Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Cabai

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae) yang
diduga memiliki 90 genus dan sekitar 2.000 spesies yang terdiri dari tumbuhan
herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Tanaman cabai sendiri diperkirakan
ada sekitar 20 spesies yang sebagian besar tumbuh di tempat asalnya Amerika. Di
antaranya yang sudah dimanfaatkan baru beberapa spesies saja, yaitu cabai besar
(Capsicum annuum), cabai kecil (Capsicum frustescens), Capsicum baccatum,
Capsicum pubescens, dan Capsicum chinense (Setiadi, 2004). Beberapa sifat
tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di
antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan
tipe buahnya (Prajnanta, 1999). Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas
batang dan jumlahnya bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada
spesiesnya. Cabai besar (C. Annuum) mempunyai satu bunga tiap ruas, sedangkan
cabai rawit (C. frutescens) mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman
cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak
jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah

cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah
rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya.

Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat
digolongkan dalam tiga tipe, yaitu cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika
(Prajnanta, 1999). Karakteristik agronomi cabai merah (besar) buahnya rata atau
halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang tahan simpan dan
tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali

dan Sulawesi, sedangkan cabai merah keriting buahnya bergelombang atau
keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan
rasanya pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Barat dan Sumatera. Cabai
paprika buahnya berbentuk segi empat panjang dan biasa dipanen saat matang
hijau (Semangun, 2007). Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai.
Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat
dipanen pertama kali umur 70 –75 hari setelah tanam, sedangkan waktu panen di
dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat
terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat
dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Setiadi,
2004).


Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang
tanahnya gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, pH tanah
berkisar antara 5.5 – 6.8, drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi
pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18 – 30 oC
Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1200 m di atas
permukaan laut. Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi,
tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah
yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600–1250 mm dengan bulan kering
3–8,5 bulan dan pada tingkat penyinaran matahari lebih dari 45 % .

2.2. Penyakit Rebah Kecambah (Damping-off) pada Tanaman Cabai

Rebah kecambah (damping–off) sering terjadi di persemaian cabai maupun terung.
Biji dapat membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum
muncul ke permukaan tanah. Batang semai muda yang masih lunak jika terserang
rebah

kecambah


pangkalnya

menjadi

basah

dan

mengkerut

sehingga

menyebabkan semai rebah dan mati (Semangun, 2007).

Penyakit ini sudah lama dikenal tetapi pada umumnya orang menduga
bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri namun kemudian sudah banyak

dilaporkan bahwa penyakit rebah kecambah juga bisa disebabkan oleh jamur
patogen tanaman diantaranya dari genus Phytium, Rhizoctonia dan Sclerotium
(Singh, 1998; Agrios, 1997). S. rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang

dapat menyebabkan rebah kecambah pada tanaman cabai (Semangun, 2007;
Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009). Jamur ini merupakan jamur tular
tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk
kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat
menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus
menerus dengan tanaman inang yang sama, sehingga mengakibatkan turunnya
produksi tanaman yang akan dipanen (Timper et al., 2001).

Jamur S. rolfsii menyebabkan gejala rebah kecambah pada persemaian dan
busuk batang pada tanaman inang yang lebih tua. Apabila tanaman muda yang
terserang maka akan cepat mati, tetapi bila tanaman yang lebih tua terserang,
pucuk tanaman menjadi kuning, layu dan kemudian mati. Akibatnya bagian dari
batang dan akar pada batas tanah menjadi busuk dan sebagian ditutupi oleh bercak
putih yaitu miselium yang berwarna putih (Gambar 1) sampai terbentuk sklerotia
coklat (Agrios, 1997).

