Angka Kejadian Depresi Pasca Bencana Sinabung pada Lansia di Posko Pengungsian Universitas Karo (UKA) Kabupaten Karo

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 DEPRESI
2.1.1

Pengertian Depresi
Depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan, dan pesimis, yang

berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan
kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2008). Depresi
merupakan gangguan mental yang sering terjadi dalam kehidupan seseorang yang
ditandai dengan emosi, motivasi, fungsional gerakan tingkah laku, dan kognitif
(Pieter dkk, 2011). Depresi adalah keadaan emosional yang ditandai kesedihan
yang sangat, perasaan bersalah dan tidak berharga, menarik diri dari orang lain,
serta kehilangan minat untuk tidur dan melakukan hubungan seks juga hal-hal
menyenangkan lainnya (Nasir & Muhith, 2011). Depresi adalah perasaan sedih,
pesimis, dan merasa sendirian yang merupakan bagian dari depresi mayor dan
gangguan mood lainnya (Kaplan & Sadock, 2010).
2.1.2

Etiologi Depresi

Dalam Kaplan & Sadock (2010), penyebab terjadinya depresi adalah:

a. Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik seperti
asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA) dan 3 metoksi-4hidroksifenilglikol (MHPG)- di dalam darah, urine dan cairan serebrospinalis
pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten dengan

6
Universitas Sumatera Utara

7

hipotesis bahwa gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen amin
biogenik.
b. Faktor Neurokimia
Walaupun data belum meyakinkan, neurotransmitter asam amino dan peptide
neuroaktif telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood. Sejumlah peneliti
telah mengajukan bahwa sistem messengers kedua- seperti regulasi kalsium,
adenilat siklase, dan fosfatidilinositol- dapat menjadi penyebab. Asam amino
glutamate dan glisin tampaknya menjadi neurotransmitter eksitasi utama pada

sistem saraf pusat. Glutamat dan glisin berikatan dengan reseptor N-Metil-DAspartat (NMDA), jika berlebihan dapat memiliki efek neurotoksik. Hipokampus
memiliki konsentrasi reseptor NMDA yang tinggi sehingga mungkin jika
glutamate bersama dengan hiperkortisolemia memerantarai efek neurokognitif
pada stres kronis. Terdapat bukti yang baru muncul bahwa obat yang menjadi
antagonis reseptor NMDA memiliki efek antidepresan.
c. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang signifikan
terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik terjadi
melalui mekanisme yang kompleks. Tidak hanya menyingkirkan pengaruh
psikososial tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki peranan kausatid di dalam
timbulnya gangguan mood pada beberapa orang. Komponen genetik memiliki
peranan yang bermakna di dalam gangguan bipolar I daripada gangguan depresi
berat.

Universitas Sumatera Utara

8

d. Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode

gangguan mood yang mengikuti. Hubungan ini telah dilaporkan untuk pasien
gangguan depresif berat dan gangguan depresif I. Sebuah teori yang diajukan
untuk menerangkan pengamatan ini adalah bahwa stres yang menyertai episode
pertama mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberian sinyal intraneuron,
perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak
sinaps yang berlebihan. Akibatnya seseorang memiliki resiko tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal.
Sejumlah klinisi yakin bahwa peristiwa hidup memegang peranan utama
dalam depresi. Klinisi lain menunjukkan bahwa peristiwa hidup hanya memegang
peranan terbatas dalam awitan dan waktu depresi. Data yang paling meyakinkan
menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling sering menyebabkan timbulnya
depresi dikemudian hari pada seseorang adalah kehilangan orang tua sebelum usia
11 tahun. Stresor lingkungan yang paling sering meyebabkan timbulnya awitan
depresi adalah kematian pasangan. Faktor resiko lain adalah PHK- seseorang yang
keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung memberikan laporan
gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja.

Universitas Sumatera Utara


9

e. Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi dibawah situasi yang sesuai.
Orang dengan gangguan kepribadian tertentu- objektif kompulsif, histrionik dan
borderline- mungkin memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi
daripada orang dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid. Gangguan
kepribadian paranoid dapat menggunakan mekanisme defense proyeksi dan
mekanisme eksternalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari kemarahan di
dalam dirinya. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa gangguan kepribadian
tertentu terkait dengan timbulnya gangguan bipolar I dikemudian hari; meskipun
demikian, orang dengan gangguan distemik dan siklotimik memiliki resiko
gangguan depresi berat atau gangguan bipolar I kemudian hari.
f. Faktor Psikodinamik Depresi
Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund Freud dan
dikembangkan Karl Abraham dikenal dengan pandangan klasik mengenai depresi.
Teori ini memiliki 4 poin penting: (1) gangguan hubungan ibu-bayi selama fase
oral (10-18 bulan pertama kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan

selanjutnya terhadap depresi; (2) depresi dapat terkait dengan kehilangan objek
yang nyata atau khayalan; (3) introyeksi objek yang meninggal adalah mekanisme
pertahanan yang dilakukan untuk menghadapi penderitaan akibat kehilangan
objek; (4) kehilangan objek dianggap sebagai campuran cinta dan benci sehingga
rasa marah diarahkan kedalam diri sendiri.

