Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB II

(1)

BAB II

TEORI REKONSILIASI KONFLIK

Dalam bab ini, akan dibahas kajian teoritis yang digunakan sebagai dasar penuntun dalam analisa data secara holistik. Menurut Budiardjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Tentang menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.1 Lebih spesifik Kerlinger menjelaskan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.2 Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih dahulu membahas hakekat konflik, sehingga lebih tertata.

2.1. Hakekat Konflik

Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis-bertentangan.3 Berdasarkan asal kata tersebut di atas konflik diartikan sebagai relasi-relasi antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,

1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1979), 30.

2 F. N. Kerlinger, Foundations of Behavioral Research. 2nd Edition, (Holt, Rinehart and Winston,

1973), 9.

3 D. Jary and Julia Jary, Collinss Dictionary of Sociology (Great Britain: Harper Collinss Publisher, 1991), 56.


(2)

interest-interest eksklusif yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik dapat terjadi, jika ada ketidaksepahaman ilmiah di antara individu atau kelompok yang berbeda sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Konflik juga dapat berasal dari persaingan masa lalu maupun perbedaan individual.4

Konflik juga seringkali muncul karena adanya kompetisi terhadap akses atau kontrol pada sumber-sumber atau kesempatan yang langka. Lebih jauh konflik juga merupakan aksi dan reaksi terhadap ketidakadilan, ketidakjujuran dan kebencian terhadap kelompok atau orang tertentu. Konflik dapat terjadi pada semua kelompok atau siapa saja, tidak mengenal status dan kedudukan.5

Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik individu, ataupun kelompok dalam masyarakat.6 Menurut Weber, konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, terjadinya konflik tidak terelakkan dalam suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analisis.7 Bagi Weber seperti yang dikutip oleh Anthony Giddens dan kawan-kawan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.8 Mengingat konflik merupakan gejala yang

4 Bnd: Bambang Mulyanto, dkk, 1998 dalam Kutut Suwondo, Gereja dan Kemajemukan: Gereja Dalam Konflik Dengan Agama-agama Lain : Jalan Baru Me uju Ter e tuk ya Civil “o iety , : Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 85.

5 Hargyaningtyas, Anatomi Konflik - Bahan Pengantar Diskusi Untuk Peserta KRA 34 Lemhannas, 2001,7.

6 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 56. 7 Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1963), 154-155.

8 Anthony Giddens, Daniel Bell, DKK, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 38.


(3)

selalu hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.9

Konflik seringkali dinilai sebagai sesuatu yang selalu berdampak negatif. Lewis A. Coser menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa konflik adalah unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan pada kepentingan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal.10

Bertolak dari kedua pandangan di atas yang sama-sama melihat konflik sebagai gejala yang normal dan alamiah terjadi maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konflik tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju terpeliharanya masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat perekat kehidupan individu, atau kelompok dalam masyarakat.11 Konflik dapat membangun dan membentuk manusia menjadi manusia yang civil dan dewasa tapi konflik juga berbahaya dan merusak dunia kehidupan manusia. Itu berarti konflik tidak dapat dihindari namun dapat dihadapi. Karena penghindaran konflik bisa mengakibatkan terjadinya konflik yang lebih besar.

9 Ibid

10 Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict (New York: The Free, 1964), 22.

11 Durkheim juga melihat bahwa kelompok manusia memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut. Dari sini Durkheim menekankan bahwa sistem sosial seimbang, oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Nilai-nilai inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya keseimbangan sosial melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Pemikiran Durkheim ini dikritik oleh teori fungsionalis yang melihat masyarakat pada awalnya disusun oleh individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Adanya kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai-nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang, Kedua teori ini sama-sama memiliki persamaan dalam melihat keseimbangan yang terjadi dalam masyarakat terbentuk karena adanya nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat individu dalam masyarakat. Band: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York : Free Press, 1965), 121. Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), 89-93.


(4)

Semakin cepat konflik ditangani dan dihadapi atau bahkan dicegah semakin baik. Konflik tidak selalu negatif, melainkan bisa dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.

2.2. Konsep-konsep Rekonsiliasi

Dalam upaya penanganan konflik, ada berbagai istilah yang digunakan seperti

“resolusi konflik”, “manajemen konflik”, dan “penyelesaian konflik”. Cara yang

digunakan pun ada berbagai macam, seperti mediasi, arbitrasi, dan tim pencari fakta. Dari semua istilah yang sering digunakan kalangan akademisi dalam penanganan konflik adalah alternative dispute resolution atau disingkat dengan ADR. Umumnya kalangan akademik

Indonesia menerjemahkannya menjadi “pilihan penyelesaian sengketa”.12

Istilah ADR merujuk kepada berbagai bentuk penanganan konflik atau sengketa, seperti negosiasi, mediasi, tim pencari fakta, dan arbitrasi. Lalu di manakah posisi rekonsiliasi dalam ADR? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya berangkat dari apa yang dikemukakan Kimberlee K. Kovach tentang ADR. Menurut Kovach, ADR terbagi atas beberapa tipe, yaitu13:

1.Adjudicative, yaitu berbasis pada sistem yang legal dan ada pihak ketiga yang mengambil keputusan. Adjudicative terdiri dari beberapa cara, yakni arbitrasi, private judging, dan tim pencari fakta.

12 Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 110-111. 13 Kimberlee K. Kovach, Mediation Principles and Practice (St. Paul: West Group, 2004), 9-18.


(5)

2.Evaluasi, evaluasi dapat didefenisikan sebagai situasi advokat mempresentasikan versi mereka tentang kasus kepada pihak ketiga yang menilai kelemahan dan kekuatan dari kasus yang dipresentasikan.

3.Facilitative, dalam tipe yang ketiga ini pihak yang netral tidak mengambil keputusan atau mengevaluasi. Pihak yang netral hanya membantu untuk mencapai, “acceptable agreement”. Pada tipe ketiga inilah mediasi dan rekonsiliasi berada.

