Peran Filosofi Perencanaan dalam Aplikas

Peran Filosofi Perencanaan dalam Aplikasi Desain Arsitektur
Studi Kasus: Masjid UNDIP
Sujaning Suhalyani1)dan Eko Nursanty 2)
1)

Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang
2)
Dosen Teknik Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang
Email :1)janing27architec@gmail.co m; 2)santy@untagsmg.ac.id
Abstrak

Desain dalam arsitektur merupakan serangkaian proses penetapan sasaran fungsi ruang.
Hasil desain final bagaimanapun, tidak ditentukan sepenuhnya oleh maksud para arsitek yang
merancang mereka, mereka mau tidak mau mengandung ketidakpastian karakter yang melampaui
maksud arsitek, dan mereka tidak dapat dipahami murni dari perspektif fungsional. Sehingga
sebagian besar produk final dari desain mengalami pergeseran bentuk dan fungsi dari desain
awal. Dalam perkembangannya nanti, setelah produk desain digunakan olah pengguna, akan
muncul perilaku pengguna yang yang berpengaruh terhadap pergeseran fungsi dan munculnya
fungsi baru dalam ruang.
Tujuan penelitian ini, untuk mempelajari kesesuaian bentuk dan fungsi ruang dengan
melihat lokasi dan tampilan eksternal ruang terhadap pengaruhnya pada prilaku pengguna ruang.

Serta mempelajari penerimaan resiko yang timbul dari munculnya fungsi baru diluar maksud
arsitek. Sehingga suatu resiko yang ditimbulkan oleh keberadaan suatu ruang dapat dianggap
sebagai resiko yang wajar dan diterima. Hal ini merupakan suatu langkah untuk menjawab
kriteria desain arsitektur yang diteriama dalam konteks budaya dan sosial masyarakat setempat.
Metode penelitian yang digunakan mengguanakan metode induktif dengan melakukan
observasi pada masjid UNDIP tembalang meliputi lingkungan tapak dan tampilan eksternal
bangunan, pengamatan perilaku pengguna, serta wa wancara Arsitek untuk mengetahui tujuan
awal arsitek dan membandingkannya dengan kondisi yang ada di lapangan. Dengan
mengguanakan metode analisa kualitatif.
Hasil penelitian yaitu memberikan gambaran tentang filosofi dari seorang arsitek dalam
mendesain dan kesesuaiannya setelah hasil desain tersebut diterapkan pada study kasus diatas.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman dalam proses desain
untuk mendapatkan hasil final desain yang yang sesuai dengan fungsinya.
Keywords: Desain arsitektur, filosofi, kesesuaian,.

1. Pendahuluan
1.1. Kata Pengantar
Karya arsitektur menjadi bermakna, tentu di dalamnya terdapat filosofi dalam desain
tersebut. Dengan filosofi inilah arsitek menyampaikan pesan yang tercermin dalam berbagai
makna yang terdapat di setiap karyanya, sehingga karya arsitektur menjadi sarana dan objek

pembelajaran kepada masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak masyarakat hanya
mengerti fungsi dan menyukai desainnya saja tanpa mengerti makna yang tersampaikan dalam
karya tersebut. Padahal bentuk bangunan yang mencerminkan fungsi tidak harus seragam
dengan bangunan lain yang memiliki fungsi sama. Dibutuhkan harmoni dalam bentuk
arsitektur tersebut, melalui penyesuaian dengan keadaan lingkungan dan sosial sekitarnya.
Harmoni dalam desain dapat dilihat pada arsitektur lokal, yang memiliki karakter,
makna dan perbedaan masing-masing sesuai dengan keadaan lingkungan dan sosial tempat
mereka berasal. Ini merupakan suatu bukti karya yang mengikuti alam. Penciptaan ruang yang
serasi dan sesuai, sebagai wujud perhatian dan pemahaman masyarakat masa lampau terhadap
alam dan budaya yang terwujud dalam karya arsitekturnya. Dalam hal ini arsitektur yang
diciptakan berpengaruh dalam membentuk perilaku pengguna, karena memang sudah sesuai
atau memang disesuaikan dengan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Desain yang lebih cenderung
menyerupai konsekuensi moral dan sosial dalam praktek arsitektur ini membentuk perilaku

