Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB V

BAB V
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang penelitian yang
dilakukan dan penelitian yang dilakukan berdasarkan analisis kulaitatif terhadap objek
penelitian. Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan semiotika, dan tradisi
semiotika tidak pernah menganggap adanya salah pemaknaan. Hal ini dikarenakan setiap
komunikan yang memaknai tanda mempunyai pengalaman budaya yang berbeda.
Menurut Agus Sudibyo, 2000:121 istilah kegagalan komunikasi tidak pernah berlaku
dalam tradisi semiotika, karena setiap orang mempunyai hak dan berhak memaknai teks
dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang dinamis,
tergantung dari frame budaya pembacanya. Pada saat sebuah teks (lagu) tersaji keruang
publik, maka video klip akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda tidak lagi
mempunyai hak untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki, dan disinilah
daerah produksi makna yang berbeda-beda timbul tergantung dari pengalaman budaya
pembaca.
Lagu adalah sebuah media yang mempunyai banyak fungsi, dalam lagu sendiri
mempunyai sebuah pesan yang terkandung didalamnya. Dari lagu seorang musisi atau
grup dengan gayanya merepresentasikan ideologi pembuat lagu (Epstein, 2004). Isi dan
gaya dalam musik dapat mencerminkan makna dan suasana yang ada dalam lagu yang
diciptakan. Syair lagu atau lirik dalam sebuah lagu adalah sebuah bahasa yang digunakan

untuk menyampaikan ide atau gagasan, dan hal inilah menjadi latar belakang kehadiran
syair atau lirik dalam sebuah lagu. Bahasa dalam lirik lagu sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan bahasa puisi, hal ini dikarenakan keduanya mengandung bahasa-bahasa kiasan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990: 528) lirik lagu adalah karya puisi
yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata.
Salah satu unsur dalam puisi adalah bait, dan bait juga terkandung dalam lirik atau syair
dari lagu. Bait adalah barisan kalimat yang jumlahnya bisa empat atau lebih dari sebuah
bait. Diatur dan diulang-ulang seperti yang direncanakan jumlah baitnya, meter, rima dan
mebentuk divisi matrik puisi yang diulang secara berkala (Delbrige, 1706:1991).

39

Disini penulis akan melakukan poses pembaitan untuk syair atau lirik lagu “Jogja
Istimewa” ini. Pembaitan adalah proses cara, pembuatan membagi atas bait-bait, salah
satu hal penting dalam penulisan puisi (Sugono, Dendy, 118:2011). Dalam hal ini penulis
akan melakukan pembaitan pada syair dan lirik lagu “Jogja Istimewa”, setelah itu penulis
akan mengambil gambar-gamabar dari video klip ini yang memvisualkan lirik atau syair
dalam lagu yang akan dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes,
Teori roland Barthes adalah teori yang digunakan untuk meneliti video klip“Jogja
Istimewa” ini. Barthes melihat bahwa tanda-tanda yang ada dan tersusun dalam suatu

wacana adalah natural dan netral. Secara halus tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan
makna konotasi, dimana dari pijakan konotasi ini kita bisa melihat sebuah ideologi atau
pesan yang terkandung dalam mitos. Untuk mencari pesan atau ideology Barthes
mengungkapkan ada dua tahapan yang dilalui, yaitu tahapan denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah makna yang sebenarnya dimana makan yang langsung diketahui.
Konotatif adalah makna yang terlihat ketika membongkar tanda-tanda netral dan
memaparkanya

sebagai

perangkat

ideologis

(Barthes,

2004:155-164).

Dengan


menggunakan framing dan dianalisis dengan teori Roland Barthes ini, penulis akan
meneliti vido “Jogja Istimewa”. Dimana penulis ingin mencari pesan atau Ideologi yang
ada dalam kata “Jogja Istimewa” selain sejarah dari kota Jogja sendiri.
5.1 Bait Satu Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik : Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris
Holopis Kontol Baris

DENOTASI: “Holopis kontol baris, holopi kontol baris, holopis kontol baris.”
KONOTASI: Makna konotasi dari istilah ”Holopis kontol Baris ini adalah”,
merupakan kata-kata yang mempunyai arti merupakan ajakan untuk bekerja
bersama-sama. Kata “kontol” dalam budaya Jawa mempunyai arti berjalan
bersama-sama. “Holopis kontol baris” sendiri merupakan filosofi tradisional jawa
ini merupakan suatu pandangan hidup dalam bekerja ataupun melakukan kegiatan.
40

