UKT Uang Kuliah Tinggi Praktek Jual Beli

UKT (Uang Kuliah Tinggi): Praktek Jual Beli Pendidikan
Kita sudah mendengar banyak cerita bahkan menyaksikan sendri kisah tentang kawan kita, saudara kita
dan orang-orang disekitar kita yang berhenti sekolah karena ketidakpunyaan ongkos untuk kuliah. Di UPN V
Yogyakarta, kita tentunya sudah banyak mendengar dan menyaksikan kisah itu. ada kawan Rahmadi yang
pernah kita tulis, anak dari seorang buruh tani berpendapatan Rp. 1.500.000/empat bulan, asal Sedayu,
Kulonprogo, yang terpaksa berhenti kuliah akibat macetnya biaya pendidikan. Memang, terkadang kita berpikir
bahwa kuliah itu tak penting, toh besok kita menjadi pengaguran, karena langkanya lapangan pekerjaan dinegri
ini dan bobroknya sistem pendidikan yang memblenggu kita manjadi pekerja teknis diperusahaan swasta milik
asing. Tetapi, mari kita menganggapnya penting, toh jadi pekerja teknispun kita masih membutuhkan ijazah.
Karena itu akses Pendidikan adalah hal yang patut kita perjuangkan.
Ada gejala aneh yang sering kita saksikan terkait persoalan akses pendidikan Indonesia. Gejala itu
antara lain adalah terus meningkatnya biaya akses pendidikan ditengah pendapatan negara yang katanya
cendrung naik, kurikulum yang terus berganti tiap pergantian pejabat, semakin pendeknya masa studi. Ini tidak
lain adalah sebuah gejala liberalisasi, pendidikan diserahkan ke mekanisme pasar, yang seharusnya menjadi
badan publik tapi kini menjadi lembaga privat. Sungguh sangat berbanding terbalik dengan pendapatan buruh,
tani, nelayan ataupun pekerjaan mayoritas yang cendrung turun dan kalau naikpun tidak significant, sungguh ini
merupakan suatu proses pemiskinan dan penciptaan penganguran. Gejala diatas bisa kita baca sejarahnya dari
munculnya regulasi serta ketelibatan Indonesia dalam beberapa kontrak politik Internasional, yang bisa
dikatakan tidak menguntungkan dan cendrung menjarah negri.
Berbagai kontrak politik internasiaoanl telah menjerat Indonesia dalam cengkraman neoliberalisme
pendidikan. Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994 dengan diterbitkanya

Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang ratifikasi “Agreement Establising the
World Trade Organization”. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai
perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Indonesia menyepakati hasil
negosiasi perundingan General Agreements on Traffics and Services (GATS) oleh WTO, dimana penyediaan
jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang diliberalisasi. Dimana turunanya
Peraturan Presidan No 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyarakat di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini, diatur usaha-usaha apa saja yang
dapat diinvestasikan oleh pemodal asing dan presentase maksimalnya. Ternyata Pendidikan Dasar, Pendidikan
Menengah, dan Pendidikan Tinggi dimasukkan dalam usaha yang dapat ditanam modal asing. Bukan main,
besaran modal yang dapat ditanam ialah sebesar 49%.
Dibukanya pendidikan tinggi ke pasar bebas, tentu saja bertujuan menghasilkan sumber daya manusia
yang kompetitif di pasar tenaga kerja global. Liberalisasi pendidikan tinggi ini memiliki semangat untuk
menciptakan pendidikan yang melampaui batas-batas negara-bangsa (internasionalisasi). Untuk mendukung hal
tersebut, praktik kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah dengan tidak menghambat (non-intervensi)
pengambilan keputusan di level pendidikan tinggi. Universitas diberi otonomi penuh untuk mengelola sumber
dayanya, seiring intervensi pemerintah yang semakin minim. Kondisi ini berimplikasi pada keharusan
universitas untuk mengelola pendanaannya sendiri. Di Indonesia, paling tidak, harapannya adalah porsi
ketergantungan universitas pada anggaran pemerintah menjadi lebih berkurang. Artinya universitas perlu
‘menghidupi’ dirinya sendiri melalui pemaksimalan potensi ventura ataupun pembukaan program studi yang
sedang populer (baca: dibutuhkan dalam industri). Hal tersebut sebagai cara untuk mendatangkan profit yang

