Sosialisasi Perundang-Undangan Hak Kekayaan Intelektual Terkait Dalam Konteks Penyetan Kekayaan Budaya (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)

LAPORAN AKHIR HASIL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM
KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA
(Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)

Oleh :
Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum,
Dr. Edy Ikhsan, SH, MA,
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum

(NIDN : 0013026203)
(NIDN : 0016026304)
(NIDN : 0115086502)

Atas Biaya Sendiri

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN 2015
1


SOCIALIZATION OF RELATED INTELLECTUAL PROPERTY RIGHT
LEGISLATION IN THE CULTURAL RESCUE CONTEXT
(Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expression)
ABSTRACT
Dr. OK. Saidin, SH, M. Hum *)
Dr. Edy Ikhsan, SH, MA **)
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum ***)
In the preamble of Republic of Indonesia Constitution 1945, the goal of this
country, the reason of the establishment of this country, is included. The goal is
regulated in 4 (four) important points:
1. To protect the whole people of Indonesia and the entire homeland of
Indonesia.
2. To advance general prosperity.
3. To develop the nation’s intellectual life.
4. To contribute to the implementation of the world order based on freedom,
lasting peace, and social justice.
It is obvious, to reach the independence goal, Indonesia must utilize every
potential source. The source owned by Indonesia is part of the cultural wealth based
on natural resources (the wealth of flora and fauna, natural wealth of mineral, oil,

water and air) and human resources.
In the relation with intellectual property right protection, the natural resources
and human resources hold a very important role and position. The reason is that
anthropologically, human is the base of culture and human is also the one who can
utilize the natural potential to build the civilization.
The form of the protection in law is called as intellectual property right
protection which subject to national legal rules and international law. Intellectual
Property Right consists of Copyrights and industrial right of patent, industrial design,
plant variety, integrated circuit and mark.
In Indonesian Law, legal instrument of that can be found in Act number 28 of
2014 regarding Copyright, Act number 14 of 2001 regarding Patent, Act number 29
of 2000 regarding Plant Variety Protection, Act number 31 of 2000 regarding
Industrial Design, Act number 32 of 2000 regarding Integrated Circuit, Act number
15 of 2001 regarding Mark. But even so, the whole legislation on traditional
knowledge and traditional cultural expression today are not capable in protecting
what is called as protection on traditional knowledge and traditional cultural
*)
**)
***)


Lecturer in Law Faculty USU
Lecturer in Law Faculty USU
Professional Lecturer in Law Faculty USU
2

expression. Today, the protection about that is only put in Intellectual Property Right
legislation above.
The issue faced by Indonesia today is that lots of cultural knowledge and
traditional cultural expression haven’t been inventoried, so protection is hard to be
given. The cultural wealth should have been listed because it is regarding the wealth
that should be developed and maintained by Indonesian social community. For that,
socialization regarding related Intellectual Property Right legislation regarding
traditional knowledge and traditional cultural expression is necessary to be
conducted.
In this socialization in November 12th 2015, which was participated by 152
people, consisted of 3 Adat Law social communities, which were: Simalungun,
Malay, and Karo social community in many social levels which were: traditional
leaders, organization leaders, student leaders, intellectual leaders, and youth leaders.
They are the ones who are hoped to be the development agents to “transmit” the
knowledge regarding the role of the society in protectiong traditional culture and

traditional cultural expression in relation with legal rules about intellectual property
rights.
At last, through interactive seminar method, this socialization of intellectual
property rights legislation to social community of Simalungun, Malay and Karo, is
hoped to be inventoried in national culture wealth in the future, especially in
traditional knowledge and traditional cultural expression which in turn, the rights can
be listed as communal wealth right of the society.

Keywords : Traditional Knowledge, Traditional Cultural
Intellectual Property Right, Adat Law Society

3

Expression,

RINGKASAN
SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM
KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA
(Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)

Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum *)
Dr. Edy Ikhsan, SH, MA **)
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum ***)
Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub
tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan
dalam 4 (empat) point penting yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus
memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang
berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-,
kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia.
Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya
alam dan sumber daya manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya
adalah karena secara antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan dan
manusia jugalah yang dapat memanfaatkan potensi alam yang tersedia untuk

membangun peradabannya.
Bentuk perlindungannya dalam hukum disebut sebagai perlindungan hak
kekayaan intelektual yang tunduk pada aturan-aturan hukum nasional dan hukum
internasional. Hak kekayaan intelektual terdiri dari hak cipta (copy rights) dan hak
kekayaan perindustrian yang terdiri dari paten, desain industri, perlindungan varietas
baru tanaman, desain tata letak sirkuit terpadu dan merek.
Dalam hukum Indonesia, instrument hukum yang mengatur itu dijumpai
dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-undang No.
*)
**)
***)