1

manusia seperti disebutkan diatas, infrastruktur sosial yang berperan sebagai pembentuk
perilaku manusia (Kroes, Light, Moore, & Vermaas, 2008).
Pergeseran cara pandang masyarakat saat ini, yang cenderung menempatkan segalanya

dalam hal yang instan tanpa mempertimbangkan segala akibat yang akan terjadi, menjadikan
masyarakat mudah menerima dan meniru sesuatu yang menjadi trend dunia. Tidak terkecuali
dalam dunia arsitektur, sesuatu yang dianggap menarik akan segera ditiru tanpa
mempertimbangkan kesesuaian dalam proses aplikasinya, dan jelas tanpa mengerti maknanya,
hanya mengandalkan bangunan dengan fungsi serupa akan memiliki wujud yang serupa juga.
Padahal hal ini belum sesuai dengan tempat bangunan tersebut akan diaplikasikan.
Sebagai contoh bangunan masjid yang jelas berfungsi sebagai tempat ibadah umat
muslim. Dalam perkembangannya saat ini, arsitektur masjid yang menyebar di sebagian besar
wilayah indonesia, merupakan hasil persamaan dengan bentuk dan langgam budaya islam dari
budaya arab, cordoba dan persia yang indentik dengan kubah, minaret tinggi, dan berbagai
ornamen lain seperti kaligrafi dan berbagai bentuk lainnya, sebagai contoh masjid agung
semarang, penggabungan arsitektur lokal berupa atap tajug dan arsitektur arabberupa minaret,
kubah dan payung . Jika kita melihat kembali dalam sejarah masuknya islam di indonesia,
bangunan masjid pada masa itu disesuaikan dengan arsitektur lokal. Masjid di Sumatera Barat
dan masjid agung demak yang memiliki atap tajug susun tiga, serta masjid kudus yang
memiliki minaret dan gerbang menyerupai pura, mempunyai makna-makna tersendiri yang
berhubungan dengan lingkungan dan budaya yang berkembang.

Gambar 1: Masjid Agung Semarang dan Masjid Agung Demak
Sumber: www.indonesiakaya.com


Bentuk arsitektur lokal saat ini semakin jarang dijumpai seiring dengan masuknya
arsitektur modern dan arsitektur lain yang dianggap populer. Arsitektur lokal yang menjadi
karakter dan kekayaan budaya semakin tergeser, dan kehilangan makna. Ketidakmampuan
masyarakat untuk mengerti dan memahami karya arsitektur menimbulkan pergeseran perilaku
yang terkadang berpengaruh terhadap pergeseran fungsi bahkan bentuk bangunan. Dengan
mengambil studi kasus Masjid UNDIP, makalah ini mencoba untuk memberikan gambaran
tentang filosofi dari seorang arsitek dalam mendesain dan kesesuaiannya setelah hasil desain
tersebut diterapkan.
Filosofi dan Arsitektur
Dari pendapat berbagai pakar, filosofi arsitektur, memiliki difinisi-difinisi yang berlainan,
seperti yang dikemukakan sebagai berikut :
-

-

-

Filosofi arsitektur dalam pengertian tradisional barat dipahami sebagai suatu
pandangan yang di dalam dirinya sendiri dikembangkan refleksi, dan refleksi arsitektur

itu sendiri dipandang sebagai suatu permasalahan filosofi yang terpisah dan umum
(Šuvaković, 2012).
Arsitektur dan filosofi merupakan Pemikiran tentang bangunan, meneliti bukan contoh
produksi arsitektur kontemporer melainkan konstruksi intelektual dari mana mereka
muncul. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kekayaan linguistik dan semantik
kompleksitas bahasa yang digunakan dalam arsitektur (Breitschmid, 2008)
Filosofi datang ke pemahaman yang lebih terintegrasi dari fenomena desain dalam
bidang teknik dan arsitektur semua desain dapat dilihat sebagai tujuan yang sama:
untuk memproduksi bahan pembentuk lingkungan dan bagaimana bahan itu dapat

