LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HMJ AN 2014 SKR

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HMJ AN 2014
SKRINING TUBERKULOSIS DENGAN MONOCLONAL
ANTIBODY STRIP TEST UNTUK MASYARAKAT
PEDESAAN SEBAGAI UPAYA PENURUNAN
PREVALENSI TUBERKULOSIS

Diusulkan oleh :
Dina Aulia Fakhrina (I1A011004 / Angkatan 2011)
Rahmi Noorhayati

(I1A012009 / Angkatan 2012)

Riski Agustin

(I1D111209 / Angkatan 2011)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HMJ AN 2014

SKRINING TUBERKULOSIS DENGAN MONOCLONAL
ANTIBODY STRIP TEST UNTUK MASYARAKAT
PEDESAAN SEBAGAI UPAYA PENURUNAN
PREVALENSI TUBERKULOSIS

Diusulkan oleh :
Dina Aulia Fakhrina (I1A011004 / Angkatan 2011)
Rahmi Noorhayati

(I1A012009 / Angkatan 2012)

Riski Agustin

(I1D111209 / Angkatan 2011)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014

PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH


1. Judul Karya Tulis

: Skrining Tuberkulosis dengan Monoclonal
Antibody Strip Test untuk Masyarakat
Pedesaan

sebagai

Upaya

Prevalensi Tuberkulosis
: Akses dan layanan

2. Sub-tema

Penurunan

kesehatan


bagi

masyarakat pedesaan
3. Ketua Tim
a. Nama Lengkap
b. NIM
c. Jurusan
d. Universitas
e. Alamat email
f. Alamat rumah dan No. HP
4. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. NIDN
c. Alamat email
d. Alamat rumah dan No. HP

: Dina Aulia Fakhrina
: I1A011004
: Pendidikan Dokter
: Universitas Lambung Mangkurat

: dinafakhrina@ymail.com
: Jl. Sultan Adam No.28 RT.36 Banjarmasin
: Dra. Hj. Lia Yulia Budiarti, M.Kes
: 0015076702
: : Loktabat Asri II No. 20, Banjarbaru /
081521692590
Banjarmasin, 10 Oktober 2014

Dosen Pendamping,

Ketua Tim,

Dra. Hj. Lia Yulia Budiarti, M.Kes

Dina Aulia Fakhrina

NIP19670715 199403 2 006

NIM I1A011004


Ketua Jurusan,
dr. Mashuri, Sp.Rad, M.Kes
NIP19740209 200112 1 001

2

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Skrining Tuberkulosis dengan Monoclonal Antibody Strip Test untuk
Masyarakat Pedesaan sebagai Upaya Penurunan Prevalensi Tuberkulosis”.
Penulisan ini disusun guna mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah HMJ AN
2014. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Hj. Lia
Yulia Budiarti, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan dan masukan pada penulisan ini. Penulis menyadari bahwa penulisan
karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan di kemudian hari. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat ke
depannya.


Banjarmasin, 10 Oktober 2014
Penulis

3

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................

i

PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH............................................

ii

KATA PENGANTAR..............................................................................

iii

DAFTAR ISI...........................................................................................


iv

DAFTAR GAMBAR...............................................................................

v

ABSTRAK..............................................................................................

vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................

1

B. Rumusan Masalah...................................................................

3

C. Tujuan Penulisan.....................................................................


3

D. Manfaat Penulisan..................................................................

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori........................................................................
B. Upaya Menekan Tingginya Prevalensi TB yang Pernah

5

Dilakukan................................................................................
.............................................................................................11
C. Metode Diagnosis Tuberkulosis yang Telah Ada....................

12

BAB III METODE PENULISAN

A. Sumber Referensi....................................................................
B. Analisis Data...........................................................................

14
14

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS
A. Skrining Tuberkulosis dengan MAb Strip Test.......................
B. Pembuatan Monoclonal Antibody antigen PE-PGRS, PTRP,

15

dan MtrA.................................................................................
............................................................................................16
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................
B. Saran.......................................................................................

20
20


DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR PERNYATAAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

4

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

Bakteri tuberkulosis di bawah mikroskop lapang pandang gelap...........

5

Strip Test Monoclonal Antibody..............................................................

20


5

ABSTRAK

ANTIBODY STRIP TEST UNTUK MASYARAKAT PEDESAAN
SEBAGAI UPAYA PENURUNAN PREVALENSI
TUBERKULOSIS
Fakhrina DA, Noorhayati R, Agustin R.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil tahan
asam (BTA) Mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang paru.
Pemberian obat antituberkulosis yang tepat dan cepat sebelum terjadinya
perburukan kondisi klinis bahkan kematian penting dilakukan. Akan tetapi, TB
memiliki gejala nonspesifik yang menyebabkan misdiagnosis dan keterlambatan
diagnosis. Diagnosis TB memerlukan berbagai metode diagnostik, di antaranya
pengecatan BTA, kultur BTA, pemeriksaan serologi, dan PCR. Sehingga,
diperlukan peralatan laboratorium klinis memadai dan personil terlatih untuk
diagnosis yang tepat dan cepat. Sayangnya, banyak daerah pedesaan yang tidak
memilikinya. Apalagi metode-metode diagnostik yang telah ada tersebut memiliki
kelemahan masing-masing sehingga tidak dapat mendeteksi dini penyakit TB.
Pengecatan BTA cepat, tetapi sensitifitasnya rendah dan hanya bisa dilakukan
setelah muncul gejala batuk berdahak lama. Kultur basil memerlukan waktu yang
lama. Sedangkan pemeriksaan serologi dan PCR memerlukan perlengkapan
laboratorium yang lengkap. Karena itu, perlu metode diagnostik yang akurat,
cepat, dan mudah dilakukan serta sekaligus dapat menjadi alat skrining untuk
deteksi dini TB. Skrining yang dilakukan saat ini adalah tes kulit Mantoux
tuberkulin dan interferon-gamma release assay (IGRA). Namun, kedua metode ini
mudah memberikan hasil negatif dan positif palsu dan tidak bisa dijadikan metode
diagnostik TB baru. Monoclonal antibody dapat dibentuk dalam strip test dan
digunakan untuk diagnosis dini TB yang praktis serta spesifik karena dapat
mendeteksi antigen tertentu dari patogen, dalam hal ini antigennya adalah PEPGRS, PTRP, dan MtrA yang dapat ditemui pada pasien TB yang masih berada
pada fase preklinik.
Kata kunci: tuberkulosis, PE-PGRS, PTRP, MtrA, monoclonal antibody

