Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

GARI ICHSAN PUTRO (1111048000053)

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh: Gari Ichsan Putro

1111048000053

Di Bawah Bimbingan:

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULAH J A K A R T A


(3)

(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Mei 2015


(5)

iv

TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015, X+76 halaman. Penelitian ini menganalisis perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial, yang membahas mengenai tinjauan umum hak kekayaan intelektual dan ekspresi budaya tradisional. Selain itu, penulis juga akan membahas perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional baik secara umum dan nasional. Selanjutnya,

akan dianalisis mengenai konsep benefit sharing untuk kepentingan komersial.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara praktis maupun akademis sebagai masukan bagi pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional dalam hal kepentingan komersial dan penerapan

konsep benefit sharing. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli. Penulis menganalisis perlindungan hukum pengetahuan tradisonal untuk kepentingan komersial, sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang tertera bahwa negara sebagai pemegang atas ekspresi budaya tradisional.

Kata Kunci : Hak Kekayaan Intelektual, Ekspresi Budaya Tradisional,

Komersial, Benefit sharing

Pembimbing : Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM.

Fitria SH. MR


(6)

v Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan

Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak

Cipta”. Shalawat serta salam disampaikan kepada junjungan Nabi besar kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH., Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Arip Purqon, MA., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM. dan Fitria SH. MR.. Selaku Dosen


(7)

vi SWT.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

5. Kepada staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staff Perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk studi kepustakaan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua tercinta H. Giyanto SH., MH. Dan Hj. Enny Hudikari

SH., yang selalu mendoakan, mendidik dan mencurahkan kasih sayangnya, serta adikku tercinta Yunita Karimah yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Shabrina Amelia Ronny, terima kasih atas semangat, dukungan, kasih

sayang dan waktunya yang tiada henti sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman Ilmu Hukum Ridwan Ardy P., Ade Putra Indrawan, Ahmad


(8)

vii

dan kesan-kesannya selama penulis menimba ilmu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menimba ilmu dan

menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan membalas kebaikan mereka. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan maaf apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 28 Mei 2015


(9)

viii

...i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...8

D. Tinjuan (Review) Kajian Terdahulu ...8

E. Kerangka Konseptual ...11

F. Metode Penelitian ...13

G. Sistematika Penulisan ...16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual ...18


(10)

ix

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

A. Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Undang-Undang Hak Cipta ...37

1. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ....37

2. Pengaturan Hukum Mengenai Ekspresi Budaya Tradisional ...42

B. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ...47

C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Terhadap Kepentingan Komersial ...50

BAB IV ANALISIS MENGENAI PENERAPAN KONSEP BENEFIT SHARING SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL A. Penggunaan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Menyimpang ...54

1. Reog Ponorogo ...56

2. Angklung ...58

B. Benefit Sharing Dalam Ekspresi Budaya Tradisional ...61

1. Aplikasi Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Bagi Aset Intelektual Daerah ...62

2. Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Pihak Asing ...64


(11)

x

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...72 B. Saran ...73


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Karya tradisional merupakan hasil pemikiran atau ide yang bisa terjadi pada setiap diri manusia berdasarkan kemampuan, keahlian dan keterampilan yang mereka punya. Karya-karya tersebut dihasilkan di daerah mereka berada. Karya tradisional perlu dilindungi karena termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang mengandung hak eksklusif artinya hak yang melekat pada diri manusia. Suatu karya tradisional patut dilindungi agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti pembajakan, plagiat, dan kejahatan lainnya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap karya tradisional diperlukan agar hasil karya yang mereka lahirkan tidak dapat direbut atau diakui oleh mereka yang tidak menyadari pentingnya HKI.

Munculnya ketidakadilan yang dirasakan oleh negara berkembang terjadi karena ekspresi budaya tradisional bangsa-bangsa di dunia ketiga itu tidak mendapat perlindungan sebagaimana kekayaan intelektual di negara

maju.1 Masalah hak cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi

ekonomi di satu pihak dan masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia di pihak lain. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih dalam masa

1

Agus Sardojono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung: PT Alumni, 2010) h. 35.


(13)

transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah hak cipta yang sebelumnya tidak kenal. Masyarakat transisi industrial digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak individual-modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan.

Dalam masyarakat semacam itu, hukum yang mengatur juga mencerminkan masa peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki dengan langkah yang berbeda, yakni satu kaki sedang melangkah pada corak hukum modern sementara kaki yang lain masih menapak pada hukum tradisional. Demikian halnya dengan hukum yang mengatur masalah hak cipta, meskipun secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di Indonesia, akan tetapi secara

kultural akan banyak mengalami problem dalam pelaksaannya.2

HKI mencegah dilakukannya tindakan penjiplakan atau plagiat, yaitu suatu tindakan dengan maksud menarik keuntungan dari ciptaan-ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual seseorang. HKI juga menetapkan kaidah-kaidah hukum yang mengatur ganti rugi yang harus dipikul oleh orang

yang melanggarnya dengan melakukan tindakan penjiplakan.3

2

Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) h. 201-202.

3


(14)

Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan Pemerintah mengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) adalah upaya sungguh-sungguh dari negara untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pencipta dan pemilik Hak Terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas nasional. Teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat mengikis motivasi para Pencipta dan pemilik Hak Terkait untuk berkreasi. Hilangnya motivasi seperti ini akan berdampak luas pada runtuhnya kreativitas makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa pelindungan yang memadai terhadap Hak Cipta telah berhasil membawa pertumbuhan ekonorni kreatif secara signifikan dan mernberikan kontribusi nyata bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan hak-hak penduduk asli telah menjadi sumber perdebatan tahun terakhir ini. Perkembangan untuk memecahkan isu-isu sekitar pokok masalah ini tidaklah mudah mengingat rumitnya pokok masalah ini dan kontradiksi-kontradiksi untuk mengakui bentuk-bentuk perlindungan. Sejumlah kasus yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah mengenai penyalahgunaan terhadap sumber-sumber daya biologis dan sumber daya genetika, dan/atau yang berhubungan dengan ekspresi budaya tradisional telah menyoroti kebutuhan dan menekankan urgensi untuk memusatkan perhatian pada isu ini, karena


(15)

meningkatnya “biopiracy” tanpa persetujuan atau ijin dari para pemegang hak

dan tanpa kompensasi yang memadai.4

Di tingkat Internasional, Indonesia telah ikut serta menjadi anggota

dalam Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual) yang selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Konsekuensi penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan TRIPs membawa pengaruh bagi Indonesia untuk mengakomodasi semua peraturan HAKI. Di samping itu, untuk perlindungan secara internasioanl TRIPs mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan

peraturan nasionalnya dengan Paris Convention (1967), Bern Convention

(1971), Rome Convention (1961) dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2and Article 3, TRIPs Agreement 1994). Isyarat itu sudah barang tentu menghendaki agar Indonesia turut meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTO yang sudah diratifikasi. Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi

4

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok: LPHI-FHUI, 2005) h. 17.


