LAJU PENYERAPAN KUNING TELUR TAMBAKAN (Helostoma temminckii C.V) DENGAN SUHU INKUBASI BERBEDA

Jur nal Akuakul tur Rawa Indonesia, 1(1) :34- 45 (2013)

ISSN : 2303- 2960

LAJU PENYERAPAN KUNING TELUR TAMBAKAN (Helostoma temminckii C.V)
DENGAN SUHU INKUBASI BERBEDA
Yolk Adsorption Rate of Kissing Gouramy Fish (Helostoma temminckii C.V)
at Different Incubation Temperature
Adriana Mariska1, Muslim2, Mirna Fitrani3
1

Mahasiswa Peneliti, 2Dosen Pembimbing I, 3Dosen Pembimbing II
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya, Indralaya, Ogan Ilir 30662

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of different incubation
temperatures to the rate of the kissing gouramy (Helostoma temminckiiC.V) yolk
absorption, and to know the right time to start feeding in the larval stage. This study was
held on January 09th to 13th, 2013 using Completely Randomized Design (CRD) with five
treatments namely P1 (26±0.50C), P2 (28±0.50C), P3 (30±0.50C), P4 (32±0.5 0C) and P5

(34±0.50C).Each treatment was repeated three times. The results showed that the
temperature gave significant effect (P>0,05) to rate of yolk absorption, periode of yolk
absorption and percentage of larval survival.The highest rate of yolk absorption was P5
(42.24 x 10-5 mm3/hour), but not significantly different fromP4 (41.63 x 10 -5 mm3hour-1),
and P3 (41.83 x 10-5 mm3hour-1). The fastest periode of yolk absorption was P5 (72 hours)
and the longest was P1 (78.67 hours). While the highest larval survival rate was found on
P3 (89.87%), on the other hand the lowest survival rate was found on P5 (62.35%). The
natural feeding of kissing gouramy fish should be started at 74th hours (3 days, 2 hours)
after hatching and larval rearing should use temperature of 300 ± 0.5 0 C.
Keywords: Helostoma temminckii C.V., temperature, yolk absorption
pada perairan alami atau masih bersumber

PENDAHULUAN

dari perairan umum terutama rawa.
Ikan

tambakan

(Helostoma


Pada kegiatan pembenihan ikan,

temminckii) merupakan salah satu jenis

fase larva merupakan fase kritis karena

ikan konsumsi sekaligus ikan hias yang

pada fase tersebut banyak terjadi kematian

cukup digemari oleh masyarakat dan

yang terjadi pada saat habisnya kuning

harganya pun terbilang cukup tinggi.

telurpadahal

Ketersediaan ikan tambakan di pasaran


makanan yang sesuai. Larva ikan pada

sampai saat ini masih berasal dari kegiatan

awal kehidupan memperoleh nutrisi untuk

penangkapan. Menurut Susanto (1999),

tumbuh

produksi ikan tambakan masih bergantung

endogeneous
34

dari

ikan


belum

kuning

menemukan

telur

feeding.Pemberian

sebagai
pakan
34

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia

Adr iana, et al. (2013)

alami seharusnya diberikan pada saat yang


telur ikan tambakan. Oleh karena itu perlu

tepat, yaitu pada saat kuning telur habis

dilakukan penelitian tentang pengaruh

dan juga harus sesuai dengan bukaan mulut

suhu yang berbeda bagi waktu penyerapan

larva agar larva tidak kekurangan nutrisi

kuning telur pada ikan tambakan.Tujuan

dan tetap dapat hidup. Menurut Effendi

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

(2002), fase kritis terjadi pada saat sebelum


pengaruh suhu inkubasi yang berbeda

dan sesudah penghisapan kuning telur dan

terhadap laju penyerapan kuning telur ikan

masa transisi pengambilan makanan dari

tambakan, sehingga diketahui kapan waktu

luar dan terjadi secara berbeda pada setiap

yang tepat untuk pemberian pakan awal

spesies ikan.

pada fase larva.

Suhu


merupakan

parameter kualitas air

salah

satu

yang berperan

penting dalam kegiatan pembenihan ikan.