Sujamto (Clifford Geerts, 1973:126). “Setiap kebudayaan itu selalu mempunyai
dua aspek pokok, yaitu “ethos”, yang merupakan aspek moral dan estetik, serta
aspek pandangan hidup world view, yang merupakan aspek kognitif dan

eksisitensial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “etos” adalah pandangan
moral suatu masyarakat atau kelompok manusia”. Istilah “Holopis kontol baris”
ini adalah yang menjadi etos atau pandangan moral orang jawa dalam bekerja.
Pandangan hidup ini yang dipegang oleh masyarakat jawa dalam bekerja dan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semakin derasnya arus globalisasi membuat
orang semakin individual dan pandangan hidup ini mempunyai makna yang
positif dan mengandung pesan yang relevan untuk keadaan saat ini.
MITOS: Orang Jawa suka kebersamaan, karena dengan kebersamaan dan gotong
royong akan memupuk dan memunculkan rasa persaudaraan. Dengan
kebersamaan dan gotong royong rasa persauadaraan dan sikap saling
memerhatikan dan peduli terhadap sesama akan terbentuk. Perbedaan status sosial
tidak ada dan trjadi disini. Hal ini menunjukan langsung ciri utama hidup
kemasyarakatan orang jawa yang terkenal dengan semangat gotong royong,
kebersamaan dan keakraban yang tampak dalam kehidupan masyarakat jawa.
Masyarakat mencintai dan peduli sesamanya (“asih ing sesami”). Dalam
interpretasi penulis tidak berhenti disini, bahwa ada pemanggilan yang terjadi
disini untuk warga Jogjakarta dalam menyelamatkan Keistimewaan Jogja.

5.2 Bait Dua Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: Jogja! Jogja! Tetap Istimewa

Istimewa Negrinya Istimewa Orangya
Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Jogja Istimewa untuk Indonesia
Konotasi: “Jogja! Jogja! tetap Istimewa” (mempunyai entitas Negeri tersendiri,
karena daerah Istimewa yang disandang oleh Jogja sejak jaman penjajahan,
41

dimana pada saat itu adalah daerah Swapraja. Istimewa disini menunjukan daerah
Jogja merupakan sebuah Negeri yang Istimewa).
“Istimewa orangnya, Istimewa Negerinya” (ada keunikan didalam Jogja dimana
Keraton yang membawa sisa gambaran pemerintahan yang feodalisme, namun
masyarakatnya melihat makna sebuah feodalisme adalah pemberian untuk
pelestarian dengan cara yang berbeda, dimana masyarakatnya melestarikan itu
untuk menjadi indah.
“Jogja Istimewa untuk Indonesia” (terbangun masyarakat yang beragam dan
membangun sebuah pluralisme yang melekat pada Jogjakarta. Pluralisme yang
tumbuh dan terbangun menjadi ciri untuk keistimewaan Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran Indonesia, bahwa Jogja melakaukan ini tidak hanya
untuk dirinya tapi juga untuk Indonesia.
Mitos: Keistimewaan Yogyakarta adalah adanya pengahargaan dan rasa

penghormatan mereka yang diberikan oleh masyarakat pendatang atau masyarakat
yang berasal dari luar Yogyakarta. Penghargaan dan rasa penghormatan mereka
ditunjukan dengan mereka hidup berdampingan kepada masyarakat pendatang
dan

hal

inilah

yang

membuat

masyarakat

yang

ada

Keanekaragaman masyarakat dan budaya menjadi hal


menjadi

kuat.

yang mendapat

penghormatan dan dihargai di Yogyakarta, dan hal ini menjadi kekayaan yang ada
didalam keistmewaan Yogyakarta, dan dari masyarakat asli Jogja sendiri yang
memberikan Keistimewaan ini.
5.3 Bait Tiga Pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta
Nagari paling penak rasane koyo swarga
Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi peni lan merdika”
Denotasi: Pada bait ketiga ini lirik yang dipakai adalah bahasa Jawa Yogyakarta
dan

dalam bahasa Indonesia lirik ini berbunyi: “Dengarlah ini suara dari


Yogyakarta, Negeri paling enak rasanya seperti surga, tidak peduli dunia jadi
neraka, disini kami selalu nyaman dan merdeka”.

42

Konotasi: “Rungokno iki gatra soko ngaYogyakarta ( dengarlah ini

suara

panggilan yang berasal dari Jogja).
“Nagari palling enak rasane koyo swarga” (salah satu surga yang ada dibumi).
“Ora peduli donya dadi neraka, Neng kene tansah edi lan merdeka” (tidak peduli
kehidupan diluar sana menjadi tempat yang jahat, karena dan di tempat ini adalah
keindahan dan kebebasan kami).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari bait ketiga ini, bahwa ada kecintaan
dari suara-suara Jogjakarta terhadap Jogjakarta, dimana mereka menganggap
bahwa Jogjakarta adalah tempat yang paling nyaman dan Indah dan ada
kebahagiaan yang mereka rasakan terhadap Jogja. Ada kebebasan dan
kebahagiaan dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi yang mereka tunjukan sebagai
rasa memiliki mereka terhadap surge ini, dan mereka melakukanya disini dirumah

mereka sendiri, Jogjakarta.

5.4 Bait Empat Pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk rakyat
Dimana Rajanya bercerrmin di kalbu rakyat
Demikianlah Singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat
Memayu Hayuning Bawana” (Denotasi makna).
Konotasi: “Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat” (Tahta dilahirkan dari tanah,
dari bawah. Tahta yang lahir dari bawah akan dikembalikan lagi dan diberikan
lagi kebawah).
“Dimana Rajanya bercermin di kalbu rakyat” (Seorang pemimpin yang melihat
dirinya sendiri dengan alat ukurnya adalah pangkal perasaan dan batin rakyat).
“Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat” (Berdiri dengan kuat tahan dengan
serangan untuk mengerti dan melayani rakyat).
“Memayu Hayuning Bawana” (Melayani rakyat).

