Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Resiliensi
2.1.1. Definisi resiliensi
Definisi resiliensi masih menjadi perdebatan oleh para ahli.
Banyak ahli yang memandang definisi resiliensi sebagai suatu proses,
atau

sebagai

sifat

individu,

atau

sebagai

dinamika

proses


perkembangan, atau suatu hasil atau kumpulan dari semua yang telah
dikemukakan (Reich, Zautra, & Hall, 2010). Secara umum resiliensi
merupakan suatu proses yang dinamis dalam beradaptasi saat
menghadapi kemalangan (Luthar, Cicchetti, Becker, 2000 ; Resnick,
Gwyther, & Roberto 2011).
Reich dkk (2010) memandang resiliensi sebagai suatu hasil
dari penyesuian yang baik terhadap kemalangan. Resiliensi bersifat
universal namun setiap manusia memiliki kapasitas resiliensi yang
berbeda-beda.

Situasi

lingkungan

juga

mempengaruhi

untuk


meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi
tekanan (Gallo, Bogart, Vranceanu & Matthews, 2005 ; Reich dkk
2010).
Menurut Ong (2006) resiliensi adalah keberhasilan
menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi. Penyesuaian diri
menggambarkan kapasitas untuk membangun hasil positif dalam
peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan
kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi
tidak pasti. Setiap orang membutuhkan resiliensi karena kemalangan
termasuk dalam proses kehidupan. Resiliensi merupakan kemampuan
individu untuk memberikan respon dengan cara yang sehat dan
produktif ketika berhadapan dengan penderitaan atau trauma, yang
mana kemampuan tersebut sangat penting untuk mengelola tekanan
dalam kehidupan sehari-hari. Resiliensi merupakan hal yang penting
saat harus mengambil keputusan yang cepat meskipun berada dalam

keadaan yang kacau. Dengan resiliensi akan memberikan perubahan
dalam kehidupan, kesulitan akan menjadi tantangan, kegagalan
menjadi keberhasilan, keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat
mengubah korban menjadi survivor dan membuatnya menjadi lebih
baik.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan
manusia

untuk

menghadapi

menghadapi,

rintangan

dan

mengatasi,


menjadi

kuat

hambatan.

Selanjutnya

ketika

Grotberg

menjelaskan bahwa resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak
hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan
sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia
memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang mampu
untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam

Universitas Sumatera Utara


hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga
dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002)
Masten & Gabrielle (dalam Snyder & Lopez, 2002)
mengatakan bahwa resiliensi merupakan sebuah fenomena yang
ditandai dengan pola penyesuian yang positif saat menghadapi
kemalangan atau suasana yang penuh resiko.
Berdasarkan

uraian

diatas

maka

resiliensi

adalah

kemampuan individu untuk dapat menghadapi dan mengatasi
penderitaan yang terjadi dan menyesuaikan diri secara positif dengan

keadaan yang penuh tekanan.
2. 1.2. Sifat dasar resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 4 hal yang mendasari
manusia untuk menggunakan resiliensi, yaitu :
a. Overcoming ( menanggulangi)
Resiliensi digunakan untuk menanggulangi hambatan pada masa
kanak-kanak.
b. Steer through
Resiliensi digunakan untuk melewati penderitaan yang ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Bounce back
Penderitaan dan trauma termasuk dalam bagian kehidupan.
Individu akan merasa helpless dan merasa tidak mampu untuk
melanjutkan hidupnya namun dengan menggunakan resiliensi

Universitas Sumatera Utara

individu justru dapat bangkit kembali dan menemukan jalan untuk
melanjutkan kehidupan.
d. Reaching out

Reaching out digunakan ketika individu menemukan makna baru
dan tujuan hidup serta membuka diri terhadap pengalaman dan
tantangan yang dihadapi.
2.1.3. Kunci utama resiliensi
Berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana cara
seseorang

menganalisa

kejadian-kejadian

yang

dialaminya

memberikan efek yang sangat besar terhadap resiliensinya. Bagaimana
seseorang merespon suatu situasi dinamakan thinking style. Hal ini
terlihat

seperti


bagaimana

seseorang

melihat

dunianya

dan

menginterpretasi kejadian dalam hidupnya yang akan menentukan
respon secara emosional terhadap kejadian yang dialaminya. Sebab itu
thinking style akan menentukan resiliensi yang dimiliki oleh individu
(Reivich & Shatte, 2002).
Kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali pikiran
sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk
meningkatkan keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu
mengatur konsekuensi emosional dan behavioral secara lebih baik.
Kemampuan ini dapat diukur, diajarkan dan ditingkatkan ( Jackson &

