Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB V
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang
dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek
penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi
semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap
komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda.
Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku
dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks
dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis,
tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang
publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi
mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah
daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya
pembaca.
Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri
mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau
grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan
gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang
diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran
syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990: 528) lirik lagu adalah karya puisi
yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata.
Salah satu unsur dalam puisi adalah bait, dan bait juga terkandung dalam lirik atau syair
dari lagu. Bait adalah barisan kalimat yang jumlahnya bisa empat atau lebih dari sebuah
bait. Diatur dan diulang-ulang seperti yang direncanakan jumlah baitnya, meter, rima dan
mebentuk divisi matrik puisi yang diulang secara berkala (Delbrige, 1706:1991).
39
Disini penulis akan melakukan poses pembaitan untuk syair atau lirik lagu “Jogja
Istimewa” ini. Pembaitan adalah proses cara, pembuatan membagi atas bait-bait, salah
satu hal penting dalam penulisan puisi (Sugono, Dendy, 118:2011). Dalam hal ini penulis
akan melakukan pembaitan pada syair dan lirik lagu “Jogja Istimewa”, setelah itu penulis
akan mengambil gambar-gamabar dari video klip ini yang memvisualkan lirik atau syair
dalam lagu yang akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes,
Teori roland Barthes adalah teori yang digunakan untuk meneliti video klip“Jogja
Istimewa” ini. Barthes melihat bahwa tanda-tanda yang ada dan tersusun dalam suatu
wacana adalah natural dan netral. Secara halus tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan
makna konotasi, dimana dari pijakan konotasi ini kita bisa melihat sebuah ideologi atau
pesan yang terkandung dalam mitos. Untuk mencari pesan atau ideology Barthes
mengungkapkan ada dua tahapan yang dilalui, yaitu tahapan denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah makna yang sebenarnya dimana makan yang langsung diketahui.
Konotatif adalah makna yang terlihat ketika membongkar tanda-tanda netral dan
memaparkanya
sebagai
perangkat
ideologis
(Barthes,
2004:155-164).
Dengan
menggunakan framing dan dianalisis dengan teori Roland Barthes ini, penulis akan
meneliti vido “Jogja Istimewa”. Dimana penulis ingin mencari pesan atau Ideologi yang
ada dalam kata “Jogja Istimewa” selain sejarah dari kota Jogja sendiri.
5.1 Bait Satu Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik : Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
DENOTASI: “Holopis kontol baris, holopi kontol baris, holopis kontol baris.”
KONOTASI: Makna konotasi dari istilah ”Holopis kontol Baris ini adalah”,
merupakan kata-kata yang mempunyai arti merupakan ajakan untuk bekerja
bersama-sama. Kata “kontol” dalam budaya Jawa mempunyai arti berjalan
bersama-sama. “Holopis kontol baris” sendiri merupakan filosofi tradisional jawa
ini merupakan suatu pandangan hidup dalam bekerja ataupun melakukan kegiatan.
40
Sujamto (Clifford Geerts, 1973:126). “Setiap kebudayaan itu selalu mempunyai
dua aspek pokok, yaitu “ethos”, yang merupakan aspek moral dan estetik, serta
aspek pandangan hidup world view, yang merupakan aspek kognitif dan
eksisitensial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “etos” adalah pandangan
moral suatu masyarakat atau kelompok manusia”. Istilah “Holopis kontol baris”
ini adalah yang menjadi etos atau pandangan moral orang jawa dalam bekerja.
Pandangan hidup ini yang dipegang oleh masyarakat jawa dalam bekerja dan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semakin derasnya arus globalisasi membuat
orang semakin individual dan pandangan hidup ini mempunyai makna yang
positif dan mengandung pesan yang relevan untuk keadaan saat ini.
MITOS: Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong
royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan
kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan sikap saling
memerhatikan dan peduli terhadap sesama akan terbentuk. Perbedaan status sosial
tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup
kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong,
kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam kehidupan masyarakat jawa.
Masyarakat mencintai dan peduli sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam
interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada pemanggilan yang terjadi
disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.
5.2 Bait Dua Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Istimewa Negrinya Istimewa Orangya
Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Jogja Istimewa untuk Indonesia
Konotasi: “Jogja! Jogja! tetap Istimewa” (mempunyai entitas Negeri tersendiri,
karena daerah Istimewa yang disandang oleh Jogja sejak jaman penjajahan,
41
dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini menunjukan daerah
Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).
“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana
Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang feodalisme, namun
masyarakatnya melihat makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk
pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya melestarikan itu
untuk menjadi indah.
“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan
membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta. Pluralisme yang
tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya
untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia.
Mitos: Keistimewaan Yogyakarta adalah adanya pengahargaan dan rasa
penghormatan mereka yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat
yang berasal dari luar Yogyakarta. Penghargaan dan rasa penghormatan mereka
ditunjukan dengan mereka hidup berdampingan kepada masyarakat pendatang
dan
hal
inilah
yang
membuat
masyarakat
yang
ada
Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal
menjadi
kuat.
yang mendapat
penghormatan dan dihargai di Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada
didalam keistmewaan Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang
memberikan Keistimewaan ini.
5.3 Bait Tiga Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta
Nagari paling penak rasane koyo swarga
Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi peni lan merdika”
Denotasi: Pada bait ketiga ini lirik yang dipakai adalah bahasa Jawa Yogyakarta
dan
dalam bahasa Indonesia lirik ini berbunyi: “Dengarlah ini suara dari
Yogyakarta, Negeri paling enak rasanya seperti surga, tidak peduli dunia jadi
neraka, disini kami selalu nyaman dan merdeka”.
42
Konotasi: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta ( dengarlah ini
suara
panggilan yang berasal dari Jogja).
“Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada dibumi).
“Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli
kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah
keindahan dan kebebasan kami).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari bait ketiga ini, bahwa ada kecintaan
dari suara-suara Jogjakarta terhadap Jogjakarta, dimana mereka menganggap
bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada
kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan
kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai
rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka melakukanya disini dirumah
mereka sendiri, Jogjakarta.
5.4 Bait Empat Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat
Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat
Demikianlah Singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat
Memayu Hayuning Bawana” (Denotasi makna).
Konotasi: “Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah,
dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan dikembalikan lagi dan diberikan
lagi kebawah).
“Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat
dirinya sendiri dengan alat ukurnya adalah pangkal perasaan dan batin rakyat).
“Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan
serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).
“Memayu Hayuning Bawana” (Melayani rakyat).
43
Mitos: Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah Pemerintahan
yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan memperjuangkan suara dan cita-cita dari
rakyat. Pemerintahan yang melihat dan lahir dari rakyat dan untuk rakyat terbuka
dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah pemerintahan yang bermoral,
dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan
dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua
elemenya atau satu cita-cita.
5.5 Bait Lima pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng prajurit lan Senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”
Denotasi: Arti lirik diatas dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik
pukul) sudah ditabuh, seruling sudah berbunyi, bersatu padu menjadi satu,
bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati
rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat
dan raja menjadi satu.
Konotasi: “Tambur wis ditabuh suling wis muni (menggambarkan suasana yang
riang, sukacita).
“Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk
menjadi satu bersama Negeri dan tentara).
“Mukti atau mati manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan,
dan keadaan apapun Raja dan rakyat tak akan terpisahkan).
Mitos: Pesan yang ingin disampaiakan pada bait kelima ini adalah bahwa tidak
adanya perbedaan dalam sistim pemerintahan dan kehidupan mereka, semua
kalangan adalah pejuang-pejuang Jogja, yang mempunyai bagianya masing44
masing dalam menjaga dan melindungi ketenangan, kenyamanan, dan keindahan
Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama
dalam menjalani kehidupan dan menghadapai tantangan yang ada.
5.6 Bait Enam pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan
Denotasi: Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini
adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya
Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang
tanpa ngasorake”.
Konotasi: “Menyerang tanpa Pasukan” (Menyerang menggunakan taktik, simpati
dan diplomatik).
“Menang tanpa merendahkan” (Menang tanpa kesombongan).
“Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra).
“Kekayaan tanpa Kemewahan” (Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan
harganya).