2

bertahan hidup di lingkungan tersebut untuk saat ini dan kedepannya (Kroes, Light,
Moore, & Vermaas, 2008)

Untuk lebih mudah memahami, ketiga pendapat tersebut dapat disajikan dalam tabel sebagai
berikut :
Tabel 1
Pendapat tentang Arsitektur dan Filosofi
Penggagas

Šuvaković

Pendapat Arsitektur dan Filosofi
Refleksi arsitektur
(pemahaman dari arsitektur itu sendiri)

Sasaran Waktu
Saat ini

Breitschmid

Makna dan kekayaan linguistik
(arsitektur dan asal mulanya)

Masa lalu

Peter Kroes

Ketahanan karya arsitektur terhadap
lingkungan dan waktu

(arsitektur dan lingkungan
berkelanjutan)

Masa depan

Gambar 2 : Hubungan pendapat tiga pakar tentang Filosofi Arsitektur

Bila kita memahami filosofi Arsitektur hanya dengan memahami makna yang terrefleksi
dalam tubuh karya arsitektur itu sendiri, terdapat keambiguan dalam memahami filosofi
arsitektur dan estetika arsitektur, estetika arsitektur dalam pengertian tradisional dipandang
sebagai suatu disiplin filosofis yang berhubungan dengan analisa, interpretasi dan menilai
karya arsitektur dengan mengandalkan cita rasa atas suatu karya.
Dari pendapat Peter Kroes (2008), filosofi arsitektur dapat dipahami dari masa ke masa,
Dengan menyadari hubungan Filosofi dan arsitektur tidak terlepas dari manusia dan
lingkungan, maka makalah ini mengambil ruang lingkup Filosofi, Arsitektur, Manusia dan
lingkungan.

Gambar 3 : Ruang lingkup pembahasan

Filosofi arsitektur berkaitan dengan manusia dan lingkungnnya, dengan menghasilkan


3

produk berupa ruang yang memenuhi fungsi dari manusia dalam lingkungnan. Bagaimana
karya arsitektur dapat bertahan, tentu melibatkan peran manusia dalam hal ini masyarakat.
Pada dasarnya manusia mengerti fungsi suatu karya arsitektur, tetapi untuk mengerti
makna, dibutuhkan proses pemahaman dan pembelajaran lebih lanjut. Makna dalam arsitektur
yang tersampaikan sempurna kepada masyarakat akan semakin memperkaya nilai arsitektur.
Karya tersebut akan dihargai, ditiru, diwariskan secara turun temurun dan dikembangkan
menjadi budaya. Sebagaimana pendapat Verbeek (2008) Masalah inti dalam filsafat teknologi
telah menjadi non-netralitas teknologi. Kebanyakan ahli di lapangan setuju bahwa teknologi
secara aktif membantu membentuk budaya dan masyarakat, bukannya sarana netral untuk
mewujudkan tujuan-tujuan manusia.

Gambar 4 : Hubungan Arsitektur, Filosofi, Manusia dan Lingkungan

Arsitektur merupakan bagian dari teknologi, dari pendapat tersebut dapat dipahami
bahwa filosofi, manusia dan lingkungan merupakan kesatuan yang membentuk arsitektur.
Produk desain arsitektur yang berupa ruang, tidak terpisahkan dari makna, fungsi dan harmoni.
Arsitektur dengan filosofi menimbulkan makna, arsitektur dengan manusia menimbulkan

