtheory-bandura.html].
seseorang
pengamatan

cenderung
tersebut

Pemodelan
akan

perilaku

ditiru

merupakan

oleh

orang

yang

pengamat

proses

diamati

tersebut.

seseorang

belajar

oleh
Proses
dari

lingkungannya. Dalam persfektif yang lebih khusus, seseorang merekontruksi
apa yang dilihatnya menjadi suatu makna (meaning) bagi dirinya. Jika yang
bersangkutan merasakahan hal tersebut menarik dan menguntungkan bagi
dirinya, dengan sendirinya perilaku tersebut akan ditirunya. Peniruan ini
dapat terjadi dalam rentangan 1-100%. Artinya sangat memungkinkan
peniruan itu seperti orang yang ditirunya atau memungkinkan peniruan itu
dilakukan dengan modifikasi perilaku.
Teori belajar social memandang perilaku manusia sebagai saling interaksi
secara berkelanjutan antara pengaruh kognitif, perilaku, dan lingkungan.
Interaksi inilah yang mengakibatkan perubahan perilaku seseorang. Dalam
kajian keseharian, sering diungkapkan istilah “siapa yang berteman dengan
pedagang parfum maka ia akan terbawa wangi.”
Perubahan perilaku peserta didik berubahan sesuai dengan apa yang dia
pelajari dari lingkungannya. Mereka secara aktif merekontruksi lingkungan
setiap saat. Karena itu patut menjadi perhatian para pendidik, apa
sebenarnya yang dipelajari oleh peserta didik kita dari lingkungan kelas,
sekolah, dan rumah? Apakah mereka mengimitasi/meniru suatu perilaku yang
sesuai dengan nilai, norma, kebiasaan yang berlaku atau menyalahi itu
semua? Proses dialog ini merupakan proses pedagogis yaitu sebuah proses
menguatkan dan mengembangkan perilaku anak kepada suatu nilai dan
norma yang dirujuk oleh lembaga pendidikan dimana ia berada.

1.

2.

Perubahan Perilaku menurut Teori Disonansi Kognitif

Riset awal tentang perubahan sikap berasal dari teori disonansi kognitif
Festinger, yang mengemukakan bahwa ketika seseorang terpersuasi untuk
bertindak dengan suatu cara yang tidak sejalan dengan sebuah sikap yang
sudah ada sebelumnya, ia bisa jadi mengubah sikapnya untuk mengurangi
disonansi tersebut. Disonansi adalah suara yang tidak menyenangkan,
inkonsistensi. Pemanfaatan disonansi untuk menghasilkan perubahan sikap,
pendidik

pertama-tama

menyediakan

sebuah

harus
metode

menciptakan
untuk

disonansi,

mengurangi

dan

disonansi

kemudian
tersebut.

Idealnya, hal ini akan melibatkan pembuatan alternatif terpilih yang menarik,
mempertunjukkan sebuah kelompok sosial dengan sikap yang diharapkan,
membuktikan pentingnya isu yang dimaksud, menyediakan pemilihan bebas,

dab penyediaan ruang luas untuk penerimaan melalui penghampiran
bertahap.
Perilaku seseorang pada saat tertentu terjadi atau muncul karena adanya
keseimbangan antara sebab/alasan dan akibat/keputusan yang diambil
(consonance). Apabila terjadi stimulus dari luar yang lebih kuat maka dalam
diri orang tersebut akan menjadi ketidakseimbangan (dissonance). Kalau
akhirnya stimulus tersebut direspon positif (menerima dan melakukannya)
maka berarti terjadi perilaku baru (hasil perubahan), dan akhirnya kembali
terjadi keseimbangan lagi.

1.

3.