6

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), umumnya menyerang paru,
tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya. Kuman ini mempunyai sifat
khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk
identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai basil tahan asam
(BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab.1
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) Global Tuberculosis
Control tahun 2012, diketahui bahwa pada tahun 2011 Indonesia menduduki
peringkat ke-4 dunia untuk kasus TB. Lima negara dengan jumlah terbesar insiden
tuberkulosis terbesar pada tahun 2011 tersebut adalah India, China, Afrika
Selatan, Indonesia, dan Pakistan. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa
jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara, yaitu 625.000
orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Salah satu
faktor yang berperan terhadap mortalitas pada TB adalah telatnya pemberian
penanganan karena keterlambatan diagnosis.2
Sebagian besar kasus infeksi terjadi di negara-negara berkembang di mana
laboratorium klinis dan personil terlatih untuk diagnosis dan pengobatan yang
efektif kurang, maka platform deteksi di tempat untuk diagnosis TB yang cepat,
sederhana, murah, dan sangat akurat dibutuhkan untuk deteksi dini TB agar
manajemen dan pengendalian infeksi menjadi lebih baik.3
Tes laboratorium yang dilakukan pada pasien terduga TB, yaitu pengecatan
basil tahan asam (BTA) dengan Ziehl-Neelsen, kultur BTA, dan pemeriksaan
serologi. Pengecatan BTA cepat, tetapi membutuhkan beban organisme sangat
tinggi untuk hasil positif dan keahlian untuk membaca sampel, serta metode ini
memiliki sensitifitas hanya sekitar 50% (34-80%). Kultur basil dapat dianggap
sebagai metode standar untuk deteksi TB di pusat klinis. Namun, hasilnya tidak

1

dapat diperoleh langsung karena basil membutuhkan 3-6 minggu untuk
pertumbuhan pada kultur media padat dan 9-16 hari kultur cepat menggunakan
media cair. 3 Sedangkan pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan adalah enzym
linked immunosorbent assay (ELISA), Mycodot, peroksidase anti peroksidase
(PAP), dan imunokromatografik.4,5 Namun, pada pemeriksaan serologi ini banyak
variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi dan tidak bisa
mendeteksi kehadiran bakteri TB pada fase awal penyakit karena antibodi
terhadap bakteri TB baru terbentuk setelah 2-3 minggu.6 Oleh karena itu,
keterlambatan dalam mendiagnosis TB adalah suatu hal yang sering terjadi.
Untuk mencegah keterlambatan diagnosis, bisa dilakukan skrining agar
infeksi TB dapat terdeteksi dini sebelum munculnya gejala penyakit. Metode
skrining utama yang dipakai saat ini untuk mendeteksi infeksi TB (aktif atau
laten) adalah tes kulit Mantoux tuberkulin dengan purified protein derivative
(PPD). Sebuah tes darah in vitro berdasarkan interferon-gamma release assay
(IGRA) dengan antigen spesifik untuk M. tuberculosis juga dapat digunakan
untuk menyaring infeksi TB laten. Tes IGRA menawarkan keuntungan tertentu
dibandingkan tes kulit tuberkulin. Namun, kedua metode ini memiliki kelemahan,
yakni hasil negatif tidak menyingkirkan seseorang dari penyakit tuberkulosis.
Selain itu, pada banyak negara ditemukan kasus orang-orang yang terkena infeksi
bakteri nonmycobacterium ternyata menunjukkan hasil positif pada tes tuberkulin
ini. Pasien yang sebelumnya pernah mengidap tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh tetap akan menunjukkan hasil positif pada tes tuberkulin. Tuberkulin
hanya dapat dijadikan pegangan ketika pasien yang akan didiagnosis adalah anakanak yang sebelumnya belum pernah mendapatkan vaksin Bacile CalmetteGuerin (BCG). Oleh karena itu, kedua metode skrining ini dapat dianggap
kurang efektif dalam memberikan hasil penunjang diagnosis tuberkulosis.7
Monoclonal antibody (MAb) adalah suatu antibodi monospesifik, yaitu
kumpulan antibodi yang memiliki target antigen yang sama (mono). MAb
memiliki beberapa kegunaan seperti pengobatan penyakit kanker, pengobatan
penyakit autoimun, dan diagnosa penyakit infeksi. MAb sudah digunakan untuk
mendiagnosis infeksi dari bakteri Legionella pneumophila, Neisseria meningitidis,
Salmonella Sp., Escherichia coli, dan Streptococcus pneumoniae. Sebagai alat

2

diagnostik, MAb dapat dibentuk ke dalam strip test (immunochromatography),
sehingga penggunaannya sangatlah praktis dan mudah. MAb dapat mendeteksi
suatu infeksi meskipun antibodi belum terbentuk, karena fungsi dari mAb sebagai
alat diagnostik adalah untuk mendeteksi antigen dari patogen penyebab.8,9
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan spesies dari
mikobakteri yang bersifat patogen. Antigen dari M. tuberculosis sudah dapat
dideteksi dalam darah semenjak onset penyakit. Antigen PE-PGRS, PTRP, dan
MtrA adalah tiga antigen yang dapat ditemui pada pasien TB yang masih berada
pada fase preklinik TB.10 Oleh karena itu, ketiga antigen tersebut merupakan
antigen yang paling berpotensi untuk digunakan dalam skrining penyakit TB
dengan metode strip test. Diharapkan metode tersebut dapat mengatasi masalah
tingginya prevalensi TB di Indonesia, terutama di daerah pedesaan yang akses
pelayanan kesehatannya susah dijangkau.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah dalam tulisan ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah solusi dari tingginya angka prevalensi TB di Indonesia terutama
daerah pedesaan?
2. Bagaimanakah agar penyakit TB dapat terdeteksi dini di daerah pedesaan yang
akses pelayanan kesehatannya jauh?
3. Bagaimanakah mekanisme kerja

dari

monoclonal

antibody

dalam

mendiagnosis suatu penyakit?
4. Bagaimanakah mekanisme pembuatan strip test monoclonal antibody untuk
mendeteksi antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA dari M. tuberculosis?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan
penulisan ini adalah untuk:
1. memberikan solusi dari tingginya angka prevalensi TB di Indonesia terutama
daerah pedesaan;
2. memberikan solusi agar penyakit TB dapat terdeteksi dini di daerah pedesaan
yang akses pelayanan kesehatannya jauh;

3

3. menjelaskan mekanisme kerja dari monoclonal antibody dalam mendiagnosa
suatu penyakit;
4. menjelaskan mekanisme pembuatan strip test monoclonal antibody untuk
mendeteksi antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA dari M. tuberculosis.
D. Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis
maupun praktis sehingga dapat dijadikan masukan kepada para peneliti untuk
melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap monoclonal antibody
sebagai salah satu metode skrining dan diagnosis penyakit TB yang cepat dan
mudah agar masalah keterlambatan diagnosis TB dapat teratasi.