Mitos: Cara penyelesaian masalah bukan melalui kekerasan dan peperangan,
namun menggunakan taktik, diplomasi, demokrasi, simpati dan sikap rendah hati.
Hal ini yang akan memunculkan ketenangan untuk menghadapi masalah yang
ada, sehingga mampu menciptkan suasana Jogja yang elegan, dan sifat elegan
yang tidak diperlihatkan adalah cara untuk tetap menghargai dan merangkul orang
lain.
45
5.7 Bait Tuju pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik : “Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup ditengah modernisasi
Rakyate jajah deso milangkori
Nyebarke seni lan budi pekerti
Denotasi: Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah ”Tenang bagai ombak
gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya
berkelana kemana-mana, menyebarkan seni dan budi pekerti.
Konotasi: “Tenang bagai ombak laksana merapi” (Mempunyai keinginan besar,
namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya).
“Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup
ditengah globalisasi).
“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemanamana).
“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa
dari tanah Jogja).
Mitos: Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi
dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat Yogyakarta, namun
tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang
mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian
nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun modernisasi dan globalisasi terus
berjalan, pelestarian nilai taradisi dan budaya juga akan terus berjalan sebagai
keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang menunjukan
diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.
5.8 Bait Delapan pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga
Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa
46
Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”
Denotasi: Ingatlah sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setingginya kita
belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah kodratnya.
Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita
dilahirkan dan dibesarkan.
Konotasi: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga”
(Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton
yang kesembilan)
“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah
hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita.
“Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar
jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara
berkepanjangan kesadaran kita terhadap apa yang kita punyai).
“Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan
darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita).
Mitos: Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam
mitos bahwa seharusnya kita bisa menghargai, menjaga dan melindungi nilai-nilai
tradisi dan budaya yang ada dimanapun kita berada, dan seperti apapun diri kita
menjadi dan mencapai kesuksesan. Karena hal inilah yang tidak boleh dilupakan.
Keberhasilan apapun yang diperoleh jangan melunturkan nilai tradisi dan budayabudaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya
dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah kebijaksanaan yang
halus.
5.9 Bait Sembilan pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangunkarsa
Tut Wuri Handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji”
47
Denotasi: Yang didepan memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang
dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.
Konotasi: “Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan
bertindak sehingga mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag
positif).
“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang
memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).
“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat
melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin, dalam hal ini sifatnya
bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari mitos lirik bait kesembilan ini adalah
bahwa kesatuan adalah hal yang mendasar untuk mempunyai satu suara dan satu
tujuan demi mencapai cita-cita yang mulia, dan ketulusan yang akan membawa
untuk semua elemen yang ada untuk mengerjakan bagianya masing-masing
(Pemimpin memberi contoh, rakyat memberi semangat dan dukungan, dan
dukungan itu bisa mereka kerjakan dalam bentuk apapun. Seperti JHF mereka
meberikan dukungan dari karya-karya yang diciptakan.) sebagai kumpulan usahausaha yang akan bersinergi yang akan mencapai keberhasilan.
48
Tabel 5.1 Denotasi, Konotasi, Mitos
Lirik
Bait Satu
Denotasi
Lirik disamping juga
Konotasi
Makna konotasi dari
“Holopis Kontol Baris menjadi tanda denotasi istilah ”Holopis kontol
Mitos
Orang Jawa suka
kebersamaan, karena
Baris ini adalah”,
dengan kebersamaan
Holopis Kontol Baris yang juga menjadi
merupakan kata-kata yang
dan gotong royong
Holopis Kontol Baris”
pijakan sekaligus
mempunyai arti
akan memupuk dan
penanda dan petanda
merupakan ajakan untuk
memunculkan rasa
untuk masuk dalam
bekerja bersama-sama.
persaudaraan. Dengan
tataran konotasi
Kata “kontol” dalam
kebersamaan dan
budaya Jawa mempunyai
gotong royong rasa
arti berjalan bersama-
persauadaraan dan
sama. “Holopis kontol
sikap saling
baris” sendiri merupakan
memerhatikan dan
filosofi tradisional jawa
peduli terhadap
ini merupakan suatu
sesama akan
pandangan hidup dalam
terbentuk. Perbedaan
bekerja ataupun
status sosial tidak ada
melakukan kegiatan.
dan trjadi disini. Hal
Holopis Kontol Baris
pada bait satu ini,
ini menunjukan
langsung ciri utama
hidup kemasyarakatan
orang jawa yang
terkenal dengan
semangat gotong
royong, kebersamaan
dan keakraban yang
tampak dalam
kehidupan masyarakat
jawa. Masyarakat
mencintai dan peduli
49
sesamanya (“asih ing
sesami”). Dalam
interpretasi penulis
tidak berhenti disini,
bahwa ada
pemanggilan yang
terjadi disini untuk
warga Jogjakarta
dalam menyelamatkan
Keistimewaan Jogja.
BAIT DUA
Jogja! Jogja! Tetap
DENOTASI
Lirik disamping juga
Istimewa Istimewa
menjadi tanda denotasi Istimewa” (mempunyai
Negrinya Istimewa
pada bait dua ini, yang
entitas Negeri tersendiri,
adanya pengahargaan
Orangya
juga menjadi pijakan
karena daerah Istimewa
dan rasa
Jogja! Jogja! Tetap
sekaligus penanda dan
yang disandang oleh Jogja
penghormatan mereka
IstimewaJogja
petanda untuk masuk
sejak jaman penjajahan,
yang diberikan oleh
Istimewa untuk
dalam tataran konotasi
dimana pada saat itu
masyarakat pendatang
adalah daerah Swapraja.
atau masyarakat yang
Istimewa disini
berasal dari luar
menunjukan daerah Jogja
Yogyakarta.
merupakan sebuah Negeri
Penghargaan dan rasa
yang Istimewa).
penghormatan mereka
“Istimewa orangnya,
ditunjukan dengan
Istimewa Negerinya” (ada
mereka hidup
keunikan didalam Jogja
berdampingan kepada
dimana Keraton yang
masyarakat pendatang
membawa sisa gambaran
dan hal inilah yang
pemerintahan yang
membuat masyarakat
feodalisme, namun
yang ada menjadi
Indonesia.
KONOTASI
“Jogja! Jogja! tetap
MITOS
Keistimewaan
Yogyakarta adalah
50
masyarakatnya melihat
kuat.
makna sebuah feodalisme
Keanekaragaman
adalah pemberian untuk
masyarakat dan
pelestarian dengan cara
budaya menjadi hal
yang berbeda, dimana
yang mendapat
masyarakatnya
penghormatan dan
melestarikan itu untuk
dihargai di
menjadi indah.
Yogyakarta, dan hal
“Jogja Istimewa untuk
ini menjadi kekayaan
Indonesia” (terbangun
yang ada didalam
masyarakat yang beragam
keistmewaan
dan membangun sebuah
Yogyakarta, dan dari
pluralisme yang melekat
masyarakat asli Jogja
pada Jogjakarta.
sendiri yang
Pluralisme yang tumbuh
memberikan
dan terbangun menjadi
Keistimewaan ini.
ciri untuk keistimewaan
Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran
Indonesia, bahwa Jogja
melakaukan ini tidak
hanya untuk dirinya tapi
juga untuk Indonesia
BAIT TIGA
DENOTASI
“Rungokno iki gatra Pada bait ketiga ini
KONOTASI
“Rungokno iki gatra soko
MITOS
Pesan yang bisa
soko ngaYogyakarta
ngaYogyakarta (dengarlah
penulis ambil dari bait
Nagari paling penak adalah bahasa Jawa
ini suara panggilan yang
ketiga ini, bahwa ada
rasane koyo swarga
berasal dari Jogja).
kecintaan dari suara-
Ora peduli donya dadi dalam bahasa
“Nagari palling enak
suara Jogjakarta
neraka
rasane koyo swarga”
terhadap Jogjakarta,
(salah satu surga yang ada
dimana mereka
lirik yang dipakai
Yogyakarta dan
Indonesia lirik ini
Neng kene tansah edi berbunyi: “Dengarlah
51
peni lan merdika”
ini suara dari
dibumi).
menganggap bahwa
Yogyakarta, Negeri
“Ora peduli donya dadi
Jogjakarta adalah
paling enak rasanya
neraka, Neng kene tansah
tempat yang paling
seperti surga, tidak
edi lan merdeka” (tidak
nyaman dan Indah
peduli dunia jadi
peduli kehidupan diluar
dan ada kebahagiaan
neraka, disini kami
sana menjadi tempat yang
yang mereka rasakan
selalu nyaman dan
jahat, karena dan di
terhadap Jogja. Ada
merdeka”.
tempat ini adalah
kebebasan dan
keindahan dan kebebasan
kebahagiaan dalam
kami).
menyuarakan aspirasiaspirasi yang mereka
tunjukan sebagai rasa
memiliki mereka
terhadap surge ini,
dan mereka
melakukanya disini
dirumah mereka
sendiri, Jogjakarta.