4.Proses kombinasi dan hybrids. Karena kelebihan ADR adalah fleksibilitas, maka dapat memodifikasi masing-masing proses untuk mencapai resolusi.

Ada hal yang menarik mengenai mediasi dan rekonsiliasi. Orang cenderung menyamakan mediasi dan rekonsiliasi, padahal keduanya berbeda, walaupun hampir sama. Menurut Kovach14, mediasi agak bersifat informal, tapi lebih mempertahankan struktur jika dibandingkan dengan konsiliasi murni. Misalnya masih memungkinkan untuk melaksanakan konsiliasi melalui telepon. Kata konsili biasanya menandakan hubungan yang diperbaiki. Dalam mediasi juga diperhitungkan hubungan tetapi tidak menjadi faktor utama, resolusi dapat dicapai tanpa adanya rekonsiliasi yang sebenarnya antara pihak yang bersengketa. Tapi menurutnya dalam konteks internasional, konsiliasi memiliki arti yang berbeda. Kata konsiliasi dalam kepentingan komersial internasional kata ini digunakan untuk proses atau prosedur di mana pihak netral yang independen menyediakan bantuan

14 Ibid, 14.


(6)

penyelesaian sengketa.15 Jadi dalam konteks internasional menurut Kovach rekonsiliasi lebih menyerupai mediasi.

Perbedaan juga dikemukakan oleh Duane Ruth-Heffelbower dari sudut pandang lain. Menurutnya kecenderungan orang menggunakan mediasi atau rekonsiliasi dalam penanganan sengketa lebih dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Ia ikut membagi

konteks budaya menjadi “budaya konteks renggang” dan “budaya konteks erat”. Budaya

konteks renggang seperti Eropa, Amerika dan Eropa cenderung menyukai mediasi. Pihak yang bertikai duduk bersama pihak luar untuk membantu komunikasi. Sedangkan dalam budaya konteks erat orang lebih menyukai rekonsiliasi dalam penanganan sengketa karena langkah mediasi terlalu beresiko menyebabkan kehilangan muka. Karena mediasi terlalu banyak melakukan pertemuan langsung serta melibatkan pihak luar.16

Lalu apakah rekonsiliasi itu? Apa yang menjadi ciri khas dari rekonsiliasi? Apa unsur-unsur yang ada dalam kata rekonsiliasi ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, menurut penulis ada baiknya dimulai dari asal-usul kata rekonsiliasi.

Melihat perkembangan penggunaan kata rekonsiliasi mengakibatkan maknanya pun semakin berkembang. Lalu bagaimana memahami kata rekonsiliasi? Menurut penulis untuk memahami apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi ada baiknya dimulai dari etimologis kata ini. Kata ini terdiri dari kata Latin, concilium. Kata ini mengandaikan suatu proses yang dimaksud dengan sengaja, di mana pihak-pihak yang berseteru bertemu satu

sama lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan mencapai

15 Ibid, 15.

16 Duane Ruth - Heffelbower, Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi; Edisi kedua (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 2000), 23-24.


(7)

kesepakatan bersama.17 Jika dilihat dari akar katanya ini menimbulkan kesan bahwa kata ini mirip dengan negosiasi. Dalam Oxford Dictionary18 kata ini didefenisikan sebagai the restoration of friendly relations atau the action of making of one view or belief compatible with another. Dari defenisi ini dapat dilihat bahwa kata ini berkembang dari usaha mencari kesepakatan bergerak ke arah memperbaiki hubungan yang rusak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mendefinisikan dengan maksud yang sama. Oleh KBBI kata ini

didefenisikan sebagai “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan.”19 Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa kata ini diartikan sebagai perdamaian atau perbaikan.20 Jadi, dalam kata rekonsiliasi terkandung makna perbaikan kembali suatu hubungan yang telah rusak. Rekonsiliasi tidak hanya sekedar menyangkut suatu perjanjian kontrak, tetapi lebih kepada hubungan - meminjam istilah Ferdinand Tonies - Gemeinschaft dibanding Gesselscaft.21 Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis akan menjabarkan beberapa teori rekonsiliasi menurut para ahli.

2.2.1. Rekonsiliasi menurut Geiko Muller - Fahrenholz

Geiko Muller- Fahrenholz tidak memberikan defenisi secara eksplisit apa itu rekonsiliasi. Ia menjelaskan apa itu rekonsiliasi melalui beberapa sisi dari rekonsiliasi. Sisi

17 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat (Maumere: Ledalero, 2005), 5.

18 Oxford Dictionary Online, reconciliation, diunduh pada tanggal 22 September 2015 dari http:/oxforddictionaries.com/definition/english/reconciliation?q=reconciliation

19 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, rekonsiliasi, diunduh dari: http://kbbi.web.id/rekonsiliasi. 20 Tim Redaksi, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional), Rekonsiliasi.

21 Ferdinand Tonnies, Ge ei s aft a d Gessels aft dalam Talcot Parson, dkk, (ed)., Theories of Society (New York: The Free Press of Glencoe, Inc. 1961), 191.