Watkin dalam Mulyani 2011).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Reivich & Shatte hambatan utama untuk berdamai
dengan penderitaan adalah cognitive style individu. Dengan kata lain
tergantung pada keyakinan seseorang tentang penderitaan dan
keyakinan akan kesempatan untuk berdamai dengan penderitaan
tersebut. Thinking style

menentukan resiliensi seseorang karena

menentukan bagaimana seseorang menginterpretasi penderitaan yang
dialami, serta keyakinan akan kemampuannya untuk berdamai dengan
penderitaan secara sukses.
2.1.4. Prinsip Dasar Keterampilan Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 4 prinsip yang
menjadi dasar bagi keterampilan resiliensi, yaitu :
a. Manusia dapat berubah
Setiap orang bebas untuk merubah hidupnya kapan saja bila

memiliki keinginan dan dorongan. Setiap orang dilengkapi dengan
keterampilan yang sesuai dan merupakan pemimpin bagi dirinya
sendiri.
b. Pikiran adalah kunci untuk meningkatkan resiliensi
Aaron Beck mengatakan bahwa kognisi mempengaruhi
emosi dan emosi akan menentukan siapa yang akan resilien dan
siapa yang tidak.
c. Ketepatan berpikir merupakan kunci
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki
optimisme yang tidak realistis cenderung menyepelekan resiko

Universitas Sumatera Utara

yang terjadi pada kesehatan sehingga justru menjadi tidak
tertolong. Optimisme realistis tidak mengasumsikan bahwa hal-hal
baik akan datang dengan sendirinya namun melalui usaha,
pemecahan masalah dan perencanaan.
d. Fokus pada kekuatan manusia
Psikologi positif memiliki 2 tujuan utama, pertama
meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human

streghts) melalui perkembangan sistem dan metode klasifikasi
untuk

mengukur

kekuatan

tersebut.

kedua

menanamkan

pengetahuan ini ke dalam program dan intervensi efektif yang
terutama dirancang untuk membangun kekuatan individu daripada
untuk memperbaiki kelemahan. Resiliensi merupakan kekuatan
utama yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi
emosional dan psikologis manusia. Kurangnya resiliensi menjadi
penyebab keberfungsian yang negatif, tidak adanya keberanian,
rasionalitas dan insight.
2.1.5

Keterampilan resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 7 keterampilan yang
diperlukan oleh individu untuk bisa menjadi resilien, yaitu :

a. Learning your ABCS
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mendengarkan apa yang
ada dalam pikirannya, mengindentifikasi apa yang akan dikatakan
kepada diri sendiri ketika berhadapan dengan suatu permasalahan dan

Universitas Sumatera Utara

juga harus memahami bagaimana pemikiran mempengaruhi perasaan
dan perilaku.
b. Avoiding thinking traps
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi
kebiasaan dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang
dialami dan mengoreksi kebiasaan tersebut
c. Detecting ice berg
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk mengidentifikasi deep
belief yang ada pada dirinya. Kemudian menentukan kapan deep belief
yang ada tersebut membantu atau malah memperburuk keadaannya
d. Challenging beliefs
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menguji akurasi dari
keyakinannya mengenai permasalahan yang dialami dan bagaimana
menemukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi dengan tepat.
e. Putting in perspective
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk menghentikan pemikiran
“what-if” dan mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan
tersebut.
f. Calming and focusing
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk tetap tenang dan fokus
pada permasalahan yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