BAHAN DAN METODE
Persiapan

Suhu diduga dapat mempengaruhi laju

Penelitian ini telah dilaksanakan

waktu penyerapan kuning telur.Direktorat


pada tanggal 09 sampai dengan 13 Januari

Jendral Perikanan

2013 di Unit Pembenihan Rakyat (UPR)

(1987)

menyatakan
derajat

Batanghari Sembilan, Indralaya.Peralatan

penetasan, waktu penetasan, penyerapan

yang akan digunakan selama penelitian

kuning


adalahakuarium

70

larva.Menurut Nugraha et.al., (2012), pada

akuarium30

30

suhu 30 oC kecepatan penyerapan kuning

termometer, DO meter, pH meter, Blower,

telur ikan black ghost (A. Albifrons)

timbangan digital, spuit suntik, Heater,

tercepat adalah yaitu 4 hari 21 jam.Pada


baskom, sendok plastik dan mikroskop

penelitian

Yuningsih,

okuler. Bahan digunakan dalam penelitian

(2002), kuning telur ikan tambakan habis

adalah induk ikan tambakan, larva ikan

pada jam ke 92 setelah menetas dengan

tambakan, dan hormona-SGnRH, LHRH,

suhu pemeliharaan larva 25-30,9 oC.Pada

domperidone.


bahwa

suhu

telur

mempengaruhi

dan

yang

pertumbuhan

dilakukan

awal

penelitian tersebut suhu inkubasi yang

x

Penelitian
tahapan

x

40

x

x30cm3,

30cm3,
waring,

ini dilakukan dalam

digunakan merupakan suhu ruangan yang

beberapa

yaitu

dimulai

dari

normal homogen sehingga belum diketahui

pemeliharaan induk, selanjutnya tahap

pengaruh suhu inkubasi yang berbeda

pemijahan yang dilakukan penyuntikan

terhadap laju waktu penyerapan kuning

induk mengunakan hormon a-SGnRH,
35

Jur nal Akuakultur Rawa Indonesia

Adri ana, et al . (2013)

Prolarva

LHRH dan domperidone dengan dosis 0,5

hasil

penetasan

telur

ml per kg secara intramuscular pada otot

dipelihara pada suhu yang sesuai dengan

punggung induk sebanyak masing-masing

masing-masing perlakuan sampai kuning

1 kali penyuntikan pada setiap induk.

telur pada prolarva hampir habis. Prolarva

Setelah dilakukan penyuntikan pada induk

yang mati dibuang dengan menggunakan

ikan jantan dan induk ikan betina, induk

pipet

tersebut dimasukkan ke dalam akuarium

prolarvatidak dilakukan pergantian air.

pemijahan

proses

Pengamatan terhadap prolarva dan media

pemijahan,dengan perbandingan 2:1 (2

terus dilakukan hingga kuning telur hampir

jantan dan 1 betina).Induk memijah 14 jam

habis dan mencatat waktu penyerapan

setelah penyuntikan dan kemudian segera

kuning telur, diameter kuning telur serta

dipindahkan dari akuarium pemijahan.

persentase kelangsungan hidup prolarva.

untuk

Telur

melakukan

yang

terbuahi

tetes.

Selama

pemeliharaan

berwarna

kuning bening, sedangkan jika berwarna

Pengukuran Laju Penyerapan Kuning
Telur

putih susu berarti telur tidak dibuahi dan
harus segera
terbuahi

dipisahkan.

kemudian

dipindahkan

ke

Telur

dengan

dalam

yang

hati-hati

masing-masing

Pengukuran dan pengamatan laju
penyerapan kuning telur dilakukan dengan
pengambilan 3 ekor prolarva dari setiap
akuarium setiap 3 jam sekali dan setelah

akuarium yang telah diberi perlakuan.

jam ke 48 dilakukan setiap satu jam sekali
Penetasan
Prolarva

Telur

dan

Pemeliharaan

pada mikroskop hingga kuning telur
hampir habis seluruhnya.