(8)

pertama yang ia perhatikan adalah pengampunan. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengampunan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Geiko Muller - Fahrenholz memulai apa itu rekonsiliasi dari sudut pandang teologis. Ia memang mengakui bahwa dalam Alkitab manusia tidak terlibat secara aktif dalam proses rekonsiliasi.22 Menurut Fahrenholz, Alkitab memahami pengampunan sebagai suatu proses yang mencakup baik pelaku kejahatan dan korban, seperti yang ditulis oleh Fahrenholz:

Pengampunan itu terjadi ketika pelaku meminta maaf dan si korban memberikannya. Kedua belah pihak diubah dalam perjumpaan ini. Terjadilah sebuah penyembuhan yang meretas jalan bagi suatu kerjasama yang lebih baik di antara pihak-pihak yang berseteru. Lebih dari sekedar kata atau gerak-gerik, pengampunan merupakan suatu proses perjumpaan, proses penyembuhan, proses penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati untuk masa depan.23

Pendapatnya ini sangat berbeda dengan yang dikemukakan oleh Robert J. Screiter. Menurut Screiter, pengampunan hanya bersifat satu sisi saja, yakni dari korban. Baginya korban juga merupakan manusia berdosa yang menerima pengampunan dari Tuhan. Jadi, sudah sepatutnya si korban mengampuni pelaku kejahatan, karena dia sudah terlebih dahulu menerima pengampunan.24 Hal ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Izak Lattu. Di mana Lattu menyatakan bahwa Yesus merupakan jembatan rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan. Rekonsiliasi merupakan cara terbaik untuk memperbaiki hubungan antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik. Menurut Lattu, seseorang mendapatkan rekonsiliasi ketika korbannya mendapat keadilan, baik melalui pengadilan maupun rekonsiliasi budaya. Rekonsiliasi tidak hanya berhubungan

22 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat (Maumere: Ledalero, 2005), 7.

23 Ibid, 8-9.

24 Robert J. Screiter, Reconciliation: Mission and Ministry in a Changing Social Order (New York: Orbit Books & Massachussetts, Boston Teological Institutes, 1992), 59.


(9)

dengan alasan dan implikasi yudisial, tapi juga berhubungan dengan kerohanian. Menganggap rekonsiliasi sebagai pengalaman kerohanian menuntun manusia kepada jalan hidup baru dan hidup tersebut dapat menginspirasi orang lain.25

Fahrenholz berpendapat bahwa privatisasi dan vertikalisasi pengampunan dapat mengakibatkan hubungan horizontal menjadi terabaikan,26 dalam arti pengampunan menjadi suatu hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, maka orang akan cenderung enggan untuk meminta maaf. Jika tidak ada permintaan maaf, maka pengampunan tidak akan terjadi.

Dari sudut pandang Fahrenholz, pelaku atau penindas pun turut diperbudak oleh tindakannya. Untuk terlepas dari perbudakan ini, pelaku harus mengakui kesalahannya kepada korban, dan hal inilah yang sering ditakutkan.27 Pendapat dari Fahrenholz ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Olaf Schumann. Pengampunan pun tidak berarti bahwa apa yang dibuat akan dicoret dalam sejarah. Menurut Schumann, pemahaman tentang pengampunan seperti itu keliru. Pengampunan berarti bahwa yang terjadi tidak akan dihitung lagi, setelah ia diakui sebagai sesuatu yang memang ada dan layak dihitung.28 Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Douglas W. Young29. Walaupun ia setuju dengan Screiter bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari korban, tapi menurutnya pengampunan harus dikomunikasikan dengan pengakuan. Baginya tindakan

25 Izak Lattu, ‘Ide tity a d Re o iliatio i Jesus’ Pea e uildi g Narrative i Joh 4:1-26: An

I terdis ipli ary Perspe tive, dalam Journal of Asian and Asian American Theology Vol. 11 (2013), 48-49. 26 Geiko Muller - Fahrenholz, 26.

27 Ibid, 27.

28 Olaf Schumann, Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 485.

29 Young Douglass W, Rekonsiliasi Membongkar Tembok Permusuhan, dalam Guido Tisera (ed), Mengelola Konflik, Mengupayakan Perdamaian (Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen, 2002), 172.


(10)

meminta dan memberi pengakuan adalah tindakan dua pihak dalam gerak menuju rekonsiliasi. Setiap tindakan menuntut balasan dari pihak lain.

Pengakuan yang dimaksud oleh Fahrenholz adalah suatu proses pengakuan yang sangat mendalam. Ia menggunakan kata Jerman Entblossung yang secara harafiah berarti menelanjangi diri. Menurutnya kata ini menggambarkan suatu proses di mana seseorang berbalik dari titik di mana tindakan jahat pertama kali dilakukan. Mengakui semua implikasi dari tindakan memalukan tersebut, dan tindakan ini memang merupakan tindakan yang menyakitkan. Tindakan ini akan lebih menyakitkan lagi jika diakui di hadapan orang yang menderita karenanya.30

Tapi perlu diingat bahwa pengampunan bukanlah suatu proses yang otomatis. Ketika si pelaku mengaku kesalahannya dengan tulus, korban tidak otomatis memaafkannya. Pada pihak korban, perasaan terluka begitu terasa. Menurut Fahrenholz, perasaan terluka ini juga merupakan suatu perusakan pada inti pati kepribadian manusia. Pendapatnya ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Schreiter, bahwa kekerasan dapat merusak inti kehidupan manusia. Lebih lanjut, menurut Fahrenholz, hal ini berakibat pada begitu banyak alasan mengapa korban tidak mau berpaling lagi ke kedalaman luka traumatis mereka. Lebih mudah untuk bersembunyi di balik barikade represi, amarah dan pembenaran diri. Akibatnya kadang permintaan maaf yang tulus tidak digubris.31

Oleh karena itu, Geiko Muller - Fahrenholz, ia melihat bahwa adanya faktor perantara diperlukan sebagai sisi lain dari rekonsiliasi. Biasanya yang menjadi seorang perantara adalah seorang yang cukup dipercayai oleh kedua pihak yang sedang berselisih untuk