BAIT EMPAT
“Tanah lahirkan
DENOTASI
Lirik disamping juga
KONOTASI
“Tanah lahirkan tahta,
MITOS
Bahwa Pemerintahan
Tahta, Tahta untuk
menjadi tanda denotasi tahta untuk rakyat” (Tahta
yang hebat atau yang
rakyat
pada bait tiga ini, yang dilahirkan dari tanah, dari
indah adalah
Dimana Rajanya
juga menjadi pijakan
bawah. Tahta yang lahir
Pemerintahan yang
bercerrmin di kalbu
sekaligus penanda dan
dari bawah akan
berdiri untuk rakyat,
rakyat
petanda untuk masuk
dikembalikan lagi dan
mengerti dan
Demikianlah
dalam tataran konotasi
diberikan lagi kebawah).
memperjuangkan
Singgasana
“Dimana Rajanya
suara dan cita-cita
bermartabat
bercermin di kalbu
dari rakyat.
Berdiri kokoh untuk
rakyat” (Seorang
Pemerintahan yang
mengayomi rakyat
pemimpin yang melihat
melihat dan lahir dari
Memayu Hayuning
dirinya sendiri dengan alat
rakyat dan untuk
52
Bawana”
ukurnya adalah pangkal
rakyat terbuka dan
perasaan dan batin
bersih erta suci.
rakyat).
Pemerintahan seperti
“Berdiri kokoh untuk
ini adalah
mengayomi rakyat”
pemerintahan yang
(Berdiri dengan kuat tahan bermoral, dengan
dengan serangan untuk
adanya Pemerintahan
mengerti dan melayani
yang bermoral, maka
rakyat).
akan membuat
“Memayu Hayuning
Pemerintahan dan
Bawana” (Melayani
rakyatnya menjadi
rakyat).
indah, dimana ada
kesatuan visi dan misi
dari semua elemenya
atau satu cita-cita.
BAIT LIMA
DENOTASI
“Tambur wis ditabuh dalam bahasa
KONOTASI
“Tambur wis ditabuh
MITOS
Pesan yang ingin
suling wis muni
suling wis muni
disampaiakan pada
Holopis kuntul baris tambur (alat musik
(menggambarkan suasana
bait kelima ini adalah
ayo dadi siji
yang riang, sukacita).
bahwa tidak adanya
“Holopis kontol baris,
perbedaan dalam
Bareng
prajurit
Indonesianya adalah
pukul) sudah ditabuh,
lan seruling sudah
Senopati
berbunyi, bersatu padu Bareng Prajurit lan
sistim pemerintahan
Mukti utawa mati
menjadi satu, bersama
Senapati” (Ada panggilan,
dan kehidupan
manunggal kawula
prajurit dan Senopati
ajakan untuk menjadi satu
mereka, semua
gusti”
(sebutan untuk tentara
bersama Negeri dan
kalangan adalah
Keraton), mulia atau
tentara).
pejuang-pejuang
mati rakyat dan Raja
“Mukti atau mati
Jogja, yang
adalah satu. Musik
manunggal kawula Gusti”
mempunyai bagianya
sudah dimainkan,
(Dalam kemenangan dan
masing-masing dalam
saatnya semua
kekalahan, dan keadaan
menjaga dan
masyarakat dan raja
apapun Raja dan rakyat
melindungi
53
menjadi satu.
tak akan terpisahkan).
ketenangan,
kenyamanan, dan
keindahan Jogja,
sebagai upaya
dukungan mereka
untuk Jogja. Antara
rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja
semua adalah satu
kesatuan, semua
melebur bersamasama dalam menjalani
kehidupan dan
menghadapai
tantangan yang ada. .
BAIT ENAM
DENOTASI
“Menyerang tanpa
Lirik diatas adalah
pasukan
juga menjadi makna
Menang
tanpa
denotasi pada bait ini.
merendahkan
Lirik ini adalah
Kesaktian tanpa ajian
merupakan revolusi
Kekayaan
tanpa
dari filosofi yang
kemewahan
diciptakan oleh Ki
KONOTASI
“Menyerang tanpa
MITOS
Cara penyelesaian
Pasukan” (Menyerang
masalah bukan
menggunakan taktik,
melalui kekerasan dan
simpati dan diplomatik).
peperangan, namun
“Menang tanpa
menggunakan taktik,
merendahkan” (Menang
diplomasi, demokrasi,
tanpa kesombongan).
simpati dan sikap
Ageng Surya Mataram
“Kesaktian tanpa ajian”
rendah hati. Hal ini
“Sugih tanpa bondo,
(Kehebatan yang tidak
yang akan
digdoyo tanpa aji,
terlihat tanpa mantra).
memunculkan
ngluruk tanpa bolo,
“Kekayaan tanpa
ketenangan untuk
menang tanpa
Kemewahan”
menghadapi masalah
ngasorake”.
(Kemakmuran yang tidak
yang ada, sehingga
ditunjukan nilai dan
mampu menciptkan
harganya).
suasana Jogja yang
54
elegan, dan sifat
elegan yang tidak
diperlihatkan adalah
cara untuk tetap
menghargai dan
merangkul orang lain
BAIT TUJU
“Tenang bagai ombak
DENOTASI
Dalam bahasa
KONOTASI
“Tenang bagai ombak
MITOS
Mitos yang penulis
gemuruh laksana
Indonesia lirik ini
laksana merapi”
ambil dari lirik pada
merapi
artinya adalah
(Mempunyai keinginan
bait ketuju bahwa
Tradisi hidup ditengah
”Tenang bagai ombak
besar, namun bisa
modernisasi dan
modernisasi
gemuruh laksana
menjaga dan menahan.
globalisasi disikapi
Rakyate jajah deso
merapi, Tradisi hidup
Ada waktunya untuk
dengan terbuka oleh
milangkori
ditengah modernisasi,
menggunakanya).
masyarakat
Nyebarke seni lan
rakyatnya berkelana
“Tradisi hidup detengah
Yogyakarta, namun
budi pekerti
kemana-mana,
modernisasi” (Kearifan
tradisi dan budaya
menyebarkan seni dan
lokal yang yang terus
yang mereka punyai
budi pekerti.
hidup ditengah
adalah kebanggan dan
globalisasi).
harta yang yang
“Rakyate jajah deso
mahal. Dimana
milangkori” (Rakyat yang
apresiasi ini mereka
berkelana, menyebar
lakuakan dengan
kemana-mana).
penanaman dan
“Nyebarke seni lan budi
pelestarian nilai-nilai
pekerti” (Menyebarkan
tradisi dan budaya.
hal-hal yang positif yang
Walaupun
dibawa dari tanah Jogja).
modernisasi dan
globalisasi terus
berjalan, pelestarian
nilai taradisi dan
budaya juga akan
55
terus berjalan sebagai
keinginan memiliki
yang kuat dari
mereka. Karena hal
inilah yang
menunjukan diri
mereka sebenarnya di
jaman modernisasi
ini.