Telur ikan yang telah dibuahi
kemudian dimasukkan ke dalam akuarium
dengan jumlah telur pada tiap akuarium

Rancangan Percobaan
Rancangan
digunakan

digunakan sebanyak 15 akuarium dan telah

Lengkap (RAL) dengan menggunakan

diisi air dengan ketinggian air 25 cmyang

lima perlakuan dan tiga kali ulangan.

dilengkapi

dan

Rancangan percobaan dibuat duplo dengan

termometer yang sudah diatur sesuai

satu percobaan terdiri dari lima belas unit

dengan perlakuan masing-masing.

akuarium untuk pengamatan kelangsungan

aerator,heater

Rancangan

yang

adalah 200 butir. Jumlah akuarium yang

dengan

adalah

percobaan

Acak

36

Jurnal Akuakultur Rawa Indones ia

Adr iana, et al. (2013)

hidup dan kualitas air, dan satu percobaan
terdiri dari lima belas unit akuarium untuk

Vo
Vt
T

= volume kuning telur awal (mm3)
= volume kuning telur akhir (mm3)
= waktu (jam)

pengamatan waktu penyerapan kuning
telur dan laju penyerapan kuning telur.

Waktu Penyerapan Kuning Telur

Perlakuan yang digunakan yaitu : P1: 26oC

Waktu Penyerapan Kuning Telur

± 0,5 oC, P2: 28 oC ± 0,5 oC, P3: 30 oC ±

(WPKT) diketahui dengan cara mencatat

0,5

o

C, P4: 32

o

C ± 0,5

o

C, dan

P5: 34 oC ±0,5 oC

waktu prolarva mulai menetas sampai
kuning telur pada prolarva hampir habis
seluruhnya menggunakan rumus:

Parameter yang Diamati
WPKT= tkh–tn

Parameter-parameter yang diukur
dalam pelaksanaan penelitian ini adalah

Keterangan:

sebagai berikut :

WPKT = waktu penyerapan kuning telur
(jam)
tn
= waktu menetas (jam)
tkh
= waktu kuning telur habis (jam)

Laju Penyerapan Kuning Telur
Volume
menggunakan

kuning
rumus

telur

dihitung

Hemming

dan

Persentase Kelangsungan Hidup

Buddlington (1988) dalam Pramono et.al.,
Prolarva selama Penyerapan Kuning
Telur

(2006), yaitu:
V= 0,1667 π LH2
Keterangan:
V = volume kuning telur (mm3)
L = diameter kuning telur memanjang
(mm)
H = diameter kuning telur memendek
(mm)

Persentase

kelangsungan

hidup

prolarvatambakan dihitung menggunakan
rumus:
Per sentase kelangsungan hidup =
100%

Laju penyerapan kuning telur (LPKT)
dihitung

dengan

menggunakan

rumus

Pengukuran Kualitas air

Kendall et al. (1984) dalam Ardimas
Kualitas fisika dan kimia air yang

(2012):
LPKT 

Vo  Vt
T

Keterangan:
LPKT
= laju penyerapan kuning telur
(mm3/jam)

diukur

selama

pemeliharaan

dan

pengamatan prolarva adalah pH dan
oksigen terlarut (dissolved oxygen = DO)
yang dilakukan setiap hari.

37

Jur nal Akuakultur Rawa Indonesia

Adri ana, et al . (2013)

Data yang diperoleh dari hasil
penelitian meliputi data primer yang
didapat secara langsung dari kegiatan
penelitian meliputi data waktu penyerapan
kuning telur, laju penyerapan kuning
telur, tingkat kelangsungan hidup prolarva
dan data kualitas air serta data sekunder

0.035
Volume kuning telur (mm3)

Pengambilan Data dan Analisis Data

0.03
Seri
P
es1

0.025

P
Seri
P
es2

0.02

0.015

P
Seri
es3
P

0.01

0.005
0
0

yang didapatkan dari hasil penelitian

10

20

penelitian disajikan dalam bentuk tabel
dan

diolah

menggunakan

penyerapan kuning telur, laju penyerapan
kuning telur dan tingkat kelangsungan
hidup prolarva disajikan dalam bentuk
tabel, selanjutnya dianalisa secara statistik
menggunakan

analisa

ragam

(Anova).Apabila hasilnya berbeda nyata
dianalisis

dengan

uji

lanjut

BNJ.

Sedangkan data kualitas air dianalisa
secara deskriptif.