30 Geiko Muller - Fahrenholz,52-53. 31 Ibid,. 55.


(11)

membersitkan percik kepercayaan untuk mengawali proses Entblossung. Sebagai perantara ia hanya bertindak sebagai percikan pertama untuk menyalakan api perjumpaan, dan menyanggupkan kedua belah pihak untuk saling bertemu muka ke muka (face to face).32 Akan tetapi, menurut Fahrenholz tidak selalu, atau tidak mutlak untuk selalu menyertakan seorang perantara. Faktor perantara dapat berupa kunjungan ke tugu peringatan, atau beberapa tempat berkesan mendalam lainnya yang membuat barikade rasa takut dan curiga itu ambruk. Bisa juga berupa begitu menindihnya rasa bersalah atau beban keterasingan yang tak tertanggungkan lagi, yang menyebabkan seseorang terdorong mengatasi segala macam rintangan dalam batin, dan meminta maaf.33

Ia mengutip Martin Buber, dari buku “I and Thou”, yang menunjukkan bahwa perjumpaan sejati antara pribadi-pribadi, memunculkan sesuatu yang baru, yakni sebuah daya tenaga yang tidak terbelenggu di dalam dirinya dan juga tidak terpisah dari yang lain, tetapi berasal-usul dari kebersamaan mereka. Manakala dua pribadi menyingkapkan diri

mereka seorang kepada yang lain maka terciptalah suatu “medan energi” di antara

keduanya, yang melampaui kekuatan secara perorangan. Dalam wacana religius, menurut Fahrenholz, daya tenaga yang mengherankan ini diacu sebagai Roh Allah.34

Pandangan Fahrenholz ini mirip dengan pendapat Schreiter. Tapi yang membedakan keduanya adalah menurut Fahrenholz kemampuan manusia untuk mengampuni, tidak boleh diredusir kepada kerahiman ilahi, tetapi harus diakui sebagai kemampuan yang juga bersifat manusiawi. Faktor perantara ini menurutnya bisa juga ditemukan di antara pribadi-pribadi yang non religius. Ia menyebut daya tenaga ini dengan kekuatan

32 Ibid,. 67-68.

33 Ibid,. 68. 34 Ibid, 68-69.


(12)

kontigensi.35 Walau Fahrenholz tidak menyangkal peran orang ketiga dalam rekonsiliasi, tetapi ia melihat faktor antara tidak terpaku pada manusia. Faktor perantara bisa juga berbentuk tugu peringatan.36 Baginya kekuatan kontingensi ini berkaitan erat dengan imajinasi. Imajinasi untuk melihat jalan keluar yang tidak mampu atau tidak mau digapai pihak-pihak yang sedang bertikai.

Dalam bentuk skema, konsep rekonsiliasi dari Fahrenholz dapat digambarkan sebagai berikut:

Daya Kontigensi/ Pihak Ketiga

Memaafkan

Korban Pelaku Mengakui Penindasan

Lalu bagaimana kondisi dalam skema itu dapat terlaksana? Menurut Fahrenholz perlu ada tindakan tulus yang benar-benar mengindahkan perasaan pihak lain. Suatu gerak-gerik simbolik dengan sikap yang penuh hormat atas berbagai kesulitan yang ada di dalamnya. Ia mencontohkan tindakan ini dengan berlututnya Kanselir Jerman Willy Brant di tugu peringatan pemberontakan Warsawa, Polandia. Berlutut merupakan suatu gerak-gerik simbolik yang dimaksudkan Fahrenholz.37 Berikutnya menurut Fahrenholz perlu diadakan

35 Ibid,. 70.

36 nd. David Androff, The Meaning of Re on iliation: women stories about their experience with suffering frong the grief , Scandinavian Journal of Science (Vol. 13. 2010), 269-285. Menurut Androff, manusia bukan satu-satunya pemicu rekonsiliasi. Rasa sedih dan duka juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk berekonsiliasi.


(13)

suatu langkah agar kedua pihak bisa saling berkomunikasi, sehingga tidak terjadi salah paham di antara keduanya.38 Dalam hal ini sangat diperlukan untuk menyingkap cerita-cerita para korban yang dipaksa untuk membisu39, di sinilah pihak perantara sangat dibutuhkan perannya. Dalam langkah kedua ini nampak bahwa bagaimana kebenaran menjadi unsur yang sangat penting untuk terjadinya suatu rekonsiliasi.

2.2.2. Rekonsiliasi Menurut Duane Ruth - Heffelbower

Berbeda dengan dua tokoh lainnya, Duane Ruth - Hefflebower sangat memperhatikan sisi strategi dari sebuah rekonsiliasi. Walau menggunakan kata rekonsiliasi Ruth - Hefflebower juga memperhatikan unsur-unsur mediasi. Ketika membahas rekonsiliasi, ia memulainya dengan membahas tentang konsiliator. Hefflebower berangkat dengan menjelaskan perbedaan antara mediator dan konsiliator. Seorang konsiliator adalah orang yang bijaksana, paling tidak memiliki status yang sama dengan pihak yang berkonflik dan dipercayai oleh kedua belah pihak, yang mendengarkan secara pribadi kedua pihak itu, lalu mengusulkan solusi secara pribadi.40

Semakin erat konteks di mana nasehat diberikan, maka semakin besar kemungkinan untuk pihak berselisih mengikuti nasihat konsiliator.41 Jadi dapat dikatakan dalam model konsiliasi seorang konsiliator memegang peranan yang sangat besar. Dengan demikian dalam hal ini seorang konsiliator dapat mengontrol situasi suatu proses rekonsiliasi.

38 Ibid,. 132.

39 Geiko Muller- Fahrenholz, Proses Reko siliasi: Me a ga i Masalah Apartheid , “eri Pastoral, 2002, No. 5, 18.

40 Duane Ruth - Hefflebower, Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi; Edisi kedua (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 2000), 23-24.