(16)

dua konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention (1967) dan Bern Convention (1971).5

Seiring dengan masuknya TRIPs Agreement dalam WTO, muncul

anggapan pada sebagian masyarakat bahwa sistem HKI merupakan salah satu alat bagi negara maju untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Anggapan ini tidak seluruhnya benar karena sesungguhnya yang kaya akan sumber daya alam akan turut terlindungi. Tentunya hal ini sangat tergantung bagi negara yang bersangkutan mau memanfaatkannya atau tidak melalui pengembangan sistem HKI yang ada. Kekayaan alam yang dimiliki oleh negara berkembang yang terkait dengan indikasi geografis, ekspresi budaya tradisional termasuk ekspresi foklor dan sumber daya genetika perlu mendapatkan perhatian lebih karena ini merupakan aset yang sangat potensial

bagi kemakmuran bangsa.6

Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang

berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang

Penciptanya Tidak Diketahui‟ menetapkan :

1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara

ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

5

Ok Saidin,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 24. 6

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok: LPHI-FHUI, 2005), h. 2.


(17)

3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh

Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-undang Hak Cipta Tahun 2014 secara garis besar mengatur yang membedakan dengan Undang-undang sebelumnya yaitu, pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga .jangka waktu pelindungan Hak Cipta di bidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Pelindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau Pemilik Hak Terkait,

termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold

flat). Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase

atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana.

Berbicara mengenai HKI, perlu dipahami kembali bahwa HKI bukan masalah perlindungan hukum semata. HKI juga terkait erat dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat bangsa. Dalam suatu hasil kajian yang dilakukan WIPO dinyatakan bahwa HKI merupakan sebuah kekuatan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya dan sosial. Dengan demikian, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya

dilakukan dengan pendekatan hukum (legal approach) tapi juga dengan


(18)

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, jelas pula bahwa pengembangan sistem HKI nasional bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab satu instansi, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, tetapi juga perlu didukung oleh berbagai pihak. Jalinan kerja sama dan koordinasi yang baik dengan berbagai instansi pemerintah terkait dan juga kalangan swasta akan sangat membantu pencapaian tujuan sistem HKI nasional. Hal yang tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat yang

semakin memahami dan sadar akan keberadaan dan pentingnya HKI.7

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis

dalam bentuk penelitian dengan judul sebagai berikut: “Perlindungan Hukum

Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan hak kekayaan intelektual, maka di dalam penelitian ini akan difokuskan pada perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional dari sudut pandang Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Kemudian mengambil contoh Reog Ponorogo dan Angklung.

2. Rumusan Masalah

7


(19)

Mengacu pada latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah perlindungan hukum mengenai ekspresi budaya

tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta?

b. Bagaimanakah implementasi ketentuan mengenai benefit sharing

sebagai bentuk perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar diperoleh tujuan antara lain:

a. Untuk mendeskripsikan perlindungan hukum mengenai ekspresi

budaya tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

b. Untuk mendeskripsikan implementasi ketentuan mengenai benefit

sharing sebagai bentuk perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum Hak Kekayaan Intelektual. Penelitian ini dapat menjadi aset pengetahuan Hak Kekayaan Intelektual yang berguna serta dapat menjadi aset pustaka untuk dilanjutkan pada penelitian sejenis. Hasil penelitian ini


(20)

dapat menjadi masukan terhadap hal hak kekayaan intelektual sebagaimana perlu perlindungan hukum.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebelumnya pernah ada penelitian yang membahas mengenai ekspresi budaya tradisional dan hak kekayaan intelektual di indonesia di antaranya:

1. Judul, “Penerapan Pembayaran Royalti Bagi Pencipta Lagu Dalam Hak

Cipta Atas Kegiatan Usaha Karaoke Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI)” yang disusun oleh Iffah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, yang membahas mengenai pengaturan Hak Cipta dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kemudian membahas hubungan dan pembayaran royalti antara Yayasan Karya Cipta Indonesia dengan Pencipta dan Pengusaha Karaoke

sebagai Pengguna (User). Sementara penulis membahas mengenai

perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional dalam

kepentingan komersial dan benefit sharing.

2. Judul, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Upaya Perlindungan

Pengetahuan Tradisional Milik Negara Berkembang” yang disusun oleh

Rizki Kusumastuti, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2006, yang membahas mengenai pentingnya pemberian perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional bagi negara-negara berkembang. skripsi tersebut juga membahas mengenai perlindungan hukum terhadap


(21)

pengetahuan tradisional oleh WIPO, dan pengaturan berdasarkan UNCBD dan TRIPs serta implementasi ketentuan-ketentuan UNCBD dan TRIPs terhadap kasus-kasus penyalahgunaan (misappropriation) pengetahuan tradisional milik negara berkembang. Yang membedakan skripsi ini dengan penelitian yang diangkat oleh penulis adalah mengenai fokus masalah dimana dalam penelitian akan menekankan pada perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Kemudian penulis juga membahas implementasi ketentuan mengenai benefit sharing terhadap pengetahuan berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jadi melihat skripsi terdahulu lebih menekankan pada lingkup internasional karena di sana menyangkut negara-negara berkembang, sementara penulis berdasarkan Undang-undang Nomor 28

Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan TRIPs.

3. Judul, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, yang ditulis oleh

Tim Lindsey, dkk. Diterbitkan oleh PT Alumni pada tahun 2006. Buku ini merupakan referensi yang cukup baik bagi mereka yang ingin mengetahui

aspek-aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual dan cara-cara

penggunaannya. Dalam pembahasannya, buku tersebut juga menyediakan contoh-contoh studi kasus yang terjadi di kehidupan nyata, sehingga pembaca bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang setiap topik mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Dalam buku ini juga disinggung mengenai Perlindungan Pengetahuan Tradisional sehingga


(22)

dapat menambah wawasan dalam hal tersebut. Sistematika yang disajikan oleh buku ini tidak terlalu sistematis karena susunan topic-topik yang disajikan terkadang tidak berkesinambungan antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pembaca yang awam terhadap masalah-masalah dalam Hak Kekayaan Intelektual akan sulit untuk memahami inti pembicaraan dari buku ini secara keseluruhan. Secara fisik, buku ini dalam kondisi yang cukup baik, karena halaman-halamannya masih lengkap dan tidak ada yang tersobek sedikit pun.

E. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan :

Hak Cipta, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa menurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pencipta, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan bersifat pribadi.

Ciptaan, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan,


(23)

pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Ekspresi Budaya Tradisional, berdasarkan pengertian yang

diberikan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization), adalah

pengetahuan, know-how, keterampilan dan praktek yang dikembangkan,

dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam masyarakat, yang sering membentuk bagian dari identitas budaya atau spiritual dari

masyarakat tersebut.8

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-menurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh

yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnomenic

device).9

Indigenous people adalah pengetahuan yang dimiliki oleh

masyarakat asli.10

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.