43

Mitos: Bahwa Pemerintahan yang hebat atau yang indah adalah Pemerintahan

yang berdiri untuk rakyat, mengerti dan memperjuangkan suara dan cita-cita dari
rakyat. Pemerintahan yang melihat dan lahir dari rakyat dan untuk rakyat terbuka
dan bersih erta suci. Pemerintahan seperti ini adalah pemerintahan yang bermoral,
dengan adanya Pemerintahan yang bermoral, maka akan membuat Pemerintahan
dan rakyatnya menjadi indah, dimana ada kesatuan visi dan misi dari semua
elemenya atau satu cita-cita.

5.5 Bait Lima pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng prajurit lan Senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula gusti”
Denotasi: Arti lirik diatas dalam bahasa Indonesianya adalah tambur (alat musik
pukul) sudah ditabuh, seruling sudah berbunyi, bersatu padu menjadi satu,
bersama prajurit dan Senopati (sebutan untuk tentara Keraton), mulia atau mati
rakyat dan Raja adalah satu. Musik sudah dimainkan, saatnya semua masyarakat
dan raja menjadi satu.
Konotasi: “Tambur wis ditabuh suling wis muni (menggambarkan suasana yang
riang, sukacita).
“Holopis kontol baris, Bareng Prajurit lan Senapati” (Ada panggilan, ajakan untuk

menjadi satu bersama Negeri dan tentara).
“Mukti atau mati manunggal kawula Gusti” (Dalam kemenangan dan kekalahan,
dan keadaan apapun Raja dan rakyat tak akan terpisahkan).
Mitos: Pesan yang ingin disampaiakan pada bait kelima ini adalah bahwa tidak
adanya perbedaan dalam sistim pemerintahan dan kehidupan mereka, semua
kalangan adalah pejuang-pejuang Jogja, yang mempunyai bagianya masing44

masing dalam menjaga dan melindungi ketenangan, kenyamanan, dan keindahan
Jogja, sebagai upaya dukungan mereka untuk Jogja. Antara rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja semua adalah satu kesatuan, semua melebur bersama-sama
dalam menjalani kehidupan dan menghadapai tantangan yang ada.

5.6 Bait Enam pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan
Denotasi: Lirik diatas adalah juga menjadi makna denotasi pada bait ini. Lirik ini
adalah merupakan revolusi dari filosofi yang diciptakan oleh Ki Ageng Surya
Mataram “Sugih tanpa bondo, digdoyo tanpa aji, ngluruk tanpa bolo, menang
tanpa ngasorake”.
Konotasi: “Menyerang tanpa Pasukan” (Menyerang menggunakan taktik, simpati
dan diplomatik).
“Menang tanpa merendahkan” (Menang tanpa kesombongan).
“Kesaktian tanpa ajian” (Kehebatan yang tidak terlihat tanpa mantra).
“Kekayaan tanpa Kemewahan” (Kemakmuran yang tidak ditunjukan nilai dan
harganya).
Mitos: Cara penyelesaian masalah bukan melalui kekerasan dan peperangan,
namun menggunakan taktik, diplomasi, demokrasi, simpati dan sikap rendah hati.
Hal ini yang akan memunculkan ketenangan untuk menghadapi masalah yang
ada, sehingga mampu menciptkan suasana Jogja yang elegan, dan sifat elegan
yang tidak diperlihatkan adalah cara untuk tetap menghargai dan merangkul orang
lain.

45

5.7 Bait Tuju pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik : “Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup ditengah modernisasi
Rakyate jajah deso milangkori
Nyebarke seni lan budi pekerti
Denotasi: Dalam bahasa Indonesia lirik ini artinya adalah ”Tenang bagai ombak
gemuruh laksana merapi, Tradisi hidup ditengah modernisasi, rakyatnya
berkelana kemana-mana, menyebarkan seni dan budi pekerti.
Konotasi: “Tenang bagai ombak laksana merapi” (Mempunyai keinginan besar,
namun bisa menjaga dan menahan. Ada waktunya untuk menggunakanya).
“Tradisi hidup detengah modernisasi” (Kearifan lokal yang yang terus hidup
ditengah globalisasi).
“Rakyate jajah deso milangkori” (Rakyat yang berkelana, menyebar kemanamana).
“Nyebarke seni lan budi pekerti” (Menyebarkan hal-hal yang positif yang dibawa
dari tanah Jogja).
Mitos: Mitos yang penulis ambil dari lirik pada bait ketuju bahwa modernisasi
dan globalisasi disikapi dengan terbuka oleh masyarakat Yogyakarta, namun
tradisi dan budaya yang mereka punyai adalah kebanggan dan harta yang yang
mahal. Dimana apresiasi ini mereka lakuakan dengan penanaman dan pelestarian
nilai-nilai tradisi dan budaya. Walaupun modernisasi dan globalisasi terus
berjalan, pelestarian nilai taradisi dan budaya juga akan terus berjalan sebagai
keinginan memiliki yang kuat dari mereka. Karena hal inilah yang menunjukan
diri mereka sebenarnya di jaman modernisasi ini.