Dosen Fakultas Hukum USU
Dosen Fakultas Hukum USU
Dosen Tenaga Profesional Fakultas Hukum USU

4

14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Baru Tanaman, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang

Desain Industri, Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu dan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Namun
demikian, seluruh perangkat undang-undang itu saat ini belum mampu melindungi
apa yang disebut dengan perlindungan atas pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya tradisional. Saat ini perlindungan tentang hal itu ditumpangkan saja pada
perundang-undangan HKI tersebut di atas.
Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah banyaknya
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang belum terinventarisir
sehingga sulit untuk dapat diberikan perlindungan. Kekayaan budaya tersebut
seharusnya sudah waktunya untuk didaftar karena hal itu menyangkut kekayaan yang
harus dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas masyarakat Indonesia. Untuk
itulah sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan HKI terkait perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional perlu untuk dilakukan.
Dalam pelaksanaan sosialisasi itu pada tanggal 12 November 2015 yang
diikuti oleh 152 peserta yang terdiri dari 3 komunitas masyarakat hukum adat yaitu :
komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dalam berbagai peringkat yang
meliputi : para tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh organisasi, tokoh-tokoh mahasiswa,
tokoh-tokoh intelektual dan tokoh pemuda. Mereka ini diharapkan nantinya dapat
menjadi agen pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan
masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya

tradisional dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak
kekayaan intelektual.
Akhirnya, dengan melalui metode ceramah interaktif, sosialisasi peraturan
perundang-undangan HKI ini kepada komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan
Karo diharapkan ke depan dapat diinventaris kekayaan budaya nasional khususnya
dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang pada
gilirannya hak-hak itu dapat didaftarkan sebagai hak kekayaan komunal masyarakat.

Kata Kunci :

Pengetahuan Tradisional, Ekspresi Budaya Tradisional, Hak
Kekayaan Intelektual, Masyarakat Hukum Adat

5

TARGET LUARAN
Target atau sasaran yang menjadi obyek sosialisasi ini adalah tokoh-tokoh
Masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Simekar.
Luaran yang diharapkan adalah terinventarisir dan terdokumentasi kekayaan
budaya yang meliputi, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya Masyarakat

Simalungun, Melayu dan Karo dalam bentuk laporan kegiatan dan jika dimungkinkan
akan dipublikasikan secara nasional.

KERANGKA PEMECAHAN MASALAH

Permasalahan Dalam
Masyarakat “Tidak
Terinventarisir Kekayaan
Budaya, Kurang
Memahami Peraturan
Perundang-undangan
Tentang HKI Terkait
Perlindungan
Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya
Tradisional

Aliansi Masyarakat
Simalungun, Melayu dan
Karo :

Komunitas masyarakat
Simalungun, Melayu dan
Karo dalam berbagai
peringkat yang meliputi :
para tokoh-tokoh adat,
tokoh-tokoh organisasi,
tokoh-tokoh mahasiswa,
tokoh-tokoh intelektual
dan tokoh pemuda

Tidak ada Kegiatan
karena Tidak Memahami
tentang Seluk Beluk
Perlindungan
Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya
Tradisional

Masyarakat
Pasif

(Sebelum
Sosialisasi)

Pemahaman Masyarakat
(Aliansi Masyarakat
Simalungun, Melayu,
Karo)

Aktivitas Sosialisasi
oleh Tim

Setelah Sosialisasi diperoleh tokoh-tokoh masyarakat
Simalungun, Melayu, Karo yang dapat menjadi agen
pembangunan guna mensosialisasikan tentang arti penting
perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional menurut konsep hukum HKI

6

PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 12 Nopember 2015 di Medan dengan
memilih tempat di Gedung Prof. T. Amin Ridwan, MA, PhD. Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara. Acara dimulai dengan kata sambutan dari tokoh
masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang diwakili oleh T. Mira Sinar yang
diikuti dengan sambutan-sambutan lain termasuk dari yang mewakili Deputi
Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk selanjutnya dilaksanakan sosialisasi yang
dipimpin oleh moderator, salah seorang dari tokoh masyarakat Karo. Sosialisasi
disampaikan oleh Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum

dengan judul “PERSPEKTIF

PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT
DALAM KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA” dengan
jumlah peserta yang hadir sebanyak 152 orang.