Perubahan Perilaku Menurut Teori Fungsional

Teori ini menyarakan

bahwa sikap-sikap bertugas

melayani

beragam

kebutuhan psikologis dan bahwa perubahan sikap mempersyaratkan sebuah
pemahaman

mengenai

tujuannya

dalam

kehidupan

individu

yang

menganutnya. Kemanfaatan teori ini dibatasi oleh fakta bahwa riset sikap
dalam wilayah ini belum menghasilkan sehimpunan kategori yang kondisiten
yang menghubungkan sikap dengan kebutuhan-kebutuhan psikologis. Riset
telah memperlihatkan bahwa sikap-sikap yang berkaitan dengan konsep-diri
sering melaksanakan fungsi ego-defensif dan sikap-sikap ini sulit diubah.
Perubahan

perilaku

menurut

teori

fungsional

terjadi

karena

adanya

kebutuhan. Oleh sebab itu stimulus atau obyek perilaku harus sesuai dengan
kebutuhan orang (subyek). Prinsip teori fungsional: (1) Perilaku merupakan
fungsi instrumental (memenuhi kebutuhan subyek). (2) Perilaku merupakan
pertahanan diri dalam menghadapi lingkungan (bila hujan, panas, dll). (3)
Perilaku sebagai penerima obyek dan pemberi arti obyek (respon terhadap
gejala sosial). (4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dalam menjawab
situasi (marah, senang, dll).
Bentuk perubahan perilaku hasil belajar ini dapat diidentifikasi sebagai:
1.

Kebiasaan;

seperti:

peserta

didik

belajar

bahasa

berkali-kali

menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru,
sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik
dan benar.

2.

Keterampilan; seperti: menulis dan berolah raga yang meskipun
sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi
gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

3.

Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti
rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga
peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.

4.

Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu
dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.

5.

Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan
dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti
“bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

6.

Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi
dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu
sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

7.

Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).

8.

Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.

9.

Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan
takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan
sebagainya.

10. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik
secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap
suatu benda, definisi, dan sebagainya.
11. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan
interaksi

dengan

lingkungannya

dengan

menggunakan

simbol-simbol,

misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan
intelektual

adalah

kecakapan

dalam

membedakan

(discrimination),

memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan
ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
12. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan
pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran,
strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara
berfikir

agar

terjadi

aktivitas

yang

efektif.

Kecakapan

intelektual

menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih
menekankan pada pada proses pemikiran.
13. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk
memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap
adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan
vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya

terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan
untuk bertindak.
14. Kecakapan

motorik;

ialah

hasil

belajar

yang

berupa

kecakapan

pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Nah sekarang mari kita bahas mengenai apa itu kepemimpinan berkarakter?
Dan apa kaitannya dengan pendidikan berkarakter?
Kepemimpinan berkarakter merupakan istilah yang masih sangat jarang
didengar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan kajian
akademik tentang pendidikan. Istilah ini merupakan istilah yang sering
dimunculkan dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik dalam kurun waktu
enam

bulan

terakhir.

Penulis

mendefinisikan kepemimpinan

berkarater

sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orag lain yang
didasarkan

pada

suatu

nilai

tertentu

untuk

mempengaruhi

perilaku

lingkungannya supaya mereka mau dan mampu melakukan suatu nilai
sebagaimana

dicontohkan

oleh

pemimpin

tersebut.

Kepemimpinan

berkarakter bertumpu pada sejumlah nilai yang dianut pemimpin dalam
mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan berkarakter didasarkan pada suatu asumsi bahwa perilaku
manusia itu berubah karena faktor belajar (dalam arti yang luas). Belajar
adalah proses seseorang memaknai/merekontruksi lingkungannya (fisik,
sosial, budaya, fenomena, dll) sehingga ia memiliki suatu makna (meaning)
dari hasil rekontruksi tersebut.

Gambar 1. Daya Dukung Pendidikan Karakter di Sekolah
Kepemimpinan berkarakter sangat terkait dengan pendidikan karakter yang
saat ini menjadi hangat dalam kajian akademik mengenai pendidikan di
Indonesia. Kepemimpinan berkarakter merupakan syarat mutlak untuk
dimilikinya perilaku berkarakter pada peserta didik. Mengapa demikian?
Karena

perilaku

berkarakter

peserta

didik

merupakan

perilaku

yang

dihasilkan dari proses belajar terhadap lingkungannya. Interaksi antara
peserta didik dengan kepemimpinan guru dan kepala sekolah tidak terbatas
pada interaksi antar orang (siswa dengan guru atau siswa dengan kepala
sekolah), tetapi juga terjadi dari hasil interaksi antara peserta didik dengan
segala