5.8 Bait Delapan pada Lagu “Jogja Istimewa”.
Lirik: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga
Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa
46

Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan”
Denotasi: Ingatlah sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono IX, setingginya kita
belajar dan berilmu, kita adalah tetap orang Jawa, itu sudah kodratnya.
Diumpamakan kacang tidak lupa kulitnya, jangan melupakan tempat dimana kita
dilahirkan dan dibesarkan.
Konotasi: “Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga”
(Peganglah dan maknailah dalam hidup tentang pesan dari pemimpin Keraton
yang kesembilan)
“Sakduwur-duwure sinau dewe tetep wong Jawa” (Ilmu dan pengetahuan adalah
hikmat untuk memperkaya dan juga memperkuat diri kita.
“Diumpamake kacang kang ora ninggal lanjaran” (menyadari secara benar-benar
jatidiri seperti kacang lanjaran atau kacang panjang. Menyadari secara
berkepanjangan kesadaran kita terhadap apa yang kita punyai).
“Marang bumi seng nglahirake dewe tansah kelingan” (Diri kita adalah cerminan
darimana kita dilahirkan, dan itulah yang seharusnya tercermin didalam diri kita).
Mitos: Dari lirik bait kedelapan, penulis mengambil pesan yang ada didalam
mitos bahwa seharusnya kita bisa menghargai, menjaga dan melindungi nilai-nilai
tradisi dan budaya yang ada dimanapun kita berada, dan seperti apapun diri kita
menjadi dan mencapai kesuksesan. Karena hal inilah yang tidak boleh dilupakan.
Keberhasilan apapun yang diperoleh jangan melunturkan nilai tradisi dan budayabudaya yang ada, justru nilai-nilai ini yang harus tetap dibawa dan memperkaya
dan memperkuat diri kita, dan inilah yang merupakan sebuah kebijaksanaan yang
halus.
5.9 Bait Sembilan pada Lagu “Jogja Istimewa”
Lirik: “Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangunkarsa
Tut Wuri Handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji”

47

Denotasi: Yang didepan memberi contoh, yang ditengah meberi dorongan, yang
dibelakang memberi semangat. Ayo bekerja bersama-sama.
Konotasi: “Ing ngarso sung tuladha” (Pemimpin harus tau caranya bersikap dan
bertindak sehingga mampu menuntun dengan baik dan dengan hal-hal yanag
positif).
“Ing madya mangunkarsa” (Pada lapisan ini adanya sebuah tindakan yang
memberikan dukungan dari yang dilakukan oleh pemimpin).
“Tut wuri Handayani, Holopis kontol baris ayo dadi siji”. (Sebagai masyarakat
melihat dan melakukan apa yang diberikan oleh pemimpin, dalam hal ini sifatnya
bukan pasif tapi aktif dan ikut serta dalam sebuah sistim yang berjalan).
Mitos: Pesan yang bisa penulis ambil dari mitos lirik bait kesembilan ini adalah
bahwa kesatuan adalah hal yang mendasar untuk mempunyai satu suara dan satu
tujuan demi mencapai cita-cita yang mulia, dan ketulusan yang akan membawa
untuk semua elemen yang ada untuk mengerjakan bagianya masing-masing
(Pemimpin memberi contoh, rakyat memberi semangat dan dukungan, dan
dukungan itu bisa mereka kerjakan dalam bentuk apapun. Seperti JHF mereka
meberikan dukungan dari karya-karya yang diciptakan.) sebagai kumpulan usahausaha yang akan bersinergi yang akan mencapai keberhasilan.

48

Tabel 5.1 Denotasi, Konotasi, Mitos
Lirik
Bait Satu

Denotasi
Lirik disamping juga

Konotasi
Makna konotasi dari

“Holopis Kontol Baris menjadi tanda denotasi istilah ”Holopis kontol

Mitos
Orang Jawa suka
kebersamaan, karena

Baris ini adalah”,

dengan kebersamaan

Holopis Kontol Baris yang juga menjadi

merupakan kata-kata yang

dan gotong royong

Holopis Kontol Baris”

pijakan sekaligus

mempunyai arti

akan memupuk dan

penanda dan petanda

merupakan ajakan untuk

memunculkan rasa

untuk masuk dalam

bekerja bersama-sama.

persaudaraan. Dengan

tataran konotasi

Kata “kontol” dalam

kebersamaan dan

budaya Jawa mempunyai

gotong royong rasa

arti berjalan bersama-

persauadaraan dan

sama. “Holopis kontol

sikap saling

baris” sendiri merupakan

memerhatikan dan

filosofi tradisional jawa

peduli terhadap

ini merupakan suatu

sesama akan

pandangan hidup dalam

terbentuk. Perbedaan

bekerja ataupun

status sosial tidak ada

melakukan kegiatan.

dan trjadi disini. Hal

Holopis Kontol Baris

pada bait satu ini,

ini menunjukan
langsung ciri utama
hidup kemasyarakatan
orang jawa yang
terkenal dengan
semangat gotong
royong, kebersamaan
dan keakraban yang
tampak dalam
kehidupan masyarakat
jawa. Masyarakat
mencintai dan peduli