8

WIPO, Traditional Knowledge, diakses pada 8 Oktober 2014 dari

http://www.wipo.int/tk/en/tk/

9

James Danandjaja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 2. 10

Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, Dan Praktiknya,


(24)

Misappropriation diartikan sebagai penggunaan oleh pihak asing dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati yang terkait, yang menjadi milik masyarakat yang

bersangkutan.11

F. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metodologi penelitian yang dibagi atas: 1. Tipe Penelitian:

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta

pengumpulan data melalui studi kepustakaan12 yang digunakan adalah

bahan-bahan yang ada kaitannya dengan judul, di mana bahan-bahan yang penulis dapatkan melalui buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan judul/bahan-bahan kuliah, artikel-artikel majalah maupun surat kabar dan sebagainya. Penulis juga menggunakan wawancara dan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. 2. Pendekatan Penelitian

Pada pendekatan undang-undang13 sehubungan kaitannya dengan

“Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan

Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang

Hak Cipta” penulis merujuk pada Undang-undang Hak Cipta yaitu

11

Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual Dan Pengetahuan Tradisional, (Bandund: PTAlmuni, 2010), h. 11.

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 65. 13


(25)

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jika melihat undang yang ada lebih spesifik dapat melihat dalam undang-undang hak cipta pasal 38 mengenai karya tradisional tersebut.

Dalam pendekatan historis, Indonesia telah ikut serta dalam

pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade

Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu,

Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic

and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan

Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World

Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak

Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden

Nomor 19 Tahun 1997.

Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun

1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang

sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu


(26)

di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas.

3. Sumber Penelitian (Bahan yang Dijadikan Rujukan)14 a. Bahan Hukum Primer

Untuk ketentuan yuridis, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penulisan ini penulis juga menggunakan berbagai buku ilmiah, bahan kuliah, artikel-artikel baik dari majalah, surat kabar serta hasil penelitian yang telah ada sesuai dengan judul.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yang digunakan penulis di antaranya kamus hukum dan kamus lengkap bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data15

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan

data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan pasar modal, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Pengolahan dan Analisa Data

14

Ibid, h. 141-142. 15


(27)

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian,

kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun

hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Ada pun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:

Bab I adalah Pendahuluan, pada bab ini akan membahas latarbelakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

Bab II adalah Tinjauan Umum, bab ini akan membahas mengenai sejarah Hak Kekayaan Intelektual, pengertian Hak Kekayaan Intelektual, tujuan Hak Kekayaan Intelektual, dan pengertian ekspresi budaya tradisional.


(28)

Bab III membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional. Yang memuat perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam undang-undang nasional dan secara umum.

Bab IV adalah Analisis, bab ini akan membahas mengenai penerapan konsep benefit sharing untuk kepentingan komersial. Dalam bab ini membahas penggunaan ekspresi budaya tradisional yang menyimpang (seperti Reog Ponorogo dan Angklung). Selain itu, membahas benefit sharing dalam ekspresi budaya tradisional.

Bab V adalah Penutup, bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian dari skripsi dan saran-saran yang dikemukakan dari hasil penelitian.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual

Sejak awal tahun 1980-an, pembaharuan di bidang HKI terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimulai dari tiga cabang terbesar HKI, yaitu: Hak Cipta, Merek, dan Paten, sampai dengan cabang-cabang lainnya seperti Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman. Menanggapi pembaharuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, banyak pengamat HKI menilai kebijakan itu lebih disebabkan karena faktor keterpaksaan dari pada kebutuhan. Timbulnya anggapan demikian didasarkan pada pengamatan bahwa pembaharuan muncul bukan atas kesadaran sendiri melainkan karena tekanan dari negara-negara maju.

Seorang pengamat HKI, Christoph Antons menangkap kesan ini dengan mengatakan bahwa “ketertarikan pemerintah Indonesia terhadap hukum HaKI lebih disebabkan oleh tekanan dari negara-negara Barat,

terutama Amerika Serikat”. Pada pertengahan tahun 1990-an fokus diskusi

HKI mulai bergeser dari isu nasional ke isu internasional. Negara-negara maju yang memprakarsai perlindungan HKI secara internasional mulai menunjukan eksistensinya sedangkan negara-negara berkembang hanya


(30)

bisa pasrah dan menurut kemauan pihak-pihak industri besar setelah mengalami berbagai kekalahan dalam beberapa lobi di tingkat

internasional.16

Terlebih setelah diluncurkannya perjanjian TRIPs, sebuah perjanjian internasional tentang perlindungan HKI, ruang gerak untuk menyuarakan ketaksetujuan atas kehadiran HKI, seperti tidak ada lagi. Meskipun perjanjian TRIPs telah dihasilkan dan setiap negara yang tergabung di dalam WTO telah sepakat untuk melindungi HKI sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, keberadaan HKI di dalam perjanjian tersebut tetap dianggap sebagai suatu yang berlebihan, terutama dari sudut pandang negara-negara berkembang. Banyak pihak berpendapat bahwa HKI sebenarnya adalah salah satu bentuk penjajahan baru yang diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan terbelakang. A. Samuel Oddie di dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa perlindungan HKI di bawah perjanjian TRIPs sebagai sebuah

“bentuk penjajahan ekonomi yang sopan” (a polite form of economic

imperialism). Timbulnya pendapat yang demikian didasarkan pada fakta bahwa keuntungan dan perlindungan HKI lebih dirasakan oleh negara-negara maju ketimbang negara-negara-negara-negara berkembang. Akibatnya, banyak negara berkembang yang bersikeras untuk melindungi HKI tidak seketat negara-negara maju dengan pertimbangan untuk mengurangi monopoli

16

Tim Lindsey, ed., dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Alumni, 2013), h. 73.


(31)

perusahaan multinasional serta memperlancar proses alih teknologi ke

negara-negara berkembang.17

Fenomena di atas telah membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa dari sudut pandang negara-negara berkembang, HKI adalah topik yang kontroversial dan bersifat dilematis. Jika perlindungan HKI dilaksanakan secara ketat, pembangunan akan terhambat. Sebaliknya, kurang memadainya perlindungan hukum di bidang HKI, akan menjadi

bumerang dan selanjutnya menjadi landasan kuat bagi World Trade

Organization untuk mengeluarkan sanksi dagang terhadap negara-negara berkembang.

Sebagai konsekuensinya, manfaat HKI untuk negara-negara berkembang selalu diperdebatkan dengan memfokuskan pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem HKI, seperti mahalnya harga barang dan isu alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Keadaan ini tentu kurang menguntungkan bagi negara-negara berkembang yang nota bene adalah konsumen terbesar dari produk-produk yang sarat HKI. Pertanyaan-pertanyaan penting pun kemudian muncul. Haruskah kita terus menentang perlindungan HKI pasca perjanjian TRIPs ataukah kita mencoba memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan? Jika kita telah memilih sikap, langkah apa yang harus diambil? Menunggu bantuan

17


(32)

dari pihak asing ataukah mencoba berbenah dengan menggali potensi diri

sendiri?18

B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

HKI dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas

manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.19 Hak kekayaan

intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang

bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio.20 Jadi melihat dari

berbagai pengertian HKI, menurut penulis HKI merupakan hak kepemilikan atas suatu benda atau karya yang timbul dari hasil kerja rasio atau intelektual manusia. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tidak terwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis, dan ekonomis. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HaKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia tadi. Hal

18

Ibid, h. 75. 19

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung:PT. Alumni, 2003), h. 2.

20

H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 9.


(33)

inilah yang membedakan HaKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam.