HASIL KEGIATAN
Dari hasil sosialisasi ini secara kasat mata dapat dilihat antusias masyarakat
akan pentingnya untuk mengetahui hak-hak masyarakat hukum adat sebagai
kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional, sehingga dengan sosialisasi ini diharapkan mereka dapat menjadi agen
pembangunan guna “menularkan” pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam
rangka perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual.

7

Pada akhirnya diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat
diinventarisir hak-hak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang
meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

KESIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat menjadi lebih mengerti akan pentingnya untuk mengetahui hakhak masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional, sehingga dengan sosialisasi ini
diharapkan mereka dapat menjadi agen pembangunan guna “menularkan”
pengetahuan tentang peranan masyarakat dalam rangka perlindungan pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional dalam kaitannya dengan peraturan
perundang-undangan hukum hak kekayaan intelektual, sehingga dengan sosialisasi ini
diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dapat diinventarisir hak-hak
masyarakat hukum adat sebagai kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

8

TIM PELAKSANA

I.

II.

Ketua
1. Nama Lengkap

:

Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum

2. NIP/NIDN

:

196202131990031002 / 0013026203

3. Tanggal Lahir

:

13 Februari 1962

4. Tempat Lahir

:

Kisaran

5. Jenis Kelamin

:

Laki-laki

6. No. Telepon (HP)

:

081264798135

1. Nama Lengkap

:

Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

2. NIP/NIDN

:

196302161988031002 / 0016026304

3. Tanggal Lahir

:

16 Februari 1963

4. Tempat Lahir

:

Medan

5. Jenis Kelamin

:

Laki-laki

6. No. Telepon (HP)

:

08111658654

Anggota I

9

III. Anggota II
1. Nama Lengkap

:

Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, MA

2. NIDN

:

0115086502

3. Tanggal Lahir

:

15 Agustus 1965

4. Tempat Lahir

:

A.Bon Bon

5. Jenis Kelamin

:

Laki-laki

6. No. Telepon (HP)

:

0811605692

10

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
Rahmat dan KaruniaNya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas sosialisasi ini
sebagai bahagian dari kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kegiatan ini kami laksanakan pada tanggal 12 November 2015 yang dihadiri
oleh 152 peserta dari komunitas masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo dari
berbagai lapisan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh adat, akademisi, aktivis
organisasi pemuda, sejarawan, budayawan, dan kalangan mahasiswa.
Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang arti pentingnya mengetahui kekayaan budaya komunitas
masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo (Simekar) sebagai hak kekayaan
intelektual (intellectual property rights) dalam bidang pengetahuan tradisional dan
ekspresi budaya tradisional. Sasaran selanjutnya adalah komunitas masyarakat
Simalungun, Melayu dan Karo dapat menginventarisir pengetahuan tradisional yang
mereka miliki untuk kemudian dilindungi berdasarkan rezim peraturan perundangundangan hak kekayaan intelektual.
Sosialisasi melalui kegiatan penyuluhan hukum ini diselenggarakan atas
dasar :
1. Persetujuan Usulan Program Pengabdian Pada Masyarakat yang ditandatangani
oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat

11

Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tanggal
11 September 2015.
2. Surat Izin Pelaksanaan Pengabdian Pada Masyarakat yang diterbitkan Dekan
Fakultas Hukum USU No. 3670/UN5.2.1.2/KMS/ 2015 tanggal 9 Nopember
2015 atas nama : Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, Dr. Edy Ikhsan, SH, MA dan Dr.
Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum.
3. Surat

Tugas

yang

Pengabdian/Pelayanan

diterbitkan
Kepada

oleh

Ketua

Masyarakat

Lembaga

Bidang

Penelitian

Pengabdian

dan

Kepada

Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tanggal 12 November 2015.
Tentu saja kami berterima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum dan Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan peluang kepada kami untuk
dapat melaksanakan kegiatan ini.
Selain itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah
berpartisipasi dalam kegiatan ini. Untuk itu secara khusus kami sampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Para staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut
berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum ini.