dapat digunakan untuk pengelolaan universitas. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai komersialisasi
pendidikan tinggi. Di titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu perusahaan
yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan.
Tentu kita masih ingat akan cerita batalnya UU BHP yang dibatalkan MK melalui putusan NOMOR
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. UU BHP menuai kontra dari berbagi lapisan masyarakat karena berbagai hal.
Mulai dari konsep badan hukum pendidikan yang kontroversial, investasi asing, kepailitan badan hukum
pendidikan, sampai mereduksi peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi segera
setelah Undang-Undang BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, 2
minggu kemudian tepatnya 17 April 2010 World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat
proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk
bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional yang berbunyi begini, “A new BHP

must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and
private), there by making BHMN has a legal subset of BHP”. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun UndangUndang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU
tersebut. Dalam pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri
kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi perguruan tinggi ini
adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur
mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni
melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu,

dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui
organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah, dalam hal ini pihak swasta
menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja untuk kepentingan pemodal. Dan masih banyak
masalah lainnya
Dalam Pasal 88 undang-undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan suatu standar
tertentu biaya operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa. Amanat
ini sekarang kita kenal sebagai Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebelum menerapkan UKT, pemerintah terlebih
dahulu menerbitkan Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97
E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang
pangkal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014. UKT adalah angka biaya kebutuhan mahasiswa yang
harus dibayarkan selama ia menempuh pendidikan di universitas per semesternya. Kebutuhan yang harus
dibayarkan termasuk gaji dosen, fasilitas belajar; seperti meja, kursi, perawatan dan pemeliharaan gedung, biaya
listrik dan lain sebagainya. UKT ini kemudian ‘disesuaikan’ dengan angka yang mampu dibayarkan peserta
didik sesuai tingkat pendapatan orangtua (mencakup golongan 1–8).
dalam BAB V tentang Pendanaan dan Pembiayaan, pasal 83-87 yang memposisikan pemerintah
sebagai pendukung penyelengaraan pendidikan, sedangkan masyarakat menjadi tumpuhan utama dalam
pendanaan. Selain itu, dijelaskan bahwa dunia usaha atau bisnis dapat bermitra baik memberikan bantuan atau
berinvestasi di dunia pendidikan tinggi di Indonesia, yang tentu orientasinya adalah meraup keuntungan semata
dan menanamkan nilai-nilai untuk mendukung dunia bisnis dan asing di tanah Indonesia. Jadi, Jelas bahwa
UKT sebagai bagian erat UU DIKTI yang merupakan bentuk nyata komersialisasi pendidikan tinggi,

yang sudah pasti semakin menutup akses rakyat mendapat pendidikan dan sekaligus memupuskan cita-cita
bangsa mencerdaskan seluruh rakyatnya.
Persoalannya kemudian, UKT selalu mengalami penyesuaian setiap tahunnya, sehingga berpotensi
untuk terus naik. Persoalan lain adalah belum adanya kebijakan yang mengatur angka maksimal soal besaran
porsi pendanaan universitas yang didapat dari biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa. Serta Tentu,
ini adalah celah yang empuk bagi universitas untuk mengeruk pendanaan dari pos mahasiswa. Persoalan
berikutnya dan yang merupakan paling mendasar adalah dasar penggolongan, dasar penggolangan yang
berdasarkan pendapatan atau kemampuan ekonomi orangtua merupakan sesuatu yang relativ. kita ambil saja
contoh si A mahasiswa UPN angkatan 2015, anak seorang buruh Jakarta, dia masuk dalam golongan mahasiswa
UKT golongan V (Rp.6.741.000). sementara Upah Minimum Propinsi (UMP) DKI Jakarta hanyalah Rp.
3.355.750 (UMP 2017). UMP sendiri dihitung berdasarkan Keriteria Hidup Layak (KHL) seorang buruh
(lajang) yang paling minimum. Pendapatan segitu saja hampir tidak mencukupi hidup seorang lajang di Jakarta
(apalagi sudah berkeluarga). Jika anaknya dikuliahkan dijogja maka sebagian Upah ortunya akan ditransfer ke
jogja, rata-rata pengeluaran seorang mahasiswa jogja hanya untuk kebutuhan hidup dalam sebulan misalnya
Rp.1.500.000 plus biaya tempat tinggal rata-rata Rp.500.000, berarti total kebutuhannya sebulan adalah Rp.
2000.000 rupiah. Lalu bagiamana kehidupan orangtuanya di Jakarta atau bagaimana dia bisa membiayai
kuliahnya? Sungguh sangat mengenaskan kawan.
Dampak dari pengejawantahan kebijakan neoliberalisme dalam bentuk berbagai peraturan tampaknya
membuat kita lupa bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. prinsip aksesibilitas diabaikan. Sungguh
ini adalah hal yang harus diperjuangkan kawan, mari rapatkan barisan.

Hidup mahasiswa !!!
Salam Pembebasan !!!