Universitas Sumatera Utara

10

Menurut Stuart dan Sundeen (1998, dalam Azizah 2011), faktor penyebab
depresi adalah:
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif
melalui riwayat keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang ke dalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi
karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu
dengan benda atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang

negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan
penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif
yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri seseorang,
dunia seseorang, dan masa depan seseorang.
6. Model

ketidakberdayaan

yang

dipelajari

(learned

helplessness),

menunjukkan bahwa bukan semata-mata trauma menyebabkan depresi
tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil
yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon

yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari kerangka teori belajar sosial, yang
mengasumsi penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif
dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

11

8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi
selama depresi, termasuk defisiensi katekolamin, disfungsi endokrin,
hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama biologis.
b. Stresor Pencetus
Ada empat sumber utama stressor yang dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan (depresi) yaitu:
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan
cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan, atau harga diri. Karena elemen
aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi
seseorang merupakan hal yang sangat penting.
2. Persitiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai

pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalahmasalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran

dan

ketegangan

peran

telah

dilaporkan

mempengaruhi

perkembangan depresi, terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit
fisik, seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik,
dapat mencetuskan gangguan alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut
terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang menyebakan

kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik melemahkan tubuh juga sering
disertai depresi.

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.3

Gejala Depresi
Hawari (2013) menyebutkan ciri kepribadian depresif antara lain:

pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk bisa merasa bahagia, pesimis
menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah dan
berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan
menangis, gerakan lamban, lemah, letih, lesu dan kurang energik, sering
mengeluh psikosomatik, mudah tegang, agitatif dan gelisah, serba cemas,
khawatir dan takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa tidak
mampu, tidak berguna, merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan dan studi,
suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri, tidak suka

bergaul dan pergaulan sosial sangat terbatas dan lebih senang berdamai untuk
mengindari konflik.
Sedangkan Pieter dkk (2011), membagi gejala-gejala depresi dalam 3
klasifikasi yaitu:
a. Gejala Fisik
Pada gejala fisik dari orang yang mengalami depresi akan terjadi keluhan fisik
(somatic), seperti sakit kepala atau pusing, rasa nyeri lambung, dan mual bahkan
muntah-muntah, nyeri dada, dan sesak napas, gangguan tidur (sulit tidur),
penurunan libido dan agitasi, jantung berdebar-debar, retardasi psikomotor, tidak
nafsu makan atau makan berlebihan, diare, lesu dan kurang bergairah, gerakan
lambat dan berat badan turun, dan terjadinya gangguan menstruasi, atau impotensi
dan tidak respons pada hubungan seks.

Universitas Sumatera Utara

13

b. Gejala Psikis
Gejala-gejala


gangguan

kognitif

pada

klien

depresi

terlihat

dari

ketidakmampuan berpikir logis, berkurangnya konsentrasi, hilangnya daya ingat,
dan disorientasi. Adapun gejala-gejala gangguan afektif meliputi mudah marah
dan gampang tersinggung, malu, cemas, bersalah disertai dengan perasaan
terbebani, hilangnya percaya diri, karena mereka selalu menilai orang lain sukses,
kaya, dan pandai, sementara diri saya tidak ada apa-apa (merasa tidak berguna)
dan merasa diri terasing dalam lingkungan dan putus asa.
Gejala-gejala gangguan perilaku pada klien depresi terlihat dari rasa
kecemasan yang berlebihan dan tidak dapat mengontrol tingkah laku, seperti
berjalan mondar-mandir tanpa tujuan, bingung karena tidak bisa mengambil
keputusan dan melakukan aktivitas, sedih yang mendalam, wajah tampak murung,
pandangan mata kosong (melamun), merasa tidak ada lagi orang lain yang mau
menyayanginya atau mempedulikan sehingga ada pemikiran untuk bunuh diri. Hal
ini disertai dengan halusinasi yang mengatakan dirinya tidak berguna dan tidak
ada perhatian pada kebersihan diri.
c. Gejala Sosial
Gejala-gejala gangguan sosial pada klien depresi terlihat dari keinginan untuk
menyendiri dan tak mau bergaul, merasa malu dan bersalah apabila
berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih berhasil, sukses, cantik, dan
pandai. Klien merasa minder, kurang percaya diri, untuk membina relasi sosial
sekalipun pada anggota keluarganya dan tidak memedulikan pada situasi.

