Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya

7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Paradigma Kajian
Setiap orang memiliki suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada

dalam dirinya tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandang terhadap
dunia, penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar
kebenaran yang dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi
melalui model-model tertentu. Model itulah yang disebut dengan paradigma,
(Moleong,

2009:

49).

Istilah ini


berasal

dari bahasa

Yunani

klasik

yakni paradiegm, dengan awal pemaknaannya yang filosofis, yang memiliki arti
pola atau model berpikir. Paradigma sering juga disebut perspektif, bahkan ada
yang menyebutnya sebagai mazhab pemikiran (school of thought). Istilah-istilah
lain yang sering diidentikkan dengan perspektif adalah model, pendekatan,
strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, dan pandangan
dunia atau worldview (Mulyana, 2001: 8-9).
Menurut Harmon, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi,
berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus
tentang realitas. Sedangkan Baker mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat
aturan yang (1)membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2)menjelaskan
bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil (Moleong,

2009: 49). Thomas Khun menyatakan bahwa paradigma menentukan apa yang
tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin diketahui (Mulyana, 2001:
10). Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma
merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan
yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian. Paradigma
berperan penting dalam mempengaruhi teori, analisis, maupun tindakan peneliti.
2.1.1

Paradigma Interpretif
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Dalam paradigma interpretif, realitas
sosial pada hakekatnya tidak pasti namun nisbi atau relatif. Karena kerelatifannya,

Universitas Sumatera Utara

8

maka pemaknaan setiap orang tergantung bagaimana ia terlibat dalam peristiwa
sosial tertentu. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar

realitas sosial. Menurut Littlejohn, gagasan interpretif ialah pemikiran-pemikiran
teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks. Teoriteori dari genre interpretif berusaha menjelaskan suatu proses dimana pemahaman
terjadi dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan
ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur
kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam
memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005: 41).
Paradigma interpretatif digunakan dalam penelitian ini karena paradigma
ini menyatakan bahwa pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau
makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya seharihari. Sehingga melalui paradigma interpretatif, peneliti dapat memahami
bagaimana stereotip yang berkembang antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil
di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan dengan cara menggali
pandangan dan pengalaman orang lain untuk mendapatkan informasi atau data
yang diperlukan demi tercapainya tujuan penelitian.
2.2

Kajian Pustaka
Suatu teori akan memperoleh arti penting, bila dapat melukiskan,

menerangkan, dan meramalkan gejala yang ada. Dalam landasan teori perlu
dikemukakan deskripsi teori dan kerangka berfikir sehingga selanjutnya dapat

dirumuskan hipotesis dan instrumen penelitian. Adapun teori yang peneliti anggap
relevan dalam penelitian ini adalah :
1. Komunikasi
2. Komunikasi Antarbudaya
3. Interaksionisme Simbolik
4. Stereotip
5. Etnis Pribumi
6. Etnis India Tamil (Sugiyono, 2010: 53).

Universitas Sumatera Utara

9

2.2.1

Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu ‘communicatio’, yang

bersumber dari kata ‘communis’ yang berarti sama. Kata sama maksudnya adalah
memiliki makna yang sama. Maka komunikasi dapat terjadi apabila terdapat

kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan
diterima oleh komunikan (Effendy, 2007: 9). Selain itu juga terdapat sebuah
definisi lain yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan
diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication) yang
mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang
menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1)membangun
hubungan antar sesama manusia; (2)melalui pertukaran informasi; (3)untuk
menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4)berusaha mengubah sikap
dan tingkah laku itu.
Everret M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika yang telah
banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal
penyebaran inovasi membuat definisi bahwa: “Komunikasi adalah proses di mana
suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud
untuk mengubah tingkah laku mereka”. Definisi tersebut kemudian dikembangkan
oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid sehingga melahirkan suatu definisi
baru yang menyatakan bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua
orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu
sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang
mendalam” (Cangara, 2009: 20).
Adapun Carl I. Hovland seorang pakar komunikasi mengatakan bahwa

komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan (pesan) dalam bentuk bahasa-bahasa verbal maupun
non verbal dengan tujuan untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan).
Sementara itu menurut Harold D. Lasswell dalam karyanya, The Structure and
Function of Communication in Society, mengatakan bahwa cara yang baik untuk
menjelaskan dan memahami komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan
berikut: “who? says what? in which channel? to whom? with what effect? atau
siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

10

bagaimana?”. Paradigma Lasswel di atas menunjukkan bahwa komunikasi
meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
1.Komunikator (communicator, sender, source)
2.Pesan (message)
3.Media (channel, media)
4.Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient)
5.Efek (effect, impact, influence)

Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media dan
menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2007: 10).
Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community)
yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas merujuk pada
sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan
tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Komunitas bergantung pada
pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan
kebersamaan itu (Mulyana, 2005: 42).
2.2.1.1 Komunikasi Sebagai Proses Sosial
Dalam proses sosial, komunikasi menjadi alat dalam melakukan
perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan menjembatani perbedaan
dalam masyarakat karena mampu merekatkan sistem sosial masyarakat dalam
usahanya melakukan perubahan. Oleh karena itu untuk memahami komunikasi
sebagai proses sosial maka komunikasi harus dipandang dalam dua aspek yakni
komunikasi secara sosial dan komunikasi sebagai proses. Komunikasi diartikan
secara sosial jika komunikasi selalu melibatkan dua atau lebih orang yang
berinteraksi dengan berbagai niat dan kemampuan, sedangkan komunikasi sebagai
proses jika komunikasi bersifat berkesinambungan.
Komunikasi sebagai proses sosial di masyarakat memiliki fungsi-fungsi

sebagai berikut:
1.

Komunikasi menghubungkan antar berbagai komponen masyarakat.
Komponen disini tidak hanya individu dan masyarakat saja, melainkan

Universitas Sumatera Utara

11

juga berbagai bentuk lembaga sosial seperti pers, asosiasi, organisasi
desa.
2.

Komunikasi membuka peradaban. Menurut Koentjraningrat (1997),
istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari
kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan
serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu
struktur masyarakat yang kompleks pula.


3.

Komunikasi adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat.
Berbagai nilai (value), norma (norm), peran (role), cara (usage),
kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) dan adat (customs) dalam
masyarakat yang mengalami penyimpangan (deviasi) akan dikontrol
dengan komunikasi baik melalui bahasa lisan, sikap apatis atau perilaku
nonverbal individu.

4.

Tanpa bisa diingkari komunikasi berperan dalam sosialisasi nilai ke
masyarakat. Bagaimana sebuah norma kesopanan disosialisasikan kepada
generasi muda dengan contoh perilaku orang tua (nonverbal) atau dengan
pernyataan nasihat langsung (verbal).

5.

Individu berkomunikasi dengan orang lain menunjukkan jati diri
kemanusiaannya. Seseorang akan diketahui jati dirinya sebagai manusia

karena

menggunakan

komunikasi,

itu

juga

berarti

komunikasi

menunjukkan identitas seseorang (Nurudin, 2008: 47).
2.2.2

Komunikasi Antarbudaya

2.2.2.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri
antarpribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar
belakang budaya. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka
kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: proses komunikasi antarbudaya sama
seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif dan
transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24).
Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya
(intercultural communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Secara sederhana komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan atau

Universitas Sumatera Utara

12

simbol oleh komunikator kepada komunikan. Secara etimologis budaya berasal
dari bahasa sansekerta ‘buddhayah’ yang merupakan bentuk jamak dari kata
‘buddhi’, yang artinya budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Komunikasi antarbudaya tidak terlepas
dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Karena budaya
merupakan suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas
(Lubis, 2012: 10). Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh unsur panca
indera, baik dalam kegaitan pikiran (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku
(psikomotorik). Kata lain yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya
adalah ’kultur’ yang berasal dari Romawi. Kultur merupakan hasil penciptaan,
perasaan dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik
(Purwasito, 2003: 95).
E.B Taylor seorang ahli antropologi memberikan definisi mengenai
kebudayaan yaitu sebagai berikut: “kebudayaan adalah hal yang kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat”. Artinya kebudayaan ialah segala
sesuatu yang didapatkan dan dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari anggota
masyarakat. Selo Soemardjan mendefinisikan kebudayaan sebagai “semua hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat”.
Mengenai makna dan definisi kebudayaan secara lebih jelas dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan
manusia yang meliputi kebudayaaan materiil dan kebudayaan nonmateriil.
2. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis, melainkan hanya
mungkin diperoleh dengan cara belajar
3. Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Tanpa masyarakat tidak akan mungkin tercipta kebudayaan.
Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia dapat
mempertahankan kehidupannya.

Universitas Sumatera Utara

13

Jadi, kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan manusia. Karena hampir
semua tindakan manusia adalah kebudayaan (Purba, et al. 2010: 112).
Komunikasi

antarbudaya

tidak dapat

dipisahkan dari pengertian

kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan bukan hanya sekedar dua kata
tetapi merupakan dua konsep yang saling berhubungan. Edward T. Hall
mengatakan bahwa “komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah
komunikasi. Dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara
pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan juga hanya dengan komunikasi maka
pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika
ada komunikasi (Liliweri, 2004: 21).
Menurut Samovar dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi ketika
bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar
belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai-nilai yang
dianut oleh kelompoknya. Komunikasi antarbudaya merupakan suatu proses
penyandian dan penyandian balik pesan antara dua atau lebih individu dengan
kebudayaan yang berbeda. Pengaruh budaya serta proses penyandian dan
penyandian balik pesan dapat digambarkan seperti pada Model of Intercultural
Communication (Lubis, 2012: 12).
Gambar 2.1 : Model Komunikasi Antar Budaya Samovar dan Porter (1998)