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1) Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), umumnya menyerang paru, tetapi bisa
juga menyerang bagian tubuh lainnya. Dinding M. Tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
Tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M. Tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap
tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–
alkohol.5
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Sehingga ketika muncul gejala-gejala tersebut, penting untuk
mendiagnosis secara tepat dan cepat.5

Gambar 1. Bakteri

tuberkulosis di bawah

mikroskop lapang

pandang gelap10

5

Klasifikasi
Klasifikasi dari Mycobacterium tuberculosis sebagai etiologi dari penyakit
tuberkulosis ini, yaitu termasuk dalam keluarga Mycobacteriaceae dan genus
Mycobacterium. Terdapat empat spesies Mycobacterium, yakni Mycobacterium
microti, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium
tuberculosis.

Mycobacterium tuberculosis merupakan genus yang bersifat

patogen pada manusia meskipun kadang pada beberapa kasus tuberkulosis pada
manusia juga disebabkan oleh Mycobacterium bovis.11
Epidemiologi
Dengan 1,4 juta kematian pada tahun 2011, TB berkompetisi dengan human
immunodeffeciency virus (HIV) sebagai penyebab utama kematian akibat agen
infeksius.12 Meskipun ada kemajuan dalam penurunan mortalitas dan angka
kejadian TB, penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global.
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 8,7 juta kasus baru TB
di dunia dan sekitar 1,4 juta orang meninggal akibat TB pada tahun 2011.3
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia Tenggara, yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti
sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut WHO regional, jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia Tenggara, yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.
Namun, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 pendduduk.2
Penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Satu droplet nuclei mengandung tidak lebih dari 3 basil
bakteri. Droplet nuclei dapat dihasilkan selama berbicara, batuk dan bersin.

6

Satu kali batuk, berbicara selama 5 menit dan menyanyi selama 1 menit
dapat menyebarkan 3000 droplet nuclei, sedangkan bersin dapat menyebarkan
droplet nuclei sejauh 3 meter.13
Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi

oleh

mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan

menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut fokus primer Gohn.13
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).13
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler. 13

7

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi

secara

sempurna

membentuk

fibrosis

atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe

regional

juga

akan mengalami

fibrosis

dan enkapsulasi,

tetapi

penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun- tahun dalam
kelenjar ini.13
Komplikasi dan Prognosis
Penyakit TB bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi
yang berbahaya yakni, terjadinya peradangan pleura, efusi pleura, empyema,
laringitis TB, dan komplikasi ini akan berlanjut dengan obstruksi jalan nafas,
amiloidosis, kanker paru, dan sindrom gagal nafas dewasa (ARDS). Apabila telah
terjadi komplikasi akibat keterlambatan diagnosis maupun kegagalan pengobatan
maka prognosis menjadi sangat buruk.14

2) Antigen Mycobacterium Tuberkulosis
Pada bagian dinding sel dan sitoplasma dari Mycobacterium tuberculosis
didapatkan berbagai macam antigen yaitu terdiri dari komponen lipid,
polisakarida dan protein. Pada sebuah penelitian yang telah dilakukan di dapatkan
hasil bahwa terdapat tiga buah antigen yang muncul pada uji yang dilakukan
terhadap pasien yang telah terinfeksi TB dan masih berada pada fase preklnik TB.
Antigen tersebut meliputi, PE-PGRS, PTRP, dan MtrA. Dengan demikian, sebuah
metode diagnosis dapat diciptakan dengan memanfaatkan teknik deteksi 3 antigen
tadi untuk mendeteksi para penderita TB bahkan pada fase sangat awal dari
infeksi.10

Antigen PE-PGRS
Mycobacterium tuberculosis mengandung 67 gen PE-PGRS yang terdapat
pada dinding sel dan membran sel bakteri, dengan beberapa tandem urutan
berulang, protein ini sangat kaya akan glisin dan alanin. Dalam sebuah uji secara

8

in vitro didapatkan hasil bahwa protein PE-PGRS adalah antigenic. Pengujian itu
dilakukan dengan memberikan antibodi yang ternyata melawan lima protein PEPGRS, dan dibesarkan pada tikus dengan vaksinasi DNA. Protein terdeteksi
tunggal ketika plasmid konstruksi yang sama yang digunakan untuk imunisasi
diekspresikan dalam sel-sel epitel atau ekstrak retikulosit.15
Antigen PTRP
Analisis Western blot dan evaluasi elektron mikroskopis dari M. tuberculosis
fraksi subselular dan bakteri utuh mengkonfirmasi bahwa PTRP merupakan
protein di dinding sel. Dalam sebuah uji, antibodi terhadap antigen PTRP ini
hadir dalam spesimen serum dari pasien HIV-negatif, TB-positif dan HIV-positif,
positif TB-tetapi purified protein derivative (PPD)-negatif atau PPD-positif dari
subyek kontrol yang sehat, hal ini menunjukkan bahwa pendeteksian antigen ini
berpotensi besar sebagai metode diagnostik TB yang efektif. Pemetaan epitop dari
PTRP menggambarkan 4 peptida yang dapat mengidentifikasi > 80% dari BTA
positif dan > 50% dari pasien TB-BTA positif–HIV-negatif, dan > 80% pasien
HIV-positif–TB-positif.16
Antigen MtrA
Sistem MtrAB adalah sistem yang berperan penting dalam pertahanan hidup
dari Mycobacterium tuberculosis. Dalam sistem ini terlibat protein penting seperti
MtrA, yang melakukan perannya dalam fosforilasi intrasel. MtrA (D56E) dan
MtrA (D13A) terikat pada promotor fbpB, pengkodean gen protein antigen 85B,
efisien tanpa adanya fosforilasi.17