bentuk

hal

dan

karya

yang

dihasilkan

dan

dikesankan

oleh

kepemimpinan guru dan kepala sekolah. Cat tembok sekolah yang nyaman

dipandang

oleh peserta didik merupakan suatu proses interaksi antara

kepemimpinan kepala sekolah dengan peserta didik. Demikian halnya
teguran guru kepada seorang peserta didik yang mencontek di kelas pada
saat ulangan merupakan proses interkasi antara peserta didik (yang
mengamati proses peneguran tersebut) dengan kepemimpinan guru. Jadi
dalam arti yang luas, kepemimpinan berkarakter melibatkan semua hal yang
dihasilkan

oleh

guru

dan

kepala

sekolah

yang

kemudian

akan

berinterkasi/berpadu/menyatu dengan proses belajar peserta didik.

D. Karakter Kepemimpinan Pendidikan Indonesia
Berdasarkan kajian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter
mensyaratkan adanya kememimpinan yang berkarakter dari guru dan kepala
sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Karakter dapat digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri,
seperti pemarah, penabar, penyayang, dan lain sebagainya. Karakter
kepemimpinan dalam kepemimpinan pendidikan memiliki kekhasan tersendiri
terkait dengan peserta didik yang harus dilayani secara pedagogis. Karakter
apa yang harus dimiliki oleh guru dan kepala sekolah kita di Indonesia saat
ini?
Karakter yang menjadi penting dan menjadi syarat mutlak untuk terjadinya
proses pendidikan karakter di sekolah-sekolah adalah kasih sayang, saling
percaya, kewibawaan, dan keikhlasan. Kasih sayang merupakan dasar
interaksi

guru/kepala

sekolah

dengan

peserta

didik.

Saling

percaya

merupakan syarat teknis untuk terjadinya saling pengaruh antara peserta
didik dengan guru/kepala sekolah. Dan kewibawaan merupakan syarat
mutlak untuk terjadinya proses transmisi dan transformasi nilai dari guru dan
kepala sekolah kepada peserta didik.
1.

1.

Kasih sayang

Dalam kamus bahasa Indonesia (2008:690) istilah kasih sayang merupakan
dua kata yang terpisah, yang terdiri dari kata “kasih” dan “sayang,” tetapi
memiliki makna yang sangat erat bahkan tak dapat dipisahkan. Kasih berarti
perasaan sayang (cinta, suka kpd). Sedangkan “sayang” (2008:1373) berarti
kasih sayang (kpd); cinta (kpd); kasih (kpd). Istilah “kasih sayang” sering

diidentikan dengan istilah “cinta kasih.” Maknanya sama yaitu suatu sifat
terpuji yang mencirikan kecintaan, kemuliaan, kasih, dan sayang terhadap
sesuatu (orang, binatang, tumbuhan, lingkungan). Esensi dari sifat kasih
sayang adalah adalah kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dimana
“kasih sayang” merupakan salah satu sifat Allah SWT terhadap makhluk-Nya,
yaitu “rahmaan” dan “rahiim.” Bukan saja karena makhluk-Nya menyembahNya, tetapi karena sifat-Nya itu, semua makhluk mendapatkan rizki (makan,
minum, napas, dan lain sebagainya) tanpa pandang bulu. Karena sifat
ketuhanan inilah maka manusia harus memiliki sifat kasih sayang terhadap
makhluk-makhluk Allah SWT.
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, “kasih sayang” merupakan
dasar dari interaksi antara guru/kepala sekolah dengan peserta didik. Dasar
dalam hal ini adalah bahwa setiap perilaku yang dilakukan oleh guru dan
kepala sekolah dalam proses pendidikan bagi peserta didik semata-mata
karena kasih sayang guru/kepala sekolah terhadap peserta didik. Nilai kasih
sayang ini merupakan refleksi seorang guru/kepala sekolah atas sifat Allah
Yang Maha Rahmaan (kasih) dan rahiim (sayang), bukan karena ingin dipuji
oleh guru lainnya, pimpinan, orang tua atau pihak lainnya.
Nilai kasih sayang guru/kepala sekolah terhadap peserta didiknya merupakan
dasar nilai kepemimpinan berkarakter yang akan menjadi fondasi dalam
proses pendidikan karakter di sekolah. Nilai ini tidak akan dapat dilihat secara
langsung secara kasat mata, tetapi akan dapat diidentifikasi dari keputusan
yang diambil oleh seseorang dan perilaku yang dilakukannya. Tentu saja yang
lebih mengetahui apakah nilai kasih sayang ini ada atau tidak ada pada diri
seseorang adalah dirinya sendiri. Hanya saja, seorang guru yang memiliki
nilai kasih sayang apabila menemukan peserta didik yang tidak sesuai
dengan harapannya, seperti peserta didik yang sering kesiangan maka
harinya akan merasa “sedih” bukan “marah.” Sedih karena anak didiknya
memiliki perilaku yang tidak produktif bahkan di masa yang akan dating
sangat memungkinkan merugikan dirinya, terlebih manakala dia masuk di
dunia kerja. Karena itu apabila guru ini menemui fenomena tersebut, yang
akan muncul adalah do’a dan tindakan korektif. Do’a supaya anak didiknya
diberikan petunjuk oleh Yang Maha Kuasa dan tindakan korektid ditujukan
untuk terwujudnya perbaikan perilaku pada anak didik.