Gambar 1. Gejala serangan S. rolfsii adanya miselium pada batang tua (Thu et al.,
2013)
Menurut Maryudani dan Sudarmadi (1976), gejala serangan S. rolfsii
mula-mula diawali dengan menguning dan melayunya daun-daun, kemudian

diikuti dengan membusuknya batang. Kulit dan kayu pada pangkal batang serta
akar tanaman yang terserang rusak. Pada tingkat penyerangan belum lanjut, bila

tanaman tersebut dicabut akan terlihat benang-benang halus pada bagian yang
sakit. Benang-benang ini berwarna putih dan padanya terdapat butiran yang mulamula berwarna putih kemudian coklat dan akhirnya coklat tua. Butir ini disebut
sklerotium yang sangat mudah terlepas dari benang-benangnya. Miselium putih
yang terjalin mengelilingi jaringan tanaman yang terserang sering terlihat seperti
jalinan benang halus pada bagian tanaman yang sakit berwarna coklat tua dan
dikelilingi oleh benda-benda kecil yang bentuknya menyerupai biji lada, yang
dihasilkan pada bagian permukan tanaman yang terinfeksi dan dekat permukaan
tanah. Tanaman muda dapat dikelilingi sklerotia dan mati.

Sclerotium rolfsii termasuk dalam subdivisi Deuteromycotina, Kelas
Deuteromycetes,

subkelas

Hyphomycetidae

dan


ordo

Agonomycetales

(Alexopoules dan Mims, 1979). S. rolfsii adalah sejenis jamur yang mempunyai
miselium yang terdiri dari benang-benang, berwarna putih, tersusun seperti bulu
atau kipas. S. rolfsii tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk
mempertahankan diri jamur membentuk sejumlah sklerotium yang semula
berwarna putih, kelak menjadi coklat. Butir-butir ini mudah sekali lepas dan
terangkut oleh air. Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan
terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan
sampai 6 - 7 tahun. Ukuran diameter sklerotia 0,05-2 mm dan bentuk
perkecambahan sklerotia dispersif seperti kapas berwarna putih. Ukuran terkecil
dari diameter koloni sclerotium adalah 0,61 cm dan ukuran terbesarnya 1,71 cm
sedangkan untuk pengukuran kecepatan pertumbuhan miselium yang terlambat
adalah 3,1 mm/hari dan yang tercepat adalah 8,54 mm/hari yang dapat dilihat
pada hari kedua dan hari ketujuh penelitian (Magenda, 2011).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur


Sclerotium rolfsii dilaporkan sebagai jamur tular tanah yang menyebabkan
penyakit pada banyak tanaman khususnya di daerah tropis dan subtropis
(Mukherjee dan Raghu, 1997). Perkembangan penyakit tergantung pada
lingkungan, kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit rebah kecambah

adalah pada kelembaban relatif (Rh) 12% - 15%. Pertumbuhan optimum S. rolfsii
pada suhu 27-30o C dan sklerotia tidak dapat bertahan pada suhu dibawah 0oC
sehingga suhu dingin bisa membatasi penyebaran jamur ini (Singleton et al.,
1992; Singh, 1998). Sklerotia yang dihasilkan memiliki kemampuan yang baik
dalam beradaptasi dengan lingkungan sehingga penyebaran sklerotia di sekitar
inang dapat menjangkau wilayah yang cukup luas. Tingkat pertumbuhan sklerotia
pada tanah dipengaruhi oleh bentuk perkecambahan hifa, kerusakan jaringan
tanaman, dan kelarutan nutrisi (Punja dan Gregon, 1981; Punja et al., 1985).