1) Monoclonal Antibody (MAb)
Apabila suatu antigen asing yang bersifat immunogenic menginvasi tubuh
manusia, maka sel limfosit B di limpa (spleen) akan meresponnya dengan
membentuk antibodi. Antibodi yang telah terbentuk kemudian akan berikatan
dengan epitope antigen. Ikatan tersebut yang kemudian akan menimbulkan reaksi
antigen-antibodi. Suatu antigen memiliki bermacam-macam jenis epitope. Oleh
karena itu, antibodi yang dibentuk pun akan bervariasi dan memiliki target epitope
9

yang berbeda. Antibodi yang bervariasi tersebut masing-masing dibentuk oleh
jalur (line) sel limfosit B yang berbeda (satu jenis antibodi dibentuk oleh satu jalur
sel limfosit B), sehingga kumpulan antibodi yang diproduksi oleh banyak jalur sel
limfost B disebut dengan istilah polyclonal antibody (PAb). PAb memiliki
beberapa kegunaan, antara lain adalah sebagai tatalaksana penyakit dan sebagai
alat diagnosa.18
PAb memiliki kelemahan sebagai alat diagnosa, karena PAb mengandung
variasi antibodi yang sangat banyak sehingga kemungkinan terjadinya reaktivitassilang (cross-reactivity) semakin tinggi. Dalam imunologi, cross-reactivity adalah
suatu reaksi antara antibodi dengan antigen selain antigen yang menyebabkan
proses immunogenic. Hal ini terjadi karena epitope antigen daari suatu organisme
dapat menyerupai epitope antigen dari organisme yang lain. Cross-reactivity akan
menurunkan sensitivitas dan spesifitas dalam pemeriksaan diagnosa dengan
menggunakan PAb.18 Selain itu, kelemahan PAb juga terdapat dalam proses
pembuatannya yang dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas antibodi yang
berbeda antara kluster (batch) produksi.19
Untuk mengurangi kelemahan yang ada pada PAb maka diperlukan suatu
kumpulan antibodi yang homolog yang diproduksi hanya dari satu jalur sel
limfosit B (monoclonal antibody) dan dalam proses pembuatannya tidak memiliki
perbedaan kuantitas dan kualitas antibodi antara kluster produksi. Pada tahun
1975, Georges Kohler dan Cesar Milstein memperkenalkan metode pertama
dalam pembuatan monoclonal antibody (MAb), dan metode ini merupakan
metode yang paling sering digunakan sampai saat ini. Metode ini dilandasi oleh
fakta bahwa setiap jalur sel limfosit B hanya mampu menghasilkan satu jenis
antibodi saja. Namun, karena sel limfosit B tidak dapat dikembangkan dalam
kultur, maka diperlukan hibridisasi dengan sel myeloma.20 Sel myeloma memiliki
kemampuan untuk berkembang dalam kultur (immortalize) dan memiliki
komponen protein yang serupa dengan struktur, fungsi, dan genetika dari antibodi.
Sel yang dihasilkan dari proses hibridisasi antara sel limfosit B dengan sel
myeloma disebut dengan sel hibridoma.21 Sel hibridoma mampu dikembangkan
dalam kultur sehingga dapat diproduksi ulang (renewable), sehingga MAb yang
diproduksi akan indentik dalam setiap kluster produksi.19 MAb sudah digunakan

10

sebagai alat diagnosa pada beberapa penyakit infeksi, seperti infeksi akibat bakteri
Listeria monocytogenes,9 Legionella pneumophila,22 Pneumococcal pneumonia,23
Neisseria meningitidis,24 Campylobacter jejuni,25 dan yang lainnya.

B. Upaya Menekan Tingginya Prevalensi TB yang Pernah Dilakukan
Berdasarkan data nasional maupun internasional angka prevalensi TB masih
tinggi, yakni mencapai sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis pada data tahun 1995, dan di Indonesia ditemukan infeksi positif
kuman tuberkulosis sebanyak 110 kasus per 100.000 penduduk pada data tahun
2004. Mengingat tingginya angka prevalensi ini maka pemerintah melakukan
berbagai macam upaya guna menekan angka tersebut, misalnya penyuluhan yang
gencar melalui berbagai cara dari iklan di media masa, program penyuluhan
langsung di tingkat puskesmas. Penyuluhan ini mengedepankan poin-poin khas
dari tuberkulosis baik gejala, tanda, cara penularan dan disamping itu juga
masyarakat dihimbau untuk memeriksakan diri sesegera mungkin ke pusat
layanan kesehatan terdekat jika mengalami gejala dan tanda yang mirip dengan
tuberkulosis. Diharapkan, dengan upaya ini skrining akan berhasil dilakukan dan
diagnosis cepat ditegakkan serta penularan dapat dicegah secara dini.13
Program pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) menjadi salah satu program
andalan yang dirancang untuk mengobati secara gratis para penderita tuberkulosis.
Adanya kegagalan pada sekian pengobatan dikarenakan tidak disiplinnya para
penderita TBC dan akhirnya meningkatkan angka resistensi obat TB itu sendiri.13
Pada unit-unit pelayanan kesehatan primer seperti di puskesmas tenagatenaga medis dituntut mampu untuk melihat dengan jeli gejala dari penyakit ini,
dan puskesmas juga dilengkapi dengan sarana yang memungkinkan untuk
melakukan pemeriksaan laboraturium sederhana yakni pemeriksaan BTA pada
sputum penderita TB.1
Upaya-upaya yang telah dilakukan di atas cukup memberikan hasil yang baik,
namun masih banyak terkendala salah satunya karena keterlambatan deteksi atau
diagnosis.13 Sering kali pasien baru memeriksakan diri ketika kondisinya sudah
benar-benar parah dan dapat dipastikan pada fase ini penularan sudah menyebar
luas kepada orang di sekitarnya. Terlebih, hal ini terjadi pada kalangan masyarakat
11

yang jauh dari pusat informasi kesehatan atau di pedalaman desa. Oleh karena itu,
memang sangat diperlukan sebuah skrining TB yang efektif dan cepat serta praktis
untuk bisa mendeteksi secara dini masyarakat yang telah terinfeksi kuman
tuberkulosis.1