60

70

80

Secara umum pola penyerapan
kuning telur pada masa prolarva yang
diamati setiap 3 jam sekali selama 80 jam
menunjukkan bahwa volume kuning telur
yang diserap pada setiap pengamatan
tidak

terlalu

berbeda

dalam

setiap

perlakuan. Volume kuning telur menurun
cepat hingga jam ke 12 dan melambat
pada jam ke 15 hingga jam ke 51,
kemudian menurun dengan cepat lagi
hingga jam ke 63 dan melambat hingga

HASIL

volume kuning telur hampir habis.
Laju penyerapan kuning telur

Laju Penyerapan Kuning Telur
Pada

50

Gambar 1. Hubungan suhu inkubasi
dengan volume kuning
telur

program

Microsoft Excel. Data berupa waktu

40

W aktu (jam)

terdahulu studi literatur yang menunjang.
Data yang diperoleh dari hasil

30

awal

penelitian

volume

dengan

suhu

inkubasi

berbeda

kuning telur prolarva ikan tambakan

menghasilkan laju penyerapan kuning

berkisar antara 0,029 – 0,031 mm3

telur yang berbeda.Data laju penyerapan

(Gambar 1).

kuning telur selama penelitian disajikan
pada Tabel 1 berikut.

38

Jur nal Akuakultur Rawa Indonesia

Adr iana, et al. (2013)

Tabel 1. Laju penyerapan kuning telur (mm3/jam)
Perlakuan
26 ± 0,5 oC
28 ± 0,5 oC
30 ± 0,5 oC
32 ± 0,5 oC
34 ± 0,5 oC

Ulangan
2
37,85 x 10 -5
38,23 x 10 -5
42,51 x 10 -5
42,75 x 10 -5
42,05 x 10 -5

1
39,73 x 10-5
39,89 x 10-5
41,73 x 10-5
41,43 x 10-5
42,59 x 10-5

3
39,48 x 10 -5
39,77 x 10 -5
41,23 x 10 -5
40,72 x 10 -5
42,06 x 10 -5

Rerata
BNJ 0,05 = 2,08 x 10 -5
39,02 x 10 -5 a
39,30 x 10 -5 a
41,83 x 10 -5 b
41,63 x 10 -5 b
42,24 x 10 -5 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

laju penyerapan kuning telur terendah

laju penyerapan kuning telur tertinggi

terdapat pada perlakuan P1 (26 ± 0,5 oC)

terdapat pada perlakuan P5 (34 ±0,5oC)

yaitu 39,02 x 10 -5 mm3 jam-1, namun tidak

42,24 x 10-5 mm3jam-1. Sedangkan laju

berbeda nyata dengan perlakuan P2 (28 ±

penyerapan kuning telur terendah terdapat

0,5 oC) yaitu sebesar 39,30 x 10-5 mm3

pada perlakuan P1 (26 ± 0,5 oC) yaitu 39,02

jam-1.

x 10-5 mm3 jam-1.
Hasil

analisa

sidik

ragam

Waktu Penyerapan Kuning Telur

menunjukkan bahwa suhu berpengaruh

Waktu penyerapan kuning telur

nyata pada laju penyerapan kuning telur.

merupakan lama waktu terserapnya kuning

Hasil uji lanjut menggunakan uji BNJ

telur pada tubuh prolarva ikan sebagai

menunjukkan

bahwa

endogeneous feeding mulai dari menetas

kuning

tertinggi

laju

penyerapan
pada

hingga kuning telur hampir habis. Waktu

perlakuan P5 (34 ±0,5 oC) 42,24 x 10 -5

penyerapan kuning telur dengan suhu

mm3 jam-1namun tidak berbeda nyata

inkubasi berbeda menghasilkan waktu

dengan perlakuan P4 (32 ± 0,5 oC) 41,63 x

penyerapan kuning telur yang tidak sama.

