Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Menurut Asian Disaster Risk Reduction bencana adalah gangguan
serius dari keberfungsian masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia,
materi atau kerugian lingkungan yang melampaui kemampuan masyarakat
yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan kemampuan yang dimiliki
(Shaluf, 2007). Sedangkan menurut Badan Nasional Penanggulan Bencana
pada tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Menurut data dari
situs BNPB selama 10 tahun terakhir tercatat jumlah bencana yang terjadi di
Indonesia lebih dari 1000 kali dan juga lebih dari 5000 korban yang terkena
dampak bencana.
Salah satu bencana yang masih sering terjadi adalah erupsi gunung
api. Para penduduk yang tinggal di sekitar kawasan gunung api harus
dievakuasi demi mengurangi korban jiwa. Namun setelah bencana terjadi,
masyarakat yang terkena dampak bencana akan mengalami pola kehidupan
yang berbeda dari sebelumnya. Berbagai bencana akan memberikan

konsekuensi terhadap para penyintas dan akan mengganggu keberfungsian
dari individu, keluarga dan juga keberfungsian suatu komunitas. Para

Universitas Sumatera Utara

penyintas juga akan kehilangan pekerjaan, kehilangan peran dalam
masyarakat, kehilangan harapan akan masa depan ( Hackbarth, Pavkov,
Wetchler & Flannery, 2012). Selain itu dampak bencana dapat berupa korban
jiwa, harta benda, kerusakan infrastruktur, lingkungan sosial, dan gangguan
terhadap tata kehidupan serta penghidupan masyarakat yang telah mapan
sebelumnya. Kehilangan orang yang dicintai, rumah, harta benda, sawah, atau
ternak yang menjadi mata pencarian, dapat menyebabkan guncangan jiwa dan
trauma hebat (Hikmawati & Rusmiyati, 2012). Hal ini tentu saja akan
berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Erupsi gunung api Sinabung di Tanah Karo Sumatera Utara sampai
saat ini masih menjadi fokus pemerintah daerah Sumatera Utara. Sebelumnya
pemerintah menetapkan Gunung Sinabung merupakan gunung tipe B yang
sejarah letusannya tidak lagi tercatat sejak tahun 1800, namun sejak terjadi
erupsi bulan Agustus tahun 2010 pemerintah menetapkan gunung Sinabung
termasuk dalam gunung tipe A (Islahudin, 2013).

Sejak pertengahan November 2013 BNPB menetapkan status
gunung Sinabung dari level siaga menjadi level awas dan penduduk yang
tinggal di sekitar kawasan gunung Sinabung diharuskan untuk melakukan
evakuasi demi meminimalisir korban jiwa jika terjadi erupsi. Masyarakat
yang menjadi penyintas merasa terkejut dan takut saat erupsi terjadi pada
bulan November 2013. Mereka mengakui tidak memiliki persiapan saat
keadaan darurat (wawancara pada beberapa penyintas, Desember 2013). Hal
ini sesuai dengan penuturan beberapa penyintas sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

“Kaget lah kami pas malam disuruh ngungsi, kan waktu itu malam
trus tiba-tiba jadi gak ada persiapan kami buat ngungsi”
(komunikasi personal, Desember 2013)
“Rasanya takut...kedengaran suara gunungnya macam suara
meledak gitu..terus atap rumah kami kayak disiram kerikil...sempat
bolong juga itu atap rumah” (komunikasi personal, Desember
2013)
“Gak tau lah apa yang dibawa dari rumah, tapi waktu malam itu
karena takut langsung ikut aja mobil yang bawa kami”

(komunikasi personal, Desember 2013)
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang
menjadi penyintas erupsi Sinabung yang tinggal di posko pengungsian,
kondisi saat ini lebih parah dibandingkan dengan erupsi yang terjadi pada
tahun 2010. Ketika erupsi tahun 2010 mereka hanya mengungsi selama 2
minggu, namun saat ini mereka telah lebih dari 6 bulan tinggal di posko
pengungsian dan tidak tahu harus berapa lama mereka harus mengungsi.
Tinggal di posko pengungsian akan menimbulkan masalah bagi
para penyintas baik masalah fisik maupun masalah psikologis. Beberapa
masalah dapat disebabkan karena berbagai keterbatasan yang ada ketika
hidup dalam posko pengungsian (Hikmawati & Rusmiyati, 2012).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan
kepada para penyintas dewasa di beberapa posko pengungsian, diperoleh
keterangan bahwa saat ini mereka sedang mengalami masalah yang berat
dalam kehidupannya karena para penyintas merupakan kepala keluarga dan
saat ini mereka tidak memiliki penghasilan dalam hidupnya. Sebelum berada
di pengungsian para penyintas sebagian besar memiliki aktivitas mengolah