C. Metode Diagnosis Tuberkulosis yang Telah Ada
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal
yang

perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesa baik

terhadap

pasien

maupun

keluarganya,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

bakteriologis BTA, rontgen dada (thorax photo), dan pemeriksaan penunjang lain
seperti pemeriksaan serologi (Enzym linked immunosorbent assay (ELISA),
Mycodot, peroksidase anti peroksidase (PAP), imunokromatografik), pemeriksaan
BACTEC, pemeriksaan cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan,
pemeriksaan darah, uji tuberkulin, dan polymerase chain reaction (PCR)
(konsensus TB).11
Sampai saat ini diagnosis untuk tuberkulosis masih terus dikembangkan
mengingat terdapat berbagai kelemahan dari masing-masing sarana diagnosis.
Sehingga mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan akhirnya juga terjadi
keterlambatan pengobatan serta memperbesar risiko penularan dari satu penderita
ke masyarakat sehat di sekitarnya. Jika melihat realita, sebagian besar kasus
infeksi terjadi di negara-negara berkembang di mana laboratorium klinis dan
personil terlatih untuk diagnosis dan pengobatan yang efektif kurang terlebih di
wilayah pedesaan, maka platform deteksi di tempat untuk diagnosis TB yang
cepat, sederhana, murah, dan sangat akurat dibutuhkan untuk deteksi dini TB agar
manajemen dan pengendalian infeksi pasien menjadi lebih baik.7
Metode skrining utama yang dipakai saat ini untuk mendeteksi infeksi TB
(aktif atau laten) adalah tes kulit Mantoux tuberkulin dengan purified protein
derivative (PPD). Sebuah tes darah in vitro berdasarkan interferon-gamma release
assay (IGRA) dengan antigen spesifik untuk M. tuberculosis juga dapat digunakan
untuk menyaring infeksi TB laten. Tes IGRA menawarkan keuntungan tertentu
dibandingkan tes kulit tuberkulin. Namun, metode ini memiliki kelemahan yakni
hasil negatif tidak menyingkirkan seseorang dari penyakit tuberkulosis. Selain
12

itu, pada banyak negara ditemukan kasus orang-orang yang terkena infeksi bakteri
nonmycobacterium ternyata menunjukkan hasil positif pada tes tuberkulin ini.
Pasien yang sebelumnya pernah mengidap tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh tetap akan menunjukkan hasil positif pada tes tuberkulin. Tuberkulin
hanya dapat dijadikan pegangan ketika pasien yang akan didiagnosis adalah anakanak yang sebelumnya belum pernah mendapatkan vaksin BCG sebelumnya.
Oleh karena itu, metode tes tuberkulin dapat dianggap kurang efektif dalam
memberikan hasil penunjang diagnosis tuberkulosis.3,7
Tes laboratorium yang dilakukan untuk menunjang tegaknya diagnosis pada
pasien terduga TB adalah pengecatan dan kultur basil tahan asam (BTA) serta
pemeriksaan serologi HIV. Pengecatan BTA dinilai cepat, tetapi sulit untuk bisa
menemukan kuman tuberkulosis pada pemeriksaan dibawah mikroskop ini
terutama pada pasien yang masih berada dalam masa awal infeksi. Kadang juga
terkendala dengan jumlah kuman yang sangat sedikit terlihat pada pemeriksaan,
karena sputum/dahak yang sulit didapatkan dari penderita, sedangkan standar
positif dari pemeriksaan ini terdapat sekurang-kurangnya 5.000 batang kuman.
Dengan demikian jika dinyatakan pemeriksaan BTA ini negatif bukan berarti
kuman tuberkulosis tidak ada. Dalam pemeriksaan ini membutuhkan keahlian
untuk membaca sampel.7
Metode lain dalam diagnosis tuberkulosis juga biasanya dilakukan kultur
mikobakteri tradisional, memerlukan 6-8 minggu untuk pertumbuhan dan
identifikasi. Disisi lain gambaran klinis pada pasien dan gambaran radiologi tidak
bisa dijadikan pegangan. Hal ini mengakibatkan banyaknya kasus TB lambat
terdiagnosis bahkan kasus TB yang bersifat tidak aktif atau yang tidak
menimbulkan gejala tidak tertangani. Akhirnya resiko penularan akan sangat
besar dan akan berimbas pada meningkatnya prevalensi penyakit tuberkulosis.7
Di antara beberapa pemeriksaan penunjang untuk diagnosis di atas, PCR adalah
metode yang paling sensitif, spesifik dan cepat. Namun, waktu tesnya termasuk
proses hibridisasi multipel membutuhkan 2-5 jam, dan kebutuhan infrastruktur
canggih serta personil terlatih membatasi kelayakan penerapan tes ini di negaranegara berkembang.3

13

BAB III
METODE PENULISAN
A. Sumber Referensi
Data-data yang digunakan dalam karya tulis ini bersumber dari berbagai
referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas.
Sumber referensi yang digunakan adalah tujuh artikel, lima textbook, dan 16
jurnal penelitian. Validitas dan relevansi sumber referensi yang digunakan pada
karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan. Jenis data yang diperoleh berupa
data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
B. Analisis Data
Karya tulis ini menggunakan analisis data deskriptif dan analitis. Upaya
analisis data menyangkut tiga komponen yaitu:
1.

pengumpulan data, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari artikel,
textbook, dan jurnal hasil penelitian,

2.

pemilihan data-data yang penting dan menggabungkannya menjadi satu
kesatuan,

3.

interpretasi data dan penyimpulan.
Analisis dilakukan dengan melakukan studi antara data yang terkumpul

dengan didasarkan metode deskriptif dan analisis. Pemecahan masalah dijabarkan
secara spesifik berdasarkan fenomena yang terjadi terkait pentingnya diagnosa
penyakit yang baru.
C. Penarikan Kesimpulan
Setelah analisis data, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan
menghubungkan rumusan masalah, dan pembahasan, selanjutnya ditarik
kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal
sebagai upaya transfer gagasan.