g. Real time resilience
Keterampilan ini mengajarkan individu untuk bisa dengan cepat
mengubah counterproductive thoughts menjadi resilience thought.
Dengan 7 keterampilan tersebut individu akan memiliki hubungan
yang lebih bermakna, lebih produktif dan individu akan merasa bahwa
hidupnya menyenangkan dan penuh semangat. Keseluruhan keterampilan
tersebut tidak harus dikuasi namun individu harus bisa fokus terhadap
beberapa keterampilan yang dianggap penting untuk menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi saat ini.
2.1.6 Faktor-faktor resiliensi
Reivich & Shatte (2002) mengemukakan ada 7 kemampuan
yang membangun resiliensi dan tidak ada orang yang bisa menguasai
semua kemampuan tersebut dengan baik. Adapun 7 kemampuan
tersebut yaitu :
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang
walaupun berada dalam situasi yang menekan. Individu yang
resilien

mengembangkan

keterampilan

dengan

baik

untuk

membantu mengontrol emosi, perhatian dan perilaku.
b. Impuls control
Individu yang mampu mengontrol dorongan, menunda pemuasan
kebutuhan akan lebih sukses secara sosial dan akademis. Regulasi
emosi dan impuls control memiliki hubungan yang erat.

Universitas Sumatera Utara

Kemampuan yang baik dalam mengontrol dorongan yang ada
menunjukkan

kecenderungan

seseorang

untuk

memiliki

kemampuan yang baik dalam hal regulasi emosi.
c. Empathy
Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca
sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan
emosional mereka melalui isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah,
intonasi suara atau gerak tubuh dan kemudian menentukan apa
yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. seseorang
yang memiliki empati yang kurang baik walaupun memiliki tujuan
yang baik akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak
resilien.
d. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu yang
resilien yakin bahwa kondisi kehidupan dapat menjadi lebih baik,
memiliki harapan pada masa depan dan memiliki keyakinan bahwa
mereka dapat mengatur bagian dari kehidupannya. individu yang
optimis memiliki kesehatan yang baik, dan memiliki kemungkinan
yang kecil mengalami depresi, memiliki prestasi yang lebih baik
dan lebih produktif.
Optimisme berarti seseorang memiliki keyakinan akan kemampuan
untuk mengatasi penderitaan (adversity) yang mungkin muncul di
masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan adanya sense of

Universitas Sumatera Utara

efficacy, yakin akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan
mengarahkan diri sendiri.
e. Causal analysis
Causal

analysis

menunjukkan

kemampuan

individu

untuk

mengidentifikasi penyebab dari masalah yang dialami. Individu
yang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat
tidak akan mengulangi masalah yang sama.
f. Self efikasi
Self efikasi merupakan perasaan individu sejauh mana ia mampu
berfungsi secara efektif dalam kehidupan. Hal ini menggambarkan
keyakinan untuk dapat memecahkan masalah, bagaimana menilai
pengalaman yang dilalui dan kemampuan untuk berhasil.
g. Reaching out
Resiliensi merupakan kemampuan mencapai aspek positif dalam
kehidupan dan juga merupakan sumber daya untuk dapat keluar
dari kondisi sulit. Individu yang memiliki kemampuan ini tidak
menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan yang dimiliki.
Individu yang reacing out tidak terpaku dalam rutinitas, memiliki
rasa ingin tahu dan mencoba hal-hal baru, mampu menjalin
hubungan dengan orang-orang baru dalam lingkungan mereka.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Pelatihan bersyukur
2.2.1 Definisi bersyukur
Bersyukur berasal dari bahasa Latin gracia yang berarti
anggun, luwes atau terima kasih. Hal ini menyiratkan bersyukur
merupakan melakukan sesuatu dengan penuh kebaikan, murah hati,
karunia, keindahan dari memberi dan menerima atau memperoleh
sesuatu yang tidak terlihat (Pruyser, 1976 ; Peterson & Seligman,
2004).
Banyak filsuf dan ahli psikologi yang telah menjelaskan
mengenai definisi bersyukur. Menurut Kant ,1964 (dalam Emmon &
Mc. Cullough, 2004) bersyukur dapat diartikan sebagai penghormatan
kepada orang lain karena kebaikan yang telah dilakukan. Bersyukur
merupakan sikap terhadap orang yang memberi, dan sikap terhadap
apa yang telah diberikan, tekad untuk menggunakannya dengan baik,
untuk menggunakannya secara imajinatif dan bermanfaat sesuai
dengan niat yang memberikan ( Harned, 1997 ; Emmon & Mc.
Cullough, 2004).
Dalam sudut pandang psikologi, bersyukur merupakan
perasaan takjub, terima kasih, dan penghargaan terhadap kehidupan.
Bersyukur dapat diekspresikan kepada orang lain atau hal yang lain.
Adanya rasa bersyukur dinyatakan dengan cara yang berbeda oleh
hampir semua budaya dan masyarakat (Emmon & Mc. Cullough,
2004). Bersyukur dapat dianggap sebagai perasaan menyenangkan