Pada media biakan, jamur dapat tumbuh pada pH 1.4 – 8.8 (Agrios, 1997),
dengan suhu optimum pertumbuhan 30 - 35oC sedangkan suhu minimumnya
adalah 8oC dan suhu maksiumnya 40oC. Hifa vegetatif tidak dapat bertahan pada
suhu dibawah 0oC. Pada kondisi tersebut hifa akan mati dalam jangka waktu 24
jam. Sedangkan sklerotianya dapat tahan selama 48 jam pada suhu -10oC

(Watkins, 1961). Miseliumnya mampu tumbuh dan menyerang biji-biji dalam
tanah dengan kandungan air yang jauh lebih rendah dari pada kandungan air yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan biji (Epps et al., 1951). Keadaan suhu,
kelembaban dan aerasi yang baik di atas permukaan tanah atau beberapa
sentimeter dalam tanah dapat menguntungkan perkembangan miselia jamur dan
akan meningkatkan patogenitas jamur. Jamur S. rolfsii memiliki dua fase
pertumbuhan yang secara ekologi berbeda. Pertama adalah fase perkembangan
miseliun yang berupa miselium putih dan tebal dan sering disebut sebagai jamur
putih. Fase tersebut juga dikenal sebagai fase pertumbuhan atau fase patogenik
dari jamur. Fase yang kedua adalah fase

produksi sklerotia jamur yang

memungkinkan jamur dapat bertahan pada keadaan yang tidak cocok (Boyle,
1961).

2.4. Potensi Bakteri sebagai Biokontrol

Pengendalian secara biologi dengan menggunakan mikroorganisme sudah banyak
diteliti. Kepedulian dalam kesehatan dan lingkungan akibat menggunakan

fungisida mendorong peneliti dalam mencari alternatif lain untuk mengontrol

penyakit dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol (Martin
dan Hancock, 1987; Wijayanti, 2003; Harni, 2007). Mikroorganisme yang
digunakan sebagai agen biokontrol adalah mikroorganisme yang mampu
menggunakan dinding sel jamur patogen sebagai sumber nutrisinya. Dinding sel
jamur terdiri dari glukan, selulosa, kitin, manosa, glukosa, asam amino dan lemak
(Landecker, 1996). Salah satu pengembangan teknologi yang cocok untuk
mengendalikan jamur patogen tanaman adalah pemanfaatan mikroba kitinolitik
yang memiliki aktivitas kitinase. Mikroba kitinolitik mampu menghidrolisis
senyawa kitin yang merupakan salah satu penyusun dinding sel kapang patogen.
Terdegradasinya senyawa tersebut menyebabkan jamur patogen menjadi lemah
atau mati. Dengan demikian mikroba kitinolitik berpotensi digunakan sebagai
biofungisida untuk mengendalikan kapang patogen yang memiliki kitin sebagai
struktur dinding selnya (Nildayanti, 2011). Bakteri kitinolitik merupakan mikroba
yang memiliki kemampuan mendegradasi kitin karena menghasilkan enzim
kitinase. Berbagai kelompok bakteri dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik
diantaranya yaitu Pseudomonas fluorescens, Bacillus dan Streptomyces (Djatmiko
et al., 2007; Papuangan, 2009). Bacillus apiarius (Muharni dan Hary, 2011)
Serratia marcescens (Wijayanti, 2003).


Pengendali hayati patogen tanaman yaitu bakteri yang disebarkan melalui
tanah sudah dipelajari sebagai suatu alternatif untuk mengendalikan jamur
patogen tanaman. Beberapa bakteri yang dimanfaatkan sebagai biokontrol yaitu P.
putida terhadap Fusarium oxysporum (Boer et al., 2003), P. fluorescens, Bacillus
spp, Streptomyces terhadap Ralstonia solanacearum (Djatmiko et al., 2007)
Lactobacillus plantarum terhadap jamur Fusarium (Laitila et al., 2002). Bacillus
subtilis. Bacillus polymixa, dan P. fluorescens), terhadap Xanthomonas oryzae
dan Rhizoctonia solani (Machmud et al., 2002). Streptomyces RKt5 terhadap F.
oxysporum (Yurnaliza et al., 2011), Bacillus sp terhadap Vibrio harveyi (Umar,
2009). Bacillus sp. dan Bacillus apiarius terhadap Rigidoporus lignosus (Muharni
dan Hary, 2011). Streptomyces terhadap Colletotrichum sublineolum (Quecine et
al., 2008).

Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai pengendali jamur patogen tanaman
diterapkan dengan cara enkapsulasi pada benih tanaman yang akan dijadikan
target penelitian (Bashan, 1986; Schisler et al., 2004; Dawar et al., 2008;
Hameeda et al.,2010; Suarez et al., 2011). Metode enkapsulasi ini diharapkan
dapat meningkatkan ketahanan benih tanaman terhadap jamur patogen yang
menyerang tanaman, sehingga pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengendali

hayati dapat lebih efektif dan berkesinambungan.

2.5. Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran
beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang
ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga yang berbentuk partikel
padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan
internal, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai
dinding atau bahan pembawa atau membran. Proses enkapsulasi banyak
digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme,
pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam
(Risch, 1995).

Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari
beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya > 5000 mm disebut
makrokapsul, ukuran partikelnya antara 15 – 20 mikron atau kurang dari setengah
diameter rambut manusia disebut mikrokapsul (Yoshizawa, 2004) dan apabila
ukuran partikelnya antara 9,5 menyebabkan
pengurangan viskositas ion arabates. Namun pH yang mendekati pH netral dapat
meningkatkan viskositas gum arabik (Mahmoud, 2000). Viskositas maksimum
dicapai antara pH 6 dan 7. Gum arabik digunakan sebagai koloid protektif dan
emulsifier.

Untuk merangsang produksi eksudat ini dapat dilakukan perlukaan pada
bagian batangnya. Karakteristik yang membedakannya dengan getah alam adalah
bahwa Gum arabik larut dengan cepat dalam air. Gum arabik disebut juga sebagai
getah acasia yang merupakan tanaman yang tertua dan paling dikenal
dibandingkan tanaman lainnya. Eksudat kering ini diperoleh dari batang dan
cabang seyal Acacia senegal atau Acacia (FAO, 1999). Namun, nama ini juga
digunakan untuk getah lainnya yang dihasilkan oleh spesies Acacia lainnya
(Verbeken et al., 2003). Meskipun ada lebih dari 500 jenis pohon akasia, Gum
arabik yang paling banyak dikomersialkan dari Acacia seyal dan Acacia seneal,
yang dibudidayakan secara komersial di seluruh Sahel dari Senegal dan Sudan.

Gum

arabik

adalah

campuran

kompleks

dari

oligosakarida

arabinogalactan, polisakarida, glikoprotein. Strukur kimianya bersifat netral atau
sedikit asam pada rantai cabang. Komposisi kimia yang terikat pada rantai
utama gum arabik berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
musim, iklim, umur pohon, curah hujan, waktu eksudasi, dan faktor lainnya.
Rantai utama gum arabik terdiri dari β-(1→3) berikatan dengan unit Dgalactopyranosyl. Rantai sampingnya terdiri dua sampai lima β-(1→3) berikatan
dengan unit D-galactopyranosyl, berikatan dengan rantai utama pada ikatan 1,6.
Baik rantai utama dan rantai samping dari gum arabik mengandung unit dari α-Larabinofuranosyl-, α-L-rhamnopyranosyl, β-D-glucuronopyranosyl, dan 4-Omethyl β-D-glucuronopyranosyl (Gambar 5) (Verbeken et al., 2003; Ali et al.,
2009). Tergantung pada sumber tanamannya, glycan pada gum arabik pada seyal
acacia mengandung proporsi L-arabinosa yang lebih besar terhadap D-galaktosa
(Motlagh et al., 2006; Chaplin, 2007). Penggunaan gum arabik sebagai bahan
enkapsulasi mikroba telah banyak dilakukan diantaranya pada benih jagung
dengan isolat B. substillis (Muis dan Arcadio, 2006), benih kacang hijau terhadap
B. thuringiensis (Sheikh et al., 2006).

Gambar. 5 Struktur penyusun gum arabik