fungsi, dan arsitektur dan lingkungan menimbulkan harmoni.
Manusia dan Fungsi dalam Arsitektur
Hasil sebuah karya desain arsitektur dapat kita pandang sebagai bagian dari hasil karya
desain teknologi. Sebagaimana hasil dari desain teknologi disebut dengan artefak teknologi.
Hasil akhir artefak teknologi tidak sepenuhnya ditentukan oleh maksud tujuan desainer, mereka
mau tidak mau mengandung ketidakpastian, yang berakibat pada pergeseran bentuk visual.
Padahal sebelumnya telah dijelaskan, melalui tampilan visualnya, hasil sebuah desain
menyampaikan makna filosofi, fungsi, serta harmoni dalam hubungan dengan manusia dan
lingkungannya. Jika bentuk visual artefak tidak dipahami oleh manusia sebagai pengguna
artefak, maka secara otomatis fungsi juga tidak akan dipahami. Selanjutnya yang terjadi adalah
timbulnya fungsi baru, diluar fungsi tujuan awal artefak itu dirancang.
Keberadaan artefak didesain untuk suatu tujuan, ini berarti bahwa banyak artefak,
termasuk jenis artefak, adalah diciptakan untuk beberapa tujuan, meskipun penggunaannya
tidak akan melayani tujuan ini, atau penggunaannya, sebagai jenis atau sebagai tanda,
ditujukan untuk beberapa tujuan yang benar-benar berbeda (Franssen, 2008).

Gambar 5: Hubungan antara benda-benda alam
Sumber : (Philosophy and Design from Engineering to Architecture, 2008)

Gambar 4, menunjukkan seperangkat objek secara bebas yang dapat berhubungan dengan


4

manusia dengan tujuan x. Kedudukan objek sebagai artefak objek (artificial objek), didesain
untuk fungsi x (design for purpose x). Tetapi dalam kedudukannya sebagai bagian objek alam
(natural objek), objek tersebut digunakan untuk fungsi yang bebas ( use for purpose x), bahkan
diluar tujuan fungsi objek tersebut diciptakan.
Walaupun secara natural artefak bebas dalam pengguanaannya, faktor manusia menjadi
kunci yang menentukan objek hasil desain tersebut digunakan untuk fungsi tertentu. Jika
dilihat dari sudut pandang manusia sebagai desainer atau pencipta artefak, maka manusia
dengan kedudukannya sebagai desainer menetapkan fungsi dari artefak ciptaannya. Untuk
masalah, apakah artefak itu akan difungsikan sesuai maksud desainer atau tidak, adalah
tergantung tingkat pemahaman manusia sebagai pengguna. Sebagai contoh bathup, yang
berfungsi sebagai bak air untuk berendam saat mandi, peralatan ini sudah umum bagi
masyarakat kota. Tetapi bagi masyarakat desa ini merupakan peralatan baru, bisa jadi bila
penggunanya masyarakat desa beralih fungsi menjadi bak penampung air, bukan lagi bak
untuk berendam. Dari contoh ini dapat dipahami bahwa, timbulnya fungsi artefak juga
tergantung dari cara pandang, kebiasaan, dan budaya yang melekat pada diri manusia itu
sendiri.
Lingkungan dan Harmony dalam Arsitektur

Harmony termasuk dalam kritera desain Arsitektur, pada tahun 1970-an oleh pekerjaan
Venturi. Kriteria desain yang mengacu pada kriteria untuk mengevaluasi desain arsitektur
dengan lingkungan. Sebagaimana dijelaskan oleh Pitt (2008), Harmony adalah penting, tetapi
tidak harmonis ke titik kebosanan. Apabila terdapat bangunan yang mengabaikan harmony,
dan hanya mengandalkan variasi untuk menunjukkan keberadaan dan perbedaan mereka, ini
hanya akan merendahkan nilai arsitektur dari bangunan itu sendiri. Sebagai contoh Portland
building di Oregon Amerika Serikat.

Gambar 6: Portland Building, Postmodern yang mengabaikan Harmoni
Sumber: http://archinect.com

Harmony dalam desain arsitektur berusaha untuk membuat proyek arsitektur bekerja dalam
konteks fungsi mereka dengan hubungannya dengan lingkungan. Singkatnya, adalah dengan
mengembangkan tujuan desain yang disebut "Common Sense Design", sebagian didasarkan
pada beberapa saran William James (1907). Pada bagian ini melibatkan pengembangan
gagasan bahwa desain tertentu telah berhasil bertahan terhadap lingkungan di mana mereka
dikembangkan. fokus tidak hanya pada lokalitas situs, melainkan pada wawasan, dan nilai
yang dapat kita ambil dari budaya asli. Untuk lebih mudah memahami harmony, kita dapat
melihat pada arsitektur lokal.
Tetapi bukan berarti untuk mencapai harmoni hanya mengandalkan lokalitas situs tanpa
disertai wawasan dan nilai, ini hanya menimbulkan eklektik yang terkesan “dipaksakan”.
Sebagai contoh, halte bus di jakarta. Bermaksud mempunyai konsep budaya betawi, tetapi
justru terkesan “ memaksa”.