A

B

C
Sumber: Sihabudin (2011: 22)

Universitas Sumatera Utara

14

1. Budaya A dan B relatif serupa diwakili oleh gambar A dan B yang relatif
hampir serupa.
2. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan B. Perbedaannya tampak
pada bentuknya dan jarak fisiknya dari budaya A dan B.
Proses komunikasi antarbudaya dilukiskan oleh arah gambar panah-panah
yang menghubungkan antarbudaya:
1. Pesan mengandung makna yang dikehendaki oleh komunikator.
2. Pesan mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya si
penerima pesan atau komunikan.
3. Makna pesan berubah selama fase penerimaan atau respon balik dalam
komunikasi antarbudaya karena makna yang dimiliki komunikator tidak
mengandung budaya yang sama dengan komunikan (Sihabudin, 2011: 23)
Model tersebut menunjukkan bahwa bisa terdapat banyak ragam
perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya
terjadi dalam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang
berbeda ranah budaya secara ekstrim hingga interaksi-interaksi antara orang-orang
yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur atau
subkelompok berbeda.
Berikut definisi komunikasi antarbudaya menurut para ahli:
a. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss
Komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda baik itu perbedaan
ras, etnik, sosial, ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu
(Liliweri, 2004: 10).
b. Sitaram (1970)
“Komunikasi antarbudaya .... seni untuk memahami dan saling
pengertian antara khayalak yang berbeda kebudayaan”
(intercultural communication .... the art of understanding and
being understood by the audience of another culture)
c. Samovar and Porter (1972)
“Komunikasi antarbudaya terjadi manakala bagian yang terlibat
dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang
pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut
oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan dan normanorma” (intercultural communication obtains whenever thr parties
to a communication act bring with them different experiential
backgrounds that reflect a long-standing deposit of group
experience, knowledge and values)
d. Carley H. Dodd (1982)
“Komunikasi antarbudaya adalah pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan dalam konteks perbedaan budaya yang menghasilkan
efek-efek yang berbeda” (intercultural communication is the

Universitas Sumatera Utara

15

sending and receiving of messages within a context of cultural
differences producing diferential effects)
e. Young Yun Kim (1984)
“Komunikasi antarbudaya ..... dimaksudkan kepada fenomena
komunikasi dimana para partisipannya berbeda latar belakang
budaya yang melakukan kontak secara langsung maupun tidak
langsung antara satu sama lain” (intercultural communication .....
refers to communication phenomenon in which participant,
different in cultural backgrounds, come into direct or indirect
contact with another one) (Purba, et al. 2010: 113-114).
Seluruh definisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanaan
pada perbedaan budaya sebagi faktor yang menentukan dalam berlangsungnya
proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya memang mengakui dan
mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya
tetap pada proses komunikasi yang terjadi diantara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan yang mencoba melakukan
interaksi satu sama lain. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda
bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut
komunikasi antar budaya. Kegiatan interaksi sosial pada dasarnya sangat
mengandalkan adanya komunikasi antarbudaya yang harmonis antara para
individu yang terlibat didalamnya.
Oleh karena itu perlu dipahami mengenai konsep saling ketergantungan
diantara proses komunikasi dan kebudayaan. Smith menjelaskan bahwa
“kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan
dimiliki bersama, untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan
komunikasi; sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambanglambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama (Purba, et al. 2010: 115).
Berdasarkan uraian tentang definisi komunikasi antarbudaya diatas maka
untuk memahami dan mempelajari kajian komunikasi antarbudaya kita mengenal
beberapa asumsi, yaitu :
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa
ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi
antarpribadi

Universitas Sumatera Utara

16

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. Komunikasi

antarbudaya

bertujuan

mengurangi

tingkat

ketidakpastian
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. Efektivitas komunikasi antarbudaya merupakan tujuan komunikasi
antarbudaya (Liliweri, 2004: 15-16).
Keenam asumsi tersebut merupakan bagian dari teori-teori komunikasi yang dapat
diterapkan dalam lingkungan tertentu khususnya dalam ruang lingkup lingkungan
yang multikultural.
Pada hakekatnya tujuan dari komunikasi antarbudaya adalah mengurangi
ketidakpastian diantara para pelakunya. Gudykunst dan Kim (1984) memaparkan
bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal selalu berusaha mengurangi
tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antrapribadi.
Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga
tahap reaksi, yaitu:
1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi)
2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang
muncul dari kontak awal tersebut
3. Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi
dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar
kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi
atas suatu perilaku atau tindakan seseorang (Liliweri, 2004: 19-20).
Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi
(apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik
para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat
ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat
kebebasan, suasana di mana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta
komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan
komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan
minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi

Universitas Sumatera Utara

17

antarabudaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan
tentang komunikan, dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48). Komunikasi
antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap
aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budayabudaya yang bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara
mengkomunikasikannya