(14)

Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya bahwa walaupun keduanya merupakan hal yang identik, konsiliator dan mediator tetap memiliki perbedaan. Menurut Hefflebower, perbedaan antara seorang konsiliator dengan mediator adalah mediator dipilih karena pengetahuannya tentang subjek perselisihan dan kemampuan mediasinya.42 Hal ini juga diungkapkan oleh Kovach, menurutnya seorang mediator harus dipilih berdasarkan kemampuannya, bahkan untuk seorang mediator professional biasanya dikenakan biaya.43 Sedangkan seorang konsiliator, cenderung bertemu pihak yang bertikai secara terpisah untuk menghindari kehilangan muka pihak yang bertikai.44

Tapi kesamaan antara mediator dan konsiliator sebagai pihak ketiga, pertama adalah menyangkut komunikasi. Keduanya harus memiliki keterampilan untuk berkomunikasi dengan kedua pihak yang bertikai. Itulah sebabnya pihak ketiga harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan kedua belah pihak.45

Lebih lanjut, untuk mengadakan rekonsiliasi, sejak awal sudah dijelaskan lebih dahulu kepada pihak yang bertikai bahwa tujuan dari rekonsiliasi adalah membuat segala sesuatu berjalan sebaik mungkin bagi pihak-pihak yang bertikai dengan cara sejujur mungkin, seseimbang mungkin dan seadil mungkin.46

Secara ringkas, Hefflebower menyusun kriteria pihak ketiga ini menjadi beberapa poin, yaitu47:

42 Ibid,. 25.

43 Kimberlee K. Kovach, 144. 44 Duane Ruth - Hefflebower,27. 45 Kimberlee K. Kovach,52-60. 46 Duane Ruth - Hefflebower, 41. 47 Ibid,. 80-81.


(15)

1.Ketidakberpihakan. Orang-orang yang melakukan intervensi (pihak ketiga) sebaiknya

tidak berpihak oleh semua pihak yang terlibat. Dalam kenyataan hampir tidak ditemukan ada pihak ketiga yang benar-benar netral.Tapi dalam kenyataannya tidak ada netralitas yang bisa dilaksanakan dengan murni. Pihak ketiga cenderung berpihak kepada salah satu kubu yang bertikai.48 Kovach pun mengungkapkan hal yang sama. Menurut Kovach netralitas yang absolut adalah mustahil untuk dicapai.49

2.Akses. Mereka yang melakukan intervensi ini sebaiknya orang-orang yang memiliki

akses kepada pemimpin dari kedua belah pihak.

3.Kecocokan. Kelompok yang melakukan intervensi seharusnya merupakan orang yang

cocok dengan kedua pihak.

4.Kecakapan. Untuk intervensi dibutuhkan orang-orang yang seperti berikut: (a)

Seseorang yang memiliki kecakapan untuk menciptakan kemudahan dalam pertemuan. (b) Seseorang yang benar-benar paham mengenai masalah politik. (c) Seseorang yang mempunyai kemampuan atau koneksi mencari dana.

5.Identitas. Kelompok yang melaksanakan intervensi sebaiknya merupakan kelompok

yang mempunyai nama atau lembaga yang dapat diterima oleh semua pihak.

6.Waktu dan Komitmen. Pihak yang melakukan intervensi harus memiliki komitmen

untuk menempuh proses yang panjang dan melelahkan.

48 Jumiati, Pe erapa The Five Basi Pri iple of Mediatio - Sebuah Tinjauan Teoritis dalam Theofransus Litaay, dkk (ed.), Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga: Satya Wacana Peace Centre - SWCU, 2011), 119.


(16)

7.Ukuran. Jumlah dari para pelaksana intervensi sebaiknya cukup besar untuk memenuhi

kriteria di atas.

Untuk melakukan intervensi, pihak ketiga harus memiliki tujuan tertentu. Hefflebower mengindikasikan tujuan-tujuan dari sebuah intervensi sebagai berikut50:

a. Membangun hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat.

b. Berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat untuk mengenal situasi.

c. Intervensi berguna untuk membangkitkan tanggapan masyarakat dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang kejadian.

d. Mengurangi kekerasan.

e. Memperbaiki perilaku, yaitu dengan cara mengkonfrontasi perilaku yang merusak atau tidak sah.

f. Memperbaiki komunikasi.

g. Memberdayakan negosiasi, mediasi atau rekonsiliasi.

h. Melakukan advokasi kepada salah satu pihak. Tindakan terakhir ini bertujuan untuk menyeimbangkan kekuatan.

Adapun langkah-langkah dalam melakukan proses rekonsiliasi yang dijabarkan oleh Heffelbower adalah sebagai berikut51:

50 Duane Ruth-Heffelbower, 75-77. 51 Ibid, 42-43.


(17)

1.Mengakui adanya kesalahan dan luka hati (membangun kesadaran akan adanya ketidaksepahaman).

Melihat langkah pertama ini, fungsi dari pihak ketiga memiliki kesamaan dengan apa

yang disebut Coser dengan “katub penyelamat”. Katub penyelamat ini dapat berupa lembaga yang berfungsi sebagai tempat penyaluran keluhan-keluhan. Sebagai tempat meluapkan permusuhan secara terarah.52

2.Memulihkan keseimbangan. Langkah ini dilakukan dengan meminta masing-masing pihak untuk mengungkapkan apa yang dibutuhkan agar hubungan dapat dipulihkan.

3.Menjelaskan niat untuk masa depan. Langkah yang ketiga ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada masing-masing pihak mengenai apa yang perlu dilakukan agar konflik tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

4.Membuat rangkuman dan menuliskan hasil persetujuan. Untuk melaksanakan langkah ini yang perlu ditanyakan kepada pihak-pihak yang bertikai, yaitu: Apakah hal-hal yang tidak seimbang disadari oleh kedua pihak? Apakah persetujuan cukup jelas sehingga perselisihan yang sama tidak akan terulang lagi? Apakah persetujuan telah memuat penghargaan, membangun rasa simpati satu sama lain, dapat dipahami dan mempunyai landasan yang jelas dan dapat diterima oleh semua pihak.

5.Langkah yang terakhir adalah menandatangani, merayakan, dan kemudian menindaklanjuti.