Karya-karya intelektual tersebut, apakah di bidang ilmu pengetahuan, ataukah seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, nilai

ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi property terhadap

karya-karya intelektual tadi. Bagi dunia usaha, karya-karya-karya-karya itu dikatakan sebagai

assets perusahaan.21

Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan.

21

Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual,(Bandung: PT Alumni, 2003),h. 2-3.


(34)

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang

tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.22

Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula

dapat menhasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu

mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan

yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya

hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.

Dalam kepustakaan hukum Anglosaxon ada dikenal sebutan intellectual property rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya

menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi “Hak

Kekayaan Intelektual”. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya

sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti

22

H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 9-10.


(35)

yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula

berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari

perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.23

C. Tujuan Hak Kekayaan Intelektual

Hasil dari kejeniusan manusia (juga disebut karya intelektual) telah memberi banyak hal yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan dengan cara lebih baik, mulai dari rumah tempat kita tinggal, peralatan rumah, pakaian, peralatan elektronik, komunikasi, transportasi, peralatan kantor dan masih banyak hal lain. Hal-hal tersebut merupakan hasil karya intektual mereka yang terus menciptakan kreasi, sehingga membuat hidup kita menjadi lebih enak. Kalau mereka tidak mendapatkan insentif atas pembuatan karya intelektual maka akan menyebabkan mereka malas untuk berkreasi. Oleh karena itu perlindungan dibutuhkan untuk mereka yang telah menginvestasikan tenaga, waktu dan uangnya dalam rangka

menciptakan karya intektual tersebut.24

Manfaat sistem HKI. Manfaat perlindungan terhadap karya intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut kepentingan. Bagi penghasil

23

Ibid, h. 10-11. 24

Hak kekayaan intelektual dan perkembangannya: prosiding rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis lainnya tahun 2004: Jakarta 10-11 Februari 2004/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004, h. 3.


(36)

karya intelektual, guna melindungi investasi dalam bentuk waktu, tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan dalam menghasilkan karya intelektual agar mereka dapat menikmati pendapatan ekonomi/keuntungan dari komersialisasi hasil karya inteltualnya.

Bagi pelaku usaha, dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk membangun daya kompetisi usaha. Sistem HKI sebenarnya monopoli yang diberikan negara untuk menggunakan suatu karya intelektual untuk jangka waktu tertentu dan cara tertentu. Maka dengan adanya sistem HKI bagi pelaku usaha adalah membangun daya kompetisi karena monopoli usaha terbangun. Bagi masyarakat luas, secara tidak langsung mereka mendapatkan manfaat berupa tersedianya produk-produk yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih kompetitif dari berbagai hasil inovasi yang

diproduksi oleh para pelaku usaha tersebut.25

Bagi negara, secara tidak langsung perlindungan karya intelektual yang diberikan oleh sistem HKI dapat menstimulasi lahirnya atau terjadinya alih penemuan, inovasi dan kreasi yang mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. Contoh yang cukup inspiratif adalah negara Jepang, mengapa Jepang bisa maju seperti saat ini? Setelah perang dunia kedua jepang secara militer dihajar habis-habisan. Selain itu untuk bangkit secara ekonomi kendalanya Jepang tidak memiliki sumber daya alam juga minimnya sumber daya manusia, maka satu-satunya jalan

25


(37)

adalah membangun melalui industri. Jepang mengeluarkan suatu regulasi

yaitu second hand policy yang merupakan larangan untuk mengimpor

barang-barang baru. Alasannya adalah barang-barang bekas akan mudah rusak sehingga mereka terpaksa untuk memperbaikinya maka mereka akan mengetahui bagaimana membuat barang yang lebih baik lagi. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membangun budaya inovasi, hal ini sesuai

dengan prinsip jepang, yaitu copied, improved and innovation, jadi ditiru

dahulu, di-improved kemudian dikembangkan dengan lebih baik.26

Tujuan HKI bagi Pembangunan Indonesia secara umum, ada

beberapa manfaat yang diperoleh dari suatu sistem HKI yang baik, yaitu:27

1. HKI meningkatkan posisi perdagangan dan investasi;

2. HKI mengembangkan teknologi;

3. HKI mendorong perusahaan untuk dapat bersaing secara

internasional;

4. HKI dapat membantu komersialisasi inventoran dan inovasi secara

efektif;

5. HKI dapat mengembangkan sosial budaya;

6. HKI dapat menjaga reputasi Internasional untuk kepentingan

ekspor.

26

Ibid, h. 5. 27

Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT Alumni, 2006), h. 78.


(38)

Keuntungan yang ditawarkan oleh sistem HKI menjangkau bidang yang sangat luas, tidak hanya di bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga di bidang sosial dan budaya. Hal ini tidak mengherankan mengingat HKI itu sendiri terdiri dari beberapa cabang yang berbeda. Misalnya, Hak Cipta, sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sedangkan paten berhubungan dengan inventoran di bidang teknologi.

Eric H.Smith juga menegaskan bahwa manfaat HKI sangat erat kaitannya dengan ekonomi dan investasi. Menurutnya, pelaksanaan HKI yang baik akan membawa manfaat bagi sebuah negara karena beberapa alasan berikut, diantaranya yaitu:

1. HKI mempercepat terjadinya penanaman modal ke sebuah negara

baik domestik maupun asing;

2. HKI meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik suatu negara.

1. Mempercepat masuknya penanaman modal asing

Saat ini disepakati bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara perlindungan HKI dengan masuknya investor asing ke sebuah negara. Berdasarkan studi yang dilaksanakan di Amerika, diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika menempatkan isu perlindungan HKI sebagai faktor yang penting sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya ke sebuah negara yang akan dijadikan mitra dagangnya. Berdasarkan argumentasi ini dapat disimpulkan bahwa semakin baik perangkat


(39)

hukum HKI dan penegakannya, semakin besar pula minat para investor untuk menanamkan modalnya ke negara tersebut.

2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik

Adanya hubungan yang erat antara perlindungan HKI dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik di sebuah negara, sudah tidak dapat disangkal lagi. Misalnya, Amerika Serikat mendapatkan keuntungan secara ekonomi dalam jumlah yang besar dari produk-produk HKI. Sebagai ilustrasi, industri-industri negara adikuasa tersebut memperoleh pemasukan sebesar lebih US$ 8 milyar per tahun melalui pembayaran royalty. Eric H. Smith, ketua perhimpunan HKI internasional, juga sepakat bahwa produk-produk HKI memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan ekonomi dan industri Amerika Serikat. Menurutnya, industri-industri initi di bidang Hak Cipta mampu menyumbang kira-kira 3,7% dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. Di bidang tenaga kerja, industri tersebut juga berhasil mempekerjakan

3 juta orang atau 2,5% dari angkatan kerja Amerika Serikat.28

Berdasarkan paparan tersebut, pertanyaan penting yang muncul adalah keuntungan apa yang dapat diperoleh Indonesia dari adanya sistem perlindungan HKI yang efektif? Tidak dapat diargukan lagi, ada beberapa

28


(40)

manfaat utama yang dapat diperoleh Indonesia jika mampu mengoptimalkan perlindungan HKI, yaitu:

1. Membantu menarik minat para investor asing masuk ke Indonesia;

2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan

datang;

3. Mengembangkan teknologi, inovasi dan kreasi.

Manfaat tersebut perlu dioptimalkan mengingat saat ini Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan dan perlu jalan alternatif untuk dapat keluar dari keadaan tersebut.