(verbal

dan

nonverbal)

dan

kapan

akan

mengkomunikasikannya.
2.2.2.2 Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Secara umum dijelaskan bahwa ada empat kategori fungsi utama
komunikasi yakni fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi persuasif dan fungsi
menghibur. Apabila empat fungsi utama itu diperluas maka akan ditemukan dua
fungsi, antara lain :
A. Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi komunikasi antar budaya adalah fungsi-fungsi komunikasi
antarbudaya yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari
seorang individu.
a. Menyatakan identitas sosial
b. Menyatakan integrasi sosial
c. Menambah pengetahuan
d. Melepaskan diri atau jalan keluar.
B. Fungsi Sosial
Fungsi sosial komunikasi antar budaya adalah fungsi-fungsi komunikasi
antar budaya yang berguna bagi masyarakat sekitar, antara lain:
a. Pengawasan
b. Menjembatani
c. Sosialisasi Nilai
d. Menghibur (Lubis 2012: 22-25).
2.2.2.3 Hambatan Komunikasi Antarbudaya
Chaney & Martin (2004) mengemukakan bahwa hambatan komunikasi
(communication

barrier)

dalam

komunikasi

antarbudaya

(intercultural

communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di

Universitas Sumatera Utara

18

dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di
atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor-faktor
hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline)
adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan
semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan
semacam ini adalah:
a. Persepsi (perceptions)
b. Norma (norms).
c. Stereotip (stereotypes).
d. Filosofi Bisnis (business philosophy).
e. Aturan (rules)
f. Jaringan (networks).
g. Nilai (values).
h. Grup cabang (subcultures group)
Sedangkan hambatan komunikasi antar budaya yang berada di atas air
(above waterline) ada 9 (sembilan). Hambatan komunikasi semacam ini lebih
mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut menurut Chaney & Martin (2004) adalah:
a. Fisik (physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu,
lingkungan, kebutuhan diri dan juga media fisik.
b. Budaya (cultural)
Hambatan ini berasal dari etnis yang berbeda, agama dan juga perbedaan
sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
c. Persepsi (perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi
yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan
sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
d. Motivasi (motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar,
maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin

Universitas Sumatera Utara

19

menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan
tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
e. Pengalaman (experiential)
Pengalaman adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu
tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu
mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat
sesuatu.
f. Emosi (emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar.
Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang
terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
g. Bahasa (linguistic)
Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan
(sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang
berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima
pesan.
h. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk
kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah
wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim
pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut
dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim
pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan
kepada penerima pesan.
i. Kompetisi (competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan
kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon
selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus
maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan
melalui telepon selularnya secara maksimal (Lubis, 2012: 6-8).
Setiap kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Maka dari itu setiap kebudayaan memiliki makna yang

Universitas Sumatera Utara

20

berbeda. Hambatan komunikasi sebagai hal yang menjadi penghalang untuk
mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif. Dalam penelitian ini peneliti akan
menggunakan hambatan stereotip sebagai fokus masalah yang hendak diteliti.
2.2.3

Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead adalah tokoh yang terkenal sebagai penggagas teori

ini. Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksi simbolik berkembang pesat
setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan kuliahnya melalui buku
Mind, Self, and Society (1934). Buku ini terbit tak lama setelah Mead meninggal
dan menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik. Salah satu murid Mead yang
bernama Herbert Blumer menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun
1937 dan mempopulerkannya di kalangan akademis (Mulyana, 2001: 68).
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat nonverbal (seperti
body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata,
suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang
mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya
pada orang, benda dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang
digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan
dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk
mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang
lainnya dalam sebuah komunitas (West-Turner, 2008: 98).
Menurut Ralph Larossa & Donald C. Reitzes (1993), interaksi simbolik
pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana
manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide
dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (mind)
mengenai diri (self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan bertujuan
akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(society) dimana individu tersebut menetap. Makna itu berasal dari interaksi, dan
tidak ada cara lain untuk membentuk makna selain dengan membangun hubungan

Universitas Sumatera Utara

21

dengan individu lain melalui interaksi. ”Mind, Self and Society” ini menghasilkan
tiga tema konsep pemikiran yang mendasari interaksi simbolik:
a. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
b. Pentingnya konsep mengenai diri
c. Hubungan antara individu dengan masyarakat (West-Turner 2008: 96).
Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif,
kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang
perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar
dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun juga berubah
melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang
menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri
tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu
berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama.
Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas
tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa
pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan
unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori
pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
oleh semua anggota budaya (Mulyana, 2001: 61-62).
Pada hakikatnya interaksi sosial itu adalah interaksi simbolik. Manusia
berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain
memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat
bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis
melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa
individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang
didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah
sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan
kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),
perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001: 84).