52 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, pent. Tim Penerjemah YOSOGAMA (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 108-109.


(18)

Selain langkah di atas, Hefflebower menuliskan bahwa sangat penting untuk menyelaraskan kepentingan. Dalam menyelaraskan kepentingan ini, ia menyusunnya dalam tiga tahap, yaitu53:

1.Mengidentifikasikan keprihatinan-keprihatinan utama.

2.Membuat alternatif jalan keluar.

3.Memilih jalan alternatif yang terbaik.

3.Rekonsiliasi Menurut John W. De Gruchy

John W. de Gruchy lebih menekankan teorinya pada pemahaman kontribusi spiritualitas Kristen demi terwujudnya suatu rekonsiliasi dan sebagai saksi teologi publik. de Gruchy menunjukkan karakter relasional spiritualitas Kristen, yang memperlihatkan nilai keterlibatan dalam praktek rekonsiliasi dan penegakan keadilan. Konsep inti ini ditemukan untuk menjadi pelekat dalam hubungan perjanjian antara Tuhan dan manusia. de Gruchy menggambarkan rekonsiliasi sebagai restorasi, yakni kontur keadilan dan hubungan yang benar dalam transendental. Ia melihat spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan sebagai tiga hal yang saling berhubungan. Menurutnya, dunia dalam semua penderitaan dan harapan adalah tema teologis yang harus dikembangkan.54

de Gruchy membedakan empat cara membicarakan rekonsiliasi, yaitu:

1.Upaya untuk menggambarkan berbagai tingkatan rekonsiliasi.

53 Ibid, 47-51.


(19)

2.Memahami inti untuk mengatasi keterasingan.

3.Berlangsung secara teologis.

4.Interpersonal, sosial dan politik.55

Rekonsiliasi dapat berhubungan dengan setiap cara ini untuk mengatasi keterasingan secara terpisah atau bersama-sama. Rekonsiliasi biasa mengambil tempat dalam urutan atau sebagai sebuah proses - perjalananan yang membutuhkan kesadaran masa lalu, sekarang dan langkah-langkah untuk masa depan.56 de Gruchy menyatakan bahwa rekonsiliasi harus dilakukan melalui identitas: memahami identitas seseorang dalam

kaitannya dengan identitas umum “yang lain” dan menemukan identitas baru.57

Kebutuhan akan rekonsiliasi adalah sesuatu yang relevan dalam setiap komunitas manusia di mana orang teralienasi dan berduka, demi terwujudnya suatu penyembuhan dan harapan.58 de Gruchy mengatakan:

The doctrine of reconciliation will be most relevant to social and political life when it is most true to its own distinct character. How pointless it would be if we were simply to provide religious terms in which the discussion about political reconciliation could be clothed in order to make it more palatable to religious people.59

de Gruchy telah membuat suatu kontribusi yang unik dan cukup relevan dengan konteks saat ini. Para politisi bahkan pemuka-pemuka agama seringkali menggunakan agama sebagai sarana untuk mengadakan rekonsiliasi. Tetapi ternyata itu belum cukup. Ia menawarkan suatu perspektif interdisipliner, ekumenis yang ditanam dalam tradisi Kristen.

55 Ibid, 26.

56 Ibid, 27-28. 57 Ibid, 30-31. 58 Ibid, 12. 59 Ibid, 46.


(20)

Ini juga menggambarkan hubungan antara rekonsiliasi dan keadilan. Ia menggunakan

Truth and Reconciliation Commission (TRC) sebagai studi kasus. Baginya, spiritualitas Kristen dapat berfungsi untuk membentuk identitas orang Kristen mempraktekkan iman dalam kehidupan politik, menciptakan ruang untuk rekonsiliasi, di mana kebenaran bisa berbicara, dan pengampunan dapat dicari. Pusat argumennya adalah gagasan perjanjian antara Tuhan dan penciptaan. Melalui Kristus, mediator antara Allah dan manusia, Allah telah memperbarui perjanjian-Nya dalam sebuah inisiatif baru ‘untuk mendamaikan segala sesuatu untuk diri-Nya sendiri’.60

Hubungan interpersonal, sosial dan politik perlu mengadopsi atau menggabungkan

“nilai-nilai, masalah etika, dan teologis serta wawasan antropologis” dari ikatan atau

hubungan ‘perjanjian’, yang memberikan bentuk dan struktur.61 de Gruchy mengusulkan hubungan ini sebagai kerangka di mana rekonsiliasi harus dipahami. Ikatan perjanjian ini didasari oleh karakteristik, komitmen, kepercayaan dan menghormati perbedaan. Hal ini didorong oleh niat murni, untuk berusaha memperoleh solidaritas, altruistik dan pengorbanan, yang memungkinkan terjadinya kompromi secara terus-menerus.

Argumennya mengembangkan tugas atau tanggung jawab dari kedua pelaku dan korban. Tugas ini meliputi pengungkapan kebenaran, termasuk bersalah untuk pelaku, dan pengampunan untuk korban. de Gruchy berpendapat bahwa doktrin dosa menetapkan semacam solidaritas di antara semua umat manusia. Oleh karena itu ide dari hubungan perjanjian memperluas tanggungjawab manusia (terutama orang-orang beriman) untuk bertindak sebagai agen rekonsiliasi di dunia. Menurutnya, tidak ada pemahaman yang

60 Ibid, 69.


(21)

koheren mengenai keadilan di dunia modern.62 Keadilan restoratif lebih merupakan upaya

untuk “memulihkan dimensi terabaikan tertentu yang membuat pemahaman yang lebih lengkap tentang keadilan”.63

Keadilan dalam tradisi Alkitab bersifat sosial dan relasional. Oleh karena itu de Gruchy menyoroti hubungan antara keadilan, kasih dan kuasa.64 de Gruchy berpendapat bahwa rekonsiliasi dan keadilan merupakan bagian dari proses dan tujuan, atau sarana dan tujuan. Dunia yang adil, membutuhkan rekonsiliasi, dunia hanya dapat didamaikan jika keadilan dipulihkan.65 Spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan saling berhubungan dalam arti bahwa semua adalah alat untuk mencapai tujuan, dan berakhir dalam diri mereka.