12

3. Kalangan budayawan : Dr. Shafwan Hadi Umry, M, M.Hum, kalangan
sejarawan : Dr. Suprayitno, M.Hum, kemudian dari tokoh etnik Karo : Dr.
Asmyta Surbakti, M.SI, Dosen Fakultas Ilmu Budaya USU, tokoh etnik
Simalungun : Erond L. Damanik dari Universitas Negeri Medan dan tokoh etnik
Melayu : Tengku Tirhaya Sinar, PhD.
4. Secara khusus kepada Tengku Mira Sinar, MA. selaku Ketua Aliansi Masyarakat
Simalungun, Melayu dan Karo yang telah memberikan peluang kepada kami
untuk melakukan sosialisasi ini.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan sosialisasi ini.
Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan sosialisasi ini tidak luput dari berbagai
macam kekurangan yang kiranya dapat dijadikan sebagai pedoman untuk perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga kegiatan yang telah kami lakukan ini membawa manfaat bagi masyarakat
kita semua.

Medan, 17 Nopember 2015
Koordinator Pelaksana

(Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum)
NIP. 196202131990031002

13

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRACT ......................................................................................................

i

RINGKASAN .....................................................................................................

iii

TIM PELAKSANA.............................................................................................

viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................

x

DAFTAR ISI ......................................................................................................

xiii

BAB I

: PENDAHULUAN ........................................................................

1

A. Analisis Situasi .......................................................................

6

B. Permasalahan ..........................................................................

7

C. Tinjauan Pustaka.....................................................................

7

BAB II

: TARGET DAN LUARAN ...........................................................

36

BAB III

: KERANGKA PEMECAHAN MASALAH .................................

37

BAB IV

: PELAKSANAAN KEGIATAN ...................................................

38

A. Khalayak Sasaran yang Strategis ............................................

38

B. Keterkaitan..............................................................................

39

C. Metode Kegiatan.....................................................................

39

D. Rencana dan Jadwal................................................................

41

E. Susunan Personalia .................................................................

41

14

BAB V

: HASIL KEGIATAN ....................................................................

43

A. Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian .........................................

43

B. Analisis Hasil Kegiatan ..........................................................

45

C. Faktor Pendorong dan Penghambat ........................................

46

: KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................

49

A. Kesimpulan .............................................................................

49

B. Saran .......................................................................................

50

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

51

BAB VI

LAMPIRAN

15

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub
tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan
dalam 4 (empat) point penting yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus
memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang
berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-,
kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia.
Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya
manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya adalah karena secara

16

antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan. Hanya manusia makhluk
ciptaan Tuhan yang memiliki budaya. 1
Peradaban umat manusia tumbuh dan berkembang atas dasar “olah budi” dan
“olah daya”. Budi dan daya adalah kreatifitas makhluk manusia. Keterkaitannya
dengan bidang hukum hak kekayaan intelektual adalah hak kekayaan intelektual itu
lahir atas hasil kerja otak, 2 hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang
menalar.3 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati
dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional
dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual.

4

Hasil

kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya
karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak.
Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian,
berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi
dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik,

1
Lebih lanjut lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 2010.
2

Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak
digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan
segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan.
3
Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor
monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa
dengan peristiwa lainnya.
4
Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja
otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi
lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang
disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan
emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan
rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ)
17

intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu
memproses informasi secara simultan. 5
Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang
optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar,
mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan
logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau
kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil
pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini
disebut kaum intelektual.6
Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia
dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja
fisik, petani mencangkul, menanam, menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi
adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud.
Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk
penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak
Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara,
mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan

5

Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak,
Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta,
2014.
6
Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai
kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan.
Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan
siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa
tersebut.
18

dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan
analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri.
Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual
property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata hak
kekayaan. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan pertimbangan
kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.
Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio,
intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat
menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan
otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan

yang disebut sebagai

intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan
Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat
melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja
otak itu.7
Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis,
tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi
Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya
yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya
yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur

7

Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu
tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan
menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat.
19

tangan” Tuhan.
Banyak hak kekayaan intelektual sebagai kekayaan budaya yang tak
terselamatkan antara lain yang bersumber dari sumber daya alam. Kopi yang ditanam
di dataran tinggi Sinabung dan Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika
dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian pula pengetahuan
tradisional kita tentang, daun jambu biji untuk sakit perut, daun jarak untuk
menurunkan panas, daun ketepeng dan lengkuas untuk obat penyakit kulit, sarang
laba-laba untuk menutupi luka lebar, daun rumput pahit untuk menghentikan
pendarahan pada luka luar, kunyit untuk mengobati luka dalam dan lain-lain, akan
tetapi para perusahaan farmasi mengambil ekstrak hasil bumi Indonesia dan untuk
memproduksi obat-obatan atas dasar pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.
Undang-undang hak kekayaan intelektual Indonesia yang terkait dengan itu
seperti Undang-undang Hak Cipta, Paten, Perlindungan Varietas Tanaman, Design
Industri saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal. Di
samping itu, perlindungan tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional sampai saat ini belum ada undang-undangnya.
Oleh karena itu dengan menggunakan perangkat perundang-undangan hak
kekayaan intelektual yang ada pada hari ini perlu kiranya disosialisasikan kepada
tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh budaya yang diharapkan kelak dapat memperluas
informasi ini ke seluruh lapisan masyarakat guna penyelamatan kekayaan budaya
bangsa. Untuk itulah sosialisasi ini perlu dilakukan.

20

A. Analisis Situasi
Saat ini kekayaan budaya bangsa, banyak yang dimanfaatkan oleh pihak asing
untuk kepentingan mereka tanpa memperhatikan hak ekonomi (economic rights) yang
melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal
(community rights).
Khusus untuk masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang disingkat
dengan “simekar” kekayaan budaya masyarakatnya sampai saat ini belum
terinventarisir dan terdokumentasi dengan baik.
Situasi seperti itu terjadi, berpangkal pada ketidak tahuan masyarakatnya
tentang arti penting perlindungan atas kekayaan budaya tradisional sebagai bahagian
dari kekayaan budaya bangsa yang dilindungi melalui instrument hukum hak
kekayaan intelektual.
Sosialisasi ini dimaksudkan untuk pencerahan kepada tokoh-tokoh budaya
masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Simekar. Kelak setelah sosialisasi ini akan diinventarisir dan didokumentasikan
kekayaan budaya di tiga wilayah kesatuan masyarakat hukum adat ini. Tentu saja
kekayaan budaya dimaksud adalah kekayaan kebudayaan yang dapat diberi hak
kekayaan intelektual baik berupa invensi yang berpangkal pada kebudayaan
tradisional maupun terhadap produk-produk yang bersumber pada pengetahuan
tradisional, termasuk penggunaan merek yang melanggar indikasi asal atau indikasi
geografis.

21

B. Permasalahan
Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Simalungun, Karo dan Melayu
yang tergabung dalam Aliansi Simekar, tak faham bahkan kurang mendapat
sosialisasi tentang arti penting perlindungan kekayaan budaya meliputi pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Sehingga dalam banyak hal, ada beberapa
pengetahuan tradisional ekspresi budaya tradisional tidak terinventarisir dan tidak
terdokumentasi dengan baik.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum atas kekayaan budaya yang meliputi
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut sistem perlindungan
yang diberikan oleh instrument perundang-undangan hak kekayaan intelektual
Indonesia ? Langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk kegiatan atau aktivitas
melakukan inventarisasi dan pendokumentasian kekayaan budaya yang meliputi
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional pada kelompok masyarakat
Simalungun, Melayu dan Karo.

C. Tinjauan Pustaka
1. Istilah HKI
Dalam literatur Indonesia istilah Intellectual Property Rights telah mengalami
perkembangan. Pada awalnya istilah Intellectual Property Rught diterjemahkan
dengan Hak Milik Intellektual. Seiring perjalanannya istilah itu berubah menajadi
Hak Atas Kekayaan Intelektual, pada kurun waktu yang sama ada juga yang
menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Terakhir melalui UU No.28 Tahun
22