5

Gambar 7: Halte Bus Jakarta, terkesan " eklektik yang memaksa"
Sumber: http://jakartainbox.blogspot.com

Dengan memperhatikan kaidah-kaidah arsitektur lokal, untuk mencapai harmoni, bukan
sekedar pasang tempel, tetapi dikembangkan dengan memahami esensi linguistik dan wawasan
budaya yang terkandung didalamnya. Sehingga akan sesuai jika dipadukan dengan elemen
modern. Contoh bangunan yang berhasil mencapai harmoni dengan berpegang pada wawasan
dan nilai budaya asli antara lain Notre dame de Haut di prancis.

Gambar 8: Notre Dame du Haut Praancis, Postmodernist yang harmonis
Sumber: http://en.wikipedia.org/

Arsitektur, Makna, Fungsi dan Harmoni
Filosofi memberikan makna dan mengilhami karya arsitektur, melalui ekspresi fisualnya untuk
dipahami oleh masyarakat. Pada dasarnya manusia mengerti fungsi suatu karya arsitektur,
tetapi untuk mengerti makna, dibutuhkan proses pemahaman dan pembelajaran lebih lanjut.
Makna dalam arsitektur yang tersampaikan sempurna kepada masyarakat akan semakin
memperkaya nilai arsitektur(karya tersebut akan dihargai, ditiru, diwariskan secara turun
temurun dan dikembangkan)

Gambar 9: Arsitektur membentuk siklus budaya

Siklus saling keterhubungan antara filosofi, lingkungan, dan manusia, sebagai berikut :
1. filosofi menjadi pandangan hidup manusia, Pandangan hidup yang dimilikai bersama oleh
sekelompok manusia kemuddian menjadi aturan/ nilai/ norma.
2. Sekelompok manusia yang hidup dalam satu lingkungan dan memiliki nilai /norma/aturan
disebut masyarakat.
3. Segala bentuk aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, menjadi
kebiasaan dan karakter dari suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi
membentuk suatu budaya.
4. Lingkungan yang merupakan kesatuan alam dan masyarakat beserta budayanya,
membentuk cara pandang terhadap manusia yang menghuninya.

6

2. Obyek dan Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan mengguanakan metode induktif dengan melakukan
observasi pada masjid UNDIP tembalang meliputi lingkungan tapak dan tampilan eksternal
bangunan, survey persepsi masyarakat, pengamatan perilaku pengguna, serta wawancara
Arsitek untuk mengetahui tujuan awal arsitek dan membandingkannya dengan kondisi yang
ada di lapangan. Dengan mengguanakan metode analisa kualitatif.
Mengambil objek obsevasi di daerah Semarang kecamatan tembalang tepatnya di
komplek kampus UNDIP, dimana terdapat bangunan masjid modern yeng memiliki tampilan
visual berbeda dengan masjid pada umumnya.

Gambar 10: Peta lokasi masjid UNDIP

Gambar 11: Lokasi Masjid UNDIP
Sumber :( Pengindraan Google Earth, 2014)

Alasan pemilihan lokasi observasi pada masjid UNDIP, karena masjid UNDIP
merupakan bangunan yang dalam desainnya menggunakan nilai-nilai esensi arsitektur lokal
dengan tampilan visual sebagai bangunan modern. Bentuk banguanan mengekpresikan
kesesuaian warga setempat yang masih tradisional dengan warga UNDIP yang modern.
Bangunan masjid UNDIP menyatukan dua kelompok masyarakat. Walaupun tanpa ornamen
yang identik dengan arsitektur lokal tertentu, masjid UNDIP berusaha mengembalikan ingatan
kepada kebanggaan kita atas arsitektur lokal yang saat ini mulai tergeser dengan pengaruh
arsitektur lain.