62 Ibid, 200.

63 Ibid, 202. 64 Ibid, 203-204. 65 Ibid, 199.


(22)

Kesimpulan

Konflik dapat diartikan sebagai suatu relasi antagonistik yang terjadi antara lain akibat adanya ketidaksepahaman, sikap-sikap emosional, struktur-struktur nilai yang berbeda dan bisa juga karena persaingan masa lalu maupun perbedaan individual. Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari tapi dapat dihadapi. Selain berdampak negatif, konflik juga dapat memberikan dampak positif karena dapat dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.

Ada berbagai bentuk dan penyebab terjadinya konflik, baik karena adanya ketidaksepahaman, politik dan lain-lain. Untuk mengelola konflik tersebut, terdapat beberapa cara yang dapat disesuaikan dengan konteks, bentuk atau sifat konfliknya. Meskipun demikian, agar dapat menyelesaikan suatu konflik keahlian mengelola konflik sangat dibutuhkan.

Dalam upaya penanganan konflik, ada banyak pilihan penyelesaian sengketa. Rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa. Rekonsiliasi mengacu pada suatu upaya memperbaiki hubungan yang rusak/ perdamaian. Penulis sempat membahas 3 teori yang dikemukakan para ahli mengenai rekonsiliasi. Ketiga teori ini dikembangkan dalam konteks berbeda sehingga proses atau tahapannya pun berbeda, namun tujuannya sama, yaitu mewujudkan suatu perbaikan hubungan. Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi hanya dapat terwujud jika ada pihak yang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sebaliknya pihak lainnya memberi maaf. Sehingga terwujud suatu keseimbangan atau kesepahaman.


(1)

1.Mengakui adanya kesalahan dan luka hati (membangun kesadaran akan adanya ketidaksepahaman).

Melihat langkah pertama ini, fungsi dari pihak ketiga memiliki kesamaan dengan apa

yang disebut Coser dengan “katub penyelamat”. Katub penyelamat ini dapat berupa

lembaga yang berfungsi sebagai tempat penyaluran keluhan-keluhan. Sebagai tempat meluapkan permusuhan secara terarah.52

2.Memulihkan keseimbangan. Langkah ini dilakukan dengan meminta masing-masing pihak untuk mengungkapkan apa yang dibutuhkan agar hubungan dapat dipulihkan.

3.Menjelaskan niat untuk masa depan. Langkah yang ketiga ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada masing-masing pihak mengenai apa yang perlu dilakukan agar konflik tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

4.Membuat rangkuman dan menuliskan hasil persetujuan. Untuk melaksanakan langkah ini yang perlu ditanyakan kepada pihak-pihak yang bertikai, yaitu: Apakah hal-hal yang tidak seimbang disadari oleh kedua pihak? Apakah persetujuan cukup jelas sehingga perselisihan yang sama tidak akan terulang lagi? Apakah persetujuan telah memuat penghargaan, membangun rasa simpati satu sama lain, dapat dipahami dan mempunyai landasan yang jelas dan dapat diterima oleh semua pihak.

5.Langkah yang terakhir adalah menandatangani, merayakan, dan kemudian menindaklanjuti.

52 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, pent. Tim Penerjemah YOSOGAMA (Jakarta: PT Raja Grafindo


(2)

Selain langkah di atas, Hefflebower menuliskan bahwa sangat penting untuk menyelaraskan kepentingan. Dalam menyelaraskan kepentingan ini, ia menyusunnya dalam tiga tahap, yaitu53:

1.Mengidentifikasikan keprihatinan-keprihatinan utama.

2.Membuat alternatif jalan keluar.

3.Memilih jalan alternatif yang terbaik.

3.Rekonsiliasi Menurut John W. De Gruchy

John W. de Gruchy lebih menekankan teorinya pada pemahaman kontribusi spiritualitas Kristen demi terwujudnya suatu rekonsiliasi dan sebagai saksi teologi publik. de Gruchy menunjukkan karakter relasional spiritualitas Kristen, yang memperlihatkan nilai keterlibatan dalam praktek rekonsiliasi dan penegakan keadilan. Konsep inti ini ditemukan untuk menjadi pelekat dalam hubungan perjanjian antara Tuhan dan manusia. de Gruchy menggambarkan rekonsiliasi sebagai restorasi, yakni kontur keadilan dan hubungan yang benar dalam transendental. Ia melihat spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan sebagai tiga hal yang saling berhubungan. Menurutnya, dunia dalam semua penderitaan dan harapan adalah tema teologis yang harus dikembangkan.54

de Gruchy membedakan empat cara membicarakan rekonsiliasi, yaitu:

1.Upaya untuk menggambarkan berbagai tingkatan rekonsiliasi.

53 Ibid, 47-51.


(3)

2.Memahami inti untuk mengatasi keterasingan.

3.Berlangsung secara teologis.