49

sesamanya (“asih ing
sesami”). Dalam
interpretasi penulis
tidak berhenti disini,
bahwa ada
pemanggilan yang
terjadi disini untuk
warga Jogjakarta
dalam menyelamatkan
Keistimewaan Jogja.
BAIT DUA
Jogja! Jogja! Tetap

DENOTASI
Lirik disamping juga

Istimewa Istimewa

menjadi tanda denotasi Istimewa” (mempunyai

Negrinya Istimewa

pada bait dua ini, yang

entitas Negeri tersendiri,

adanya pengahargaan

Orangya

juga menjadi pijakan

karena daerah Istimewa

dan rasa

Jogja! Jogja! Tetap

sekaligus penanda dan

yang disandang oleh Jogja

penghormatan mereka

IstimewaJogja

petanda untuk masuk

sejak jaman penjajahan,

yang diberikan oleh

Istimewa untuk

dalam tataran konotasi

dimana pada saat itu

masyarakat pendatang

adalah daerah Swapraja.

atau masyarakat yang

Istimewa disini

berasal dari luar

menunjukan daerah Jogja

Yogyakarta.

merupakan sebuah Negeri

Penghargaan dan rasa

yang Istimewa).

penghormatan mereka

“Istimewa orangnya,

ditunjukan dengan

Istimewa Negerinya” (ada

mereka hidup

keunikan didalam Jogja

berdampingan kepada

dimana Keraton yang

masyarakat pendatang

membawa sisa gambaran

dan hal inilah yang

pemerintahan yang

membuat masyarakat

feodalisme, namun

yang ada menjadi

Indonesia.

KONOTASI
“Jogja! Jogja! tetap

MITOS
Keistimewaan
Yogyakarta adalah

50

masyarakatnya melihat

kuat.

makna sebuah feodalisme

Keanekaragaman

adalah pemberian untuk

masyarakat dan

pelestarian dengan cara

budaya menjadi hal

yang berbeda, dimana

yang mendapat

masyarakatnya

penghormatan dan

melestarikan itu untuk

dihargai di

menjadi indah.

Yogyakarta, dan hal

“Jogja Istimewa untuk

ini menjadi kekayaan

Indonesia” (terbangun

yang ada didalam

masyarakat yang beragam

keistmewaan

dan membangun sebuah

Yogyakarta, dan dari

pluralisme yang melekat

masyarakat asli Jogja

pada Jogjakarta.

sendiri yang

Pluralisme yang tumbuh

memberikan

dan terbangun menjadi

Keistimewaan ini.

ciri untuk keistimewaan
Jogja sendiri. Hal inilah
yang menjadi gambaran
Indonesia, bahwa Jogja
melakaukan ini tidak
hanya untuk dirinya tapi
juga untuk Indonesia
BAIT TIGA
DENOTASI
“Rungokno iki gatra Pada bait ketiga ini

KONOTASI
“Rungokno iki gatra soko

MITOS
Pesan yang bisa

soko ngaYogyakarta

ngaYogyakarta (dengarlah

penulis ambil dari bait

Nagari paling penak adalah bahasa Jawa

ini suara panggilan yang

ketiga ini, bahwa ada

rasane koyo swarga

berasal dari Jogja).

kecintaan dari suara-

Ora peduli donya dadi dalam bahasa

“Nagari palling enak

suara Jogjakarta

neraka

rasane koyo swarga”

terhadap Jogjakarta,

(salah satu surga yang ada

dimana mereka

lirik yang dipakai

Yogyakarta dan

Indonesia lirik ini

Neng kene tansah edi berbunyi: “Dengarlah

51

peni lan merdika”

ini suara dari

dibumi).

menganggap bahwa

Yogyakarta, Negeri

“Ora peduli donya dadi

Jogjakarta adalah

paling enak rasanya

neraka, Neng kene tansah

tempat yang paling

seperti surga, tidak

edi lan merdeka” (tidak

nyaman dan Indah

peduli dunia jadi

peduli kehidupan diluar

dan ada kebahagiaan

neraka, disini kami

sana menjadi tempat yang

yang mereka rasakan

selalu nyaman dan

jahat, karena dan di

terhadap Jogja. Ada

merdeka”.

tempat ini adalah

kebebasan dan

keindahan dan kebebasan

kebahagiaan dalam

kami).

menyuarakan aspirasiaspirasi yang mereka
tunjukan sebagai rasa
memiliki mereka
terhadap surge ini,
dan mereka
melakukanya disini
dirumah mereka
sendiri, Jogjakarta.