14

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
A. Skrining Tuberkulosis dengan MAb Strip Test
Permasalahan tingginya prevalensi TB yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya hingga saat ini memang belum menemukan pemecahan yang efektif.
Pembuatan dan pengaplikasian skrining TB dengan memanfaatkan MAb strip
test bisa menjadi sebuah solusi dalam masalah ini. Skrining ini berguna dalam
mendeteksi dini infeksi TB pada populasi yang cukup luas karena cepat dalam
memberikan hasil pada satu individu apakah bernilai positif atau negatif.
Sehingga MAb strip test ini cocok diaplikasikan oleh pelayanan kesehatan primer
seperti puskesmas atau puskesdes dalam sebuah kecamatan atau desa.
Monoclonal antibody merupakan metode yang akan menghasilkan antibodi
spesifik dan akan bereaksi dengan antigen pada bakteri TB apabila bakteri ini ada
pada peredaran darah manusia, sehingga metode ini akan memberikan hasil yang
sangat spesifik terhadap positif atau negatifnya infeksi bakteri TB pada satu
individu.10
Sampai saat ini, sudah ada beberapa metode skrining tetapi sifatnya kurang
akurat, misalnya tuberkulin test, karena masih sangat banyak ditemukan kasus
positif palsu dan negatif palsu. Individu sehat yang telah mendapatkan vaksin
BCG akan menimbulkan hasil positif palsu pada tes tuberkulin. Selain itu,
individu sakit yang terinfeksi kuman lain yang bukan kuman TB juga akan bisa
memberikan hasil positif palsu pada tes ini. Tes tuberkulin masih dipakai hingga
saat ini dikarenakan belum ada metode diagnosis serupa yang lebih akurat dan
efektif.18
Monoclonal antibody strip test mampu menjadi metode diagnosis dini yang
baru, menyempurnakan kelemahan dari metode tes tuberkulin. Strip test jauh lebih
praktis dan mudah serta tidak membutuhkan alat laboraturium yang canggih
dalam penggunaannya. MAb strip test ini memanfaatkan tiga antigen yang melalui
penelitian teridentifikasi pada saat infeksi TB fase preklinik. Tiga antigen ini
yakni, antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA yang terdapat pada bagian dinding sel
bakteri. Antigen terdapat hampir di semua strain dari Mycobacterium tuberkulosis,

15

sehingga mampu mendeteksi kuman TB meski pada strain yang berbeda. Tiga
antigen ini sangat khas muncul pada fase preklinik TB atau pada saat gejala TB
pada satu individu belum nampak jelas, sehingga indivu-individu yang terinfeksi
TB lebih awal bisa dideteksi dan pengobatan dapat lebih dini pula diberikan serta
mencegah penularan sedini mungkin kepada masyarakat sekitar.10
B. Pembuatan Monoclonal Antibody antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA
1) Kultur Sel Myeloma
Tumor yang disebabkan akibat keganasan pada sel limfosit B disebut dengan
myeloma. Myeloma sangat jarang terjadi pada tikus, kecuali pada tikus strain
LOU/c. Metode untuk menciptakan myeloma pada tikus strain BALB/c adalah
dengan menginduksi mineral oil ke rongga peritoneum sehingga terjadi iritasi
peritoneal yang kemudian menyebabkan terjadinya pembentukan myeloma.
Sekitar 40% tikus BALB/c akan mengembangkan myeloma apabila diinduksi
mineral oil secara intraperitoneal sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun.
Pembentukan myeloma pada tikus biasanya disertai translokasi kromosom 15
(yang memiliki oncogen e-mye) dengan lokus rantai besar (heavy chain) di
kromosom 12. Translokasi menyebabkan abnormalitas ekspresi gen c-myc, dan ini
merupakan langkah penting dalam terciptanya keganasan pada sel.26
Tipe sel myeloma yang sama sekali tidak memproduksi antibodi rantai besar
maupun rantai kecil adalah tipe X63-Ag8.653 dan Sp2/0-Ag14. Kedua tipe sel
myeloma tersebut ditemukan di periode tahun 1980-an. Ag8.653 merupakan tipe
sel myeloma yang paling sering digunakan untuk membuat MAb hingga saat ini.26
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis dikultur pada media EMJH yang
ditambah dengan 10% serum kelinci, 0,015% l-asparagine, 0,001% sodium
piruvat, 0,001% kalsium klorida, 0,001% magnesium klorida, 0,03% pepton, dan
0,02% ekstrak daging. Sebaiknya baketri Mycobacterium tuberculosis yang
dipakai adalah dari daerah local untuk meningkatkan spesifikasi dari strip test.
Selanjutnya dengan menggunakan PCR dilakukan amplifikasi hingga didapatkan
sekuens DNA Produk amplifikasi kemudian dikloning ke pGEM-T Easy Vector
dan disubkloning ke pAE vector.27

16

Selanjutnya dilakukan proses rekombinansi antara masing-masing antigen
dengan bakteri E. coli BL21. Tikus BALB/c lalu diimunisasi dengan
menginjeksikan sebanyak 10 µg rekombinan ketiga antigen yang terpurifikasi
masing-masing secara intraperitonial. Beberapa hari setelah injeksi terakhir
dilakukan, tikus kemudian dibedah dan diambil spesimen sel limfosit B nya.26
2) Proses Hibridisasi
Hibridisasi dilakukan dengan menggunakan polyethylene glycol (PEG).
Proses hibdridisasi dilakukan pada masing-masing sel limfosit B (PE-PGRS,
PTRP, dan MtrA), sehingga di akhir pembuatan akan tercipta tiga jenis hibridoma
yang menghasilkan MAb PE-PGRS, MAb PTRP, dan MAb MtrA yang berguna
untuk mendiagnosa penyakit tuberkulosis pada fase preklinik. Metode hibridisasi
yang digunakan adalah metode yang dipakai oleh Joan Curtis dan Emanuela
Handman, yaitu sebagai berikut:26
1. Dua hari sebelum dilakukan hibridisasi, dilusikan sel myeloma ke dalam 200
ml media Dulbecco Modified Eagle’s (DEM).
2. Suspensikan sel limfosit B (PE-PGRS, PTRP, dan MtrA) ke dalam media
DEM tanpa ditambah dengan fetal calf serum (FCS). Cuci sel yang rusak
dengan melakukan sentrifuse kecepatan 700 rpm selama 7 menit dengan 3
kali pengulangan. Di saat yang bersamaan juga lakukan sentrifuse pada 200
ml dilusi sel myeloma. Konsentrasi jumlah sel antara myeloma dan limfosit B
tidak boleh lebih dari 105/ml.
3. Campur suspense sel limfosit B dengan dilusi sel myeloma ke tube berukuran
50 ml, dan lakukan sentrifuse lagi. Atur suhu sebesar 370C.
4. Buang semua cairan yang ada pada tube, usahakan agar kumpulan sel dalam
kondisi kering. Letakkan tube pada water bath 370C selama 2 menit. Secara
lembut

aduklah

kumpulan

sel

pada

tube

dengan

menggunakan

bacteriological loop steril.
5. Tambahkan 1 ml PEG 50% ke dalam tube menggunakan pipet, dan dengan
pipet yang sama aduk PEG bersama kumpulan sel secara lembut selama 30
detik.