Universitas Sumatera Utara


ladang namun saat ini mereka merasa takut untuk melihat ladang karena
kondisi gunung Sinabung yang tidak dapat diprediksi.
Masalah ekonomi sangat terasa setelah terjadi bencana. Kehilangan
pendapatan menjadi dampak yang utama (Ursano, Fullerton dan Terhakopian,
2008). Menurut penuturan para penyintas kondisi ladang mereka ada yang
akan memasuki masa panen, namun akibat abu vulkanik dari erupsi Sinabung
yang merusak tanaman para penyintas tidak bisa mendapatkan hasil panen
dari ladang. Hal ini berdampak pada pendapatan yang mereka peroleh. Selain
itu para penyintas juga harus tetap mengeluarkan biaya untuk anak-anak
mereka. Hal ini tentunya menjadi salah satu stressor ketika berada di posko
pengungsian. Hal ini sesuai dengan penuturan beberapa orang penyintas
berikut ini:
“...Gak tahu lagilah kami mau kayak mana...ladang pun udah
rusak..padahal sebentar lagi bisa dipanen..jadi gak ada uang
masuk kami sementara anak-anak juga butuh uang untuk
keperluan hidup, kayak biaya kost... untuk yang ngerti bagus, tapi
kalo masih kecil-kecil gini mana tau anak-anak itu kalo kita juga
lagi gak ada uang,,mau anak-anak minta uang untuk beli
jajan..jadi udah payah kali rasanya.” (komunikasi personal,
Desember, 2013)

“Kerja aku cuma keladangnya, disitulah dapat uang,,tapi sekarang
cemana mau keladang juga takut kan,,” (komunikasi personal,
Januari 2013)
“...Ya gini-gini ajalah kami gak jelas juga mau apa, kalo pun
direlokasi kami pasrah aja lah..terserah pemerintah kan orang itu
yang tau..mau balik juga gunungnya statusnya masih awas..jadi
payah kurasa”(komunikasi personal, Januari 2014)

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya peneliti mendapatkan informasi para penyintas
mengatakan bahwa apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya tergantung
dari kondisi gunung Sinabung. Selain kehilangan mata pencaharian, mereka
juga tidak memiliki aktivitas selama berada di pengungsian. Sebagian besar
dari para penyintas biasanya berkumpul di kedai kopi sambil “ngobrol”. Hal
ini sesuai dengan penuturan dari beberapa penyintas seperti berikut:
“Yaa mau kayak mana lagi...ya inilah duduk-duduk sambil minum
kopi... main kartu... ada yang main catur..ya biar gak
bosanlah..soalnya gak tau lagi mau ngapain kami, udah bosan kali
disini” (komunikasi personal, Desember 2013)

“udah jenuh kali lah disini, gak ada kerjaan, lagian nanti kita kalo
kerja tau-tau pindah pula keluarga, jadi serba salah rasanya..kita
gak tau kan mau macam mana (komunikasi personal, Januari
2014)

Peneliti juga menemukan beberapa penyintas yang duduk dan
termenung di sekitar lokasi pengungsian. Penyintas mengaku telah merasa
jenuh dan bosan dengan keadaannya sekarang. Salah satu cara yang dilakukan
penanggungjawab posko untuk memberikan aktivitas kepada para penyintas
laki-laki dewasa adalah dengan melibatkan mereka secara bergantian untuk
kegiatan di dapur umum seperti memasak nasi atau mempersiapkan logistik.
Hal ini dilakukan agar para penyintas tidak merasa bosan dengan kondisi
yang terjadi saat menjalani kehidupan di posko pengungsian. Pemerintah juga
berupaya memberikan hiburan kepada para penyintas agar tidak merasa jenuh
saat berada di posko dengan mengadakan berbagai kegiatan yang positif
seperti menonton bersama, kegiatan adat Karo dengan menyanyi dan menari
bersama di iringi dengan organ tunggal (Didiet, 2014). Namun hal ini