7

Gambar 12: Masjid UNDIP Tembalang

3. Hasil dan Pembahasan
Hasil final sebuah desain teknologi selalu ambigu, melebihi maksud dan tujuan desainer.
Fenomena yang desebut sebagai Designer Fallacy ini, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
designer fallacy negatif yang bersifat melemahkan hasil desain, dan designer fallacy positif
yang bersifat memperkuat hasil desain. Untuk membuktikan pernyataan ini dapat dilakukan
dengan cara membandingkan data mengenai desain awal bangunan Masjid UNDIP yang
didapatkan dari arsitek prof. Ir. Totok Roesmanto, M.Eng dengan keadaan di lapangan. Data
perbandingan disajikan sebagai berikut :
Tabel 2:
Tabel Perbandingan Analisa Kesesuaian

No

1.

Elemen
Pengamatan

Bentuk
Tapak
Bangunan /
Siteplan

Analisa Penulis

Pernyataan Prof. Totok
Roesmanto Sebagai Arsitek

Bangunan masjid UNDIP, bila
dilihat dari atas (dalam
pengindraan)
Menyerupai mandala.
Mandala merupakan seni
geometri yang menggambarkan
alam semesta, dengan titik pusat
sebagi titik ke-Tuhanan.

Pada awalnya arah sumbu
bangunan masjid tidak sejajar
dengan arah tapak.
merupakan bentuk eksplorasi
geser loncat terhadap 4 sumbu
(sumbu kiblat, arah timur
barat, utara, selatan & sumbu
widyapuraya)

Sesuai

Tidak







Desaign
Fallacy
Posi
tif




Nega
tif

_

Gambar 13: Tampak atas Masjid
UNDIP

: Eksplorasi 3 sumbu
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

e awal bentuk tapak
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

8

No

2.

Elemen
Pengamatan

Halaman
depan
masjid
dibuat
berundak –
undak,

ANALISA PENULIS

Gambar 16: Kontur Tapak

Dibuat berundak dengan tiga
trap tingkatan, memiliki makna
tiga tingkatan langkah manusia
mencapai kehidupan spiritual.
Yang meliputi
Tahap 1 , trap paling bawah.
Ruang personal, manusia
dengan dirinya sendiri.
Tahap 2 , trap tengah. Ruang
sosial, manusia dengan
sesamanya
Tahap 3 , trap paling atas.
Ruang Spiritual, manusia
dengan Tuhannya. Untuk
mencapai trap ke 3, harus
melalui anak tangga yang
berjumlah banyak,
melambangkan untuk mencapai
tahap ini, manusia harus
mengalami banyak cobaan.

3.

Pernyataan Prof. Totok
Roesmanto Sebagai Arsitek

Trap berundak tiga, sebagai
penyesuaian terhadap kontur
tapak.
Pada ide awal desain, kontur
ini dimanfaatkan untuk
recycle air wudlu, terdapat
kolam yang mengalir ke trap
bawah, dari penyesuaian ini,
pelataran depan masjid akan
lebih sejuk, yang merupakan
pertimbangan konsep green
architecture.

Sesuai

Tidak









Lantai 1, terdapat serambi
masjid berbentuk leter U,
dengan mempertimbangkan :

Mengatasi sinar matahari,
agar bagian dalam masjid
tetap sejuk, ini merupakan
bentuk penyesuaian
terhadap bangunan tropis.

Memaksimalkan daya
tampung jemaah
Lantai 2, plat lantai berbentuk
leter U, dengan
mempertimbangkan :

agar jemaah dapat melihat
langsung ke imam

Memaksimalkan daya
tampung jemaah

Posi
tif




Nega
tif

_

Gambar 17: Ide Awal tampak
Potongan
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

Denah dan
bentuk
serambi

Gambar 18: Denah Ruang

Desaign
Fallacy

__



__

Gambar 19: Eksplorasi bentuk
denah
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

Bentuk denah persegi yang
seperti saat ini merupakan
hasil eksplorasi bentuk dari
penyesuaian arah kiblat.
Hasil dari eksplorasi geser
loncat ini kemudian dilakukan
penyederhanaan bentuk
menjadi bentuk persegi yang
sejajar dengan serambi.
Sehingga dapat menampung
banyak jemaah.