Bergantung pada sumberdaya alam untuk membiayai

pembangunan negara sudah tidak dapat dijadikan sandaran utama karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, alternatif utama bagi perolehan devisa negara selain sumberdaya alam, perlu dirintis mulai dari sekarang. Dari sekian banyak alternatif yang tersedia, agaknya HKI dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan negara karena prospeknya sangat menjanjikan di masa yang akan datang.

Disamping itu, fakta membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kreatif serta memiliki keterampilan yang sangat tinggi di bidang tari, musik, seni rupa maupun seni patung yang sangat potensial untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta. Demikian juga dengan karya cipta yang dihasilkan oleh pengrajin-pengrajin di bidang seni sangat

potensial untuk dilindungi dengan UU Desain Industri. 29

29


(41)

Uraian tentang manfaat sistem HKI ini juga dapat menepis pandangan pesimis tentang kehadiran HKI di Indonesia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa Indonesia belum saatnya menerapkan HKI karena tingkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi tidak semaju negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu lepas landas menuju masyarakat industri. Untuk menguatkan pendapat mereka, para pengamat juga menyodorkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa HKI lebih

banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan kepada Indonesia.30

D. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional

Istilah traditional knowledge adalah istilah umum yang mencakup

ekspresi kreatif, informasi, dan know how yang secara khusus mempunyai

ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Dalam banyak cara,

bentuk knowledge tidak seperti yang ada dalam istilah bahasa Inggris

sehari-hari. Bentuk khusus dari knowledge merujuk kepada lingkungan

pengetahuan tradisional (traditional environment knowledge).

Traditional knowledge mulai menjadi berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan

pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati (biological diversity),

dan kekayaan intelektual (intellectual property). Masalah ini banyak

30


(42)

menjadi diskursus di lingkungan organisasi internasional, seperti UNDP,

UNESCO, dan World Bank.31

Menurut UUHC, yang dimaksud dengan "ekspresi budaya tradisional" mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:

1. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa

maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

2. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;

3. gerak, mencakup antara lain, tarian;

4. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara

rakyat;

5. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang

terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan

6. upacara adat.

Ekspresi budaya tradisional termasuk juga pengetahuan tradisional yang secara lingkup internasional, mengandung pengertian atas

pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dapat dilihat secara

31

Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 26-27.


(43)

lengkap dalam Article 8 J Traditional Knowledge, Innovations, and Practices Introduction yang menyatakan:32

Traditional knowledge refers to the knowledge, innovation and practice of indogenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the form of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, community laws, local language, and agricultural practices, including the development of plant species and animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practical nature, particulary in such field as agriculture, fisheris, health, horticulture, and foresty. (Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk cerita, lagu, foklore, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, bahasa daerah dan praktik pertanian, mencakup pengembangan spesies tumbuhan dan keturunan binatang. Pengetahuan tradisional utamanya merupakan praktik alamiah, secara khusus seperti dalam wilayah pertanian, perikanan, kesehatan, hortikultura dan kehutanan).

Sementrara itu masyarakat asli sendiri memiliki pemahaman

sendiri yang dimaksud dengan traditional knowledge. Menurut mereka

traditional knowledge adalah:33

1. Traditional knowledge merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi.

32

Convention on Biological Diversity, Traditional Knowledge, diakses pada 17 Maret 2015 dari http://www.cbd.int/traditional/intro.shtml

33

Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum,(Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2005), h. 29.


(44)

2. Traditional knowledge merupakan pengetahuan di daerah perkampungan.

3. Traditional knowledge tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya, dan bahasa dari

masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Traditional

knowledge lahir dari semangat untuk bertahan (survive)

4. Traditional knowledge memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya.

Dari pemahaman ini, traditional knowledge dapat diartikan sebagai

pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat daerah atau tradisi yang sifatnya turun-menurun. Pengetahuan tradisional itu sendiri ruang lingkupnya sangat luas, dapat meliputi bidang seni, tumbuhan, arsitektur,

dan lain sebagainya.34

Menurut Douglas Nakashima, traditional knowledge adalah ilmu

pengetahuan yang menjadi bagian dari sistem keilmuan yang menjangkau

budaya dan cara hidup masyarakat dan merupakan warisan intelektual.35

Dari berbagai pengertian mengenai pengetahuan tradisional atau traditional knowledge, menurut penulis pengetahuan tradisional adalah ilmu pengetahuan, ekspresi kreatif, dan praktik yang dimiliki oleh masyarakat asli yang menjangkau budaya dengan sifatnya turun menurun dan merupakan warisan intelektual.

34

Ibid.

35

Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, (Jakarta: Penaku, 2014) h. 82.


(45)

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisioanal. Perlindungan tersebut dapat memberi pencipta atau pemegangnya pengakuan yang berguna untuk kontribusi perkembangan pengetahuan tradisional itu sendiri, dan juga kuasa atas pemanfaatannya. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari perlindungan

terhadap pengetahuan tradisional antara lain:36

1. Menghilangkan atau mengurangi ketidakadilan;

2. Mencegah penggunaan pengetahuan tersebut melalui cara-cara yang

tidak berkenan bagi pemilik aslinya;

3. Pengakuan atas nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan

tradisional;

4. Meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal;

5. Penyebaran manfaat pengetahuan tradisional ke seluruh dunia;

6. Melindungi atau memelihara lingkungan.

Bagi Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki keanekaragaman hayati dan budaya, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional memiliki nilai strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi, dan sosial. Dari segi budaya, adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional Indonesia maka kelestarian budaya Indonesia dapat tercapai. Dari segi sosial, dengan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, maka pelestarian

36 Rizki Kusumastuti, ”tinjauan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2006), h. 52.


(46)

nilai sosial akan terjaga dan terpelihara. Bagi segi ekonomi, dengan dilakukannya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, maka nilai ekonomi yang akan dihasilkan dari pengetahuan tradisional akan memiliki nilai tambah dalam hal ini devisa negara dapat ditingkatkan. Dengan melakukan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional milik bangsa Indonesia, maka peluang untuk dapat melakukan persaingan global akan

dapat dilakukan.37

“Indigenous Peoples” adalah istilah yang disepakati dalam hukum internasional untuk menyebut suatu entitas masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri karena latar belakang sejarah, ekonomi, sosial dan budayanya. Secara harfiah istilah tersebut diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “masyarakat asli”. Sebagian penulis ada yang menggunakan istilah “masyarakat asli”, dan sebagian lainnya

menggunakan istilah “masyarakat adat”,“bumi putra”.38

Sesuai dengan konteks historis dan sosio-politiknya, ada banyak istilah yang berbeda yang digunakan secara endemik dari satu wilayah ke

wilayah lain sebagai padanan kata “indigenous peoples”. Misalnya,

“aborigines”, “native peoples”, “ethnic minorities”, “first peoples” and “autochthonous”. Istilah masyarakat asli (indigenous peoples) digunakan

oleh organisasi buruh internasional (International Labor

Organization-ILO) untuk pertama kali. Konvensi-konvensi organisasi internasional ini,

37

Ibid, h 53-54. 38

Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 39-40.