17

6. 60 detik setelahnya, tambahkan 7 ml DEM (tanpa FCS). Setelah pemberian
DEM maka sel akan menggumpal, tetap lakukan pengadukan dengan
menggunakan pipet.
7. Tambahkan DEM (tanpa FCS) hingga tube penuh (50 ml). Lakukan sentrifuse
dengan kecepatan 400 hingga 700 rpm selama 5 menit.
8. Setelah sentrifuse usai lakukanlah adukan secara lembut sehingga sel tidak
lagi menggumpal. Hibridoma telah terbentuk dan siap untuk dikultur.
9. Buatlah media hypoxanthine-aminopterin-thymidine (HAT) untuk mengkultur
hibridoma. Media HAT terdiri atas 100 ml DME yang mengandung 10%
FCS, 1ml 200 mM glutamine, organ thymus dari tikus berusia 4 hingga 6
minggu, dan 1 ml konsentrat 100 x HAT. FCS dan thymus berguna untuk
memberikan nutrisi pada medium, karena FCS mengandung zat penting
(transferrin, hormon, dan lainnya) dan thymus mengandung IL-6 yang
diperlukan hibridoma untuk berkembang.
10. Sel yang dihibridisasi kemudian di kultur di media HAT selama 10 hingga 14
hari, sehingga sel yang gagal terhibridisasi akan mengalami kematian dan sel
yang selamat merupakan sel yang berhasil terhibridisasi.20
3) Pengecekan Titer Antibodi dan Cloning Hibridoma
Selanjutnya dilakukan pengecekan titer antibodi dari kedua kultur hibridoma
(PE-PGRS, PTRP, dan MtrA) yang telah dibuat dengan menggunakan ELISA.
Tujuannya adalah untuk mencari sel hibridoma yang menghasilkan MAb dengan
spesifitas yang paling diinginkan. Akhirnya, didapatkanlah dua jenis sel
hibridoma yang masing-masing menghasilkan antibodi spesifik (MAb) terhadap
antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA. Setelahnya dilakukan cloning sel hibridoma
dengan menggunakan metode limited dilution.26
4) Pembuatan Strip Test Monoclonal Antibody
Strip test MAb terdiri atas conjugate pads, sample pads, dan membran
nitroselulosa yang disertai control line (C line) dan test line (T line) (Gambar 4).9

18

Gambar 4. Strip Test Monoclonal Antibody9
Membran Nitroselulosa
Membran nitroselulosa yang digunakan adalah membran nitroselulosa
HF240. Sebanyak 2 µg/ml MAb (PE-PGRS, PTRP, dan MtrA) diteteskan
pada area T line, sedangkan pada area C line diteteskan 2 µg/ml antibodi
goat

anti-mouse

IgG.

Membran

kemudian

dikeringkan

dengan

menggunakan desiccator selama 1 jam pada suhu 370C, yang bertujuan
untuk mengkonjugasikan area C dan T dengan antibodi yang telah
diteteskan. Untuk mencegah terjadinya konjugasi pada area selain area T
dan area C, membran nitroselulosa direndam pada 10 mM PBS (pH 7,2)
yang mengan-dung 1% skim milk selama 15 menit, kemudian dicuci
sebanyak 2 kali dengan menggunakan 10 mM PBS (pH 7,2). Membran
nitroselulosa kemudian dikeringkan selama 24 jam di suhu ruangan. 20
Selanjutnya

dilakukan

pemeriksaan

ELISA

menggunakan

enzim

horseradish peroxidase (HRP) sebagai marker (tracer) diagnosa, sedangkan
marker pada strip test MAb adalah partikel gold colloid (diameter 40 nm).
Partikel gold colloid diseting menjadi pH 9.0 dengan menggunakan 0,1 M
K2CO3 dan di-konjugasikan dengan 23 µg/ml MAb.9
Sample Pads
Metode pembuatan sample pads dilakukan berdasarkan metode yang
dilakukan oleh Shim et al., yaitu dengan menggunakan fiber selulosa.
Selanjutnya dilakukan uji spesifisitas dan sensitifitas.9

19

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Untuk mengatasi masalah tingginya angka prevalensi TB dapat dilakukan
skrining sehingga infeksi TB dapat terdeteksi lebih awal dan mengurangi
risiko penularan.
2. Agar penyakit TB dapat terdeteksi dini di daerah pedesaan yang akses
pelayanan kesehatannya jauh, maka harus ada metode skrining yang
mudah, sederhana, dan akurat, yaitu dengan strip test monoclonal
antibody.
3. Strip test monoclonal antibody dapat mendeteksi antigen PE-PGRS, PTRP,
dan MtrA yang hanya terdapat pada pasien TB bahkan sebelum munculnya
gejala.
4. Pembuatan monoclonal antibody antigen PE-PGRS, PTRP, dan MtrA
adalah dengan memvaksin tikus dengan vaksin antigen, kemudian
mengambil sel limfosit B yang difusikan dengan sel myeloma sehingga
membentuk sel hibridoma. Selanjutnya dipilih sel hibridoma dengan
afinitas antibodi terkuat yang kemudian akan dilakukan cloning dan
pengkulturan.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka dapat diajukan
saran sebagai berikut:
1. Perlu diadakan kajian lebih lanjut khususnya terkait metode pembuatan
monoclonal antibody PE-PGRS, PTRP, dan MtrA dalam mencip-takan
strip test monoclonal antibody.
2. Perlu diadakan penelitian laboratorium secara langsung mengenai
sensitifitas dan spesifisitas diagnosa infeksi Mycobacterium tuberculosis
menggunakan monoclonal antibody strip test.
3. Perlu diadakan skrining di daerah endemis tuberkulosis dengan
menggunakan monoclonal antibody strip test TB.

20

DAFTAR PUSTAKA
1.

Suryanto E, Susanto SY. Diagnosis Tuberkulosis Paru. In: Kumpulan Naskah
Ilmiah, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 1997 : 1-9.