2014 istilah itu disederhanakan dengan istilah Kekayaan Intelektual, seiring dengan
itu Kementerian Kehakiman kemudian menamakan institusi yang mengurusi urusan
Hak Kekayaan Intelektual itu dengan nama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
Perubahan pada penggunaan istilah itu bukan tidak beralasan.Dengan merujuk
pemakaian istilah yang sama yang digunakan oleh beberapa negara, Direktur Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual cenderung menyutuji istilah Kekayaan Intelelktual, dengan
menghapuskan kata “Hak”.
Meskipun penghapusan kata “hak” dalam pemakakian istilah yang sebenarnya
berasal dari terminologi asing “Intellectual Property Rights” yang sebenarnya sejak
awal difahami bukanlah istilah yang tumbuh dari peradaban hukum Indonesia. Di
beberapa negara dan dalam berbagai literatur masih tetap menggunakan istilah
“Intellectual Properrty Rights” yang mencantumkan kata “right” atau kata “recht” di
ujung kata Intellectual property. 8
Menurut hemat kami, penggunaan istilah haruslah dikembalikan pada sejarah
lahirnya terminologi yang melatar belakangi munculnya frase itu. Secara akademis
harus difahami bahwa istilah Hak Kekayaan Intelektual tidak serta merta lahir begitu
saja dalam tatanan hukum yang berlaku pada satu negara baik itu hukum yang
berlaku dalam satu negara dengan latar belakang sistem hukum civil law atau
dengan latar belakang common law.

8

Lihat lebih lanjut Mr. E.J. Arkenbout, Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij,
Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997.
23

Indonesia dengan latar belakang hukum civil law dan sejak awal telah
diperkenalkan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta dengan
istilah Auteursrecht yang diatur dalam Auteurswet 1912 Statblaad No.600 dan octrooi
recht untuk menyebutkan hak paten seperti yang diatur dalam Octrooi wet produk
Kolonial Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910
Nomor 313, demikian juga tentang merek yang diatur dalam Reglement Industriele
Eigendom yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dimuat dalam
Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 ketika itu, hal ini semakin
menguatkan argumentasi kami istilah “hak” yang berasal darui frase “recht” atau
“right” tak dapat dihilangkan untuk menyebutkan istilah “Hak Kekayaan Intelektual”
menjadi istilah “Kekayaan Intelektual”.
Kini mari kita telusuri akar kata itu dalam terminologi hukum Indonesia
dengan latar belakang sistem hukum civil law (Eropa continental). Pengaturan
tentang hak kekayaan intelektual sejak awal tidak terkodifikasi dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk wet Book) tetapi diatur tersebar secara sporadis
dalam Undang-undang tersendiri. Kodifikasi hukum Perdata dan hukum dagang –
yang termuat dalam Burgerlijke wet Bok dan Wet Bok van Koophandel –
peninggalan Kolonial Belanda tak ada juga menyebutkan tentang istilah Hak
Kekayaan Intelektual. Di Indonesia istilah hak kekayaan intelektual ini justeru mulai
diperkenalkan dalam kepustakaan Ilmu Hukum (Indonesia), melalui kepustakaan
hukum negara-negara penganut Anglo Saxon terutama Amerika pasca kerjasama
dengan ELIPS Project pada paroh awal dekade 1990-an. Namun demikian akar kata
24

tentang keberadaan hak kekayaan intelektual sebagai obyek hukum benda sudah ada
cikal bakalnya ketika KUH Perdata membuat kategori benda berdasarkan wujudnya,
yaitu benda berwujud (benda materiil) dengan benda tidak berwujud (benda
immateriil).Pengelompokan benda yang demikian dapat ditelusuri dari buku II KUH
Perdata yang mengatur tentang Hukum Benda (van Zaaken) yang dimuat dalam Pasal
499. Frase “zaak” yang diterjemahkan dengan “benda” terdiri dari “ goederen” yang
diterjemahkan dengan “barang” dan “rechten” yang diterjemahkan dengan “hak”.
Barang adalah benda berwujud stoffelijk voorwerp)9 atau benda materiil sedangkan
hak adalah benda tidak berwujud atau benda immateriil berupa "buah pikiran, hasil
otak manusia (menslijke idean, voortbrengselen van de menselijke geest) dapat pula
menjadi obyek hak obsolut".10
Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk
voorwerp). Ia juga bukan hak subyektif (persoonlijk recht) dalam bidang hukum
kekayan (noch een subyektief vermogensrecht). Jadi ia termasuk ke dalam rumusan
benda dalam Pasal 499 KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia termasuk kedalam
rumusan hak benda (zakelijk recht)11 jika buah pikiran itu berisikan idea atau gagasan
yang lahir dari hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan, seni dan sastra (yang
dilindungi sebagai hak cipta) (auteurechts) atau dalam bentuk invensi yang dilindungi
dalam bentuk paten (octrooi rechts).