4.Interpersonal, sosial dan politik.55

Rekonsiliasi dapat berhubungan dengan setiap cara ini untuk mengatasi keterasingan secara terpisah atau bersama-sama. Rekonsiliasi biasa mengambil tempat dalam urutan atau sebagai sebuah proses - perjalananan yang membutuhkan kesadaran masa lalu, sekarang dan langkah-langkah untuk masa depan.56 de Gruchy menyatakan bahwa

rekonsiliasi harus dilakukan melalui identitas: memahami identitas seseorang dalam kaitannya dengan identitas umum “yang lain” dan menemukan identitas baru.57

Kebutuhan akan rekonsiliasi adalah sesuatu yang relevan dalam setiap komunitas manusia di mana orang teralienasi dan berduka, demi terwujudnya suatu penyembuhan dan harapan.58 de Gruchy mengatakan:

The doctrine of reconciliation will be most relevant to social and political life when it is most true to its own distinct character. How pointless it would be if we were simply to provide religious terms in which the discussion about political reconciliation could be clothed in order to make it more palatable to religious people.59

de Gruchy telah membuat suatu kontribusi yang unik dan cukup relevan dengan konteks saat ini. Para politisi bahkan pemuka-pemuka agama seringkali menggunakan agama sebagai sarana untuk mengadakan rekonsiliasi. Tetapi ternyata itu belum cukup. Ia menawarkan suatu perspektif interdisipliner, ekumenis yang ditanam dalam tradisi Kristen.

55 Ibid, 26.

56 Ibid, 27-28. 57 Ibid, 30-31. 58 Ibid, 12. 59 Ibid, 46.


(4)

Ini juga menggambarkan hubungan antara rekonsiliasi dan keadilan. Ia menggunakan

Truth and Reconciliation Commission (TRC) sebagai studi kasus. Baginya, spiritualitas Kristen dapat berfungsi untuk membentuk identitas orang Kristen mempraktekkan iman dalam kehidupan politik, menciptakan ruang untuk rekonsiliasi, di mana kebenaran bisa berbicara, dan pengampunan dapat dicari. Pusat argumennya adalah gagasan perjanjian antara Tuhan dan penciptaan. Melalui Kristus, mediator antara Allah dan manusia, Allah telah memperbarui perjanjian-Nya dalam sebuah inisiatif baru ‘untuk mendamaikan segala sesuatu untuk diri-Nya sendiri’.60

Hubungan interpersonal, sosial dan politik perlu mengadopsi atau menggabungkan “nilai-nilai, masalah etika, dan teologis serta wawasan antropologis” dari ikatan atau hubungan ‘perjanjian’, yang memberikan bentuk dan struktur.61 de Gruchy mengusulkan

hubungan ini sebagai kerangka di mana rekonsiliasi harus dipahami. Ikatan perjanjian ini didasari oleh karakteristik, komitmen, kepercayaan dan menghormati perbedaan. Hal ini didorong oleh niat murni, untuk berusaha memperoleh solidaritas, altruistik dan pengorbanan, yang memungkinkan terjadinya kompromi secara terus-menerus.

Argumennya mengembangkan tugas atau tanggung jawab dari kedua pelaku dan korban. Tugas ini meliputi pengungkapan kebenaran, termasuk bersalah untuk pelaku, dan pengampunan untuk korban. de Gruchy berpendapat bahwa doktrin dosa menetapkan semacam solidaritas di antara semua umat manusia. Oleh karena itu ide dari hubungan perjanjian memperluas tanggungjawab manusia (terutama orang-orang beriman) untuk bertindak sebagai agen rekonsiliasi di dunia. Menurutnya, tidak ada pemahaman yang

60 Ibid, 69.


(5)

koheren mengenai keadilan di dunia modern.62 Keadilan restoratif lebih merupakan upaya untuk “memulihkan dimensi terabaikan tertentu yang membuat pemahaman yang lebih lengkap tentang keadilan”.63

Keadilan dalam tradisi Alkitab bersifat sosial dan relasional. Oleh karena itu de Gruchy menyoroti hubungan antara keadilan, kasih dan kuasa.64 de Gruchy berpendapat

bahwa rekonsiliasi dan keadilan merupakan bagian dari proses dan tujuan, atau sarana dan tujuan. Dunia yang adil, membutuhkan rekonsiliasi, dunia hanya dapat didamaikan jika keadilan dipulihkan.65 Spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan saling berhubungan dalam arti bahwa semua adalah alat untuk mencapai tujuan, dan berakhir dalam diri mereka.

62 Ibid, 200.

63 Ibid, 202. 64 Ibid, 203-204. 65 Ibid, 199.


(6)

Kesimpulan

Konflik dapat diartikan sebagai suatu relasi antagonistik yang terjadi antara lain akibat adanya ketidaksepahaman, sikap-sikap emosional, struktur-struktur nilai yang berbeda dan bisa juga karena persaingan masa lalu maupun perbedaan individual. Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari tapi dapat dihadapi. Selain berdampak negatif, konflik juga dapat memberikan dampak positif karena dapat dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.

Ada berbagai bentuk dan penyebab terjadinya konflik, baik karena adanya ketidaksepahaman, politik dan lain-lain. Untuk mengelola konflik tersebut, terdapat beberapa cara yang dapat disesuaikan dengan konteks, bentuk atau sifat konfliknya. Meskipun demikian, agar dapat menyelesaikan suatu konflik keahlian mengelola konflik sangat dibutuhkan.

Dalam upaya penanganan konflik, ada banyak pilihan penyelesaian sengketa. Rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa. Rekonsiliasi mengacu pada suatu upaya memperbaiki hubungan yang rusak/ perdamaian. Penulis sempat membahas 3 teori yang dikemukakan para ahli mengenai rekonsiliasi. Ketiga teori ini dikembangkan dalam konteks berbeda sehingga proses atau tahapannya pun berbeda, namun tujuannya sama, yaitu mewujudkan suatu perbaikan hubungan. Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi hanya dapat terwujud jika ada pihak yang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sebaliknya pihak lainnya memberi maaf. Sehingga terwujud suatu keseimbangan atau kesepahaman.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku T2 752014011 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gereja dan Rekonsiliasi: memahami peran sosiologis GPM dalam proses rekonsiliasi konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku”

0 2 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku” T2 752011035 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku” T2 752011035 BAB II

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku” T2 752011035 BAB IV

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku” T2 752011035 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: “Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Antara Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku”

0 0 3