9

No

4.

Elemen
Pengamatan

ANALISA PENULIS

Atap

Pernyataan Prof. Totok
Roesmanto Sebagai Arsitek

Bentuk atap merupakan
eksplorasi, arsitektur pantura
(jawa bagian utara), sesaui
lokasi masjid yang berada di
Semarang.

Sesuai

Tidak



Desaign
Fallacy
Posi
tif



Nega
tif

Gambar 20: Pembagian atap

Atap susun tiga, perwujutan
iman, islam, ikhsan. Selain itu,
bisa juga berarti tiga tahap
mencapai ma’rifat, manunggal
dengan Sang Pencipta.
o Tahap 1, desain yang rumit
merupakan simbol, tahapan
manusia paling bawah, yang
sangat tergantung dengan
kehidupan duniawi , empat
minaret sebagai simbol empat
nafsu yang menguasai
manusia.
o Tahap 2, manusia mulai bisa
menyeimbangkan nafsunya,
bentuk lebih sederhana,
melambangkan manusia pada
tahap ini mulai mendekatkan
diri pada Sang Pencipta,
o Tahap 3, tahap pencapainan
spiritual tertinggi menyatu
dengan Tuhannya, berbentuk
piramid beton polos tanpa
penutup atap, lebih kecil
5.

Minaret/
menara
masjid

Minaret

Empat minaret sebagai simbol
empat nafsu manusia, karena
pada tahap ini manusia masih
dikuasai oleh nafsu
Nafsu Amarah , Nafsu
Mutmainah , Nafsu Lauamahi,
Nafsu Sufiah ,
Minaret dibuat hanya setinggi
badan banguan sampai atap
tahap 1, sebagai simbol empat
nafsu manusia yang
mendominasi kehidupan pada
tahap kehidupan paling bawah
ini.

Gambar 21: Inspirasi bentuk
atap
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

Gambar 22: Bentuk atap &
eksplorasi geser loncat
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

Minaret, awalnya terpisah
dari masjid, namun pada
perkembangannya minaret
dijadikan satu dengan masjid
karena minaret akan
difungsikan sebagai menara
air dan ruang penyimapaan
balok miring, minaret juga
difungsikan sebagai
pemancar radio islam. akan
tetapi karena keterbatasan
dana, minaret hanya
terbangun setengahnya dari
rencana awal, sehingga
menghasilakan bentuk yang
rata pada ujungnya (belum
selesai)
bentuk minaret tidak
memiliki makna khusus.





Gambar 24: Rencana Awal
Minaret
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

10

No

6.

Elemen
Pengamatan

ANALISA PENULIS

Pernyataan Prof. Totok
Roesmanto Sebagai Arsitek

Sesuai

Tidak



Ornamen
bentuk
octagram
pada
eksterior
dan interior Ornamen Octagram
Bentuk octagram sesuai dengan
seni desain geometri dalam seni
islam arabic. Bentuk ini juga
diidentikan dengan bentuk
“islamic mandala” sebagai
simbol ke-Tuhanan.
Sedangkan dalam hindu,
octagram disebut sebagai “ star
of laksmi”
Simbol cakra sahasrara,
pencapaian kehidupan
Spiritual, menyatu dengan Sang
Pencipta.

Desaign
Fallacy
Posi
tif



Nega
tif

Gambar 26: Ornamen Masjid
mantingan jepara
Sumber: Dokumen Prof. Ir. Totok
Roesmanto, M.Eng

Bentuk Octagram diambil
dari bentuk masjid Mantingan
di Jepara yang kemudian
dieksplor menjadi bintang
octagram arabic.
tidak ada makna tertentu pada
bentuk ornamen octagram
tersebut, bentuk tersebut
semata-mata merupakn hasil
eksplorasi geometri da

Star of laksmi/

4.