10 -5mm3 jam-1dan juga P3 (30 ± 0,5 oC)

Data waktu penyerapan kuning telur

yaitu 41,83 x 10-5mm3 jam-1. Sedangkan

tersebut disajikan pada Tabel 2.

telur

terdapat

39

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia

Adr iana, et al. (2013)

Tabel 2. Waktu penyerapan kuning telur (jam)
Perlakuan

Ulangan
2
79
78
73
72
72

1
78
78
74
75
72

P1 (26 ± 0,5 oC)
P2 (28 ± 0,5 oC)
P3 (30 ± 0,5 oC)
P4 (32 ± 0,5 oC)
P5 (34 ± 0,5 oC)

Rerata (jam)
BNJ 0,05= 2,23
78,67b
78,33b
74,00a
73,33a
72,00a

3
79
79
75
73
72

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Pada Tabel 2 diketahui bahwa
waktu penyerapan kuning telur tercepat

berbeda nyata dengan perlakuan P2 (28 ±
0,5 oC) yaitu 78,33 jam.

terdapat pada perlakuan P5 (34 ±0,5oC)
yaitu 72 jam. Sementara waktu penyerapan
kuning

telur

terlama

terdapat

pada

o

perlakuan P1 (26 ± 0,5 C) yaitu 78,67 jam.
Berdasarkan hasil analisa sidik

Persentase Kelangsungan Hidup
Prolarva Selama Penyerapan Kuning
Telur
Persentase

kelangsungan

hidup

suhu

prolarva pada penelitian merupakan selisih

terhadap

antara jumlah prolarva yang menetas

waktu penyerapan kuning telur (P>0,05).

dengan prolarva yang masih hidup sampai

Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa

akhir masa pengamatan yaitu sampai

waktu penyerapan kuning telur tercepat

kuning telur hampir habis. Dari hasil

ragam,

pemberian

memberikan

pengaruh

perlakuan
nyata

o

terdapat pada perlakuan P5 (34 ±0,5 C)

pengamatan diketahui pada suhu air yang

yaitu 72 jam namun tidak berbeda nyata

berbeda

dengan perlakuan P4 (32 ± 0,5 oC) yaitu

kelangsungan

73,33 jam dan P3 (30 ± 0,5 oC) yaitu 74

berbeda-beda.

jam. Sementara waktu penyerapan kuning

kelangsungan

telur terlama terdapat pada perlakuan P1

penelitian disajikan pada Tabel 3.

menghasilkan
hidup

prolarva

Data
hidup

persentase
yang

persentase

prolarva

selama

o

(26 ± 0,5 C) yaitu 78,67 jam namun tidak

40

Jur nal Akuakul tur Rawa Indonesia

Adr iana, et al. (2013)

Tabel 3. Persentase kelangsungan hidup prolarva (%)
Perlakuan

Ulangan
2
69,31
67,01
97,93
57,36
59,88

1
74,59
83,16
81,22
70,33
69,14

P1 (26 ± 0,5 oC)
P2 (28 ± 0,5 oC)
P3 (30 ± 0,5 oC)
P4 (32 ± 0,5 oC)
P5 (34 ± 0,5 oC)

3
76,34
68,84
90,45
69,48
58,04

Rerata
BNJ 0,05 = 17,66
73,42ab
73,00ab
89,87 b
65,72 a
62,35 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Tabel 3.menunjukkan bahwa persentase

dengan seluruh perlakuan lainnya yang

kelangsungan hidup prolarva tertinggi

terdapat pada P1 (26 ± 0,5

o

o

C) yaitu

o

terdapat pada perlakuan P3 (30 ± 0,5 C)

73,42%; P2 (28 ± 0,5 C) yaitu 73,00 %

yaitu 89,87 %. Sementara persentase

dan P4 (32 ± 0,5 oC) yaitu 65,72 %;

kelangsungan hidup prolarva terendah

sementara persentase kelangsungan hidup

terdapat pada perlakuan P5 (34 ±0,5oC)

prolarva terendah terdapat pada perlakuan

62,35 %. Berdasarkan hasil analisa sidik

P5 (34 ±0,5 oC) yaitu 62,35 %.

ragam,

diketahui

perlakuan

bahwa

suhu

pemberian

berpengaruh

nyata

Pengukuran Kualitas Air
Hasil

terhadap kelangsungan hidup prolarva.

pengukuran

parameter

Hasil uji lanjut menggunakan uji

kualitas air masih dalam batas normal bagi

menunjukkan

perlakuan

penetasan telur dan pemeliharaan prolarva.

prolarva

Data pengukuran kualitas air selama

terbaik terdapat pada perlakuan P3 (30 ±

penelitian disajikan pada Tabel 4 sebagai

0,5 oC) yaitu 89,87 % dan berbeda

berikut :