BAIT EMPAT
“Tanah lahirkan

DENOTASI
Lirik disamping juga

KONOTASI
“Tanah lahirkan tahta,

MITOS
Bahwa Pemerintahan

Tahta, Tahta untuk

menjadi tanda denotasi tahta untuk rakyat” (Tahta

yang hebat atau yang

rakyat

pada bait tiga ini, yang dilahirkan dari tanah, dari

indah adalah

Dimana Rajanya

juga menjadi pijakan

bawah. Tahta yang lahir

Pemerintahan yang

bercerrmin di kalbu

sekaligus penanda dan

dari bawah akan

berdiri untuk rakyat,

rakyat

petanda untuk masuk

dikembalikan lagi dan

mengerti dan

Demikianlah

dalam tataran konotasi

diberikan lagi kebawah).

memperjuangkan

Singgasana

“Dimana Rajanya

suara dan cita-cita

bermartabat

bercermin di kalbu

dari rakyat.

Berdiri kokoh untuk

rakyat” (Seorang

Pemerintahan yang

mengayomi rakyat

pemimpin yang melihat

melihat dan lahir dari

Memayu Hayuning

dirinya sendiri dengan alat

rakyat dan untuk

52

Bawana”

ukurnya adalah pangkal

rakyat terbuka dan

perasaan dan batin

bersih erta suci.

rakyat).

Pemerintahan seperti

“Berdiri kokoh untuk

ini adalah

mengayomi rakyat”

pemerintahan yang

(Berdiri dengan kuat tahan bermoral, dengan
dengan serangan untuk

adanya Pemerintahan

mengerti dan melayani

yang bermoral, maka

rakyat).

akan membuat

“Memayu Hayuning

Pemerintahan dan

Bawana” (Melayani

rakyatnya menjadi

rakyat).

indah, dimana ada
kesatuan visi dan misi
dari semua elemenya
atau satu cita-cita.

BAIT LIMA
DENOTASI
“Tambur wis ditabuh dalam bahasa

KONOTASI
“Tambur wis ditabuh

MITOS
Pesan yang ingin

suling wis muni

suling wis muni

disampaiakan pada

Holopis kuntul baris tambur (alat musik

(menggambarkan suasana

bait kelima ini adalah

ayo dadi siji

yang riang, sukacita).

bahwa tidak adanya

“Holopis kontol baris,

perbedaan dalam

Bareng

prajurit

Indonesianya adalah

pukul) sudah ditabuh,
lan seruling sudah

Senopati

berbunyi, bersatu padu Bareng Prajurit lan

sistim pemerintahan

Mukti utawa mati

menjadi satu, bersama

Senapati” (Ada panggilan,

dan kehidupan

manunggal kawula

prajurit dan Senopati

ajakan untuk menjadi satu

mereka, semua

gusti”

(sebutan untuk tentara

bersama Negeri dan

kalangan adalah

Keraton), mulia atau

tentara).

pejuang-pejuang

mati rakyat dan Raja

“Mukti atau mati

Jogja, yang

adalah satu. Musik

manunggal kawula Gusti”

mempunyai bagianya

sudah dimainkan,

(Dalam kemenangan dan

masing-masing dalam

saatnya semua

kekalahan, dan keadaan

menjaga dan

masyarakat dan raja

apapun Raja dan rakyat

melindungi

53

menjadi satu.

tak akan terpisahkan).

ketenangan,
kenyamanan, dan
keindahan Jogja,
sebagai upaya
dukungan mereka
untuk Jogja. Antara
rakyat, prajurit,
Senopati, dan Raja
semua adalah satu
kesatuan, semua
melebur bersamasama dalam menjalani
kehidupan dan
menghadapai
tantangan yang ada. .

BAIT ENAM
DENOTASI
“Menyerang tanpa
Lirik diatas adalah
pasukan
juga menjadi makna
Menang
tanpa
denotasi pada bait ini.
merendahkan
Lirik ini adalah
Kesaktian tanpa ajian
merupakan revolusi
Kekayaan
tanpa
dari filosofi yang
kemewahan
diciptakan oleh Ki

KONOTASI
“Menyerang tanpa

MITOS
Cara penyelesaian

Pasukan” (Menyerang

masalah bukan

menggunakan taktik,

melalui kekerasan dan

simpati dan diplomatik).

peperangan, namun

“Menang tanpa

menggunakan taktik,

merendahkan” (Menang

diplomasi, demokrasi,

tanpa kesombongan).

simpati dan sikap

Ageng Surya Mataram

“Kesaktian tanpa ajian”

rendah hati. Hal ini

“Sugih tanpa bondo,

(Kehebatan yang tidak

yang akan

digdoyo tanpa aji,

terlihat tanpa mantra).

memunculkan

ngluruk tanpa bolo,

“Kekayaan tanpa

ketenangan untuk

menang tanpa

Kemewahan”

menghadapi masalah

ngasorake”.