BAIT DELAPAN
“Elingo sabdane Sri
Sultan
Hamengkubuwono
kaping sanga
Sakduwur-duwure
sinau dewe tetep wong
Jawa
Diumpamake kacang
kang ora ninggal
lanjaran
Marang bumi seng
nglahirake dewe
tansah kelingan”
DENOTASI
Ingatlah sabdane Sri
KONOTASI
“Elingo sabdane Sri
MITOS
Dari lirik bait
Sultan
Sultan Hamengkubuwono
kedelapan, penulis
Hamengkubuwono IX, kaping sanga” (Peganglah
mengambil pesan
setingginya kita
dan maknailah dalam
yang ada didalam
belajar dan berilmu,
hidup tentang pesan dari
mitos bahwa
kita adalah tetap orang
pemimpin Keraton yang
seharusnya kita bisa
Jawa, itu sudah
kesembilan)
menghargai, menjaga
kodratnya.
“Sakduwur-duwure sinau
dan melindungi nilai-
Diumpamakan kacang
dewe tetep wong Jawa”
nilai tradisi dan
tidak lupa kulitnya,
(Ilmu dan pengetahuan
budaya yang ada
jangan melupakan
adalah hikmat untuk
dimanapun kita
tempat dimana kita
memperkaya dan juga
berada, dan seperti
dilahirkan dan
memperkuat diri kita.
apapun diri kita
dibesarkan.
“Diumpamake kacang
menjadi dan mencapai
kang ora ninggal lanjaran”
kesuksesan. Karena
(menyadari secara benar-
hal inilah yang tidak
benar jatidiri seperti
boleh dilupakan.
kacang lanjaran atau
Keberhasilan apapun
kacang panjang.
yang diperoleh jangan
Menyadari secara
melunturkan nilai
berkepanjangan kesadaran
tradisi dan budaya-
56
kita terhadap apa yang
budaya yang ada,
kita punyai).
justru nilai-nilai ini
“Marang bumi seng
yang harus tetap
nglahirake dewe tansah
dibawa dan
kelingan” (Diri kita adalah memperkaya dan
cerminan darimana kita
memperkuat diri kita,
dilahirkan, dan itulah yang dan inilah yang
seharusnya tercermin
merupakan sebuah
didalam diri kita).
kebijaksanaan yang
halus.
BAIT SEMBILAN
DENOTASI
“Ing ngarso sung Yang didepan
KONOTASI
“Ing ngarso sung tuladha”
MITOS
Pesan yang bisa
tuladha
(Pemimpin harus tau
penulis ambil dari
caranya bersikap dan
mitos lirik bait
Ing
memberi contoh, yang
madya ditengah meberi
mangunkarsa
dorongan, yang
bertindak sehingga
kesembilan ini adalah
Tut Wuri Handayani
dibelakang memberi
mampu menuntun dengan
bahwa kesatuan
Holopis kuntul baris semangat. Ayo bekerja baik dan dengan hal-hal
adalah hal yang
ayo dadi siji”
mendasar untuk
bersama-sama.
yanag positif).
“Ing madya mangunkarsa” mempunyai satu suara
(Pada lapisan ini adanya
dan satu tujuan demi
sebuah tindakan yang
mencapai cita-cita
memberikan dukungan
yang mulia, dan
dari yang dilakukan oleh
ketulusan yang akan
pemimpin).
membawa untuk
“Tut wuri Handayani,
semua elemen yang
Holopis kontol baris ayo
ada untuk
dadi siji”. (Sebagai
mengerjakan bagianya
masyarakat melihat dan
masing-masing
melakukan apa yang
(Pemimpin memberi
diberikan oleh pemimpin,
contoh, rakyat
57
dalam hal ini sifatnya
memberi semangat
bukan pasif tapi aktif dan
dan dukungan, dan
ikut serta dalam sebuah
dukungan itu bisa
sistim yang berjalan).
mereka kerjakan
dalam bentuk apapun.
Seperti JHF mereka
meberikan dukungan
dari karya-karya yang
diciptakan.) sebagai
kumpulan usahausaha yang akan
bersinergi yang akan
mencapai
keberhasilan.
Dalam penelitian ini penulis juga akan melihat dan menggunakan pendapat dan
sudut pandang orang lain untuk membuat hasil dari penelitian penulis menjadi lebih
terpercaya informasinya, dengan cara dibandingkan dan diperiksa kembali melalui
wawancara yang penulis lakukan.
1. Bapak Ndaru (Dekan Fiskom UKSW): Keistimewaan Jogjakarta karena memang
dari unsur sejarahnya. Sejak dulu sebelum NKRI berdiri, Jogjakarta adalah sebuah
Negeri (Ngayogyakarta Hadidiningrat). Jogjakarta mempunyai kekuatan politis
yang besar untuk Indonesia, kekauatan ini dimulai ketika Jogjakarta masuk dan
bergabung kedalam NKRI sebagai sebuah Negara sendiri, atau daerah Istimewa.
Munculah UUD 45 tentang Keistimewaan. Hal ini yang membawa dampak yang
besar sehingga Indonesia mendapatkan pengakuan Internasional. Berpindahnya
Ibu kota ke Jogja pada tahun 1948 mebuat Jogja berperan dan mempunyai andil
yang besar untuk mempertahankan eksistensi NKRI sendiri.
2.
Bapak Fajar Junaidi (Dosen Universitas Muhamad Diyah Jogjakarta):
Keistimewaaan Jogja tidak terlepas dari sejarah. Munculnya Amanat 5 september
1945, yang berisi tetntang kerelaan Sultan dan Paku Alam untuk bergabung
58
dengan NKRI adalah fakta sejarah tersendiri. Kemudian Simbol dari Keraton
sendiri, dimana Keraton sangat memberi manfaat bagi masyarakat. keraton
sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sampe sekarang. Keraton sebuah
Interaksi simbolik (lambang Jogja di Dokar, mobil, motor, baju, dan aksara-aksara
Jawa yang masih dipertahankan) merupakan gamabaran Interaksi simbolik terjadi
di kota ini, ada rasa memiliki yang dipunyai oleh masyarakat Jogja. Keraton
sendiri juga menyatukan orang Jogja, keraton adalah rumah. Luis althuser,
Ideologi bekerja dari pemanggilan, Keraton simbol dari pemanggilan, memanggil
Keistimewaan orang Jogja untuk mempertahankanya pada saat Keistimewaan ini
diusik oleh Pemerintah pusat. Hal ini menunjukan bahwa Keraton merupakan
suatu hal yang mulia bagi mereka warga Jogjakarta.
3. Empu Sungkowo (Budayawan dan Seniman): Dijaman sekarang ini secara
perlahan buday-budaya lokal, khususnya budaya-budaya dan seni-seni tradisi
mulai hilang terkikis oleh globalisasi. Kemudian juga nilai-nilai budi pekerti
dikalangan anak muda juga mulai dilupakan, (inilah fakta yang saya lihat).
Dengan munculnya RUU untuk keistimewaan ini, bagi saya makna Keistimewaan
itu sendiri adalah “Bangkit”. Dalam hal ini adalah perbaikan dan budaya-budaya
yang dulu sudah hilang mulai digali dan dihidupkan kembali, beserta nilai-nilai
tata karma dan budi pekerti, karena hal ini menunjukan jatidiri kita sebenarnya.
Sekarang pihak pemerintah juga sedang mencanangkan program ini, namun hal
ini akan menjadi tanggung jawab kita bersama. Karena dengan pembangkitan
kembali maka makna Keistimewaan itu sendiri akan sangat terasa esensinya.
59
Tabel 5.2 Tabulasi
MITOS
Pak Ndaru
Pak Fajar
Empu Sungkowo
Ada empat
Kekuatan Politik
Keistimewaan bisa
Pembangkitan
keistimewaan yang
yang diberikan
kita lihat dari
budaya-budaya
penulis temukan
Jogja mempunyai
sejarah Jogja yang
daerah atau lokal
disini (Bermoral,
dampak yang besar
diberikan untuk
yang mulai terkikis
Satu visi dan misi,
bagi Indonesia, dan
Indonesia. Warga
adalah untuk
Kebersamaan yang
adanya Pengakuan
mempunyai rasa
mengingatkan kita.
tiada batasnya,
Internasional.
memiliki terhadap
Pembangkitan
Jogjakarta.
kembali adalah
Mencintai tanah
airnya. Ini merujuk
jalan untuk
pada satu
menemukan esensi
“Keisstimewaan”,
dari Keistimewaan
yaitu Keistimewaan
ini sendiri.
yang menuntun
60
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang
dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek
penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi
semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap
komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda.
Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku
dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks
dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis,
tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang
publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi
mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah
daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya
pembaca.
Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri
mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau
grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan
gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang
diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran
syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990: 528) lirik lagu adalah karya puisi
yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata.
Salah satu unsur dalam puisi adalah bait, dan bait juga terkandung dalam lirik atau syair
dari lagu. Bait adalah barisan kalimat yang jumlahnya bisa empat atau lebih dari sebuah
bait. Diatur dan diulang-ulang seperti yang direncanakan jumlah baitnya, meter, rima dan
mebentuk divisi matrik puisi yang diulang secara berkala (Delbrige, 1706:1991).
39
Disini penulis akan melakukan poses pembaitan untuk syair atau lirik lagu “Jogja
Istimewa” ini. Pembaitan adalah proses cara, pembuatan membagi atas bait-bait, salah
satu hal penting dalam penulisan puisi (Sugono, Dendy, 118:2011). Dalam hal ini penulis
akan melakukan pembaitan pada syair dan lirik lagu “Jogja Istimewa”, setelah itu penulis
akan mengambil gambar-gamabar dari video klip ini yang memvisualkan lirik atau syair
dalam lagu yang akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes,
Teori roland Barthes adalah teori yang digunakan untuk meneliti video klip“Jogja
Istimewa” ini. Barthes melihat bahwa tanda-tanda yang ada dan tersusun dalam suatu
wacana adalah natural dan netral. Secara halus tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan
makna konotasi, dimana dari pijakan konotasi ini kita bisa melihat sebuah ideologi atau
pesan yang terkandung dalam mitos. Untuk mencari pesan atau ideology Barthes
mengungkapkan ada dua tahapan yang dilalui, yaitu tahapan denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah makna yang sebenarnya dimana makan yang langsung diketahui.
Konotatif adalah makna yang terlihat ketika membongkar tanda-tanda netral dan
memaparkanya
sebagai
perangkat
ideologis
(Barthes,
2004:155-164).
Dengan
menggunakan framing dan dianalisis dengan teori Roland Barthes ini, penulis akan
meneliti vido “Jogja Istimewa”. Dimana penulis ingin mencari pesan atau Ideologi yang
ada dalam kata “Jogja Istimewa” selain sejarah dari kota Jogja sendiri.
5.1 Bait Satu Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik : Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
DENOTASI: “Holopis kontol baris, holopi kontol baris, holopis kontol baris.”
KONOTASI: Makna konotasi dari istilah ”Holopis kontol Baris ini adalah”,
merupakan kata-kata yang mempunyai arti merupakan ajakan untuk bekerja
bersama-sama. Kata “kontol” dalam budaya Jawa mempunyai arti berjalan
bersama-sama. “Holopis kontol baris” sendiri merupakan filosofi tradisional jawa
ini merupakan suatu pandangan hidup dalam bekerja ataupun melakukan kegiatan.
40
Sujamto (Clifford Geerts, 1973:126). “Setiap kebudayaan itu selalu mempunyai
dua aspek pokok, yaitu “ethos”, yang merupakan aspek moral dan estetik, serta
aspek pandangan hidup world view, yang merupakan aspek kognitif dan
eksisitensial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “etos” adalah pandangan
moral suatu masyarakat atau kelompok manusia”. Istilah “Holopis kontol baris”
ini adalah yang menjadi etos atau pandangan moral orang jawa dalam bekerja.
Pandangan hidup ini yang dipegang oleh masyarakat jawa dalam bekerja dan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semakin derasnya arus globalisasi membuat
orang semakin individual dan pandangan hidup ini mempunyai makna yang
positif dan mengandung pesan yang relevan untuk keadaan saat ini.
MITOS: Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong
royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan
kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan sikap saling
memerhatikan dan peduli terhadap sesama akan terbentuk. Perbedaan status sosial
tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup
kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong,
kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam kehidupan masyarakat jawa.
Masyarakat mencintai dan peduli sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam
interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada pemanggilan yang terjadi
disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.
5.2 Bait Dua Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Istimewa Negrinya Istimewa Orangya
Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Jogja Istimewa untuk Indonesia
Konotasi: “Jogja! Jogja! tetap Istimewa” (mempunyai entitas Negeri tersendiri,
karena daerah Istimewa yang disandang oleh Jogja sejak jaman penjajahan,
41
dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini menunjukan daerah
Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).
“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana
Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang feodalisme, namun
masyarakatnya melihat makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk
pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya melestarikan itu
untuk menjadi indah.
“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan
membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta. Pluralisme yang
tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya
untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia.
Mitos: Keistimewaan Yogyakarta adalah adanya pengahargaan dan rasa
penghormatan mereka yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat
yang berasal dari luar Yogyakarta. Penghargaan dan rasa penghormatan mereka
ditunjukan dengan mereka hidup berdampingan kepada masyarakat pendatang
dan
hal
inilah
yang
membuat
masyarakat
yang
ada
Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal
menjadi
kuat.
yang mendapat
penghormatan dan dihargai di Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada
didalam keistmewaan Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang
memberikan Keistimewaan ini.
5.3 Bait Tiga Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta
Nagari paling penak rasane koyo swarga
Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi peni lan merdika”
Denotasi: Pada bait ketiga ini lirik yang dipakai adalah bahasa Jawa Yogyakarta
dan
dalam bahasa Indonesia lirik ini berbunyi: “Dengarlah ini suara dari
Yogyakarta, Negeri paling enak rasanya seperti surga, tidak peduli dunia jadi
neraka, disini kami selalu nyaman dan merdeka”.
42
Konotasi: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta ( dengarlah ini
suara
panggilan yang berasal dari Jogja).
“Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada dibumi).
“Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli
kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah
keindahan dan kebebasan kami).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari bait ketiga ini, bahwa ada kecintaan
dari suara-suara Jogjakarta terhadap Jogjakarta, dimana mereka menganggap
bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada
kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan
kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai
rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka melakukanya disini dirumah
mereka sendiri, Jogjakarta.
5.4 Bait Empat Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat
Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat
Demikianlah Singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat
Memayu Hayuning Bawana” (Denotasi makna).
Konotasi: “Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah,
dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan dikembalikan lagi dan diberikan
lagi kebawah).
“Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat
dirinya sendiri dengan alat ukurnya adalah pangkal perasaan dan batin rakyat).
“Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan
serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).
“Memayu Hayuning Bawana” (Melayani rakyat).
43
Mitos: Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah Pemerintahan
yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan memperjuangkan suara dan cita-cita dari
rakyat. Pemerintahan yang melihat dan lahir dari rakyat dan untuk rakyat terbuka
dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah pemerintahan yang bermoral,
dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan
dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua
elemenya atau satu cita-cita.
5.5 Bait Lima pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng prajurit lan Senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”
Denotasi: Arti lirik diatas dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik
pukul) sudah ditabuh, seruling sudah berbunyi, bersatu padu menjadi satu,
bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati
rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat
dan raja menjadi satu.
Konotasi: “Tambur wis ditabuh suling wis muni (menggambarkan suasana yang
riang, sukacita).
“Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk
menjadi satu bersama Negeri dan tentara).
“Mukti atau mati manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan,
dan keadaan apapun Raja dan rakyat tak akan terpisahkan).
Mitos: Pesan yang ingin disampaiakan pada bait kelima ini adalah bahwa tidak
adanya perbedaan dalam sistim pemerintahan dan kehidupan mereka, semua
kalangan adalah pejuang-pejuang Jogja, yang mempunyai bagianya masing44
masing dalam menjaga dan melindungi ketenangan, kenyamanan, dan keindahan
Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama
dalam menjalani kehidupan dan menghadapai tantangan yang ada.
5.6 Bait Enam pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan
Denotasi: Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini
adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya
Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang
tanpa ngasorake”.
Konotasi: “Menyerang tanpa Pasukan” (Menyerang menggunakan taktik, simpati
dan diplomatik).
“Menang tanpa merendahkan” (Menang tanpa kesombongan).
“Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra).
“Kekayaan tanpa Kemewahan” (Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan
harganya).