(47)

misalnya, menggunakan dua istilah sekaligus yakni „indigenous peoples‟ dan „tribal peoples‟. Pada mulanya, organisasi ini telah merekomendasikan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga merujuk dan menggunakan kedua istilah tersebut, tapi dalam kenyataannya PBB

hanya menggunakan satu kata saja, yakni, “indigenous peoples”.

Selanjutnya, dalam praktiknya, istilah “indigenous peoples”

digunakan secara luas. Masyarakat internasional, baik pemerintahan

negara-negara nasional, organisasi internasional termasuk LSM

(Non-Governmental Organization-NGO) sudah menggunakan istilah ini secara

umum.39

39


(48)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

A. Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Undang-Undang Hak Cipta 1. Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

Indonesia telah mempunyai perangkat perundang-undangan nasional yang lebih sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasionalnya dan lebih kuat dasar hukumnya bagi penegakan perlindungan HKI di Indonesia. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga sampai dewasa ini, penegakan hukum hak cipta masih menghadapi

kendala-kendala yang cukup berat. Ada beberapa penyebab (causa) yang

menjadikannya demikian. Yaitu, masih kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang; dan kurang pemahaman masyarakat dan penegak hukum tentang arti dan fungsi hak

cipta; serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari UUHC yang

lama.

Penyebab-penyebab ini masih ditambah lagi dengan penyebab lain yang berupa kurangnya koordinasi diantara para penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Instansi Bea Cukai dan instansi terkait


(49)

lainnya yang membidangi persoalan pelaksanaan dan strategi penegakan

hukum Hak Cipta.40

Teknologi digital yang telah berkembang demikian pesatnya pada akhir-akhir ini, menjadikan tersedianya pelbagai peralatan berteknologi canggih yang berkemampuan menggandakan suatu produk bermuatan HKI secara akurat, tidak sulit, cepat dan dengan biaya produksi rendah serta tidak padat karya. Dan bagi seorang pebisnis yang bercita-cita mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat dengan biaya produksi rendah, mudah dan segera mendapat keuntungan besar dan cepat tentunya akan mengambil peluang bisnis yang menjanjikan ini, walaupun beresiko besar melanggar rambu-rambu perundang-undangan yang berlaku. Keadaan yang demikian ini membuka kesempatan mempermudah terjadinya pelanggaran berupa pembajakan produk-produk industri hiburan

berkandungan hak cipta semakin merajalela akhir-akhir ini.41

Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (disingkat UUHC), Hak Cipta, berdasarkan Pasal 1 angka 1, adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

40

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 258-259. 41


(50)

Dari batasan mengenai hak cipta tersebut dapat diketahui

unsur-unsur dan sifat hak cipta sebagai berikut.42

a. Hak cipta adalah suatu hak eksklusif (exclusive rights) berupa hak

yang bersifat khusus, bersifat istimewa yang semata-mata hanya diperuntukkan bagi pencipta atau pemegang hak cipta sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta.

b. Fungsi hak cipta bagi pencipta atau pemegang hak cipta adalah

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dan atau memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tersebut.

c. Ada pembatasan-pembatasan dalam hal penggunaan hak cipta yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal melaksanakan hak eksklusif pencipta berupa hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau memberi izin pada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tidak sebebas-bebasnya. Namun dibatasi oleh ketentuan/hukum dalam UUHC itu sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa dalam hak cipta terkandung fungsi sosial. Dalam penggunaan dan pemanfaatannya, hendaknya mempunyai fungsi sosial.

42

Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.14.


(51)

d. Hak cipta merupakan benda bergerak yang tidak berwujud (benda immateriil) yang dapat dialihkan atau beralih pada pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian.

Perlindungan hukum terhadap hak cipta menurut UUHC selain bersifat administratif juga bersifat perdata, dan pidana. Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta.43

Rancangan Undang-undang Hak Cipta telah ditetapkan menjadi

undang-undang. Undang-undang Hak Cipta yang baru ini (“UU Nomor 28

Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”) akan mengganti Undang-undang No. 19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Berikut telah dipaparkan perbandingan secara umum mengenai hak cipta yang terdapat dalam kedua undang-undang tersebut.

Perbandingan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Tabel 1

UU No 28 Tahun 2014 UU No 19 Tahun 2002

Masa berlaku 70 Tahun 50 Tahun

43


(52)

Hak ekonomi Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta

Tidak diatur

Pengalihan hak ekonomi Pewarisan, hibah, wakaf,

wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan UU, objek jaminan fidusia

Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan UU

Penyelesaian sengketa Mediasi, arbitrase,

pengadilan, delik aduan untuk tuntutan pidana

Pengadilan niaga, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa

Ketentuan lain Lembaga manajemen

kolektif

Tidak diatur

Persamaan yang terdapat dalam UUHC yang lama dengan yang baru, sama-sama mengatur mengenai hak cipta. UUHC lama dan baru keduanya mengatur hak cipta berdasarkan sifatnya dari hak cipta yaitu mengandung hak moral dan hak ekonomi. Keduanya juga mengatur tentang pengalihan dan berakhirnya hak cipta.

Dari persamaan diatas terdapat pula beberapa perbedaan dari isi keduanya, jika dibandingkan dengan tindak pidana dalam UUHC yang lama, maka tindak pidana hak cipta sekarang lebih banyak dan lebih sempurna.

Peran dan fungsi hukum pidana semakin kuat dalam memberi perlindungan hukum terhadap hak cipta. Sebagaimana kenyataan selama


(53)

ini, penegakkan hukum hak cipta masih menghadapi kendala yang cukup berat. Dikatakan Eddy Damian, penyebabnya ialah kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang dan kurang pemahaman masyarakat dan penegakan hukum tentang arti dan

fungsi hak cipta; serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari

UUHC yang lama.44

Selain itu, sebagai benda bergerak, baik dalam UU No. 19 Tahun 2002 dan UU Hak Cipta Baru diatur mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat UU Hak Cipta Baru ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan wakaf dan dapat dijaminkan

dengan jaminan fidusia. Dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang

namanya Lembaga Manajemen Kolektif. Lembaga Manajemen Kolektif, yakni institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna

mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan

mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU No. 28 Tahun 2014).45

2. Pengaturan Hukum Mengenai Ekspresi Budaya Tradisional

Indonesia adalah salah negara berkembang yang memiliki banyak sumber daya hayati dan ekspresi budaya tradisional. Namun perlindungan terhadap sumber daya hayati dan terutama ekspresi budaya tradisional

44

Ibid, h.17. 45

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54192d63ee29a/ini-hal-baru-yang-diatur-di-uu-hak-cipta-pengganti-uu-no-19-tahun-2002


(54)

Indonesia belum maksimal. Ini dapat dilihat dari belum adanya ketentuan khusus yang dibuat Pemerintah Indonesia untuk melindungi ekspresi

budaya tradisionalnya.46

Indonesia menjadi salah satu negara peserta pendiri (original member) WTO sebagai sebuah lembaga formal. Terbentuknya WTO didasari oleh keinginan kuat negara-negara memulihkan kembali perekonomian yang hancur setelah Perang Dunia II. Perjanjian TRIPs

adalah salah satu kesapakatan yang dicapai dalam perundingan General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang melahirkan World Trade Organisation Agreement (WTO).