9

Ibid, h. 14.
Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4.
11
Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981
dan Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010.
10

25

Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut Pasal 499
KUH Perdata, maka :
"Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas buah pikiran
dinamakan : benda immaterial",12 demikian Prof. Mahadi.
Dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang merupakan hasil transplantasi
hukum asing, salah satu bentuk dari benda yaitu hak kekayaan intelektual (intellectual
property rights). Oleh karena itu, kata “rights” (hak) tetaplah harus dilekatkan pada
kata “intellectual property” untuk membedakannya dengan barang (benda berwujud).
Jika kata hak dilepaskan maka kata intellectual property akan kehilangan makna atau
sifat immaterielnya sehingga pemaknaannya menjadi benda berwujud (goederen).
Dengan mengutip Pitlo, Mahadi menulis :
"..... ofsschoon zij evenmin als het vorderingsrecht enn "zaak" tot voorwerp hebben,
behoren zij wederom net als de vorrdering tot de in art 555 vermelde "rechten"
enkunen zij dus zelf tot voorwerp van een zakelijrecht dienen. Een idee is geen zaak,
het recht op een idee well, een uitvinding kan men niet verpander, well het
octrooirecht. Zoo kan men ook aandelen in enn N.V. en enn B.V. tot object van
vruchtgebruik maken artt 2:88 en 2.197 of van pandrecht (artt 2:89 en 2:198). De
regels vorr de overdracht, de verpanding en van de rechten op immateriele goederen,
ofschoon grotendells in de genoemde bijzondere wetten geschreven maken deel uit
van het zakenrecht. Waar de bijzondere wet zwijgt, moeten wij de voor zaken in het
algemeen gegeven be palingen toepassen".
Maksudnya (demikian terjemahan Mahadi) :
"Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai barang sebagai obyeknya.
Juga serupa seperti hak tagih, hak immaterial termasuk kedalam "hak-hak" yang
disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan

12

Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4.
26

barang, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita
gadaikan, tapi hak oktroi dapat ; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat
kita alihkan dengan hak hasil ; sero-sero itu dapat kita gadaikan. Aturan-aturan
tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial, meskipun
terdapat dalam Undang-Undang khusus, adalah bagian dari hukum benda. Untuk
hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang khusus itu, harus kita pergunakan
aturan-aturan yang dibuat untuk benda".13
Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu kepada pendapat Pitlo, hak milik
intelektual termasuk dalam cakupan Pasal 499 KUH Perdata, jadi ia termasuk benda,
tepatnya benda tidak berwujud. Kalaupun ternyata hal tersebut tidak diatur dalam
peraturan khusus, maka peraturan dan asas-asas hukum yang terdapat dalam sistem
hukum benda dapat diterapkan terhadapnya.
Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan,
tidak diperoleh keterangan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”.
Kata “Intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung
pangkalnya.14

Tampaknya perlu juga ditelusuri asal-muasal frase hak kekayaan

intelektual itu.
Saya coba kembali untuk menyimak berbagai referensi dan catatan-catatan
yang berkaitan dengan asal-usul kata “intellectual” (intelektual) yang ditempelkan
pada kata property rights (hak kekayaan). Berbagai buku saya baca, saya juga tak

13
14

Ibid, h. 4-5.
Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hal. 4.
27

memperoleh keterangan. Namun setelah saya cermati maksud dan cakupan dari
istilah itu dapatlah kira-kira saya buat uraian sebagai berikut.
Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak,

15

hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio

manusia yang menalar.16 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional.
Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil
kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya
intelektual. 17 Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita
ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan
pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati
kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan
sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal,
metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik
dan mampu memproses informasi secara simultan. 18

15
Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak
digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan
segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan.
16
Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang,
seekor monyet juga berpikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya.
17
Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja
otak juga sebagai pusat dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi
lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang
disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan
emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan
rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ)
18
Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua
Otak, Gramedia, Jakarta, 2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia,
Jakarta, 2014.

28

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang
optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar,
mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan
logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau
kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil
pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini
disebut kaum intelektual.19
Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia
dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja
fisik, petani mencangkul, menanam, menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi
adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud.
Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian
atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan
Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta
dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang
merupakan pekerjaan belahan otak kiri.
Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property
rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata “hak kekayaan”.
19
Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai
kebenaran itu dan mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan.
Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan
siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa
tersebut.