Universitas Sumatera Utara

14

Menurut PPDGJ-III (Maslim 1997, dalam Azizah 2011), tingkatan depresi
ada tiga berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:
1) Depresi Ringan
Gejala:
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e. Lamanya gejala tersebut berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu
f. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya
2) Depresi Sedang
Gejala:
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g. Lamanya gejala tersebut berlangsung minimum skitar 2 minggu

Universitas Sumatera Utara

15

h. Mengadaptasi kesulitan untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan dan
urusan rumah tangga.
3) Depresi Berat
Gejala:
a. Mood depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
d. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g. Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h. Tidur terganggu
i. Disertai waham, halusinasi
j. Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu.
2.1.4

Skrining Depresi pada Lansia: Geriatric Depression Scale
Salah satu langkah awal yang penting dalam penatalaksanaan depresi

adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Jika dicurigai terjadi depresi, perawat
harus melakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan
dapat dipercaya serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia.
Salah satu alat yang paling mudah digunakan dan diinterpretasikan di berbagai
tempat adalah Geriatric Depression Scale (GDS) (Stanley & Beare, 2006).

Universitas Sumatera Utara

16

Geriatric Depression Scale (GDS), pertama kali diciptakan oleh Yesavage

dkk, telah diuji dan digunakan secara luas dengan populasi yang lebih tua.
Geriatric Depression Scale tersebut menggunakan format laporan sederhana yang

diisi sendiri dengan ya atau tidak atau dapat dibacakan untuk orang dengan
gangguan penglihatan, serta memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk
menyelesaikannya (Stanley & Beare, 2006). Menurut Tamher & Noorkasiani
(2009) GDS ada dua bentuk, yakni bentuk panjang terdiri dari 30 pertanyaan dan
bentuk pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan. Dari hasil uji yang dilakukan
terhadap Geriatric Depression Scale (GDS) bentuk panjang dan bentuk pendek
pada populasi lansia di nursing home ditemukan bahwa Geriatric Depression
Scale (GDS) bentuk pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan hasilnya lebih

konsisten.
2.2 LANSIA
2.2.1

Definisi Lansia
Lansia (lanjut usia) adalah periode penutup rentang kehidupan seseorang

ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis seperti perubahan pada sel-sel
tubuh, sikap tidak senang pada diri sendiri, kurang perhatian, terasing secara
sosial, dan penyesuaian diri yang buruk (Hurlock, 2004). Menurut Maryam dkk
(2008), menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat
sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain kulit mulai mengendur, timbul
keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan
berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
penimbunan lemak terutama di perut dan di pinggul. Kemunduran yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

17

adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi
terhadap waktu, ruang, tempat serta tidak mudah menerima hal/ide baru.
Masa usia lanjut (lansia) adalah masa penurunan berbagai hal, penurunan
kemampuan fisik, penurunan aktivitas-aktivitas rutin, mulai berhenti bekerja,
mulai ditinggalkan oleh anak-anak. sehingga sering kali muncul perasaan
kesepian, tidak berguna dan tidak diperlukan oleh lingkungan (Hidayat, 2009).
Menurut Bab I Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Usia Lanjut, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
ke atas (Tamher & Noorkasiani, 2009).
2.2.2

Batasan Lansia
Menurut WHO (1999 dalam Nugroho, 2008) lansia digolongkan menjadi

empat kelompok berdasarkan usia kronologis/biologis yaitu usia pertengahan
(middle age) antara usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun,
lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old)
di atas 90 tahun. Nugroho (2008), menyimpulkan pendapat beberapa ahli bahwa
yang disebut lansia telah berumur 65 tahun ke atas. Burside menyebutkan ada
empat tahap lanjut usia yaitu young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia
70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun), dan very old-old (usia 90 tahun ke atas).
Menurut UU No. 4 Tahun 1965 pasal 1, seseorang dapat dinyatakan sebagai
seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55
tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Nugroho,
2008).