Universitas Sumatera Utara


menurut penyintas kurang efektif karena mereka tidak memiliki aktivitas lain
ketika acara tersebut telah selesai. Selain itu penyintas juga tidak memiliki
inisiatif untuk melakukan kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama
seperti membersihkan posko pengungsian.
Masalah lain yang dialami penyintas saat berada di posko
pengungsian adalah hilangnya privasi untuk dapat membangun hubungan
yang intim dengan pasangan. Kondisi tempat tidur yang penuh sesak dan
harus berbagi dengan orang lain membuat para penyintas kehilangan privasi.
Hal ini juga menimbulkan sumber stressor bagi para penyintas.
Selain itu ketersediaan air bersih yang terbatas menjadi salah satu
sumber masalah bagi para penyintas. Faktor kebersihan juga menjadi masalah
bagi para penyintas saat berada di posko pengungsian.
Para penyintas merasa tidak nyaman dengan kondisi posko
meskipun para penyintas mengakui untuk kebutuhan fisik seperti makan dan
minum telah terpenuhi namun mereka merasa kurang mendapat pemenuhan
psikologis yang dapat membantu mereka untuk bisa adaptif selama berada
dalam posko pengungsian. Hal ini sesuai dengan penuturan dari para
penyintas seperti :
“Kayak mana kubilang ya...gak nyaman kali rasanya..semua
serba susah kurasa, airnya ini kurang..jadi jorok lah..kan kau liat

sendiri kayak mana joroknya” (komunikasi personal Desember
2013)
“Kalo makan ato minum disini terpenuhinya...salut lah sama
orang yang mau membantu..tapi gimana caranya biar gak stress
kami ini..kau lah yang tau kan?..” (komunikasi personal Desember
2013)

Universitas Sumatera Utara

“gimana gak stress, orang-orang ini pun kayak gini..mau tidur pun
gak nyaman karena rame kan 1 ruangan, terus uang juga gak ada,
biasa kerja kita sekarang gak ada yang bisa dikerjakan, pasrah aja
lah gak tau lagi kan mau kayak mana..kalo mau direlokasi ya
terserah lah” ( komunikasi personal, Januari 2014)

Saat berada di pengungsian penyintas merasa cemas, khawatir,
tidak nyaman dengan kondisi yang mereka alami dan mengalami gangguan
tidur. Reaksi tersebut merupakan hal yang wajar saat berada dalam situasi
bencana, namun apabila terus terjadi dan penyintas tidak mampu melakukan
coping yang baik dalam situasi yang serba terbatas dalam posko pengungsian

maka akan menyebabkan gangguan pada penyintas. Menurut Hikmawati &
Rusmiyati (2012) kondisi yang serba terbatas saat dipengungsian dapat
menambah rasa cemas para pengungsi.
Selain itu peneliti juga memperoleh data dari penyintas anak-anak
yang mengatakan bahwa saat ini mereka sering menjadi pelampiasan amarah
orang tua mereka. Hal ini sesuai dengan penuturan penyintas sebagai berikut :
“sering kali pun marah orang tu...ntah
marah..”(komunikasi personal, Januari 2014)

apa

sikit-sikit

“dulu waktu belum mengungsi ada juga marah-marah mamak
sama bapak, tapi gak sering kayak disini” (komunikasi personal,
Januari 2014)

Anak-anak menyadari bahwa saat ini orang tua mereka sedang
memiliki masalah akibat erupsi dari gunung Sinabung namun pelampiasan
emosi yang dirasakan tidak tepat. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya

kemampuan mengontrol emosi pada para penyintas. Selain itu peneliti juga
memperoleh informasi dari anak-anak bahwa orang tua mereka sebelum