Universitas Sumatera Utara

22

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang
lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa
simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya
dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Perspektif ini
menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan,
berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah
pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut. Teori interaksionisme simbolik
menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan
pendekatan ini adalah individu itu sendiri.
2.2.4

Stereotip
Dalam berkomunikasi antara satu kelompok dengan kelompok lain yang

berasal dari latar belakang yang berbeda, ada kecenderungan yang mewarnai sikap
dan perilaku. Diantaranya adalah stereotip dan prasangka. Seringkali kedua hal
tersebut dijadikan pegangan atau landasan antara satu kelompok dengan
kelompok yang lain daripada mempertimbangkan ciri-ciri individu dari suatu
kelompok tersebut. Akibatnya komunikasi didasarkan atas stereotip dimana
unsur-unsur yang banyak dan beraneka ragam digolongkan ke dalam suatu
gambaran tertentu dan gambaran inilah yang dimaksud dengan stereotip. Stereotip
merupakan suatu penilaian terhadap sesuatu yang pada dasarnya belum dapat
dibuktikan kebenarannya secara faktual. Stereotip dalam hal ini merupakan
keyakinan yang terlalu digeneralisasi, disederhanakan, atau dilebih-lebihkan
terhadap kelompok etnis tertentu. Dengan demikian, ketika kita memberikan
stereotip

kepada

seseorang,

pertama

kali

yang

kita

lakukan

adalah

mengidentifikasi individu tersebut pada basis anggota kelompok etnis tertentu,
dan langkah berikutnya adalah menilai diri individu tersebut.
Stereotip adalah persepsi bahwa sebagian besar anggota sebuah kategori
(kelompok) memiliki beberapa atribut yang sama. Stereotip timbul secara
langung dari proses kategorisasi, khususnya asimilasi-konsekuen dari
perbedan perbedaan antarkelompok. Stereotip dapat berasal dari budaya
dimana orang-orang tersosialisasi, dari perbedaan kultural dan sosialekonomi riil antarkelompok, dan juga dari perbedaan bias kognitif yang

Universitas Sumatera Utara

23

tampaknya muncul dalam korelasi-khayalan antar kelompok minoritas dan
atribut-atribut yang jarang terlihat (Brown 2005: 181).
Sedangkan menurut Allan G. Johnson, stereotip merupakan hambatan
dalam melakukan komunikasi secara efektif antara orang yang berlainan budaya
karena stereotip merupakan keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifatsifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman tertentu (Liliweri 2005: 209).
Tajfel membedakan stereotip ke dalam dua bagian, yaitu stereotip individu
dan stereotip sosial. Generalisasi yang dilakukan seseorang dengan menarik
kesimpulan atas karakter orang lain melalui proses kategori yang bersifat kognitif
(berdasarkan pengalaman individu) disebut dengan stereotip individu. Sedangkan
stereotip sosial terjadi manakala stereotip itu telah menjadi evaluasi terhadap
kelompok tertentu dan telah meluas dan menyebar pada kelompok lain. Stereotip
ini hanya bisa menjadi sebuah stereotip sosial jika dimiliki atau didasarkan oleh
sebagian besar dari orang yang ada dalam suatu kelompok sosial (Gudykunst
2003: 91).
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh
suatu kelompok terhadap kelompok lain atau oleh seseorang kepada orang lain
yang merupakan anggota dari kelompok diluar kelompoknya. Stereotip
merupakan suatu paduan waktu yang paling sering ditunjukkan oleh suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Oleh karena itu stereotip etnis adalah stereotip
yang dipegang oleh suatu etnis tentang etnis lain. Stereotip dapat juga diartikan
sebagai sebuah image dari atau sikap prasangka orang-orang atau kelompokkelompok yang tidak didasarkan pada observasi atau pengalaman, melainkan
didasarkan pada pendapat-pendapat sebelumnya. Psikolog Abbate, Boca dan
Bocchiaro memberikan pengertian yang lebih formal :
“Stereotip merupakan susunan kognitif yang mengandung pengetahuan,
kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial
manusia. Alasan mengapa stereotip dapat menyebar dengan mudah
adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk
mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal.” (Lubis, 2012: 86).
Miles dan Brown mengemukakan ada tiga aspek esensial dari stereotip,
diantaranya adalah :