BNJ
dengan

kelangsungan

bahwa
hidup

nyata

Tabel 4.Nilai pH dan oksigen terlarut selama penelitian
Parameter
Kualitas
Air

o

26±0,5 C

Perlakuan (suhu)
28±0,5 C 30± 0,5 oC 32±0,5 oC
o

pH
7,0-7,6
7,1-7,8
DO (mg/l) 6,51-7,73 6,60-8,15
Keterangan: a) Effendi (2000)

7,0-7,5
6,70-7,68

7,0-7,7
6,36-8,14

34±0,5oC

Pustaka

7,1-7,7
6,60-8,14

7-8,5a
>5a

41

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia

Adri ana, et al . (2013)

feeding, sumber energi larva berasal dari

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa

laju

penyerapan

kuning

telur

kuning telur yang laju penyerapannya
sejalan dengan peningkatan suhu.
Meskipun

terbesar terdapat pada P5 (34 ± 0,5 oC)

waktu

penyerapan

42,24 x 10 -5 mm3 jam-1. Hal ini berbeda

kuning telur dan laju penyerapan kuning

dengan penelitian yang dilakukan oleh

telur pada P5 (34

Ardimas (2012), laju penyerapan kuning

perlakuan dengan hasil tertinggi, namun

telur terbesar pada penelitian ikan betok

perlakuan tersebut merupakan perlakuan

tersebut adalah pada suhu tertinggi (320C)

yang memiliki persentase kelangsungan

yaitu 19,8 x 10-3 mm3 jam-1. Laju

hidup terendah (Tabel 3). Hal ini terjadi

penyerapan telur yang berbeda tersebut

karena diduga pada P5 (34 ± 0,5oC) suhu

dipengaruhi oleh suhu perlakuan yang

terlalu tinggi sehingga pada masa inkubasi

digunakan. Menurut Sumantadinata et.al.,

penetasan terdapat tahapan perkembangan

(1994) dalam Ariffansyah (2007), suhu

telur yang tidak sempurna dan prematur

mempengaruhi penyerapan kuning telur

sehingga larva

larva setelah menetas. Hal ini sesuai

hidup setelah menetas. Sedangkan pada P3

dengan pendapat Budiardi et.al., (2005)

(30 ± 0,5 oC)waktu penyerapan kuning telur

bahwa pada aktivitas metabolisme dengan

dan laju penyerapan kuning telur tidak

suhu yang tinggi akan memerlukan energi

berbeda

yang besar sehingga laju penyerapan

merupakan persentase kelangsungan hidup

kuning telur menjadi lebih besar. Pada

tertinggi.Menurut Blaxter (1969) dalam

suhu yang lebih rendah aktifitas metabolik

Ariffansyah (2007), laju penyerapan yang

berjalan

tinggi pada suhu optimal dapat dijadikan

lebih

lambat

sehingga

laju

penyerapan kuning telurnya lebih kecil.
Blaxter (1969) dalam Ariffansyah

nyata

± 0,5 oC)merupakan

tidak mampu bertahan

dengan

P5,

tetapi

ukuran suatu larva berkembang pada
kondisi

maksimal.

Sehingga

pada

o

(2007) menyatakan pertumbuhan larva

penelitian ini P3 (30 ± 0,5 C) merupakan

yang baik di awal perkembangan selama

suhu yang optimal bagi prolarva ikan

masa endogenous feeding dipengaruhi oleh

tambakan.

laju penyerapan kuning telur. Budiardi

Waktu penyerapan kuning telur

et.al., (2005) juga menambahkan bahwa

tercepat pada penelitian ini terdapat pada

sebelum memasuki masa exogenous

perlakuan P5 (34 ±0,5 oC) yaitu 72 jam.