(Kemakmuran yang tidak

yang ada, sehingga

ditunjukan nilai dan

mampu menciptkan

harganya).

suasana Jogja yang

54

elegan, dan sifat
elegan yang tidak
diperlihatkan adalah
cara untuk tetap
menghargai dan
merangkul orang lain
BAIT TUJU
“Tenang bagai ombak

DENOTASI
Dalam bahasa

KONOTASI
“Tenang bagai ombak

MITOS
Mitos yang penulis

gemuruh laksana

Indonesia lirik ini

laksana merapi”

ambil dari lirik pada

merapi

artinya adalah

(Mempunyai keinginan

bait ketuju bahwa

Tradisi hidup ditengah

”Tenang bagai ombak

besar, namun bisa

modernisasi dan

modernisasi

gemuruh laksana

menjaga dan menahan.

globalisasi disikapi

Rakyate jajah deso

merapi, Tradisi hidup

Ada waktunya untuk

dengan terbuka oleh

milangkori

ditengah modernisasi,

menggunakanya).

masyarakat

Nyebarke seni lan

rakyatnya berkelana

“Tradisi hidup detengah

Yogyakarta, namun

budi pekerti

kemana-mana,

modernisasi” (Kearifan

tradisi dan budaya

menyebarkan seni dan

lokal yang yang terus

yang mereka punyai

budi pekerti.

hidup ditengah

adalah kebanggan dan

globalisasi).

harta yang yang

“Rakyate jajah deso

mahal. Dimana

milangkori” (Rakyat yang

apresiasi ini mereka

berkelana, menyebar

lakuakan dengan

kemana-mana).

penanaman dan

“Nyebarke seni lan budi

pelestarian nilai-nilai

pekerti” (Menyebarkan

tradisi dan budaya.

hal-hal yang positif yang

Walaupun

dibawa dari tanah Jogja).

modernisasi dan
globalisasi terus
berjalan, pelestarian
nilai taradisi dan
budaya juga akan

55

terus berjalan sebagai
keinginan memiliki
yang kuat dari
mereka. Karena hal
inilah yang
menunjukan diri
mereka sebenarnya di
jaman modernisasi
ini.
BAIT DELAPAN
“Elingo sabdane Sri
Sultan
Hamengkubuwono
kaping sanga
Sakduwur-duwure
sinau dewe tetep wong
Jawa
Diumpamake kacang
kang ora ninggal
lanjaran
Marang bumi seng
nglahirake dewe
tansah kelingan”

DENOTASI
Ingatlah sabdane Sri

KONOTASI
“Elingo sabdane Sri

MITOS
Dari lirik bait

Sultan

Sultan Hamengkubuwono

kedelapan, penulis

Hamengkubuwono IX, kaping sanga” (Peganglah

mengambil pesan

setingginya kita

dan maknailah dalam

yang ada didalam

belajar dan berilmu,

hidup tentang pesan dari

mitos bahwa

kita adalah tetap orang

pemimpin Keraton yang

seharusnya kita bisa

Jawa, itu sudah

kesembilan)

menghargai, menjaga

kodratnya.

“Sakduwur-duwure sinau

dan melindungi nilai-

Diumpamakan kacang

dewe tetep wong Jawa”

nilai tradisi dan

tidak lupa kulitnya,

(Ilmu dan pengetahuan

budaya yang ada

jangan melupakan

adalah hikmat untuk

dimanapun kita

tempat dimana kita

memperkaya dan juga

berada, dan seperti

dilahirkan dan

memperkuat diri kita.

apapun diri kita

dibesarkan.

“Diumpamake kacang

menjadi dan mencapai

kang ora ninggal lanjaran”

kesuksesan. Karena

(menyadari secara benar-

hal inilah yang tidak

benar jatidiri seperti

boleh dilupakan.

kacang lanjaran atau

Keberhasilan apapun

kacang panjang.

yang diperoleh jangan

Menyadari secara

melunturkan nilai

berkepanjangan kesadaran

tradisi dan budaya-

56

kita terhadap apa yang

budaya yang ada,

kita punyai).

justru nilai-nilai ini

“Marang bumi seng

yang harus tetap

nglahirake dewe tansah

dibawa dan

kelingan” (Diri kita adalah memperkaya dan
cerminan darimana kita

memperkuat diri kita,

dilahirkan, dan itulah yang dan inilah yang
seharusnya tercermin

merupakan sebuah

didalam diri kita).

kebijaksanaan yang
halus.

BAIT SEMBILAN
DENOTASI
“Ing ngarso sung Yang didepan

KONOTASI
“Ing ngarso sung tuladha”

MITOS
Pesan yang bisa

tuladha

(Pemimpin harus tau

penulis ambil dari

caranya bersikap dan

mitos lirik bait

Ing

memberi contoh, yang
madya ditengah meberi

mangunkarsa

dorongan, yang

bertindak sehingga

kesembilan ini adalah

Tut Wuri Handayani

dibelakang memberi

mampu menuntun dengan

bahwa kesatuan

Holopis kuntul baris semangat. Ayo bekerja baik dan dengan hal-hal

adalah hal yang

ayo dadi siji”

mendasar untuk

bersama-sama.

yanag positif).

“Ing madya mangunkarsa” mempunyai satu suara
(Pada lapisan ini adanya

dan satu tujuan demi

sebuah tindakan yang

mencapai cita-cita

memberikan dukungan

yang mulia, dan

dari yang dilakukan oleh

ketulusan yang akan

pemimpin).

membawa untuk

“Tut wuri Handayani,

semua elemen yang

Holopis kontol baris ayo

ada untuk

dadi siji”. (Sebagai

mengerjakan bagianya

masyarakat melihat dan

masing-masing

melakukan apa yang

(Pemimpin memberi

diberikan oleh pemimpin,

contoh, rakyat

57

dalam hal ini sifatnya

memberi semangat

bukan pasif tapi aktif dan

dan dukungan, dan

ikut serta dalam sebuah

dukungan itu bisa

sistim yang berjalan).

mereka kerjakan
dalam bentuk apapun.
Seperti JHF mereka
meberikan dukungan
dari karya-karya yang
diciptakan.) sebagai
kumpulan usahausaha yang akan
bersinergi yang akan
mencapai
keberhasilan.