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.3

Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui

depresi pada lansia, yaitu:
a. Umur Lansia
Semakin bertambah usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima
cobaan, hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa hubungan
antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil pada saat individu bergerak
dari usia pertengahan menuju usia tua (Cox, 1994 dalam Tamher & Noorkasiani
2009).
b. Jenis Kelamin
Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan.
Darmojo (1999) menyatakan hasil penelitian mereka yang memaparkan bahwa
ternyata keadaan psikososial lansia di Indonesia secara umum masih lebih baik
dibandingkan lansia di negara maju, antara lain tanda – tanda depresi (pria 4,3 %
dan wanita 4,2 %) dapat diasumsikan bahwa wanita lebih mampu menghadapi
masalah daripada kaum lelaki yang cenderung lebih emosional (Tamher &
Noorkasiani, 2009).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan hal penting dalam menghadapi masalah.
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang
dilaluinya, sehingga akan lebih siap menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya
lansia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi masih dapat produktif,

Universitas Sumatera Utara

19

mereka justru memberikan kontribusinya sebagai pengisi waktu luang dengan
menulis buku – buku ilmiah atau hal lain. Tingkat pendidikan seseorang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk mendengar dan menyerap informasi yang
didapatkan, menyelesaikan masalah, merubah perilaku serta merubah serta
merubah gaya hidup (Loucknotte, 2006 dalam Sembiring 2013).
d. Status Perkawinan
Depresi

banyak

ditemukan

pada

lansia

yang

perkawinannya

tidak

membahagiakan, bercerai dan janda/duda (Blazer, 2003 dalam Sembiring 2013).
Angka depresi meningkat pada lansia yang tidak menikah atau janda (Duckworth,
2009 dalam Sembiring 2013).
e. Jumlah Anak
Dukungan dari anak, cucu memegang peranan penting sebagai mediator dalam
kontak sosial. Hubungan antara orang tua dan keluarga sebagai bentuk dukungan
moral yang rendah sehingga mempengaruhi frekuensi keluarga mengunjungi
orang tuanya. Saat ini banyak lansia yang hanya memiliki kurang dari satu
anggota keluarga dekat dan pasangan merupakan satu-satunya teman hidup lansia.
Banyak anggota keluarga tinggal jauh dan kurang bertanggungjawab terhadap
orang tuanya (Lee, 1999 dalam Sembiring 2013).
2.2.4

Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia menurut Dwi & Fitrah (2010) adalah :

1. Fisik
Secara fisik seseorang yang mengalami usia lanjut terjadi deklinasi seksual
proses, walaupun tidak nampak dari luar tubuh karena terjadi perubahan

Universitas Sumatera Utara

20

penurunan pada produksi sekret dan proses spermatogenesisnya. Rasa kecemasan
dan ragu mengenai kemampuan seksualnya merupakan gejala awal yang muncul
bagi laki-laki. Sedangkan pada perempuan muncul gejala menopause atau
berhentinya haid sehingga menimbulkan gangguan psikologis, biasanya sebelum
munculnya gejala tersebut wanita sudah mulai menduga-duga tentang
kemungkinan buruk yang terjadi pada dirinya
2. Psikologis dan hubungan sosial
Dilihat dari segi kejiwaan, individu yang menginjak lanjut usia biasanya labil
apabila mendapat penolakan, penghinaan atau rasa kasihan yang tidak sesuai
dengan keadaannya, oleh karena itu biasanya para lansia meginginkan untuk tidak
tergantung dengan orang lain dengan usaha mereka sendiri walaupun biaya hidup
tidak menjadi jaminan untuk dia mampu memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut
dilakukan karena dia ingin dihargai, dicintai, dan diinginkan kehadirannya dan
ingin hidup lebih bermakna dan bermanfaat bagi orang lain dimasa tuanya.
Seseorang yang sudah menginjak masa lansianya biasanya muncul sikap yang
tidak disadari oleh dirinya sendiri seperti cerewet, pelupa, sering mengeluh,
bersikap egois. Biasanya lansia akan merasa diterima bila anak cucu
(keluarganya) menerima segala kekurangannya, lebih memperhatikan dan
dimengerti walaupun mungkin itu sulit diterima bagi semua keluarga akan tetapi
dengan pemahaman bahwa setiap orang nanti kelak ketika dia menginjak lanjut
usia akan menunjukkan sikap yang sama.

Universitas Sumatera Utara

21

3. Segi agama
Lanjut usia sangat mendambakan kasih sayang dan penerimaan sosial akan
tetapi dilain pihak dia juga membutuhkan ketenangannya untuk beribadah,
beramal dan berbuat baik dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan lanjut usia bergeser dari
kebutuhan biologik dan self survival diganti oleh kebutuhan lain seperti
kebutuhan religious.

Universitas Sumatera Utara