42

Jur nal Akuakultur Rawa Indonesia

Hasil

penelitian

penelitian

pada

ini

berbeda

ikan

tambakan

Adri ana, et al. (2013)

dengan

terdapat pada perlakuan P3 (30 ± 0,5 oC)

yang

yaitu 89,87 %. Hasil penelitian ini berbeda

dilakukan oleh Yuningsih (2002), bahwa

pada penelitian

waktu penyerapan kuning telur pada

Masrizal (2010), bahwa kelangsungan

penelitian ini lebih cepat. Penyerapan

hidup pada ikan patin tertinggi terdapat

kuning telur pada penelitian tersebut habis

pada suhu 32 0C yaitu 82,75%. Artinya

pada jam ke-92 setelah menetas pada suhu

suhu akan memberikan pengaruh terhadap

pemeliharaan larva 29,0-30,90C. Waktu

kelangsungan hidup ikan, namun suhu

penyerapan kuning telur yang lebih cepat

yang berbeda juga akan direspon berbeda

disebabkan

pula oleh jenis ikan yang berbeda.

perlakuan

adanya
yang

pengaruh

digunakan.

suhu

Faktor

Menurut

yang dilakukan oleh

yang

mempengaruhi

Ariffansyah (2007), suhu yang tinggi

persentase kelangsungan hidup prolarva

menyebabkan penyerapan kuning telur

adalah

larva meningkat,

kelangsungan hidup disebabkan karena

yang mengakibatkan

suhu.Tingginya

kuning telur cepat habis. Hal ini sesuai

pemberian

dengan pendapat Budiardi et.al., (2005)

optimum.Sedangkan rendahnya persentase

pada ikan Maanvis (Pterophyllum scalare),

kelangsungan hidup diduga karena suhu

bahwa tingginya kecepatan metabolisme

perlakuan yang tidak sesuai dengan daya

yang memanfaatkan kuning telur sebagai

adaptasi prolarva.Menurut Woynarovich

sumber nutrien dan energi pada suhu yang

dan

tinggi (30 oC) menyebabkan kuning telur

(2007)

lebih cepat habis dibandingkan dengan

menyebabkan larva prematur sehingga

o

suhu 27 C dan suhu alami. Peningkatan
0

perlakuan

persentase

suhu

Horvath(1980)dalam
suhu

yang

yang

Ariffansyah
tinggi

dapat

prolarva belum siap menerima kondisi

suhu dari 28 ke 33 C menyebabkan

lingkungannya.Menurut Landsman et al.

peningkatan pengambilan oksigen untuk

(2011) dalam Nugraha (2012), kematian

metabolisme

masih

telur dan larvaakan meningkat dengan

mengandung kuning telur sehingga kuning

meningkatnya suhu, hal ini kemungkinan

telur akan lebih cepat habis pada suhu yang

terkait dengan laju metabolisme yang

tinggi

larva

(Walsh

et.al.,

yang

1991

dalam

Yuningsih, 2002).
Persentase

tinggi yang menyebabkan konsumsi energi
cepat

kelangsungan

diserap.

Dengan

demikian

hidup

pertumbuhan yang berkembang pada stadia

prolarva tertinggi pada penelitian ini

tertentu hingga stadia kuning telur habis
43

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia

Adri ana, et al . (2013)

sangat dipengaruhi oleh besarnya energi

sedangkan laju penyerapan kuning telur

yang hilang selama masa perkembangan

terendah yaitu 39,02 x 10 -5mm3 jam-1pada

tersebut.

P1 (26 ± 0,5

Kisaran

kualitas

C). Waktu penyerapan

selama

tercepat hingga kuning telur hampir habis

penelitian masih dalam kisaran toleransi

terdapat pada P5 (34 ± 0,5 oC)yaitu

untuk penetasan telur dan pemeliharaan

selama72 jam.Pemberian pakan alami pada

prolarva ikan tambakan. Nilai pH pada

pascalarva ikan tambakan sebaiknya mulai

penelitian

kisaran

diberikan pada jam ke 74 (3 hari 2 jam)

tersebut masih dalam batas toleransi untuk

setelah penetasan pada suhu inkubasi 30 ±

penetasan

0,5 oC.

ini berkisar

air

o

7-7,8,

dan pemeliharaan prolarva.

Menurut Susanto (1999), pH yang baik

Pemeliharaan prolarva tambakan

untuk budidaya ikan tambakan adalah

sebaiknya

5,5-9,0.