29

Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan memadukan kecerdasan rasional
dan kecerdasan emosional.
Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio,
intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat
menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan
otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan

yang disebut sebagai

intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan
Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat
melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja
otak itu.20 Manusia yang memiliki kemampuan seperti itu adalah manusia pilihan.
Manusia yang dianugerahkan talenta oleh Allah SWT dengan kelebihan-kelebihan
tertentu sehingga memiliki keistimewaan untuk menjadi pencipta atau inventor.
Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis,
tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi
Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya
yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya
yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur
tangan” Tuhan.

20

Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu
tak lebih dari hewan yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan
menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat.
30

Kembali kita pada persoalan istilah tadi. Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon
ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut
hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Kekayaan Intelektual.
Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam
kepustakaan hukum.21 Padahal tidak semua Hak Kekayaan Intelektual itu merupakan
hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak
saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula
berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti
lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.
Istilah hak kekayaan intelektual saat ini sudah dibakukan dalam berbagai
peraturan organik yang diterbitkan oleh Pemerintah. Bila ditelusuri perjalanan
penggunaan istilah hak kekayaan intelektual di tanah air, istilah itu sebetulnya
diterjemahkan dari istilah asing yakni Intellectual Property Rights (IPR) yang
kemudian oleh berbagai pihak diterjemahkan menjadi Hak Milik Intelektual bahkan
ada juga yang menterjemahkannya Hak Milik Atas Kekayaan Intelektual. Setelah
tahun 2000, Menteri Hukum dan HAM (waktu itu masih bernama Menteri Hukum
dan Perundang-undangan) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor M.03.PR.07.10

21

Perdebatan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Ada yang
setuju dengan istilah hak milik intelektual, ada yang bertahan untuk menggunakan istilah Hak
Kekayaan Intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi
masalah hukum HaKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual.
Singkatannyapun bermacam-macam pula ada HaKI, ada HaKI, ada HKI. Rumusan baku tentang Hak
Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam Pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA No. 5 Tahun
1960, tentang Hak Milik Atas Tanah.
31

Tahun 2000 dan bersamaan dengan itu dikeluarkan Surat Persetujuan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 24/M/PAN/1/2000

22

dan dibakukanlah

penggunaan istilah yang berasal dari Intellectual Property Rights menjadi “Hak
Kekayaan Intelektual” dengan menggunakan singkatan “HKI” atau akronim “HaKI”.
Dengan demikian, penggunaan istilah yang telah dibakukan saat ini adalah “Hak
Kekayaan Intelektual” tanpa menggunakan kata “atas”. Namun saat ini setelah
diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ada keinginan
pemerintah untuk menghilangkan kata “hak” sehingga menjadi “kekayaan
intelektual” atau disingkat dengan KI saja. Seperti telah diuraikan di depan,
menghilangkan kata “hak” dalam terminologi Hak Kekayaan Intelektual kurang tepat,
tidak memiliki alasan akademis jadi sudah tepatlah digunakan istilah Hak Kekayaan
Intelektual atau disingkat HKI. Dengan menempatkan kata “hak” istilah hukum ini
tidak kehilangan pijakan dan tidak kehilangan “roh”nya. Rohnya adalah pada kata
“hak” yang tidak berwujud. Semua diskursus tentang intelektual property rights
berkisah tentang “hak” bukan tentang benda berwujud (atau dalam terminologi
hukum benda disebut sebagai barang).
Jika ditelusuri lebih jauh, Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan
bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam
kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu
22
Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut didasari pula dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 tanggal 15 September 1998, tentang
perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek berubah menjadi Direktorat Jenderal
Hak Atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) kemudian berdasar Keputusan Presiden Nomor 177
Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen HKI.”

32

di antara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda
berwujud dan benda tidak terwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda
yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham
undang-udang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak
yang dapat dikuasai oleh hak milik.
menawarkan, seandainya dikehendaki
kalimat sebagai berikut: yang

23

Untuk

pasal ini, kemudian Prof.Mahadi

rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan

dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan

benda itu terdiri dari barang dan hak.24
Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang
dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk
voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan

dengan

klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke
dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak
bertubuh).
Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita
contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak
guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property Rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo,
sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak

23
R. Soebekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1986, hal. 155. Menurut hemat penulis, tidak hanya sekadar hak milik, tetapi dapat
menjadi objek harta kekayaan (property rights).
24
Mahadi, Hak Milik Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Ja