TRIPs merupakan instrumen hukum internasional. Berdasarkan

Statuta of International of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah

Internasional, perjanjian merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional. Namun, TRIPs bukanlah titik awal tumbuhnya konsep Hak Kekayaan Intelektual. Berbagai konvensi internasional telah sejak lama dilahirkan, dan telah beberapa kali diubah. Yang signifikan dan menjadi

dasar utama bagi konsep Industrial Property adalah Paris Convention for

The Protection of Industrial Property (“Paris Convention”). Sedangkan

untuk bidang copyright adalah Berne Convention for The Protection of

Literary and Artistic Works (“Berne Convention”). Seperti tampak dari dua konvensi diatas secara tradisional hak kekayaan intelektual terbagi

46 Riski Kusumastuti, “tinjuan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2006), h. 106.


(55)

atas: industrial property, meliputi antara lain paten, merek, dan desain

industri; serta copyright and related rights.47

Menurut TRIPs adanya batas antara kekayaan intelektual dengan pengetahuan tradisional dapat dilihat dari sifat kepemilikannya, yaitu bersifat kolektif atau komunal. TRIPs merupakan suatu kompromi, sebuah kesepakatan yang akan menimbulkam suatu permintaan untuk merendahkan atau meninggikan adanya suatu perlindungan di hampir seluruh kekayaan intelektual. WIPO didirikan berdasarkan konvensi yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 yang bernama Convention Establishing the World Intellectual Property Organization berlaku pada tahun 1970 dan menjadi badan khusus PBB pada bulan

Desember 1974.48

Pada tahun 1989 anggota WIPO telah mencapai 123 negara di antaranya: Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Organisasi ini merupakan organisasi antar pemerintah yang berkedudukan di Jenewa. WIPO bertugas untuk mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap hak milik intelektual, meningkatkan kerjasama antar negara dan organisasi-organisasi internasional. Menurut Konvensi WIPO yang termasuk ke

47

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT Alumni, 2005), h.21-22.

48

Taryana Soenandar, Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) Di Negara-negara ASEAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7.


(56)

dalam ruang lingkup Intellectual Property Rights (IPR) terdiri dari dua

unsur yaitu:49

a. Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) yang

meliputi paten, merek dagang, dan desain industri.

b. Hak cipta yang meliputi hasil-hasil karya kesusastraan, musik,

fotografi dan sinematografi.

Ada dua fungsi WIPO yang pokok yaitu pertama fungsi pengembangan, dan fungsi administratif. Fungsi pertama dari WIPO dilakukan melalui kegiatan-kegiatan dalam rangka: (1) memprakasai pembuatan perjanjian internasional, (2) memberikan informasi-informasi tentang perkembangan dan masalah-masalah IPR kepada negara peserta, dan (3) memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang. Fungsi yang kedua adalah fungsi administratif sebagai badan sentral bagi

administratif keanggotaan WIPO dalam perjanjian-perjanjian

internasional, kegiatannya dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan administratif khusus. Tugas administratif tersebut antara lain mendaftarkan negara-negara yang menjadi peserta perjanjian internasional di bawah

WIPO.50

Dalam lingkup internasional, ekspresi budaya tradisional masih menjadi pembahasan sehingga peraturan mengenai perlindungan ekspresi

49

Ibid, h. 8. 50


(57)

budaya tradisional belum diformulasikan dalam suatu produk hukum. Namun, dalam situs WIPO telah dipaparkan sekilas mengenai keharusan dalam melindungi ekspresi budaya tradisional.

Dalam situs WIPO, dijelaskan bahwa,51

“Protection” of TK in the IP (Intellectual Property) sense may

mean the protection of TK against their misuse or misappropriation, such as their copying, adaptation or use by unauthorized third parties. The objective of protection, in short, is to make sure that the intellectual innovation and creativity embodied in TK are not wrongly used. IP protection can mean recognizing and exercising exclusive rights, i.e., excluding others from making certain uses of TK. IP protection can also include non-proprietary forms of protection like moral rights, equitable compensation schemes and

protection against unfair competition.“Protection” is therefore

different from “preservation” or “safeguarding,” which are the identification, documentation, transmission, revitalization and promotion of cultural heritage in order to ensure its maintenance or viability. The objective, in that case, is to make sure that the TK do not disappear and are maintained and promoted. “Protection,”

“preservation” and “safeguarding” are not mutually exclusive.

Having different objectives, they may be implemented in conjunction with one another and help promote each other, for example, through documentation or inventory-making.

("Perlindungan" dari TK dalam arti IP (Intellectual Property) diartikan sebagai perlindungan TK terhadap penyalahgunaan atau penyelewengan, seperti menyalin, mengadaptasi atau penggunaan oleh pihak ketiga yang tidak berwenang. Tujuan perlindungan, singkatnya, adalah untuk memastikan bahwa inovasi dan kreativitas intelektual yang diwujudkan dalam TK tidak disalahgunakan. Perlindungan IP berarti mengakui dan melaksanakan hak eksklusif, yaitu, mengecualikan pihak lain terhadap penggunaan TK tertentu. Perlindungan IP juga dapat mencakup bentuk perlindungan non-proprietary seperti hak moral, skema kompensasi yang adil dan perlindungan terhadap persaingan tidak sehat. "Perlindungan" Oleh karena itu berbeda dari "pelestarian" atau "pengamanan," yang merupakan identifikasi, dokumentasi, transmisi, revitalisasi dan promosi warisan budaya untuk memastikan perawatan atau kelangsungan hidup. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa TK tidak hilang dan dapat dipertahankan serta dipromosikan.

51


(58)

"Perlindungan," "pelestarian" dan "pengamanan" tidak selalu bersifat eksklusif. Mereka memiliki tujuan yang berbeda, dimana dapat diimplementasikan dalam hubungannya dengan satu sama lain dan membantu mempromosikan satu sama lain, misalnya, melalui dokumentasi atau persediaan keputusan.)

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan ekspresi budaya tradisional sudah merupakan agenda penting dalam perkembangan HKI. Sehingga hal itu yang merupakan dasar dari pengaturan mengenai perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam hukum nasional.

B. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional

Selama ini, perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional dilakukan dengan cara melakukan klaim kepada organisasi kebudayaan internasional. Hal ini dalam rangka membuat masyarakat internasional mengetahui bahwa karya atau ide tersebut merupakan milik dari bangsa indonesia. Namun, minimnya pengaturan hukum untuk mengatur secara jelas mengenai mekanisme perlindungan tersebut membuat maraknya pelanggaran hak terhadap bangsa indonesia mengenai karya atau ide ekspresi budaya tradisional. Hal ini tentu merugikan indonesia, khususnya masyarakat adat dikarenakan ide yang telah lama mereka jaga secara turun temurun dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Walaupun, pemerintah dalam hal ini telah membentuk suatu produk hukum yang tercantum dalam UUHC, namun demikian tidaklah


(59)

cukup memadai untuk memberikan kepastian hukum kepada ekspresi budaya tradisional di indonesia.

Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang

berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang

Penciptanya Tidak Diketahui‟ menetapkan :

1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara

ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh

Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sistem nilai budaya, menurut Koentjaraningrat, merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Sistem nilai serupa itu menjadi penuntun

interaksi para individu dalam masyarakat.52 Melalui sistem nilai yang

terus-menerus dinternalisasikan pada individu akan terbentuk sikap atau attitude seperti yang diharapkan.53

Sejalan dengan itu ditekankan pula pentingnya pengembangan nilai dan penyempurnaan etika individu agar dapat hidup secara harmonis

52

Koentjaraningrat, kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 25.

53


(1)

Mekanisme benefit sharing sebaiknya dilakukan sesuai dengan aturan dan norma yang ada di masyarakat. Pengelola benefit sharing sebaiknya dibawahi oleh pemerintah daerah. Apabila benefit sharing dikelola bebas maka akan menimbulkan keributan karena saling mengambil keuntungan atas ekspresi budaya tradisional.88

88

Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015.


(2)

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

1. Belum memadainya perlindungan hukum mengenai ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial dalam implementasinya di masyarakat. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum mengatur kepentingan komersial terhadap ekspresi budaya tradisional dalam bentuk peraturan perundang-undangan sui generis (dalam bentuk tersendiri atau khusus). Selama ini hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional, yakni Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada Pasal 38 hanya mengatur bahwa pemerintah sebagai pemegang hak cipta yang tidak diketahui penciptanya.

2. Adanya perbedaan pemikiran antara masyarakat tradisional atau adat dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual, sehingga hal ini yang menjadi kendala dalam penerapan konsep benefit sharing terhadap ekspresi budaya tradisional. Peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang sejauh ini dikenal, senantiasa didasarkan kepada konsep kepemilikan kekayaan intelektual secara individual, mensyaratkan adanya kebaruan, orisinalitas, diketahui ekspresi budaya tradisional atau inventornya, dan adanya pembatasan jangka waktu perlindungan. Sedangkan dalam konteks pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, yang diutamakan adalah kepentingan komunal. Orisinalitas dan kebaruan tidak dipersyaratkan, ekspresi budaya


(3)

tradisional atau inventornya biasanya tidak diketahui, mengingat keberadaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bersifat peniruan dan diperoleh secara turun-temurun.

B. Saran

1. Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya membentuk peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah untuk menerapkan konsep benefit sharing.

Dalam Undang-undang Hak Cipta saat ini belum mengatur tentang konsep benefit sharing. Mengingat bahwa sistem perlindungan dalam bentuk atau rezim yang selama ini kita telah kita kenal dengan baik, dipandang tidak sepenuhnya sesuai.

2. Seharusnya setiap masyarakat tradisional menuntut atau membentuk suatu lembaga dalam hal ini bisa berbentuk organisasi kemasyarakatan atau paguyuban yang sesuai dengan ketentuan Kementrian Dalam Negeri untuk menjadi wakil mereka dalam penerapan konsep benefit sharing. Dengan adanya suatu lembaga yang berwenang atas konsep benefit sharing maka ekspresi budaya tradisional dan pelakunya akan mendapatkan keuntungan atau nilai ekonomi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adimihardja, Kusnaka. Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal dalam

Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Bandung: Humaniora. 2004

Bintang, Sanusi. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1998

Chazawi, Adami Chazawi. Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Malang: Bayumedia Publishing. 2007

Damian, Eddy Damian. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT. Alumni. 2005 Danandjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002 Daulay, Zainul. Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan

Praktiknya. Jakarta: Rajawali Pers. 2011

Fauzannafi, Muhammad Zamzam. Reog Ponorogo Menari Di Antara Dominasi

Dan Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press. 2005

Gani, Ramlan A. Disiplin BERBAHASA INDONESIA. Jakarta: FITK PRESS. 2011

Haryanto, Ignatius. Kapling-Kapling Daya Cipta Manusia; Monopoli-Monopoli Intelektual Atas Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta:

Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2004

Hozumi, Tumotsu. Asian Copyright Handbook. Penerjemah Masri Maris. Jakarta: Ikatan Penerbit Indonesia. 2006

Jhamtani, Hira dan Lutfiyah Hanim. Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan; Telaah tentang TRIPs dan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta: INFID. 2002

Kansil, C.S.T.. Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian Dan Hak Cipta). Jakarta: Bumi Aksara. 1990

Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT Alumni. 2006


(5)

Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni. 2005

Purba, Afrillyanna, dkk. TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005

Riswandi, Budi Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005

Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004

Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007

... Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Pers. 2010 Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.

Bandung: PT Alumni. 2010

Soelistyo, Henry. Hak Cipta Tanpa Hak Moral. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011

... Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi. Jakarta: Penaku. 2014

Soenandar, Taryana. Perlindungan HAKI (Hak Milik Intelektual) Di Negara-negara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika. 2007

Soerjono, Soekanto. PENGANTAR PENELITIAN HUKUM. Jakarta: UI Press. 1986

Usman, Rachmadi. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Alumni. 2003

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Undang-undang Hak Cipta

Jurnal Hukum:

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak


(6)

Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional. Depok: LPHI-FHUI. 2005.

Hak Kekayaan Intelektual Dan Perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004: Jakarta 10-11 Februari 2004/tim editor, Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

Internet:

http://www.wipo.int/tk/en/tk/

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/14/utama/3988155.htm http://www.heritage.gov.my/kekkwa/viewbudaya.php?id=46

http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/30/nas02.htm http://eprints.uns.ac.id/9171/1/79122107200911091.pdf http://www.hukumonline.com

Wawancara Pribadi:

Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta. 27 April 2015.

Skripsi Dan Tesis:

Kusumastuti, Rizki. ”Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Milik Negara-Negara Berkembang.” Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2006.

Pardede, Theresia E.E.. “Evaluasi Kebijakan Diplomasi Kebudayaan Angklung Indonesia (Studi Kasus Kebijakan Komunikasi Pemerintah Pasca Diakuinya Angklung Dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Oleh

UNESCO).” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas

Indonesia, 2012.

Widyastuti, Istie. “Upaya Pencegahan Penggunaan Secara Melawan Hukum Pengetahuaun Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) Milik

Indonesia Oleh Pihak Asing.” Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,


Dokumen yang terkait

Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta

18 54 87

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 25 113

Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Negara Sebagai Pemegang Hak Cipta Kekayaan Intelektual Komunal Masyarakat Sulawesi Tenggara Dikaitkan Dengan Hak Ekonomi Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

3 5 24

Perlindungan Hak Cipta atas Penyewaan Buku Tanpa Izin Secara Komersial oleh Taman Bacaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

0 0 1

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 7

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 1

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 18

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 42

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL PADA UPACARA SEDEKAH KAMPUNG DITINJAU DARI PASAL 38 UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DIKABUPATEN BANGKA BARAT

0 0 14