0,50C.Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Kandungan oksigen terlarut selama

mengenai

menggunakan

pemeliharaan

suhu

30

±

pascalarva

penelitian berkisar 6,36-8,15 mgL-1, dan

tambakan selama 30 hari dengan suhu

masih

inkubasi berbeda.

berada

dalam

toleransi

untuk

penetasan dan pemeliharaan prolarva ikan
tambakan.
kandungan
dibutuhkan

Menurut

Susanto

oksigen
untuk

terlarut

pertumbuhan

(1999),
yang
ikan

tambakan secara optimal yaitu lebih dari 5
ppm. Namunmenurut Boyd (1970) dalam
Yuningsih (2002), kandungan oksigen
optimum untuk pemeliharaan prolarva
berkisar 4-7 mgL-1.

KESIMPULAN
Suhu memberikan pengaruh yang
nyata terhadap laju penyerapan kuning
telur ikan tambakan. Laju penyerapan
kuning telur tertinggi terdapat pada P5 (34
± 0,5oC) yaitu 42,24 x 10-5mm3 jam-1,

DAFTAR PUSTAKA
Ardimas, Yohanes Anugrah Yoga. 2012.
Pengaruh gradien suhu media
pemeliharaan
terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva ikan betok (Anabas
testudineus Bloch). Departemen
Budidaya
Perairan,
Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Direktorat Jendral Perikanan, Balai
Budidaya Air Tawar Sukabumi.
1987. Pemijahan Rangsangan dan
Pemeliharaan Larva Ikan Jambal
Siam (Pangasius suutchi).Laporan
Kegiatan
BBAT
Th
1987.Sukabumi.116 hal.
Ariffansyah. 2007.Perkembangan embrio
dan
penetasan
ikan
gurami
(Osprhonemus gouramy) dengan
suhu inkubasi berbeda. (Skripsi)
44

Jur nal Akuakultur Rawa Indonesia

program Studi Budidaya Perairan
Fakultas
Pertanian.
Universitas
Sriwijaya.
Indralaya
(tidak
dipublikasikan)
Budiardi, T.W., Cahyaningrum, dan I.
Effendi. 2005. Efisiensi pemanfaatan
kuning telur embrio dan larva ikan
mannvis (Pterophyluum scalare)
pada suhu inkubasi berbeda. Jurusan
Budidaya
Perairan
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia
4(1) 57-61
Effendie, M.I. 2002.Metode Biologi
Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
Masrizal. 2010. Pengaruh suhu yang
berbeda terhadap hasil penetasan
telur ikan patin (Pangasius sutchi
Fow). Project Report. Lembaga
Penelitian
Universitas Andalas.
Padang.(Abstr.).
Nugraha, Dimas, Mustofa N.S, dan
Subiyanto.
2012.
Pengaruh
perbedaan
suhu
terhadap
perkembangan embrio, daya tetas
telur dan kecepatan penyerapan
kuning telur ikan Black Ghost(A.
Albifrons) pada skala laboratorium.
Journal of Management of Aquatic
Resources.Vol. 1, No. 1.

Adr iana, et al. (2013)

Rista, M.F. 2005. Pengaruh suhu terhadap
daya tetas dan kelulushidupan larva
ikan betutu (oxyolomeris marmorota
Bleker) D1-D8 di Laboratorium
BPTP Jawa Tengah. (skripsi)
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Diponegoro.
Semarang
Sukendi.
2003.
Vitelogenesis
dan
Manipulasi Fertilisasi pada Ikan.
Bagian
Bahan
Mata
Kuliah
Reproduksi Ikan.Jurusan Budidaya
Perairan Fakultas Perikanan dan
Kelautan
Universitas
Riau.
Pekanbaru
Susanto. 1999. Budidaya Ikan di
Pekarangan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Suseno, D dan F. Cholik. 1982. Effect of
aeration on hatching rates of some
varietas of common carp. Pewarta
LLPPD Vol. I (3) : 77-80
Yuningsih, Y.S. 2002.Perkembangan larva
ikan
tambakan
(Helostoma
teminckii C.V). (Skripsi) Program
Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan
dan
Ilmu
Kelautan.Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.(tidak
dipublikasikan)

Pramono, T.B dan Sri Marnani. 2006. Pola
penyerapan kuning telur dan
perkembangan organogenesis pada
stadia awal larva ikan brek (Puntius
orphoides).
Program
Sarjana
Perikanan dan Kelautan Universitas
Soedirman. Purwakarta

45