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari data tabel kesesuaian diatas,hanaya terdapat satu point analisa penulis yang sesuai dengan
pernyataan Prof. Totok Roesmanto, M.Eng tetapi bentuk bangunan Masjid Undip tembalang
menimbulkan persepsi pemaknaan yang positif. Timbulnya maksud baru diluar maksud
desainer/arsitek (Design fallacy) yang memberikan nilai positif pada ruang menjadi indikasi
keberhasilan dalam dunia desain.
Masjid UNDIP merupakan hasil transformasi bentuk dasar ornamen lokal menjadi konsep
perencanaan yang tetap memakai esensi arsitektur lokal yang diaplikasikan dalam arsitektur
modern. Walaupun dalam proses perencanaan dan pelaksanaan mengalami banyak perubahan
dan ketidaksesuaian, namun hasil karya arsitektur Masjid UNDIP ini bisa dilakukan eksplorasi
bentuk kembali dengan tetap berpegang dengan esensi konsep rancangan awal, sehingga tetap
menghasilkan harmoni.
Saran
Sangat disayangkan, masyarakat sekitar dan pengguna masjid belum mengerti makna
sebenarnya yang terkandung dalam masjid UNDIP, sehingga muncul prilaku pengguna yang
menimbulkan pergeseran fungsi bangunan dan pergeseran bentuk bangunan dari tujuan awal
arsitek. Memang untuk mengerti suatu makna membutuhkan proses, tetapi paling tidak
masyarakat sekitar dan pengguna masjid UNDIP merasa nyaman dan menyukai bangunan
masjid UNDIP. Ini merupakan langkah awal menuju proses pemahaman oleh masyarakat
untuk memaknainya hingga mengerti makna yang sebenarnya.

11

Daftar Pustaka
Breitschmid, M. (2008). Architecture and Philoshophy Thoughts on Building . Journal
Architecture of Virginia Polytechnic Institute & State University , 3.
Built environment. (2014, April 11). Dipetik April 14, 2014, dari wikipedia:
http://en.wikipedia.org/wiki/Built_environment

Davis, H. (2008). Form and Process in the Transformation. Dalam P. Kroes, A. Light, S.
A. Moore, & a. P. Vermaas, Philosophy and Design from Engineering to Architecture
(hal. 282). New York: Springer.
Franssen, M. (2008). Design, Use, and the Physical and Intentional Aspects of Technical
Artifacts. Dalam A. L. Peter Kroes, Philosophy and Design from Engineering to
Architecture (hal. 27). New York: Springer.
James, W. (1907). Lectures on Pragmatisme. London: Oxford.
Kroes, P., Light, A., Moore, S. A., & Vermaas, P. E. (2008). Philosophy and Design from
Engineering to Architecture. New York: Springer.
Kroes, P., Light, A., Moore, S. A., & Vermaas, P. E. (2008). Philosophy and Design from
Engineering to Architecture. New York: springer.
Kroes, P., Light, A., Moore, S. A., & Vermaas, P. E. (2008). Philosophy and Design from
Engineering to Architecture. New York: springer.
Naoe, K. (2008). Design Culture and Acceptable Risk. Dalam P. Kroes, A. Light, S. A.
Moore, & P. E. Vermaas, Philosophy and Design from Engineering to Architecture (hal.
128). New York: Springer.
Peter-Paul, V. (2008). Morality in Design. Dalam P. Kroes, A. Light, S. A. Moore, & P. E.
Vermaas, Philosophy and Design from Engineering to Architecture (hal. 90). New York:
Springer.
Pitt, J. C. (2008). Design Criteria in Architecture. Dalam P. Kroes, A. Light, S. A. Moore,
& P. E. Vermaas, Philosophy and Design from Engineering to Architecture (hal. 317).
New York: Springer.
Rewes, P. (2007). Irigaray for Architecture. Milton Park, Abington: Routledge.
Šuvaković, M. (2012). Architecture and Philosophy. Architecture Acientific Article , 2.
Theresia, J. (2013). Studi Tata Ruang Dalam Rumah Adat Kudus. Jurnal Intra
Universitas Kristen Petra , 1.

12