Rasa kasih sayang guru/kepala sekolah terhadap peserta didik akan menjadi
stimulus/penguat untuk kepemilikan rasa kasih sayang dan nilai-nilai positif
lainnya yang dikuatkan dan ditumbuhkembangkan dalam proses pendidikan.
Karena itu, tanpa adanya nilai kasih saying akan sangat memungkinkan
melahirkan

atau

terjadi

praktik

pendidikan

yang

tidak

pedagogis

(demagogi/mal praktik pendidikan). Biasanya perilaku yang dominan adalah
rasa marah atau cuek terhadap peserta didik. Tentu saja kedua hal ini harus
dihindari oleh seorang guru/kepala sekolah.

1.

2.

Saling Percaya

Saling percaya merupakan syarat untuk terjadinya proses interaksi yang
saling mempengaruhi. Jika guru atau siswa tidak saling mempengaruhi,
secara teknis proses belajar tidak terjadi. Dengan sendirinya anak menolak
apa yang dimunculkan atau dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Saling percaya merupakan sikap guru/kepala sekolah yang memandang
bahwa peserta didik memiliki potensi tertentu apapun keadaan peserta didik
tersebut. Esensi dari nilai saling percaya ini adalah keyakinan bahwa Allah
SWT pasti memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya. Karena
keyakinan inilah maka guru/kepala sekolah mempercayai peserta didik dalam
berbagai potensinya, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang belum
teridentifikasi.
Nilai saling percaya akan melahirkan dorongan bagi guru/kepala sekolah
untuk memberikan layanan pembelajaran yang lebih partisipatif, karena
menganggap peserta didik adalah orang-raoang yang potensial (memiliki
daya kemampuan). Dengan munculnya rasa saling percaya maka akan
melahirkan proses belajar. Anak yang tidak mempercayai guru dengan
sendirinya akan meolak/tidak menuruti apapun yang diperintahkan oleh
gurunya. Jika harus mengikuti apa yang diperintahkan gurunya, maka yang
dilakukan hanyalah sekedar menghindar rasa takut; takut dimarahi, takut
mendapat nilai jelek, takut dikeluarkan, dan taku-takut lainnya. Hal in
menunjukkan bahwa jika interaksi antara guru/kepala sekolah dengan

peserta didik tidak didasari oleh nilai saling percaya maka yang akan muncul
adalah penolakan dalam kadar tertentu.

1.

3.

Kewibawaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008:1814) kewibawaah memiliki arti (1) hal
yang menyangkut wibawa; dan (2) kekuasaan yang diakui dan ditaati.
Sedangkan wibawa memiliki makna: (1) pembawaan yang mengandung
kepemimpinan sehingga dapat mempengaruhi dan menguasai orang lain; (2)
kekuasaan. Pemaknaan ini memiliki kejelasan bahwa kewibawaan itu terkait
dengan kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.
Kewibawaan dalam konteks kepemimpinan berkarakter merupakan suatu
nilai yang dilandasi oleh rasa hormat terhadap orang lain, sehingga apa yang
dilakukan dan diucapkan oleh orang tersebut memiliki dampak bagi perilaku
orang yang melihat dan/atau mendengarnya. Kewibawaan muncul bukan
karena diucapkan oleh guru/kepala sekolah supaya mereka dihormati, tetapi
merupakan suatu kondisi yang muncul karena dampak dari perilaku
guru/kepala sekolah tersebut ketika berinteraksi dengan peserta didik.
Dengan demikian kewibawaan bukan suatu hal yang secara otomatis
ada/melekat pada jabatan guru/kepala sekolah, tetapi harus dicapai oleh
guru/kepala sekolah dengan perilaku yang berwibawa.
Perilaku nerwibawa adalah perilaku yang memiliki kesesuaian dengan nilai
dan norma yang dianut, memiliki kesmaan antara apa yang diucapkan
dengan apa yang dilakukan. Lebih jauh, kewibawaan muncul karena ada
faktor keteladanan dari guru/kepala sekolah. Keteladanan perilaku menjadi
syarat penting untuk muncuulnya kewibawaan
Nilai kewibawaan

dalam kepemimpinan

berkarakter merupakan

suatu

kekuatan untuk menggerakkan peserta didik (orang lain) untuk mengikuti
apa yang dilakukan dan diucapkan oleh guru dan kepala sekolah. Karena itu
sangatlah penting adanya konsistensi perilaku guru dan kepala sekolah, baik
konsisten antara yang dilakukan dengan yang diucapkan atau konsisten
antara yang dikatakan terdahulu dengan apa yang dikatakan saat ini (lebih
tepatnya tidak plin-plan).

1.

Ikhlas

Ikhlas dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:572) diartikan sebagai “tulus
hati.” Dalam konteks kepemimpinan berkarakter ikhlas merupakan motif
yang harus menjadi dasar bagi guru dan kepala sekolah dalam menjalani
tanggungjawabnya sebagai pendidik. Ikhlas diartikan sebagai kemauan guru
dan kepala sekolah untuk berbuat yang terbaik dalam melaksanakan
tanggungjawabnya sebagai pendidik semata-mata karena Allah Yang Maha
Kuasa. Dalam ikhlas ada dua makna besar, yaitu (1) selalu berbuat yang
terbaik dalam melaksanakan tanggungjawabnya, dan (2) dasarnya karena
Allah semata.
Dengan ikhlas, guru dan kepala sekolah akan mencoba sekuat tenaga untuk
memberikan layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan tupoksinya
masing-masing dan berperilaku konsisten. Guru dan kepala sekolah yang
ikhlas akan menghasilkan sumber imitasi yang luar biasa bagi peserta didik,
sehingga mereka akan menjadi generasi yang benar-benar punya keinginan
untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat maslahat
(kebaikan) untuk lingkungannya.
Keikhlasan pada guru-guru dan kepala sekolah seharusnya menjadi bagian
dari proses pendidikan calon guru (tenaga pendidik). Pembinaan bagi guruguru dan kepala sekolah ini kemudian menjadi bagian penting dari
pemerintahan daerah untuk membangun pendidikan melalui peran serta
SDM pendidikan yang berkarakter pula.
E.

Penutup

Demikian kajian awal mengenai kepemimpinan berkarakter sebagai fondasi
untuk terjadinya pendidikan karakter yang diharapkan dapat menghantarkan
peserta didik menjadi anak-anak yang berkarakter. Tentu saja kajian ini
merupakan

kajian

awal

untuk

dikembangkan

lebih

lanjut.

Karenanya

diharapkan para akademisi maupun praktisi untuk turut mengritisi dan
mengembangkan kajian mengenai kepemimpinan berkarkter ini lebih lanjut.

Dokumen yang terkait

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

"REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM FILM MEMOIRS OF A GEISHA"(Analisis Semiotika pada Film Memoirs Of a Geisha Karya Rob Marshall)

11 75 2

Analisis semiotik Film a mighty heart

1 51 106

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Kajian administrasi, farmasetik dan klinis resep pasien rawat jalan di Rumkital Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2015

19 169 0

Kajian Visualisasi Motif Batik priangan Berdasarkan Estetika Sunda Pada kelom Geulis Sagitria Tasikmalaya

10 104 59

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Dan Organizational Citizenship Behavior Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat Dan Banten Kantor Area Sumedang

17 106 69