Mitos: Cara penyelesaian masalah bukan melalui kekerasan dan peperangan,
namun menggunakan taktik, diplomasi, demokrasi, simpati dan sikap rendah hati.
Hal ini yang akan memunculkan ketenangan untuk menghadapi masalah yang
ada, sehingga mampu menciptkan suasana Jogja yang elegan, dan sifat elegan
yang tidak diperlihatkan adalah cara untuk tetap menghargai dan merangkul orang
lain.
45
5.7 Bait Tuju pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik : “Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup ditengah modernisasi
Rakyate jajah deso milangkori
Nyebarke seni lan budi pekerti
Denotasi: Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah ”Tenang bagai ombak
gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya
berkelana kemana-mana, menyebarkan seni dan budi pekerti.
Konotasi: “Tenang bagai ombak laksana merapi” (Mempunyai keinginan besar,
namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya).
“Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup
ditengah globalisasi).
“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemanamana).
“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa
dari tanah Jogja).
Mitos: Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi
dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat Yogyakarta, namun
tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang
mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian
nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun modernisasi dan globalisasi terus
berjalan, pelestarian nilai taradisi dan budaya juga akan terus berjalan sebagai
keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang menunjukan
diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.
5.8 Bait Delapan pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga
Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa
46
Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”
Denotasi: Ingatlah sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setingginya kita
belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah kodratnya.
Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita
dilahirkan dan dibesarkan.
Konotasi: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga”
(Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton
yang kesembilan)
“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah
hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita.
“Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar
jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara
berkepanjangan kesadaran kita terhadap apa yang kita punyai).
“Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan
darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita).
Mitos: Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam
mitos bahwa seharusnya kita bisa menghargai, menjaga dan melindungi nilai-nilai
tradisi dan budaya yang ada dimanapun kita berada, dan seperti apapun diri kita
menjadi dan mencapai kesuksesan. Karena hal inilah yang tidak boleh dilupakan.
Keberhasilan apapun yang diperoleh jangan melunturkan nilai tradisi dan budayabudaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya
dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah kebijaksanaan yang
halus.
5.9 Bait Sembilan pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangunkarsa
Tut Wuri Handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji”
47
Denotasi: Yang didepan memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang
dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.
Konotasi: “Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan
bertindak sehingga mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag
positif).
“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang
memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).
“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat
melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin, dalam hal ini sifatnya
bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari mitos lirik bait kesembilan ini adalah
bahwa kesatuan adalah hal yang mendasar untuk mempunyai satu suara dan satu
tujuan demi mencapai cita-cita yang mulia, dan ketulusan yang akan membawa
untuk semua elemen yang ada untuk mengerjakan bagianya masing-masing
(Pemimpin memberi contoh, rakyat memberi semangat dan dukungan, dan
dukungan itu bisa mereka kerjakan dalam bentuk apapun. Seperti JHF mereka
meberikan dukungan dari karya-karya yang diciptakan.) sebagai kumpulan usahausaha yang akan bersinergi yang akan mencapai keberhasilan.
48
Tabel 5.1 Denotasi, Konotasi, Mitos
Lirik
Bait Satu
Denotasi
Lirik disamping juga
Konotasi
Makna konotasi dari
“Holopis Kontol Baris menjadi tanda denotasi istilah ”Holopis kontol
Mitos
Orang Jawa suka
kebersamaan, karena
Baris ini adalah”,
dengan kebersamaan
Holopis Kontol Baris yang juga menjadi
merupakan kata-kata yang
dan gotong royong
Holopis Kontol Baris”
pijakan sekaligus
mempunyai arti
akan memupuk dan
penanda dan petanda
merupakan ajakan untuk
memunculkan rasa
untuk masuk dalam
bekerja bersama-sama.
persaudaraan. Dengan
tataran konotasi
Kata “kontol” dalam
kebersamaan dan
budaya Jawa mempunyai
gotong royong rasa
arti berjalan bersama-
persauadaraan dan
sama. “Holopis kontol
sikap saling
baris” sendiri merupakan
memerhatikan dan
filosofi tradisional jawa
peduli terhadap
ini merupakan suatu
sesama akan
pandangan hidup dalam
terbentuk. Perbedaan
bekerja ataupun
status sosial tidak ada
melakukan kegiatan.
dan trjadi disini. Hal
Holopis Kontol Baris
pada bait satu ini,
ini menunjukan
langsung ciri utama
hidup kemasyarakatan
orang jawa yang
terkenal dengan
semangat gotong
royong, kebersamaan
dan keakraban yang
tampak dalam
kehidupan masyarakat
jawa. Masyarakat
mencintai dan peduli
49
sesamanya (“asih ing
sesami”). Dalam
interpretasi penulis
tidak berhenti disini,
bahwa ada
pemanggilan yang
terjadi disini untuk
warga Jogjakarta
dalam menyelamatkan
Keistimewaan Jogja.
BAIT DUA
Jogja! Jogja! Tetap
DENOTASI
Lirik disamping juga
Istimewa Istimewa
menjadi tanda denotasi Istimewa” (mempunyai
Negrinya Istimewa
pada bait dua ini, yang
entitas Negeri tersendiri,
adanya pengahargaan
Orangya
juga menjadi pijakan
karena daerah Istimewa
dan rasa
Jogja! Jogja! Tetap
sekaligus penanda dan
yang disandang oleh Jogja
penghormatan mereka
IstimewaJogja
petanda untuk masuk
sejak jaman penjajahan,
yang diberikan oleh
Istimewa untuk
dalam tataran konotasi
dimana pada saat itu
masyarakat pendatang
adalah daerah Swapraja.
atau masyarakat yang
Istimewa disini
berasal dari luar
menunjukan daerah Jogja
Yogyakarta.
merupakan sebuah Negeri
Penghargaan dan rasa
yang Istimewa).
penghormatan mereka
“Istimewa orangnya,
ditunjukan dengan
Istimewa Negerinya” (ada
mereka hidup
keunikan didalam Jogja
berdampingan kepada
dimana Keraton yang
masyarakat pendatang
membawa sisa gambaran
dan hal inilah yang
pemerintahan yang
membuat masyarakat
feodalisme, namun
yang ada menjadi
Indonesia.
KONOTASI
“Jogja! Jogja! tetap
MITOS
Keistimewaan
Yogyakarta adalah
50
masyarakatnya melihat
kuat.
makna sebuah feodalisme
Keanekaragaman
adalah pemberian untuk
masyarakat dan
pelestarian dengan cara
budaya menjadi hal
yang berbeda, dimana
yang mendapat
masyarakatnya
penghormatan dan
melestarikan itu untuk
dihargai di
menjadi indah.
Yogyakarta, dan hal
“Jogja Istimewa untuk
ini menjadi kekayaan
Indonesia” (terbangun
yang ada didalam
masyarakat yang beragam
keistmewaan
dan membangun sebuah
Yogyakarta, dan dari
pluralisme yang melekat
masyarakat asli Jogja
pada Jogjakarta.
sendiri yang
Pluralisme yang tumbuh
memberikan
dan terbangun menjadi
Keistimewaan ini.
ciri untuk keistimewaan
Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran
Indonesia, bahwa Jogja
melakaukan ini tidak
hanya untuk dirinya tapi
juga untuk Indonesia
BAIT TIGA
DENOTASI
“Rungokno iki gatra Pada bait ketiga ini
KONOTASI
“Rungokno iki gatra soko
MITOS
Pesan yang bisa
soko ngaYogyakarta
ngaYogyakarta (dengarlah
penulis ambil dari bait
Nagari paling penak adalah bahasa Jawa
ini suara panggilan yang
ketiga ini, bahwa ada
rasane koyo swarga
berasal dari Jogja).
kecintaan dari suara-
Ora peduli donya dadi dalam bahasa
“Nagari palling enak
suara Jogjakarta
neraka
rasane koyo swarga”
terhadap Jogjakarta,
(salah satu surga yang ada
dimana mereka
lirik yang dipakai
Yogyakarta dan
Indonesia lirik ini
Neng kene tansah edi berbunyi: “Dengarlah
51
peni lan merdika”
ini suara dari
dibumi).
menganggap bahwa
Yogyakarta, Negeri
“Ora peduli donya dadi
Jogjakarta adalah
paling enak rasanya
neraka, Neng kene tansah
tempat yang paling
seperti surga, tidak
edi lan merdeka” (tidak
nyaman dan Indah
peduli dunia jadi
peduli kehidupan diluar
dan ada kebahagiaan
neraka, disini kami
sana menjadi tempat yang
yang mereka rasakan
selalu nyaman dan
jahat, karena dan di
terhadap Jogja. Ada
merdeka”.
tempat ini adalah
kebebasan dan
keindahan dan kebebasan
kebahagiaan dalam
kami).
menyuarakan aspirasiaspirasi yang mereka
tunjukan sebagai rasa
memiliki mereka
terhadap surge ini,
dan mereka
melakukanya disini
dirumah mereka
sendiri, Jogjakarta.