Universitas Sumatera Utara

yang dapat terjadi ketika individu menerima kebaikan atau manfaat
dari orang lain. Target dari bersyukur tidak hanya orang lain. kita
dapat bersyukur kepada Tuhan, nasib, atau alam semesta (Tsang,
Rowatt & Buechsel dalam Lopez, 2008).
Orang yang bersyukur adalah orang yang menerima sebuah
karunia dan sebuah penghargaan serta mengenali nilai dari karunia
tersebut. Bersyukur bisa diasumsikan sebagai kekuatan dan keutamaan
yang mengarahkan kehidupan yang lebih baik. Bersyukur merupakan
rasa terimakasih dan bahagia sebagai respon telah menerima suatu
pemberian, entah pemberian tersebut merupakan keuntungan yang
terlihat dari orang lain ataupun momen kedamaian yang ditimbulkan
oleh keindahan alam (Peterson dan Seligman. 2004).
Menurut Goodenough (dalam Emmon & Mc. Cullough,
2004) pengalaman bersyukur secara religi didasari dengan perasaan
takjub terhadap alam semesta. Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari
berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap
kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan,
kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon &
Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004).
Berdasarkan

penjabaran

tersebut

maka

bersyukur

merupakan perasaan untuk berterima kasih terhadap segala hal yang
terjadi dalam kehidupan baik secara ucapan ataupun perbuatan.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Komponen bersyukur
Menurut Fitzgerald (dalam Peterson dan Seligman. 2004 ;
Emmon & Mc. Cullough, 2004 ) ada tiga komponen dari bersyukur,
yaitu :
a. rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang atau sesuatu, meliputi
perasaan cinta dan kasih sayang.
b.

niat baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu,
meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan,
keinginan untuk berbagi, dan lain-lain.

c. Kecenderungan untuk bertindak positif berdasarkan rasa apresiasi
dan kehendak baik, meliputi intensi menolong orang lain,
membalas kebaikan orang lain, beribadah, dan lain-lain.
Selain itu bersyukur terbagi menjadi dua jenis, yaitu
personal dan transpersonal (Peterson dan Seligman, 2004). Bersyukur
personal adalah rasa berterimakasih yang ditujukan kepada orang lain
yang khusus telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya diri
mereka. Sementara bersyukur transpersonal adalah ungkapan terima
kasih terhadap Tuhan, kepada kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada
alam semesta.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Aspek bersyukur
Menurut Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson
dan Seligman, 2004) ada 4 aspek dalam bersyukur yaitu :
a. Gratitude Intensity
Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat ketika mengalami
kejadian yang positif akan merasa lebih bersyukur dibandingkan
dengan orang yang memiliki rasa bersyukur yang lemah walaupun
sama-sama mengalami kejadian yang positif.
b. Gratitude Frequency
Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan lebih sering
bersyukur dalam kehidupannya sehari-hari. Perasaan bersyukur
muncul dari hal yang sederhana dalam kehidupannya.
c. Gratitude Span
Gratitude span mengacu kepada hal-hal apa saja yang ada dalam
kehidupannya. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat
akan merasa bersyukur dengan adanya keluarga, pekerjaan,
kesehatan, dan kehidupannya sendiri bersama dengan manfaat
yang lainnya. Orang yang memiliki rasa syukur yang rendah hanya
akan bersyukur terhadap beberapa aspek dalam hidupnya.
d. Gratitude Density
Gratitude density mengacu pada jumlah orang untuk siapa individu
merasa bersyukur. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat

Universitas Sumatera Utara

akan

bersyukur

kepada

semua

orang

yang

ada

dalam

kehidupannya.
2.2.4 Pelatihan bersyukur
Menurut Willis (dalam Bannet 1993) pelatihan merupakan
kegiatan pemberian pengetahuan atau keterampilan yang telah
ditentukan dan terukur. Hadjana (2003) menjelaskan bahwa pelatihan
adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan performa
seseorang yang dilakukan secara sistematis menurut prosedur serta
metode yang telah dirancang sesuai tujuan. Pelatihan mencakup
pengembangan berbagai informasi kepada individu atau kelompok
sehingga memperoleh informasi yang baru. Pelatihan merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan
kemampuan individu dengan berdasarakan pertimbangan bahwa
kegiatan tersebut bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
(Ridha 2006). Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda
sehingga mereka juga berbeda dalam keterampilan yang dapat
diperolehnya dari pelatihan (Jewell & Siegall, 1998).
Berdasarkan uraian diatas maka pelatihan merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pengetahuan
dan keterampilan kepada orang lain. Dengan demikian pelatihan
bersyukur merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan seseorang untuk mensyukuri segala sesuatu
yang terjadi dalam hidup baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini pelatihan bersyukur merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan aspek
bersyukur yang dijelaskan oleh Mc. Collough dkk ( dalam Linley &
Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) yaitu intensity, frequency,
span dan density.
Menurut Miler ( dalam Emmons dan Mc. Collough, 2004)
melalui

pendekatan

behavioural-cognitive

ada

empat

langkah

sederhana yang dapat dilakukan untuk melatih rasa bersyukur yaitu :
a. Mengidentifikasi pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri
b. Memformulasikan pemikiran akan hal-hal yang mendukung untuk
disyukuri
c. Mengganti pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan
hal-hal yang disyukuri
d. Segera mengerahkan apa yang sedang dirasakan dalam diri
menjadi sebuah tindakan.

2.3 Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas
Erupsi Sinabung
Pasca erupsi gunung Sinabung para penduduk harus tinggal di
posko pengungsian yang telah disediakan oleh pemerintah. Kehidupan di
posko pengungsian tentu saja tidak sama dengan kondisi tempat tinggal
sebelumnya dan suasana di posko pengungsian akan menjadi stressor bagi
para penyintas. Ketika berada di posko pengungsian, penyintas merasa sedih,

Universitas Sumatera Utara

khawatir, gelisah, merasa pesimis pada hidup, putus asa, mudah marah, lebih
sering berdiam diri karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menurut
Hikmawati dan Rusmiyati (2012) bencana juga berdampak pada hilangnya
harga diri dan rasa percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak
berdaya dalam menghadapi masa depan, cenderung menyalahkan orang/pihak
lain yang dianggap menambah beban hidup mereka. Keadaan yang serba
terbatas juga menjadi stressor bagi para penyintas. Kondisi tersebut akan
mempengaruhi resiliensi penyintas. Gallo dkk ( dalam Rich dkk, 2010)
menyatakan bahwa situasi lingkungan mempengaruhi untuk meningkatkan
atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan.
Grotberg

(1999)

mengemukakan

bahwa

resiliensi

bukan

merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia
dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas.
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang
mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam
hidupnya. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat
ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002).
Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi adalah
dengan meningkatkan rasa bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh
dalam kehidupan. Sebagai masyarakat yang beragama, masyarakat Karo
memiliki nilai bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh dalam kehidupan
dan nilai bersyukur merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat Karo.
Pada masyarakat tradisional suku Karo ada suatu kepercayaan untuk

Universitas Sumatera Utara

melakukan upacara tertentu sebagai bentuk syukur kepada debata atau Tuhan
yang disebut dengan erpanger (Prinst, 2004). Bentuk dari bersyukur dapat
dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Bersyukur terhadap
kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan
fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal ((Emmon & Shelton dalam
Emmon & Mc. Doughlas, 2004). Fredrickson dkk (dalam Ruini & Vescovelli,
2012) mengemukakan bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat
terjadi kemalangan.
Oleh karena itu maka pelatihan bersyukur dapat meningkatkan
resiliensi pada penyintas erupsi Sinabung, sehingga para penyintas dapat
bertahan dan bangkit dari keadaannya saat ini.

2.4 Hipotes penelitian
Hipotesa dari penelitian ini adalah pelatihan bersyukur efektif
untuk meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung

Universitas Sumatera Utara