Universitas Sumatera Utara

berada di tempat pengungsian telah lama berhenti merokok, namun saat ini
orang tuanya kembali merokok. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Saderer (2012) bahwa timbulnya perilaku merokok dapat
terjadi karena adanya masalah emosional.
Seiring dengan aktivitas gunung Sinabung yang statusnya telah
menurun menjadi siaga, pemerintah telah mengizinkan penyintas yang berasal
dari 16 desa yang termasuk dalam zona aman untuk kembali ke tempat
asalnya masing-masing. Bagi para penyintas yang desanya ditetapkan oleh
pemerintah sebagai zona bahaya tidak diizinkan untuk kembali dan
diharuskan untuk tetap berada di posko pengungsian (Mandailing, 2014).
Walaupun telah ada penyintas yang kembali ke tempat masingmasing, namun kondisi tempat tinggal yang rusak akibat erupsi gunung
Sinabung akan menjadi stressor bagi mereka. Selain itu kerusakan harta
benda dan ladang yang mereka miliki juga menambah beban bagi para
penyintas. Para penyintas tidak bisa langsung berladang saat kembali ke desa
disebabkan kondisi lahan yang belum cocok untuk di tanami. Selain itu

penyintas harus mulai kembali dari awal lagi untuk mengolah lahan yang
mereka miliki namun penyintas tidak memiliki modal usaha karena tidak
memperoleh hasil panen yang telah rusak akibat erupsi.
Bagi penyintas yang masih tetap berada di tempat pengungsian dan
belum diizinkan untuk kembali, masalah ketidakpastian akan berapa lama
mereka tinggal di tempat pengungsian akan menjadi sumber stressor baru.
Selain itu kondisi tempat pengungsian juga akan menjadi stressor bagi

Universitas Sumatera Utara

kehidupan selama berada di tempat pengungsian. Apabila para penyintas
tidak bisa melakukan adaptasi yang baik terhadap stressor yang terjadi maka
akan menimbulkan gangguan dalam kehidupan mereka.
Didiet (2014) memaparkan bahwa dalam dua bulan terakhir,
pengungsi terlihat mulai melamun, diam, terkadang sampai menangis dan
putus asa. Bahkan, seorang pengungsi nekat bunuh diri akibat tak mampu
menahan cobaan. Selain itu Hutagalung (2014) juga turut memaparkan bahwa
beberapa warga mulai bertingkah aneh. Mereka terlihat termenung, berbicara
sendiri dan mengalami depresi. Berdasarkan penelitian gangguan psikologis
yang dapat muncul pasca bencana seperti kecemasan, depresi, post traumatic
stress disorder (PTSD) bahkan bunuh diri dapat muncul pada para penyintas (
Pietrzak, Tracy, Galea, Kilpatrick, Ruggiero, Hamblen, Southwick, & Norris,
2012; Kyotuku, Umeyama, Harada, Kikuchi, Watanabe, Dougall, & Dan,
2011; Caldera, Palma, Penayo, & Kullgren, 2001).
Hingga awal bulan Juni 2014 peneliti memperoleh data bahwa
tempat pengungsian di Tanah Karo berjumlah 32 posko dengan jumlah
penyintas sekitar 15000 jiwa. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas
di media center diperoleh keterangan bahwa ada beberapa penyintas yang
berusaha untuk menambah penghasilan dengan ngemo di ladang milik orang
lain. Namun ada juga pengungsi yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak
memiliki inisiatif untuk melakukan hal yang bermanfaat selama berada di
posko pengungsian. Padahal menurut petugas tersebut seharusnya penyintas

Universitas Sumatera Utara

bisa melaksanakan kegiatan seperti menjaga kebersihan posko, bergotong
royong membersihkan sampah di sekitar lokasi.
Erupsi gunung Sinabung juga membuat para penyintas kurang
optimis menghadapi masa depan. Kehilangan sumber ekonomi, rusaknya
harta benda dan ketidakpastian waktu mengungsi berapa lama, membuat
penyintas tidak mengetahui apa yang dapat mereka lakukan. Saat ini
penyintas juga tidak memiliki tujuan dalam menjalani kegiatan sehari-hari di
posko pengungsian. Bencana erupsi Sinabung membuat para penyintas
merasa putus asa akan kehidupannya. Perasaan putus asa terjadi ketika
individu menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk
mengontrol dan mengubah situasi yang ada (Seligman, 1990; Schultz and
Schultz, 1993).
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan terhadap relawan
yang ikut membantu penanganan erupsi Sinabung diperoleh keterangan
sebagai berikut :
“kalo pengungsi disini sudah nyerah kurasa, jadi gak mau orang
ini ngapa-ngapain. Kayak kemaren lah contohnya ada tenda yang
udah miring dan mau roboh, tapi gak ada kemauan orang ni untuk
benerin, ato beresin lah.Cuma duduk-duduk sambil termenung aja
orang ini. Kan itu bisa dikerjain sama-sama. Padahal itu juga
tempat tinggal orang itu” (Komunikasi personal, Juni 2014)
Saat ini penyintas menjadi apatis dan tidak perduli akan
lingkungannya. Ketidakperdulian ini menimbulkan kurangnya rasa memiliki
dan menjaga apa yang telah diberikan kepada mereka. Penyintas cenderung
hanya menunggu serta berharap bantuan dari pihak pemerintah untuk
membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan. Hal ini sejalan dengan yang