BAIT EMPAT
“Tanah lahirkan
DENOTASI
Lirik disamping juga
KONOTASI
“Tanah lahirkan tahta,
MITOS
Bahwa Pemerintahan
Tahta, Tahta untuk
menjadi tanda denotasi tahta untuk rakyat” (Tahta
yang hebat atau yang
rakyat
pada bait tiga ini, yang dilahirkan dari tanah, dari
indah adalah
Dimana Rajanya
juga menjadi pijakan
bawah. Tahta yang lahir
Pemerintahan yang
bercerrmin di kalbu
sekaligus penanda dan
dari bawah akan
berdiri untuk rakyat,
rakyat
petanda untuk masuk
dikembalikan lagi dan
mengerti dan
Demikianlah
dalam tataran konotasi
diberikan lagi kebawah).
memperjuangkan
Singgasana
“Dimana Rajanya
suara dan cita-cita
bermartabat
bercermin di kalbu
dari rakyat.
Berdiri kokoh untuk
rakyat” (Seorang
Pemerintahan yang
mengayomi rakyat
pemimpin yang melihat
melihat dan lahir dari
Memayu Hayuning
dirinya sendiri dengan alat
rakyat dan untuk
52
Bawana”
ukurnya adalah pangkal
rakyat terbuka dan
perasaan dan batin
bersih erta suci.
rakyat).
Pemerintahan seperti
“Berdiri kokoh untuk
ini adalah
mengayomi rakyat”
pemerintahan yang
(Berdiri dengan kuat tahan bermoral, dengan
dengan serangan untuk
adanya Pemerintahan
mengerti dan melayani
yang bermoral, maka
rakyat).
akan membuat
“Memayu Hayuning
Pemerintahan dan
Bawana” (Melayani
rakyatnya menjadi
rakyat).
indah, dimana ada
kesatuan visi dan misi
dari semua elemenya
atau satu cita-cita.
BAIT LIMA
DENOTASI
“Tambur wis ditabuh dalam bahasa
KONOTASI
“Tambur wis ditabuh
MITOS
Pesan yang ingin
suling wis muni
suling wis muni
disampaiakan pada
Holopis kuntul baris tambur (alat musik
(menggambarkan suasana
bait kelima ini adalah
ayo dadi siji
yang riang, sukacita).
bahwa tidak adanya
“Holopis kontol baris,
perbedaan dalam
Bareng
prajurit
Indonesianya adalah
pukul) sudah ditabuh,
lan seruling sudah
Senopati
berbunyi, bersatu padu Bareng Prajurit lan
sistim pemerintahan
Mukti utawa mati
menjadi satu, bersama
Senapati” (Ada panggilan,
dan kehidupan
manunggal kawula
prajurit dan Senopati
ajakan untuk menjadi satu
mereka, semua
gusti”
(sebutan untuk tentara
bersama Negeri dan
kalangan adalah
Keraton), mulia atau
tentara).
pejuang-pejuang
mati rakyat dan Raja
“Mukti atau mati
Jogja, yang
adalah satu. Musik
manunggal kawula Gusti”
mempunyai bagianya
sudah dimainkan,
(Dalam kemenangan dan
masing-masing dalam
saatnya semua
kekalahan, dan keadaan
menjaga dan
masyarakat dan raja
apapun Raja dan rakyat
melindungi
53
menjadi satu.
tak akan terpisahkan).
ketenangan,
kenyamanan, dan
keindahan Jogja,
sebagai upaya
dukungan mereka
untuk Jogja. Antara
rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja
semua adalah satu
kesatuan, semua
melebur bersamasama dalam menjalani
kehidupan dan
menghadapai
tantangan yang ada. .
BAIT ENAM
DENOTASI
“Menyerang tanpa
Lirik diatas adalah
pasukan
juga menjadi makna
Menang
tanpa
denotasi pada bait ini.
merendahkan
Lirik ini adalah
Kesaktian tanpa ajian
merupakan revolusi
Kekayaan
tanpa
dari filosofi yang
kemewahan
diciptakan oleh Ki
KONOTASI
“Menyerang tanpa
MITOS
Cara penyelesaian
Pasukan” (Menyerang
masalah bukan
menggunakan taktik,
melalui kekerasan dan
simpati dan diplomatik).
peperangan, namun
“Menang tanpa
menggunakan taktik,
merendahkan” (Menang
diplomasi, demokrasi,
tanpa kesombongan).
simpati dan sikap
Ageng Surya Mataram
“Kesaktian tanpa ajian”
rendah hati. Hal ini
“Sugih tanpa bondo,
(Kehebatan yang tidak
yang akan
digdoyo tanpa aji,
terlihat tanpa mantra).
memunculkan
ngluruk tanpa bolo,
“Kekayaan tanpa
ketenangan untuk
menang tanpa
Kemewahan”
menghadapi masalah
ngasorake”.
(Kemakmuran yang tidak
yang ada, sehingga
ditunjukan nilai dan
mampu menciptkan
harganya).
suasana Jogja yang
54
elegan, dan sifat
elegan yang tidak
diperlihatkan adalah
cara untuk tetap
menghargai dan
merangkul orang lain
BAIT TUJU
“Tenang bagai ombak
DENOTASI
Dalam bahasa
KONOTASI
“Tenang bagai ombak
MITOS
Mitos yang penulis
gemuruh laksana
Indonesia lirik ini
laksana merapi”
ambil dari lirik pada
merapi
artinya adalah
(Mempunyai keinginan
bait ketuju bahwa
Tradisi hidup ditengah
”Tenang bagai ombak
besar, namun bisa
modernisasi dan
modernisasi
gemuruh laksana
menjaga dan menahan.
globalisasi disikapi
Rakyate jajah deso
merapi, Tradisi hidup
Ada waktunya untuk
dengan terbuka oleh
milangkori
ditengah modernisasi,
menggunakanya).
masyarakat
Nyebarke seni lan
rakyatnya berkelana
“Tradisi hidup detengah
Yogyakarta, namun
budi pekerti
kemana-mana,
modernisasi” (Kearifan
tradisi dan budaya
menyebarkan seni dan
lokal yang yang terus
yang mereka punyai
budi pekerti.
hidup ditengah
adalah kebanggan dan
globalisasi).
harta yang yang
“Rakyate jajah deso
mahal. Dimana
milangkori” (Rakyat yang
apresiasi ini mereka
berkelana, menyebar
lakuakan dengan
kemana-mana).
penanaman dan
“Nyebarke seni lan budi
pelestarian nilai-nilai
pekerti” (Menyebarkan
tradisi dan budaya.
hal-hal yang positif yang
Walaupun
dibawa dari tanah Jogja).
modernisasi dan
globalisasi terus
berjalan, pelestarian
nilai taradisi dan
budaya juga akan
55
terus berjalan sebagai
keinginan memiliki
yang kuat dari
mereka. Karena hal
inilah yang
menunjukan diri
mereka sebenarnya di
jaman modernisasi
ini.