Dalam penelitian ini penulis juga akan melihat dan menggunakan pendapat dan
sudut pandang orang lain untuk membuat hasil dari penelitian penulis menjadi lebih
terpercaya informasinya, dengan cara dibandingkan dan diperiksa kembali melalui
wawancara yang penulis lakukan.
1. Bapak Ndaru (Dekan Fiskom UKSW): Keistimewaan Jogjakarta karena memang
dari unsur sejarahnya. Sejak dulu sebelum NKRI berdiri, Jogjakarta adalah sebuah
Negeri (Ngayogyakarta Hadidiningrat). Jogjakarta mempunyai kekuatan politis
yang besar untuk Indonesia, kekauatan ini dimulai ketika Jogjakarta masuk dan
bergabung kedalam NKRI sebagai sebuah Negara sendiri, atau daerah Istimewa.
Munculah UUD 45 tentang Keistimewaan. Hal ini yang membawa dampak yang
besar sehingga Indonesia mendapatkan pengakuan Internasional. Berpindahnya
Ibu kota ke Jogja pada tahun 1948 mebuat Jogja berperan dan mempunyai andil
yang besar untuk mempertahankan eksistensi NKRI sendiri.
2.

Bapak Fajar Junaidi (Dosen Universitas Muhamad Diyah Jogjakarta):
Keistimewaaan Jogja tidak terlepas dari sejarah. Munculnya Amanat 5 september
1945, yang berisi tetntang kerelaan Sultan dan Paku Alam untuk bergabung
58

dengan NKRI adalah fakta sejarah tersendiri. Kemudian Simbol dari Keraton
sendiri, dimana Keraton sangat memberi manfaat bagi masyarakat. keraton
sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sampe sekarang. Keraton sebuah
Interaksi simbolik (lambang Jogja di Dokar, mobil, motor, baju, dan aksara-aksara
Jawa yang masih dipertahankan) merupakan gamabaran Interaksi simbolik terjadi
di kota ini, ada rasa memiliki yang dipunyai oleh masyarakat Jogja. Keraton
sendiri juga menyatukan orang Jogja, keraton adalah rumah. Luis althuser,
Ideologi bekerja dari pemanggilan, Keraton simbol dari pemanggilan, memanggil
Keistimewaan orang Jogja untuk mempertahankanya pada saat Keistimewaan ini
diusik oleh Pemerintah pusat. Hal ini menunjukan bahwa Keraton merupakan
suatu hal yang mulia bagi mereka warga Jogjakarta.
3. Empu Sungkowo (Budayawan dan Seniman): Dijaman sekarang ini secara
perlahan buday-budaya lokal, khususnya budaya-budaya dan seni-seni tradisi
mulai hilang terkikis oleh globalisasi. Kemudian juga nilai-nilai budi pekerti
dikalangan anak muda juga mulai dilupakan, (inilah fakta yang saya lihat).
Dengan munculnya RUU untuk keistimewaan ini, bagi saya makna Keistimewaan
itu sendiri adalah “Bangkit”. Dalam hal ini adalah perbaikan dan budaya-budaya
yang dulu sudah hilang mulai digali dan dihidupkan kembali, beserta nilai-nilai
tata karma dan budi pekerti, karena hal ini menunjukan jatidiri kita sebenarnya.
Sekarang pihak pemerintah juga sedang mencanangkan program ini, namun hal
ini akan menjadi tanggung jawab kita bersama. Karena dengan pembangkitan
kembali maka makna Keistimewaan itu sendiri akan sangat terasa esensinya.

59

Tabel 5.2 Tabulasi
MITOS

Pak Ndaru

Pak Fajar

Empu Sungkowo

Ada empat

Kekuatan Politik

Keistimewaan bisa

Pembangkitan

keistimewaan yang

yang diberikan

kita lihat dari

budaya-budaya

penulis temukan

Jogja mempunyai

sejarah Jogja yang

daerah atau lokal

disini (Bermoral,

dampak yang besar

diberikan untuk

yang mulai terkikis

Satu visi dan misi,

bagi Indonesia, dan

Indonesia. Warga

adalah untuk

Kebersamaan yang

adanya Pengakuan

mempunyai rasa

mengingatkan kita.

tiada batasnya,

Internasional.

memiliki terhadap

Pembangkitan

Jogjakarta.

kembali adalah

Mencintai tanah
airnya. Ini merujuk

jalan untuk

pada satu

menemukan esensi

“Keisstimewaan”,

dari Keistimewaan

yaitu Keistimewaan

ini sendiri.

yang menuntun

60

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB V

0 1 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB II

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB V

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa”

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB VI

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa”

0 0 18