Universitas Sumatera Utara

dikemukakan oleh Hikmawati & Rusmiyati (2012) bahwa ketika berada di
posko pengungsian, pengungsi kehilangan harga diri dan rasa percaya diri,
sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa
depan, cenderung menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah
beban hidup mereka. Walaupun demikian di posko pengungsian ada beberapa
individu yang mampu bangkit saat mereka berada dalam keadaan sulit dan
tetap berjuang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Kemampuan ini
disebut dengan resiliensi.
Resiliensi mengacu pada adaptasi yang positif atau kemampuan
untuk mengelola atau usaha untuk memperoleh kembali mental yang sehat
walaupun mengalami kemalangan (Herrman, Stewart, Granadoz, Berger,
Jackson, & Yuen, 2011). Hal ini juga terlihat pada beberapa penyintas erupsi
Sinabung. Ada beberapa orang penyintas yang turut serta berpartisipasi secara
aktif dalam kegiatan di posko. Hal ini dilakukan secara suka rela dengan
alasan agar penyintas tersebut tidak merasa bosan. Penyintas tersebut
mengakui bahwa kalau tidak beraktivitas maka akan menimbulkan kesedihan
karena teringat kondisi yang dialami. Untuk mengalihkan pikiran tersebut
maka penyintas berusaha untuk mencari kegiatan seperti membantu kegiatan
di posko pengungsian (observasi dan wawancara pada penyintas, Januari
2014).
Resiliensi merupakan suatu proses yang adaptif dan memberikan
hasil yang positif dalam menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan.
Resiliensi dapat terjadi pada setiap fase kehidupan. Individu yang resilien

Universitas Sumatera Utara

memiliki karakteristik seperti memiliki emosi yang positif, memiliki kontrol
atas dirinya, fleksibilitas dalam berfikir, altruisme, aktif dalam penyelesaian
masalah, berani dan memiliki spiritual. Selain itu orang yang resilien dapat
mengatasi tekanan dengan baik, ramah, menunjukkan minat yang lebih tinggi
untuk berafiliasi pada orang lain, memiliki sikap optimis. Mereka
menyelesaikan krisis secara cepat dengan komitmen dan self-efficacy yang
tinggi dan memiliki pemahaman bahwa segala kesulitan dapat dipahami,
dikelola, dan memiliki makna bagi kehidupan (Astuti 2005). Dengan
demikian kemampuan untuk menjadi individu yang resilien dapat membantu
dan memudahkan para penyintas agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri
secara positif selama berada dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Resiliensi

bukanlah

suatu

keadaan

yang

menetap

namun

merupakan sebuah proses yang dinamis. Resiliensi merupakan kemampuan
yang universal yang ada pada individu atau komunitas untuk dapat
merencanakan, merespon dan bangkit kembali dari pengalaman yang tidak
menyenangkan (Holcomb, 2009). Resiliensi dapat ditingkatkan melalui
berbagai cara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
resiliensi

adalah

dengan

memberikan

latihan

bersyukur

(gratitude

interventions) terhadap kehidupan (Emmon, 2013).
Bersyukur merupakan bagian dari pendekatan psikologi positif
yang berupaya untuk melihat sisi positif sosok manusia. Pemrakarsa psikologi
positif, Seligman melihat bahwa di tengah ketidakberdayaannya, manusia
selalu memiliki kesempatan untuk melihat hidup secara lebih positif. Manusia