Universitas Sumatera Utara

24

1. Acap kali keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi
dan kategorisasi itu selalu terindifikasi dengan mudah melalui karakter
tertentu misalnya, perilaku dan kebiasaan bertindak.
2. Stereotip bersumber dari bentuk atau sifat perilaku turun temurun,
sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok.
3. Karena itu, individu yang merupakan anggota kelompok diasumsikan
memiliki karakteristik, ciri khas kebiasaan bertindak yang sama dengan
kelompok yang digeneralisasi itu (Liliweri 2005: 208).
Berdasarkan arahnya stereotip terbagi atas dua macam, yaitu stereotip
positif dan stereotip negatif. Namun sebagian besar orang menganggap stereotip
itu negatif padahal tidak tertutup kemungkinan bahwa stereotip itu dapat bersifat
positif. Stereotip positif ialah dugaan atau gambaran yang bersifat positif terhadap
kondisi suatu kelompok tertentu. Stereotip positif ini dapat membantu terjadinya
komunikasi antarbudaya sehingga dapat memudahkan terjadinya interaksi antar
orang yang berbeda latar belakang pada sebuah lingkungan secara bersama-sama
sehingga menciptakan suatu hubungan yang harmonis antar kelompok dengan
budaya berbeda. Sedangkan stereotip negatif merupakan dugaan atau gambaran
yang bersifat negatif yang dibebankan kepada suatu kelompok tertentu yang
memiliki perbedaan yang tidak bisa diterima oleh kelompok lain.
Meskipun stereotip yang banyak berkembang umumnya bersifat negatif,
namun stereotip juga memiliki beberapa fungsi, antara lain:
a)

Menggambarkan suatu kondisi kelompok,

b)

memberikan dan membentuk citra kepada kelompok,

c)

membantu seseorang dari suatu kelompok untuk mulai bersikap
terhadap kelompok lainnya dan terakhir,

d)

melalui stereotipe ini kita dapat menilai keadaan suatu kelompok.

Jika stereotip yang hadir dalam masyarakat adalah stereotip yang negatif
terhadap suatu kelompok tertentu dengan kondisi masyarakat yang majemuk, ini
akan menjadi sebuah ancaman untuk mempertahankan kesatuan dalam
kemajemukan tersebut. Stereotip ini akan menjadikan sekat yang jelas, sehingga
dapat menghambat komunikasi antarbudaya karena terbangun jarak akibat

Universitas Sumatera Utara

25

stereotip tersebut. Lebih dari itu stereotip terhadap suatu kelompok bukan tidak
mungkin memicu terjadinya konflik antar kelompok. Stereotip akan menimbulkan
prasangka dan prasangka ini selanjutnya akan bertransisi menjadi dasar atau
pendorong dari terjadinya perilaku diskriminasi. Matsumoto (1996) memaparkan
tiga poin mengenai stereotip, yaitu :
1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara
pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari
komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung.
Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang
keliru atau tanpa dasar fakta.
2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa
diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa
alasan apa pun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu
ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di
dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok
mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu
dalam kelompok tersebut (Lubis 2012: 86).
Jika kita membahas mengenai stereotip maka hal ini tidak dapat terlepas
dari prasangka. Dimana stereotip merupakan konsep seseorang dalam bersikap,
begitu juga prasangka. Prasangka tidak selamanya bersifat negatif, karena
merupakan dugaan awal terhadap seseorang atau kelompok lain. Rogers dan
Steinfatt berpendapat bahwa terdapat perbedaan sederhana antara prasangka
dengan stereotip. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok
yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat
dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan atau pengujian
terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi
tentang beberapa kelompok yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo,
2005: 55-56).
Samovar (1985) secara umum menjelaskan bahwa stereotip memiliki
empat dimensi yakni:

Universitas Sumatera Utara

26

1. Arah (direction), sesuatu yang menunjuk pada arah penilaian, apakah
stereotip tersebut positif atau negatif, misalnya disenangi atau tidak
disenangi.
2. Intensitas, yaitu menunjuk pada seberapa kuatnya keyakinan seseorang
ataupun suatu kelompok terhadap suatu stereotip.
3. Ketepatan, artinya ada stereotip yang betul-betul menggambarkan
kebenaran, ada yang setengah benar, dan ada yang sebagian sama sekali
tidak tepat.
4. Isi (content), yaitu isi dari stereotip itu sendiri, sifat-sifat tertentu
mengenai suatu kelompok. Stereotip mengenai suatu kelompok dapat
berbeda-beda dan juga stereotip tersebut dapat berubah dari waktu ke
waktu (Rohmiati, 2011: 39).
Djuarsa & Sunarwinardi (2008) dalam bukunya Modul Komunikasi
Antarbudaya menjelaskan bahwa stereotip merupakan kerangka berpikir yang
berada pada tataran kognitif atau pengetahuan maka stereotip muncul karena
dipelajari dari berbagai cara dan berbagai sumber. Beberapa sumber stereotip
tersebut antara lain:
a. Pengalaman Pribadi
Interaksi yang kita lakukan secara langsung dengan anggota suatu
kelompok, kemudian kita melakukan generalisasi tentang sifat atau
karakteristik yang dimiliki oleh kelompok tersebut.
b. Informasi Orang Terdekat / Lingkungan
Seseorang atau individu yang berinteraksi dengan kita. Kecenderungan
untuk mengembangkan stereotip ini melalui pengalaman orang lain,
terutama bila kita tidak mengetahui atau kurang memiliki pengalaman
bergaul dengan anggota-anggota dari kelompok yang dikenai stereotip.
c. Media Massa
Melalui surat kabar, majalah, film, radio, televisi, buku dan lain
sebagainya kita dapat mempelajari stereotip mengenai suatu kelompok
berdasarkan penyajian pesan atau informasi yang disampaikan oleh media
massa tersebut (Rizandy, 2012: 10-11).