2.

WHO. Global Tuberculosis
Organization, 2013.

3.

Tsai TT, Shen SW, Cheng CM, Chen CF. Paper-based tuberculosis
diagnostic devices with colorimetric gold nanoparticles. Sci. Technol. Adv.
Mater. 2013; 14: 1-7.

4.

American Thoracic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. American Journal of Respiratory And
Critical Care Medicine 2000; 161: 1376-1395.

5.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis-Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.

6.

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, et al. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 17th Ed. Philadelphia: McGraw-Hill, 2008.

7.

Herchline TE. Tuberculosis Workup. In: Bronze MS, editor. Medscape Drugs
and
Diseases.
2014
[cited
Oct
2014].
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/230802-workup.

8.

Widiyanti D, Koizumi N, Fukui T. Development of ImmunochromatographyBased Methods for Detection of Leptospiral Lipopolysaccharide Antigen in
Urine. Clin Vaccine Immunol. 2013; 20: 683-690.

9.

Won-Bo S, Choi JG, Kim JY,et al. Production of Monoclonal Antibody
Against Listeria monocytogenes and Its Application to Immunochromatography Strip Test. J Microbiol Biotechnol. 2007; 17(7): 1152-1161.

Report

2013.

Geneva:

World

Health

10. Singh KK, Zhang X, Patibandla AS, et al. Antigens of Mycobacterium
tuberculosis Expressed during Preclinical Tuberculosis: Serological
Immunodominance of Proteins with Repetitive Amino Acid Sequences. Infect.
Immun. 2001; 69(6): 4185-4189.
11. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Tuberkulosis. Jakarta: Depkes, 2007.

Nasional

Penanggulangan

12. Glaziou P, Falzon D, Floyd K, Raviglione M. Global Epidemiology of
Tuberculosis. Semin Respir Crit Care Med 2013; 34: 3–16.
13. Dahlan Z. Diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis. Cermin kedokteran
1997; 115: 8-12.

14. Kalafer EM. Tuberculosis syndrome. In: Bordow AR, Moser MK, editors.
Manual of Clinical Problem in Pulmonary medicine ed. 3. London: Little and
Brown Company, 1993: 152-157.
15. Banu S, Honore N, Saint Joanes B, et al. Are the PE-PGERS Proteins of
Mycobacterial tuberculosis Variable Surface Antigens. National Institue of
Health. 2002; 44(1): 9-19.
16. Sengh KK, Sharma N, Vargas D, et al. Peptides of a Novel Mycobacterium
Tuberculosis Spesific Cell Wall Proteins for Imunodiagnosis of Tuberculosis.
National Institue of Health. 2009; 2000(4): 571-581.
17. Maha Al-Zayer, Dorota, Renata Dziedzic, et al. Mycobacterium Tuberculosis
MtrA merodiploid strains with point mutations in the signal receiving domain
of MtrA Eexhibit growth defectsin nutrient broth. National Institue of Health.
2012; 65(3) : 210-218.
18. Lehman DC. Immunodiagnosis of Infectious Disease. In: Mahon CR, editors.
Textbook of Diagnostic Microbiology. 4ed. Philadelphia: Elsevier; 2011. 2046.
19. Anonymous. Polyclonal and Monoclonal: A Comparison. Abcam. 2012 [cited
Jun 2014] Available in: www.abcam.com/index.html?pageconfig=
resource&rid=11269&
20. Abbas AK, Licthman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th
ed. Philadelphia: Elsevier, 2007.
21. Berzofsky JA, Berkower IJ, Epstein SL. Antigen-Antibody Interactions and
Monoclonal Antibodies. In: Paul WE, editors. Fundamental Immunology. 5ed.
Philadelphia: Williams & Wilkins; 2003. 96-100.
22. Diederen BM, Peeters MF. Evaluation of Two New Immunochromatographic
Assays (Rapid U Legionella Antigen Test and SD Bioline Legionella Antigen
Test) for Detection of Legionella Pneumophila Serogroup 1 Antigen in Urine.
J Clin Microbiol. 2006; 44: 2991-3.
23. Roson B, Fernandez-Sabe N, Carratala J, et al. Contribution of a Urinary
Antigen Assay (Binax NOW) to the Early Diagnosis of Pneumococcal
Pneumonia. Clin Infect Dis. 2004; 38: 222-6.
24. Chanteau S, Dartevelle S, Mahamane AE, et al. New Rapid Diagnostic Tests
for Neisseria Meningitidis Serogroups A, W135, C, and Y. PLoS Med. 2006;
3: 337.

25. Gomez-Camarasa C, J Guetierrez-Fernandez, JM Rodriguez-Granger, et al.
Evaluation of the Rapid RIDAQUICK Campylobacter® Test in a General
Hospital. Diagn Microbiol Infect Dis. 2014; 78: 101-4.
26. James W Goding. Monoclonal Antibodies: Principles and Practice. 3rd ed.
London: Academic Press, 1998.
27. Hauk P, Macedo F, Romero EC, et al. In LipL32, the Major Leptospiral
Lipoprotein, the C Terminus Is the Primary Immunogenic Domain and
Mediates Interaction with Collagen IV and Plasma Fibronectin. Infect
Immun. 2008; 76: 2642-50.

LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Ketua
: Dina Aulia Fakhrina
Tempat, Tanggal Lahir
: Martapura, 1 Juli 1993
Jurusan/Fakultas
: Pendidikan Dokter/Kedokteran
Universitas
: Universitas Lambung Mangkurat
Nama Anggota 1
Tempat, Tanggal Lahir
Jurusan/Fakultas
Universitas

:
:
:
:

Riski Agustin
Gambut, 1 Agustus 1993
Kedokteran Gigi/Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat

Nama Anggota 2
Tempat, Tanggal Lahir
Jurusan/Fakultas
Universitas

:
:
:
:

Rahmi Noorhayati
Banjarbaru, 17 Maret 1994
Pendidikan Dokter/Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat

Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis dengan judul “SKRINING

TUBERKULOSIS DENGAN
MONOCLONAL ANTIBODY
STRIP TEST UNTUK MASYARAKAT PEDESAAN SEBAGAI
UPAYA PENURUNAN PREVALENSI TUBERKULOSIS” adalah
benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat atau saduran dari
karya tulis orang lain serta belum pernah menjuarai di kompetisi