Universitas Sumatera Utara

dipandang sebagai makhluk yang bisa bangkit dari segala ketidakberdayaan
dan memaksimalkan potensi diri. Psikologi positif melihat manusia sebagai
sosok yang mampu menentukan cara memandang kehidupan. Psikologi
positif berpusat pada pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai segala
hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini bersifat sangat
subyektif. Untuk itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang
sangat penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan
berbagai subyektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan (Arbiyah,
Imelda, & Oriza, 2008)
Sebagai masyarakat yang beragama, bersyukur merupakan bagian
dalam kehidupan masyarakat Karo. Pada masyarakat tradisional suku Karo
ada suatu kepercayaan untuk melakukan upacara tertentu sebagai bentuk
syukur kepada debata atau Tuhan yang disebut dengan erpanger. Upacara ini
bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada debata yang telah
memberikan rahmat tertentu seperti memperoleh keberuntungan, terhindar
dari kecelakaan, sembuh dari penyakit dan lain-lain (Prinst, 2004). Selain itu
ada juga tradisi pesta tahunan yang bertujuan untuk mensyukuri hasil panen
yang telah diperoleh (Ginting, 2007). Dengan demikian terlihat bahwa
masyarakat Karo memiliki nilai bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh
dalam kehidupan.
Bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat terjadi
kemalangan (Fredrickson, Tugade, Waugh, & Larkin, 2003; Ruini &
Vescovelli, 2012). Dengan bersyukur dapat membantu individu untuk

Universitas Sumatera Utara

menikmati situasi dan pengalaman hidup, meningkatkan kepuasan dan
kenyamanan dalam kehidupan dan melakukan penyesuaian. Penelitian yang
dilakukan oleh Fredrickson dkk ( 2003) menyimpulkan bahwa dengan emosi
positif seperti bersyukur, cinta dan simpati membantu individu menjadi
resilient dan mengurangi depresi, menjadi lebih tenang, merasa optimis dan
memiliki kepuasan dalam hidup. Selain itu bersyukur dapat membantu
individu untuk mengatasi stres dan trauma dengan menginterpretasi ulang
secara positif pengalaman yang negatif ( Kobau, Seligman, Peterson, Diener,
Zack, Chapman, & Thompson, 2011). Dengan memberikan latihan bersyukur
diperoleh bahwa individu menjadi lebih optimis dan lebih memiliki emosi
yang positif. Selanjutnya individu yang bersyukur memperlihatkan emosi
positif yang tinggi seperti menikmati hidup, optimis, antusias, love, happines.
Selanjutnya individu yang bersyukur dapat mengatasi tekanan dalam
kehidupan secara lebih efektif, menunjukkan peningkatan resiliensi dalam
menghadapi stress akibat trauma, lebih cepat pulih dari penyakit, dan
memiliki kesehatan yang lebih baik (Emmon, 2013).
Dengan pelatihan bersyukur, penyintas erupsi Sinabung diharapkan
dapat meningkatkan resiliensi sehingga dapat melakukan penyesuaian yang
lebih adaptif dan mampu melakukan coping yang baik terhadap stressor yang
mereka alami. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, peneliti tertarik
untuk meneliti “efektifitas pelatihan bersyukur untuk meningkatkan resiliensi
pada penyintas erupsi Gunung Sinabung”

Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “sejauh mana efektifitas latihan bersyukur dalam
meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung?”
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana
efektifitas pemberian pelatihan bersyukur dalam meningkatkan resiliensi pada
penyintas erupsi gunung Sinabung.
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis
dalam memperkaya dan mengembangkan khasanah teori psikologi khususnya
Psikologi Klinis Dewasa mengenai intervensi yang dapat digunakan dalam
meningkatkan resiliensi pada penyintas yang terkena dampak dari bencana.
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
penyintas mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
resiliensi.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I :

Pendahuluan ; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.

BAB II :

Tinjauan Pustaka ; teori yang digunakan dalam penelitian yaitu
resiliensi dan latihan bersyukur

BAB III : Metode Penelitian ; pendekatan yang digunakan, metode
pengumpulan data, subjek dan lokasi penelitian, alat ukur,

Universitas Sumatera Utara

prosedur penelitian, tahap pelaksanaan, rancangan intervensi
dan meotde analisis data
BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Penelitian ; pelaksanaan intervensi, hasil
penelitian serta pembahasan penelitian efektifitas penerapan
latihan bersyukur dalam meningkatkan resiliensi pada penyintas
erupsi gunung Sinabung
BAB V : Kesimpulan dan Saran ; pada bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi
hasil penelitian terhadap pelayanan penelitian

Universitas Sumatera Utara