Universitas Sumatera Utara

27

Samovar

dan

Porter

juga

memaparkan

bahwa

stereotip

dapat

mempengaruhi keberlangsungan hubungan antarbudaya antara lain sebagai
berikut:
1. Stereotip dapat menjadi penyebab tidak berlangsungnya interaksi
antarbudaya. Bila kita mempunyai stereotip, maka kita akan memilih
untuk bertempat tinggal dan bekerja dalam latar yang meminimalkan
kesempatan kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai.
2. Stereotip cenderung menciptakan beberapa faktor negatif selama
pertemuan antarbudaya yang secara serius akan mempengaruhi kualitas
interaksi.
3. Bila stereotip sangat intensif, maka orang yang berstereotip akan terlibat
dalam sikap diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dan
kondisi akan mudah mengarah pada konfrontasi dan konflik terbuka
(Rahardjo, 2005: 62).
Fraser P. Seitel, seorang pakar public relation, menulis dalam bukunya:
semua orang yang hidup di dunia ini memiliki gambaran stereotip, yaitu sebuah
image yang melekat dan dipercayai kebenarannya. Kebanyakan dari kita adalah
korban stereotip. Komunikasi antarbudaya cenderung mengalami kemudahan jika
pelaku komunikasi yang berbeda budaya memiliki derajat persamaan dalam
persepsi, sebaliknya jika terdapat kesulitan dalam persamaan persepsi maka
komunikasi yang berlangsung tidak akan efektif dan menimbulkan kecenderungan
untuk saling menguatkan perbedaan antar kelompok. Hambatan yang disebabkan
stereotip dapat menjadi potensi munculnya konflik antar etnis sehingga kita
sebagai anggota dari suatu kelompok budaya sudah seharusnya meminimalisir dan
mencegah berkembangnya stereotip khususnya stereotip yang bersifat negatif
(Lubis, 2012: 87).
2.2.5

Etnis Pribumi
Etnis Pribumi adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka

sendiri. Masyarakat Indonesia terbagi dalam dua golongan besar yaitu golongan
Etnis Pribumi dan Etnis Pendatang (Eropa, India, Cina, dsb). Golongan Pribumi
dapat didefinisikan sebagai golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku

Universitas Sumatera Utara

28

atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Ada
pula pengertian yang menyatakan etnis pribumi adalah warga negara Indonesia
yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau
golongan Eropa (Damayanti, 2011: 27).
Berdasarkan pengertian mengenai etnis pribumi di atas dapat disimpulkan
bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis yang bukan berasal
dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan. Berikut adalah
gambaran presentase etnis yang ada di Kota Medan pada tahun 2000 :
Tabel 2.2.5 Presentase Jumlah Etnis di Kota Medan Tahun 2000
Etnis

Presentase

Jawa

27,03%

Batak

23,79%

Tionghoa

17,65%

Mandailing

8,36%

Minangkabau

7,57%

Melayu

6,18%

Lain-lain

9,42%

Sumber: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut mencatat "Batak" sebagai gabungan suku bangsa, total
Simalungun (1,69%), Tapanuli/Toba (19,71%), Pakpak (1,64%), dan Nias (0,75%)
adalah 23,79%.

2.2.6

Etnis India Tamil
Etnis India Tamil merupakan salah satu etnis yang berasal dari bangsa