BAIT DELAPAN
“Elingo sabdane Sri
Sultan
Hamengkubuwono
kaping sanga
Sakduwur-duwure
sinau dewe tetep wong
Jawa
Diumpamake kacang
kang ora ninggal
lanjaran
Marang bumi seng
nglahirake dewe
tansah kelingan”
DENOTASI
Ingatlah sabdane Sri
KONOTASI
“Elingo sabdane Sri
MITOS
Dari lirik bait
Sultan
Sultan Hamengkubuwono
kedelapan, penulis
Hamengkubuwono IX, kaping sanga” (Peganglah
mengambil pesan
setingginya kita
dan maknailah dalam
yang ada didalam
belajar dan berilmu,
hidup tentang pesan dari
mitos bahwa
kita adalah tetap orang
pemimpin Keraton yang
seharusnya kita bisa
Jawa, itu sudah
kesembilan)
menghargai, menjaga
kodratnya.
“Sakduwur-duwure sinau
dan melindungi nilai-
Diumpamakan kacang
dewe tetep wong Jawa”
nilai tradisi dan
tidak lupa kulitnya,
(Ilmu dan pengetahuan
budaya yang ada
jangan melupakan
adalah hikmat untuk
dimanapun kita
tempat dimana kita
memperkaya dan juga
berada, dan seperti
dilahirkan dan
memperkuat diri kita.
apapun diri kita
dibesarkan.
“Diumpamake kacang
menjadi dan mencapai
kang ora ninggal lanjaran”
kesuksesan. Karena
(menyadari secara benar-
hal inilah yang tidak
benar jatidiri seperti
boleh dilupakan.
kacang lanjaran atau
Keberhasilan apapun
kacang panjang.
yang diperoleh jangan
Menyadari secara
melunturkan nilai
berkepanjangan kesadaran
tradisi dan budaya-
56
kita terhadap apa yang
budaya yang ada,
kita punyai).
justru nilai-nilai ini
“Marang bumi seng
yang harus tetap
nglahirake dewe tansah
dibawa dan
kelingan” (Diri kita adalah memperkaya dan
cerminan darimana kita
memperkuat diri kita,
dilahirkan, dan itulah yang dan inilah yang
seharusnya tercermin
merupakan sebuah
didalam diri kita).
kebijaksanaan yang
halus.
BAIT SEMBILAN
DENOTASI
“Ing ngarso sung Yang didepan
KONOTASI
“Ing ngarso sung tuladha”
MITOS
Pesan yang bisa
tuladha
(Pemimpin harus tau
penulis ambil dari
caranya bersikap dan
mitos lirik bait
Ing
memberi contoh, yang
madya ditengah meberi
mangunkarsa
dorongan, yang
bertindak sehingga
kesembilan ini adalah
Tut Wuri Handayani
dibelakang memberi
mampu menuntun dengan
bahwa kesatuan
Holopis kuntul baris semangat. Ayo bekerja baik dan dengan hal-hal
adalah hal yang
ayo dadi siji”
mendasar untuk
bersama-sama.
yanag positif).
“Ing madya mangunkarsa” mempunyai satu suara
(Pada lapisan ini adanya
dan satu tujuan demi
sebuah tindakan yang
mencapai cita-cita
memberikan dukungan
yang mulia, dan
dari yang dilakukan oleh
ketulusan yang akan
pemimpin).
membawa untuk
“Tut wuri Handayani,
semua elemen yang
Holopis kontol baris ayo
ada untuk
dadi siji”. (Sebagai
mengerjakan bagianya
masyarakat melihat dan
masing-masing
melakukan apa yang
(Pemimpin memberi
diberikan oleh pemimpin,
contoh, rakyat
57
dalam hal ini sifatnya
memberi semangat
bukan pasif tapi aktif dan
dan dukungan, dan
ikut serta dalam sebuah
dukungan itu bisa
sistim yang berjalan).
mereka kerjakan
dalam bentuk apapun.
Seperti JHF mereka
meberikan dukungan
dari karya-karya yang
diciptakan.) sebagai
kumpulan usahausaha yang akan
bersinergi yang akan
mencapai
keberhasilan.
Dalam penelitian ini penulis juga akan melihat dan menggunakan pendapat dan
sudut pandang orang lain untuk membuat hasil dari penelitian penulis menjadi lebih
terpercaya informasinya, dengan cara dibandingkan dan diperiksa kembali melalui
wawancara yang penulis lakukan.
1. Bapak Ndaru (Dekan Fiskom UKSW): Keistimewaan Jogjakarta karena memang
dari unsur sejarahnya. Sejak dulu sebelum NKRI berdiri, Jogjakarta adalah sebuah
Negeri (Ngayogyakarta Hadidiningrat). Jogjakarta mempunyai kekuatan politis
yang besar untuk Indonesia, kekauatan ini dimulai ketika Jogjakarta masuk dan
bergabung kedalam NKRI sebagai sebuah Negara sendiri, atau daerah Istimewa.
Munculah UUD 45 tentang Keistimewaan. Hal ini yang membawa dampak yang
besar sehingga Indonesia mendapatkan pengakuan Internasional. Berpindahnya
Ibu kota ke Jogja pada tahun 1948 mebuat Jogja berperan dan mempunyai andil
yang besar untuk mempertahankan eksistensi NKRI sendiri.
2.
Bapak Fajar Junaidi (Dosen Universitas Muhamad Diyah Jogjakarta):
Keistimewaaan Jogja tidak terlepas dari sejarah. Munculnya Amanat 5 september
1945, yang berisi tetntang kerelaan Sultan dan Paku Alam untuk bergabung
58
dengan NKRI adalah fakta sejarah tersendiri. Kemudian Simbol dari Keraton
sendiri, dimana Keraton sangat memberi manfaat bagi masyarakat. keraton
sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sampe sekarang. Keraton sebuah
Interaksi simbolik (lambang Jogja di Dokar, mobil, motor, baju, dan aksara-aksara
Jawa yang masih dipertahankan) merupakan gamabaran Interaksi simbolik terjadi
di kota ini, ada rasa memiliki yang dipunyai oleh masyarakat Jogja. Keraton
sendiri juga menyatukan orang Jogja, keraton adalah rumah. Luis althuser,
Ideologi bekerja dari pemanggilan, Keraton simbol dari pemanggilan, memanggil
Keistimewaan orang Jogja untuk mempertahankanya pada saat Keistimewaan ini
diusik oleh Pemerintah pusat. Hal ini menunjukan bahwa Keraton merupakan
suatu hal yang mulia bagi mereka warga Jogjakarta.
3. Empu Sungkowo (Budayawan dan Seniman): Dijaman sekarang ini secara
perlahan buday-budaya lokal, khususnya budaya-budaya dan seni-seni tradisi
mulai hilang terkikis oleh globalisasi. Kemudian juga nilai-nilai budi pekerti
dikalangan anak muda juga mulai dilupakan, (inilah fakta yang saya lihat).
Dengan munculnya RUU untuk keistimewaan ini, bagi saya makna Keistimewaan
itu sendiri adalah “Bangkit”. Dalam hal ini adalah perbaikan dan budaya-budaya
yang dulu sudah hilang mulai digali dan dihidupkan kembali, beserta nilai-nilai
tata karma dan budi pekerti, karena hal ini menunjukan jatidiri kita sebenarnya.
Sekarang pihak pemerintah juga sedang mencanangkan program ini, namun hal
ini akan menjadi tanggung jawab kita bersama. Karena dengan pembangkitan
kembali maka makna Keistimewaan itu sendiri akan sangat terasa esensinya.
59
Tabel 5.2 Tabulasi
MITOS
Pak Ndaru
Pak Fajar
Empu Sungkowo
Ada empat
Kekuatan Politik
Keistimewaan bisa
Pembangkitan
keistimewaan yang
yang diberikan
kita lihat dari
budaya-budaya
penulis temukan
Jogja mempunyai
sejarah Jogja yang
daerah atau lokal
disini (Bermoral,
dampak yang besar
diberikan untuk
yang mulai terkikis
Satu visi dan misi,
bagi Indonesia, dan
Indonesia. Warga
adalah untuk
Kebersamaan yang
adanya Pengakuan
mempunyai rasa
mengingatkan kita.
tiada batasnya,
Internasional.
memiliki terhadap
Pembangkitan
Jogjakarta.
kembali adalah
Mencintai tanah
airnya. Ini merujuk
jalan untuk
pada satu
menemukan esensi
“Keisstimewaan”,
dari Keistimewaan
yaitu Keistimewaan
ini sendiri.
yang menuntun
60