India. Menurut sejarahnya, mereka adalah pendatang yang pada awalnya sebagai

Universitas Sumatera Utara

29

kuli di perkebunan Deli. Mereka pertama kali dibawa masuk ke Indonesia oleh
pemerintah Belanda pada abad ke-19, umumnya mereka dipekerjakan di sejumlah
perkebunan di kota Medan. Sebagian besar berasal dari India bagian selatan,
namun tidak sedikit pula yang berasal dari India bagian utara. Umumnya etnis
India Tamil berasal dari kerajaan Drawidia di India Selatan, sebagian besar dari
mereka berasal dari kelas atau status sosial ekonomi rendah dan tidak terpelajar.
Mereka dibujuk untuk datang ke tanah Deli dengan cerita tentang kekayaan dan
kesuburan Tanah Deli serta dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan mudah
dengan bayaran tinggi pada industri perkebunan yang berkembang pada masa itu.
Etnis Tamil yang masuk ke Indonesia kebanyakan dipekerjakan di perusahaan
perkebunan Belanda yang bernama Deli Maatschappij (Sinar, 2001: 1).
Pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan seperti apa yang dijanjikan.
Mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar dengan beban kerja yang sangat berat
tetapi gaji yang diperoleh rendah. Mereka juga menempati perumahan yang tidak
layak. Mereka banyak diasosiasikan dengan pekerjaan kasar, seperti kuli
perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan pekerjaan-pekerjaan
lainnya yang lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang orang
Tamil yang datang ke Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan rendah di
India, yang tentu saja memiliki tingkat pendidikan yang amat rendah pula.
Etnis India Tamil tidak hanya tersebar di Sumatera Utara, tetapi juga
mereka banyak menetap di Jakarta dan di Sigli, Aceh. Kebanyakan dari
masyarakat Tamil beragama Hindu, namun tidak sedikit pula yang beragama
Islam dan Kristen. Istilah “keling” di Sumatera Utara digunakan untuk menyebut
orang India yang identik dengan kulit gelap, khususnya masyarakat Tamil dan
julukan ini cenderung memiliki konotasi negatif. Padahal sebenarnya istilah kata
“keling” ini digunakan untuk orang Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga di
Jawa Tengah. Namun orang Belanda membuat kesalahan pengucapan kata
Kalingga sehingga menjadi kata keling. Hal ini juga berdampak pada penyebutan
nama daerah yang sampai saat ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan
pengembangan Etnis Tamil yaitu Kampung Keling (Sinar, 2001: 2).

Universitas Sumatera Utara

30

2.3

Penelitian Terdahulu
Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang pernah meneliti tentang

stereotip antar etnis:
2.3.1

Penelitian Ahmad Rizandy R
Penelitian beliau berjudul “Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar

(Studi Komunikasi Antarbudaya Suku Bugis dan Suku Mandar di Kota
Makassar)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana stereotip yang
berkembang pada suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar. Serta
untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi berkembangnya
stereotip suku Bugis terhadap suku Mandar di kota Makassar.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif
kualitatif yang bertujuan menjelaskan, mengungkap fakta, keadaan, fenomena,
variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa
adanya. Penelitian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang
bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang
terjadi di dalam masyarakat, pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan
antarvariabel, perbedaan antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi, dan lainlain.
Subjek penelitian adalah masyarakat keturunan suku Bugis yang menetap
dan berinteraksi selama kurang lebih 5 tahun terhadap suku Mandar. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkankan bahwa stereotip yang terbentuk pada
masyarakat suku Bugis di kota Makassar mengalami perkembangan positif.
Perkembangan tersebut dapat diukur dari empat dimensi stereotip yakni
(a) Arah (direction), penilaian dari penilaian negatif ke positif,
(b) Intensitas, yakni stereotip negatif terhadap suku Mandar melemah
dan stereotip positif menguat,
(c) Ketepatan, adalah kebenaran akan stereotip negatif tidak pernah
terjadi atau tidak pernah dialami secara langsung dan
(d) Isi khusus (content), yaitu terbentuk penggambaran baru mengenai
suku Mandar yakni orang-orang suku Mandar taat beribadah,
memiliki sikap terbuka, tutur kata sopan, memiliki rasa solidaritas
tinggi dan cepat tersinggung.

Universitas Sumatera Utara

31

Terbentuknya stereotip pada masyarakat suku Bugis terhadap suku
Mandar disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah lingkungan sosial, yaitu
sumber stereotip itu diterima sebagai pesan atau informasi, baik itu dari keluarga
atau pun orang lain. Kedua adalah persepsi, dalam

Hal ini terkait dengan

pengamatan suku Bugis terhadap perilaku suku Mandar dalam kehidupan seharihari serta pemaknaan dari masyarakat suku Bugis mengenai stereotip yang
berkembang. Ketiga adalah interaksi langsung yaitu terbentuknya peluang untuk
melakukan komunikasi baik secara personal maupun kelompok sehingga antara
suku Mandar dan suku Bugis dapat saling memahami. Keempat adalah unsur
kebudayaan seperti kepercayaan, nilai, sikap dan lembaga sosial. Unsur
kepercayaan, nilai dan sikap merupakan unsur yang mempengaruhi cara berpikir
dalam merespon stereotip yang diterima, sedangkan lembaga sosial menjadi
wadah pertemuan dan sosialisasi antara suku Bugis dan suku Mandar sehingga
mereka dapat saling memahami dan terbangun hubungan yang harmonis.
2.4

Model Teoritis

DIMENSI
STEREOTIP
PRIBUMI

DIMENSI
STEREOTIP INDIA
TAMIL

Interaksi Komunikasi
Antarbudaya

1. Arah (direction)
2. Intensitas
3. Ketepatan
4. Pesan

1. Arah (direction)
2. Intensitas
3. Ketepatan
4. Pesan

FAKTOR PEMBENTUK
STEREOTIP :
1.
2.
3.

PENGALAMAN
PRIBADI
INFORMASI ORANG
TERDEKAT
MEDIA

Gambar 2.2 : Model Teoritis

Universitas Sumatera Utara